• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIGNIFIKANSI LOSMEN PURI SEBAGAI BANGUNA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SIGNIFIKANSI LOSMEN PURI SEBAGAI BANGUNA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

SIGNIFIKANSI LOSMEN PURI

SEBAGAI BANGUNAN CAGAR BUDAYA

DI KOTA DENPASAR

Freddy Hendrawan, S.T., M.T.

Dosen Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali Email: freddy_hendrawan@yahoo.co.id

Abstrak

Adanya intervensi Belanda dalam membangun bangunan-bangunan pemerintahan dan

membuat aturan tata ruang Kota Denpasar salah satunya menciptakan permukiman untuk

para pedagang, terutama para pedagang

China

. Dalam perkembangannya Kota Denpasar

menjadi sebuah pusat keramaian dan pusat kemodernan dan mulai banyak didatangi oleh

wisatawan domestik dan mancanegara, sedangkan penginapan atau hotel yang ada di sekitar

wilayah pusat Kota Denpasar hanyalah Bali Hotel yang didirikan tahun 1927. Kemudian

dibangunlah penginapan yang dinamakan Losmen Puri pada tahun 1956 dan berlokasi di

Jalan Arjuna di atas tanah milik Puri Anyar Jambe. Losmen ini memiliki gaya atau langgam

arsitektur Kolonial, seperti halnya arsitektur bangunan Bali Hotel.

Bangunan ini pun memuat

beberapa signifikansi yang memberikan bukti sebagai bangunan bersejarah dan telah

melewati kurun waktu cukup panjang dalam eksistensinya sebagai bangunan publik dengan

fungsinya yang sesuai hingga saat ini. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai

bentuk signifikansi Losmen Puri sebagai bangunan Cagar Budaya di Kota Denpasar.

Sehingga nantinya diharapkan akan diperoleh sebuah upaya yang tepat untuk melestarikan

bangunan Losmen Puri sesuai melalui langkah-langkah sesuai aturan pelestarian oleh

pihak-pihak yang berkompeten dan relevan dalam pelestarian bangunan Cagar Budaya.

Kata Kunci: cagar budaya, Kota Denpasar, Losmen Puri, sejarah

Abstract

The intervention of Netherland in build

government’s buildings and creating the regulation of

Denpasar landuse has created a settlement for traders from China. The development of

Denpasar City has made this city became the centre of crowd and modernization, and also

became tourist destination locally and internationally. However, the facilities of homestay or

hotel around Denpasar City just only Bali Hotel that established in 1927. Furthermore, there

was built Losmen Puri in 1956 and located in Jalan Arjuna on Puri Anyar Jambe land. This

losmen has Colonial style architecture, similar with Bali Hotel style. The building has some

significance that has given prove as a historical building and has passed many decades in

existence as a public facility. In this research, will be analyzing the form of significant in

Losmen Puri building as Cultural Heritage in Denpasar City. Thus, it expects will be obtain

an effort in preserving Losmen Puri building based steps in preserving regulation by

competent and relevan stakeholders.

(2)

PENDAHULUAN

Kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain nilai atau norma, perilaku dan wujud fisik seperti arsitektur. Sebagai bagian dari tradisi yang diwariskan secara turun temurun, kebudayaan memiliki peranan di dalam mengidentifikasi sejarah perkembangan kota dan arsitekturnya. Seperti halnya Kota Denpasar memiliki bentuk kebudayaan yang mampu menciptakan karakteristik sejarah sebagai sebuah kota dan arsitekturnya yang khas. Hal ini memiliki kaitan erat dengan suatu tempat dan sejarah, karena suatu tempat adalah sumber memori individu dan memori kolektif. Dengan demikian suatu tempat atau kota juga memberi kontribusi pada identitas individu dan kolektif, karena karakter dan kepribadian tempat atau kota itu sendiri yang membedakannya dari tempat atau kota lain, dan masyarakat yang tinggal di dalamnya mempunyai rasa memiliki dan keterikatan dengan tempat atau kota tersebut.

Latar belakang perkembangan kota Denpasar (Bappeda, 2009) yang pada mulanya sebagai pusat istana atau puri kemudian berkembang sebagai pusat kota modern dapat dilihat melalui ciri fisik, yaitu adanya bangunan-bangunan tradisional seperti pura (bangunan-bangunan suci bagi umat Hindu di Bali), puri (tempat kediaman bagi bangsawan Bali) dan bangunan-bangunan lain yang berfungsi untuk kepentingan pemerintah, umum, maupun yang dimiliki oleh tiap-tiap kelompok masyarakat. Adanya intervensi Belanda dalam membangun bangunan-bangunan pemerintahan dan membuat aturan tata ruang Kota Denpasar salah satunya menciptakan permukiman untuk para pedagang, terutama para pedagang China yang secara historis telah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda. Para pedagang China yang sebelumnya berlokasi di sebelah selatan Jro Dauh Kalangan atau sekitar kantor Bank Rakyat Indonesia (BRI) sampai sebagian kantor Walikota Denpasar sekarang, kemudian dipindahkan ke sebelah barat yang kemudian dikenal dengan nama Kampung China atau Jalan Gajah Mada sekarang.

