TEMAN SEBAYA
PAPER
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Karakteristik Peserta Didik
yang dibina oleh Bapak Dr. Edy Bambang Irawan, M.Pd
Oleh
Febrianita Putri Solihah NIM 152103806564 L Muh Zulqutbi Azhari NIM 152103806222
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS PASCASARJANA JURUSAN PENDIDIKAN DASAR PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN DASAR
A. Hubungan Teman Sebaya
1. Fungsi Kelompok Teman Sebaya
Sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira sama. Sebaya memiliki peranan yang unik didalam perkembangan anak. Salah satu fungsi terpenting sebaya adalah memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia diluar kehidupan keluarga. Anak-anak menerima umpan balik tentang kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya mereka. Mereka mengevaluasi diri dengan mempertanyakan, apakah yang mereka lakukan lebih baik, sama baiknya, ataukah lebih buruk dari apa yang dilakukan anak lain. Sedangkan di rumah sulit melakukan evaluasi seperti itu, karena saudara mereka bisaanya lebih tua atau lebih muda.
Selain memberikan sumber informasi dan perbandingan, interaksi kelompok teman sebaya memenuhi kebutuhan sosioemosional. Anna Freud (Freud & Dann, 1951) mempelajari enam anak dari keluarga yang berbeda yang hidup bersama setelah orang tua mereka terbunuh dalam Perang Dunia II. Keterikatan sebaya yang intensif diobsservasi; anak-anak tersebut membentuk kelompok yang berikatan erat, saling bergantung, dan terpisah dari orang luar. Walaupun tanpa asuhan orang tua, mereka tidak menjadi nakal atau psikotis.
Hubungan kelompok teman sebaya yang baik diperlukan untuk
perkembangan sosioemosional yang normal. Ketika monyet-monyet sebaya yag telah dibesarkan bersama-sama dipisahkan, mereka mengalami depresi dan mundur dari pergaulan sosial (Suomi, Harlow, & Domek, 1970). Anak-anak yang menarik diri, ditolak oleh teman sebayanya, atau menjadi korban dan merasa kesepian, memiliki resiko untuk mengalami depresi. Anak-anak yang bersikap agresif terhadap teman sebaya juga memiliki resiko mengalami beberapa masalah, termasuk kenakalan remaja dan putus sekolah (Bukowski & Adams, 2005; Coie, 2004; Ladd, 2006; Mastern, 2005).
anak, interaksi orang tua dan anak sering kali bernuansa mengajarkan kepada anak tentang bagaimana menyesuaikan diri dengan peraturan dan regulasi. Sebaliknya, hubungan sebaya lebih cenderung terjadi secara setara. Dengan teman sebaya anak-anak belajar menggabungkan dan mengungkapkan pendapat mereka, menghargai sudut pandang teman, menegosiasikan solusi atas perselisihan secara kooperatif, dan mengubah standar perilaku yang diterima oleh semua. Mereka juga belajar menjadi pengamat yang cermat terhadap minat dan perspektif teman sebayanya dalam rangka mengintegrasikan diri secara lebih baik dalam aktivitas pertemanan.
Sebagai tambahan, Sullivan mengatakan bahwa remaja belajar menjadi pasangan yang terampil dan sensitive dalam hubungan intim dengan membentuk persahabatan yang erat dengan teman sebaya yang telah dipilih. Keterampilan ini diteruskan pada masa selanjutnya untuk membantu pembentukan dasar dari hubungan ppercintaan dan perkawinan. Demikian menurut Sullivan.
Menurut Piaget dan Lawrence Kohlberg, melalui hubungan teman sebaya dengan memberi dan menerima, anak-anak mengembangkan pemahaman sosial dan logika moral mereka. Anak-anak menggali prinsip keadilan dan kebaikan dengan menghadapi perselisihan pada hubungan teman sebayanya.
Tentu saja hubungan teman sebaya bisa negative maupun positif (Bukowski &Adams, 2005; Kupersmidt & DeRosier, 2004). Ditolak atau diabaikan oleh teman sebaya membuat beberapa anak merasa kesepian dan dimusuhi. Lebih jauh, penolakan dan pengabaian oleh teman sebaya berhubungan dengan kesehatan mental individu dan masalah criminal (Bukowski & Adams, 2005; Dodge, Coie, & Lynam, 2006; Masten, 2005). Beberapa teori juga telah menjelaskan budaya teman sebaya memberikan pengaruh buruk dengan
melemahkan nilai dan control orang tua. Teman sebaya dapat memperkenalkan remaja kepada alcohol, obat-obatan, kenakalan, dan bentuk lain dari perilaku yang dipandang orang dewasa sebagai adaptasi yang salah.
Ketika membaca tentang teman sebaya, perlu diingat terdapat penemuan juga tentang pengaruh teman sebaya itu bervariasi, yakni tergantung pada cara pengukuran pengalaman pertemanan, hasil yang dinyatakan, dan kurva
“kelompok teman sebaya” adalah konsep global. Sebuah kelompok teman sebaya pada tingkat remaja mungkin terdiri dari orang lingkungan tetangga, orang-orang yang direkomendasikan, jemaat gereja, tim olahraga, kelompok sahabat, dan teman (Brown, 1999). Pengaruh teman sebaya atau kelompok teman sebaya bergantung pada latar dan konteks spesifiknya.
2. Tahap Perkembangan dalam Hubungan Teman Sebaya pada Masa Kanak-kanak
Beberapa peneliti menyatakan bahwa, kualitas interaksi sebaya pada masa bayi memberikan informasi berharga tentang perkembangan sosioemosional (Vandell, 1985). Sebagai contoh, dalam suatu penyelidikan, pengaruh positif dalam hubungan sebaya pada saat bayi berpengaruh pada kemudahan masuk kedalam kelompok bermain teman sebaya diawal masa kanak-kanak karena telah dikenal. (Howes, 1985). Ketika semakin banyak anak yang diasuh di tempat pengasuhan, interaksi dengan teman sebaya pada masa bayi memiliki peran lebih penting pada perkembangan sosioemosionalnya.
Pada usia 3 tahun, anak-anak sudah lebih suka menghabiskan waktu dengan teman bermain yang berjenis kelamin sama dibandingkan dengan teman berjenis kelamin berbeda, dan kesukaan tersebut meningkat pada masa awal kanak-kanak. Selama tahun ini, frekuensi interaksi dengan teman sebaya, baik yang positif maupun negative, meningkat cukup tajam (Hartup, 1983). Walaupun interaksi agresif dan permainan yang kasar meningkat, adanya penurunan proporsi pertukaran yang agresif dibandingkan dengan pertukaran yang ramah. Banyak anak-anak prasekolah menghabiskan waktu yang cukup lama dalam interaksi dengan teman sebaya hanya dengan mengobrol dengan teman bermain tentang “menegosiasikan peran dan aturan dalam permainan, perdebatan, dan persetujuan” (Rubin, Bukowski, & Paker, 2006).
