• Tidak ada hasil yang ditemukan

238207520 Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "238207520 Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA

PEGAWAI PADA KANTOR KECAMATAN

554587895522154854 KABUPATEN 223145655225

SKRIPSI

Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan untuk Menyelesaikan Program Strata Satu (S-1) Program Studi Administrasi Pemerintahan

oleh

SRIKANDI BINTI DRUPADA NPM. 10010289

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PEMERINTAHAN SEKOLAH TINGGIILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (STISIP)

(2)

ABSTRAK

SRIKANDI BINTI DRUPADA (10010289) Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor Kecamatan 554587895522154854 Kabupaten 223145655225 – Sekolah Tinggi Imu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (STISIP) Bentang baranang – Antah berantah

Pembimbing:

Penelitian ini dilaksanakan pada Kantor Kecamatan 554587895522154854 Kabupaten 223145655225. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1) budaya organisasi dan kinerja pegawai di Kantor Kecamatan 554587895522154854 Kabupaten 223145655225, (2) pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai di Kantor Kecamatan 554587895522154854 Kabupaten 223145655225, dan (3) Besarnya pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai di Kantor Kecamatan 554587895522154854 Kabupaten 223145655225.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey, dengan pegawai di Kantor Camat 554587895522154854 Kabupaten 223145655225 yang seluruhnya berjumlah 32 orang. Teknik pengumpulan data untuk kedua variabel Budaya Organisasi dan kinerja pegawai menggunakan instrumen angket dengan skala ordinal serta menggunakan skala Likert.

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan

kedudukan dan peranan pegawai pemerintahan sangatlah penting. Hal ini

disebabkan karena pegawai pemerintahan merupakan unsur aparatur negara

yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan dalam usaha

mencapai tujuan nasional. Unsur manusia merupakan unsur penting, karena

manusia selalau berperan aktif dan dominan dalam setiap organisasi.

Organisasi merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara

sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, bekerja secara

terus menerus untuk mencapai tujuan.1 Secara eksplisit, definisi tersebut

mengasumsikan kebutuhan untuk mengkoordinasikan pola interaksi

manusianya. Pola interaksi SDM dalam organisasi harus diseimbangkan dan

diselaraskan agar organisasi dapat tetap eksis.

Penyediaan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat (pelayanan

publik) merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap

penyelenggara negara. Keberhasilan pemerintah dalam memberikan pelayanan

publik kepada masyarakat merupakan keberhasilan penyelenggaraan

1

(4)

pemerintahan. Pengembangan pelayanan publik menjadi tugas pemerintah

yang harus dilaksanakan secara sinergis dan berkesinambungan seiring dengan

semakin meningkatnya tuntutan masyarakat dan perubahan lingkungan akan

penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan prinsip pengelolaan

pemerintahan yang baik (good governance). Agar pengembangan pelayanan publik dapat berhasil optimal, maka perlu dilaksanakan dengan menggunakan

strategi yang tepat.

Berbagai masalah nasional saat ini adalah bagaimana dapat

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat secara maksimal. Agar

terpenuhinya pelayanan pemerintahan yang baik, tentunya harus didukung

oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai dan sesuai dengan jenis

pekerjaan yang ada. Sumber daya manusia yang potensial apabila

didayagunakan secara efektif dan efisien akan bermanfaat untuk menunjang

gerak lajunya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Melihat kondisi

sumber daya manusia yang ada saat ini mengharuskan berpikir secara seksama

yaitu bagaimana dapat memanfaatkan secara optimal. Dari sisi lain tentunya

agar di masyarakat tersedia sumber daya manusia yang handal memerlukan

perencanaan dan pengembangan berkelanjutan secara maksimal dari

masing-masing pihak yang berkepentingan. Kelemahan dalam penyediaan berbagai

fasilitas pengembangan sumber daya manusia dapat mengakibatkan

munculnya hambatan dalam pelayanan masyarakat dan produktivitas

masyarakat. Pada umumnya mengenai kemampuan sumber daya manusia

(5)

Organisasi yang sukses membutuhkan pegawai yang akan melakukan

melebihi tugas pekerjaan yang biasa mereka lakukan atau pegawai yang akan

memberikan kinerja melebihi harapan organisasi. Dalam dunia kerja yang

dinamis saat ini, dimana tugas-tugas makin banyak dilakukan dalam tim dan

fleksibilitas menjadi sangat kritis, organisasi membutuhkan pegawai yang

akan melakukan OCB (Organizational Citizenship Behavior), yakni perilaku pegawai yang melakukan tugas semata-mata bukan hanya karena bagian dari

persyaratan kerja, melainkan juga karena pencapaian efektivitas kerja itu

sendiri. Wujud perilaku tersebut antara lain: membantu rekan dalam timnya, secara sukarela melakukan pekerjaan ekstra, menghindari konflik yang tidak

perlu, menghargai semangat serta aturan dan peraturan organisasi/perusahaan,

dan sesekali menolerir pekerjaan yang dapat menjadi beban, gangguan dan

menyusahkan.

Menyadari pentingnya peranan pegawai tersebut, pemerintah telah

banyak melakukan kegiatan untuk memberdayakan pegawai pemerintahan

sehingga memiliki kemampuan dan kinerja yang optimal dalam upaya

pencapaian tujuan nasional. Hal ini juga jelaskan dalam Undang-Undang

Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang dalam

pen-jelasannya menyatakan bahwa kelancaran penyelenggaraan tugas

pemerintah-an dpemerintah-an pembpemerintah-angunpemerintah-an nasional spemerintah-angat tergpemerintah-antung pada kesempurnapemerintah-an aparatur

negara khususnya pegawai pemerintahan.

Kantor kecamatan sebagai ujung tombak pemerintahan daerah dalam

(6)

kemampuan pegawai yang berkualitas. Untuk itu perlu adanya pengembangan

kinerja pegawai sehingga dapat memberikan kinerja yang maksimal dalam

melaksanakan tugasnya. Sama seperti instansi pemerintah lainnya yang

memiliki kendala dalam peningkatan kinerja pegawai, kantor Kantor

Kecamatan 554587895522154854 Kabupaten 223145655225 juga demikian.

Juga masih banyak keluhan-keluhan masyarakat yang menyatakan buruknya

kinerja pegawai pemerintahan dalam pemberian pelayanan bagi masyarakat.

Kinerja pegawai yang merupakan hasil olah pikir dan tenaga

dari seorang pegawai terhadap pekerjaan yang dilakukannya, dapat

berujud, dilihat, dihitung jumlahnya, akan tetapi dalam banyak hal hasil

olah pikiran dan tenaga tidak dapat dihitung dan dilihat, seperti ide-ide

pemecahan suatu persoalan, inovasi baru suatu produk barang atau

jasa, bisa juga merupakan penemuan atas prosedur kerja yang lebih

efisien. Temuan hasil studi tentang kinerja pegawai dipengaruhi oleh

kepuasan kerja, budaya organisasi/ perusahaan, serta gaya

kepemimpinan.

Dalam manajemen kinerja (Amstrong, 1994)2 istilah kompetensi

mengacu kepada dimensi perilaku dari sebuah peran perilaku yang

diperlukan seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya secara

memuaskan. Menurut Surya Dharma3 kompetensi adalah apa yang

dibawa seseorang ke dalam pekerjaannya dalam bentuk jenis dan

2

Teguh Sulistiyani Ambar & Rosidah. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia: Konsep, Teori dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik. (Yogyakarta: Graha Ilmu. 2003) p. 205

3

(7)

tingkatan perilaku yang berbeda. Ini harus dibedakan dari atribut

tertentu (pengetahuan, keahlian dan kepiawaian) yang dibutuhkan

untuk melaksanakan berbagai tugas yang berhubungan dengan suatu

pekerjaan. Kompetensi menentukan aspek-aspek proses dari kinerja

suatu pekerjaan.

Permasalahan yang berkaitan dengan sumber daya manusia dalam

suatu organisasi menuntut untuk diperhatikan, sebab secanggih apapun

teknologi yang dipergunakan dalam suatu organisasi serta sebesar apapun

modal organisasi, pegawai dalam organisasilah yang pada akhirnya yang

menjalankan. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa didukung dengan kualitas

yang baik dari pegawai dalam melaksanakan tugasnya keberhasilan organisasi

tidak tercapai. Kontribusi pegawai pada suatu organisasi akan menentukan

maju atau mundurnya organisasi.