Bersamaan dengan itu pasar yang ada di sebelah timur dari komplek pertokoan China atau di sebelah selatan dari Puri Denpasar, kemudian dipindahkan ke pasar dekat Tukad Badung yang kemudian dikenal dengan nama Pasar Badung. Pengaturan tata ruang dan permukiman seperti itu menjadikan kampung China semakin berkembang dan sejalan dengan itu kampung Arab juga ikut mengalami perkembangan sehingga akhirnya menjadi sebuah pusat keramaian dan pusat kemodernan.

Kesempatan inilah yang digunakan oleh A.A Ngurah Alit untuk membangun sebuah penginapan atau losmen karena pada saat itu Kota Denpasar mulai banyak didatangi oleh wisatawan domestik dan mancanegara, dan penginapan atau hotel yang ada di sekitar wilayah pusat Kota Denpasar hanyalah Bali Hotel yang didirikan tahun 1927. Penginapan yang dinamakan Losmen Puri ini didirikan pada tahun 1956 dan berlokasi di Jalan Arjuna di atas tanah milik Puri Anyar Jambe. Losmen ini dibangun bukan oleh seorang arsitek, tetapi oleh seorang tukang bangunan yang berasal dari Bali. Gaya atau langgam arsitektur Losmen Puri pun mengikuti langgam yang sedang tren saat itu, yaitu langgam arsitektur Kolonial, seperti halnya arsitektur bangunan Bali Hotel.

(3)

maupun arsitektur perkotaan merupakan salah satu daya tarik bagi sebuah kawasan. Dengan terpeliharanya bangunan kuno atau bersejarah pada suatu kawasan akan memberikan ikatan kesinambungan yang erat antara masa kini dan masa lalu.

Berdasarkan UU. RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang dimaksud dengan Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan melalui proses penetapan. Selain itu, yang dimaksud sebagai bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan atau tidak berdinding, dan beratap.

Terkait dengan lingkup Pelestarian Cagar Budaya dalam UU. RI No. 11 Tahun 2010 yang meliputi Pelindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di air, keberadaan Losmen Puri hingga saat ini memerlukan sebuah strategi yang tepat dalam menjaga keberlanjutannya sebagai objek bersejarah. Oleh karena itu di dalam penelitian ini akan dilakukan analisis pula mengenai bentuk strategi pelestarian yang tepat pada bangunan Losmen Puri sebagai bangunan Cagar Budaya di kota Denpasar. Sehingga nantinya diharapkan akan diperoleh sebuah upaya yang tepat untuk melestarikan bangunan Losmen Puri sesuai melalui langkah-langkah sesuai aturan pelestarian oleh pihak-pihak yang berkompeten dan relevan dalam pelestarian bangunan Cagar Budaya. Bahkan dalam perkembangan berikutnya diharapkan pula dapat menjadi sumbangan informasi dalam mengidentifikasi bangunan atau benda-benda Cagar Budaya di Kota Denpasar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu dengan melakukan observasi langsung terhadap bangunan arsitektur dan interior Losmen Puri di Kota Denpasar. Analisa akan dilakukan secara deskriptif dengan didasarkan pada tinjauan teori yang relevan.

TINJAUAN TEORI

1. Definisi Pelestarian

Budiharjo dalam Prasetyowati (2008:216) menyatakan bahwa konservasi merupakan istilah yang menjadi payung dari semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan internasional yang telah dirumuskan dalam Piagam Burra Tahun 1981. Beberapa batasan pengertian tentang istilah-istilah dasar yang disepakati dalam Piagam Burra adalah Konservasi, Preservasi, Restorasi, Rekonstruksi, Adaptasi, dan Demolisi. Sedangkan istilah lain menurut Fielden dalam Samodra (2008:1), Pelestarian Pusaka merupakan upaya untuk mencegah kerusakan dan mengatur dinamika perubahannya. Hal tersebut mencakup semua kegiatan yang memperpanjang umur kekayaan kultural dan natural, sehingga dapat dinikmati saat ini. Kesepakatan dunia untuk memelihara kawasan lama salah satunya ada pada Venice Charter tahun 1964, bagian satu Piagam Charter yang memberikan panduan terminologi konservasi sebagai berikut:

”Konsep bangunan bersejarah mencakup tidak

hanya dari satu bangunan tunggal akan tetapi juga setting kota atau pedesaan dimana ditemukan bukti bagian peradaban, pembangunan yang signifikan dan kejadian

bersejarah”.