30% pada pertengahan atau akhir kanak-kanak (Rubin, Bukowski, & Parker, 2006). Dalam studi terdahulu, anak-anak berinterakis dengan sebayanya dengan 10% dari hari mereka pada usia 2 tahun, 20% pada usia 4 tahun, dan lebih dari 40% pada usia antar 7 dan 11 tahun. Hari sekolah bisaanya mencakup 299 interaksi dengan sebayanya (Barker & Wright, 1951). Perubahan lainnya dalam hubungan teman sebaya ketika anak beranjak dari pertengahan dan akhir masa kanak-kanak adalah meningkatnya ukuran kelompok pertemanan dan interaksi pertemanan yang lebih sedikit diawasi oleh orang dewasa (Rubin, Bukowski, & Parker, 2006).
Interaksi yang banyak tersebut memiliki bentuk yang bervariasi yaitu kooperatif dan kompetitif, bising dan hening, bergembira dan memalukan. Semakin terbukti bahwa gender memainkan peran penting dalam interaksi ini (Ruble, Martin, & Berenbaum, 2006; Sebanc, dkk, 2003; Underwood, 2004). Gender tidak hanya memengaruhi komposisi kelompok anak, tetapi juga ukuran dan interaksi didalamnya (Maccoby, 1998, 2002). Dari sekitar usia 5 tahun ke atas, anak laki-laki cenderung berorientasi dalam kelompok yang jumlahnya lebih besar daripada anak perempuan; anak perempuan lebih cenderung bermain dalam kelompok berisi dua atau tiga anak dibandingkan dengan anak laki-laki.
Kelompok anak laki-laki lebih cenderung terlibat dalam permainan yang kasar, kompetisi, konflik, pertunjukan ego, mengambil resiko, dan mencari dominasi. Sebaliknya, kelompok perempuan lebih cenderung terlibat dalam percakapan kolaboratif (Leman, Ahmed, & Ozarow, 2005).
3. Dunia Hubungan Orang Tua-Anak dan Hubungan Teman Sebaya yang Berbeda namun Terkoordinasi
menjadi tidak terlalu pemalu terhadap orang lain. Mereka juga mendorong anak mereka agar lebih toleran dan melawan tekanan teman sebaya.
Orang tua juga memengaruhi hubungan sebaya anak mereka melalui cara mereka mengatur kehidupan anak mereka dan kesempatan mereka untuk
berinteraksi dengan sebaya (Collins & Steinberg, 2006). Satu studi menemukan bahwa orang tua yang sering memulai kontak sebaya untuk anak mereka yang berusia prasekolah memiliki anak-anak yang lebih diterima oleh teman sebaya mereka dan memiliki tingkat perilaku prososial yang lebih tinggi (Ladd &Hart, 1992). Lebih jauh, keputusan gaya hidup dasar oleh orang tua-pilihan lingkungan tetangga mereka, gereja, sekolah, dan teman mereka sendiri-banyak menentukan tempat anak mereka memilih teman (Cooper & Ayers-Lopez, 1985). Sebagai contoh, sekolah yang dipilih menentukan kegiatan akademis dan ekstrakurikuler tertentu, yang dapat mempengaruhi anak seperti apakah yang ditemui anak mereka, tujuan anak berinteraksi, dan akhirnya anak mana yang menjadi teman mereka. Sekolah yang dipilih mungkin juga memiliki kebijakan yang
memengaruhi hubungan pertemanan sebaya anak. Sebagai contoh, di dalam pembelajaran kelas yang gurunya mendorong hubungan kooperatif, hal tersebut akan menyebabkan sedikit anak yang terisolasi.
hubungan teman sebaya tersebut cenderung tidak terlibat dalam hubungan sebaya yang agresif disbanding anak-anak penekan dan penerima tindakan menyerang. Orang tua mereka tidak menghukum perilaku agresif, dan keterlibatan mereka dengan anak mereka yang telah memberikan dampak dengan terbentuknya sifat asertif.
Apakah hasil tersebut menunjukkan bahwa hubungan sebaya anak terkait erat dengan hubungan orang tua-anak (Hartup & Laursen, 1999). Walaupun hubungan orang tua-anakmemengaruhi hubungan pertemanan sebaya anak, anak-anak juga belajar gaya berhubungan yang lain dalam hubungan mereka dengan sebayanya.
Kesimpulannya, dunia orang tua-anak dan sebaya terkoordinasi dan saling berhubungan (Ladd & Pettit; Maccoby, 1996). Namun, dunia mereka juga
berbeda. Permainan perkelahian/ kasar dimaninkan terutama dengan anak lain, bukan dalam interaksi orang tua-anak. Pada saat stress, anak-anak sering berpaling ke orang tua untuk meminta dukungan dan bukan teman sebayanya. Dalam hubungan orang tua-anak, anak-anak belajar bagaimana berhubungan dengan figure pemegang otoritas. Dengan sebaya mereka, anak-anak lebih cenderung beinteraksi dalam posisi yang jauh lebih setara dan belajar model berhubungan yang didasai oleh pengaruh timbal balik.
4. Kognisi dan Emosi Sosial
Mariana mengharapkan semua teman bermainnya mengizinkannya memainkan mainan setiap kali dia minta. Ketika Josh tidak diilih dalam tim di tempat bermain, dia berpikir bahwa teman-temannya memusuhinya. Kedua hal tersebut merupakan contoh dari kognisi sosial yang melibatkan pemikiran tentang masalah-masalah sosial (Lewis & Carpendale, 2004). Bagaimana kognisi sosial anak berkontribusi terhadap hubungan sebaya mereka? Ada 3 kemungkinan yakni kemampuan menentukan perspektif, kemampuan pemrosesan informasi sosial, dan pengetahuan sosial mereka.
a. Kemampuan Menentukan Perspektif
mencatat hubungan antara kemampuan melihat perspektif dengan kualitas hubungan teman sebaya, terutama pada masa sekolah dasar (LeMare & Rubin 1987).