Kontribusi pegawai pada organisasi akan menjadi penting, jika

dilaku-kan dengan tindadilaku-kan efektif dan berperilaku secara benar. Tidak hanya jumlah

usaha tetapi juga arah dari usaha. Sifat-sifat yang ada pada diri pegawai, upaya

atau kemauan untuk bekerja, serta berbagai hal yang merupakan dukungan

dari organisasi sangat besar artinya bagi keberhasilan kinerja pegawai.4

Dengan demikian setiap pegawai perlu mengetahui dengan pasti apa yang

menjadi tanggung jawab utamanya, kinerja seperti apa yang harus dicapainya

serta dapat mengukur sendiri sesuai indikator keberhasilannya. Banyak hal

4

(8)

yang menjadi perhatian pihak manajemen guna mendorong kinerja pegawai

diantaranya dalam kaitan budaya organisasi, gaya kepemimpinan dan

kepuasan kerja bagi pegawainya.

Gagasan budaya organisasi telah menjadi penting dalam studi tentang

perilaku organisasional. Meskipun ketidaksetujuan di antara beberapa elemen

definisi dan pengukuran, para peneliti tampak sepakat bahwa budaya mungkin

merupakan faktor penting dalam penentuan bagaimana sebaiknya seseorang

individu menyesuaikan dengan konteks organisasi.

O’Reilly (1989), pada penelitian awal tentang norma pengukuran

memperlihatkan dua karakteristik penting dari budaya yang kuat. Salah

satunya adalah intensitasnya terhadap bagian anggota organisasi yakni

menunjukkan persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap mereka yang

bertindak dengan cara tertentu, kedua adalah adanya kristalisasi atau

kesepakatan yang luas terhadap nilai tersebut diantara anggota. Jika tidak ada

kesepakatan bahwa serangkaian nilai yang terbatas penting dalam suatu unit

sosial, budaya yang kuat tidak ada.5

Jika ada kesepakatan kuat dan meluas tentang arti penting nilai-nilai

tertentu, sistem nilai sentral atau budaya kuat mungkin ada. Banyak penelitian

telah menyimpulkan bahwa kesesuaian pegawai terhadap budaya organisasi

meningkatkan komitmen, kepuasan, dan kinerja. Namun penelitian empiris

terhadap hubungan ini yang telah dilakukan masih sedikit. Sementara

5

(9)

pendapat Daulatram (2003), bahwa perembesan budaya organisasi

membutuh-kan pengenalan dimensi-dimensi dasar dari budaya organisasi dan

pengaruh-nya pada variabel yang berkaitan dengan pegawai seperti kepuasan,

komitmen, kohesi, implementasi strategi, kinerja, dan lain-lain.6

Dalam studi yang berkaitan, Nystrom meneliti perawatan kesehatan,

menemukan bahwa pegawai pada budaya yang kuat cenderung

mengekspresi-kan komitmen organisasi yang lebih besar sebagaimana kepuasan kerja yang

tinggi.7 Survei yang dilakukan Sheridan, menunjukkan bahwa budaya

organi-sasi secara signifikan berhubungan dengan kinerja pegawai, voluntary turnover, dan organizational commitment.8 Dikatakan bahwa dalam berbagai

cultural values memiliki pengaruh terhadap tingkat turnover dan kinerja pegawai.

Berdasarkan latar belakang pemasalahan tentang kinerja pegawai yang

belum optimal dan hubungannya terhadap budaya organisasi maka perlu

kiranya kajian yang lebih dalam tentang pengaruh budaya organisasi terhadap

kinerja pegawai. Dengan demikian penulis pun tertarik untuk mengkaji lebih

dalam tentang pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai,

khususnya pada pegawai Kantor Kecamatan 554587895522154854 Kabupaten

223145655225. Untuk itu penulis bermaksud mengadakan sebuah penelitian

6

Erni R. Ernawan, “Pengaruh Budaya Organisasi dan Orientasi Etika Terhadap Kinerja Perusahaan Manufaktur”, Usahawan, September 2004, No. 09, Tahun XXXIII.

7

Nystrom P.C., ”Organizational Culture Strategies, and Committments in Health Care Organizations”, Health Care Management Review, 1993. Vol.18, p.43-9.

8

(10)

ilmiah dengan judul “Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai

pada Kantor Kecamatan 554587895522154854 Kabupaten 223145655225”.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, dapat

teridentifikasi beberapa permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut.

1) Bagaimanakah budaya organisasi dan kinerja pegawai pada Kantor

Kecamatan 554587895522154854, Kabupaten 223145655225?

2) Apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai pada

Kantor Kecamatan 554587895522154854, Kabupaten 223145655225?

3) Seberapa besar pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai pada

Kantor Kecamatan 554587895522154854, Kabupaten 223145655225?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang teridentifikasi di atas, penelitian ini

bertujuan untuk mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut.

1) Budaya organisasi dan kinerja pegawai pada Kantor Kecamatan

554587895522154854, Kabupaten 223145655225.

2) Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai pada Kantor

Kecamatan 554587895522154854, Kabupaten 223145655225.

3) Besarnya pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai pada

(11)

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Praktis

a. Menyajikan hasil empiris pengaruh Budaya Organisasi dan Kinerja

Pegawai pada kantor Kecamatan 554587895522154854 Kabupaten

223145655225.

b. Bagi institusi kecamatan, diharapkan dapat menjadi salah satu sumber

informasi untuk meninjau kembali terhadap kebijakan yang telah

dilakukan dalam kaitannya mengenai Budaya Organisasi dan Kinerja

Pegawai pada kantor Kecamatan 554587895522154854 Kabupaten

223145655225.

2. Kegunaan Teoretis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu

bahan kajian empirik terutama menyangkut perilaku organisasi

khususnya pada aspek Budaya Organisasi dan Kinerja Pegawai.

b. Bagi peneliti, memberikan solusi dalam pemecahan suatu masalah

empiris yang didukung dengan teori yang mendukung sehingga dapat

memberikan pola pikir yang terstruktur dalam memecahkan suatu

(12)

E. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis 1. Kerangka Pemikiran

Budaya organisasi menurut McShane dan Von Glinow, organizational culture is the basic pattern of shared values and assumptions governing the way employees within an organization think about and act on problems and opportunities.9 McShane dan Von Glinow juga mengatakan, bahwa budaya organisasi yang kuat memiliki potensi meningkatkan kinerja, dan sebaliknya

bila budaya organisasinya lemah mengakibatkan kinerja menurun. Budaya

organisasi memiliki tiga fungsi penting yaitu sebagai sistem pengawasan,

perekat hubungan sosial, dan saling memahami.10

Kepemimpinan berperan dalam memperkuat dan mengubah budaya

organisasi, oleh karena pertama, pendiri dan pemimpin menjadi teladan dalam menjaga budaya organisasi. Pengaruh pendiri dan pemimpin melalui

keteladannya akan memperkuat budaya organisasi. Kedua, sistem reward

(pemberian penghargaan) disesuaikan dengan nilai-nilai budaya organisasi.

Dengan demikian setiap anggota organisasi mengetahui dengan jelas perilaku

9

McShane, Steven L. & Von Glinow, Mary Ann. (2008). Organizational behavior (fourth edition). (USA: McGRAW hill-International. 2008) p. 460

10

(13)

yang mendatangkan penghargaan. Ketiga, artifaknya sesuai atau sejalan dengan kemajuan budaya yang berlaku di masyarakat. Contohnya, dulu

pengelola rumah sakit arogan, mereka beranggapan pasien membutuhkan

rumah sakit. Pada masa sekarang ketika persaingan ketat, pandangan berubah

yaitu rumah sakit membutuhkan pasien. Keempat, proses seleksi dan sosialisasi mengacu pada kebutuhan organisasi. Calon pekerja yang dipilih

adalah mereka yang memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan budaya

organisasi.11

Budaya organisasi menurut Jones dan Goerge, organizational culture is the shared set of beliefs, expectations, values, norms, and work routines that influence the ways in which individuals, groups, and teams intreract with one another and cooperate to achieve organizational goals.12

Jones dan Goerge juga mengatakan, bahwa ketika para anggota

organisasi memiliki komitmen yang kuat terhadap keyakinan, harapan,

nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang digunakannya dalam

mencapai tujuan, menunjukkan budaya organisasi yang kuat.

