P
ELUANGP
EREMPUANS
EBAGAIP
OLITISIBARRIERS TO WOMEN IN THE FIELD OF POLITICAL
A. Misbahruddin
Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Banjarmasin Jl. Yos Sudarso No. 29 Banjarmasin, Kalimantan Selatan; Telp. (0511) 3353849
Email: a.misbahruddin@kominfo.go.id
diterima: 16 Desember 2014 | direvisi: 5 Januari 2015 | disetujui: 19 Januari 2015
ABSTRACT
Research opportunities for women as politicians do in South Kalimantan Province. The purpose of research to determine the opportunities of women as politicians wrestle in the political world. This study used a descriptive method, with the location determined purposively, in South Kalimantan: the city of Banjarmasin and Banjarbaru, Batola District, Kabupaten Banjar, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Kotabaru District. Respondents determined stratifiel random sampling, sampling as many as 278 people, the details of the number of respondents according to the percentage of the population of the city / county respectively. The results showed the opportunities of women as politicians constrained various obstacles, this is such a factor as the data findings cultures, gender equality factor, low levels of education, the permission of the family, the support material. However there are also respondents who think that women do not fit do the job of men, women are weak creatures and women are not able to compete with men. Political Parties should motivate women to sit as a legislative member.
Keywords : Opportunity, Women, Politicans, Barriers
ABSTRAK
Penelitian peluang perempuan sebagai politisi dilakukan di Provinsi Kalimantan Selatan. Tujuan penelitian untuk mengetahui peluang perempuan sebagai politisi bergelut di dunia politik. Penelitian ini menggunakan metode deskriftif, dengan lokasi ditentukan secara purposif, di Kalimantan Selatan: Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Batola, Kabupatan Banjar, Kabupaten Tanah Bumbu, Kabupaten Tanah Laut, dan Kabupaten Kotabaru. Responden ditentukan secara stratifiel random sampling, sampling sebanyak 278 orang, rincian jumlah responden sesuai dengan persentasi jumlah penduduk kota/kabupaten masing-masing. Hasil penelitian menunjukan peluang perempuan sebagai politisi terkendala berbagai hambatan, hal ini sebagaimana data temuan seperti faktor kultur budaya, faktor kesetaraan gender, rendahnya tingkat pendidikan, izin dari keluarga, dukungan materi. Namun demikian ada juga responden yang beranggapan bahwa perempuan tidak cocok melakukan pekerjaan laki-laki, perempuan dianggap mahluk lemah serta perempuan tidak mampu bersaing dengan laki-laki. Hendaknya Partai Politik memotivasi perempuan untuk duduk menjadi anggota legislatif.
Kata Kunci : Peluang, Perempuan, Politisi, Hambatan
I.
PENDAHULUAN
Di Indonesia gambaran peran perempuan
dalam dunia politik secara statistik masih belum
menggembirakan, hal ini dapat dicermati dari hasil
Pemilu dari tahun ke tahun. Peran perempuan di
kebijakan di pemerintahan baik tingkat pusat
maupun daerah, desa sekalipun masih didominasi
kaum laki-laki. Namun demikian bukan berarti
tokoh politik perempuan dan pemimpin perempuan
di bidang pemerintahan tidak ada, hanya saja dari
jumlah pemimpin dan tokoh politik laki-laki.
Sementara itu secara statistik jumlah penduduk
lebih banyak perempuan daripada laki-laki.
Perempuan merupakan sosok yang dianggap
lemah karena memiliki beberapa perbedaan
biologis, perbedaan itu yang membuat perempuan
dianggap sebagai makhluk yang tidak sempurna.
Keterlibatan perempuan di dunia politik di
Indonesia boleh dibilang dikatakan memang
terlambat, bila dilihat dari kacamata jender, hal ini
tidak terlepas dari tipe perempuan dan politik.
Adanya anggapan bahwa perempuan lebih cocok
pada sktor rumah tangga sering dianggap sebagai
salah satu sebab terlambatnya dan sedikitnya
perempuan yang berkecimpung di dunia politik,
sedangkan dunia politik identik dengan dunia yang
keras, penuh persaingan, membutuhkan pemikiran
yang rasionalisme.
Pada era reformasi seperti sekarang ini peran,
fungsi dan kedudukan perempuan mendapatkan
peluang yang besar untuk dapat berkarya dalam
segala aspek kehidupan, seperti yang tertuang
dalam Pasal 27 ayat 1 dan 2 UUD 1945, walaupun
sejumlah hambatan struktural maupun non
struktural masih sering dijumpai, Kiprah adalah
bentuk partisipasi dimana didalamnya
mengandung semangat tinggi. Dalam politik
berarti partisipasi yang tinggi terhadap bidang
politik. Keterlibatan perempuan di ranah politik
memiliki makna bahwa perempuan berpartisipasi
aktif dalam kegiatan-kegiatan politik. Dalam
penelitian ini erat kaitannya dominasi laki-laki
dengan tersubordinasinya perempuan. Partai
politik adalah salah satu wadah bagi setiap politisi
untuk melangkah. Didalam partai politik dominasi
laki-laki dapat ditemui pada kepengurusan inti
yang diisi oleh satu atau dua perwakilan
perempuan. Baik perempuan ataupun laki-laki
dalam prinsipnya langkah mereka menuju dunia
politik hampir sama. Mereka membutuhkan partai
politik sebagai kendaraan.
Diberlakukannnya UU No 12 Tahun 2003 dan
UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
yang berisi tentang kewajiban setiap partai politik
untuk mencalonkan 30 % keterwakilan perempuan
di parlemen. Penetapan target keterwakilan
sebesar 30 % bagi perempuan dalam pencalonnan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada
Pemilu tahun 2004, 2009 dan 2014 merupakan
suatu keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap
partai politik peserta pemilihan umum. Di era
globalisasi sekarang ini seharusnya sudah tidak
ada lagi ketimpangan dan ketidakadilan gender
antara laki-laki dan perempuan, yang ada adalah
kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Kebijakan ini berusaha dipenuhi walaupun
perhatian dan orientasi politik perempun terutama
di daerah masih bisa dianggap kurang. Memang
dalam pelaksanaannyaa menuai berbagai
hambatan, seperti hambatan sosial, ekonomi, juga
hambatan politik Hambatan –hambatan tersebut
bisa dilalui bila ada usaha dan kemauan untuk
mengatasinya.
