• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pramoedya Ananta Toer – Arus Balik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pramoedya Ananta Toer – Arus Balik"

Copied!
1196
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

D i Bawah Bulan M alam Ini Tiada setitik pun awan di langit.

D an bulan telah terbit bersamaan dengan tenggelamnya matari.

D engan cepat ia naik dari kaki langit, menguningi segala dan semu a yang tersentuh cahayanya. Juga hutan, juga laut, juga hewan dan m anusia.

Langit jernih, bersih dan terang.

D i atas bumi Jawa lain lagi keadaannya: gelisah, resah, seakan-akan m anusia tak m embutuhkan ketenteraman lagi.

0o-d w-o0

1. A bad ke enambelas Masehi

Bahkan juga laut Jawa di bawah bu lan purnam a sidhi itu gelisah. Ombak-om bak besar bergulung-gulung mem anjang terputus, menggunung, melandai, mengejajari pesisir pulau Jawa. Setiap puncak ombak dan riak, bahkan juga busanya yang bertebaran seperti serakan mu tiara – semua – dikuningi oleh cahaya bulan.

(3)

Pada puncak tiang utama, di bawah lentera, berkibar bendera panjang merah dan putih – bendera kadipaten Tuban. D i bawahnya lagi, dud uk di atas tali-temali, seperti titik kelam, adalah jurutinjau.

Tepat di bawah layar utama berdiri nakhoda yang sebentar-sebentar meninjau pada jurutinjau di atas. Di samp ingnya berdiri Patragading, bertolak pinggang.

“Tetap tak ada yang m engejar, Tuanku!” seru juru tinjau. “Kita akan selam at sampai di temp at,” bisik nakhoda pada Patragading sambil menyembah dad a. “Tak ada yang mengejar kita.”

Patragading mengangkat kain dan diikatkannya pada pinggang sehingga seluarnya dari sutera itu mengerjap-ngerjap terkena cahaya bulan. Kerisnya tertutup oleh kainnya – suatu gaya pembesar yang kehilangan kesabaran.

“Silakan mengaso. Sebentar lagi Tuban akan nampak.” “Lihat yang baik, barangkali ada iring-iringan perompak.”

“Tak pernah ada peromp ak berani mendekati kapal sahaya.”

“Lihat yang baik,” gertak Patragading. Tangannya mem betulkan kain penutup dadanya.

“Ahoo! Bagaimana dengan depan dan samping?”

“Tiada sesuatu. Tuanku,” nakhoda itu meneruskan laporan jurutinjau sambil menyembah dad a. “Sebaiknya Tuanku mengaso sebelum m endarat tengah m alam ini.”

(4)

ke bawah, memandangi lunas yang menerjang om bak. Juga tak lama. D engan tinju ia memukul-mukul dinding kapal, kemudian berjalan lagi mond ar-mandir tanpa tujuan. Akhirnya ia menuruni tangga geladak dan hilang dari pemand angan.

“Ahoi! Turun!” perintah nakhoda pada jurutinjau.

Begitu kakinya sampai ke geladak, jurutinjau itu mengh embuskan nafas besar.

“Mati semua awak kapal kalau orang darat ikut campur begini,” sambut nakhoda.

“Ya, begitulah bila Tuanku majikan ada di kapal.”

“Pada putra G usti Adipati tak ada nakhoda berani mem bantah, biarpun putra ke dua ratus empat puluh satu!”

“Uh, bulan pun tersenyum melihat kita, Tuanku.” “Lebih gampang menumpas perom pak.”

‘Tengah malam ini tugas keparat ini akan selesai.” “Boleh jadi ada perintah kembali.”

“D ewa Batara!” sebut nakhoda. “Itu berarti akan terkapar ditelan hiu.”

“Ts-te-ts.”

“Co ba lihat jurumudi, apakah dia masih ada di tempat.” “Tapi sahaya jurutinjau, Tuanku.”

“Apa lagi yang hendak kau tinjau? Angin?”

(5)

Juga di bawah bulan purnama sidhi itu pula, di sebuah botakan hutan seekor anjing hutan merenungi langit. Lehernya memanjang, kemudian menunduk pelan sambil mengeluarkan suara tenggorokan, pelahan . Kaki depannya berdiri, kaki belakangn ya bersim puh. Kepala itu diangkat lagi. Matanya semakin sayu. D ari mu lutnya keluar suara keras, mem baung, melolong. Kepalanya terangkat-angkat, kupingnya berdiri dan buntutnya berkibas-kibas pelahan ke kiri dan kanan. Ia mem anggil bulan dan yang dipanggilnya tak mau datang. Yang datan g justru berpuluh-p uluh yang lain, jantan betina dan anak-anaknya. Semua itu mem andang ke atas, mem anggil-manggil sang bulan, meraung, m elolong, m embaung.

Hutan yang senyap itu berubah jadi hiruk. Suaranya melayang, mengambang dalam cahaya bulan mencapai desa perbatasan kadipaten Tuban: Awis Krambil. M enusuk lebih dalam ke tengah-tengah desa, mem asuki balai-desa.

“D engar anjing-an jing mem baung!” oran g tua itu menuding ke arah atap . Alisnya yang putih terangkat. Badann ya tetap tenang duduk di atas tikar m enghadapi para pendengarnya.

“Tak pernah anjing hutan membau ng seperti itu.”

Sunyi-senyap di ruangan balai-desa. Semua mem anjangkan leher mendengarkan baung ratusan anjing di tengah hutan. R atusan sumbu damarsewu yang menyala di sepanjang dan seputar rumah um um itu bergoyang-goyan g terkena angin silir.

“Apakah gerangan yang akan terjadi, Rama?” kepala desa yang du duk agak di belakang orang tua itu bertanya.

(6)

dan hilang. Bulan purnama sekarang, tapi bukan purnama untuk kalian. Untuk kita. Kita sedang tenggelam .”

“Kita belum pernah tenggelam, Rama,” protes seorang gadis di tengah-tengah hadirin.

“Kau belum pernah tenggelam, gadis. Kau pun belum pernah terbit. Kita – kita pernah terbit, dan sekaran g sedang tenggelam. Lihat, sebagai bayi aku dilahirkan di sini. Kalian semua belum lagi lahir. Hutan dan alang-alang masih berjabat-jabatan. Sawah belum ada. Hanya huma, gadis. D ulu desa ini dinamai Sum ber Raja…” Tiba-tiba suaranya terangkat naik, m elengking. “Kalian biarkan desa ini di hina oleh orang kota, dan kalian sendiri setuju dengan nama Awis Kram bil.” Ia tertawa sengit.

“Bukan begitu Rama G uru,” bantah kepala desa gopoh-gapah dan menebarkan pandang minta sokongan hadirin. “N am a itu diberikan sebagai ucapan ikut prihatin terhadap sulitnya kelapa di sini. Lama-lam a jadi sebutan resmi di Tuban. Kami hanya mengikuti, Rama.”

“Apa saja kalian kerjakan dalam tujuh tahu n ini maka sebuah desa bisa kekurangan kelapa?” orang tua itu tak menoleh pada kepala desa. “Apakah di mandala kalian sudah tak pernah diajarkan tentang kelapa dan tentang desa, bahwa kesejahteraan desa namp ak dari puncak-puncak pohon kelapan ya?”

(7)

“Apakah apa-apa dalam kepalaku. Rama G uru?” tanya kepala desa tersiksa.

“Bukankah kau tahu juga dari orangtuamu, desa ini dah ulu mencukupi buat semua? Mem ang lain. D ahulu penduduk desa masih punya harga diri. N am anya tetap Sum ber Raja sebagaimana diberikan oleh leluhur para pendiri. Sekarang, bukan karena kelapa itu tidak tumbuh, cipta kalian yang merosot sampai ke telapak kaki. Maka kelapa pun tak kunjung berbiak, tinggal hanya peninggalan nenek-moyang.”

Tak ada yang menyanggah. D engan lunak ia mu lai bercerita tentang kelapa di desa-desa lain yang lebih tandus.

Para hadirin, tua dan mu da, laki dan perempuan, gadis dan perjaka memp erhatikan tubuh pembicara yang pendek-kecil, berkain dan berkalung kain batik pula, berdestar putih, berjanggut dan bermisai putih, seperti kepala Anom an dalam R amayana.

Mereka mendengarkan dengan diam-diam sambil mengu nyah sirih. Tak seorang pun mentertawakan keputihannya. Mereka mengh ormati orang tua yang terkenal sebagai pemuja Ken Arok Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi, berlidah pedang dan berludah api itu.

“D engar, barangkali anjing-anjing itu akan mem baung sepanjang m alam. ”

Kembali orang mendengarkan baung yang sayup-sayup dari tengah hutan.

“N enek-m oyang kalian tidak sebebal kalian sekarang,” tiba-tiba orang tua itu m enetak kejam.

(8)

G uru, pada kami tak diberikan tanah yang cukup baik untuk kelapa. ”

“Puah !” seru Ram a Cluring. “Sewaktu kecilku takkan ada orang menyalahkan para dewa. Tak ada penghujatan semacam itu. Mandala masih berwibawa dan guru-gu ru dihorm ati, maka bocah yang belum terpanggil oleh Sang Buddh a pun tahu, bumi ini diberikan oleh Hyang Tunggal pada manusia dalam keadaan sebaik-baiknya. Tak ada seorang pun mengh inakan keadaannya, karena manusia diciptakan dalam keadaan sempurna. Lupakah kau pada ajaran, hewan takkan mengu bah apalagi alamn ya? Tetapi manusia tanpa cipta merosot, terus merosot samp ai ke telapaknya sendiri, merangkak, melata, samp ai jadi hewan yang tak mengu bah sesuatu pun. Untuk mem punyai ekor pun m anusia demikian tidak berdaya.”

