• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tulisan Untuk Diskusi Kebijakan Publik Demokrasi Kekuasaan dan Habitus 844374542

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Tulisan Untuk Diskusi Kebijakan Publik Demokrasi Kekuasaan dan Habitus 844374542"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Demokrasi, Habitus dan Pembangunan Institusi Oleh Haryatmoko

Demokrasi biasanya dikaitkan dengan sistem representasi, pengaturan pembagian

kekuasaan dan pengawasannya, metode mengorganisir kepentingan-kepentingan dan

pengaturan hukum atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada

kewarganegaraan (L.Diamond, 2009: 91).

Dalam demokrasi, legitimitas politik mencari pembenarannya melalui persetujuan

warganegara. Persetujuan ini dilandaskan pada komunikasi (J.Habermas, 1981). Tidak ada

norma atau nilai yang tidak dapat diperdebatkan, dipertanyakan atau dikritik. Argumentasi

menjadi cara mencari dasar persetujuan tindakan kolektif. Apakah prosedur demokrasi

membantu warganegara lebih memiliki komitmen etis (komponen utama identitas naratif)?

Acuan ke identitas naratif bisa menjadi ukuran sejauh mana keputusan Mahkamah Konstitusi

(anggota legislatif dipilih suara terbanyak) mampu membuka dinamika politik baru.

Dilema dan Solidaritas

Model tindakan komunikatif itu dilematis. Di satu sisi, tindakan komunikatif sering

dikritik terlalu ideal sehingga syarat-syaratnya (tulus, benar, tepat, menunda kepentingan

masing-masing peserta) sulit dipenuhi. Di sisi lain, upaya mewujudkan tuntutan itu bisa

menjadi latihan untuk membentuk orang yang terbuka dan memiliki komitmen. Seringnya

perjumpaan, dalam kerangka diagnostik masalah dan upaya-upaya kolektif, akan

menumbuhkan saling kepercayaan.

Demokrasi deliberatif, yang memberi kesempatan kepada suatu suara mengungkap

alasan-alasannya, menjadi tempat persemaian bagi tumbuhnya saling pengertian. Oleh karena itu,

diskusi jangan dibatasi oleh urgensi untuk segera mengambil keputusan atau segera bertindak.

Peserta dituntut bisa menahan diri untuk menunda kepentingan masing-masing. Tuntutan ini

dalam realita politik sulit dipenuhi karena masing-masing pihak sudah memiliki prioritas,

motivasi dan tujuan. Terkurasnya energi karena konflik kepentingan ini bila diarahkan oleh

politik budaya yang multikultural bisa memancing kesadaran rasa kebangsaan. Mengapa?

Ketika pilihan rasional masing-masing pihak berkutat pada kepentingan sendiri, dorongan

ke arah kepentingan kolektif dalam bentuk solidaritas dan orientasi tujuan (kesejahteraan

(2)

menghadapi konflik dan ketidakpastian. Maka tindakan yang hanya ditentukan oleh logika

ekonomi dipertanyakan. Orang mencari kerjasama. Pertaruhannya adalah identitas dan

komitmen. Komitmen merupakan dimensi moral yang menandai identitas naratif.

Identitas Naratif

Identitas naratif lahir dari pemahaman kehidupan dalam bentuk kisah yang disatukan oleh

tujuan hidup baik sehingga memungkinkan setiap orang menunjukkan kualifikasi etisnya

(P.Ricoeur, 1990:187). Tanda identitas naratif ialah meski selalu diterpa perubahan, tetap bisa

dipercaya dan diperhitungkan. Jadi identitas naratif ditandai oleh kemampuannya untuk

menepati janji. Kemampuan menepati janji merupakan identitas yang lebih tinggi karena,

meskipun ada perubahan-perubahan, masih tetap bisa diandalkan. Kemampuan menepati janji

berasal dari kesetiaan kepada diri sendiri dan terhadap orang lain. Dari tepat janji ini akan

tumbuh solidaritas. Jadi identitas naratif suatu bangsa ditandai oleh komitmen, kesatuan, dan

kohesi yang teruji oleh waktu.

Identitas merupakan hasil proses identifikasi dan distinction yang membantu suatu kelompok sosial membangun kohesinya atau menetapkan posisinya berhadapan dengan

bangsa lain. Konsep bangsa, menurut E.Gellner, mengandaikan, pertama, adanya acuan ke “budaya yang sama”, dalam arti suatu sistem gagasan, tanda, dan cara bertindak dan berkomunikasi. Tuntutan ini tidak mungkin dipenuhi kalau penafsirannya hanya menjadi alat

legitimasi dan hanya dikuasai oleh kalangan elite terbatas. Budaya yang menjadi dasar

kekuasaan tidak bisa hanya milik kelompok tertentu saja. Dalam hal ini, multikulturalisme

menjadi relevan karena memberi pembatasan terhadap pengertian dasar acuan yang bisa

diterima semua kelompok etnis, agama, atau minoritas; kedua, bangsa merupakan bangunan keyakinan, loyalitas dan solidaritas anggota-anggotanya. Dalam konteks ini,

multikulturalisme dimaksudkan mendorong tumbuhnya identitas, solidaritas dan kohesi

sebagai bangsa. Ketiga, bangsa terbentuk bila anggota-anggota masyarakat saling mengakui hak dan kewajiban masing-masing karena status mereka sama (E.Gellner, 1983:7). Jadi

bangsa menuntut bentuk organisasi sosial yang didasarkan pada budaya inklusif yang

memungkinkan setiap komunitas mampu mengenali diri sebagai bagiannya.