Beranjak dari latar belakang tersebut maka
permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana
hambatan perempuan di ranah politik ? Tujuan
penelitian untuk memberikan penggambaran
hal-hal yang menjadi hambatan bagi perempuan di
ranah politik. Hasil penelitian diharapkan dapat
bermanfaat pada partai politik untuk merekrut
bermanfaat pula bagi Kementerian Komunikasi
Informatika (Kemkominfo) RI, khusunya Dirjen
IKP (Informasi dan Kebijakan Publik) dalam
meningkatkan desiminasi informasi tentang
keterlibatan perempuan dalam dunia politik.
Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan
Feminisme Liberal sebagai Standing Position yang
akan dipakai oleh peneliti. Feminisme Liberal
memperjungkan hak asasi manusia yang selama ini
perempuan kurang mendapatkan hak-haknya
secara penuh karena lebih memprioritaskan kaum
laki-laki. Padahal mereka sebagai makhluk sosial
yang mempunyai kedudukan yang sama.
Feminisme liberal berpendapat bahwa selama ini
perempuan tidak terwakili sama sekali, tidak
diikutsertakan dalam semua aspek kehidupan
(Nugroho 2011).
Feminisme liberal pada umumnya
menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan
nilai moral serta kebebasan individu. Namun, pada
saat yang sama dianggap mendiskriminasikan
perempuan. (Fakih 1996).
Feminisme Liberal, melihat bahwa hakekat
manusia terletak pada kesadaran, keunikan pada
setiap individu, dan untuk menjadi bebas manusia
harus menggunakan rasio karena rasionalitas
sangat penting untuk mencapai kebebasan.
Penalaran rasio penting untuk mengerti prinsip–
prinsip moralitas yang dapat menjamin otonomi
manusia dan dapat menjadi bebas. Beberapa tokoh
feminisme liberal menekankan persamaan pada
kesempatan pendidikan (Wollctonecraft) dan juga
mementingkan terpuaskannya pleasure dan
happiness (Mill dan Taylor). Perempuan juga harus
sadar sebagai makhluk rasional yang mempunyai
hak sipil, ekonomi, benefit dari publik seperti
jaminan sosial dan sebagainya. Tokoh dan karya
feminisme liberal adalah Alison Jaggar, Mary
Wollstonecraf, John Stuart Mill, Harlet Taylor,
Angela Davis, dan Anne Phillips.
Ada tiga hal utama yang diangkat oleh Philips
dalam persoalan feminis politik, dua diantaranya
telah menjadi problema krusial pada tahun 1970-an
dan tema yang terakhir merupakan problema yang
terjadi masa ini. Tema yang pertama adalah
pemisahan antara ruang publik dan privat, yang
kedua adalah kesalahan definisi politik seperti
yang telah terjadi pada lapisan masyarakat selama
ini, Kedua hal ini diperkenalkan sebagai jalan
untuk memahami pengeluaran perempuan dari
posisi kewarganegaraan yang penuh.
Philips melihat bahwa perempuan itu dibatasi
pada hal yang privat, pada lapisan domestik dengan
kewajiban yang mereka miliki untuk mengurus
anak, mengurus rumah, dan secara konseptual
perempuan dibatasi dengan sebuah pendapat yang
kuat sehingga perempuan hanya dapat diterima
dalam kapasitasnya sebagai istri ataupun ibu dan
tidak beraktivitas dalam hal lainnya. Perempuan
telah diasosiasikan dengan dunia privat, sedangkan laki–laki diasosiasikan dengan dunia publik yakni politik dan dunia kerja, pemisahan seperti ini telah
terjadi sejak lama dan membuat perempuan
memiliki prospek yang kecil untuk mengambil tempat layaknya laki–laki sebagai warganegara yang utuh dan memiliki hak yang sama (Sastriyani
2009).
Menurut Philips, memenangkan hak suara
dalam politik saja tidak cukup untuk membuat
perempuan mencapai persamaan seperti yang
didapatkan laki–laki, tetapi dibutuhkan hal–hal
verifikasi pada pembagian ruang antara publik dan
privat yang pada akhirnya akan menghancurkan
asosiasi yang terjadi pada gender. Dalam dunia
politik sendiri sebenarnya perempuan sudah berada
dalam status yang terpinggirkan. Bahkan menurut
Philips, dalam dunia politik perempuan telah
dikeluarkan, ditiadakan dalam dunia serta aktivitas
politik. Perempuan telah ditiadakan sejak politik
pertama kali didefinisikan. Politik diterima dan
dirasakan pada ruang yang sangat sempit dan
diwakili oleh satu term saja yakni maskulin.
Menurut Philips, untuk menghadapi tantangan
politik perempuan yang berada di bawah
representasi memberikan dua keuntungan.
Pertama, persoalan gender dalam politik secara
diartikan ke sebuah ekskusivitas dengan
menjadikan banyak perempuan untuk masuk dalam
dunia politik.
Hal ini mendorong adanya arah yang berfokus
pada hal–hal yang termasuk dalam politik seolah–
olah seluruhnya terpisah dari ekonomi sosial,
sebagai mana adanya pengabaian perbedaan atau
peningkatan proporsi perempuan dalam politik.
Keuntungan kedua, sebagai kritik terhadap
kesalahan netralitas dan kesalahan imparsialitas,
kemudian merujuk pada suatu hal yang lebih
umum yaitu politics of gender yang
menghubungkan hierarki ras dan etnis.
Hasil yang diperluas oleh feminis politik
disamping memberikan keuntungan juga
memberikan resiko. Menurut Philips, salah satu
resikonya adalah penempatan gender sebagai
perpanjangan dari perbedaan (gender, seksualitas,
ras, etnis, agama), hal ini sangat mengganggu
sekaligus mengingatkan daftar panjang pejuang
kelas sosial lama yang digunakan untuk
mempersiapkan ketika pada akhirnya dipaksa
untuk mengakui bahwa kelas tidak hanya
membagi. Keterlibatan perempuan dalam proses
politik formal telah mengalami perkembangan
positif selama tiga tahun terakhir di banyak negara.