Sebentar ia diam. Tubuhnya tetap tak bergerak. D agunya tertarik ke depan seperti sedang menunggu tantangan. Yang ditunggu tiada kunjung datang. D an ia meneruskan, mengu langi ajaran Buddh a dan Syiwa tentang m anusia dan kebajikannya sebagai makhluk dewa, tentang alam dan kemungkinan-kemungkinannya. Kemu dian menutup dengan nada tinggi meledak: “G uru-gurumu takkan lupa menyam paikan: yang buruk datang pada manusia yang salah menggunakan nalar, sehingga nalar yang buruk mem anggil keburukan untuk dirinya. Semua kalian me-lewatkan masa kanak-kan ak dan remaja di bawah petunjuk dan ajaran Sang G uru. Padaku ada wewenang menamai kalian bebal.”

“Kata-kata itu menyakitkan hati, Rama,” seseorang nenek mem protes.

(9)

kebebalan adalah juga kebebalan. N ah, sekarang coba ikuti kata-kataku: telah kalian ubah nama ini dari Sum ber Raja jadi Awis Kram bil, hanya karena desa ini tak mampu mem bayar upeti kelapa untuk pasukan gajah Tuban. Upeti demi upeti. Apa sudah kalian terima dari Sang Adipati? Siapa di antara anak-anak desa ini mendapat kesempatan merajai lautan seperti di jaman Majapahit dulu? Menyaksikan dunia besar? D ihorm ati dan disegani di mana-mana? D i Tumasik, di Benggal, N gabesi, Malagasi, sampai di Tanjung Selatan W ulungga sana? Tak pernahkah orangtua kalian bercerita semacam itu maka hatimu jadi sa-kit karena kebebalan sendiri?”

Rama Cluring berhenti bicara. Kembali baung beraturan anjing m engisi suasana.

“Tak ada seorang pun di antara pemuda desa ini pernah menginjakkan kaki di bum i Atas Angin . D i sana pun dah ulu kalian akan dengar gam elan kalian sendiri. Orang sana juga menggemari cerita-cerita Panji dari Jenggala seperti kalian. Mereka juga mencintai Panji Semirang, juga seperti kalian di desa ini. Sang Adipati tidak mem berikan kesempatan pada kalian. Tapi kalian terus juga mem bayar upeti, barang jadi dan baran g gubal. Tak seorang di antara kalian menyaksikan jauh-jauh di seberang sana bagaimana D ewa Ruci dan Arjuna W iwaha didengarkan oran g.”

(10)

Malam itu dingin. Semua mengenakan kain menutup dad a, laki dan perempuan. N am un ada juga perawan-perawan yang membiarkan buah dadan ya terbuka, dipermain-mainkan sinar dam ar sewu dan angin silir yang mengentalkan darah.

“D ulu, waktu Sang Adipati masih mu da, jadi pembesar berkuasa di W ilwatikta, tak ada sesuatu yang berharga telah dipersembahkannya pada Majapahit. D i tangannya juga Majapahit padam sinarnya. Sekarang dalam usia tuan ya, apakah yang bisa diperbuatnya? Untuk desa pinggiran ini pun tidak sesuatu ! Kalian ini kawula Sang Adip ati atau kah budaknya yang ditangkap di medan perang?”

“Kawula!” seseorang m emberikan jawaban.

“Mengapa raja kalian tak berbuat sesuatu untuk kalian?” “Rama!” seorang lagi berseru tegang,

“Rama telah….”

“Rama!” tegur kepala desa di belakangn ya. Matanya berbeliak menyemburkan api kemarahan. “Itu pemberontakan!” ia menuduh. “Paling tidak mengh asut pembangkan gan. Tidak lain dari Rama sendiri yang lebih mengerti aturan darmaraja.”

Orangtua itu menoleh ke belakang dan tertawa.

“Benar, pemberontakan, hasutan, ” dua-tiga oran g mu lai berseru-seru. Para hadirin mu lai gelisah, berselisih satu dengan yang lain. Suasan a tak terkendali. Orang tua itu sendiri tetap tenang bersila di atas tikarnya.

“Katakan itu di Tuban!” seseorang meraung.

(11)

juga Hyang W idhi, juga para dewa: sekali diucapkan, kebenaran meluncur turun dari ketinggian, menjalar ke mana-mana, berkemban g biak dalam hati manusia waras, karena kebenaran selalu datang dari Hyang Widhi sendiri. Juga kata-kataku akan samp ai ke T uban, ke bandar-band ar seberang…. ”

Juga di bawah bulan purnama itu beratus-ratus samp an mem bawa penduduk dewasa pesisir sedang menyisiri seluruh pantai Jepara, menyisiri Teluk Awur, pulau Kelor dan pulau Panjang.

Em pat ratus samp an telah mendarat di pulau Panjang, mem bawa pedang dan tom bak meneliti setiap sudut dan lapan gan. Seorang prajurit bertombak meraung: “Semua penduduk nelayan pulau Panjan g supaya m enghadap!”

D i tempat-temp at lain suara itu diteruskan, sambung menyam but berkait-kaitan. D an tak ada seorang nelayan pun datang mengh adap. Tak ada yang tahu ke mana mereka melarikan diri.

D alam sebuah rumpun bakau yang lebat orang menem ukan sebuah arca G anesya yang belum lagi selesai. Em pat buah besi pahat dan dua penohok tergeletak pada alas kaki arca. Ro mbongan penduduk pesiar Jepara itu terkesim a oleh pem andan gan itu.

Seorang prajurit berpedang m enghardik: “Mengapa ragu-ragu m enangkap?” ia lari menghampiri.

Ia sendiri terkejut m elihat arca belum jadi itu.

(12)

Tapi pendud uk pesisir Jepara dan prajurit pertam a itu ragu-ragu. Prajurit ke dua itu mendekati arca itu dan meludah inya.

“Lihat, dia diam saja aku ludahi,” kemudian ia menggoyang-goyan g kepala gajah yang belum jadi itu, “lihatlah, dia sama sekali tak ada kekuatan untuk melawan. Ayoh, gulingkan!” perintahnya kemu dian.

Prajurit pertama itu nampak malu dalam cahaya bulan. D engan langkah goyah ia mendekati G anesya belum selesai itu dan dengan takut-takut menyentuh belalain ya dengan tulunjuknya. D an belalai G anesya itu tidak hangat, juga tidak m embuktikan diri punya sakti.

“Ludahi dia!” perintah prajurit kedua. Prajurit pertama melengos. Ia tak beran i.

“Barangsiapa masih mengaku Islam, ayoh bantu aku gulin gkan batu ini!” pekik prajurit kedua.

Hanya sepuluh orang maju. Mereka mendorong kepala arca itu sampai terguling ke tanah . Prajurit kedua bersorak, pengikutnya juga bersorak.

“G uling-gulingkan sampai ke teluk!”

Makin lama makin banyak orang yang ikut serta. Tak lama kemudian terdengar batu itu tercebur ke laut dan hilang dari pandangan bulan dan manusia.

(13)

terletak di atas para-para. Pada sebuah dinding tergantung papan kayu nangka dengan lukisan seorang wanita cantik dengan dua jari tangan mem belai dagunya sendiri dan dengan tangan kiri m emegangi pergelangan tangan kanan.

Seorang prajurit menghancurkan tempayan itu dengan punggung pedangnya sehingga abu itu buyar berham buran. D engan mata pedangnya ia hancurkan lukisan itu berkeping-keping, kemudian menyepaknya berantakan. Sebuah kotak kayu tempat alat-lukis yang didapatkan di atas para-para dilemparkan keluar gubuk. Alat-alat yang telah berja mu r itu bergelatakan dalam cahaya bulan, diam, tidak bergerak lagi.

D i Jepara sendiri, di muara kali Wiso serombongan pembesar sedang turun dari sebuah kapal Tuban yang kena sergap. Begitu turun ke darat seorang di antaranya menengok ke belakang pada tiang utama kapal. Seorang pembawa payung berlari-lari mendekati dan mem ayunginya. Payung kuning dari sutera itu mengkilat bermain-main dengan cahaya bulan. Tapi orang itu tidak mengindahkan. Ia bergumam: “Lebih bagus dengan bendera kita.”

“Semua ikut mem andangi bendera putih yang berkibar malas dalam angin silir lemah itu. G ambar kupu-tarung di tengah-tengahn ya kelihatan hanya sebagai setump ukan garis sambung-putu s. Juga bendera itu dari sutera.

“Kupu-tarung lebih bagus daripada merah-putih,” seseoran g m emberikan tanggapan.

“Seluruh merah-putih majapahitan itu akan tumpas dari mu ka bumi.”

(14)

D engan sendirinya rombongan itu m engalihkan pandang pada sang bulan. N ampak semakin besar dan semakin kuning….

Juga di bawah bulan purnama itu beberapa puluh anak-anak, laki dan perempuan, sedang bernyanyi bersama di tanah lapang W ilwatikta, bekas ibukota Majapahit. Mereka sedang menyam paikan puji-pujian kepada sang bulan sebelum mem ulai dengan perm ainan malam. Mereka bergandengan satu dengan yang lain, merupakan lingkaran. D i tengah -tengahnya berdiri seoran g anak yang memimpin perm ainan.

Malam purnama ini jumlah mereka semakin sedikit. Setiap minggu ada saja yang meninggalkan W ilwatikta untuk selam a-lam anya, pindah ke G resik atau kota-kota bandar lainnya.