Identitas naratif lemah ketika warganegara tidak mampu mengenali diri dan mengenali

yang lain atau menafikan yang lain. Mereka ini sebetulnya buta terhadap kepentingan dan

(3)

bentuk kerjasama dan persaingan dalam pertaruhan simbolis dan material, menuntut syarat

adanya dialektika identifikasi dan pengakuan ini. Maka menjadi penting teori identitas dan

pengakuan (D.Cefaï, 2007:215). Identitas dan pengakuan diperoleh melalui keikutsertaan

dalam tindakan dan upaya nyata, baik sendiri maupun kolektif, dan dalam proses kerjasama

dan komunikasi dengan sesamanya.

Dalam konteks ini, keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan terpilihnya

anggota legislatif atas dasar suara terbanyak bisa membuka dinamika politik baru. Di satu sisi,

keputusan itu memperlemah daya tawar partai politik dan kecenderungan berkembangnya

rasa kedaerahan. Di sisi lain, keterwakilan konstituen semakin diperhatikan meskipun disertai

kekhawatiran merebaknya politik uang dan dipertanyakannya kualitas caleg.

Ada dua implikasi politik, pertama, partai politik semakin dituntut profesional dalam

manajemen organisasi, termasuk dalam penunjukkan calon legislatif. Kedua, menghadapi

primordialisme kedaerahan dan agama, pemerintah pusat harus mempunyai politik budaya

yang tegas. Alasannya, pertama, nilai strategis budaya sebagai penyebar standar simbolis dan

komunikatif; kedua, dasar identitas bangsa; ketiga, politik budaya berdampak positif pada

ekonomi dan sosial karena mengembangkan kreativitas (L.Bonet, 2007). Dengan demikian,

keputusan MK itu bisa membuka dinamika kebangsaan baru asal mengarahkan ke

universalitas kongkrit. Universalitas kongkrit sebagai bentuk komitmen etis merupakan

komponen utama identitas naratif.

Universalitas Kongkrit

Universalitas kongkrit bisa diilustrasikan dalam karya seni. Karya seni yang berhasil ialah

objek kongkrit yang hampir semua orang menghargainya. Kekaguman terhadap karya seni

merupakan bentuk universalitas itu. Jarang ada komentar yang mengatakan bahwa

karya-karya Mozart tidak bermutu. Universalitas kongkrit ini didefinisikan sebagai rekonsiliasi

antara yang partikular dan yang universal (L. Ferry, 1998:246). Partikularitas ini berlaku bagi

suatu budaya (agama), ketika ia membuka makna bagi seluruh kemanusiaan. Pemeluk

agama-agama dipanggil untuk menjadi karya seni, artinya ambil bagian dalam kehidupan bersama

dan memberi makna bagi semua. Panggilan ini berarti masuk ke pemikiran yang diperluas,

maksudnya akses ke yang universal melalui otentifikasi partikularitas. Semakin mendalam

(4)

Keterbukaan ini adalah buah kebebasan yang mampu melepaskan diri dari partikularisme

(agama) untuk membuka diri bagi semua golongan. Orang bisa memahami makna karya seni

ketika melihat pribadi Mahatma Gandhi, Ibu Teresa dari Calcutta, Muhammad Iqbal,

Muhammad Hatta, Romo Mangun. Para tokoh ini adalah ungkapan universalitas kongkrit.

Universal karena mereka berjasa dan diterima oleh semua golongan, sekaligus kongkrit

karena mengakar pada partikularitas agama masing-masing. Komitmen untuk kemanusiaan

yang mengatasi sekat agama menandai identitas naratif mereka. Universalitas kongkrit

mengikis primordialisme agama karena ukuran penerimaan bukan kepemilikan pada

kelompok, tetapi pada jasa, sumbangan dan prestasi untuk masyarakat.

Politik Kewarganegaraan

Prinsip tindakan yang menggerakan manusia demokrasi adalah individualisme dalam arti

cara bertindak yang terpikirkan dan damai yang tidak terseret oleh massa. Jadi individualisme

mempunyai asumsi bahwa mencukupi diri dan berusaha agar tidak menderita pengaruh dari

pihak lain serta tidak menginginkan pihak lain menderita dari pengaruhnya karena prinsip

kesetaraan (Perre Manent, 1993: 82). Maka demokrasi seharusnya lebih berorientasi pada

politik kewarganegaraan dari pada politik partisan atas dasar kelompok. Politik partisan

cenderung memperlakukan warganegara secara tidak setara sehingga menjadi sumber

diskriminasi. Kondisi sosial demokrasi memperlakukan warganegara di depan hukum bukan

atas dasar kepemilikan pada suatu kelompok, tetapi karena dia warganegara seperti yang lain.

Seperti dikatakan Gellner bahwa bangsa terbentuk bila anggota-anggota masyarakat saling

mengakui hak dan kewajiban masing-masing karena status mereka sama.