Melihat perspektif adalah bagian yang penting karena hal tersebut membantu anak berkomunikasi secara efektif. Dalam satu penyelidikan, komunikasi diantara sebaya di taman kanak-kanak, kelas satu, tiga, dan lima dievaluasi (Krauss & Gluckberg, 1969). Anak-anak diminta memberikan intruksi kepada anak sebaya lainnya tentang cara menumpuk satu set balok. Anak sebaya tersebut duduk di belakang layar dengan blok yang sama dengan yang sedang disusun oleh si anak. Anak-anak TK membuat sangat banyak kesalahan dalam member tahu sebayanya entang cara meniru tumpukan blok yang dibuatnya. Anak-anak yang lebih tua, terutama anak kelas lima, jauh lebih baik dalam melihat perspektif dan memikirkan bagaimana cara berbicara kepada sebayanya agar dapat memahami apa yang ia intruksikan. Di sekolah dasar, anak-anaak juga menjadi lebih efisien dalam memahami pesan yang kompleks. Jadi, kemampuan mendengarkan sebaya dalam percobaan ini mungkin membantu komunikasi sebaya tersebut juga.
b. Kemampuan Pemrosesan Informasi Sosial
Bagaimana anak memproses informasi tentang hubungan teman sebaya juga memengaruhi hubungan tersebut (Dodge, Coie, & Lynam, 2006; Gifford-Smith & Rabiner, 2004). Sebagai contoh, misalnya Andrew secara tidak sengaja menabrak dan menjatuhkan minuman Alex. Alex mengartikan tindakan Andrew kasar, yang membuatnya membala perbuatan Andrew dengan agresif. Melalui pertemuan seperti tersebut dengan tingkat yang berulang-ulang, teman- teman lain akan memnadang Alex sebagai orang yang terbiasa berlaku tidak pantas.
merespon lebih cepat, kurang efisien, dan kurang reflektif disbanding anak yang tidak agresif.
c. Pengetahuan Sosial
Kemampuan anak untuk akur dengan teman sebayanya juga bergantung pada pengetahuan sosial. Anak-anak perlu mengetahui tujuan apa yang
seharusnya dikejar ketika situasi tidak jelas, bagaimana memulai dan memelihara ikatan sosial, dan scenario apa yang harus diikuti untuk berteman. Sebagai contoh, sebagai bagian dari scenario berteman, anak-anak akan terbantu jika mengetahui bahwa mengatakan hal-hal yang baik, terlepas dari apa pun yang dilakukan atau dikatakan sebayanya, akan membuat teman sebayanya lebih menyukai si anak.
Perspektif kognitif sosial memandang anak yang tidak bias menyesuaikan diri mengalami kekurangan kemampuan kognitif sosial untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain. (Rabiner dkk, 1991). Satu investigasi mengidentifikasi anak-anak dengan dan tanpa kesulitan penyesuaian diri dengan teman sebayanya dan mengukur kemampuan kognitif sosial mereka (Asarnow & Callan, 1985). Anak-anak tanpa masalah penyesuaian diri dengan teman sebayanya
menghasilkan lebih banyak solusi alternative bagi masalah, menunjukkan perencanaan yang lebih adaptif, dan memiliki respons fisik agresif yang lebih sedikit dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki masalah penyesuaian diri dengan sebayanya.
menggunakan bahasa tubuh negative dalam situasi yang menghasut dibandingkan dengan anak-anak yang disukai (Underwood & Hurley, 1997).
Sebuah studi baru-baru ini berfokus pada aspek emosional dari
pemrosesan informasi sosial pada ank-anak yang agresif (Orobio de Castro dkk, 2005). Anak-anak yang sangat agresif dan sebuah control dari kelompok yang terdiri dari anak-anak kurang agresif, menunjukkan sketsa provokasi yang
melibatkan sebaya. Anak-anak yang sangat agresif menunjukkan lebih sedikit rasa bersalah, menunjukkan maksud yang kasar, dan menghasilkan strategi pengaturan emosi yang kurang adaptif dibandingkan kelopok anak pembanding.
5. Status Sebaya
Anak seperti apakah yang cenderung popular/ disukai daintara sebayanya dan yang seperti aakah anak yang tidak disukai? Ahli perkembangan menjawab pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaan yang sama dengan cara meneliti status sosiometrik, suatu istilah yang menjelaskan sejauh mana anak disukai atau tidak disukai oleh kelompok sebaya mereka (Cillessen & Mayeux, 2004; Rubin, Bukowski, & Parker, 2006). Status sosiometrik biasanya diukur dengan meminta anak-anak mengukur sejauh mana mereka atau tidak menyukai masing-masing teman sekelas mereka. Status sosiometrik juga bias diukur dengan meminta anak-anak meniminasikan anak-anak yang paling mereka sukai dan anak-anak yang paling tidak mereka sukai.
Ahli perkembangan telah membedakan lima status sebaya (Wentzel & Asher, 1995):
Anak-anak populer, sering dinominasikan sebagai sahabat dan jarang tidak
disukai oleh sebaya mereka.
Anak-anak rata-rata, menerima nominasi positif dan negative rata-rata dari
sebaya mereka.
Anak-anak yang diabaikan, jarang dinominasikan sebagai sahabat tetapi tidak
dibenci oleh sebaya mereka.
Anak-anak yang ditolak, jarang dinominasikan sebagai sahabat dan dibenci
secara aktif oleh sebaya mereka.
Anak-anak kontroversial, sering dinominasikan sebagai teman baik tetapi juga
Anak-anak popular memiliki sejumlah kemampuan social yang membantu mereka menajdi disukai. Peneliti telah menemukan bahwa anak yang popular dalam tindakannya ia menguatkan, mendengarkan lebih baik, memlihara jalur komunikasi yang terbuka dengan sebaya, bahagia, mengendalikan emosi negative mereka, menjadi dirinya sendiri, menunjukkan antusiasme, dan kepedulian pada orang lain, serta lebih percaya diri tanpa memuji diri sendiri (Hartup, 1983; Rubin, Bukowski, & Parker, 2006).