Sayangnya, pemilu 1999 yang dianggap paling
demokratis pun, tidak mendorong perkembangan
yang serupa di Indonesia.
Perempuan Indonesia masih belum terwakili
secara signifikan di lembaga politik formal, bahkan
terjadi penurunan jumlah wakil perempuan di DPR dari Pemilu sebelumnya (lihat “Data dan Fakta: Keterwakilan Perempuan Indonesia di Partai Politik dan Lembaga Legislatif 1999-2001”) Menyikapi kondisi ini, Centre for Electoral
Reform (CETRO), Kaukus Perempuan Politik
Indonesia (KPPI) dan Kaukus Perempuan
Parlemen Indonesia memberikan beberapa catatan
kritis tentang peranan perempuan Indonesia dalam
politik formal 1999-2001:
1. Belum adanya jumlah perempuan yang
signifikan baik yang duduk sebagai pengurus
partai politik maupun yang berada dalam
DPR.
2. Politik adalah saluran terpenting yang menjadi
penghubung rakyat dan negara, dan DPR
adalah lembaga legislatif yang menentukan
arah kebijakan negara. Sehingga aspirasi lebih
dari 50% rakyat Indonesia yang nota bene
adalah perempuan tidak tercermin dalam
setiap proses pengambilan keputusan penting
dalam kehidupan bernegara.
3. Partai politik, pemerintah dan lembaga
perwakilan rakyat sangat didominasi oleh
laki-laki, sehingga nilai, kepentingan,
agenda politik dan terlalu mendominasi proses
politik saat ini. Padahal perempuan memiliki
nilai, kepentingan, kebutuhan dan aspirasi
yang berbeda dengan laki-laki. Dan perbedaan
ini sangat penting untuk dapat terwakili dalam
lembaga politik, untuk memberikan
perubahan terhadap proses politik ke arah
yang lebih demokratis.
4. Pemilu yang dianggap demokratispun belum
cukup untuk meningkatkan keterwakilan
perempuan di parlemen. Sebuah mekanisme
yang strategis dan transparan perlu diterapkan
untuk membuka kesempatan bagi perempuan
agar dapat memasuki arena politik formal
secara lebih leluasa.
Gaffar (2001) mengemukakan bahwa
hambatan bagi perempuan masuk ke dunia politik
karena konstruksi sosial kita yang membuat
perempuan tidak memungkinkan untuk berperan
secara aktif dalam politik.
Sedikit jumlah perempuan yang terjun di
dunia politik ini disebabkan oleh banyak faktor.
Faktor utama yang paling menentukan adalah
kuatnya pandangan subordinasi terhadap
perempuan. Perempuan diragukan kemampuannya
ketika harus memegang jabatan-jabatan politik. Di
samping itu, masyarakat memandang dunia politik
sebagai dunia yang penuh dengan "kekerasan",
sebagai arena stuggle of power. Akibatnya, banyak
yang menganggap dunia politik adalah dunia
laki-laki (Usman 1998)
Huntington dan Nelson (1994)
mengemukakan, bahwa keterlibatan dalam politik
adalah sebagai kegiatan warga negara preman
(private citizen) yang bertujuan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
pemerintah. Budiardjo (1996) mengatakan, bahwa
partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau
sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif
dalam kehidupan politik dengan jalan memilih
pimpinan negara dan secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi kebijakan Pemerintah
(public policy). Selanjutnya, Maran (2001)
mengemukakan bahwa partisipasi politik
merupakan usaha terorganisir oleh para warga
Negara untuk memilih pemimpin-pemimpin
mereka dan mempengaruhi bentuk dan jalannya
kebijaksanaan umum.
II.
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian menggunakan metode survei dengan
pendekatan kuantitatif yang bertujuan
mendiskripsikan atau menjelaskan suatu fenomena
yang hasilnya dapat digeneralisasikan. (Kriyantono
2006). Metode Survei dimaksudkan untuk
mendiskripsikan secara sistematik masalah ini
berdasarkan data yang dihimpun melalui kuesioner
kepada responden.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan dilakukan di 6 (enam)
kabupaten/kota Provinsi Kalimantan selatan,
penentuan kabupaten/kota dilakukan dengan
pertimbangan, bahwa wilayah yang diteliti yang
melibatkan caleg tentang keterwakilan perempuan
kelegislatif, yang cenderung tinggi dari beberapa
daerah mulai dari Kabupaten Barito Kuala, 49 %,
Kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu, 40 %,
Kabupaten Tanah Laut dan Kota Banjarbaru 39 %
Tabel 1. Populasi di Lokasi Penelitian Table 1. Population in Research Area
Lokasi Penelitian (Research Location)
Jumlah Penduduk (Total Population)
Kota Banjarmasin 648,029
Kota Banjarbaru 214,287
Kabupaten Tanah Laut 308,818
Kabupaten Barito Kuala 286,075
Kabupaten Kotabaru 303,459
Kabupaten Tanah Bumbu 295,583
TOTAL 2,056,251
Sumber : BPS Kalimantan Selatan
Source : South Kalimantan Central of Statistics Agency
C. Populasi dan Sampel
Berdasarkan teknik penelitian lokasi tersebut,
maka terpilih kota/kabupaten sebagai lokasi
penelitian yang tersebar di dua kota dan 4
kabupaten di Kalimantan Selatan dengan jumlah
populasi (penduduk) sebanyak 2.056.206 jiwa,
rincian lokasi penelitian terangkum pada tabel 1.
Data yang dapat merepresentasi populasi
diseluruh lokasi penelitian dapat dilihat pada
sampel, maka teknik pengambilan sampel
memakai stratifikasi random sampling. Stratifikasi
diperlukan supaya heterogenitas dari populasi
diharapkan bisa tercermin dalam sampel.