Demokrasi yang efektif tergantung pada partisipasi yang terbuka dan kompetitif. Kualitas

partisipasi terstruktur dalam politik dan ekonomi di mana institusi-institusi yang sah dan

efektif melindungi serta mengendalikan kegiatan-kegiatan di arena tersebut dengan melalui

penentuan batas-batas dan pintu aksesnya (F.Lordon, 2008:7). Uang menjadi motivasi logika

waktu pendek dan uang dicari untuk menopang konsumsi massa. Uang tentu juga

mengarahkan sistem demokrasi. Dalam konteks ini, korupsi bisa dilihat sebagai akibat

liberasisasi ekonomi dan liberalisasi institusi-institusi publik dan politik yang tidak

terselesaikan (ibid., 2). Maka perbaikan sektor publik sebaiknya bukan hanya menekankan

(5)

Isu-isu yang diusung dalam pemilu jarang mengacu ke perbaikan institusi-institusi politik

dan ekonomi ini. Maka yang dibutuhkan ialah demokratisasi yang mendalam, bukan hanya

pemilihan umum, tetapi perdebatan yang serius tentang masalah-masalah riil rakyat.

Demokratisasi ini mengandaikan adanya kelompok yang mampu mengusung

masalah-masalah itu dan menjanjikan untuk menyelesaikan secara politik tanpa mengabaikan

kepentingan kelompok tersebut. Maka hubungan antara partisipasi dan penguatan institusi

politik dan ekonomi menjadi isu yang menentukan karena pertaruhannya ialah masalah

keadilan. Seperti diingatkan oleh Rawls (1971) bahwa masalah keadilan terkait erat dengan

struktur dasar masyarakat, dalam arti bahwa pertama, dalam struktur masyarakat sudah

terkandung berbagai posisi sosial. Posisi dan harapan masa depan ditentukan sebagian oleh

sistem politik, kondisi ekonomi dan sosial; kedua, lembaga-lembaga sosial mendefinisikan

hak dan kewajiban sehingga mempengaruhi masa depan, cita-cita dan kemungkinan tercapai

cita-cita tersebut. Jadi lembaga-lembaga itu sudah merupakan sumber kepincangan dan titik

awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka menciptakan

institusi-institusi yang adil tidak bisa dilepaskan dari upaya mengefektifkan demokrasi.

Partisipasi dan Institusi Politik-Ekonomi

Pembangunan sektor publik bukan hanya masalah memperbaiki manajemen publik,

tetapi juga memperjuangkan masalah keadilan yang hanya mungkin bila demokrasi efektif.

Demokrasi dikatakan berdaya bila perkembangan pasar ikut ditentukan oleh partisipasi yang

terbuka dan kompetitif, yang terstruktur dalam politik-ekonomi dan dilindungi serta

dikendalikan oleh institusi yang sah serta efektif. Dalam konteks ini, menjadi penting

partisipasi yang terbuka dan kompetitif, yaitu ketika rakyat bisa mengungkapkan

pilihan-pilihannya secara bebas dan diperhitungkan oleh para pengambil keputusan. Partisipasi itu

akan efektif bila rakyat memiliki kekuatan tawar yang riil, artinya mampu memberi imbalan

kepada pemerintah yang efektif dan bisa juga menjatuhkan pemerintah yang tidak kompeten

atau yang menyalahgunakan kekuasaan (F.Lordon, 2008:7).

Dalam kenyataan di negara-negara berkembang, di satu sisi, partisipasi lemah, terbatas

dan mudah dimanipulasi; di lain sisi, institusi-institusi kaku atau terlalu mudah diakses dan

jelek koordinasinya. Hubungan kedua hal ini akan mempengaruhi bentuk korupsi. Korupsi

bukan berarti tiadanya partisipasi atau lemahnya institusi dalam masyarakat Menurut

(6)

beragam: pertama civil society dan partai-partai politik lemah, tapi luasnya jaringan hubungan

patron-client mendominasi politik dan ekonomi; kedua, pengadilan dan polisi mungkin tidak efektif, sementara premanisme merajalela dan menguasai di banyak segi kehidupan; ketiga,

korupsi dijalankan dalam rangka mencari pengaruh birokrasi atau badan legislatif, sedangkan

pejabat pemerintah dan militer mengambil porsi penting ekonomi, tanpa takut terkena sanksi.

Korupsi harus dilihat bukan hanya dari sudut pandang hukum, tetapi harus ikut

dipertimbangkan juga makna sosial serta ukuran budaya. Dengan standar ini, apa yang

dipertaruhkan menyangkut nilai-nilai kepemimpinan, kewarganegaraan, representasi, dan

akuntabilitas (ibid.,11). Lalu kelihatan bahwa korupsi bukan hanya masalah penyalahgunaan

kepercayaan oleh kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi korupsi

menjadi cara yang dipakai elite untuk membangun dukungan politik dari masyarakat serta

untuk memenangkan kerjasama dengan lembaga legislatif dan birokrasi (ibid.23).