Sebaliknya bila para anggota organisasi tidak memiliki komitmen yang

kuat, menunjukkan budaya organisasinya lemah. Setiap organisasi memiliki

budaya, tetapi budaya organisasi yang satu dengan organisasi yang lain belum

tentu sama. Budaya organisasi dibentuk melalui interaksi 4 (empat) faktor

utama, yaitu: Personal and professional characteristics of people within the

11

Ibid, p. 472 12

(14)

organization (characteristics of organizational members), organizational ethics, the employment relationship, and organizational structure.13

Budaya organisasi menurut Robbins, organizational culture refers to a system of shared meaning held by members that distinguishes the organization from other organizations.14

Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli tersebut di atas,

maka dapat disimpulkan, bahwa budaya organisasi merupakan pola dasar

nilai-nilai, harapan, kebiasaan-kebiasaan dan keyakinan yang dimiliki bersama

seluruh anggota organisasi sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas untuk

mencapai tujuan organisasi.

Karakteristik Budaya menurut Robbins dikemukakan ada tujuh

karakteristik primer yang secara bersama-sama menangkap hakikat budaya

organisasi. Ketujuh karakter tersebut yaitu: inovasi dan mengambil risiko,

perhatian pada rincian, orientasi hasil, orientasi manusia, orientasi tim,

agresivitas, dan stabilitas.15

Inovasi dan pengambilan risiko berkaitan dengan sejauh mana para

anggota organisasi/ karyawan didorong untuk inovatif dan berani mengambil

risiko. Perhatian ke hal yang rinci berkaitan dengan sejauh mana para anggota

organisasi/karyawan diharapkan mau memperlihatkan kecermatan (presisi),

analisis, dan perhatian kepada rincian. Orientasi hasil mendiskripsikan sejauh

13 Ibid, p 415

14

Robbins, P. S. 2008. Organizational Behaviour (10thedition). (versi Bahasa Indonesia). (New Jersey. Prentice Hall, Inc. 2008) hlm. 511

15

(15)

mana manajemen focus pada hasil bukan pada teknik dan proses yang

digunakan untuk mendapatkan hasil tersebut.

Orientasi orang menjelaskan sejauh mana keputusan manajemen

memperhitungkan efek hasil kepada orang-orang di dalam organisasi tersebut.

Orientasi tim berkaitan dengan sejauh mana kegiatan kerja organisasi

dilaksanakan dalam tim-tim kerja, bukan pada individuindividu. Keagresifan

menjelaskan sejauh mana orang-orang dalam organisasi menunjukkan

keagresifan dan kompetitif, bukan bersantai.

Stabilitas adalah sejauh mana kegiatan organisasi menekankan

dipertahankannya status quo sebagai lawan dari pertumbuhan atau inovasi. Masing-masing ciri tersebut di atas dapat dinilai dalam sebuah kontinum dari

rendah sampai tinggi. Penilaian yang tinggi menunjukkan organisasi tersebut

memiliki budaya yang kuat, dan sebaliknya penilaian rendah menunjukkan

budaya organisasi lemah. Dengan menilai ketujuh dimensi organisasi, orang

akan mendapatkan gambaran yang majemuk mengenai budaya suatu

organisasi.

Menurut Robbins, budaya sebagai tatanan sistem yang terus

dikembangkan, meliputi empat fungsi, yaitu: Pertama, budaya menciptakan

pembedaan yang jelas antara organisasi yang satu dengan lainnya. Kedua,

budaya memberikan identitas bagi anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya

(16)

kepentingan pribadi seseorang. Keempat, budaya merupakan perekat sosial

diantara sesama anggota organisasi.16

Menurut Robbins17 ada empat cara bagi anggota organisasi

mempelajari budaya organisasi, yaitu: Pertama, melalui cerita mengenai

kegigihan pendiri organisasi atau orang-orang yang dianggap sukses di

organisasi tersebut. Kedua, melalui ritual deretan kegiatan berulang yang

mengungkapkan dan memperkuat nilai-nilai utama organisasi, misalnya

apakah yang paling penting, orang-orang manakah yang penting, dan mana

yang dapat dikorbankan. Ketiga, melalui lambang dan kebendaan. Keempat,

melalui bahasa.

Menurut Jones dan Goerge motivation is psychological forces that determine the direction of a person’s level of effort, and a person’s level of persistence.18 Jones dan George juga mengatakan, bahwa motivasi merupakan sentral manajemen, sebab menjelaskan bagaimana orang berperilaku dan cara

mereka melakukan pekerjaan di dalam organisasi. Motivasi ada yang berasal dari dalam (intrinsic) dan ada yang berasal dari luar (extrinsic). Para pimpinan berusaha memiliki tim dengan kinerja yang tinggi perlu memotivasi

anggotanya untuk bekerja mencapai tujuan organisasi, mengurangi kemalasan,

dan membantu timnya mengatasi konflik secara efektif.

Menurut Jones dan George, motivasi menggambarkan bagaimana para

pekerja berperilaku dalam melaksanakan pekerjaannya. Misalnya para pelayan

16

Ibid. hlm. 516

17

Robbins. Op.Cit. pp. 525-526

18

(17)

took melayani pelanggan dengan ramah, atau guru taman kanak-kanak

berusaha membuat anak-anak senang dalam belajar.

Bila motivasi kerja para pekerja rendah akan mengakibatkan para

pelanggan kecewa. Motivasi ada yang berasal dari dalam diri pekerja, dan ada

pula yang berasal dari luar diri pekerja. Oleh karena itu sangat penting

mendorong agar para pekerja memiliki motivasi yang tinggi, agar kinerjanya

tinggi, dan mampu memuaskan para pelanggan. Suatu organisasi akan menjadi

efektif bila anggota organisasi termotivasi untuk memiliki kinerja pada tingkat

yang lebih tinggi.

Menurut Mc.Shane dan Von Glinow, motivation refers to the forces within a person that affect the direction, intensity, and persistence of voluntary behavior. McShane dan Von Glinow juga mengatakan, bahwa motivasi merupakan salah satu dari empat faktor yang menggerakkan

seseorang berperilaku dan menunjukan kinerjanya. Empat faktor tersebut

adalah: motivation, ability, role perception, and situational factors of individual behavior and results (MARS model).19

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa motivasi merupakan dorongan baik berasal dari dalam diri

seseorang maupun yang berasal dari luar yang menggerakkan seseorang

melaksanakan pekerjaan untuk mencapai tujuan. Menurut hasil penelitian

McClelland (dalam McShane, Von Glinow dan Mary Ann) terdapat tiga

kebutuhan yang mendorong motivasi, yaitu: Need for achievement, need for

19

(18)

affiliation, dan need for power.20 Kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan diterima oleh kelompoknya, dan kebutuhan untuk menduduki jabatan dapat

mendorong orang memiliki motivasi tinggi dalam melaksanakan pekerjaan.

Bila kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi akan berakibat

meningkatkan kinerja. Kinerja menurut Wirawan, adalah keluaran yang

dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau

suatu profesi dalam waktu tertentu.21

Menurut Wirawan secara umum dimensi kinerja dapat dikelompokkan

menjadi tiga jenis, yaitu: hasil kerja, perilaku kerja, dan sifat pribadi yang

berhubungan dengan pekerjaan.22

a. Hasil Kerja

Hasil kerja merupakan keluaran kerja dalam bentuk barang dan jasa

yang dapat dihitung dan diukur kuantitas dan kualitasnya. Pengukuran kinerja

melalui hasil kerja pekerja sejalan dengan pendapat Peter Drucker melalui

teori Management by Objectives (MBO). Seorang pekerja dinilai melalui hasil kerjanya baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Misalnya kuantitas

hasil kerja seorang pegawai teller bank diukur seberapa banyak nasabah yang dilayaninya. Kualitas hasil kerjanya diukur seberapa tepat teller tersebut memenuhi standar layanan nasabah atau seberapa puas nasabah yang

dilayaninya. Kuantitas hasil kerja seorang pekerja pabrik rokok diukur

sebarapa banyak batang rokok yang berhasil dilinting setiap hari. Kualitas

20

Ibid. Pp. 140-141 21

Wirawan. Evaluasi kinerja sumber daya manusia. (Jakarta: Salemba Empat. 2009) p.5

22

(19)

hasil kerjanya seberapa baik hasil lintingan rokok memenuhi standar produksi

atau tidak.

b. Perilaku kerja

Ketika berada di tempat kerja karyawan memiliki dua perilaku, yaitu

perilaku pribadi dan perilaku kerja. Perilaku pribadi merupakan perilaku yang

tidak berhubungan dengan pekerjaan, misalnya: cara berjalan, cara berbicara,

dan sebagainya. Perilaku kerja merupakan perilaku pekerja yang berhubungan

dengan pekerjaan, misalnya: kerja keras, ramah, disiplin, dan sebagainya.

