• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pemilihan Umum di tps

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sistem Pemilihan Umum di tps"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Sistem Pemilihan Umum Oleh: Jansen Joshua

Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya A. Definisi Pemilihan Umum

Dalam kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut dengan sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Di dalam praktik, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah para wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat yang disebut parlemen. Agar para wakil-wakil rakyat ini benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat, wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat, yaitu pemiliham umum

(general election). Dengan demikian, pemilihan umum ialah cara yang diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis.1

B. Tujuan Pemilihan Umum

Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, S.H., tujuan pemilihan umum itu ada empat, yaitu:2 a. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib

dan damai;

b. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;

c. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan d. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

C. Asas-Asas Pemilihan Umum

Ditegaskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pemilihan umum dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dan dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada -asas sebagaimana dimaksud, dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip: a. mandiri; b. jujur; c. adil; d. berkepastian hukum; e. tertib; f. terbuka; g. proporsional; h. profesional; i. akuntabel; j. efektif; dan k. efisien.3

D. Sistem Pemilihan Umum

Karena pemilihan umum merupakan salah satu cara untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat (DPR, DPD, dan MPR), secara tidak langsung terdapat berbagai sistem pemiliham umum. Sistem pemilihan umum memiliki perbedaan masing-masing. Banyak macam-macam sistem pemilihan umum, tetapi umumnya berkisar pada tiga pokok, yaitu:

1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta, Rajawali Pers: 2008), hlm. 414. 2Ibid., hlm. 418-419.

(2)

a. Sistem perwakilan distrik (single member constituency)

b. Sistem perwakilan berimbang/proposional (multi member constituency).4 c. Sistem campuran antara sistem distrik dan sistem proporsional

Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa wakil. Sejak Pemilu 1955 hingga 1999, Pemilu di Indonesia digelar di bawah sistem proporsional tertutup (closed lists). Dengan sistem ini, pemilih hanya memilih tanda gambar partai. Suara itu jatuh untuk partai, yang kemudian didistribusikan ke daftar calon anggota legislatif (caleg) yang disusun pimpinan partai yang secara implisit berada di balik tanda gambar yang dipilih pemilih. Pada Pemilu 2004 lalu, terjadi perubahan. Pemilih tidak lagi hanya memilih tanda gambar partai, tapi juga sudah boleh memilih langsung nama caleg. Daftar caleg sudah eksplisit dimuat di surat suara, agar bisa dicontreng. Undang-Undang Nomor 12/2003 tentang Pemilu Legislatif, pada Pasal 6 Ayat (1) menyatakan “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.5 Perbedaan pokok antara dua sistem ini ialah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.6

Ada juga sistem campuran, yaitu menggabungkan dua sistem sekaligus antara sistem distrik dan sistem proporsional. Setengah dari anggota parlemen di pilih melalui sistem distrik dan setengah lainnya lagi di pilih melalui proporsional. Ada keterwakilan sekaligus ada kesatuan geografis.

Dalam sistem distrik, satu distrik menjadi bagian dari suatu wilayah, satu distrik hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal. Hal ini dinamakan the first past the post (FPTP). Pemenang tunggal meraih satu kursi itu. Hal ini terjadi sekalipun selisih suara dengan partai lain hanya kecil saja. Suara yang tadinya mendukung kontestan lain dianggap hilang dan tidak dapat membantu partainya untuk menambah jumlah suara partainya di distrik lain. Dalam sistem proporsional, satu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan dan dalam wilayah itu kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh para kontestan, secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara itu.7

Sebagai contoh, bayangkan ada suatu wilayah dengan 100.000 penduduk, di mana tiga partai bersaing memperebutkan 10 kursi di parlemen. Wilayah itu terdiri atas 10 distrik. Seandainya dalam wilayah dipakai sistem distrik, setiap distrik berhak atas 1 kursi dari jumlah total 10 kursi yang diperebutkan dengan jumlah total 10 kursi. Seandainya

4 Jean Blondel, An Introduction to Comparative Government, (London, Methuen and Co. Ltd: 1954), hlm. 177-206. 5 Lovena Dewi, Sistem Pemilu, diakses dari https://lovenadewi.wordpress.com/mata-kuliah-an/ilmu-politik/sistem-Pemilu/, diakses pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 15.21.

(3)

yang dipakai ialah sistem proporsional, satu wilayah dianggap satu kesatuan yang sebagai keseluruhan berhak atas 10 kursi.

Misalnya, dalam satu distrik ada 3 calon. Calon A memperoleh 60% suara, calon B memperoleh 30% suara, dan calon C mendapat 10% suara. Pemenang yaitu calon A memperoleh 1 kursi, sedangkan 30% jumlah suara dari calon B dan 10% dari calon C dianggap hilang.