Anak-anak yang diabaikan terlibat dalam tingkat interaksi yang rendah dengan sebaya mereka dan sering digambarkan sebagai anak yang pemalu oleh teman sebaya mereka. Anak-anak yang ditolak sering kali memiliki masalah penyesuaian yang lebih serius disbanding anak-anak yang diabaikan (Coie, 2004; Hay, Payne, & Chadwick, 2004; parker & Asher, 1987; Rubin, Bukowski, & Parker, 2006; Sandstom & Zakriski, 2004). Satu studi terbaru menemukan bahwa, di taman kanak-kanak, anak-anak yang ditolak oleh sebaya mereka cenderung kurang terlibat dalam partisipasi di kelas, lebih cenderung mengutarakan keinginan untuk menghindari sekolah, dan cenderung lebih sering merasa
kesepian disbanding anak-anak yang diterima oleh sebaya mereka (Buhs & Ladd, 2001).
a. Penolakan dan Tindakan menyerang Sebaya
Kombinasi antara ditolak oleh sebaya dan bersikap agresif menunjukkan adanya masalah (Ladd, 2006; Rubin, Bukowski, & Parker, 2006). Satu studi mengevaluasi 112 anak kelas lima selama kurun waktu tujuh tahun hingga akhir masa sekolah (Kupersmidt & Coie, 1990). Faktor terbaik untuk memprediksi apakah anak-anak yang ditolak akan terlibat dalam kenakalan remaja atau putus sekolah kelak adalah sebuah tindakan terhadap sebaya pada masa sekolah dasar. Studi terbaru lainnya menemukan bahwa anak kelas tiga yang sanagt agresif dan ditolak oleh sebaya mereka menunjukkan tingkat kenakalan yang lebih tinggi sebagai remaja dan pemuda dibandingkan anak-anak lain (Miller-Johnson, Coie, & Malone, 2003).
Pertama, anak-anak agresif yang ditolak tesebut lebih impulsive dan memiliki
masalah dalam mempertahankan perhatian. Hasilnya, mereka lebih berderung mengacau dalam kegiatan di kelas dan dalam permainan kelompok.
Kedua, anak-anak agresif yang ditolak tersebut lebih reaktif secara emosional.
Kemarahan mereka lebih mudah tersulut dan mereka mungkin lebih sulit menenangkan diri ketika marah. Karena hal ini, mereka lebih cenderung marah pada sebaya dan menyerang secara verbal dan fisik.
Ketiga, anak-anak yang ditolak memiliki kemampuan sosial berteman yang
lebih sedikit dan mempertahankan hubungan yang positif dengan sebaya. Tidak semua anak yang ditolak bersifat agresif (Dodge, Coie, & Lynam, 2006, Haselager dkk, 2002, Hymel, McDougall, & Renshaw, 2004). Walaupun tindakan menyerang dan karakter impulsif serta tindakan mengacau yang terkait dengannya mendasari setengah dari penolakan, kira-kira 10 sampai 20 persen dari anak-anak yang ditolak bersifat pemalu.
b. Program pelatihan kemampuan Sosial
Bagaimana anak-anak yang diabaikan dan ditolak dapat dilatih untuk berinteraksi lebih efektif dengan sebaya mereka? Tujuan dari banyak program pelatihan bagi anak-anak yang diabaikan adalah membantu mereka untuk dapat menarik perhatian dari sebaya mereka dengan cara yang positif dan
mempertahankan perhatian mereka dengan mengajukan pertanyaan,
mendengarkan dengan cara yang hangat dan ramah, dan mengatakan hal-hal tentang diri mereka yang berhubungan dengan minat sebaya tersebut. Mereka juga diajar untuk memasuki kelompok secara lebih efektif.
Campur tangan satu program kemampuan soasial baru-baru ini berhasil meningkatkan penerimaan social dan nilai diri serta menurunkan depresi dan kecemasan pada anak anak yang ditolak oleh sebayanya (DeRoiser & Marcus, 2005). Para siswa berpartisipasi dalam program tersebut sekali seminggu (50 hingga 60 menit) selama delapan minggu. Program ini mencakup instruksi tentang cara mengelola emosi, bagaimana memperbaiki kemampuan prososial, bagaimana menjadi komunikator yang lebih baik, serta cara berkompromi dan bernegosiasi.
Walaupun beberapa program berusaha meningkatkan kemampuan social para remaja menunjukkan hasil yang ppositif, peneliti sering merasa kesulitan memperbaiaki kemampuan social dari remaja yang secara aktif tidak disukai dan ditolak. Banyak dari remaja ditolak karena mereka agresif atau impulsive dan kurang memiliki pengendalian dirii untuk menahan perilaku tersebut. Walaupun demikian, beberapa program telah berhasil mengurangi perilaku agresif dan impulsive dari para remaja tersebut (Ladd, Buhs, & Troop, 2004).
Program pelatihan kemampuan social secara umum lebih berhasil diterapkan pada anak usia 10 tahun atau lebih muda disbanding para remaja (Malik & Furman, 1993). Reputasi sebaya menjadi lebih permanen ketika cocok dan kelompok sebaya menjadi lebih jelas pada masa remaja. Begitu remaja memperoleh reputasi negative diantara sebayanya sebagai “jahat”, “aneh”, “penyendiri”, sikap kelompok sebaya tersebut sering kali lambat berubah, bahakan setelah perilaku negative tersebut telah diperbaiki. Jadi, peneliti telah menemukan bahwa campur tangan keterampilan social mungkin perlu didukung dengan usaha untuk mengubah pikiran sebaya. Satu strategi campur tangan semacam itu membutuhkan pelatihan kelompok kerja sama (Slavin, Hurley, & Chamberlain, 2003). Dalam pendekatan ini, anak-anak atau remaja mencapai suatu tujuan bersama yang menjanjikan perubahan reputasi. Kebanyakan program kelompok kerja sama diselenggarakan dalam konteks akademik, namun konteks lain bias digunakan. Sebagai contoh, partisipasi dalam permainan dan olahraga kerja sama meningkatkan aktivitas berbagi dan perasaan bahagia.
6. Bullying (Menggertak)
nasional baru-baru ini terhadap lebih dari 15.000 siswa kelas enam hingga kelas sepuluh, hampir 1 dari setiap 3 siswa mengatakan bahwa mereka kadang-kadang atau sering menjadi korban bullying (Nansel dkk., 2001). Dalam studi ini, bullying didefinisikan sebagai perilaku verbal dan fisik yang ditujukan untuk mengganggu orang lain yang lemah. Seperti ditunjukkan dalam gambar dibawah ini, diejek mengenai tampang atau cara bicara adalah tipe bullying yang paling sering terjadi.
Gambar tentang perilaku bullying di kalangaan pemuda AS.
sosial, dan agresif sering kali menjadi korban bullying (Hanish & Guerra, 2004). Anak-anak yang cemas dan menarik diri secara social mungkin adalah korban bullying karena mereka tidak mengancam dan cenderung tidak membalas jika digertak, sedangkan anak-anak yang agresif mungkin menjadi sasaran bullying karena perilaku mereka menyebalkan bagi para pelaku bullying (Rubin, Bukoeski, & Parker, 2006).