Perilaku kerja dicantumkan dalam standar kinerja, prosedur kerja, kode etik,

dan peraturan organisasi. Perilaku kerja dapat dikelompokkan menjadi

perilaku kerja umum dan khusus. Perilaku kerja umum merupakan perilaku

yang diperlukan semua jenis pekerjaan, misalnya: loyal pada organisasi,

disiplin, dan bekerja keras.

Perilaku kerja khusus diperlukan untuk pekerjaan tertentu, misalnya:

Satpam tegas dan tidak banyak bicara, penjual jasa dituntut ramah dan selalu

ceria ketika melayani pelanggan. Sistem evaluasi kinerja yang menggunakan

pendekatan perilaku kerja di antaranya model Behaviorally Anchor Rating Scale (BARS), Behavior Observation Scale (BOS), dan Behavior Expectation Scale (BES).

c. Sifat pribadi yang ada hubungannya dengan pekerjaan

Seseorang memiliki banyak sifat pribadi yang dibawa sejak lahir dan

(20)

dinilai hanyalah sifat pribadi yang berhubungan dengan pekerjaan, misalnya:

penampilan, sikap terhadap pekerjaan, jujur, cerdas, dan sebagainya.

Misalnya, seorang pramusaji di restoran dituntut untuk memiliki sifat pribadi

bersih, wangi, ramah, pandai bergaul, dan periang. Penyusunan evaluasi

mengguna-kan sifat pribadi mudah dan universal, karena hanya menentukan

indikator sifat pribadi dan deskripsi level kinerja dalam bentuk kata sifat dan

angka.

Kinerja pekerja merupakan kombinasi dari hasil kerja, perilaku kerja,

dan sifat pribadi yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Hasil kerja harus

dicapai dengan berperilaku tertentu sesuai standar dan tidak boleh sekehendak

hati pekerja. Demikian juga untuk mencapai hasil tertentu diperlukan sifat

pribadi tertentu. Kombinasi ketiga dimensi kinerja bila dinyatakan dalam

persentase untuk jenis pekerjaan yang satu berbeda dengan jenis pekerjaan

yang lain. Misalnya untuk pekerja pabrik rokok persentase hasil kerja 80%,

perilaku kerja 15%, dan sifat pribadi yang berhubungan pekerjaan 5%. Kinerja

manajer sumber daya manusia mungkin untuk hasil kerja 15%, perilaku kerja

60%, dan sifat pribadi yang berhubungan dengan pekerjaan 25%. Ada juga

yang mengkombinasikan antara hasil kerja dengan perilaku kerja, karena sifat

pribadi yang berhubungan dengan pekerjaan dimasukkan ke dalam dimensi

perilaku kerja.

Hubungan budaya organisasi dengan kinerja didukung oleh hasil

(21)

Business Intelligence Journal bulan Agustus 2009 volume 2 nomor 2, menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara budaya organisasi dengan

kinerja pekerja perbankan di Nigeria.23 Hubungan antara budaya organisasi

dengan kinerja dapat dilihat pada gambar 1.1 berikut ini.

Gambar 1.1: Kerangka pemikiran Budaya Organisasi dengan Kinerja

2. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang dikemukakan di atas, hipotesis

yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

23

Olu, Ojo. (2009). Impact assessment of corporate culture on employee job performance. business intelligence journal – August, 2009 Vol.2 No.2 http://www.saycocorporatiivo. com/SayCo.Uk/BIJ/journal/Vol2_No2/articleg.pc

X

Y

Budaya Organisasi Kinerja Pegawai

Budaya Organisasi (X)

1. Toleransi terhadap tindakan beresiko

2. Arah 3. Integrasi

4. Dukungan dari manajemen 5. Toleransi terhadap konflik 6. Pola-pola komunikasi (Gordon, terjemahan Pasolong, 2003:480) dan Robbins (1994)

Kinerja Pegawai (Y)

(22)

”Terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai pada Kantor

Kecamatan 554587895522154854 Kabupaten 223145655225”

Operasional variabel penelitian mengacu pada semua variabel dan

indikator-indikator variabel yang terkandung dalam hipotesis yang

dirumuskan sebagai berikut.

1) Variabel budaya organisasi sebagai variable indipenden (X1) yang akan

ditelusuri melalui 6 (enam) indikator, yaitu: Toleransi terhadap tindakan

beresiko, Arah, Integrasi, Dukungan dari manajemen, Toleransi terhadap

konflik, dan Pola-pola komunikasi, berdasarkan pendapat Robbins.

2) Variabel kinerja sebagai variabel dipenden (Y) yang akan ditelusuri

melalui 3 (tiga) indikator, yaitu: hasil kerja, perilaku kerja, dan sifat

pribadi yang berhubungan dengan pekerjaan, berdasarkan pendapat

Wirawan.

F. Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data 1. Metode Penelitian

Penelitian tentang ”Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja

Pegawai pada Kantor Kecamatan 554587895522154854 Kabupaten

223145655225” ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan

kuantitatif merupakan salah satu pendekatan yang ada dalam penelitian.

Pendekatan ini menekankan pada prosedur yang ketat dalam menentukan

variabel-variabel penelitiannya. Keketatan pendekatan ini sudah terlihat dari

(23)

Pendekatan kuantitatif mementingkan adanya variabel-variabel sebagai

objek penelitian dan variabel-variabel tersebut harus didefenisikan dalam

bentuk operasionalisasi variabel masing-masing. Reliabilitas dan validitas

merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menggunakan

pendekatan ini karena kedua elemen tersebut akan menentukan kualitas hasil

penelitian dan kemampuan replikasi serta generalisasi penggunaan model

penelitian sejenis. Selanjutnya, penelitian kuantitatif memerlukan adanya

hipotesis dan pengujiannya yang kemudian akan menentukan tahapan-tahapan

berikutnya, seperti penentuan teknik analisa dan formula statistik yang akan

digunakan. Juga, pendekatan ini lebih memberikan makna dalam

hubungan-nya dengan penafsiran angka statistik bukan makna secara kebahasaan dan

kulturalnya.

Metode penelitian memandu peneliti tentang urut-urutan bagaimana

penelitian akan dilakukan, dengan alat apa dan prosedur yang bagaimana.

Dalam penelitian tentang ”Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja

Pegawai pada Kantor Kecamatan 554587895522154854 Kabupaten

223145655225” ini digunakan metode deskriptif verifikasi dengan

menggunakan teknik survei. Singarimbun mengemukakan bahwa penelitian

survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan

menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok.24

Sementara itu, Sugiyono mengemukakan bahwa menurut tingkat

24

(24)

eksplanasinya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian asosiatif.25

Penelitian asosiatif adalah penelitian yang mencari pengaruh antara satu

variabel dengan variabel lainnya. Variabel yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah (1) Budaya Organisasi dan (2) Kinerja Pegawai pada Kantor Camat

554587895522154854.

2. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono, teknik pengumpulan data merupakan instrumen

ukur yang diperlukan dalam melaksanakan suatu penelitian. Data yang akan

dikumpulkan dapat berupa angka-angka, keterangan tertulis, informasi lisan,

serta beragam fakta yang berpengaruh terhadap fokus penelitian yang sedang

diteliti. Sesuai dengan pengertian teknik penelitian di atas, teknik

pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini terutama ada dua

macam, yakni studi dokumentasi dan teknik angket.26

a. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi dalam pengumpulan data penelitian ini

dimaksudkan sebagai cara pengumpulkan data dengan mempelajari dan

mencatat bagian-bagian yang dianggap penting dari berbagai risalah resmi

yang terdapat baik di lokasi penelitian maupun di instansi lain yang ada

pengaruhnya dengan lokasi penelitian. Studi dokumentasi ditujukan untuk

memperoleh data langsung dari instansi/lembaga meliputi buku-buku,

25

Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Administrasi. (Bandung: Alfabeta. 2004) p. 11

26

(25)

laporan kegiatan dan keuangan, serta dokumen lain yang relevan dengan

fokus penelitian.

b. Teknik Angket

Angket yang disusun dan dipersiapkan disebar kepada responden

sebagaimana ditetapkan sebagai sampel penelitian. Jumlah angket yang

disebarkan seluruhnya adalah sebanyak sampel yang ditentukan untuk

penelitian. Pemilihan dengan model angket ini didasarkan atas alasan

bahwa (a) responden memiliki waktu untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang diajukan, (b) setiap

responden menghadapi susunan dan cara pengisian yang sama atas

pertanyaan yang diajukan, (c) responden mempunyai kebebasan dalam

memilih jawaban, dan (d) dapat digunakan untuk mengumpulkan data atau

keterangan dari banyak responden dalam waktu yang cepat dan tepat.

Untuk mengungkap data ini digunakan angket yang berbentuk skala

Likert. Adapun alasan menggunakan skala Likert ini untuk mengukur sikap,

pendapat dan profesi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu

fenomena sosial. Permasalahan strategi pemasaran dan keputusan pembelian

produk dapat dikategorikan sebagai fenomena sosial. Oleh karena itu,

penggunaan skala Likert pada penelitian ini dapat diterima.

(26)

Tabel 1.1 Penskoran Skala Likert

G. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kantor Camat 554587895522154854, yang

berlokasi di Jl. Jangari, Kademangan, Kabupaten 223145655225. Penelitian

ini dilaksanakan selama 6 bulan, yakni dari bulan Februari 2014 sampai

dengan bulan Juli 2014. Rincian pelaksanaan penelitian dapat dijelaskan

melalui tabel berikut.

Tabel 1.2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian

(27)

H. Sistematika Penulisan Skripsi

Secara sistematis, karya tulis ini dikembangkan dalam lima bagian

sebagai berikut.

1. Bagian pertama merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka

pemikiran dan hipotesis, waktu dan lokasi penelitian, serta sistematika

pengembangan skripsi.

2. Bagian kedua merupakan tinjauan teoretis yang berisi tentang pembahasan

budaya organisasi dan kinerja pegawai.

3. Bagian ketiga merupakan pembatasan mengenai metode penelitian yang

membahas tentang latar penelitian, metode dan teknik penelitian, metode

dan teknik pengumpulan data, serta teknik pengolahan data.

4. Pembahasan hasil penelitian yang berisi deskripsi, analisis, serta

pem-bahasan hasil penelitian serta pembuktian hipotesis.

5. Bagian kelima merupakan kesimpulan atas seluruh hasil analisis data yang

diperoleh dalam penelitian serta saran yang dapat dikemukakan

(28)

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Budaya Organisasi

Istilah budaya organisasi (organizational culture) banyak dijumpai di berbagai media, para ahli, praktisi maupun akademisi yang melakukan analisis

dan kajian berkaitan dengan budaya organisasi. Diskusi maupun seminar telah

banyak diselenggarakan untuk mengungkapkan berbagai substansi yang

berkaitan dengan pengembangan budaya organisasi, fungsi dan pengaruh serta

manfaatnya untuk sebuah organisasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa budaya

organisasi memang dirasakan sangat penting dan memiliki manfaat baik

langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan organisasi,

tertutama dalam kancah persaingan yang semakin ketat.

Secara alami budaya sukar dipahami, tidak berwujud, implisit dan

di-anggap biasa saja. Tetapi semua organisasi mengembangkan seperangkat inti

pengandaian, pemahaman, dan aturan implisit yang mengatur perilaku

sehari-hari dalam tempat kerja. Peran budaya dalam mempengaruhi perilaku

karyawan semakin penting bagi organisasi.

Para ahli berpendapat bahwa definisi budaya organisasi memiliki tiga

hal yang merupakan ciri khas budaya organisasi tersebut, antara lain: (1)

dipelajari, (2) dimiliki bersama, dan (3) diwariskan dari generasi ke generasi.

(29)

pemimpin, ketua ataupun manajer sebuah organisasi dapat menciptakan dan

memelihara suatu budaya organisasi yang kuat dan jelas.

Budaya organisasi merupakan perekat antar karyawan, oleh sebab itu

sekolah harus memiliki budaya yang kuat, sehingga sekolah beserta warganya

akan memiliki perilaku yang sejalan serta memiliki keyakinan kolektif yang

dapat meningkatkan kemampuan profesional mereka dalam mewujudkan

kualitas pendidikan.

Budaya organisasi adalah norma, nilai nilai asumsi, kepercayaan,

filafat, kebiasaan organisasi dan sebagainya (isi budaya organisasi) yang

dikembangkan dalam waktu yang lama oleh pendiri, pemimpin, dan anggota

organisasi sehingga mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku anggota

organisasi dalam meng-hasilkan produk, melayani para konsumen dan

mencapai tujuan organisasi.27

Wirawan lebih lanjut mengemukakan bahwa budaya organisasi

mem-bentuk perilaku organisasi anggotanya, bahkan tidak jarang perilaku anggota

organisasi sebagai individu. Definisi budaya organisasi tersebut berisi

sejumlah kata kunci yang memerlukan penjelasan.

a. Isi budaya organisasi. Isi budaya organisasi terdiri atas beragam jenis. Isi

budaya organisasi ada yang didapat di indera dengan mudah seperti artefak

dan ada yang sukar di indera seperti nilai-nilai, norma, asumsi, dan filsafat

organisasi. Isi budaya organisasi kecil dan sederhana.

27

(30)

b. Sosialisasi. Budaya organisasi disosialisasikan dan didifusikan dan

diajar-kan kepada setiap anggota organisasi baru. Isi budaya organisasi

diper-kenalkan dan diajarkan serta diterapkan dalam kegiatan organisasi. Mereka

yang ingin menjadi anggota wajib memahami, merasa memiliki, dan

menerapkannya dalam perilakunya. Anggota organisasi yang

melanggar-nya dikenai sanksi.

c. Dikembangkan dalam waktu yang lama, budaya organisasi dikembangkan

pertama kalinya oleh pendiri organisasi ketika mendirikan organisasi.

Norma, nilai-nilai, pola pikir, budaya dan agama, dari pendiri organisasi

mempengaruhi budaya organisasi yang dikembangkannnya.

d. Demikian juga, Negara Republik Indonesia dewasa ini tetap menggunakan

dasar Negara Pancasila yang diajukan oleh para pendiri Negara: Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Isi Iklim organisasi merupakan

gabungan persepsi-persepsi suatu evaluasi makro mengenai peristiwa

organisasi, perilaku manusia, respons karyawan terhadap karyawan

lainnya, harapan-harapan, konflik-konflik antar personal, dan kesempatan

bagi pertumbuhan dalam organisasi tersebut.28

Schein mengemukakan bahwa budaya prganisasi adalah ”A pattern of basic assumption invented, discovered, or developed by given group as it learns to cope with it problems for external adaptation and internal integration that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be though to new members as the correct way to perceine, think and feel in

28

(31)

relation to those problems.”29 Budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah,

membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan

mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada

anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam

mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.

Menurut Schein (2002), budaya yang ada dalam organisasi memiliki

tiga elemen dasar, yaitu: artifak, nilai-nilai yang didukung (espoused values), serta asumsi yang mendasari (underlying assumtions).

Gambar 2.1 Tingkat Budaya Schein30

Artifak merupakan hal-hal yang dilihat, didengar, dan dirasa kalau

seseorang berhubungan dengan sebuah kelompok baru dengan budaya yang

tidak dikenalnya. Yang termasuk dalam artifak antara lain: produk, jasa,

29

Schein, Edgar H. (copyright 1985). Organizational Culture and Leadership. (San Francisco: Jossey-Bass Publishers. 2002) p. 12

30

Struktur organisasi dan proses yang tampak (sulit diterjemahkan)

(32)

bahkan tingkah laku anggota organisasi tersebut. Artifak ada di mana-mana,

dan kita dapat belajar mengenai suatu budaya dengan memperhatikan artifak

tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan nilai-nilai yang didukung adalah

alasan yang diberikan oleh sebuah organisasi untuk mendukung cara

organisasi tersebut dalam melakukan sesuatu. Selanjutnya, asumsi dasar

merupakan sebuah keyakinan yang dianggap sudah ada oleh anggota suatu

organisasi. Budaya menetapkan “cara yang tepat untuk melakukan sesuatu” di

sebuah organisasi, sering kali lewat asumsi yang tidak diucapkan.