Jika dalam wilayah tersebut dipakai sistem proporsional, wilayah itu yang bias berbentuk kesatuan administratif (misalnya provinsi) dianggap sebagai kesatuan yang keseluruhannya berhak atas 10 kursi. Jumlah suara yang diperoleh secara nasional oleh setiap partai menentukan jumlah kursinya di parlemen, artinya persentase perolehan suara secara nasional dari setiap partai sama dengan persentase perolehan kursi dalam parlemen. Misalnya partai A yang memperoleh 60% suara dalam wilayah itu, akan memperoleh 6 kursi dalam parlemen; demikian pula partai B yang memperoleh 30% suara akan mendapatkan 3 kursi, dan partai C yang mendapatkan 10% suara akan mendapatkan 1 kursi.

Kasus yang paling menarik dan gambling mengenai sistem campuran ada pada Jerman, yang pada dewasa ini menggabungkan kedua sistem dalam pemilihan umumnya. Setengah dari parlemen dipilih dengan sistem distrik dan setengah lagi dengan sistem proporsional. Setiap pemilih mempunyai dua suara; pemilih memilih calon atas dasar sistem distrik (sebagai suara pertama) dan pemilih itu memilih calon atas dasar sistem proporsional (sebagai suara kedua). Dengan penggabungan ini diharapkan perbedaan tidak terlalu besar efeknya. Selain itu di Jerman dan beberapa negara dengan banyak partai ada usaha untuk mengurangi jumlah partai yang akan memperoleh kursi parlemen melalui kebijakan electoral threshold.8 Negara-negara lain yang menentukan electoral

threshold adalah Swedia, Italia (4%), dan Indonesia sendiri (mulai 2004) untuk pemilihan badan legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR dan untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari perolehan suara sah secara nasional.9

E. Kelebihan Dan Kekurangan Ketiga Sistem10 a. Kelebihan Sistem Distrik

 Partai-partai politik terdorong untuk berintegrasi dan bekerja sama.

 Kecenderungan untuk mendirikan partai baru dapat dibendung, sistem ini mendukung penyederhanaan partai tanpa paksaan.

 Wakil yang terpilih erat dengan konstituennya dan merasa accountable kepada konstituen.

 Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas di parlemen.

8 Arend Lyphart, Electoral Systems and Party Systems, a Study of Twenty Seven Democracy 1945-1990, (Oxford, Oxford University Press: 1994), hlm. 11-13.

(4)

 Terbatasnya jumlah partai and meningkatnya kerjasama mempermudah tercapainya stabilitas politik.

b. Kekurangan Sistem Distrik

 Terjadi kesenjangan antara persentase suara yang diperoleh dengan jumlah kursi di parlemen. Partai besar memperoleh keuntungan dari hal ini dan seolah-olah mendapat “bonus”. Hal ini menyebabkan over-representation dari partai besar dalam parlemen.

 Terjadinya under-representation dari partai kecil akibat persentase kursi lebih kecil dari persentase suara. Sistem ini kurang representatif karena banyak suara yang hilang.

 Sistem ini kurang mengakomodasikan berbagai kelompok dalam masyaraka yang heterogen pluralis sifatnya.

 Wakil rakyat yang dipilih cenderung lebih memerhatikan kepentingan daerah pemilihannya daripada kepentingan nasional.

c. Kelebihan Sistem Proporsional

 Dianggap lebih representative karena persentase perolehan suara sesuai dengan persentase perolehan kursi di parlemen.

 Setiap suara dihitung dan tidak ada yang hilang. Partai kecil dan golongan miNomorritas diberi kesempatan untuk menempatkan wakilnya di parlemen.

d. Kekurangan Sistem Proporsional

 Kurang mendorong partai-partai politik yang ada untuk berintegrasi satu sama lain, malah cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan diantara mereka. Bertambahnya jumlah partai dapat menghambar proses integrasi di antara berbagai golongan di masyarakat yang bersifat pluralistis.

 Wakil rakyat kurang erat hubungannya dengan konstituennya, tetapi lebih erat dengan partainya. Peran partai lebih meNomornjol daripada kepribadian seorang wakil rakyat.

 Banyaknya partai yang bersaing mempersukar satu partai untuk mencapai mayoritas di parlemen. Dalam sistem pemerintahan parlementer, hal ini mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil karena harus mendasarkan diri pada koalisi.

e. Kelebihan Sistem Campuran

(5)

pemilihan mayoritas/pluralitas tetap dianugerahi kursi melalui sistem proporsional atas setiap suara yang diperoleh.

f. Kekurangan Sistem Campuran

 Sistem ini tidak menjamin keproporsionalan

 Sejumlah partai kemungkinan akan tetap kehilangan representasi kendatipun memenangkan jumlah suara secara substansial.