Juga di bawah bulan purnama itu di tanah lapang di ibukota kerajaan Blam bangan ribuan bocah sedang bernyanyi bersama seperti di Wilwatikta. Hanya bukan seorang nenek mem impin mereka, tapi seorang pedanda pria setengah baya. Perawan dan perjaka, beratus-ratus m e-lingkari bocah-bocah yang sedang menyampaikan puji-bulan. Antara sebentar semua bertepuk-tepuk dan bersorak-sorai. Seluruh dunia seakan dalam keadaan tenang dan dam ai, seakan tak ada lagi setetes darah mem erahi medan perang.

(15)

kekuatan lain berhak menjam ah bekas kera jaan Majapahit dan ibukotanya selam a darah Sri Baginda Kretarajasa, yang sekarang masih berdiri di Blam bangan. Tiga tahu n setelah mendudu ki Wilwatikta, 1489 M., pasukannya ditarik kembali ke Blam bangan. untuk mengalihkan perhatian orang dari Majapahit ke Blam bangan. Ia berhasil dan Pasuruan menjadi bandar besar. Kalau ada yang masih dirusuhkan oleh Sri Baginda Ranawijaya Girindra wardhana dan Patih Udara, hanya karena bandar Majapahit, G resik, tak dapat dipindah kannya ke Pasuruan.

N am un orang tak meneteskan darah di wilayah Blam bangan karena perang. Aman, damai dan kemakm uran melimpah .

D i balai-desa Awis Kram bil antara Rama Cluring dan para hadirin ketegangan semakin m enjadi-jadi. Hal itu tidak pernah terjadi dengan guru pembicara lain yang pernah datang ke desa ini.

“Betul!” orang mem ekik di tengah-tengah hadirin, “tidak lain dari Rama G uru sendiri yang lebih tahu tentang darmaraja. D ari Tuban datang pengayom an. Pengayom an itu yang mem buat Rama tidak tahu, setiap jengkal tanah yang kita pacul adalah milik G usti Adipati, dirampas dengan paran g dan tom bak dari tangan mu suh-m usuhnya dan dibenarkan oleh para dewa. Keringat kita, kita teteskan di atasnya dan panen pun jadi. Itulah harga dari semua upeti kita. Pengayom an, Rama, sehingga tak ada mu suh datang menyerbu kami. Anak-anak dap at bermain-main dam ai setiap hari. Hujan jatuh mem bawa kesuburan. D an keringat jatuh mem bawa kesejahteraan. ”

(16)

mencangkul. Petani tidak seperti itu kata-katanya. Putra ke berapa ratus kau dari Sang Adipati? Co ba sini, perlihatkan mu kamu.”

Pembicara itu tidak m enamp akkan mu kanya.

“Sayang kau tak berani mu ncul. Kau, orangmu da, sama halnya dengan perempuan pemalas yang merasa lebih beruntung jadi selir atau gundik di bandar-band ar daripada mendampingi seorang suami di sawah dan ladan g. Berbahagialah suami-istri yang sama-sama bekerja, maka haknya pun sama di hadapan para dewa dan manusia.

Rama Cluring berkom at-kamit dan mengo cok mata. Kemu dian ia tegakkan dad a, nampak menarik nafas panjang, m enghimpun kekuatan dari seluruh alam ke dalam paru -paru untuk disalurkan ke dalam sikapnya.

“D ari mana datangnya pengayom an kalau bukan dari upeti?” seseoran g bertanya ragu-ragu.

“D ari mana?” Rama Cluring menjawab. “Kalau upeti tak mu ncul, bukan pengayoman yang datang, tapi balatentara Tuban akan menumpas dan mengh ancurkan kalian dan desa kalian. Kalau perang datang, tak seorang pun di antara kalian mendapat pengayom an. Balatentara Tuban tidak. Sebaliknya kalianlah yang diwajibkan mengayomi dia!” ia tertawa menunggu tantan gan.

D i sebelah pinggir di antara para hadirin, gadis Idayu menyikut pacarnya, G aleng, berbisik: “Jadi, apa maunya?”

“D engarkan saja,” kata G aleng.

(17)

kalau perang datang. Mangayomi diri sendiri pun tak bisa, apalagi mengayomi rakyatmu. Di waktu damai kalian bersorak-sorai tentang pengayoman demi sang sisa upeti. Kalau kalian sudah seperti itu, bagaiman a pula macam rajam u?”

Ketegangan sekaligu s berubah jadi ketakutan.

“Apa kalian takuti? Akan datang masanya kalian akan lebih, lebih ketakutan. Bukan karena kata-kataku. Mari aku ceritai: jam an ini adalah jaman kemerosotan. Raja-raja kecil bermunculan pada berdiri sendiri, karena rajad iraja tiada. Kekacauan dan perang akan mem buru kalian silih-berganti. Lelaki akan pada mati di medan perang. Perempuan akan dijarah-rayah dan kanak-kan ak akan terlantar. Kalian takkan ditump as karena kata-kataku. Kemerosotan jaman dan kemerosotan kalian sendiri yang akan menumpas kalian selam a kalian tak mampu menahan kemerosotan besar ini.”

Ia diam.

Para pendengar terdiam. Mereka telah terbiasa terpengaru h oleh ram alan orang tua-tua pengembara yang telah jauh langkah. Kakek-kakek mereka telah lama meram alkan akan datangn ya perang yang tiada kan habis-habisnya bila dewa-dewa telah berganti dan bila berbagai bangsa dengan berbagai warna kulit telah mu lai berdatangan menjam ah bumi Jawa.

“Rama G uru,” seorang wanita dengan suara mendayu-dayu mem ohon , “bila kekacauan dan perang akan mem buru-buru kami silih berganti, bukankah akan sia-sia semua yang sudah kami kerjakan dan usahakan?”

(18)

diatasi,” ia mulai mengubah nada suaranya menjadi lunak dan ram ah. “D i masa itu semua orang boleh mem bikin bata. Setiap orang boleh mendirikan candi keluarga, tempat menyimpan abu para mendiang. Setiap orang boleh belajar mengecor besi dan mencetaknya. Tidak seperti sekarang. Menem pa besi dan baja pun tidak diperkenankan, kecuali atas perintah. D ahulu perawan-p erawan pada menenun sutra. Di mana-man a nampak pakaian gemerlapan bermain dengan sinar matari. Sekarang ulat sutra pun tumpas. Orang hanya menenun kapas. Ulat sutra yang tinggal hanya ditenun untuk layar perahu dan kapal besar dan untuk pengantin. Saluran yang dulu dibikin di mana-m ana sekarang sudah pada mendangkal. Kapal besar tak lagi dap at masuk ke pedalaman. Tak lagi riam dan sangkrah dibersihkan oleh pasukan-pasukan laut. Tak lagi sungai-sungai dipelihara. D i jaman Majapahit para punggawa disebarkan ke seluruh negeri bukan untuk mem ata-matai kawula. M ereka bicara dengan bocah-bocah. Bila anak-anak itu tak dap at menjawab pertanyaan mereka, baik kepala desa mau pun bapa-bapa mandala kena teguran. D engan demikian setiap bocah dapat membaca dan menulis, tahu akan dewa-dewa dan hafal akan banyak lontar.”

“Berap a um urm u. Rama G uru, maka tahu banyak tentang jaman kejayaan Majapahit?” seorang gadis bertanya. “D ua ratus?”

Rama Cluring mendeham dan mem bersihkan kerongkongan.

“Tak ada oran g hidup sampai dua ratus. Lebih beberapa puluh tahun dari seratus. Menurut perhitungan surya.”

(19)

“D i bandar-bandar ada oran g yang mulai menggunakan perhitungan rembulan – orang-orang gila itu. Mereka mem punyai dewa lain dari kita. Mereka hidup hanya dari berdagang, tidak menginjakkan kaki di sawah ataupun ladang. Mereka hanya hidup dari pantai dan dari laut. Mereka tak mem erlukan gunu ng. Mereka tak memerlukan surya. Mereka hanya mem erlukan harta dan kekayaan.”

“Mereka penyembah rembulan. Rama G uru?”

“Aku belum lagi tahu . Barangkali. Mereka itu yang mem bikin para bupati dan adipati pesisir hanya mengingat pada harta-kekayaan, lupa pada Bagin da Kaisar di Majapahit. Mereka pengaru hi bupati dan adipati pesisir supaya tak mem bikin kapal-kapal lagi. Mereka menyuap dengan mas, tembikar, sutra, kain khasa, permadani…. Mereka petualang-petualang dari Atas Angin. D i pesisir Atas Angin sana m ereka sam a saja tingkahnya. Perhitungan rem bulan menjalar seperti wabah. Kemerosotan jaman, jaman gila. Orang mu lai tak dapat memilih apa yang baik untuk dirinya. Tak heran, di mana mandala tidak berdaya, orangtua tak tahu sesuatu kecuali kesenangan sendiri…. Yang paling tidak horm at pada para dewa juga yang paling mu la jadi korban wabah dari Atas Angin ini. Bahkan tulisan kita, tulisan kita yang sempurna sandang dan sukunya…. boleh jadi…. sudah mu lai mu ncul tulisan yang sama sekali tidak berbunyi…”

“Adakah Rama Cluring pernah lihat tulisan itu?” Orang tua pendek kecil itu tiba-tiba mengangkat telunjuk. “D engar!” perintahnya.

Semua terdiam. Baung dan salak dan lolong anjing, ratusan di tengah hutan, kembali menggelom bang.

(20)

bencana, malapetaka yang membikin semua lebih merosot tersedot lumpur.”

Ia menoleh kepada kepala desa. Bertanya: “D arm araja? Pengayom an? Apakah yang sudah diperbuat oleh Sang Adip ati Tuban Tumenggung Wilwatikta waktu para bupati pesisir mu lai mem bangkang mempersembahkan upeti? Bukankah Sang Adipati itu rajam u sekarang? Bukankah sebagai Tum enggung W ilwatikta, penguasa tertinggi atas keamanan dan kesejahteraan ibukota Majapahit, W ilwatikta, justru ia bergabung dengan yang lain-lain, mem bangkang mempersembahkan upeti, malah tetap mengu kuhi wilayah kekuasaan yang didapatnya dari darmaraja, membentan g dari Tuban samp ai Jepara – sebuah kadipaten dengan tidak kurang dari lima buah bandar?”