2. Lingkup Pelestarian

(4)

lingkup pelestarian dapat digolongkan dalam beberapa luasan, antara lain:

a. Satuan Areal, yaitu berupa sub kota atau bahkan kota itu sendiri secara keseluruhan sebagai suatu sistem kehidupan. Keadaan seperti ini bias terjadi pada suatu kota yang mempunyai cirri-ciri atau nilai yang khas.

b. Satuan Pandangan/View, yaitu suatu satuan berupa aspek visual yang dapat memberikan bayangan mental (image) yang khas tentang suatyu lingkungan kota, seperti path, edge, node, district, dan landmark.

c. Satuan Fisik, yaitu satuan yang berwujud bangunan, kelompok atau deretan bangunan-bangunan, rangkaian bangunan yang membentuk ruang umum atau dinding jalan, dan apabila dikehendaki lebih jauh lagi dapat diperinci pada unsur-unsur bangunan, baik unsur-unsur fungsional, struktur atau estetis ornamental. Sedangkan secara umum, bentuk konservasi meliputi kota dan desa, distrik, lingkungan perumahan, garis cakrawala wajah jalan dan bangunan.

3. Prinsip Konservasi

Menurut Prof. Eko Budihardjo dalam Prasetyowati (2008:220), beberapa prinsip konservasi yang perlu diperhatikan adalah: a. Konservasi dilandasi atas penghargaan

terhadap keadaan semula dari suatu tempat dan sesedikit mungkin melakukan intervensi fisik bangunannya, supaya tidak mengubah bukti-bukti sejarah yang dimilikinya.

b. Maksud dari konservasi adalah untuk menangkap kembali makna kultural dari suatu tempat dan harus bisa menjamin keamanan dan pemeliharaannya di masa mendatang.

c. Konservasi suatu tempat harus dipertimbangkan segenap aspek yang berkaitan dengan makna kulturalnya tanpa menekankan pada salah satu aspek saja dan mengorbankan aspek yang lain.

d. Suatu bangunan atau suatu hasil karya bersejarah harus tetap berada pada lokasi historisnya. Pemindahan seluruh atau sebagian dari suatu bangunan atau hasil karya tidak diperkenankan kecuali bila hal tersebut merupakan satu-satunya cara guna menjamin kelestariannya.

e. Konservasi menjaga terpeliharanya latar visual yang cocok seperti bentuk, skala, warna, tekstur, dan bahan pembangunan. Setiap perubahan baru yang akan berakibat negatif terhadap latar visual tersebut harus dicegah.

f. Kebijaksanaan konservasi yang sesuai untuk suatu tempat harus didasarkan atas pemahaman terhadap makna kultural dan kondisi fisik bangunannya.

4. Konsep Pelestarian

Menurut Bagoes P. Wiryomartono dalam Musadad (2005:304), beberapa butir tentang pelestarian bangunan lama antara lain adalah sebagai berikut:

a. Pelestarian bangunan-bangunan kuno di Indonesia menuntut pemikiran kembali hakikat keberadaannya di tengah kehidupan komunitas sekarang. Dengan demikian yang perlu dilestarikan bukan hanya bangunannya saja tetapi keterkaitan antara bangunan tersebut terhadap kehidupan komunitas di sekelilingnya. b. Sejarah bangunan hingga saat ini masih

merupakan sesuatu sumber penting bagi pelestarian bangunan-bangunan lama. Kelangsungan suatu bangunan mungkin menantang sejarah apabila tidak mampu menjawab masalah-masalah yang muncul yang meliputi kehidupan ekonomi komunitas, kebanggaan lokalitas dan masalah-masalah sosial setempat.

c. Sejarah bangunan memiliki bobot tersendiri untuk membangun struktur makna edukatif yaitu relevansinya dengan kehidupan sekarang dan yang akan datang.

(5)

sosial budaya saja melainkan dari segi sosial ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan pendapat dan perluasan lapangan kerja. Misalnya pemanfaatan lingkungan tradisional yang tertata baik sebagai objek wisata atau revitalisasi bangunan kuno dengan menambahkan fungsi baru yang bersifat komersial. Nilai spesifik dari rona arsitektur kota didasari oleh karakter perilaku perubahan sosial budaya masyarakat kota yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan kriteria spesifik untuk wilayah yang bersangkutan. Demikian pula dengan bangunan yang mempunyai peran terhadap kawasan dan dapat menjadi orientasi terhadap kawasan sekitar.