F. Sistem Pemilu Di Indonesia

Sejak dulu sampai sekarang Indonesia tidak pernah berhenti mencari sistem Pemilu yang benar-benar cocok. Namun yang pasti, sejak dahulu sampai sekarang Indonesia selalu menerapkan model proporsional meskipun belakangan ini model proporsional yang berlaku bukan semurni asalnya. Pada tahun 1955 Pemilu diadakan dua kali; memilih anggota DPR pada bulan September dan memlih anggota Konstituante pada bulan Desember dengan model proporsional karena pada waktu itu hanya sistem proporsional yang dikenal di Indonesia. Pemilu tersebut menghasilkan 27 partai dan satu perorangan, partai yang sangat meNomornjol adalah Masyumi, PNI, NU dan PKI.11

Pada tahun 1966 dan 1967 sistem distrik sudah mulai didiskusikan, pada saat itu, sistem distrik dirasa dapat mengurangi jumlah partai secara alamiah. Namun hasil tersebut ditolak ketika pada tahun 1967 DPR membahas RUU yang terkait dengannya. Sehingga Pemilu tahun 1971 masih tetap menggunakan sistem proporsional dengan beberapa modifikasi. Pertama, setiap daerah tingkat II/kabupaten dijamin mendapatkan satu kursi di DPR. Kedua, dari 460 anggota DPR, 100 nya diangakat; 75 dari ABRI dan 25 dari Nomor ABRI yang diangkat dari utusan golongan dan daerah. Pada tahun 1971, Pemilu diikuti oleh 10 partai politik.12

Pada tahun 1973 Presiden Republik Indonesia Soeharto menyuruh agar partai yang ada melakukan fusi, sehingga pada Pemilu tahun 1977 anggota Pemilu hanya tiga partai, yakni Golkar, PPP dan PDIP. Setelah reformasi bergulir, ada sedikit perbedaan dalam susunan parlemen dan model pemilihanya. DPD dipilih dengan model distrik, sedangkan DPR dan DPRD masih menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Pada Pemilu di tahun 2004, ada unsur distrik dalam model proprsionalnya, yakni suara perolehan suatu partai di sebuah dapil yang tidak cukup

(6)

untuk satu bilangan pembagi pemilih (BPP) tidak bisa ditambahkan ke perolehan partai di dapil lain.

Pada Pemilu 1999 Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup, tahun 2004 menggunakan sistem proporsional semi terbuka. Dinamakan dengan semi terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai dalam perolehan kursi di parlemen tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak melainkan tetap berdasarkan Nomormor urut13. Tahun 2009 menjadi proporsional daftar terbuka setelah MK mengabulkan judicial review

dengan menghapuskan pasal 214 UU Nomor 10 th 2008 yang mengatur penetapan caleg berdasarkan Nomormor urut jika tidak memenuhi ketentuan 30% dari BPP. Pada tahun 2009 calon dipilih sesuai dengan suara terbanyak sehingga proporsional terbuka benar-benar diterapkan. Sistem proporsional terbuka dapat juga dikatakan sebagai sistem semi distrik, sebab sistem ini mengkombinasikan ciri-ciri atau lebih tepatnya kelebihan-kelebihan yang terdapat dalam sistem distrik dan proporsional, sekaligus menimalisir kekurangan yang ada pada keduanya.14

Pada Pemilu 2004-2014, sisa suara yang terdapat dalam suatu dapil tidak bisa ditambahkan ke dapil lain. Sisa kursi akan diberikan kepada sisa suara terbanyak namun tidak mencapai BPP. Sebagai contoh, partai A mendapatkan suara 150.000 sedangkan BPPnya 10.000, maka partai tersebut akan mendapatkan 10 kursi. Sedangkan sisa 5000 kursinya tidak bisa ditambahkan ke dapil lain. Jika dalam dapil tersebut sisa suara dari berbagai partai yang paling banyak adalah 5000 suara, maka sisa kursinya diserahkan kepada partai A.