Apa akibat bullying? Sebuah studi terbaru terhadap anak-anak usia 9 hingga 12 tahun di Belanda menemukan bahwa korban bullying lebih banyak mengalami sakit kepala, masalah tidur, sakit perut, perasaan lelah, dan depresi dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami bullying (Fekkes, Pijpers, & Verloove-Vanhorick, 2004). Suatu studi terhadap siswa kelas enam di AS meneliti tuga kelompok: pelaku bullying, korban, dan anak-anak yang menjadi pelaku sekaligus korban bullying (Juvonen, Graham, & Schuster, 2003). Korban sekaligus pelaku bullying adalah kelompok yang paling bermasalah. Mereka menunjukkan tingkat masalah perilaku, sekolah, dan hubungan yang paling tinggi. Walaupun mengalami peningkatan masalah perilaku, pelaku bullying menikmati posisi tertinggi dari tiga kelompok tersebut diantara teman-teman sekelas mereka. Untuk membaca lebih jauh tentang bullying, lihatlah interlude penelitian dalam perkembangan anak.
Penelitian dalam Perkembangan Anak Korban Agresif, Korban Pasif, dan Bully
Satu studi terbaru meneliti hingga sejauh mana korban agresif (yang memengaruhi sebaya mereka dan merespons ancaman dan serangan dengan agresi yang reaktif), korban pasif (yang menyerah pada kemauan aggressor) dan bully (yang bertindak agresif terhadap sebaya namun jarang dibalas) menunjukkan proses perkembangan yang berbeda (hanish & Guerra, 2004). Anak-anak tersebut dinilai pertama kali pada kelas 4, lalu dinilai lagi pada kelas enam.
item pengukur agresi (sebagai contoh, “Siapa yang senang berkelahi tanpa sebab?”) dan korban (sebagai contoh, “Siapa anak yang sering disalahkan?”).
Hasilnya menunjukkan bahwa “korban agresif kurang superior (prevalens) sementara korban pasif serta bully lebih superior berdasarkan usia. Walaupun sudah umum bagi korban agresif dan bully untuk berpindah dari satu kelompok ke kelompok lainnya, ada sedikit tumpang tindih dengan kelompok korban pasif”
Untuk mengurangi bullying, sekolah dapat melakukan hal-hal berikut (Cohn & Canter, 2003; Limber, 1997, 2004):
1. Menunjuk sebya yang lebih tua sebagai pemantau bullying dan melerai ketika mereka melihat hal tersebut terjadi.
2. Menetapkan aturan dan sanksi sekolah terhadap bullying dan mengumumkannya di seluruh lingkungan sekolah.
3. Membentuk kelompok persahabatan bagi remaja yang sering mengalami bullying oleh sebaya.
4. Memasukkan pesan program antibullying ke dalam tempat ibadah, sekolah, dan konteks lainnya dimana remaja terlibat dalam kegiatan masyarakat. 5. Mendorong orang tua untuk menguatkan perilaku positif anak mereka dan
meneladankan interaksi interpersonal yang semestinya.
6. Mengidentifikasi bully dan korban sejak dini dan menggunakan pelatihan keterampilan sosial untuk memperbaiki perilaku mereka.
Orang tua dapat mengikuti langkah berikut untuk mengurangi bullying (Cohn &Canter, 2003):
1. Menghubungi psikolog sekolah, konselor, atau pekerja sosial dan meminta bantuan tentang anak mereka yang melakukan bullying atau menjadi korban. 2. Terlibat dalam program sekolah memrangi bullying.
3. Menguatkan perilaku positif anak mereka dan mencontohkan interaksi yang tidak melibatkan bullying atau tindakan menyerang.
B. Permainan Dalam Teman Sebaya
Sebagian besar interaksi teman sebaya selama masa kanak-kanak melibatkan permainan. Tetapi walaupun interaksi teman sebaya dapat melibatkan permainan,
(play) adalah suatu kegiatan yang menyenangkan yang dilaksanakan untuk kepentingan itu sendiri.
Permainan meningkatkan afliasi dengan teman sebaya, mengurangi tekanan, meningkatkan perkembangan kognitif, meningkatkan daya jelajah dan memberi tempat terteduh yang aman bagi perilaku yang secara potensial berbahaya. Permainan meningkatkan kemungkinan bahwa anak-anak akan berbicara dan berinteraksi dengan satu sama lain. Selama interaksi ini, anak-anak mempraktekan peran-peran yang akan mereka laksanakan dalam hidup masa kedepannya.
Bagi Freud dan Erikson, permainan adalah suatu bentuk penyesuaian diri manusia yang sangat berguna, menolong anak menguasai kecemasan dan konfik. arena tekanan-tekanan terlepaskan didalam permainan, anak dapat mengatasi masalah-masalah dalam kehidupan. Permainan memungkinkan anak melepaskan energi fsik yang berlebihan dan membebaskan perasaan-perasaan yang tependam. Terapi permainan (play therapy) memungkinkan anak mengatasi frustasi dan merupakan suatu medium bagi ahli terapi untuk menganalisis konfik-konfik anak dan cara-cara mereka mengatasinya. Anak-anak dapat
merasa tidak terancam dan lebih leluasa mengemukakan perasaan-perasaan mereka yang sebenarnya dalam konteks permainan.
Mildred Parten (1932) mengembangan suatu klasifikasi perluasan permainan anak. Didasarkan atas observasi pada anak-anak dalam permainan bebas disekolah asuhan, Parten sampai pada kategori-kategori permainan berikut :
1. Unoccupied play
Terjadi ketika anak tidak melihat permainan seperti anak-anak lain umumnya, tetapi mungkin berdiri disuatu titik, memandang ke sekitar ruangan atau melakukan gerakan-gerakan acak yang nampaknya tidak memiliki tujuan.
2. Solitary play
sedang terjadi. Anak berusia 2 dan 3 tahun lebih sering terlibat dalam solitary play daripada anak-anak prasekolah yang lebih tua. 3. Onlooker play
Terjadi ketika anak menonton orang lain bermain. Anak dapat berbicara dengan anak-anak lain itu dan menanyakan pertanyaan tetapi tidak masuk ke dalam perilaku permainan mereka, minat aktif anak pada permainan anak-anak lain membedakan enlooker play dari onoccupied play. 4. Parallel play
Terjadi ketika anak bermain terpisah dari anak-anak lain, tetapi menggunakan mainan-mainan yang sama seperti yang digunakan oleh anak-anak lain atau dengan car meniru cara mereka bermain.
5. Associative play
Terjadi ketika permainan melibatkan interaksi sosial dengan sedikit organisasi atau tanpa organisasi.
6. Cooperative play
Meliputi interaksi-interaksi sosial didalam suatu kelompok yang memiliki suatu rasa identitas kelompok dan kegiatan yang terorganisasi.