5. Cagar Budaya

UU. RI No. 11 Tahun 2010 Bab I, pasal 1 juga memaparkan bentuk pelestarian yang disebut Cagar Budaya. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan melalui proses penetapan. Selain itu dalam Undang-undang ini juga memuat beberapa hal dan ketentuan mengenai Cagar Budaya, seperti benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria:

a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; b. mewakili masa gaya paling singkat berusia

50 (lima puluh) tahun;

c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan

d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau

sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. Bangunan Cagar Budaya dapat berunsur tunggal atau banyak, dan atau berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.

Undang-undang tersebut dipertegas lagi dengan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003, yang bertekad untuk bersama-sama melaksanakan Agenda Tindakan dalam Dasa Warsa Pelestarian Pusaka Indonesia 2004-2013 meneguhkan upaya pelestarian sebagai berikut:

a. Pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana. Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan budaya dalam kesatuan ruang dan waktu.

b. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud dan pusaka tidak berwujud. c. Pusaka yang diterima dari

generasi-generasi sebelumnya sangat penting sebagai landasan dan modal awal bagi pembangunan masyarakat Indonesia di masa depan, karena itu harus dilestarikan untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik, tidak berkurang nilainya, bahkan perlu ditingkatkan untuk membentuk pusaka masa mendatang.

(6)

dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas.

Hal yang sama juga dikemukakan dalam Guidelines for Preparing Conservation Plan (1994) bahwa penentuan apakah suatu bangunan atau tempat tertentu layak dilindungi sebagai warisan sejarah ditentukan juga oleh aspek-aspek non fisik yaitu:

a. Mempunyai nilai estetik yaitu menunjukkan aspek desain dan arsitektur suatu tempat.

b. Mempunyai nilai edukatif yaitu menunjukkan gambaran kegiatan manusia di masa lalu di tempat itu dan menyisakan bukti-bukti yang asli. Dapat mencakup teknologi, arkeologi, filosofi, adat istiadat, selera dan kegunaan sebagaimana halnya juga teknik atau bahan-bahan tertentu. c. Nilai sosial atau spiritual yaitu keterikatan

emosional kelompok masyarakat tertentu terhadap aspek spiritual, tradisional, politis atau suatu peristiwa.

d. Nilai historis yaitu asosiasi suatu bangunan bersejarah dengan pelaku sejarah, gagasan atau peristiwa tertentu. Mencakup analisis tentang aspek-aspek yang tidak kasat mata (intangible aspects) dari masa lalu bangunan tersebut.

6. Strategi Pelestarian

Pelestarian Cagar Budaya dalam UU. RI No. 11 Tahun 2010 meliputi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di air. Sedangkan di dalam strategi Pelestarian Pusaka harus dapat memelihara dan jika memungkinkan tetap menjaga pesan dan nilai budaya objek tersebut. Sedangkan persiapan prosedur untuk melakukan konservasi menurut sumber yang sama adalah melakukan inventarisasi terhadap semua objek konservasi, melakukan tinjauan awal terhadap kawasan dan melakukan dokumentasi pada objek-objek tersebut (Fielden dalam Samodra, 2008:1).

Dalam Piagam Burra strategi di dalam usaha pelestarian dapat berupa (Prasetyowati, 2008:217) :

a. Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar kandungan makna kulturalnya terpelihara dengan baik yang meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dapat pula mencakup preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi.

b. Preservasi adalah pelestarian suatu tempat persis seperti keadaan semula tanpa ada perubahan, termasuk upaya mencegah penghancuran.

c. Restorasi/rehabilitasi adalah mengembalikan suatu tempat ke keadaan semula dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula tanpa menggunakan bahan baru. d. Rekonstruksi adalah mengembalikan suatu

tempat semirip mungkin dengan keadaan semula dengan menggunakan bahan lama maupun bahan baru.

e. Adaptasi/revitalisasi adalah merubah tempat agar dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai. Yang dimaksud dengan fungsi yang lebih sesuai adalah kegunaan yang tidak menuntut perubahan drastis atau yang hanya memerlukan sedikit dampak minimal.

f. Demolisi adalah penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah rusak atau membahayakan.

(7)

Tabel 2.1 Tingkat Perubahan Kegiatan

Sumber : Dobby, A dalam Prasetyowati, 2008.