Akibat korupsi dalam jangka panjang menjadi berat karena korupsi menunda dan

membelokkan perkembangan ekonomi dan politik. Uang sogok yang dibayarkan ke birokrat

ternyata tidak akan memecahkan kemacetan administrasi, tetapi justru menular ke pejabat

lain. Korupsi seperti ini memberitahukan kepada pejabat lain bahwa dengan memperlambat

prosedur administrasi akan mendapat uang. Korupsi yang mempengaruhi pengambilan

keputusan menyebabkan nilai-nilai demokratis menjadi tidak relevan. Kesempatan yang

seharusnya untuk banyak orang yang membutuhkan, akhirnya disangkal. Korupsi lalu

menjadi insentif jangka pendek yang membebani ongkos jangka panjang, bukan untuk tujuan

politik kesejahteraan bersama, tetapi untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian

korupsi berarti mengabaikan pilihan-pilihan politik (F.Lordon, 2008:24-25).

Tiadanya transparansi dan akuntabilitas merupakan penghambat terbentuknya institusi

pasar dan politik yang kuat dan efektif. Padahal kedua unsur ini penting di dalam

pembangunan etika politik, yaitu sebagai aspek polity (bdk.tiga dimensi etika politik). Kedua

hal itu mengaburkan batas-batas antara politik dan ekonomi, kepentingan publik dan privat.

Lalu akses ke pengambil keputusan dijadikan komoditi. Korupsi semakin memperlemah

partisipasi dan institusi-institusi politik dan ekonomi karena memberikan imbalan kepada

tiadanya efisiensi. Kontrak atau perjanjian yang korup akan menempatkan pembayar di luar

perlindungan hukum. Terlebih lagi kontrak yang diwarnai korupsi dengan meninggalkan jejak

(7)

demokrasi yang memungkinkan masyarakat bisa memiliki alternatif riil dalam hal politik dan

ekonomi membantu menghindarkan masyarakat dari eksploitasi dan ketergantungan.

Kompetisi politik memperlemah kemampuan kepentingan ekonomi atau faksi politik untuk

mendominasi arena. Ada kaitan antara tingginya korupsi dan rendahnya tingkat kompetisi.

Ada hubungan langsung antara korupsi dan implikasinya bagi perkembangan politik.

Korupsi bisa merugikan proses politik yang terbuka dan kompetitif melalui pemilu misalnya.

Monopoli politik oleh jaringan kelompok tertentu, meski melalui prosedur yang sah, melalui

pemilihan umum (yang penuh rekayasa) biasanya tidak mentolerir gagasan yang berlawanan.

Dampaknya, mengabaikan transparansi. Lemahnya transparansi dalam kebijakan akan

cenderung mengutamakan kelompok atau warganegara tertentu tanpa ada kontrol. Dalam

iklim yang korup, kebebasan untuk memilih, membentuk organisasi-organisasi mandiri dan

kompetisi dalam mencari dukungan bisa saja tidak dijamin karena pejabat-pejabat yang korup

dan klien-kliennya (F.Lordon, 2008:29). Interaksi politik semacam itu akan membentuk

habitus yang tidak akan mudah diubah atau diperbaiki.

Akuntabilitas dan Transparansi: Membangun Habitus Demokrasi

Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya

alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994: 9, 16-17, 96-126,

138-155, 169-173). Dalam proses perolehan ketrampilan itu, struktur-struktur yang dibentuk

berubah menjadi struktur-struktur yang membentuk. Dalam penguasaan bahasa, penulisan

atau pemikiran, sastrawan, penulis atau pemikir dikatakan mampu menciptakan karya-karya

mereka berkat kebebasan kreatifnya. Mereka tidak lagi menyadari gaya yang sudah mereka

integrasikan ke dalam dirinya. Apa yang dipercaya sebagai kebebasan kreatif sebetulnya

merupakan buah pembatasan struktur-struktur. Jadi habitus menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran dan representasi.

Habitus adalah kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas dan sekaligus penghasil praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur obyektif.

Kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Pembentukan dan berfungsinya habitus sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku dan modalitas praktiknya mengandalkan

(8)

Tekanan pada nilai atau norma menggarisbawahi habitus yang berupa etos, yaitu prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dipraktikkan, bentuk moral yang diinteriorisir dan tidak

mengemuka dalam kesadaran, namun mengatur perilaku sehari hari. Misalnya sifat orang

rajin, ulet, jujur, licik, cerdas, cekatan, murah hati.

Etika publik adalah refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk,

benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam

rangka menjalankan tanggungjawab pelayanan publik. Jadi etika publik bukan pertama-tama

sibuk dengan merumuskan norma, tetapi membangun sistem atau prosedur yang memudahkan

norma-norma etika publik bisa dilaksanakan untuk mencegah konflik kepentingan dan

korupsi. Maka sebagai sarana utama untuk mencapai tujuan pelayanan publik yang relevan

dan responsif terhadap kebutuhan publik diperlukan akuntabilitas, transparansi dan netralitas.

Kalau berbicara tentang etika publik, tidak bisa hanya berhenti pada norma moral dan

subyek moral, namun harus memperhitungkan dimensi-dimensinya. Etika publik memiliki

tiga dimensi yang digambarkan dalam segitiga yang mengacu ke tujuan, sarana dan tindakan.

