• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Jual Beli

Jual beli dalam bahasa arab disebut al bay’ menurut bahasa adalah tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sayyid Sabiq dalam Ahmad Wardi Muslich mengartikan jual beli secara bahasa adalah tukar-menukar secara mutlak.26 Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli secara bahasa adalah tukar-menukar apa saja, baik antara barang dengan barang, barang dengan uang, atau uang dengan uang.

Sedangkan menurut istilah jual beli merupakan suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, sesuai dengan perjanjian ketentuan yang telah dibenarkan syara>’dan disepakati.27 Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa jual beli secara umum adalah akad mu’awwada}h (timbal balik), yakni akad yang dilakukan oleh dua pihak yaitu penjual dan pembeli, yang obyeknya bukan manfaat.28

Jual beli merupakan suatu bentuk akad penyerahan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Menurut Hanafiah pengertian jual beli secara definitif yaitu tukar-menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu

26

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat…, 173. 27

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 69.

28

(2)

20

yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.29 Didalam kitab terjemahan Fath}ul Qari>b dijelaskan bahwa jual beli adalah memiliki sesuatu harta dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara>’atau sekedar memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan syara>’dengan melalui pembayaran yang berupa uang.30

Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, jual beli ialah tukar menukar harta secara suka sama suka atau memindahkan milik dengan pertukaran menurut cara yang diizinkan agama.31 Sedangkan Imam Taqi al-Din mendefinisikan jual beli adalah saling tukar harta, saling menerima dapat dikelola (tasarruf) dengan i>jab> dan qabu>l),dengan cara yang sesuai dengan syara>’.32

Para ulama mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba diharamkan. Para imam madhhab sepakat bahwa jual beli itu dianggap sah apabila dilakukan oleh orang yang sudah baligh, berakal, kemauan sendiri, dan berhak membelanjakan hartanya. Oleh karena itu jual beli tidak sah jika dilakukan oleh orang gila.33

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima dan

29

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,

2013), 101. 30

Achmad Sunarto, Terjemah Fathul Qorib (Surabaya: Al-Hidayah, 1991), 334.

31

Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Al-Mar’ah Al-Muslimah, Terj. Anshori Umar Sitanggal

“Fiqih Wanita” (Semarang: CV Asy-Syifa, 1986), 490. 32

Imam Taqiyuddin Abu, Terjemah Kifayah Al-Akhya>r (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), Juz I, 239.

33

Syeikh al-‘allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab

(3)

21

yang benda-benda dan pihak lain sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara>’dan disepakati yang dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal yang ada kaitannya dengan jual beli, maka bila syarat-syarat dan rukunya tidak dipenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara>’. Yang dimaksud dengan benda dapat mencakup pada pengertian barang dan uang.34

Sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dapat dinilai yakni benda, benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunanya menurut syara>’ benda itu adakalanya bergerak (dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak dapat dipindahkan), yang dapat dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat dibagi-bagi, harga yang ada perumpamaannya (misli) dan tak ada yang menyerupainya dan yang lain-lainnya, penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang syara>’.35

B. Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli merupakan akad yang dibolehkan berdasarkan al-Qur’a>n, sunnah, dan ijma’ para ulama. Dilihat dari aspek hukum, jual beli hukumnya mubah kecuali jual beli yang dilarang oleh syara>’ adapun dasar hukum dari al-Qur’a>n antara lain.36

          34

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah...,69.

35 Ibid. 36

(4)

22

Padahal Allah telah mengh}alalkan jual beli dan mengharamkan riba. (al-Baqarah ayat 275).37

                                           

“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (al-Baqarah : 282).38

                                         

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (al-Nisa>’ ayat 29).39                  

“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, Yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.” (al-Yusuf ayat 20)40

Hadis yang diriwayatkan oleh Rifa’ah Ibn Rafi’ tentang dasar hukum jual beli sebagai berikut:

لاق عفار نب ةعافر نع

:

ِهْيَلَع ُهّللا ىَّلَص ُِّبَِّنلا َلِئُس

ٌعْيَ ب َلاَقَ ف ِبْسَكْلا ِلَضْفَأ ْنَع َمَّلَس َو

َمَعَو ٌرْوُرْ بَم

ِهِدَيِب ِلُجَّرلا ُل

(

زبلا هاور

لحاو را

كا

م)

37

Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemah…, 69.

38 Ibid, 70. 39 Ibid, 122. 40 Ibid, 351.

(5)

23

“Dari Rifa’ah Ibn Rafi’ Rasulullah saw. ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasulullah saw. menjawab: Setiap jual beli yang diberkati dan usaha tangan manusia sendiri” (HR. Al-Bazzar dan Al-Hakim).41

kaidah fiqh:

ْيِرْحَّتلاَو ِنَلاْطُبْلا ىَلَع ٌلْيلَد َمْوُقَ ي َّتََّح ُةَّحِصلا ِتَلاَم اَعُمْلاَو ِدْوُقُعْلأ ِفِ ُلْص َْلَْا

“Pada dasarnya semua akad dan muamalah itu hukumnya sah sampai ada dalil yang membatalkan dan mengharamkannya”.42

َّللا َيِضَر َرَمُع ِنْبا ْنَع ٍعِفاَن ْنَع ُبوُّيَأ اَنَ ثَّدَح ٍدْيَز ُنْب ُداََّحَ اَنَ ثَّدَح ِناَمْعُّ نلا وُبَأ اَنَ ثَّدَح