Kategori-kategori parten menyajikan suatu cara berpikir tentang perbedaan jenis-jenis permainan. Para peneliti dan praktisi terlibat dalam permainan anak-anak yakin jenis–jenis permainan lain adalah penting dalam perkembangan anak. Diantara jenis-jenis permainan anak yang diteliti secara lebih luas adalah permainan sensorimotor atau praktis, permainan pura-pura atau simbolos, permainan sosial, permainan konstruktif, dan games (Bergin, 1988).
1. Permainan Sensorimotor atau praktis
Permainan sensorimotor (sensorimotor play) ialah perilaku yang diperlihatkan oleh bayi untuk memperoleh kenikmatan dari melatih perkembangan (skema) sensorimotor mereka. Bayi pada mulanya melibatkan diri dalam penjelajahan dan permainan transaksi visual dan motor pada perempat kedua tahun pertama kehidupan.
2. Permainan Pura-pura atau Simbolis
Permainan Pura-pura atau Simbolis (pretenselsymbolic play) terjadi ketika anak mentransformasikan lingkungan fisik kedalam suatu simbol (DeHart & Smith, 1991; Fein, 1986; Howes, Unger & Seidner, 1989; Rogers & Sawyers, 1988). Antara usia 9 dan 30 bulan, anak-anak meningkatkan penggunaan benda-benda di dalam permainan simbolis mereka. Mereka belajar mentransformasikan benda-benda dengan menggantikan benda itu dengan benda lain dan memperlakukan benda tersebut seperti benda yang digantikan. Catherine Garvey (1977), telah mengobservasi permainan anak-anak kecil. Ia menunjukan bahwa tiga unsur terdapat pada hampir semua permainan pura-pura yang ia observasi: alat-alat, alur cerita dan peran.
3. Permainan Sosial
Permainan Sosial (social play) ialah permainan yang melibatkan interaksi sosial dengan teman-teman sebaya. Kategori parten, yang telah kita diskusikan sebelumnya, berorientasi pada permainan sosial. Permainan sosial dengan teman-teman sebaya meningkat secara dramatis selama tahun-tahun prasekolah. Selain permainan sosial dengan teman-teman sebaya dan permainan kelompok pura-pura atau sosiodrama, bentuk lain permainan sosial adalah permainan yang kasar dan kacau.
4. Permainan Konstruktif
Permainan Konstruktif (Constructive play) mengkombinasikan kegiatan sensorimotor atau praktis yang berulang dengan representasi gagasan-gagasan simbolis. Permainan konstruktif terjadi ketika anak-anak
melibatkan diri dalam suatu kreasi atau konstruksi suatu produk atau suatu pemecahan masalah ciptaan sendiri. Permainan konstruktif meningkat pada tahun-tahun prasekolah ketika permainan simbolis meningkat dan permainan sensorimotor menurun. Pada tahun-tahun prasekolah, beberapa permainan praktis digantikan oleh permainan konstruktif.
5. Games
usia 10 dan 12 tahun (Eiferman, 1971). Setelah usia 12 tahun,
popularitas games menurun, seringkali digantikan oleh permainan praktis, percakapan, dan olahraga yang terorganisasi (Bergin, 1988).
C. Pertemanan
Anak-anak bermain dengan teman-teman yang beragam. Mereka berinteraksi dengan beberapa anak yang sama sekali tidak mereka kenal, dan dengan orang lain yang mereka kenal bail, selama berjam-jam setiap hari. Fungsi Pertemanan
Pertemanan memiliki enam fungsi (Gottman & Parker, 1987)
1. Companionship (persahabatan), pertemanan anak-anak menemukan seorang mitra yang familiar, seseorang yang mau menghabiskan waktu dengan mereka dan bergabung dalam aktivitas kolaboratif.
2. Stimulasi, dengan pertemanan anak-anak mendapatkan informasi yang menarik, kesenangan, dan hiburan.
3. Dukungan fisik, didalam pertemanan terdapat sumber daya dan bantuan. 4. Dukungan ego, dalam pertemanan terdapat harapan akan dukungan,
semangat, dan umpan balik yang membantu anak-anak memelihara kesan diri mereka sendiri sebagai individu yang kompeten, menarik serta pantas untuk ditemani.
5. Perbandingan social, dengan pertemanan dapat menyediakan informasi tentang posisi anak-anak terhadap orang lain dan apakah anak-anak tersebut berlaku baik.
6. Keintiman/afeksi, dalam pertemanan anak-anak dapat mengalami
hubungan yang hangat, dekat, dan saling mempercaya dengan individu lain, yaitu suatu hubungan yang dapat melibatkan keterbukaan diri masing-masing.
sehari-hari, perasaan netral atau marah, hasil yang di paksakan, dan hasil menang-kalah. Konflik antar teman lebih cenderung melibatkan kombinasi topik-topik hubungan, perasaan atau emosi yang ramah, pendapat bebas, dan hasil yang setara atau tanpa hasil.
Pentingnya pertemanan baru-baru ini dikuatkan dalam sebuah studi longitudinal dua tahun (Wenzel, Barry, & Caldwell, 2004). Para siswa kelas enam yang tidak memiliki teman melakukan lebih sedikit perilaku prososial (kerja sama, berbagi, menolong orang lain), memiliki nilai yang lebih rendah, dan lebih stress secara emosional (depresi, kesehatan yang rendah) disbanding teman-temanya yang memiliki satu teman atau lebih. Dua tahun kemudian, pada kelas delapan para siswa yang tidak memiliki teman saat kelas enam akan stress secara emosional.
Hubungan pertemanan sering kali merupakan sumber dukungan yang penting (Berndt, 1999). Sullivan menjelaskan bagaimana teman remaja saling menguatkan perasaan berharga. Ketika teman dekat membeberkan
ketidakamanan dan ketakutan tentang diri masing-masing, mereka menemukan bahwa mereka tidak “abnormal” dan mereka tidak perlu malu. Teman juga bertindak sebagai orang kepercayaan yang penting, yang membantu anak dan remaja memecahkan masalah (seperti masalah dengan orang tua ataupun putus cinta) dengan memberikan dukungan emosional maupun nasihat informal. Teman juga dapat melindungi remaja yang “rentan” dari yang dijadikan korban oleh sebaya (Bukowski, Sippola, & Boivin, 1995). Selain itu, teman juga dapat menjadi mitra yang aktif dalam membentuk perasaan identitas, selama
percakapan yang begitu sering, teman bertindak selaku pemberi makna ketika remaja menggali berbagai isu, dari rencana masa depan hingga posisi dalam masalah moral dan agama.