PELAYANAN PUBLIK

YANG BERKUALITAS & RELEVAN

TUJUAN

ETIKA PUBLIK

MODALITAS TINDAKAN

AKUNTABILITAS

INTEGRITAS PUBLIK

TRANSPARANSI

NETRALITAS

(9)

Etika publik adalah bagian dari etika politik. Etika politik didefinisikan sebagai “upaya hidup baik (memperjuangkan kepentingan publik) untuk dan bersama orang lain dalam rangka

memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang lebih adil” (P.Ricoeur, 1990). Tiga dimensi etika politik adalah tujuan (policy), sarana (polity) dan aksi

politik (politics) (B. Sutor, 1991: 86). Dari definisi itu, penulis menerjemahkan ke dalam versi tiga dimensi etika publik: (i) tujuan “upaya hidup baik” diterjemahkan menjadi “mengusahakan kesejahteraan umum melalui pelayanan publik yang berkualitas dan relevan”; (ii) sarana: “membangun institusi-institusi yang lebih adil” dirumuskan sebagai “membangun infrastruktur etika dengan menciptakan regulasi, hukum, aturan agar dijamin akuntabilitas, transparansi, dan netralitas pelayanan publik”; (iii) aksi/tindakan dipahami sebagai “integritas publik” untuk menjamin pelayanan publik yang berkualitas dan relevan. Tantangan berat etika publik ialah konflik kepentingan, terutama yang menyeret ke korupsi dalam bentuk korupsi

kartel-elite.

Modalitas Etika Publik: Akuntabilitas dan Pengawasan

Modalitas di dalam interaksi kekuasaan ialah fasilitas. Fasilitas yang membantu agar

tercipta budaya etika di dalam organisasi pelayanan publik berupa infrastruktur etika seperti

akuntabilitas, transparansi, netralitas, E-governance dan tiga kompetensi pejabat publik (teknis, leadership dan etika). Sedangkan untuk mendapatkan legitimasi, suatu tindakan atau

kebijakan harus mengacu ke modalitasnya yaitu norma. Norma di dalam etika publik bisa

berupa kode etik, hukum yang mencegah konflik kepentingan dan korupsi, tuntutan integritas

publik, tujuan pelayanan publik yang relevan dan responsif atau nilai-nilai agama.

Modalitas etika publik ini sebetulnya merupakan suatu sistem atau prinsip-prinsip

dasar organisasi pelayanan publik yang mengarahkan upaya untuk menciptakan infrastruktur

etika. Tulang punggung infrastruktur etika ini adalah akuntabilitas dan transparansi. Ada tiga

pengertian akuntabilitas menurut Guy Peeters (2007: 16-17): (i) Akuntabilitas disamakan

dengan transparansi: tuntutan terhadap organisasi pemerintah untuk

mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Harus ada laporan terbuka terhadap

pihak luar atau organisasi mandiri (legislator, auditor, publik) yang dipublikasikan. Pengertian

akuntabilitas yang pertama itu menekankan pentingnya institusi yang adil untuk mendorong

(10)

pemerintah mengidentifikasi, mempertanyakan dan mengoreksi apa yang sudah dilakukan

atau terjadi.

(ii) Akuntabilitas dipahami dalam kerangka tanggungjawab, yaitu menjamin perilaku

pejabat agar sesuai dengan deontologi yang mengatur pelayanan publik. Akuntabilitas jenis

ini lebih menekankan nilai-nilai yang telah dibatinkan sebagai pelayan publik sesuai tuntutan

etis. Akuntabilitas ini menolong mempertajam makna tanggung jawab. Bentuk ini

mengandaikan adanya sistem pelayanan publik yang telah terlembagakan secara baik. Dari

sisi deontologis ini, akuntabilitas hanya mungkin bila pelayan publik bisa dipercaya, sadar

akan tanggungjawabnya terhadap publik.

(iii) Akuntabilitas dipahami sebagai kemampuan merespon kebutuhan publik atau

kemampuan pelayan publik bertanggungjawab terhadap pimpinan politiknya. Dua tuntutan ini

sering bisa bertentangan, artinya upaya untuk menjawab kepentingan publik bisa saja

bertentangan dengan kehendak atasan politiknya, atau hasrat untuk menjawab tuntutan

atasannya berlawanan dengan kebutuhan publik .

Akuntabilitas perlu untuk menjamin integritas publik dan pelayanan publik. Maka di

setiap organisasi pemerintah dibutuhkan komisi etika untuk: (i) mengawasi sistem

transparansi dalam penyingkapan keuangan publik; (ii) memeriksa laporan kekayaan, sumber

pendapatan dan hutang sebelum jabatan publik; (iii) memeriksa laporan hubungan-hubungan

beresiko untuk meminimalisir konflik kepentingan; (iv) di setiap pertemuan staf dan

pengambilan keputusan, komisi etika diikutsertakan untuk mengangkat masalah etika,

memfasilitasi audit dan evaluasi kinerja untuk identifikasi dimensi-dimensi etika.

Agar pengawasan lebih efektif perlu mekanisme whistle-blowing dengan memberi perlindungan hukum terhadap whistle-blower, menyediakan sarana komunikasi, hotlines, komunikasi konfidensial dan petunjuk pelaporan yang bisa dipercaya. Untuk mengorganisir

tanggungjawab, sanksi atau insentif harus terumus dalam hukum atau undang-undang. Maka

mendesak dibuat undang-undang anti-konflik kepentingan.