‘Tak pernah ada yang menggugat seorang raja!” bantah kepala desa, “karena hanya dengan karunia Hyang Widhi saja seseoran g bisa bertahta! Bukankah Ram a G uru dengan demikian menghujat Hyang Widhi?”

“Uah! Seperti kau tidak mengenal anak tani bernama Ken Arok. D itum bangkann ya akuwu dan raja, dan sendiri marak jadi raja, memerintahkan menjawakan kitab-kitab suci, mem erintah kan dilaksanakannya gaya baru dalam bangun an-bangunan suci.”

“Maka juga Ken Arok Rajasanagara ditumban gkan.” “D itum bangkan. Tapi darahnya telah bangun kan kekaisaran Majapahit yang tiada tara. ”

“D an M ajapahit pun tumbang.”

(21)

Hanya kaki yang kuat, bahu yang kukuh, mampu memikul pilihan Hyang Widhi.”

“N egarakertagama dan Pararaton tak bilang begitu.” “D an apa katanya tentang Adipati pembangkang yang bersekutu dengan pedagan g-pedagang Atas Angin yang berdewa lain?”

“W aktu itu belum ada Sang Adipati.”

“Maka akulah yang mengatakan, demi Hyang Widhi, karena tugasku hanya mengatakan tentang kebenaran. Tulikah kau? Tiada kau dengar baung, lolong dan gonggong anjing-anjing hutan itu? Tak tahu kah kau itu pesta untuk haridepanku yang bakal cepat tiba, lebih cepat daripada yang kau sangka?”

Untuk menghindari pertengkaran kepala desa terdiam. Matanya berpendar-pendar dari wajah ke wajah di antara hadirin. Ia meminta pengertian, bantuan dan simp ati. Hadirin sendiri sedang tercengkam. Mereka tahu Rama CIuring sedang menggugat Sang Adipati, manusia pertama yang berani lakukan itu. D an ketegangan m enarik oto t-otot mu ka mereka sehingga seperti terbuat daripada kayu jati. D an keseram an mewarnai wajah-wajah itu oleh berpuluh mata sum bu damar-sewu yang selalu berayun tak pernah tenang dan m enggeletarkan semu a bayang-bayang.

D i luar, di langit, bulan purnam a bertahta tanpa tand ingan dalam kebeningan. Ia hanya tersenyum melihat ratusan anjing yapg menggonggonginya dalam kebotakan hutan.

(22)

jari-jari itu hanya pandai mengambil untuk dirinya sendiri dan tidak bisa m emberikan sesuatu untuk kawulanya.”

“Kata-kata itu tidak terdapat dalam lontar, Rama G uru ,” seorang di antara hadirin angkat bicara.

“Apa kau akan bilang kalau aku mem bubuhkannya pada lontar? Ambilkan lontar, besi penggurit dan jelaga, biar yang terpandai di antara kalian menuliskannya.”

“Belum perlu, R ama G uru,” kepala desa itu menegah. “Mem ang belum perlu,” pembicara itu meneruskan. “Rama, kami nampak memang kurang harga diri, kurang kehorm atan, m ungkin juga mem ang bebal. Tapi kami hidup dalam kesejahteraan, keamanan dan perdam aian. Sebaliknya, Rama G uru, kata-kata Ram a sendiri yang me-nempatkan kami semua dalam bahaya kemusnahan. Rama, tidak lain dari R ama!”

Rama CIuring mendengus meremehkan. Suaranya enteng mengamban g di udara malam yang hangat itu.

“Untuk mencapai desa ini, balatentara Tuban paling tidak membutuhkan satu-dua hari. Kalian tidak akan ditump as. Setiap saat setiap orang di antara kalian yang tidak dungu bisa tinggalkan desa ini, menyeberan g perbatasan, mem ohon perlindun gan Sang Bupati Bojonegara.

(23)

Budak Tuban, budak Sang Adipati sama dengan mu suh-mu suhnya yang telah ditaklukkannya. D itaklukkan tanpa perang!”

“Baiklah kami ini budak tanpa dikalahkan dengan perang. Katakan pada kami. Rama G uru, bagaimana agar kami tidak jadi budak?”

“Rama Cluring yang bijaksana,” seorang lain lagi menyerondo l, “bukankah Rama G uru lebih dari tahu, setiap saat datang pengawal perbatasan berkuda?”

“D ia juga perlu mendengarkan kata-kataku ini.”

“Tidakkah Rama G uru akan dibawanya ke Tuban dan diadili?”

“Bukan pertama terjadi kebenaran diadili. Bukankah mandala kalian pernah mengajarkan: kebenaran tak dap at diadili, karena dialah pengadilan tertinggi di bawah Hyang W idhi. Kalian tahu kelanjutannya: Barangsiapa mengadili kebenaran , dia mem anggil Sang Hyang Kala, dia akan dilupakan orang kecuali kedunguan nya.”

Ia tersenyum dan menganggu k-angguk.

(24)

Kapal peronda pantai dengan layarnya yang berkilat-kilat itu menyeberangi malam dan menyeberan gi Laut Jawa dengan cepat. Dari kejauhan nampak seperti naga laut yang tak kelihatan buntutnya. Puluhan pendayung yang seirama mem belah perm ukaan mem ercikkan air dan semburannya menari dengan cahaya bulan. Layar kemudi yang menggembung di atas haluan, bahkan lebih depan dari haluan itu sendiri, melengkung seperti busur yang sedang ditarik.

W aktu lampu menara bandar Tuban mu lai hilang-mu ncul di atas kepala om bak terdengar pekikan aba-aba. Tak lama kemudian menyusul ledakan di belakang layar kemudi. Peluru cetbang meluncur ke udara dengan buntut api yang kuning merah meninggalkan asap yang segera lenyap.

Beberapa bagian dari detik, dan peluru itu meledak di langit. Api menyemburat melontarkan bunga api yang mem buat lonjakan ke atas, kemudian ke bawah, ke tiadaan. Ledakan itu menyebabkan perm ukaan laut gemerlapan beberapa detik, kemudian kembali jadi manis berm ain-main dengan cahaya bulan kembali. Ledakan di langit yang sebentar tadi menandingi bulan kini lenyap tanpa bekas.

Kapal itu terus melaju. Layar-layar mu lai diturunkan. D engan cepat mem belok ke kanan, bergerak hanya dengan kekuatan dayun g. Juga layar kemudi tidak nampak lagi. Lunas itu menerjang alun dan om bak pada sudut lebih besar daripada semula. D an semua alun dan om bak terus juga berkejar-kejaran, berebut dulu untuk mengh antam pesisir utara pulau Jawa.

(25)

Rama Cluring segera mengambil cawan tanah yang diletakkan oleh anak gadis Kepala desa. Ia angkat tinggi, mem perlihatkan pada semua hadirin, ia hendak mem inumn ya. Ia baru habis menceritakan tentang ke-besaran Majapahit dengan angkatan lautnya, dengan ilmu dan ketrampilan mem bikin kapal-kapal samu dra, dengan wilayah kekuasaannya.

“Sekarang aku hendak teguk lagi tuak desa ini. Sebelumnya, dengarkan: jangan bandingkan Majapahit dengan Tuban ini. Kalian sendiri yang mengatakan: hanya sembilan hari dibutuhkan untuk mengedari seluruh wilayah Tuban – itu pun hasil pengkhianatann ya terhadap Majapahit. Pahami pergantian jaman, biar kalian tidak didera oleh perang. Tinggalkan kebebalan. D engarkan kebijaksanaan. Kalau perang sudah pecah, tak selembar dau n dapat kalian jadikan pengayoman. Ingat kata-kataku: Kalau kemerosotan ini tak dapat dicegah, takkan lama lagi, dan perang akan pecah di mana-mana. D ari desa dan kota petani-petani akan digiring, mati untuk raja-raja kecil yang tak pernah berbuat apa-apa untuk kalian.”

Ia rendahkan cawan, menaruhnya pada bibir dan meneguknya sekali habis.

“D ewa Batara!” sebutnya keras, berpaling cepat pada kepala desa, kemu dian menudingnya: “Lihatlah ini tam pang kepala desamu , takut pada kebenaran, pada keadilan, agar dia tetap jadi kepala desa, dia telah racun aku!” Cepat ia tarik mu kanya dan berseru pada para hadirin: “D ia telah racun aku! D an kalian kenal siapa aku, hanya seorang pembicara yang menggaungkan kebenaran milik Maha D ewa.”

(26)

“Rama!” seseoran g berteriak dan lari ke depan hendak menolongnya.

Rama Cluring bangkit berdiri dengan susah-payah. Kepala desa menolongnya dari belakang, berseru lantang: “Tak ada seorang pun meracun Rama. Kami semua mengh ormati Rama.”

“D engar si mu lut palsu ini! D engarkan , kalian, semua penduduk Awis Kram bil!”

Ia lepaskan diri dari pegangan kepala desa, melom pat keluar dari balai desa.

Setiap guru-pembicara punya gaya dan cara sendiri dalam usaha mem pengaruhi dan mengetahui sampai di mana pengaruhnya bekerja. Setengah hadirin menganggap tingkahn ya juga bagian dari gaya dan cara. Mereka masih terpaku pada tempatnya bersila.

Yang menganggap benar-benar Rama Cluring terkena racun cepat-cepat bangkit dan lari mem buru. Tak pernah terjadi seorang guru-pembicara mengalami penganiayaan di desa mana pun.