Eko Budiharjo dalam Prasetyowati (2008 222-224) merumuskan tahapan dalam proses konservasi, antara lain:

a. Tahap 1. Inventarisasi/ Pengumpulan Data Pendataan dimulai dengan survey-survey terhadap dokumen-dokumen Sesudah itu dilakukan observasi dan wawancara di lapangan kepada semua pihak yang terkait. Keadaan semula harus direkam terlebih dahulu secara lengkap dan dianalisa agar dapat disusun secara sistematis arti penting tempat tersebut hingga inventarisasi kelompok-kelompok bukti fisik dan menyusun urut-urutan prioritas sesuai dengan artinya, kelangkaannya, kualitas dan sebagainya.

b. Tahap 2. Penyusunan/ Pengolahan Data dan Analisa

Dalam tahapan ini dilakukan terlebih dahulu penyusunan/pengolahan data secara sistematis untuk kemudian dilakukan analisa terhadap setiap obyek konservasi. Dari seluruh data yang diperoleh dilakukan kategorisasi atau klasifikasi jenisjenis bangunan atau lingkungan yang diteliti, mulai dari skala makro sampai mikro.

c. Tahap 3. Pengkajian Makna Kultural

Dalam tahapan ini dilakukan pengkajian makna kultural dengan tolak ukur : estetika, kejamakan, kelangkaan, peran sejarah, pengaruh terhadap lingkungan dan keistimewaan. Tidak tertutup pula kemungkinan untuk penggunaan tolak ukur lain seperti misalnya nilai-nilai sosial (kualitas

tempat/lingkungan yang menjadi pusat kegiatan spiritual), nilai ilmiah (manfaat tempat/lingkungan terhadap pengembangan ilmu dan jasa informasi), nilai komersial (arti penting suatu tempat/ lingkungan untuk kegiatan yang menghasilkan uang).

d. Tahap 4. Penentuan Prioritas dan Peringkat Dari hasil pengkajian makna kultural dengan menggunakan pembobotan akan diperoleh prioritas dan peringkat dari setiap obyek penelitian. Hasil inilah yang akan dapat digunakan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan konservasi dan strategi untuk implementasinya (tahap 5 dan 6).

e. Tahap 5. Perumusan Kebijakan Konservasi

Alternatif kebijakan meliputi konservasi, preservasi, restorasi/rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi/revitalisasi dan demolisi/penghancuran.

f. Tahap 6. Strategi Implementasi g. Tahap 7. Program dan Perencanaan

h. Tahap 8. Pembiayaan dan Pelaksanaan di Lapangan.

PEMBAHASAN

1. Lokasi Penelitian

(8)

Gambar 1. Lokasi Losmen Puri

Sumber: Google Earth, 2017

Salain (2011:74) menyatakan bahwa Kota Denpasar kini adalah sebuah kota yang terbentuk oleh karena waktu, pelaku dan kekuasaan yang melapisinya. Menurutnya sejarah, kota Denpasar dibagi menjadi tiga babak, yaitu kerajaan (tradisi), penjajahan (kolonial), dan kemerdekaan (kebebasan). Saat kejayaan Puri Denpasar sirna karena konflik dengan Pemerintah Kolonial ketika perang Puputan Badung, mulai mengambil alih serta menjadikan Puri Denpasar dengan fungsi baru untuk mendukung simbol pemerintahannya seperti kantor yang berada di sisi Selatan, perumahan di sisi Timur dan Utara, serta sisi Barat dibangun Bali Hotel.

Untuk mengembangkan kebijakannya pun Pemerintah Kolonial berupaya mengembangkan Kota Denpasar untuk menjadi kota kolonial (colonial city). Dalam hal ini diterapkannya sistem birokrasi Kolonial dimana pemerintah kemudian membangun kantor-kantor pemerintahan. Selain itu, Pemerintah Kolonial berusaha membangun berbagai sarana untuk kepentingan umum seperti rumah sakit, pos polisi, sarana pertanian, perdagangan dan sebagainya. Keadaan yang demikian menuntut pengembangan kota yang didasari atas perencanaan pengembangan kota secara lebih memadai baik dari segi sosial maupun fisik kota. Dapat dilihat bahwa dari segi sosial ekonomi diusahakan dengan membangun dan

memperbaiki sarana dan prasarana umum untuk kemajuan masyarakat. Penempatan berbagai perkantoran, rumah-rumah pejabat pemerintah, pemukiman penduduk, kawasan wisata merupakan bagian dari usaha pemerintah kolonial untuk menata perkembangan Kota Denpasar (Soenaryo dalam Ardhana, 2004: 6).