Meningkatkan efektivitas pengawasan perlu melibatkan masyarakat melalui jaringan

di daerah-daerah. Pembentukan jaringan dimulai dengan pelatihan, seminar, workshop untuk

mendiskusikan konflik kepentingan dan korupsi (sebab, mekanisme, korban, kerugian).

Jaringan ini dibentuk dari organisasi lokal, asosiasi profesi, kelompok bisnis dan organisasi

(11)

Modalitas etika publik merupakan dimensi kedua etika publik. Yang dimaksud dengan

modalitas ialah semua prosedur atau syarat kemungkinan bagi penerapan norma-norma etika

ke dalam tindakan atau kebijakan publik. Di dalam interaksi sosial, modalitas berperan

penting karena menentukan kualitas struktur yang dibentuk baik pemaknaan, dominasi

maupun legitimasi (A.Giddens, 1991). Modalitas di dalam komunikasi ialah kerangka

penafsiran. Dalam etika publik, kerangka penafsiran ini berupa prinsip-prinsip keadilan,

subsidiaritas dan solidaritas. Selain itu, teori-teori etika juga akan membantu di dalam

membuat pertimbangan-pertimbangan di dalam kebijakan publik.

Syarat-syarat kemungkinan implementasi etika ini sebetulnya dimaksudkan untuk

membangun budaya etika di dalam organisasi. Maka peran pimpinan menjadi sangat vital

karena sebagai fasilitator untuk membangun bentuk-bentuk komunikasi baru. Oleh karena itu,

pimpinan dituntut memiliki beberapa ketrampilan atau kemampuan. Pertama, kemampuan

membangun konsensus moral di lembagana; kedua, kemampuan memberdayakan staf untuk

mengidentifikasi dimensi-dimensi etika dari masalah-masalah yang dipertaruhkan; ketiga,

ketrampilan untuk mendorong semua pihak yang terlibat di dalam pelayanan publik untuk

bisa mengkomunikasikan secara efektif gagasan dan kepentingan mereka agar bisa didengar

dan dipahami. Asumsinya, komunikasi yang baik bisa menghindarkan dilema moral dan

membantu dalam menjamin integritas publik.

Integritas Publik dan Pendidikan Karakter

Integritas pribadi dalam pelayanan publik adalah landasan utama etika publik.

Integritas semacam itu tumbuh dari pendidikan keluarga, berkembang di sekolah, lingkungan

masyarakat dan teruji dalam kehidupan professional, terutama keterlibatannya di berbagai

organisasi. Jadi integritas publik adalah hasil pendidikan, pelatihan dan pembiasaan tindakan

yang diarahkan ke nilai-nilai etika publik. Dari perspektif ini, nampak bahwa pembentukan

habitus moral bukan sekedar masalah niat baik, tetapi harus ditopang oleh lingkungan dan pengalaman, terutama yang menyediakan infrastruktur etika.

Tiga kriteria bisa untuk mengukur integritas publik pejabat (Kolthoff, 2007:40): a)

mandiri karena hidupnya mendasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma yang stabil dan

mempunyai visi karena mau memperjuangkan sesuatu yang khas; b) jujur terhadap ideal yang

mau dicapainya yang terungkap dalam satunya kata dan perbuatan. c) perhatian dan

(12)

good governance, yang melihat integritas publik sebagai tindakan seorang/lembaga pemegang kekuasaan yang sesuai dengan nilai, tujuan dan kewajiban yang dipercayakan atau dengan

norma yang jabatan kekuasaan yang dipegangnya (A.J. Brown, 2008:4). Jadi integritas publik

bukan hanya sekedar tidak korupsi atau tidak melakukan kecurangan.

Memang, integritas publik baru kelihatan ketika harus berhadapan dengan kebijakan

publik yang menyangkut pengelolaan kekayaan negara. Integritas publik berkaitan erat

dengan penggunaan dana, sumberdaya, aset dan kekuasaan yang sesuai dengan tujuan-tujuan

jabatan publik untuk digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik (OECD Principles for Integrity Public Procurement, 2009: 19). Integritas publik akan teruji ketika pejabat publik dihadapkan pada pilihan-pilihan kewajiban yang saling bertentangan, tapi mampu memberi

pemecahan dengan mengesampingkan kepentingan pribadi atau kelompok. Pejabat publik

membuktikan diri mempunyai integritas ketika dari sikapnya bisa menunjukkan bahwa

menerima jabatan bukan pertama-tama uang dan status sosial, tapi tanggungjawab terhadap

pelayanan publik. Maka Fleishman melihat integritas sebagai kejujuran dan kesungguhan

untuk melakukan yang benar dan adil dalam setiap situasi sehingga mempertajam keputusan

dan tindakannya (1981:53) dalam kerangka pelayanan publik.