Orang tua itu terus juga berjalan sambil menekan perutnya dengan kedua belah tangan. Ia tak menoleh. Ia menolak tuntunan orang.

(27)

Idayu melepas kain dada dari bahu dan menyelim utkan pada dada R ama setelah menyembah m eminta ampun. D an Rama tidak menolak.

Tiba-tiba guru berhenti, mem bungkuk dan muntah. “Rama! Rama!” bisik G aleng.

“Beri aku minyak kelapa!” pinta Rama Cluring. Ia mu ntah lagi. “Cepat!”

“Mem ang terkena racun !” di belakang orang mem beri kom entar.

G aleng menyembahnya, cepatnya mengangkatn ya dan mem bawanya ke rumah Idayu, mem baringkannya di atas am bin bambu. Idayu lari ke dap ur, kembali lagi dan menuangkan minyak kelapa ke mulut oran g tua itu.

G uru-pembicara itu meliuk-liuk gelisah pada pinggangn ya.

Ru angan sempit rumah Idayu segera jadi penuh. Orang dud uk berdesak-desak di lantai untuk menyatakan prihatin. D an setiap oran g menyembah sambil mengu capkan perm ohonan ampun.

“D iam! D iam semua. Rama sedang sakit,” G aleng mem peringatkan. Ia tekan-tekan perut orang tua itu agar mu ntah.

(28)

Mengetah ui bukan kelapa hijau, Rama bergum am: “Semua air adalah air kehidupan. Mati aku, D ewa Batara.” Matanya terbuka dan disapukan pandan gnya pada mereka yang dud uk berdesak di atas lantai. “Pulang, pulang kalian semua.”

“Mereka mencintai dan mengh ormati Ram a. Ampuni mereka yang jahil,” bisik Idayu.

“Terlambat, gadis.”

“Mereka masih haus akan kata-katam u.”

“Tak ada guna cinta dan hormat, ” Rama meliuk-liuk dan meringis kesakitan. “Kalau kata-kataku bisa hidup dalam hati mereka, cukup sudah.” Ia mu ntah.

Air kelapa campur minyak keluar dari m ulut berjalurkan dengan benang darah hidup.

Idayu menyeka mu lut, leher dan bahunya yang basah dengan selembar kain.

“Batara!” sahut Idayu. “Mengapa jadi begini, Rama?” G aleng mengh am piri orang banyak, bergumam mengancam: “Kalau tidak suka pada kata-katanya, mengapa tak mengu sirnya saja? Atau mem berinya kecubung? Mengapa m esti diracun?”

“Rama G uru juga salah,” seseorang mem bantah. “D iam kau!” bentaknya.

“Bagaimana bisa diam? Dia telah mem bahayakan kita semua: balatentara Tuban itu….”

(29)

“Meracun seorang guru…. hanya orang keparat melakukannya. G andarwa pun lebih baik.”

Rama muntah lagi. W arnanya merah seluruhnya. Minyak dan air kelapa tidak mempan. Oran g berlarian mencari lagi di rumah-rum ah. W aktu telah didapatkan Rama Cluring telah tergolek pingsan.

“Terlalu, terlalu,” orang m enyesali.

D an pelita di tengah-tengah ruangan itu, berdiri di atas jagang bambu berkaki, berayun-ayun cepat. Baung anjing dari botakan hutan telah berkurang, kemudian padam sama sekali.

“Rama, Rama,” panggil Idayu, “jangan kutuki kami, jangan sumpahi kami, jangan tulah kami, demi Hyang W idhi, demi desa Rama sendiri, demi kesejahteraan kami semua, ya Rama, Rama…”

0o-d w-o0

Begitu kapal peronda pantai itu merapat pada derm aga bandar Tuban kota, bulan sudah mu lai menggeser ke titik tertinggi dan kini mu lai agak condong.

Seorang dengan menuntun kuda mengh ampiri kapal. Patragading melompat turun. P enuntun kuda itu bersimp uh kemudian menyembah.

(30)

“Tuanku Patragading Jepara. Ampuni kami.”

Patragading melompat lagi ke atas kudan ya, mem asuki halam an luas tertutup rumput pendek dengan pinggiran ditanami bunga-bungaan. Sampai di pendopo seseorang berlarian datan g padanya dan menyembah, kemudian mengambil-alih kuda tunggangannya. Seorang prajurit lain datang, bersimpuh dan menyembah: “Menunggu titah, Tuanku.”

“Bangunkan Sang Patih, sekaran g juga.”

Patragading berdiri bertolak pinggang tanpa mem pedulikan prajurit yang diperintahnya lari menjauh darinya, melalui samping gedung besar itu dan hilang dari pemand angan.

Pendopo yang gelap itu kini diterangi dengan damarsewu pada tengah-tengahnya. Mata-m ata sum bu itu menyala berkibar-kibar dalam barisan seperti prajurit baris. Patragading segera mengh adap ke pendopo, bersimp uh di atas lantai tanah. Kumisnya yang tebal berkilat-kilat, juga camban g dan jenggot. Jelas benar telah diminyaki dengan minyak katel! Kain batiknya terbeber di selingkaran kaki. Kalung dan gelang masnya berkilat-kilat. Ia menunduk dalam .

“Anakanda Patragading!” Sang Patih mem asuki pendopo. Ia berpakaian kain batik, berdestar batik dan berkerudun g kain batik pula pada dadanya.

Patragading mengangkat sembah. Kemu dian mem betulkan letak kerisnya.

(31)

D an Patragading berjalan mendekat dengan lututnya sambil mengangkat sembah, merebahkan diri pada kaki Sang Patih.

“Ampuni patik, mem bangun kan Paduka pada malam buta begini Kabar duka, Paduka. Balatentara D emak di bawah Adipati Kudu^ memasuki Jepara tanpa diduga-duga, menyalahi aturan perang.”

“Allah D ewa Batara!” sahut Sang Patih. “Itu bukan aturan raja-raja! Itu aturan brandal!”

“Balatentara Tuban tak sempat dikerahkan, Paduka.” “Bagaimana Bupati Jepara?”

“Tewas enggan menyerah Paduka,” Patragading mengangkat sembah. “Sisa balatentara Tuban mundur ke timur kota. Jepara penuh dengan balatentara D emak. Lebih dari tiga ribu oran g.”

“D ari mana D emak dap at mengumpulkan brandal sebanyak itu?”

“Patik tidak tahu, Paduka.”

“Apa saja kau kerjakan samp ai tidak tahu? Bukankah D emak dukuh tidak berarti selama ini?”1

“Inilah patik m enyerah kan hidup dan m ati patik.”

Sang Patih bertepuk tangan tigakali. Satu regu prajurit berlarian datang, bersenjata tom bak dan perisai.

[1] Minyak kelapa direbus dengan laba-laba tanah jenis besar berwarna dan berbulu hitam untuk penghitam ram but. 2. Setelah itu biasa disebut adipati Unus; setelah meninggal disebut Pangeran Sabrang Lor.

(32)

2. Tuban

“Tahan dia ini, Patragading, putra Sang Adipati. Ayahandanya sendiri yang akan menentukan hidup dan matinya.” Patragading digiring keluar pendopo. Begitu turun ke tanah ia memandangi bulan, mem ukul dadan ya, bergum am: “Apakah masih patut aku mem bawa mukaku sendiri?”

“Jalan ke kiri, Paduka!” perintah kepala regu, dan berbarislah mereka meninggalkan halaman kepatihan.

Sang Patih masih tegak berdiri di tempatnya. Ia menggalang pelahan, kemudian berbalik dan masuk ke dalam rumah.

Palin g tidak telah seribu tahun perahu dan kapal-kapal berlabuh di bandar Tuban Kota. D ari barat, timur dan utara. D ari timur orang membongkar rem pah-remp ah dari kepulauan yang belakangan ini mu lai disebut bernama Mameluk (N ama yang diberikan oleh pedagang-pedagang Arab, kemudian berobah jadi Maluku.) dan cendana dari N usa Tenggara. D ari Tuban sendiri oran g memu nggah beras, minyak kelapa, gula garam, minyak tanah dan minyak-minyak nabati lainnya, kulit binatang hutan.

D ari laut bandar Tuban Kota namp ak seperti sepoto ng balok, pepohonan dan tam an-taman. Bila lumut hijau hilang dan mu ncul coklat baru, itulah kamp ung-kamp ung nelayan. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah bandar Pasukan Laut dan galangan kapal. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah bandar alam lainnya yang dimiliki negeri Tuban.

(33)

D an di atas perbukitan adalah langit para dewa.

Bandar Tuban adalah bikinan alam yang pemurah, disempurnakan oleh tangan manusia selam a paling tidak seribu tahun. Lautnya dalam dan dermaganya kokoh, indah, juga bikinan alam, sepoto ng jalur karan g yang menjorok ke laut. Pedagang-pedagang Atas Angin m enamai bandar ini Permata Bumi Selatan.

D an bila orang mendarat dari pelayaran, entah dari jauh entahlah dekat, ia akan berhenti di satu tempat beberapa puluh langkah dari dermaga. Ia akan m engangkat sembah – di hadapannya berdiri Sela Bagin da, sebuah tugu batu berpahat dengan prasasti peninggalan Sri Airlangga. Bila ia meneruskan langkahnya, semua saja jalanan besar yang dilaluinya, jalanan ekono mi sekaligus m iliter. Ia akan selalu berpapasan dengan pribumi yang berjalan tenang tanpa gegas, sekalipun di bawah m atari terik.