Dengan demikian, budaya organisasi merupakan pemahaman terhadap

norma, nilai, sikap, dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh semua anggota

organisasi.31 Atau, budaya organisasi merupakan kerangka kerja yang menjadi

pedoman tingkah laku sehari-hari, pedoman dalam membuat keputusan, serta

mengarahkan tindakan anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.

Budaya harus sejalan dengan tindakan-tindakan organisasi, seperti:

perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian. Apabila

budaya tidak sejalan dengan tugas-tugas tersebut maka organisasi akan

menghadapi masa-masa yang sulit.32 Oleh karena itu, budaya memiliki peran

sentral dalam manajemen strategis.

Bagi organisasi, budaya organisasi merupakan tekanan normatif pada

setiap individu yang ada dalam organisasi untuk memiliki perilaku tertentu.

Perilaku tersebut antara lain perilaku untuk setia/loyal pada

31 Stoner, James A.F; Freeman, R. Edward; Gilbert Jr., Daniel R. Management, diterjemahkan

oleh Sindoro, Alexander. 1996. Manajemen. (Jakarta: Indeks, Gramedia Grup. 1995), p. 15

32

(33)

organisasi. Outcome-nya, loyalitas tersebut selanjutnya akan menciptakan komitmen yang tinggi pada organisasi.33

Soetjipto (2002) juga menambahkan bahwa individu yang memiliki

komitmen yang tinggi pada organisasi biasanya rela berkorban, memiliki tekat

yang kuat dan peduli pada kemajuan organisasi. Hal tersebut tercermin dari

tindakan individu untuk bekerja sebaik mungkin bagi organisasi. Budaya

organisasi yang bisa menciptakan “good organizational citizens” merupakan dambaan setiap pemimpin. Apabila perilaku karyawan “goes above and beyond the call of duty” maka bisa dipastikan organisasi bisa membuat kompetisi menjadi tidak relevan.34 Artinya, organisasi akan memiliki

keunggulan kompetitif yang tinggi yang sulit untuk ditiru oleh pesaing.

Oleh karena itu, budaya organisasi seharusnya tumbuh dan mengakar

secara kuat dalam setiap organisasi. Budaya organisasi harus selaras dengan

situasi dan kondisi persaingan di mana organisasi terlibat di dalamnya

dan/atau mendukung strategi bisnis yang diterapkan organisasi. Selain itu,

budaya organisasi juga harus memberi perhatian yang penuh, tidak hanya pada

para pemegang saham dan pelanggan, tetapi juga pada seluruh individu

organisasi dan masyarakat secara luas. Budaya organisasi modern harus kuat

tapi terbatas, membedakan asumsi dasar yang dianggap penting (vital bagi

33 Soetjipto, Budi W. 2002. Menuiai Sukses dalam Kegiatan Usaha. (Usahawan No. 12, Th.

XXXI, Desember. 2002), pp. 47-50.

34

(34)

kelangsungan hidup organisasi dan keberhasilan) dari segala sesuatu yang lain

yang hanya dalam tahap relevan saja (diinginkan tetapi tidak wajib).35

Menurut Vijay Santhe, sebagaimana dikutip oleh Taliziduhu Ndraha,

budaya adalah: “The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”.36 Dari teori yang dikemukakan oleh Vijay Sathe dan Schein di atas, ditemukan kata kunci dari pengertian

budaya yaitu shared basicassumptionsatau menganggap pasti terhadap sesuatu. Sathe, dalam Ndraha, lebih lanjut mengemukakan bahwa shared basic assumptions meliputi: (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing;dan (4) shared feelings.37 Pada bagian lain, Schein menyebutkan bahwa basic assumption dihasilkan melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis becomes reality, dan (3) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking.38

Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa asumsi meliputi beliefs

(keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan. Belief (keyakinan) merupakan state of mind

(lukisan pikiran) yang terlepas dari ekspresi material yang diperoleh suatu

komunitas. Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya.39

35

Schein. Opcit.

36 Ndraha, Taliziduhu. 1997. Budaya Organisasi. (Jakarta : PT Rineka Cipta. 1997), p. 46 37

Ibid. 38

Schein, Opcit.

39

(35)

Menurut Vijay Sathe dalam Ndraha bahwa nilai merupakan “ basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for”.

Pada tingkat ini organisasi dan anggotanya membutuhkan tuntunan

strategi (strategies), tujuan (goals) dan filosofi dari pemimpin organisasi untuk bertindak dan berperilaku. Sedangkan pada tingkat basic underlying assumptions (asumsi dasar) berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik untuk melakukan sesuatu secara benar dan cara yang tepat.

Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi

ke dalam dua dimensi yaitu:

1) Dimensi external environments; yang di dalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a)mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e)correction.

2) Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a)common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dan (f) explaining and explainable : ideology and religion.40

Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik

budaya organisasi, mencakup: (1) observe behavior: language, customs, traditi-ons; (2) groups norms: standards and values; (3) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking,

40

(36)

acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.41

Luthans mengemukakan bahwa ”budaya organisasi merupakan

norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi di mana

setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar

diterima oleh lingkungannya”.42 Budaya organisasi memiliki karakteristik

yang penerapan-nya mendukung pencapaian sasaran organisasi. Karakteristik

ini merupakan ciri utama budaya organisasi yang tidak dapat dipisahkan satu

sama lainnya, juga berlaku pada semua jenis organisasi baik yang berorientasi

kepada jasa atau produk.

Luthans mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya

organisasi, yaitu: (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota

organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin

menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman

sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi,

misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau

efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memper-lakukan pelanggan

dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan

41

Ibid.

42

(37)

kemajuan organisasi; (6) organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara

anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain.43

Karakteristik budaya organisasi yang dikemukakan Luthans di atas

tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Artinya, unsur-unsur

tersebut men-cerminkan budaya yang berlaku dalam suatu jenis organisasi

baik yang ber-orientasi pada pelayanan jasa atau organisasi yang

menghasilkan produk.

Luthans juga menyatakan bahwa faktor-faktor utama yang menentukan

kekuatan budaya organisasi adalah sebagai berikut.

1) Kebersamaan yaitu sejauh mana anggota organisasi mempunyai nilai-nilai

inti yang dianut secara bersama. Derajat kesamaan dipengaruhi oleh unsur

orientasi dan imbalan. Orientasi dimaksudkan pembinaan kepada

anggota-anggota baru khususnya melaui program-program pelatihan, sedangkan

imbalan dapat berupa kenaikan gaji, jabatan (promosi), hadiah-hadiah dan

tindakan-tindakan lainnya yang memperkuat nilai-nilai budaya organisasi.

2) Intensitas merupakan suatu hasil dari struktur imbalan keinginan pegawai

untuk melaksanakan nilai-nilai budaya dan bekerja semakin meningkat

apabila mereka diberi imbalan, oleh karena itu pimpinan organisasi perlu

memperhatikan dan mentaati struktur imbalan yang diberikan kepada

43

(38)

anggota-anggota organisasi guna menanamkan nilai-nilai inti budaya

organisasi.44

Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc

Namara45 mengemukakan bahwa dilihat dari sisi input, budaya organisasi

mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi

mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang,

waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put,

berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi,

teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya.

Jones dan George mengemukakan bahwa ”Organizational culture is the shared set of beliefs, expectations, values, norms, and work routines that influence the ways in which individuals, groups, and teams intreract with one another and cooperate to achieve organizational goals.”46 Budaya organisasi adalah himpunan bersama keyakinan, harapan, nilai, norma, dan rutinitas kerja

yang mempengaruhi cara di mana individu, kelompok, dan tim saling

berinteraksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan

organisasi.