Strategi Berteman yang Tepat dan Tidak Tepat
Berikut beberapa strategi yang direkomendasikan orang dewasa kepada anak-anak dan remaja dalam berteman (Wentzel, 1997) :
1. Mulailah interaksi, disini pelajarilah tentang teman dengan menanyakan nama, usia, dan aktivitas favoritnya.
2. Bersikaplah baik, tunjukkan kebaikan hati dan bersikaplah pengertian serta pujilah orang tersebut.
3. Tunjukkan perilaku prososial, dengan bersikap jujur dan terpercaya dengan mengatakan apa yang sebenarnya serta menepati janji.
4. Hormatilah diri sendiri dan orang lain, menunjukkan tingkah laku yang baik dan bersikap sopan dan ramah, dengarkan apa yang dikatakan orang lain, dan milikilah sikap dan keperibadian yang positif.
5. Berikan dukungan social
Berikut strategi yang tidak tepat dalam berteman yang
direkomendasikan orang dewasa agara dihindari oleh anak-anak dan remaja (Wentzel, 1997) :
1. Sikap agresif secara psikologis, yaitu sikap yang tidak hormat dan mempunyai perilaku yang buruk, memanipulasi orang lain dengan tindakan tidak kooperatif, tidak mau berbagi, mengabaikan orang lain, menggunjing orang lain serta menyebarkan kabar burung.
2. Penampilan diri secara negatif, yaitu bersikap egois angkuh, suka membanggakan diri sendiri, pencemburu, suka pamer, dan hanya peduli pada diri sendiri, selalu bersikap jahat, buruk, marah, murka dan
menciptakan masalah.
3. Berlaku antisosial, yaitu bertidak agresif secara fisik, berteriak pada orang lain, mengkritik, mempermainkan, berlaku tak jujur, membocorkan rahasia serta melanggar janji.
D. Masa Remaja, Sebaya dan Hubungan Percintaan
baik itu melalui telepon, maupun aktivitas dalam sekolah, lingkungan rumah atau bahkan sekedar kumpul-kumpul. Hubungan sebaya mengalami
perubahan yang penting dalam masa remaja. Pada masa kanak-kanak focus dari hubungan sebaya adalah agar disukai oleh teman sekelas dan dilibatkan dalam permainan atau percakapan.
Tekanan Sebaya dan Konformitas
Konformitas terhadap tekanan sebaya pada masa remaja bias bersifat positif dan juga bersifat negative. Remaja terlibat dalam segala jenis perilaku konformitas yang negative yang contohnya mereka menggunakan Bahasa gaul, mencuri, merusak, dan mempermainkan orangtua serta guru. Namun, sejumlah besar konformitas sebaya antara lain berpakaian seperti teman dan ingin menghabiskan banyak waktu dengan anggota suatu klik, tidak negative dan mencerminkan keinginan untuk terlibat dalam dunia sebaya.
Selama remaja, terutama diawal masa remaja, lebih banyak menyesuaikan diri terhadap standar sebaya disbanding pada masa kanak-kanak. Peneliti telah menemukan bahwa, pada sekitar kelas delapan dan Sembilan, konformitas terhadap sebaya terutama terhadap standar antisosial mereka memuncak (Brendt, 1979; Leventhal, 1994). Pada titik perkembangan ini, seorang remaja lebih cenderung ikut dengan sebaya mencuri velg mobil, menggambar graffiti di dinding, atau mencuri kosmetik di took.
Klik dan Crowd
Klik juga bisa disebut dengan suatu kelompok dengan jumlah yang lebih kecil yang melibatkan keakraban yang lebih besar di antara anggota. Kesetiaan terhadap klik dapat menghasilkan control yang kuat atas kehidupan banyak remaja (McLellan, Hayniesis, Srouse, 1993). Identitas kelompok sering lebih berperan daripada identitas pribadi. Pemimpin dari kelompok dapat membuat anggotanya berada dalam posisi yang menghadapi konflik moral, misalnya menanyakan seperti “apa yang lebih penting, aturan
kelompok atau aturan dari orangtua?” atau “apakah kamu lebih peduli kepada diri sendiri atau kepada anggota kelompok?”.
Crowd (kerumunan) adalah struktur kelompok yang lebih besar dari klik. Remaja biasanya menjadi anggota crowd berdasarkan reputasi mereka dan mungkin atau mungkin tidak menghabiskna banyak waktu bersama. Crowd kurang personal dibandingkan dengan klik . Banyak crowd ditentukan oleh aktivitas yang dilakukan remaja. Misalnya seperti “jocks” yaitu mereka yang bagus dalam olahraga, atau “druggies” yaitu mereka yang menggunakan obat-obatan. Crowd yang berdsarakan reputasi sering muncul pertama kalai pada masa awal remaja dan biasanya menjadi kurang menonjol pada masa akhir remaja (Collins & Steinberg, 2006).
Kelompok Remaja versus Kelompok Anak
Kelompok remaja berbeda dari kelompok anak paling tidak pada tiga hal penting. Pertama, selama masa remaja, kelompok cenderung
memasukkan anggota yang lebih banyak disbanding pada masa kanak-kanak. Anggota kelompok anak sering kali adalah teman atau kenalan di lingkungan tetangga; sebaliknya banyak kelompok remaja yang memasukkan anggota kelompok yang bukan teman ataupun tetangga.
Kedua, dalam kelompok sebaya remaja, aturan dan tata tertib biasanya ditentukan lebih jelas disbanding pada kelompok sebaya anak-anak. Kelompok masa kanak-kanak biasanya tidak seformal kebanyakan kelompok remaja.
dalam suatu observasi yang terkenal. Pada masa kahir kanak-kanak, anak laki-laki dan perempuan berpartisispasi dalam klik yang kecil dan
beranggotakan dengan jenis kelamin sama. Ketika mereka memasuki awal masa remaja, klik berjenis kelamin sama tersebut mulai saling berinteraksi. Secara perlahan, para pemimpin dan anggota berstatus tinggi membentuk klik yang lebih lanjut berdasarkan gabungan jenis kelamin..
Kencan dan Hubungan Percintaan
Walapun banyak remaja laki-laki dan perempuan menjalin hubungan social melalui kelompok sebaya formal dan informal, melalui kencanlah bukan kontak yang lebih serius antar jenis kelamin terjadi (Bouchey & Furman, 2003; Carver, Joyner, & Udry, 2003; Collins &
Steinberg, 2006). Satu studi terbaru terhadap remaja usia 14 tahun hingga 19 tahun menemukan bahwa remaja yang tidak terlibat dalam hubungan
percintaan memiliki kecemasan social yang lebih besar dibandingkan teman mereka yang berkencan atau menajlin hubungan percintaan ( La Greca & Harrison, 2005). Pengalaman romantic pada masa remaja dipercaya
memainkan peran yang penting dalam perkembangan identitas dan keakraban (Erikson, 1968). Hubungan percintaan atau kencan di masa remaja, akan membantu suatu individu dalam membentuk hubungan romantic yang sleanjutnya dan bahkan pernikahan pada masa dewasa.