Dalam tanggungjawab pelayanan publik, integritas pribadi sangat dituntut karena

menjadi dasar integritas publik. Integritas publik mengandaikan adanya kejujuran dalam

pelaksanaan tugas pelayanan publik yang berarti menghindari konflik kepentingan dan

korupsi. Integritas publik dipahami sebagai tindakan atau perilaku pejabat publik atau

lembaga kekuasaan yang sesuai dengan nilai-nilai, tujuan dan tanggungjawab yang dituntut

oleh norma-norma jabatan tersebut (Brown, 2008: 4). Jadi integritas publik menuntut dua

bentuk pelatihan, pertama, berhubungan dengan suatu ketrampilan yang membentuk sikap

yang disebut habitus moral; kedua, menuntut pembentukan budaya etika di dalam organisasi

pelayanan publik sehingga ada sistem yang menjamin integritas publik. Untuk tujuan ini,

pemberdayaan civil society untuk bisa ambil bagian di dalam pengawasan kebijakan publik

dan evaluasinya menjadi sangat relevan.

Kebijakan publik merupakan upaya pemerintah melalui keputusan-keputusan dan

tindakan-tindakannya untuk menghadapi masalah-masalah dan keprihatinan pelayanan publik

(C.L.Cochran, 2005:1). Kebijakan publik mengurusi alokasi sumber-sumber daya untuk

(13)

sebagai kriteria dan acuan di dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut

pelayanan publik. Pada prinsipnya, semua warganegara setara di muka hukum, ketidaksamaan

harus menguntungkan semua terutama mereka yang paling lemah atau yang paling

terpinggirkan (Rawls, 1971). Prinsip etika publik semacam itu sangat membantu memberi

landasan pertimbangan etis pejabat publik dalam menentukan kebijakan publik karena dalam masyarakat selalu ada “pihak yang paling tidak diuntungkan”, bisa kaum miskin, yang tersingkir/kalah di dalam persaingan, kelompok gender atau kelompok minoritas. Dengan

demikian kemampuan teknis untuk menganalisa masalah masih perlu dilengkapi dengan

kemampuan menangkap pertaruhan etis yang biasanya tidak lepas dari masalah keadilan.

Kemampuan ini mengandaikan kompetensi etika. Maka pejabat publik diandaikan juga

memiliki kompentensi etika.

Kompetensi etika itu meliputi kemampuan di dalam manajemen nilai, ketrampilan di

dalam penalaran moral, termasuk penguasaan teori-teori etika, moralitas individual dan

publik, serta etika organisasi (J.S.Bowman, 2010: 67). Kepemimpinan yang efektif harus

memudahkan perilaku yang bertanggunjawab. Salah satu caranya adalah dengan

mendelegasikan tanggungjawab kepada bawahan untuk mendorong inisiatif, kreativitas dan

produktivitas. Dengan pendelegasian itu, menajemen nilai menjadi nyata karena

tanggungjawab pribadi ditekankan sehingga tidak ada alasan untuk mengalihkan tanggungjawab ke pihak lain atau bersembunyi di balik alasan “kepatuhan”. Pengakuan akan nilai-nilai etika merupakan dasar tindakan di dalam strategi etika publik untuk mendukung

pelayanan publik yang relevan dan bertanggungjawab. Jadi etika menyumbang mempertajam

pertimbangan kebijakan publik.

Integritas publik yang mengandalkan pada kejujuran pejabat publik berarti

memprioritaskan kepentingan publik dari pada kepentingan pribadi atau kelompok. Integritas

semacam ini, menurut Dobel, hanya akan dijamin bila pejabat publik membiasakan diri

dengan (1999: 3-4): pertama, konsitensi di dalam kebijakan publik dan tindakannya dengan

melibatkan keberanian moral untuk komit demi kepentingan umum, bahkan kalau

konsekuensinya berat; kedua, mereka harus membiasakan diri dengan refleksi etika,

memahami pendasaran rasional, konsekuensi-konsekuensinya dan tujuan-tujuan norma etika.

Refleksi terhadap pengalaman-pengalaman dan perhitungan terhadap

(14)

berpikir yang kritis; ketiga, integritas publik mengandaikan upaya terus menerus untuk

mengintegrasikan moralitas pribadi ke dalam moralitas di dalam kehidupan publik. Ketiga

kebiasaan tersebut akan membantu mencegah pencampuradukan kepentingan pribadi dengan

kepentingan publik.

Refleksi etika dan pelatihan etika berperan penting di dalam mengembangkan

kesadaran moral. Kesediaan untuk berdiskusi dan berinteraksi bisa mengubah pola pikir dan

perilaku seseorang. Keterbukaan dan sikap kritis ini memungkinkan orang mengambil jarak

terhadap kebiasaan yang jelek dan membawa orang untuk bisa bela rasa terhadap korban atau

yang terpinggirkan. Jadi perkembangan kesadaran moral membutuhkan baik pengetahuan

maupun pengalaman karena, di satu pihak, pertimbangan moral dalam keputusan berkembang

bukan hanya karena pengaruh lingkungan, tapi juga merupakan hasil dari reorganisasi cara

berpikir dan pemahaman; di lain pihak, perkembangan kesadaran moral dari tahap satu ke

tahap lain dicapai melalui praktik dan pengalaman, bukan hanya belajar teori atau

pengetahuan kognitif. Bourdieu menggunakan istilah habitus, yaitu hasil pembiasaan dari mengamati, meniru, mengalami, memecahkan masalah dan membiasakan diri pada yang baik.