Jones dan George menyebukan faktor-faktor budaya organisasi yang

terdiri atas (1) personal and professional characteristics of people within the

44

Ibid, p. 135

45 Carter McNamara. 2002. “Organizational Culture” The Management Assistance Program for

Nonprofits. Terdapat pada http://

46

(39)

organization (characteristics of organizational members), (2) organizational ethics, (3) the employment relationship, and (4) organizational structure. Artinya, budaya organisasi dibentuk oleh elemen-elemen (1) karakteristik

pribadi dan profesionalitas orang dalam organisasi (karakteristik anggota

organisasi), (2) etika organisasi, (3) hubungan kerja, dan (4) struktur

organisasi.47 Ketika para anggota organisasi memiliki komitmen yang kuat

terhadap keyakinan, harapan, nilai-nilai, norma-norma, dan

kebiasaan-kebiasaan yang digunakannya dalam mencapai tujuan, maka hal itu akan

menunjukkan budaya organisasi yang kuat.

Robbins mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu sistem makna

bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi

tersebut dengan organisasi yang lain. (Organizational culture refers to a system of shared meaning held by members that distinguishes the organization from other organizations).48 Lebih lanjut, Robbins menyatakan bahwa sebuah sistem pe-maknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi

pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan

seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi ("a system of shared meaning held by members that distinguishes the organization from other organization. This system of shared meaning is, on closer examination, a set of key characteristics that the organization values").49 Budaya organisasi memiliki kepribadian yang menunjuk-kan ciri suasana psikologis organisasi,

47 Ibid, p. 415

48

Robbins, Stephen P. and Timothy, A.Judge. Organizational Behavior (Twelfth Edition). (New Jersey: Pearson, Prentice Hall, 2007), p. 248

49

(40)

yang memiliki arti penting bagi kehidupan organisasi, kenyamanan,

kelancaran, dan keefektifan organisasi. Suasana psiko-logis terbangun

pola-pola kepercayaan, ritual, mitos, serta praktek-praktek yang telah berkembang

sejak lama, yang pada gilirannya menciptakan pemahaman yang sama di

antara para anggota organisasi mengenai bagaimana sebenarnya organisasi itu

dan bagaimana para anggota harus berperilaku. Oleh karena itu, budaya

organisasi itu berwujud dalam filosofi, ideologi, nilai-nilai, asumsi-asumsi,

keyakinan, serta sikap dan norma bersama anggota organisasi tersebut dalam

memandang berbagai realitas, terutama berkaitan dengan permasalahan

internal maupun eksternal organisasi.

Robbins memberikan karakteristik budaya organisasi sebagai berikut.

(1) Inovasi dan keberanian mengambil risiko (innovation and risk taking), adalah sejauh mana organisasi mendorong para karyawan bersikap

inovatif dan berani mengambil resiko. Selain itu bagaimana organisasi

menghargai tindakan pengambilan risiko oleh karyawan dan

membangkitkan ide karyawan;

(2) Perhatian terhadap detil (Attention to detail), adalah sejauh mana organisasi mengharapkan karyawan memperlihatkan kecermatan,

analisis danperhatian kepada rincian.

(3) Berorientasi kepada hasil (Outcome orientation), adalah sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan perhatian

(41)

(4) Berorientasi kepada manusia (People orientation), adalah sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada

orang-orang di dalam organisasi.

(5) Berorientasi tim (Team orientation), adalah sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim tidak hanya pada individu-individu

untuk mendukung kerjasama.

(6) Agresivitas (Aggressiveness), adalah sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan kompetitif untuk menjalankan budaya

organisasi sebaik-baiknya.

(7) Stabilitas (Stability), adalah sejauh mana kegiatan organisasi menekankan status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.50

Konsekuensi budaya tersebut akan mempengaruhi kinerja dan daya

saing organisasi dalam jangka panjang. Budaya organisasi didefinisikan

sebagai pola pemecahan masalah eksternal dan internal yang diterapkan secara

konsisten bagi suatu kelompok, dan oleh karenanya diajarkan kepada

anggota-anggota baru sebagai cara yang benar dalam memandang, memikirkan, dan

memecahkan masalah yang dihadapi tersebut.

Robins kemudian menyimpulkan sebagai berikut.

- Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara organisasi yang satu dengan lainnya.

- Budaya memberikan identitas bagi anggota-anggota organisasi. - Budaya mendorong timbulnya komitmen pada sesuatu yang

lebih luas daripada kepentingan pribadi seseorang.

50

(42)

- Budaya merupakan perekat sosial di antara sesama anggota organisasi.51

McShane dan Von Glinow mengemukakan bahwa ”organizational culture is the basic pattern of shared values and assumptions governing the way employees within an organization think about and act on problems and opportunities”.52 McShane dan Von Glinow juga mengatakan, bahwa budaya organisasi yang kuat memiliki potensi meningkatkan kinerja, dan sebaliknya

bila budaya organisasinya lemah mengakibatkan kinerja menurun. Budaya

organisasi memiliki tiga fungsi penting yaitu sebagai sistem pengawasan,

perekat hubungan sosial, dan saling memahami.

B. Kinerja Pegawai

Kinerja merupakan suatu konsep umum yang digunakan untuk

menge-tahui efektivitas pelaksanaan kerja pegawai sehingga dapat diaplikasikan

dalam beragam setting organisasi. Kata kinerja merupakan terjemahan dari

kata performance yang berarti: (1) melakukan, menjalankan, dan melaksanakan, (2) memenuhi atau menjalankan kewajiban sebuah nazar, (3)

melaksanakan dan menyempurnakan tanggungjawab, dan (4) melakukan

sesuatu yang diharapkan oleh seseorang.53 Dalam kamus Webster’s, third New International disebutkan beberapa pengertian performance di antaranya : “the act or process of carrying out something; the execution of an action the ability

51

IIbid. p. 516

52

McShane, Steven L. and Mary Ann Von Glinow. Organizational Behavior, 4thEdition. (New York: McGraw Hill Irwin, 2008), p. 460

(43)

to perform, the capacity to achieve a desired result”54, yang berarti aktivitas atau proses penyelesaian sesuatu; pelaksanaan kegiatan; kemampuan

berprestasi; kemampuan untuk mencapai hasil yang telah diharapkan.

Banyak ahli memberi batasan tentang kinerja sesuai dengan sudut

pandang masing-masing. Menurut Bernadin dan Rusell bahwa kinerja adalah

the record outcomer produced on a specified job function or activity during specified time period”55, yang berarti kinerja adalah catatan yang dihasilkan

outcomer dari fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu priode tertentu. Dengan demikian, kinerja dalam konteks guru adalah seperangkat

prilaku yang ditunjukan oleh seorang guru pada waktu

melaksana-kan proses pembelajaran.

Hoy dan Miskel, yang mengutip pendapat Vroom, menyatakan bahwa

performance = f (ability x motivation). Dengan kata lain, performance atau kinerja ditentukan oleh: (a) kemampuan yang diperoleh dari hasil pendidikan,

pelatihan, pengalaman, (b) motivasi yang merupakan perhatian khusus dari

hasrat seorang pegawai dalam melakukan suatu pekerjaan dengan baik.56 Hal

senada dikemukakan Sutermesiser bahwa “We have recognation that employee performance depend on both motivation and ability.”57 Tampilan atau kinerja seorang pegawai menurut Sutermeister ditentukan oleh dua faktor:

54

Gove, Philip Babcock and Webster, Merriam. Webster Third New International Dictionary. (Springfield, Mass., U.S.A. : Merriam-Webster, [1996], ©1993) p. 1678

55

Bernardin, John and Russel, Joyce, E. A. 1998. Human Resource Management an Experiental Approach. 2nd edition. (New York: Mc.Graw-Hill Companies Inc. 1998), p. 239

56

Hoy, W.K. & Miskel, C.G. Education Administration: Theory, Research and Practice. (New York: Random House, 1978), p. 116

57

(44)

(a) faktor kemampuan atau ability; (b) faktor motivasi atau motivation.58

Faktor ability seorang pegawai sendiri dipengaruhi dua hal, pertama pengetahuan pegawai yang diperoleh melalui pendidikan, pengalaman, latihan

dan interest, kedua keterampil-an atau skill yang dimiliki sebagai aptitude atau kecakapan dan personality. Faktor motivasi sendiri menurut Sutermeister tumbuh oleh karena pengaruh kebutuhan individu, kondisi fisik pekerjaan dan

kondisi sosial pekerjaan.