Karaktirestik dasar populasi yang dijadikan acuan
penentuan sampel stratifikasi, diantaranya yaitu
proporsi persebaran penduduk dilokasi penelitian,
sesuai data jumlah penduduk pada 6 lokasi
penelitian yang terpilih yaitu 2.056.206 yang
diambil dari BPS Provinsi Kalimantan Selatan
2012.
Adapun distribusi responden penelitian untuk
masing-masing kota/kabupaten dilakukan secara
proporsional yaitu sesuai dengan persentasi jumlah
penduduk kota/kabupaten dibagi total jumlah
populasi (6 kota/kabupaten) dikali 100, untuk lebih
jelas dapat dilihat pada tabel 2.
Distribusi responden ditiap-tiap
kota/kabupaten dilakukan secara proporsional,
diambil dua kecamatan terpilih masing-masing
kecamatan diambil dua kelurahan/desa pada
masing-masing kecamatan terpilih, yang
ditentukan secara sistematic random sampling.
Satu kelurahan diambil satu RW, satu RW terpilih
diambil dua RT. Distribusi responden pada tingkat
rumah tangga disetiap lokasi RT terpilih dilakukan
secara random interval.
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Lokasi Penelitian Table 2. Distribution of Respondent based on Research Location
Lokasi Penelitian (Research Location)
Jumlah Penduduk (Total Population)
Persentase Populasi (Population Percentage)
Jumlah Responden (Total Responden)
e = 6 %
Kota Banjarmasin 648,029 31.52 87,61328 87
Kota Banjarbaru 214,287 15.02 28,9716866 29
Tabel 2. Lanjutan Table 2. Continued Lokasi Penelitian (Research Location)
Jumlah Penduduk (Total Population)
Persentase Populasi (Population Percentage)
Jumlah Responden (Total Responden)
e = 6 %
Kabupaten Barito Kuala 286,075 14.76 38,677445 39
Kabupaten Kotabaru 303,459 10.42 41,027796 41
Kabupaten Tanah Bumbu 295,583 14.37 39,9568566 40
TOTAL 2,056,251 100.00 278 278
D. Teknik Pengumpulan Data
Disamping mengumpulkan data primer
melalui kuesioner dan data pendukung berupa
wawancara mendalam, juga mengumpulkan data
sekunder melalui catatan atau data pendukung yang
dihimpun peneliti di lapangan.
E. Pengolahan Data
Pengolahan data dan analisa data dilakukan
melalui beberapa langkah, yaitu mengedit,
mengkoding serta tabulasi (entry data) dan validasi
data. Data yang sudah di-entry kemudian dianalisis.
III.
HASIL PENELITIAN
Dijelaskan sebelumnya bahwa responden
adalah warga masyarakat yang berusia 17 tahun ke
atas atau sudah menikah, sehingga data yang
diperoleh merupakan hasil pengamatan dan
pengetahuan warga masyarakat terhadap peluang
perempuan menjadi politisi. Berdasarkan hasil
penelitian ditemukan responden terdiri dari laki –
laki sebanyak 179 responden atau 64,20 %,
perempuan 99 responden atau 35,80 % dan sebagian
besar responden telah menikah 193 responden atau
74,00 %, yang belum menikah 74 responden atau
28,00 %, berstatus duda sebanyak 3 responden
atau 1,00 % dan yang berstatus janda mencapai 8
responden atau 2,00 %. Kemudian usia terbanyak
antara 35 – 40 tahun berjumlah 59 responden atau
1,02 %, tingkat pendidikan didominasi lulusan
SLTA/sederajat 167 responden atau 60,00 %,
berikutnya S1 37 responden atau 13,20 %, diploma
34 responden atau 12,20 %.
Tabel 3. Jumlah Anggota DPRD Kabupaten / Kota di Kalsel Menurut Jenis Kelamin Table 3. Distribution of Respondent based on Research Location
Lokasi Penelitian (Research Location)
Perempuan (Women)
Laki-Laki
(Man) Total
Kota Banjarmasin 10 35 45
Kota Banjarbaru 6 24 30
Kabupaten Banjar 8 37 45
Kabupaten Barito Kuala 4 31 35
Kabupaten Kotabaru 8 28 36
Kabupaten Tanah Bumbu 7 28 35
Kabupaten Hulu Sungai Selatan 3 27 30
Tabel 3. Lanjutan Table 3. Continued Lokasi Penelitian (Research Location)
Perempuan (Women)
Laki-Laki
(Man) Total
Kabupaten Hulu Sungai Tengah 4 26 30
Kabupaten Hulu Utara 4 26 30
Kabupaten Balangan 3 22 25
Kabupaten Tabalong 5 25 30
TOTAL 68 338 406
Tingkat pekerjaan terbanyak adalah Pegawai
Swasta 56 responden atau 20,21 %, PNS
mencapai 50 responden atau 17,90 %, jenis
pekerjaan yang paling sedikit adalah anggota
DPRD mencapai 4 responden atau 1,40 %.
Berdasarkan data keterlibatan perempuan duduk
sebagai anggota DPRD periode tahun 2014-2019
untuk kota/kabupaten di Kalimantan Selatan
diperoleh gambaran sebagaimana pada tabel 3. Merujuk temuan jumlah anggota DPRD Kab/ Kota di Kalimantan selatan 2014 menurut jenis kelamin, yang cukup dominan adalah Kota Banjarmasin laki-laki 35 orang perempuan 10 orang, Kabupaten Batola laki-laki sebanyak 31 orang , perempuan sebanyak 4 orang. Kemudian
Kabupaten Kotabaru laki-laki sebanyak 28 orang dan perempuan sebanyak 8 orang.
Memperhatikan tabel 4 terkait faktor
penghambat perempuan di ranah politik di daerah
Kalimantan Selatan diperoleh temuan yang
dominan yaitu faktor kultur budaya mengharuskan
wanita mengurus anak/rumah tangga ini ditegaskan
sebanyak 131 responden atau 47, 1 %. Kedua
faktor keseteraan gender dan keadilan yg masih
rendah serta rendahnya tingkat pendidikan
masing-masing dinyatakan sebanyak 42
responden atau 15,2 %.