Kalau orang datang untuk pertama kali, segera ia akan terpikat melihat lalu lalang. Orang tak henti-hentinya mengangkuti barang dari dan ke bandar, dengan pikulan atau grobak beroda bulat dari potongan batang kayu. Kereta sangat sedikit, apalagi yang beruji kayu. Lebih banyak lagi gro bak beruji. G robak beroda kayu utuh berasal dari pedalaman, yang beruji dari kota sendiri. Penariknya adalah sapi atau kerbau. Seoran g pendatang boleh jadi akan bertanya, mengapa tak ditarik oleh kuda? D an dengan senang hati orang akan menerangkan: tak diperkenankan menggunakan kuda atau diri sendiri untuk penarik grobak

(34)

Bila kereta berkuda empat semacam itu lewat, lalu lintas berhenti, menyibakkan diri untuk mem beri penghormatan. D ari jauh telah terdengar gerincing giring-giringnya dari kuningan berkilat-kilat dan namp ak umbul-um bul beraneka warna, bendera jabatan dan kesatuan. Kuda-kud a penarik itu pun dihias dengan gom bak dan lim bai aneka warna. Abah-abahn ya berkilat-kilat dengan hiasan dari tembaga, kuningan, perunggu dan perak, kadan g juga dari mas. Juga orang-orang asing diwajibkan berhenti bila kereta lewat, penduduk berlutut menyembah. D an bila kereta Sang Adip ati sendiri yang lewat, juga penduduk asing harus menyembah dengan caranya m asing-masing.

Lalu lalang di bandar beraneka ragam. Oran g-orang asing, Arab, Benggala, Parsi, bangsa-bangsa N usantara, Tionghoa, bergaya dengan pakaian negeri masing-m asing. Pribumi sendiri juga beraneka. Pria beram but pendek, bahkan gundul tak berdestar atau berkopiah, adalah mereka yang telah menan ggalkan agama leluhur. Mereka tidak berkain batik, tetapi berkain tenun genggan g atau polos tanp a belahan , tak mengenakan wiron atau dodot. Pria beram but panjang berdestar batik pertand a masih mengu kuhi Buddha atau Shiwa atau W isynu, dan hampir selalu berkain batik atau wulung. D an bila ram but panjang mereka tergulung dalam destar, itulah pertanda mereka pedagan g pedalaman yang berurusan dengan pedagan g-pedagan g beragama Islam.

(35)

Lima tahu n yang lalu sidang para pedagang Islam telah mengh adap Tuanku Penghulu N egeri, memo hon agar para wanita m enutup buahdad anya. Sejak itu semua wanita yang keluar dari rumah diharuskan mengenakan kemban. Maka sekarang mereka tak bertelanjang dada lagi seperti halnya dengan kaum pria Pribumi.

Anak-anak kecil bermain-main dalam rombongan besar di setiap lapangan terbuka, mengisi udara pagi dan sore dengan cericau, tawa dan sorak-sorainya. Lima tahu n yang lalu jaran g terjadi yang demikian. Setelah sidang para pedagan g Islam, pribumi dan asing menghadap Tuanku Penghulu N egeri agar mem batasi penghajaran kafir pada kanak-kan ak, asrama-asrama mu lai ditinggalkan oleh mereka, dan mu lai mereka bergentayangan tanpa penggembala.

Ke mana pun mata ditebarkan, keadaan aman, dam ai, sejahtera. Tetapi semua itu semu belaka.

Sejak jaman-jam an yang tidak dapat diingat lagi Tuban terlalu sering dihembalang bencana perang dan kerusuhan. N am un buminya tak juga jenuh tersiram darah putra dan putrinya, juga darah mu suh-m usuhnya yang datang menyerbu.

D ua kali negeri ini dilanda perang besar. Pertam a oleh balatentara Kublai Khan, cicit Jengis Khan yang bertahta di Khan Baliqr Seperti air bah prajurit-prajurit Tartar mendarat dari laut, menyapu Tuban yang sama sekali tak mampu bertahan terhadap senjata api. N egeri ini terinjak-injak balatentara yang bersepatu itu, dan meninggalkannya lagi untuk meneruskan penyerbuannya ke Singasari. Orang bilang ini terjadi pada 1292 Masehi.

(36)

mem erintahT uban waktu itu adalah Adipati Ranggalawe, salah seorang pendiri Majapahit. Pertentangannya tentang kebijaksanaan praja dengan Sri Baginda Kartarajasa, raja pertam a Majapahit, menyebabkan balatentara Majapahit datang menyerbu. Seluruh kota dihancurkan. Tak sebuah rumah tinggal berdiri, rata dengan tanah, termasuk bangun an-bangunan suci dan galangan kapal. Adipati Ranggalawe sendiri gugur. D an kota, yang dibangun pada awal abad ketujuh M asehi itu binasa.

Setelah perang besar kedua selesai, yang tertinggal setengah utuh hanya Sela Baginda, didirikan pada awal abad ke XI Masehi.

Bagin da Sri Kartarajasa mengangkat seorang bupati baru. D ua puluh tahu n lamanya pembangunan kembali kota Tuban dilaksanakan. D an Sri Baginda mem bebani gubernur baru itu dengan tanggun gan pasukan G ajah, yang menjadi inti kekuatan darat balatentara Majapahit. Penataran dan galangan kapal dipulihkan, diperbesar, samp ai menjadi penghasil kapalperang dan niaga terbesar di seluruh Jawa, seluruh N usantara, seluruh dunia peradaban.

Sekarang tidak demikian lagi.

(37)

Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa belayar kenta ra, ke Atas Angin , ke Camp a ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya aru s dari utara semakin deras, mem bawa baran g-barang baru, pikiran -pikiran baru, agam a baru. Juga ke Tuban.

G ubernur Tuban, Sang Adipati Arya Teja Tumenggung W ilwatikta, bertekad mempertahankan kedamaian itu, keamanan, ketenteraman dan kesejahteraan sekarang dengan mengem bangkan perdagangan antarpulau. Ia menyokong diperbesam ya armada dagang ke Maluku. D agan g! D agang saja. Ia tak berminat meluaskan kekuatan ke laut. Ia tak menghendaki Tuban jadi kekaisaran benua seperti Majapahit dengan terlalu banyak urusan. D alam usia tua ia hanya ingin bertenang-tenan g. Angkatan Laut tidak diperlukannya, sekedar cukup jadi penghalau bajak dan perompak, serta melindungi pantai dari gangguan mereka. D i bawah pemerintahan dan kebijaksanaannya bandar Tuban berkemban g mendesak bandar G resik, menjadi pusat penump ukan rempah-rempah dari Mameluk dan N usa Tenggara.

Ham pir setiap bulan Sang Adip ati datang berkuda ke pelabuhan . Di depannya berderap pasukan pengawal berkuda, bertom bak, berperisai, dengan pedang tergantung pada pinggang. Jum bai dan pitamerah menghiasi tombak mereka. D i belakangnya berderap pasukan pengawal lagi.

G emerincing “giring-giring mereka serta kepulan debu menyebabkan orang dari jauh-jauh telah bersimpuh di tanah dan mengangkat sembah kepala.

(38)

Karena semakin tua ia semakin mengutamakan perniagaan oleh para bupati tetangga, ia dianggap telah kehilangan keksatriaann ya. Padahal, kata salah seorang di antara mereka, kalau dia mau, dengan pasukan gajahnya yang berabad jadi perisai Majapahit, dengan kekayaann ya yang datang dari laut, sebenarnya ia mampu menaklukkan tetangga-tetangganya dan sendiri marak jadi kaisar.

D irasani begitu ia hanya tertawa.

Sekali waktu Sang Adipati mempersembahkan ada seorang bupati lain yang m engejeknya dengan nam a Rangga Demang, Rangga dikerat dari nama Ranggalawe yang perkasa dan D emang adalah pangkat rendah dalam kepunggawaan praja, ia menjawab tak peduli: Orang juga boleh menyebut seperti itu.

Maka para bupati tetangga semakin yakin, Sang Adipati mem ang bukan lagi seorang ksatria, telah merosot jadi sudra.

Ia sendiri tak pernah merasa terhina dengan segala julukan dan ejekan. Pendirian dan sikapnya tetap: perniagaan antarpulau harus terus dan makin berkemban g. Bandar haru s makin banyak disinggahi kapal-kapal Atas Angin , N usantara dan Tiongkok. Pertah anan negeri Tuban sendiri dianggapnya m udah. D engan Pasukan G ajah Tuban yang masyhur ia percaya akan dapat mem ukul mundur setiap dan semua penyerbu. Ia telah letakkan dasar jaringan pengawasan daerah-daerah perbatasan, dilaksanakan oleh satuan -satu an berkuda yang terus-m enerus bergerak.

(39)

Tak juga ada yang berani menyerbu. Mereka tetap segan terhadap Pasukan G ajah. D an semua orang tahu, seekor gajah sama amp uhnya dengan dua ratus prajurit kaki yang tangguh. Sedang binatang itu tak kenal kecut apalagi khianat.

Ia telah berhasil menciptakan cara untuk mengikat kesetiaan desa-desa perbatasan dengan jalan mengambil hati penduduk: bunga-bunga tercantik diselir dengan gelar N yi Ayu, dan mengirimkan keturunannya kembali ke desa sebagai punggawa dengan gelar Raden Bambang dan menjadi pujaan desa. D engan demikian Sang Adipati telah menyebarkan ratusan dari anaknya di seluruh negeri.

Untuk pembiayaan praja, desa-desa dikenakan upeti sepersepuluh dari setiap dan semua macam penghasilan dengan tam bahan khusus:

jatah untuk umpah gajah serta pembuatan dan pemeliharaan jalanan um um. Segala yang berhubungan dengan bandar dan wilayahnya dibiayai dengan penghasilan bandar. D an Ishak Indrajit yang mengurus semua itu. Patih Tuban bertindak sebagai pengawas tertinggi dan pengatur tertinggi semua pekerjaan .