Pada suatu penelitian remaja yang terlibat dalam suatu hubungan romantic melaporkan pengucilan social yang lebih sedikit dan rasa kesepian yang rendah dari pada rekan mereka yang tidak terlibat dalam suatu hubungan romantic (Connoly & Johnson, 1993). Pada penelitian ini anak laki-laki yang terlibat hubungan romantic terlihat lebih popular di antara teman sebayanya daripada anak laki-laki yang tidak memiliki hubungan romantic.
diawasi dengan sangat oleh para orangtua yang pada masa awal memiliki control yang sangat kuat dalam maslah hubungan heteroseksual.
Pada saat ini menurut Padagham & Blyth, 1991; Paul & White, 1990; Roscoe, Dian & Brooks, 1987; Skipper & Nass, 1966 kencan memiliki fungsi yaitu :
1. Kencan merupakan suatu bentuk rekreasi
2. Kencan merupakan sumber dari status dan keberhasilan
3. Kencan merupakan bagian dari peroses sosialisasi pada masa remaja 4. Kencan meliputi peroses belajar tentang keakraban dan merupakan
sebuah kesempatan untuk menciptakan hubungan yang unik dan berarti denganseseorang dari lain jenis kelamin.
5. Kencan dapat menjadi sarana untuk eksperimen dan penggalian hal-hal seksual.
6. Kencan dapat memebrikan kebersamaan dan berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama-sama dalam hubungan dengan jenis kelamin yang berlainan.
Hubungan percintaan pada pemuda minoritas seksual kebanyakan riset tentang hubungan percintaan pada remaja yang berfokus pada hubungan heteroseksual. Baru-baru ini, peneliti telah memulai mempelajari hubungan percintaan pemuda gay, lesbian dan biseks (Diamond & Savin-Williams & Diamond, 2004).
Usia rata-rata dari aktivitas dari awal sesama jenis kelamin bagi perempuan berkisar antara 14 hingga 18 tahun dan bagi laki-laki dari 13 hingga 15 tahun (Savin-William & Diamond, 2004). Mitra sesame jenis kelamin yang paling umum adalah sahabat. Lebih banyak remaja lesbian disbanding remaja gay yang memiliki pasangan heteroseksual sebelum melakukan aktivitas sesame jenis kelamin, remaja gay lebih cenderung menunjukkan urutan sebaliknya (Savin-Williams & Diamond, 2004).
sebaya heteroseksual (Diamond, 2003). Pentingnya percintaan bagi pemuda minoritas seksual dipertegas dalam suatu studi yang menemukan bahwa mereka menganggap putusnya hubungan percintaan sebagai masalah kedua yang paling membuat stress, dibawah terbongkarnya orientasi seksual mereka kepada orangtua (D’Augelli,1991).
Pola dan Aturan Kencan
Secara umum dipercaya bahwa wanita lebih berorientasi kuat kepada perhatian dalam suatu hubungan dengan lawan jenis, sementara pria lebih tertarik dengan maslah seksual. Untuk maslah minat dengan hal-hal seksual, terlihat bahwa pada masa remaja, pria menunjukkan minat seksual yang kuat daripada wanita walaupun baik pria maupun wanita menunjukkan keinginan yang menguat untuk keterlibatan secara seksual seiring dengan menguatnya hubungan tersebut. Sebagi contoh, remaja pria dan wanita yang telah berpacaran menunjukkan dorongan seksual yang lebih besar daripada rekan mereka yang hanya berkencan beberapa kali dengan orang yang sama ( McCabe & Collins, 1979).
Untuk aspek perhatian dan kepribadian dalam berkencan, wanita menunjukkan minat yang lebih pada pengungkapan kepribadian dan pengungkapan diri sendiri daripada para pria ( Douvan & Adelson, 1996; Feiring, 1992, 1995; Simon & Gagnon, 1969). Namun dalam suatu penelitian baik pria dan wanita mengungkapkan bahwa mereka memulai hubungan kencan dengan orientasi pada perhatian (McCabe & Collins, 1979). Seiring dengan lamanya hubungan, perhatianpun memainkan peran yang penting.
mengikuti rencana yang telah dibuat oleh pria. Perbedaan gender ini memberikan para pria kekuasaan yang lebih besar pada tahap awal suatu hubungan (McMormick & Jessor, 1983).
Menurut studi lain remaja laki-laki dan perempuan memiliki motivasi yang berbeda dalam pengalaman kencan (Feiring, 1996). Gadis berusia 15 tahun lebih cenderung menggambarkan percintaan sebagai kualitas interpersonal, sementara anak laki-laki menggambarkan daya Tarik fisik. Emosi dan Hubungan Percintaan
Emosi yang kuat dalam hubungan percintaan dapat mendorong remaja ke dalam dunia diman segala hal menjadi terbalik dan realitas biasa menjauh dari pandangan (Larson, Clore & Wood, 1999). Seorang anak berusia 14 tahun mengaku bahwa ia begitu jatuh cinta sehingga tidak bisa memikirkan hal yang lain. Seorang gadis berusia 15 tahun sangat marah karena pengkhianatan pacarnya, dia terobsesi untuk bals dendam kepadanya. Fluktuasi emosi dalam hubungan percintaan dapat membuat dunia seakan tidak nyata. Walaupun emosi yang kuat dalam hubungan percintaan dapat memberi efek yang merusak remaja, emosi tersebut juga menjadi sumber dari penguasaan dan pertumbuhan.
Konteks Sosiokultural Kencan
Konteks sosiokultural memberikan pengaruh yang kuat terhadap pola kencan dan pemilihan pasangan remaja (Booth, 2002; Stevnson & Zusho, 2002). Nilai dan kepercayaan religius orang dari berbagai budaya sering kali menentukan usia kencan pertamanya, seberapa jauh kebebasan dalam kencan, apakah harus ditemani oleh orang dewasa atau orangtua, dan peran laki-laki serta perempuan dalam kencan.
Kencan dapat menjadi sumber konflik budaya bagi banyak remaja yang keluarganya berasal dari budaya dimana kencan dimulai pada usia yang terlambat, hanya sedikit kebebasan dalam berkencan yang diizinkan, kencan didampingi, dan kencan bagi gadis remaja yang dibatasi.
Sumber