Selanjutnya faktor izin dari keluarga
ditegaskan sebanyak 35 responden atau 12,5 % dan
berikut faktor materi dan uang dinyatakan 28
respoden atau 10,0 %.
Tabel 4. Faktor Terhambatnya Perempuan Berkiprah di Dunia Politik Table 4. Distribution of Respondent based on Research Location
Faktor (Factor)
Kabupaten / Kota (Regency / City)
F %
Bjm Tala Batola Kobar Bjb Tanbu Banjar
Kultur budaya, mengharuskan wanita mengurus anak/rumah tangga
42 10 21 15 11 11 21 131 47,12
Kesetaraan jender dan keadilan yang masih rendah
4 13 2 8 1 3 11 42 15,11
Rendahnya pendidikan 8 1 3 5 5 8 12 42 15,11
Izin dari keluarga 10 3 5 3 2 5 7 35 12,59
Tabel 5. Hambatan Perempuan Di Ranah Politiki Dari Aspek Budaya Table 5.
Faktor (Factor)
Kabupaten / Kota (Regency / City)
F %
Bjm Tala Batola Kobar Bjb Tan
bu Banjar
Perempuan tdk cocok melakukan pkerjaan laki-laki
16 22 8 10 5 2 10 73 26.26
Dianggap mahluk lemah tdk mampu bkerja sperti laki-laki
44 8 22 18 13 20 31 156 56.12
Banyak mengalami diskriminasi, sbab tdk mampu bersaing dgn laki-laki
9 4 1 4 5 10 16 49 17.63
Pada tabel 5 diungkapkan terhambatnya
perempuan di Kalimantan Selatan menjadi politisi
di lihat dari aspek budaya diperoleh data sebagai
berikut. Pertama perempuan dianggap mahluk
lemah tidak mampu bekerja seperti laki-laki,
dinyatakan 156 responden atau 56,1 %. Kedua
adanya anggapan sebagian masyarakat bahwa
perempuan tidak cocok melakukan pekerjaan
laki-laki ditegaskan sebanyak 73 responden atau 26,2 %.
Kemudian hambatan perempuan banyak
mengalami diskriminasi., sebab tidak mampu
bersaing dengan laki-laki, dinyatakan sebanyak 40
responden atau 17,1 %.
IV.
PEMBAHASAN
Feminisme politik dipakai untuk menjelaskan
persoalan yang menyangkut hubungan antara
perempuan dan politik. Pendekatan feminis politik
tidak jauh berbeda dengan teori politik lainnya,
namun yang menjadi keunggulan dalam teori ini
adalah kemampuannya untuk menghasilkan sebuah
sistem politik yang adil, tidak hanya bagi
perempuan tapi untuk semua warga negara.
Feminisme politik juga tidak menggunakan sexual
difference sebagai kriteria yang membedakan porsi laki–laki dan perempuan dalam politik.
Phillips memiliki dua pandangan terhadap
feminisme politik, yang pertama adalah pemisahan
antara ruang publik dan privat dan yang kedua
adalah kesalahan definisi politik, seperti yang telah
terjadi dalam masyarakat saat ini. Phillips melihat
bahwa perempuan itu dibatasi pada hal yang privat,
pada lapisan domestik, sesuai dengan kewajiban
yang mereka miliki seperti mengurus anak,
mengurus rumah tangga. Perempuan dibatasi
dengan sebuah anggapan, pendapat, maupun
kebudayaan yang kuat, sehingga perempuan hanya
bertugas sebagai istri, sebagai ibu yang mengurus suami dan anak–anaknya. Perempuan juga tidak diberi kebebasan untuk melakukan aktivitas
lainnya.
Perempuan telah diasosiasikan dengan yang
privat yaitu mengurus rumah tangga dan laki–laki
diasosiasikan dengan yang publik yaitu
berkecimpung di dunia kerja termasuk politik.
Pemisahan yang privat dan yang publik tersebut
menyebabkan perempuan memiliki prospek yang
minimal mengambil tempat layaknya laki–laki,
sebagai warga negara yang utuh dan memiliki hak
yang sama dalam negara. Tidak hanya dalam
lingkungan politik saja, dalam kehidupan sehari–
hari pun masih banyak kesulitan bagi perempuan
untuk mendapatkan akses, mendapatkan hak yang
sama dengan laki–laki. Hal itu merupakan
hambatan bagi perempuan untuk maju. Hal itu sulit
untuk dihilangkan karena adanya budaya yang
sudah ditanamkan sejak kecil yaitu bahwa
perempuan hanya bertugas di sektor privat seperti ibu rumah tangga, sementara laki–laki boleh bekerja di sektor publik.
Seperti yang dikatakan Phillips bahwa
perempuan diasosiasikan sebagai hal yang privat
dimana tugasnya hanya mengurus anak dan rumah
tangga, istri tidak perlu bekerja di luar rumah karena
bekerja di luar rumah merupakan tugas laki–laki
(ruang publik). Persoalan seperti ini memang sudah
ada sejak lama dan merupakan persoalan feminisme
yang mungkin banyak diterapkan oleh sebagian
besar masyarakat pada umumnya.
Hasil temuan penelitian menggambarkan
menurut responden sejumlah faktor yang cukup
potensial menghambat polititi perempuan untuk
terlibat di dunia perpolitikan, antara lain faktor
kultur budaya 47, 1 %, kesetaraan gender dan
faktor rendahnya tingkat pendidikan sama –sama
sebanyak 15,2 %, faktor izin dari keluarga atau
suami mencapai 12,5 % dan faktor dukungan
materi atau uang. mencapai 10 %. Sementara itu
kalau dilihat hambatan dari aspek budaya, seperti
perempuan dianggap mahluk lemah tidak mampu
bekerja seperti laki-laki mencapai 56,1 %, adanya
anggapan masyarakat bahwa perempuan tidak
cocok melakukan pekerjaan laki-laki sebanyak 26,2
% dan perempuan banyak mengalami diskriminasi
sebab tidak mampu bersaing dengan laki-laki,
mencapai 17,1 %.