(9)

Gambar 2. Bali Hotel

Sumber: Dokumen Collectie Tropen Museum, diunduh di http://collectie.tropenmuseum.nl

Gambar 3. Jalan Gajah Mada Tahun 1949

Sumber: Dokumen Collectie Tropen Museum, diunduh di http://collectie.tropenmuseum.nl

2. Objek Penelitian

Objek di dalam penelitian ini adalah bangunan Losmen Puri yang telah berdiri sejak 1956 di pusat Kota Denpasar ketika perkembangan Jalan Gajah Mada sebagai kawasan perdagangan. Bangunan bersejarah (Heritage Building) yang telah berumur lebih dari 50 tahun ini dibangun oleh A.A. Ngurah Alit sebagai upaya untuk memberikan fasilitas umum untuk memenuhi kebutuhan akan akomodasi penginapan bagi wisatawan yang datang ke pusat kota Denpasar. Hingga saat ini fungsi bangunan masih tetap sama, yaitu sebagai bangunan penginapan.

Gambar 4. Tampak Depan Losmen Puri

Sumber : Dokumentasi 2016

Bangunan berlanggam kolonial yang dipadukan dengan ATB ini dibangun di atas tanah milik Puri Anyar Jambe. Walaupun banyak intervensi dari berbagai pihak, baik dari keluarga dalam puri maupun luar puri untuk merenovasi dan mengembangkan Losmen Puri, tetapi pemilik masih berkeinginan untuk mempertahankan bentuk dan fungsi bangunan seperti semula hingga saat ini. Bangunan dengan luas + 2 are ini terdiri dari dua lantai dengan menggunakan material-material bangunan seperti batu bata, tegel dan kayu jati.

Lingkungan sekitar Losmen Puri yang pada saat ini dikelola oleh adik kandung A.A. Ngurah Alit sebagian besar adalah kawasan perdagangan, permukiman dan perkantoran. Keberadaan bangunan di pusat Kota Denpasar ini memberikan karakteristik visual bukti sejarah terhadap perkembangan kawasan. Selain itu bangunan ini juga tetap memberikan dampak nilai komersial baik bagi bangunan itu sendiri maupun lingkungan di sekitarnya.

(10)

a. Nilai Historis

Berdasarkan informasi dari A.A. Ketut Oka selaku salah satu kerabat pemilik Losmen Puri yang mengatakan bahwa bangunan penginapan ini dibangun pada saat Kota Denpasar mulai mengalami perkembangan terutama kawasan Jalan Gajah Mada sebagai pusat perdagangan saat itu. Sekembalinya A.A. Ketut Ngurah sebagai pendiri bangunan ini dari sekolahnya di Jakarta, dan melihat perkembangan kawasan Jalan Gajah Mada sebagai pusat perdagangan dimanfaatkan dengan mendirikan bangunan penginapan yang memang pada saat itu di sekitar wilayah Kota Denpasar hanya terdapat Bali Hotel yang berada di Jalan Veteran hingga saat ini. Ide awal untuk membangun Losmen Puri di atas tanah milik Puri ini sebelumnya ditentang oleh adik A.A. Ketut Ngurah dan disarankan lebih baik untuk mendirikan pabrik tahu. Tetapi karena pertimbangan lokasi di tengah Kota Denpasar dengan fasilitas pembuangan limbah yang kurang memadai, maka ide untuk mendirikan pabrik tahu tersebut diurungkan.

Bangunan penginapan yang didirikan tahun 1956 ini mendapat respon cukup positif oleh wisatawan domestik khususnya yang berasal dari Jawa ketika dibuka untuk pertama kalinya. Selain itu Losmen Puri ini pun sering dijadikan sebagai tempat untuk menginap bagi para pegawai pemerintahan dan tentara dari Jawa yang sedang berdinas ke Kota Denpasar pada saat itu.

b. Nilai Arsitektur

Bangunan yang terletak di Jalan Arjuna ini dibangun oleh tukang berasal dari Bali yang memiliki kemampuan mengerjakan bangunan dengan langgam yang sedang tren saat itu, yaitu langgam Kolonial. Bentuk visual arsitektur ruang luar dan ruang dalam tidak mengalami perubahan hingga saat ini. Perawatan dilakukan hanya dengan membersihkan dan mengecat dinding.

Gambar 5. Ruang Dalam di Lantai Dasar

Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 6. Ruang Dalam di Lantai Satu

Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 7. Ruang Terbuka di Tengah Bangunan

Sumber: Dokumentasi 2016

(11)

jendela dan pintu yang berjeruji dan bersekat-sekat, serta ventilasi kecil yang dan memanjang semakin menguatkan langgam arsitektur kolonial pada bangunan Losmen Puri ini.

