Opini Pos Bali, Senin 26 Maret 2018
RUNTUHNYA KESADARAN POLITIK GENERASI MUDA
I Gusti Bagus Rai Utama
Menjelang pemilu serentak kepala daerah 2018 dan presiden 2019, kita dihadapkan pada berbagai potensi permasalahan yang kemungkinan dapat merusak persatuan dan kesatuan dalam tingkatan daerah bahkan pada tingkatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Potensi permasalahan tersebut sering disebut masalah disintegrasi. Masalah dis-integrasi atau bahasa sehari-harinya perpecahan dalam masyarakat dapat terjadi karena adanya perbedaan ideologi, dan aksiologi dalam menentukan pilihan politik termasuk hak untuk dipilih dan memilih. Pada konteks kehidupan bernegara ternyata masih banyak terjadi perbedaan pandangan berkaitan dengan ideologi, serta hak untuk dipilih dan memilih. Perbedaan tersebut logis terjadi karena persoalan-persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara justru lebih banyak dipicu oleh permasalahan pada oknum-oknum yang telah terpilih pada perhelatan politik pada periode sebelumnya. Kondisi ini berdampak pada sikap masyarakat khususnya generasi muda menjadi cenderung apatis, dan akhirnya prakmatis dalam menentukan pilihan politiknya. Kondisi ini menyebabkan lahirnya pemimpin-pemimpin yang transaksional yang berkecenderungan partisipasi mereka dalam pemilihan umum sebagai calon kepala daerah, legislatif, maupun presiden dianggap sebagai sebuah investasi yang berujung pada motif transaksi aksiologis.
Opini ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, baik hak memilih maupun dipilih sesuai dengan ideologi yang ada pada masyarakat yang bersesuaian dengan ideologi organisasi politik yang dinyakininya dapat mengantarkannya pada tujuan kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat. Namun pada sisi faktual saat ini, demokrasi kita masih dipahami hanyalah demokrasi yang menang adalah suara lebih banyak. Demokrasi disamakan dengan sistemik-struktural kenegaraan dan prosedural-mekanis untuk pemilihan, yang akhirnya menyebabkan hilangnya nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kesamaan dalam kesempatan, keadilan dan lainnya. Keputusan elit partai lebih sering berlawanan dengan aspirasi suara rakyat, Konvensi hanya merupakan lipstik, munculnya politik dinasti dan nyaris semua partai politik terdistorsi dengan kedinastian tersebut.
Ada sebuah diktum lama berkata, “… orang baik akan melahirkan kebaikan…”. Ada
Opini Pos Bali, Senin 26 Maret 2018
Erbakan). Diktum tersebut berasosiasi dengan pernyataan bahwa kalau ingin daerah atau negara ini semuanya berjalan baik, maka pilihlah dan pasrahkanlah segala sesuatunya untuk dikerjakan oleh orang baik. Baik yang dimaksud adalah baik secara keilmuan, pengalaman, dan tentu saja yang lebih penting adalah perilaku atau track record seseorang yang semuanya itu kita dapat sebut sebagai pemimpin KJP (Kompeten, Jujur, dan Profesional).
Apakah pendidikan politik penting untuk diberikan kepada generasi muda sedari dini? Jika kita melihat berbagai permasalahan sampai saat ini adalah tidak adanya pendidikan moral pancasila bagi generasi muda sejak tahun 1998 juga menjadi pemicu permasalahan tentang pemahaman ideologi bangsa. Kekurang-pahaman masyarakat khususnya generasi muda akhirnya mempermudah kelompok radikal untuk menyasar kaum tersebut sebagai tumbal untuk dikorbankan. Kurangnya pengetahuan generasi muda tentang ideologi-ideologi yang berkembang di dunia, akhirnya juga dapat menjebak mereka pada ideologi terlarang tersebut karena ketidaktahuannya. Kurangnya pengetahuan generasi muda tentang wujud partai (ontologi, epistemologi, aksiologi) juga dapat menjebak generasi muda pada pengkultusan tokoh tertentu yang akhirnya memberikan ruang lahirnya partai dinasti bukan loyalitas pada sebuah ideologi tertentu. Kondisi yang amat transaksional ini telah melahirnya tokoh-tokoh partai tertentu dengan cara-cara transaksional karena masyarakat kita telah menjadi prakmatis dan sekaligus menjadi masyarakat transaksional. Ibarat ada permintaan dan juga pastilah penawaran akan bersambut dengan berbagai metode dan cara dari yang sangat konservatif hingga yang paling moderat transaksional.
Permasalahan tersebut di atas tidak dapat diatasi dengan cara instan tapi memerlukan waktu yang panjang. Revolusi mental yang diobral oleh pemerintah saat ini masih belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan karena memang memerlukan waktu yang panjang untuk membentuk karakter bangsa. Pendidikan karakter mungkin menjadi solusi yang baik untuk mengatasi permasalahan apatisnya generasi muda dengan kondisi politik saat ini. Pendidikan Ideologi Pancasila, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan pengetahuan tentang identitas dan karakter bangsa mesti perlu digalakkan kembali. Pendidikan tentang kepartaian beserta ideologinya mungkin menjadi alternatif untuk diberikan kepada para generasi muda yang tidak terbatas pada kader patai tertentu saja tetapi pada seluruh lapisan masyarakat agar mereka tidak terjebak pada ideologi yang tidak mereka pahami.
Generasi muda yang cerdas adalah generasi yang paham apa dan siapa yang dipilihnya.
Kata “apa” bermakna jamak yakni ideologi apa yang diyakininya, partai apa yang memiliki
ideologi tersebut, bagaimana sejarah pendiriannya, dan bagaimana program-program jangka
pendek hingga jangka panjangnya. Kata “siapa” juga memiliki makna jamak yakni siapa yang