Sementara itu berdasarkan hasil wawancara
dengan beberapa nara sumber terkait keterlibatan
perempuan berkiprah di dunia politik, antara lain:
- Wiwin Darimi, dosen Stikes Darul Asyar
Kabupaten Tanah Bumbu menyatakan bahwa
tugas perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga
harus pintar membagi waktu dan kalau sampai
tidak bisa membagi waktu sekaligus
menerapkan kedisiplin serta pembagian waktu
dalam mengatur segala kewajibannya dalam
rumah tangga maka konsekuensinya adalah
Rumah Tangganya akan brantakan.
Fenomena demikian mengakibatkan banyak
kalangan perempuan yang enggan bergabung
di partai politik.
- Fahriannoor dari kalangan akademisi Unlam
Banjarmasin yang menegaskan bahwa
motivasi perempuan untuk aktif dalam dunia
politik juga menjadi kendala, image politik
dalam dunianya perempuan ini begitu
mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat
serta faktor budaya patriarchi adalah
pendorong utama.
- Marlia Adriana, anggota DPRD Kabupaten
Tanah Laut menyatakan bahwa kiprah
perempuan di dunia politik terkadang
mengalami hambatan dalam berkiprah di dunia
politik, hal ini disebabkan kurangnya
dukungan dari keluarga, lebih-lebih pihak
suami, termasuk minimnya dukungan
finansial atau materi untuk dapat melancarkan
- Laila, Anggota DPRD dari Golongan Karya
Kabupaten Barito Kuala yang berpendapat
bahwa seorang perempuan untuk duduk
sebagai anggota DPRD atau anggota legislatif
seyogyanyalah mendapat dukungan dari
suami, dukungan suami tentunya sangat
mutlak diperlukan, di samping itu seorang
politisi apakah itu perempuan maupun laki-laki
tentu memerlukan dukungan dana atau uang,
apalagi seorang perempuan yang tidak
mempunyai pekerjaan atau pendapatan sendiri
tentu harus rela mengorbankan biaya rumah
tangganya dalam rangka mensosialisasikan diri
ke masyarakat yang tujuannya meraih
dukungan, simpatisan yang pada akhirnya
memperoleh suara untuk duduk sebagai
anggota legislatif. Itu semua tentunya harus
didukung dana yang cukup besar. Terkait
masalah tersebut tentunya harus didukung oleh
suami atau keluarga untuk memuluskan
maksud dan tujuan seorang politisi untuk
duduk sebagai anggota legislatif, kalau tidak
mendapat izin dan ditunjang materi dari
keluarga tentunya akan berpeluang menjadi
suatu hambatan.
- Risnawati dari unsur Partai Gerindra
Kabupaten Tanah Laut, menyatakan bahwa
hambatan tentang pengetahuan politik yaitu
kurangnya pengetahuan perempuan tentang
dunia perpolitikkan itu sendiri, maka itu
kadang kala menjadi salah satu hambatan
seorang perempuan dalam berkarier di dunia
politik.
- Fahriannoor dari kalangan akademisi Unlam
Banjarmasin yang menegaskan bahwa partai
politik kurang menyiapkan kader-kader politik
bagi perempuan dan kadang kala perempuan
diabaikan dalam proses kaderisasi politik
dalam tubuh partai politik itu sendiri.
- Susan LM Dosen Politeknik Kabupaten
Kotabaru yang menyatakan bahwa masih
kurangnya dukungan suara untuk perempuan
di partai politik, sehingga menghambat
kalangan politisi perempuan duduk di badan
legislatif, hal ini dikarenakan posisi perempuan
dalam partai politik masih dianggap kurang
penting dan masih kurangnya tingkat
pengetahuan atau kemampuan politisi
perempuan dalam dunia perpolitikkan.
Pembahasan ruang privat dan ruang publik
memberi pengaruh pada jalan perempuan untuk
dapat berpartisipasi terhadap aktivitas yang terjadi
dalam ruang publik. Ruang publik merupakan
sebuah ruang lingkup yang luas dimana di dalamnya
berbagai macam aktivitas kehidupan terjadi, seperti
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ruang publik
menjadi instrumen prasyarat bagi kebebasan politik
subjek. Perempuan yang tersisihkan dari dunia
politik disebabkan oleh aturan yang sangat kuat
yang mengatur pembedaan antara yang privat dan
yang publik. Pembedaan ini memotong akses
perempuan ke ruang publik sehingga perempuan ditekankan pada kewajiban–kewajiban di lingkup privat. Pembedaan tersebut juga tidak lepas dari
adanya sebagian besar masyarakat pada umumnya
yang masih menerapkan budaya patriarkhi. Adanya
budaya patriarkhi ini juga menyebabkan perempuan
mempunyai tanggungjawab domestik yang sangat
banyak, sehingga membuat mereka sulit untuk
berpartisipasi dalam ruang publik.
Dalam dunia politik, keterwakilan perempuan
mereka dianggap lebih memahami keinginan
perempuan, sehingga perempuan yang duduk di
parlemen diharapkan dapat menyampaikan aspirasi
perempuan di luar sana, sehingga kebutuhan
perempuan yang sesungguhnya dapat tercapai.
Namun kenyataannya, perempuan memiliki
hambatan dalam menyampaikan aspirasi karena
mereka memiliki rasa kurang percaya diri untuk
mengajukan gagasan atau pendapat. Terhambatnya
perempuan dalam menyampaikan aspirasi
disebabkan oleh anggota laki–laki yang bersikap
sinis terhadap usulan yang diajukan oleh anggota
perempuan dan usulan yang berkaitan dengan
perempuan.
Dalam dunia politik, sebenarnya politik
memerlukan unsur–unsur yang membantu
menunjang agar politik dapat berjalan dengan
semestinya. Dalam politik harus terdapat
kebebasan, komunikasi, tindakan, dan subjek
politik. Semua unsur tersebut merupakan dimensi
ruang publik, dimana dalam ruang publik unsur–
unsur tersebut bisa berjalan. Agar dapat menjadi
subjek politik diperlukan kebebasan seperti
kebebasan berargumen, menyuarakan pendapat,
perlunya komunikasi, dan tindakan yang dilakukan.