Sang Adip ati sudah puas dengan semua itu. Ia tak ingin terjadi suatu perubahan. Semua kawula mempunyai penghidupan yang layak. Semua lelaki dap at menghias dirinya dengan keris dengan pamor dan rangka sebagus-bagusnya. D an nampaknya semua akan abadi seperti itu samp ai ia mati dan juga setelah ia mati, untuk selam a-laman ya.

(40)

bendera Majapahit untuk negeri dan kapal-kapalnya, merah-putih, hanya lebih panjang daripada yang lama.

Tuban tidak hanya panglima tetap. Menurut tradisi Majapahit pula hanya di waktu perang seoran g adipati atau menteri ditunjuk mem egang jabatan itu. Setelah Majapahit jatuh dan Tuban jadi negeri bebas, kebi asaan tak berpanglima diteruskan. Keam anan Tuban Kota dilakukan oleh Pasukan Pengawal yang tidak banyak jumlahn ya. Keselamatan praja dijaga oleh Pasukan Kuda, G ajah dan Kaki. Keam anan pantai dipegang oleh Pasukan Laut, yang juga tidak banyak, sedang keamanan desa-desa dilakukan oleh pagard esa yang terdiri atas pemuda-pemuda pilihan.

Untuk mengambil hati rakyat di pesisir yang makin banyak yang mem eluk Islam, ia telah perintah kan berdirinya sebuah mesjid di wilayah pelabuhan. D alam waktu pendek bangun an itu telah menjadi suatu perkam pungan Islam dari oran g-orang Melayu, Aceh, Bugis, G ujarat, Parsi dan Arab.

Sang Adipati tak pernah punya kekuatiran akan timbulnya pertentangan karena agam a. Sejak purbakala penduduk Tuban tak punya prasan gka keagamaan. Orang berpindah agama karena kesulitan dalam penghidupan, merasa dewa sembahannya tidak menggubrisnya maka dicarinya dewa sembahan lain.

Sang Adipati juga mengijinkan berdirinya sebuah klenting batu yang jadi pusat perkampungan penduduk Tionghoa, Pecinan. Klenting yang lama telah dianggap terlalu kecil. Yang baru didirikan di sebelah barat pelabuhan .

(41)

D emak mu lai bergerak dan meramp as Jepara, daerah kekuasaan Tuban….

Tenang dan dam ai keadaan Tuban Kota. G elisah hati Sang Adipati yang telah lanjut usia itu.

Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan . Sang Patih mengiringkan di belakangn ya. Para pengawal di depan sana telah berhenti di pasiran pantai. Sebagian mengh adap ke laut biru-kuning yang gelisah/ Sebagian mengh adap pada Sang Adipati yang sedang turun dari kuda dengan kaki sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang pengawal yang menun gging.

Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, kemudian segera berjongkok dan m enyembah.

Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit, lari menuruni kesyahbandaran. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya nam pak terlalu besar dan berat bertengger pada kepalanya yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot yang mu lai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari Sang Adipati ia berdiri dan mengangkat sembah kepala.

“Mereka bukan saja telah mendudu ki Jepara… Bagaimana, Kakang Patih?”

“Ampun, G usti,” Sang Patih m engangkat sembah, “juga telah mendirikan galangan-galangan kapal besar.”

“Brandal-brandal itu mengimpi hendak m enguasai laut.” “Ampun, G usti, setelah Adip ati Kudus Pangeran Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat G usti, sekarang dari ayahand anya dibenarkan menggunakan gelar Adipati Unus. Konon kabarnya Unus adalah nam a dewa baru penguasa lautan.”

(42)

“Patik, G usti. G usti tidak berkenan memukulnya dengan perang. Kalau dibiarkan, D emak akan terus mendesak ke timur.”

“D ewa lam a dan Allah baru tidak bakal membenarkan.” “Allah D ewa Batara, sekali G usti titahkan, tidak hanya Jepara, D emak sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari G usti. Mereka belum punya Pasukan Kuda, tidak punya Pasukan G ajah. Perwira-perwiran ya, orang-orang T ionghoa itu, tidak akan mampu menah an balatentara kita.” :

“D emak sudah mendirikan galangan-galangan kapal besar di Jepara.”

“Patik, G usti. Tuban pun harus segera mengimbangi.” “Bangunkan , Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya untuk mengimban gi.”

“Patik, G usti.”

Sang Adipati masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat pulang.

Pada derm aga tertambat tiga buah kapal asing. Di kejauhan sana nampak sebuah kapal peronda pantai yang sedang belayar kearah ba rat. Semua layarnya menggelembung seperti busur. N amu n semua itu tak menarik perhatian Sang Adipati. Hatinya tetap gelisah.

(43)

Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang Adipati, mengangkat sembah: “Keadaan di lautan Atas Angin sana sudah berubah, G usti,” kemudian dengan jarinya menggaris-garis di atas pasir mem buat gambar, “kapal-kapal asing yang selam a ini tidak pernah dikenal sekarang mu lai berdatangan dari Ujung Selatan W ulungga – tanjung yang tak pernah dilewati nenek-moyang, G usti.”

Sang Adipati mengerutkan kening. Alisnya, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih mem bikin wajah tuan ya yang penuh kerut-mirut itu nampak semakin pucat. Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman benang sutra kurung.

“Ampun, G usti sesembahan patik. Mereka, G usti, menyusuri pantai W ulungga, memasuki jalan laut kapal-kapal Atas Angin . Kapal-kap al mereka, kata orang, tidak lebih besar dari kapal-kapal Majapahit, agak lebih besar dari kapal-kapal Atas Angin dan Tuban, tetapi layarnya jauh lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut, dap at mem belok cepat sambil miring, dengan lambung menepis permu kaan laut seperti camar.”

“Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang Adip ati mem beran ikan.

“Layar-layarnya, G usti, digambari dengan salib raksasa.” “Salib?”

“Ampun, G usti, hanya dua buah garis bersilang. Orang bilang, garis yang datar melamban gkan kerajaan manusia, garis dari atas ke bawah, kata orang, melamban gkan karunia dewa di atas pada kerajaannya.”

(44)

“Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, G usti.” Sang Patih membikin salib di atas pasir. “Sebab itu besar, besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.”

“Kapal-kap al siapa yang mu ncul dari Ujung Selatan W ulungga yang keramat itu, Kakang Patih?”

‘Itulah kapal-kapal Peninggi, G usti sesembahan patik,” jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk lagi dan meneruskan gurisannya di atas pasir, mem buat gam bar kira-kira dari kapal-kapal baru itu.

“Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang Adipati mem ancing-mancing pendapat.

Tenang dan dam ai keadaan Tuban Kota. G elisah hati Sang Adipati yang telah lanjut usia itu.

Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan . Sang Patih mengiringkan di belakangn ya. Para pengawal di depan sana telah berhenti di pasiran pantai. Sebagian mengh adap ke laut biru-kuning yang gelisah/ Sebagian mengh adap pada Sang Adipati yang sedang turun dari kuda dengan kaki sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang pengawal yang menun gging.

Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, kemudian segera berjongkok dan m enyembah.

(45)

“Mereka bukan saja telah mendudu ki Jepara… Bagaimana, Kakang Patih?”

“Ampun, G usti,” Sang Patih m engangkat sembah, “juga telah mendirikan galangan-galangan kapal besar.”

“Brandal-brandal itu mengimpi hendak m enguasai laut.” “Ampun, G usti, setelah Adip ati Kudus Pangeran Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat G usti, sekarang dari ayahand anya dibenarkan menggunakan gelar Adipati Unus. Konon kabarnya Unus adalah nam a dewa baru penguasa lautan.”

“Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri.” “Patik, G usti. G usti tidak berkenan memukulnya dengan perang. Kalau dibiarkan, D emak akan terus mendesak ke timur.”

“D ewa lam a dan Allah baru tidak bakal membenarkan.” “Allah D ewa Batara, sekali G usti titahkan, tidak hanya Jepara, D emak sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari G usti. Mereka belum punya Pasukan Kuda, tidak punya Pasukan G ajah. Perwira-perwiran ya, orang-orang T ionghoa itu, tidak akan mampu menah an balatentara kita.” :

“D emak sudah mendirikan galangan-galangan kapal besar di Jepara.”

“Patik, G usti. Tuban pun harus segera mengimbangi.” “Bangunkan , Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya untuk mengimban gi.”

“Patik, G usti.”

(46)

laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat pulang.

Pada derm aga tertambat tiga buah kapal asing. Di kejauhan sana nampak sebuah kapal peronda pantai yang sedang belayar kearah ba rat. Semua layarnya menggelembung seperti busur. N amu n semua itu tak menarik perhatian Sang Adipati. Hatinya tetap gelisah.

Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata. Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada pasir. Berkata pelan: “Makin lama makin sedikit kapal Atas Angin singgah.”

Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang Adipati, mengangkat sembah: “Keadaan di lautan Atas Angin sana sudah berubah, G usti,” kemudian dengan jarinya menggaris-garis di atas pasir mem buat gambar, “kapal-kapal asing yang selam a ini tidak pernah dikenal sekarang mu lai berdatangan dari Ujung Selatan W ulungga – tanjung yang tak pernah dilewati nenek-moyang, G usti.”

Sang Adipati mengerutkan kening. Alisnya, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih mem bikin wajah tuan ya yang penuh kerut-mirut itu nampak semakin pucat. Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman benang sutra kuning.

(47)

dap at mem belok cepat sambil miring, dengan lambung menepis permu kaan laut seperti camar.”

“Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang Adip ati mem beran ikan.

“Layar-layarnya, G usti, digambari dengan salib raksasa.” “Salib?”