Cara menghadapi masalah-masalah menunjukkan tingkat kesadaran moral seseorang.

Manajemen nilai tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kesadaran moral seseorang.

Menurut L. Kohlberg, perilaku etis seseorang tergantung pada pemahaman moral dan

kemampuan mengidentifikasi serta menalar dalam berhadapan dengan dilema moral. Jadi

tindakan etis tidak hanya masalah melakukan yang baik dan benar. Keputusan untuk

melakukan sesuatu tergantung pada bagaimana seseorang merumuskan dilema moral di dalam

suatu visi etika tertentu (1981: Vol.I,17-28). Tiga tingkat kesadaran moral dalam teori

Kohlberg menunjukkan bahwa pejabat publik dituntut bisamencapai pada tingkat ketiga, yaitu

paska-adat. Tingkat paska-adat ini ditandai dengan hormat pada nilai-nilai sosial, komitmen

untuk menjamin hak-hak asasi manusia dan setia pada janji terhadap persetujuan yang dibuat

bahkan bila bertentangan dengan kepentingan kelompok.

Etika bukan sekedar pemikiran, namun pengalaman. Pengalaman etika muncul dalam

gerak kepedulian menuju ke pihak lain, menuju alteritas, yaitu kebaikan. Perjumpaan dengan pihak lain atau “penampakkan wajah” (Levinas) merupakan bentuk hubungan yang ditandai kepedulian dan nir-kepentingan. Hubungan ini menyapa seseorang untuk bertanggungjawab

(15)

Daftar Pustaka

Bishop, Patrick (ed.), 2003, Management Organisation, and Ethics in the Public Sector, Burlington: Ashgate

Boisvert,Yves, Crise de confiance et crise de legitimité: de l’éthique gouvernementale á l’éthique publique, dans: Revue internationale d’éthique sociétale et gouvernementale, vol. 4, no 1, Printemps 2002, 19-31.

Bowman, James S., 2010: Achieving Competencies in Public Services. The Professional Edge, Second Edition, Armonk N.Y.: M.E.Sharpe

Cochran, Charles L., & Malone, Eloise F., 2005: Public Policy: Perspectives and Choices, Colorado: Lynne Rienner

Collovald, Annie et Gaïti, Brigitte, 2006: La démocratie aux extrêmes, Paris: La Dispute

Dahl, R. A., 2003: The Democracy. Source Book, Cambridge, Massachussets: MIT Press

Diamond, L., 2009: Democracy. A Reader, Baltimore: The John Hopkins University Press

Dobel, Patrick J., 1999: Public Integrity, Baltimore: Johns Hopkins University press Giddens, Anthony, 1993: New Rules of Sociological Method, Cambridge: Polity Press

Kohlberg, Lawrence, 1981: Essays on Moral Development, Vol.I, The Philosophy of Moral Development, Moral Stages and the Idea of Justice, San Francisco: Harper & Row Kolthoff, Emile, 2007, Ethics and New Public Management, Den Haag: BJU

Le Goff, Jean-Pierre, 2002: La démocratie post-totalitaire, Paris: La Decouverte

Lévinas, Emmanuel, 1971: Totalité et Infini. Essai sur l’extériorité,

Nijhoff: La Haye, Martinus ---, 1982 : Ethique et Infini, Paris : Fayard.

Libois, Boris, 1994: Ethique de l’information,Bruxelles: Ed.de L’Université de Bruxelles

Manent, Pierre, 1993: Tocqueville et la nature de la démocratie, Paris: Gallimard

Peeters, B.Guy, 2007, Performance-Based Accountability, dalam: Shah, Anwar,

Performance Accountability and Combating Corruption, Washington DC: The World Bank, hlm.15-32

Rawls, John, 1971, A Theory Justice, The Belknap Press of Harvard University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Selain membandingkan nilai F hitung n F tabel, dengan membandingkan nilai Sig dengan nilai α yaitu Sig < α 5% (0,001 < 0,05) maka Ho ditolak dan Ha

Hal ini sesuai dengan Surat Penggugat(Mill Manager PT.Dian Anggara Persada (PT.DAP) PKS Mutiara Sam-Sam Kandis dan diketahui oleh HRD PT.Dian Anggara

Pada tahapan pra kemerdekanan pemahaman demokrasi belum dapat diartikan sebagai wujud pemerintahan rakyat karena saat itu belum ada negara, tentunya belum ada

Di Indonesia telah banyak dilakukan penelitian tentang biomonitoring atau bioasesmen dengan makrozoobentos untuk menilai kualitas air sungai. Penelitiannya bersifat

Dengan adanya penelitian ini yaitu bahwa adanya hubungan yang signifikan antara fasilitas sekolah dengan minat belajar dan kebiasaan belajar siswa, maka konselor

" Perancangan Aplikasi Panduan Pariwisata Kabupaten Deli Serdang Berbasis Android "fitur utama dari aplikasi mobile ini adalah pengguna dapat melihat pariwisata

Karena itu sebuah sistem yang dapat melakukan transkripsi chord secara otomatis akan sangat bermanfaat untuk membantu orang – orang yang baru belajar musik atau