Namun, jika salah satu unsur tersebut tidak bisa
berjalan dengan semestinya maka politik pun juga
tidak bisa bekerja.
Ada beberapa hal yang menyebabkan anggota
perempuan tidak banyak berbicara dalam rapat
keanggotaan. Pertama, melihat dari latar belakang
pendidikannya, tidak terlalu banyak anggota
perempuan yang latar belakang pendidikannya
berkaitan langsung dengan tugas pokok dan fungsi
mereka sebagai anggota DPRD, maka tidak heran
jika dalam sidang–sidang DPRD anggota
perempuan terlihat pasif, tidak banyak mengajukan
pendapat dan usulan, kurangnya keberanian untuk
menyampaikan pendapat dan minimnya
pengetahuan bidang politik, sosial, dan ekonomi
yang menyebabkan anggota perempuan tidak
banyak berargumen dalam sidang.
Faktor yang kedua adalah pendidikan politik
yang dilakukan oleh partai politik tidak memilah
antara caleg perempuan dan laki–laki, padahal
kebutuhan dan tantangan yang dihadapi antara caleg
laki–laki dan perempuan sangatlah berbeda. Hal ini
menyebabkan kebutuhan perempuan tidak dapat
terpenuhi karena partai tidak melihat berdasarkan
kualitas perempuan melainkan hanya sebagai syarat
agar dapat mengikuti Pemilu.
Faktor yang ketiga adalah sikap anggota
legislatif laki–laki yang sinis terhadap usulan
program perempuan turut menghambat keberanian
anggota legislatif perempuan untuk menyuarakan
kepentingan perempuan. Meskipun tidak semua
anggota legislatif laki–laki bersikap demikian, suara
sinis dan bernada mengejek tersebut membuat
anggota legislatif perempuan enggan mengajukan
usul, terutama yang berkaitan dengan persoalan
perempuan.
Faktor yang keempat adalah kurangnya
kualitas dan kemampuan anggota perempuan dalam
menyampaikan gagasan. Selain itu, jumlah anggota perempuan terlampau kecil dibandingkan laki–laki, sehingga suara perempuan seakan tidak terdengar
jika ada rapat anggota. Persoalan kualitas personal
anggota legislatif perempuan dalam menyampaikan
usulan menjadi faktor penting yang menentukan
apakah anggota laki–laki akan mendukung usulan
Faktor yang kelima adalah kurangnya rasa
percaya diri pada anggota legislatif perempuan.
Dalam parlemen, dominasi anggota laki–laki
terlihat sangat mencolok. Mereka berani berbicara
secara keras dan tegas, meskipun tidak jarang
substansi pembicaraan tidak terarah. Sikap keras
dan tegas semacam itu yang tidak dimiliki oleh
anggota legislatif perempuan, sehingga di tengah–
tengah sidang legislatif suara mereka cenderung
tenggelam, bahkan memilih tidak banyak bicara.
Faktor yang keenam adalah kurangnya
pemahaman mengenai isu perempuan. Sebagian
besar anggota legislatif perempuan belum
sepenuhnya paham bahwa salah satu tugas mereka
adalah memperjuangkan kepentingan perempuan.
Kurangnya pemahaman tersebut menjadi salah satu
sebab kurang terakomodirnya kepentingan
perempuan di DPRD.
Merujuk pada pemikiran Anne Phillips,
kualitas dari demokrasi dijamin dengan luasnya hak
pilih terhadap semua orang dewasa, baik laki–laki
maupun perempuan yang mampu
mengkontribusikan suaranya untuk pendapat yang
menguntungkan bagi kancah publik, dan yang biasa
terjadi adalah peranan politikus untuk membawa
pesan.
Kebutuhan perempuan dapat terpenuhi jika
perempuan dapat merasakan kebutuhan yang sama. Laki–laki tidak memiliki perasaan yang peka terhadap lingkungan sekitar sehingga pesan dari
perempuan tidak tersampaikan. Namun
persoalannya adalah perempuan yang sudah
mewakili perempuan pun tidak bisa benar–benar
mewakili perempuan secara seutuhnya. Hal ini
disebabkan karena perempuan memiliki hambatan
untuk mencapai itu semua. Adanya kuota 30% yang
diharuskan oleh pemerintah pun terasa kurang.
Bukan hanya kurang mencapai kuota tersebut tetapi
juga kurang efektifnya kuota tersebut karena
perempuan yang sudah duduk di parlemen tidak
bisa bekerja sebagai wakil perempuan secara
semestinya. Menjadi nomor urut 1 tidaklah mudah,
karena adanya priotitas untuk anggota caleg laki–
laki di nomor urut 1, walaupun secara kualitas
perempuan tidak kalah dengan laki–laki.
Sisi lainnya sebagaimana pemikiran Phillips
bahwa pemisahan antara yang publik dengan yang
privat menunjukkan bahwa representasi perempuan
dalam politik berada di bawah, sebagai contoh
adalah adanya pembagian jenis kelamin buruh
dalam keluarga maupun pasar pekerja. Sudah sejak
lama perempuan memiliki tugas utama yaitu
sebagai pekerja rumah dan mengurus anak, hal ini
menyebabkan perempuan mengalami kesulitan
untuk berpartisipasi secara utuh dan setara dalam
politik bersama laki–laki.
Mereka tidak memiliki waktu untuk
melakukan pertemuan politik ataupun menjadi
aktivis partai dan mereka tidak memiliki waktu
yang penuh untuk karir politik, sehingga memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding laki– laki. Hal ini merupakan salah satu faktor yang
membuat perempuan lebih sedikit diwakili daripada
laki–laki dalam berbagai macam pekerjaan pada
aktivitas politik, sehingga keterwakilan perempuan
dalam kepemimpinan politik sangat sedikit.