“Ampun, G usti, hanya dua buah garis bersilang. Orang bilang, garis yang datar melamban gkan kerajaan manusia, garis dari atas ke bawah, kata orang, melamban gkan karunia dewa di atas pada kerajaannya.”

“Apa bedanya dengan swastika Buddha?”

“Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, G usti.” Sang Patih membikin salib di atas pasir. “Sebab itu besar, besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.”

“Kapal-kap al siapa yang mu ncul dari Ujung Selatan W ulungga yang keramat itu, Kakang Patih?”

‘Itulah kapal-kapal Peninggi, G usti sesembahan patik,”jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk lagi dan meneruskan gurisannya di atas pasir, mem buat gam bar kira-kira dari kapal-kapal baru itu.

“Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang Adipati mem ancing-mancing pendapat.

(48)

“Maksudm u meriamnya?”

“Benar, G usti, meriamn ya, senjatanya itu, dapat mem untahkan api dan….”

“Adakah Patih sedang mengu langi dongeng kanak-kanak itu.”

“Ampun, G usti. D ongengan kanak-kan ak itu sekarang sudah jadi kenyataan.”

“Kenyataan!” Sang Adipati terpekik. “Memuntahkan api! Apakah Kakang Patih bermaksud mengatakan ada bangsa lain di atas bumi ini punya cetbang Majapahit? Ada di negeri Atas Angin sana? Kakang Patih tidak hendak mendongeng lagi?”

“Ampun, G usti sesembahan patik. Ada bangsa jauh di Atas Angin sana punya semacam cetbang Majapahit. Lebih dah syat, G usti.”

“Lebih dah syat!” Sang Adipati berseru menyepelekan, tertawa kosong. Bergumam: “Ada yang lebih dah syat dari cetbang Majapahit,” ia menuding pada langit tanpa mengangkat kepala. “D ari mana pula dongengan menarik itu berasal, kiranya?”

D eburan ombak terdengar nyata. Tak ada manusia bergerak dalam sepengelihatan penguasa Tuban itu. Jauh-jauh di darat nampak orang bersimpuh di atas tan ah dengan kepala menunduk ke bumi. D an di laut kapal dan perahu yang tertambat berayun-ayun dengan layar tergulung dan tiang-tiangnya m enuding langit.

”Teruskan, Kakang Patih.”

(49)

bilang banyak di antaranya telah mereka kirimkan ke dasar lautan. Semua pedagang mengimpikan dan mem buru keuntungan, G usti, maka benua dan lautan ditempuh. Mengetah ui, dengan mu nculnya kapal-kapal Peranggi, bukan keuntungan yang teraih, tapi maut belaka, maka mereka lebih suka tinggal tidur di tengah-tengah mewahan di rumah masing-m asing di bandar sendiri.”

“Maka makin berkurang kapal-kapal Atas Angin datang?”

“D emikian adan ya, G usti sesembah an patik.”

Sang Adipati tercenung sebentar. Ia menunduk dan berpikir. Lam bat-lam bat kedua belah tangannya tertarik ke atas dan bertolak pinggang Sebentar dia berpaling dan menebarkan pandan g pada laut, kemudian pada langit. Bertanya pelan: “Bagaimana bisa ada senjata lebih dah syat dari cetbang?”

“Beribu am pun, G usti, cetbang mereka bukan sekedar dap at m enyemburkan api dan meledak, juga memu ntah kan bola-bola besi sebesar, sebesar, kata orang, sebesar buah kelapa”

“Sebesar buah kelapa! Terkupas atau tidak?”

“G usti Adipati berolok-olok. Apakah bedanya buah kelapa itu terkupas atau tidak? Besi sebesar tinju pun akan dap at rem ukkan setiap kapal, G usti.”

(50)

“Peranggi, G usti. Orang bilang, ada bangsa lain, juga sama hebatnya, Ispanya namanya, G usti. Kapal-kapal Atas Angin pada ketakutan, G usti, biarpun hanya melihat dari kejauhan. Mereka sudah berlarian cari selam at, berlingsatan tunggan g-langgang cari hidup. Sedang kapal Peranggi itu, G usti, tak pernah belayar sendirian, selalu dalam rombongan, paling tidak dua atau tiga buah. Kapal-kapal Atas Angin itu, milik pedagang-pedagang itu, tak pernah dalam rombongan. Karena persaingan satu dengan yang lain, baik di laut mau pun di darat.”

“D alam rom bongan seperti armada Majapahit?” “Benar, G usti.”

“Apa lagi ceritamu , Kakang Patih?”

“Mereka lain dari orang-orang Arab, Parsi atau Benggala, lain dari semua bangsa yang pernah datan g di Tuban. Mereka itu putih seperti kapas, seperti awan, seperti kapur, seperti bawang putih….”

“Barangkali sebangsa hantu laut?”

“G usti berolok-olok. Mo hon apalah kiran ya tidak berolok-olok, G usti. Keadaan dunia sunggu h-sungguh sudah berubah. G usti. Mereka punya negeri dan rajanya sendiri.” Sang Patih menurunkan nada suaranya dan meneruskan pelahan bercampur dengan tiupan angin…

“Aku tak dengar, Kakang Patih, lebih keras.”

(51)

Ia turunkan lagi nada suaranya sehingga hampir bergum am.

“Siapa tahu, G usti….” “Lebih keras!”

“Ampun, G usti, siapa tahu, baran gkali pada suatu kali jin dan iblis dan setan oran g-orang Islam juga punya negeri sendiri kapal dan cetbang.”

Sang Adipati memperbaiki letak keris, kemudian dilambainya Syahbandar agar m endekat. Yang dilambainya bergerak, tetap berdiri dan mengangkat sembah kepala.

“Apa pengetahuanmu tentang bangsa berkulit putih?” “Bangsa kafir itu, G usti, bangsa berkulit putih, tapi hatinya, rohnya, nyawanya, hitam, G usti, hitam seperti jelaga periuk. Mereka tidak mengagun gkan Allah Yang Maha Besar. Mereka penyembah patung. Sedangkan orang Jawa pun bukan penyembah patun g, kecuali pemeluk Buddh a. Mereka penyembah patung, G usti.”

“Kafir atau tidak apa salahnya? Penyembah patung atau tidak apa buruknya? Roh, nyawa atau hatinya hitam atau putih atau kelabu ataupun ungu seperti bunga kecubung, apa peduli? Allah Maha Besar telah mem berikan pada manusia berbagai macam warna. Selama mereka datang mem bawa kesejahteraan untuk bandar Tuban… siapa saja baik.”

“Auzubillah m in zalik!” seru Syahbandar. “Apa persembahanmu, Tuan Syahbandar?”

(52)

segala-galanya. Tuhan akan mengenyahkan mereka dari mu ka bumi.”

“Kapan Tuhan m engenyahkan mereka?”

“Semua bangsa, G usti,” sembah Ishak Indrajit terus dalam Melayu, “dengan bimbingan Allah. Kalau semua bangsa tidak mau, merekalah yang bakal mengh alau kita semua….”

“D i mana negerinya? Jauh atau dekat? Maka akan dapat mengenyahkan semua bangsa dari mu ka bumi?”

“Jauh, G usti, lebih jauh dari Parsi, Arabia ataupun Turki. N egerinya ada di atas Atas Angin.”

“Kalau dongengan itu benar, pasti kapalnya banyak, kuat dan hebat, tentu mereka bangsa yang pandai dan gagah-berani. Mereka telah lewati Ujung Selatan W ulungga yang tak pernah dilalui oleh nenek-moyang,” puji Sang Adipati pada bangsa yang belum dikenal itu.

“Mereka diberanikan oleh iblis, dipimpin oleh setan, G usti Adipati Tuban,” susul Syahbandar pada Sang Adipati tak senang.

Sang Adipati tak mem perhatikan. Pandangnya ditebarkan ke laut yang masih juga disebari perahu-perahu nelayan. Angin yang m eniupi dadanya m embikin bulu dada yang putih itu berombak. Tak dirasainya seekor lalat hinggap pada dagunya. Ia sedang bekerja keras mem anggil kapal-kapal Peranggi dan lspanya dalam angan-angan.

“Bangsa-ban gsa Atas Angin takut pada mereka,” tiba-tiba ia berpaling pada Syahbandar.

“Tuan Syahbandar, bagaimana bisa orang-orang Islam takut pada kafir?”

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan hasil penelitian dan pengolahan data yang dilakukan, diperoleh besarnya pengaruh gaya kepemimpinan, komitmen, kepuasan kerja secara bersama-sama terhadap

UMKM sebagai usaha yang menggunakan sumber daya alam sekitar sebagai salah satu bahan utama dalam proses produksi batik, karena jika sampai lingkungan rusak, UMKM terpaksa membeli

Berdasarkan hasil regresi diketahui bahwa utang luar negeri dan nilai ekspor berpengaruh positif dan signifikan terhadap cadangan devisa Indonesia sedangkan kurs rupiah

Kekurang pengalaman akan demokrasi pada diri para pemimpin partai partai politik yang ada dapat menjadi hambatan serius bagi mereka untuk tampil sebagai politisi politisi

Sejak UUPA lahir, Indonesia mempunyai Politik Agraria Nasional yang didasarkan pada prinsip pandangan hidup yang luhur, yang terdiri dari lima sila sebagai

diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 pada Pasal 24 ayat (1) bahwa Retribusi ditetapkan dengan

Mereka, pelaku pernikahan beda agama yang telah me­ langsungkan perkawinan untuk membentuk dan membangun tatanan keluarga dalam kondisi perbedaan dengan memeluk agama berbeda,

Jika diperhatikan pada Gambar 2 dan 3 ada korelasi peningkatan TSS dan TDS, namun demikian peningkatan nilai TSS adalah sangat baik untuk penjernihan air limbah pengolahan