Selanjutnya, Gibson et.al. mengartikan kinerja sebagai tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan.59 Menurutnya, kinerja karyawan merupakan

suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menetapkan perbandingan hasil

pelaksanaan tugas, tanggung jawab yang diberikan oleh organisasi pada

periode tertentu dan relatif dapat digunakan untuk mengukur prestasi kerja

atau kinerja organisasi. Menurut Gibson, ada 3 faktor yang berpengaruh

terhadap kinerja, yakni: (1) faktor individu yang terdiri atas: kemampuan,

ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan

demografi seseorang; (2) faktor psikologis yang terdiri atas: persepsi, peran,

sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja; serta (3) faktor organisasi

yang terdiri atas: struktur organisasi, desain pekerjaan, kepe-mimpinan, sistem

58

Ibid., p. 11

59

(45)

penghargaan (reward system), imbalan, sarana dan prasarana, supervisi, dan dukungan atasan.60

Hasibuan menyebutkan kinerja sebagai prestasi kerja, mengungkapkan

bahwa prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam

melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang disandarkan atas

kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.61 Menurut Hasibuan,

peningkatan kinerja karyawan akan terlihat jika technical skill, dan human skill karyawan yang semakin baik, maka kualitas dan kuantitas produksi pun akan semakin baik. Oleh karena itu, untuk melihat perkembangan dan

peningkatan kinerja, Hasibuan menegaskan perlunya penilaian kinerja yang

tujuannya meliputi hal-hal sebagai berikut.

1) Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk promosi, demosi, pemberhentian, dan penetapan besarnya upah.

2) Untum mengukur prestasi kerja.

3) Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas perusahaan.

4) Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan.

5) Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan latihan karyawan.

6) Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi karyawan.

7) Untuk mendorong atau membiasakan para atasan untuk mengobservasi perilaku bawahan supaya diketahui minat dan kebutuhan bawahannya.

8) Sebagai alat untuk melihat kekurangan atau kelemahan masa lampau dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.

9) Sebagai kriteria di dalam menentukan seleksi dan penempatan karyawan.

60 Ibid. 61

(46)

10) Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan.

11) Sebagai dasar untuk memperbaiki dan mengembangkan uraian

pekerjaan.62

Mangkunegara mengatakan bahwa prestasi kerja adalah hasil kerja

secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam

melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan

kepadanya.63 Menurut Mangkunegara, terdapat aspek-aspek standar pekerjaan

yang terdiri dari aspek kuantitatif dan aspek kualitatif.

Aspek kuantitatif yaitu :

1) proses kerja dan kondisi pekerjaan,

2) waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan, 3) jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan, dan

4) jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja Aspek kualitatif yaitu :

1) ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan, 2) tingkat kemampuan dalam bekerja,

3) kemampuan menganalisis data/informasi, kemampuan/kegagalan menggunakan mesin/peralatan, dan

4) kemampuan mengevaluasi (keluhan atau keberatan konsumen atau masyarakat).64

Kebutuhan individu pegawai menjadi motivasi utama karena hal ini

terkait dengan pemenuhan kebutuhan psikologis, kebutuhan sosial dan juga

kebutuhan egois (egoistical needs) pegawai sendiri. Kondisi fisik pekerjaan dapat menjadi motivasi kuat bagi pegawai karena terkait lingkungan tempat

62

Ibid, p. 89

63

Mangkunegara, Anwar Prabu. Evaluasi Kinerja SDM. (Jakarta:Tiga Serangkai, 2005), p. 67

64

(47)

pegawai bekerja dan ini meliputi; tingkat kebisingan, pencahayaan, ventilasi,

kondisi ekonomi secara umum, dan situasi personal si pegawai yang

bersangkutan. Kondisi sosial pekerja-an ditempatkan pada motivasi tinggi

karena terkait: (a) organisasi formal; (b) organisasi informal, dan; (c)

kepemimpinan atau supervisor.

Menurut hasil penelitian McClelland dalam McShane, Von Glinow

dan Mary Ann terdapat tiga kebutuhan yang mendorong motivasi, yaitu: Need for achievement, need for affiliation, dan need for power. Kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan diterima oleh kelompoknya, dan kebutuhan untuk

menduduki jabatan dapat mendorong orang memiliki motivasi tinggi dalam

melaksanakan pekerjaan. Bila kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi

akan berakibat meningkatkan kinerja.65

Kinerja menurut Wirawan, adalah keluaran yang dihasilkan oleh

fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam

waktu tertentu.66 Menurut Wirawan secara umum dimensi kinerja dapat

dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: hasil kerja, perilaku kerja, dan sifat

pribadi yang berhubungan dengan pekerjaan.67

1. Hasil Kerja

Hasil kerja merupakan keluaran kerja dalam bentuk barang dan

jasa yang dapat dihitung dan diukur kuantitas dan kualitasnya. Pengukuran

65

McShane, Steven L. & Von Glinow, Mary Ann. Op.Cit. pp. 140-141

66

Wirawan. Op.Cit. p. 5

67

(48)

kinerja melalui hasil kerja pekerja sejalan dengan pendapat Peter Drucker

melalui teori Management by Objectives (MBO). Seorang pekerja dinilai melalui hasil kerjanya baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

Misalnya kuantitas hasil kerja seorang pegawai teller bank diukur seberapa banyak nasabah yang dilayaninya. Kualitas hasil kerjanya diukur seberapa

tepat teller tersebut memenuhi standar layanan nasabah atau seberapa puas nasabah yang dilayaninya. Kuantitas hasil kerja seorang pekerja pabrik

rokok diukur sebarapa banyak batang rokok yang berhasil dilinting setiap

hari. Kualitas hasil kerjanya seberapa baik hasil lintingan rokok memenuhi

standar produksi atau tidak.

2. Perilaku kerja

Ketika berada di tempat kerja karyawan memiliki dua perilaku, yaitu

perilaku pribadi dan perilaku kerja. Perilaku pribadi merupakan perilaku

yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, misalnya: cara berjalan, cara

berbicara, dan sebagainya. Perilaku kerja merupakan perilaku pekerja yang

berhubungan dengan pekerjaan, misalnya: kerja keras, ramah, disiplin, dan

sebagainya. Perilaku kerja dicantumkan dalam standar kinerja, prosedur

kerja, kode etik, dan peraturan organisasi. Perilaku kerja dapat

dikelompokkan menjadi perilaku kerja umum dan khusus. Perilaku kerja

umum merupakan perilaku yang diperlukan semua jenis pekerjaan,

misalnya: loyal pada organisasi, disiplin, dan bekerja keras. Perilaku kerja

khusus diperlukan untuk pekerjaan tertentu, misalnya: Satpam tegas dan

Gambar

Gambar 1.1: Kerangka pemikiran Budaya Organisasi dengan Kinerja
Tabel 1.1  Penskoran Skala Likert
Gambar 2.1 Tingkat Budaya Schein30
Tabel 3.1  Operasionalisasi Variabel Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan nilai signifikan sebesar 0,05 jika nilai signifikan thitung>ttabel maka H0 diterima, jika nilai signfiikan t hitung < t tabel maka H0 ditolak. H 1 i= Ada

Perennial, Islam memandang bahwa doktrin tentang al-tauhîd tidak hanya menjadi pesan milik Islam sebagai agama, melainkan lebih merupakan inti dari nilai agama wahyu Tuhan

Dari hasil penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan, yaitu: 1) Faktor internal yang mem- pengaruhi audit delay adalah size perusahaan dan faktor eksternal ukuran kantor

Penelitian yang dilakukan oleh Amaliah (2015), Devy (2017), dan Putriasih (2016) menunjukkan proksi perubahan direksi dari variabel capability memiliki pengaruh positif dan

Dab diharapkan nanti nya dengan meningkat nya sikap kemandirian siswa SMP terhadap mata pelajaran IPA di kabupaten Muaro Jambi dapat bersaing untuk menjadikan

Maksud dari studi ini adalah untuk mengetahui dan mempelajari banjir di sungai Kali Lamong, Kabupaten Gresik, sehingga dapat diperoleh gambaran seberapa

Pada saat realisasi belanja modal dilakukan, maka pencatatannya di dalam Aplikasi SAKPA yaitu: Jurnal pencatatan atas biaya renovasi Rp 500.000.000,- adalah: Dr Belanja Modal Gedung

Sengketa lahan hutan yang terjadi di Register 22 Way Waya Kabupaten Pringsewu adalah sengketa yang terjadi akibat dari tukar guling kawasan hutan yang ditetapkan