Gambar 8. Patung (Artwork) Tradisional Bali

Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 9. Pilar di Bagian Luar Bangunan

Sumber: Dokumentasi 2016

Perpaduan warna merah dan krem ini masih dipertahankan hingga saat ini. Tetapi fungsi bagian bangunan di bagian utara yang dulunya merupakan ruang kamar tidur Losmen Puri telah berubah fungsi menjadi warung menjual makanan khas Bali. Halaman di depan losmen ini dulunya cukup luas dan dalam perkembangannya mulai termakan oleh badan jalan, sehingga semakin menyempit.

Gambar 10. Warung (atas) dan Halaman pada Losmen Puri (bawah)

Sumber: Dokumentasi 2016

(12)

Gambar 11. Material Lantai, Dinding, dan Ceiling

pada Losmen Puri

Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 12. Stop Kontak, Gagang Pintu dan Ventilasi pada Losmen Puri

Sumber: Dokumentasi 2016

Gambar 13. Furnitur pada Losmen Puri

Sumber: Dokumentasi 2016

c. Nilai Ekonomi

Sebelum Losmen Puri ini dibangun, lingkungan di sekitarnya sebagian besar masih berupa tanah kosong yang dimiliki oleh Puri. Seiring dibangunnya bangunan penginapan ini, fasilitas-fasilitas perdagangan mulai berkembang berbarengan dengan kawasan perdagangan Jalan Gajah Mada. Tanah yang dibangun saran perdagangan ini adalah tanah yang telah dijual oleh pihak puri, dan sebagian ada juga tanah yang dipinjam oleh pihak pemerintah dan digunakan sebagai pos penjagaan. Harga sewa ketika awal dibukanya Losmen Puri ini adalah sebesar Rp. 50,- dan hingga saat ini berkembang menjadi Rp. 50.000,- per harinya. Penyewa losmen pada saat ini sebagian besar adalah pedagang berasal dari Jawa yang telah berlangganan dan turun temurun mengetahui bangunan ini sejak dahulu.

4. Bentuk Pelestarian Bangunan Losmen Puri sebagai Bangunan Cagar Budaya Saat Ini Kondisi fisik bangunan Losmen Puri saat ini masih dapat dipertahankan oleh pemiliknya dan tidak ada keinginan sedikit pun untuk merubah bentuk maupun fungsinya, walaupun intervensi untuk merubah bentuk dan fungsi bangunan ini sering dilontarkan oleh pihak keluarga dalam maupun luar Puri Anyar Jambe ini.

Bentuk pelestarian yang telah dilakukan oleh pihak internal bangunan Losmen Puri yang telah berumur lebih dari 55 tahun ini adalah dengan menjaga fungsi dan bentuk bangunan, bahkan furnitur ruang dalam bangunan. Selain itu dilakukan pula perawatan rutin setahun sekali dengan mengecat kembali dinding dan plafond dengan warna yang sama seperti awal bangunan ini berdiri.

(13)

sekitar Losmen Puri ini dikatakan cukup banyak mengalami perkembangan dan perubahan. Mulai banyak berdiri bangunan-bangunan tinggi dan ruang terbuka semakin hilang.

Dari pihak eksternal, sebagian masyarakat banjar Lelangon cukup memiliki kesadaran untuk mendukung keberadaan Losmen Puri ini agar dapat bertahan dengan kondisi fisik seperti pada awal bangunan ini berdiri. Berdasarkan informasi dikatakan pula bahwa Losmen Puri ini telah diinventarisasi oleh pihak Pemerintah Kota Denpasar sebagai benda Cagar Budaya. Tetapi tahapan bangunan ini sebagai benda cagar budaya hanya sebatas inventarisasi dan belum ada tahap atau tanggapan terhadap bentuk pelestariannya.

5. Strategi Pelestarian Bangunan Losmen Puri sebagai Bangunan Cagar Budaya

Strategi di dalam pelestarian bangunan Losmen Puri yang telah memenuhi persyaratan sebagain benda Cagar Budaya adalah sesuai dengan signifikansi dan kondisi fisik bangunan yang masih terjaga keasliannya hingga saat ini adalah preservasi, yaitu mempertahankan bentuk dan fungsi bangunan Losmen Puri ini dalam keadaan aslinya tanpa ada perubahan dan mencegah adanya kehancuran. Perubahan fungsi yang terjadi pada bagian utara bangunan ini dapat menjadi nilai tambah dalam memperkaya dan melestarikan budaya Bali dalam lingkup kuliner.