Mengenai pengaruh dari sistem Pemilu dan keberadaan partai, Maurice Duverger berpendapat bahwa sistem distrik cenderung mendorong terbentuknya dua partai, sedangkan sistem proporsional cenderung mendorong terbentuknya sistem multi partai. Sistem proporsional cenderung memperbesar fraksionalisme dan mendorong terbentuknya partai-partai kecil, sehingga ia berkeyakinan kalau sistem proporsional kondusif bagi bekembangnya multi partai.15

Untuk mengurangi banyaknya partai yang tumbuh dalam sistem proporsional, Indonesia menerapkan electoral threshold dan parliamentary threshold. Pada Pemilu tahun 1999 Indonesia menggunakan electoral threshold sebagaimana yang terdapat dalam pasal 39 UU Nomor 3 tahun 1999 yang menegaskan bahwa partai politik harus memiliki 2% dari kursi DPR atau 3% kursi DPRD I atau II sekurang-kurangnya di setengah jumlah propinsi dan kabupaten seluruh Indonesia. Batas electoral threshold dalam Pemilu 2004 naik lagi menjadi 3% dari kursi DPR dan 4% kursi DPRD yang tersebar di setengah jumlah provinsi atau kabupaten di Indonesia.16

Mengenai pembatasan partai politik, dalam UU Pemilu 2008 yakni UU Nomor 10 Tahun

13Wirat Sasongko, Sistem Pemilihan Umum di Indonesia, diakses dari

http://suci.blog.fisip.uns.ac.id/2012/04/20/32/, diakses pada tanggal 9 Oktober 2017 pada pukul 15.10. 14 Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 107. 15Ibid. hlm. 106.

(7)

2008, ketentuan parliamentary threshold mulai diberlakukan yang diatur dalam pasal 202. Dengan mulai digunakannya parliamentary threshold, maka ketentuan electoral threshold

mulai dihilangkan.

Pemilu tahun 2014 diatur dengan UU Nomor 8 Tahun 2012. Dalam UU tersebut, besaran

presidential threshold yang pada 2009 sebesar 2.5 % dinaikkan menjadi 3.5%, hal ini diharapkan dapat membuat parlemen lebih ramping. Sebagaimana yang ada, partai yang berhasil lolos menjadi peserta Pemilu tingkat pusat hanya 12. Yang membedakan Pemilu 2014 dan Pemilu sebelumnya adalah adanya verifikasi yang ketat bagi semua parpol, baik yang sudah ada di parlemen maupun parpol baru. Pada mulanya ambang batas

parliamentary threshold sekaligus akan dijadikan electoral threshold, namun setelah MK mengeluarkan putusan Nomor.52/PUU-X/2012 semua parpol mengkuti tahapan-tahapan verifikasi. Putusan tersebut menguatkan perspektif dalam proses penyederhanaan partai, yakni dengan menghapuskan ketentuan electoral threshold dan diganti dengan

parliamentary threshold sekaligus tahapan-tahapan verifikasi bagi semua parpol.

Di saat ini pun sudah ada lagi UU Pemilu yang paling baru, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Daftar Pustaka A. Buku

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta, Rajawali Pers: 2008).

Jean Blondel, An Introduction to Comparative Government, (London, Methuen and Co. Ltd: 1954). Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama: 2015).

Arend Lyphart, Electoral Systems and Party Systems, a Study of Twenty Seven Democracy 1945-1990, (Oxford, Oxford University Press: 1994).

Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010).

B. Makalah Dan Artikel (Akses Internet)

http://setkab.go.id/inilah-undang-undang-nomor-7-tahun-2017-tentang-pemilihan-umum-1/ https://lovenadewi.wordpress.com/mata-kuliah-an/ilmu-politik/sistem-Pemilu/

http://suci.blog.fisip.uns.ac.id/2012/04/20/32/

C. Undang-Undang

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai pengaruh berbagai jenis pupuk dan penggunaan dekomposer pada pertumbuhan dan produksi padi organik dilakukan karena keingintahuan penulis terhadap

Pada langkah ini guru diharapkan unutk menyampaikan apakah yang menjadi Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran yang akan diajarkan. Dengan

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak melalui peraga rumah warna pada anak usia dini di PAUD Cerdas Ceria Jetis tahun

kepentingan komersial kami yang sah, contohnya, apabila menjawab pertanyaan anda, mempertingkatkan platform kami, menjalankan pemasaran, atau untuk tujuan menjejak atau

Dengan teknologi AR ini, diharapkan akan berguna dalam proses pembelajaran pelajaran Biologi mengenai materi organ dalam manusia, organ-organ tersebut akan dipresentasikan

Bentuk non-test;  Tulisan makalah  Presentasi kelompok 2 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang penetapan kadar beberapa senyawa farmasi berdasarkan metode titrasi asam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor perilaku kepemimpinan kepala sekolah, dan iklim kerja organisasi sekolah secara simultan dan signifikan berkontribusi terhadap

Pembelajaran yang ada di X TITL SMK Negeri 2 Klaten masih menggunakan metode konvensional. Proses pembelajaran yang berlangsung hanya terpusat pada guru. Saat