Dalam ranah publik, beberapa bentuk
diskriminasi gender yang menimpa perempuan
merupakan variasi dari dominasi kekuasaan, dari
yang kuat terhadap yang lemah, dari laki–laki
terhadap perempuan, dimana perempuan dipandang
rentan mendapat kekerasan, diskriminasi,
marginalisasi, dan subordinasi. Misalnya dalam
bidang pendidikan perempuan juga kerap
mengalami diskriminasi gender. Perempuan sering
tidak diperbolehkan untuk sekolah atau menempuh
jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena
perempuan hanya bertugas di rumah untuk
mengurus suami dan anak. Perempuan tidak perlu
sekolah tinggi karena nantinya yang akan masuk ke dalam ruang publik adalah laki–laki karena laki– laki bertanggung jawab penuh untuk menghidupi
keluarga. Pendidikan menjadi hal yang sangat sulit
diperoleh bagi kaum perempuan, terutama
perempuan di pedesaan dimana kebudayaannya
masih kental dan kebanyakan perempuan
mengalami hambatan dalam menempuh pendidikan
karena faktor ekonomi.
Terdapat tiga macam paradigma dalam
pendidikan yaitu paradigma kritis, liberal, dan
paradigma konservatif. Penganut paradigma kritis
memandang pendidikan sebagai perjuangan politik.
Bagi mereka, kelas dan diskriminasi gender dalam
masyarakat tercermin dalam pendidikan. Dalam
perspektif ini urusan pendidikan adalah melakukan
refleksi kritis terhadap The Dominant Ideology ke
arah transformasi sosial. Tugas utama pendidik
adalah menciptakan ruang agar muncul sikap kritis
terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta
melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju
sistem sosial yang lebih adil. Paradigma ini melatih
anak didik untuk mampu mengidentifikasi segala
bentuk ketidakadilan dalam sistem dan struktur
yang ada, kemudian menganalisis bagaimana sistem
dan struktur tersebut bekerja, serta bagaimana
mentransformasikannya. Dengan kata lain,
penganut paradigma ini sadar adanya diskriminasi
gender dalam kehidupannya dan berusaha untuk
memperjuangkan nasib mereka yang
terdiskriminasi.
Bagi mereka yang menganut paradigma
konservatif, ketidaksetaraan merupakan hukum
alam, oleh karena itu sangat mustahil untuk
dihindari karena merupakan ketentuan sejarah atau
takdir Tuhan. Perubahan sosial bukan merupakan
sesuatu yang perlu diperjuangkan dengan serius
karena dikhawatirkan akan membawa manusia
kepada kesengsaraan baru. Bagi penganut
paradigma ini, menjadi miskin, tertindas, terpenjara,
adalah buah dari kesalahan mereka sendiri karena
kelalaian atau kemalasan mereka untuk belajar dan
bekerja. Diskriminasi gender dalam pendidikan
sebenarnya dapat dihindari dengan cara melakukan
riset ke sekolah–sekolah untuk mengetahui
seberapa tergenderkan sekolah tersebut.
Segala bentuk diskriminasi gender sebenarnya
dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan,
tergantung dari bagaimana korban isu gender
tersebut memperjuangkan dirinya di tengah–tengah
masyarakat yang sebagian besar menganut budaya
patriarkhi.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Keterlibatan perempuan dalam dunia politik
cenderung belum maksimal, hal ini disebabkan
adanya beberapa faktor hambatan, baik internal
maupun eksternal, seperti sosial budaya, sosial
ekonomi. serta aspek politik. Dalam faktor sosial
budaya, mengharuskan wanita mengurus
anak/rumah tangga, kesetaraan gender, kurangnya
dukungan dari keluarga termasuk minimnya
Kemudian dari aspek politik masih kurang
dukungan suara untuk perempuan di partai politik.
Sedangkan dari sisi sosial ekonomi perempuan,
diberatkan dengan mahalnya ongkos politik untuk
maju sebagi calon anggota legislatif.
B. Saran
Kepada partai politik hendaknya melakukan
penggalangan atau motivasi serta
organisasi-organisasi kader bagi perempuan, dalan rangka
merekrut untuk menjadi anggota legislatif.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
banyak terima kasih yang sebanyak-banyaknya
kepada beberapa pihak, sehingga penelitian saya
ini dapat diselesaikan dengan baik, terutama kepada
Kepala Balai Pengkajian dan Pengembangan
Komunikasi dan Informatika (BPPKI) Banjarmasin,
juga kepada Bu Hendrawati selaku Peneliti Utama
yang juga banyak memberikan masukan sehingga
penelitian saya dapat selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Darma, Budi. (1999) Feminisme: Handout Mata
Kuliah Apresiasi dan Kritik Sastra. Surabaya:
Program Pascasarjana Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra UNESA.
Fakih, Mansour. (2004) Analisis Gender dan
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sastriyani, Siti Hartiti. (2009) Gender and Politics.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jalaludin Rakhmat, 1989, Metode Penelitian
Komunikasi, Bandung : PT. Remaja
KPU Provinsi Kalimantan Selatan, 2014
Marzuki 2007 , Tulisan tentang permasalahan
gender dalam perseptif islam
Meriam Budiardjo, 1986. Dasar-dasar Ilmu Politik,
jakarta Gramedia
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 Tahun 2003
Tentang Undang-Undang Pemilu
WWW. Citra.or id
Penelitian Indra Aumadi , judul Perempuan Dalam
Politik.
Penelitian Suharizal dan Delfima Gusma, suatu
kajian atas keterwakilan perempuan di DPRD
Prov. Sumatera barat
Subiakto, Hendry dan Rachmah Ida, 2014.
Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi,
Edisi Kedua. Kencana Prenadamedia Group,
jakarta
Syafiq Hasim, 2001, Perempuan Indonesia
Memimpin Masa Depan, Jakarta, Pustaka
Sinar Hapara
Syamsul Muarif, 2001, Membangun Komunikasi
dan Informasi Gotong Royong, Jakarta,
Cetakan Lembaga Informasi Nadsional
W.J.S Poerwadarminto,1976. Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Jakarta, di Balai Pustaka
Zaitumah Subhan, 2004, Perempuan dan Politik
Dalam Islam Yogyakarta, Pustaka