Peran pemerintah dan masyarakat dalam menerapkan strategi ini juga sangat dituntut untuk aktif. Karena jika hanya proses pelestarian hanya dilakukan melalui inventarisasi dan tidak dilakukan pengawasan terhadap kondisi bangunan ini secara intensif sangat memungkinkan terjadi intervensi yang mampu menghilangkan salah benda cagar budaya Kota Denpasar. Pengesahan Perda tentang benda cagar budaya juga sangat dinanti dan diperlukan sebagai upaya mengatur secara hukum eksistensi benda cagar

budaya, khususnya keberadaan Losmen Puri ini oleh pemilik, masyarakat dan pemerintah Kota Denpasar.

Simpulan

Pelestarian bangunan bersejarah merupakan suatu pendekatan yang strategis di dalam pembangunan kota karena pelestarian menjamin kesinambungan nilai-nilai kehidupan dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh aktor pembangunan (stakeholder). Upaya pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu. Pelestarian pun harus dilakukan dengan melakukan identifikasi dan analisa terhadap objek oleh pihak-pihak yang berkompeten sebagai upaya menentukan jenis pelestarian yang tepat untuk dilakukan sehingga prinsip dan tujuan pelestarian dapat tercapai.

Saran

Pentingnya peran serta semua komponen di dalam suatu kota, khususnya Kota Denpasar dalam melakukan pelestarian terutama memberikan pemahaman terhadap definisi sebuah pelestarian terhadap benda cagar budaya. Oleh karena itu, diperlukan lebih banyak lagi kajian mengenai pelestarian benda cagar budaya dan realisasinya terkait perkembangan sebuah kota.

Daftar Pustaka

Ardhana. 2004. Denpasar: Perkembangan Dari Kota Kolonial Hingga Kota Wisata. Dalam: Prosiding Konferensi International I Sejarah Kota (The First International Conference on Urban History), Universitas Airlangga, Surabaya, 23-25 Agustus 2004. Surabaya: Universitas Airlangga.

(14)

International Council of Monuments and Sites. 1999. Burra Charter. Australia: Autralia ICOMOS Inc.

Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia. 2003. Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI.

Muchamad, Bani Noor, Ira Mentayani. 2004. Model Pelestarian Arsitektur Berbasis Teknologi Informasi, Studi Kasus: Arsitektur Tradisional Suku Banjar. Dalam: Dimensi Teknik Arsitektur, Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Volume 32 Nomor 2, Desember 2004. Surabaya: Universitas Kristen Petra.

Musadad. 2005. pengelolaan Stasiun Jebres dan Kwasannya dalam Upaya Pelestarian Sumber Daya Arkeologi. Dalam: Jurnal Humanika Program Studi Arkelologi, Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Nomor 18, Volume 2, April 2005. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Jakarta.

Salain, Putu Rumawan. 2011. “Arsitektur Tradisional Bali pada Masjid Al Hikmah di Kota Denpasar (Perspektif Kajian Budaya)” (tesis). Denpasar: Program Studi Kajian Budaya. Universitas Udayana.

Samodra, F.X. Teddy Badai. 2008. Tanggap Lingkungan Pelestarian Pusaka Tampang Arsitektur Kolonial. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Peran Arsitektur Perkotaan dalam Mewujudkan Arsitektur Kota Tropis. Semarang : Universitas Diponegoro.

Sumber Website:

Anonim. 1971. De entree van het Balihotel.

Available from: URL:

Gambar

Tabel 2.1 Tingkat Perubahan Kegiatan
Gambar 1. Lokasi Losmen Puri
Gambar 3. Jalan Gajah Mada Tahun 1949
Gambar 6. Ruang Dalam di Lantai Satu
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Palembang untuk dapat terus meningkatkan kualitas sistem yang lebih baik agar sebuah sistem memiliki pengaruh yang lebih besar

Terlihat POLISI 1 memborgol PENGEDAR 2, SACHIKO bersama RENALDO, dan SISTA sedang memangku ROMI yang

Pada Gambar 6a menunjukkan bahwa dalam simulasi ETAP nilai tegangan disisi sumber dari penyulang Cengkong Abang setelah dilakukan rekonfigurasi dengan penyulang

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Adakah peningkatan hasil belajar peserta didik melalui

Organisasi proyek adalah sistem hubungan kerjasama dari berbagai pihak yang terlibat pada suatu proyek pembangunan dalam mengatur pelaksanaan berbagai pekerjaan

Berdasarkan uraian tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam

Berdasarkan hasil dari penelitian Skripsi ini, diharapkan dengan adanya Sistem Informasi Penjualan yang diranncang dapat membantu Lung Ma Motor dalam melakukan

Jenis tindakan medis yang akan diberikan Dokter / Drg / Petugas Pelaksana Tindakan Pemberi Informasi..