اَمُهْ نَع ُه

َلاَق

َّلَص ُِّبَِّنلا َلاَق

ْرَ تْخا ِهِبِحاَصِل اَُهُُدَحَأ ُلوُقَ ي ْوَأ اَقَّرَفَ تَ ي َْلَ اَم ِراَيِْلْاِب ِناَعِّ يَ بْلا َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ى

ٍراَيِخ َعْيَ ب ُنوُكَي ْوَأ َلاَق اََّبَُّرَو

“Telah menceritakan kepada kami Abu An-Nu'man telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan) dalam jual beli selama keduanya belum berpisah". Atau Beliau bersabda: "(Selama belum berpisah) seorang dari rekannya". Atau Beliau bersabda: "Jual beli menjadi khiyar (terjadi dengan pilihan)”. (H.R. Bukhari No. 1967)43

Para ulama dan seluruh umat Islam sepakat tentang dibolehkannya jual beli, karena hal ini sangat dibutuhkan oleh manusia pada umumnya. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak semua orang memiliki apa yang dibutuhkannya. Apa yang dibutuhkannya terkadang berada ditangan orang lain. Dengan jalan jual beli, maka manusia saling tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, roda kehidupanm

41

Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulu@ghul Mara@m, (Bandung: Mizan, 2010), cet-I, 316.

42

Rachmad Syafei, Ilmu Usul Fiqh…, 283.

43

(6)

24

ekonomi akan berjalan dengan positif karena apa yang mereka lakukan akan mengantungkan kedua belah pihak.44

C. Rukun dan Syarat Jual Beli

Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara>’. Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama.

1. Rukun jual beli

Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu i>jab> (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabu>l) (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan traksaksi jual beli. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar dalam i>jab> dan qabu>l), atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang.45

Dalam hal ini rukun jual beli meliputi i>jab> dan qabu>l), ‘a>qid atau orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), ma’qud ‘alaih (obyek akad). Rukun yang pertama adalah i>jab>

44 Ibid, 179.

45

(7)

25

dan qabu>l), merupakan ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum i>jab> dan qabu>l dilakukan sebab i>jab> qabu>l menunjukkan kerelaan. Pada dasarnya i>jab> dan qabu>l dilakukan dengan lisan, tetapi jika tidak memungkinkan boleh dilakukan dengan surat-menyurat yang mengandung arti i>jab> qabu>l.46

Rukun yang kedua adalah ‘a>qid atau orang yang melakukan ‘aqh, yaitu penjual dan pembeli. Dalam hal ini penjual dan pembeli harus orang yang memiliki ahliyah (kecakapan), dan Wila>yah (kekuasaan).47

Rukun jual beli yang ketiga adalah benda-benda atau barang yang diperjual belikan (ma’qu>d ‘alaih), meliputi barang yang dijual (mab>i’) dan harga/uang.48

Rukun jual beli yang keempat adalah tempat akad, syarat yang berkaitan dengan tempat adalah i>jab> dan qabu>l harus terjadi dalam satu majelis. Apabila i>jab> dan qabu>l berbeda majelisnya, maka akad jual beli tidak sah.49

2. Syarat-syarat jual beli

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama di atas sebagai berikut:

a. Syarat-syarat orang yang berakad

46

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah..., 70.

47

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat..., 186.

48

Hendi Suhendi, Fiqh..., 71.

49

(8)

26

Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat:

1) Berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.

2) Yang melakukan akad itu adalah orang-orang yang berbeda. Artinya, seseorang yang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.50

b. Syarat-syarat yang terkait dengan i>jab> qabu>l

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat i>jab> dan qabu>l itu sebagai berikut:

1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal, menurut jumhur ulama, atau telah berakal menurut Ulama Hanafiyah, sesuai dengan perbedaan mereka dalam syarat-syarat orang yang melakukan akad yang disebutkan di atas.

2) Qabu>l sesuai dengan i>jab>.

3) I>jab> dan qabu>l dilakukan dalam satu majelis. Artinya, kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.

c. Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)

Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat sebagai berikut: 1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.

50

(9)

27

2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit.

3) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-muqayadhah) maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara>’.

d. Syarat yang mengikatnya jual beli

Secara rinci perbandingan tersebut adalah berbagai berikut: 1) Menurut Hanafiyah

Menurut Hanafiyah, Ada 23 syarat jual beli yaitu sebagai berikut:

a) ‘A>qid (orang yang melakukan akad) harus berakal dan mumayyiz.

b) ‘A>qid harus berbilang.

c) Para pihak yang melakukan akad jual beli harus mendengar pembicaraan pihak lain.

d) I>jab> dan qabu>l harus sesuai (cocok).

e) I>jab> dan qabu>l harus dinyatakan dalam satu majelis. f) Obyek akad jual beli (mab>i’) harus berupa harta (ma>l). g) Obyek akad (mab>i’) harus berupa ma>l mutaqawwim. h) Obyek akad harus dimiliki oleh si penjual.

i) Obyek akad harus ada (maujud) pada waktu akad dilaksanakan.

(10)

28

j) Obyek akad harus bisa diserahkan pada waktu dilaksanakannya akad.

k) Imbalan (harga) harus ma>l mutaqawwim. l) Obyek akad dan harga harus diketahui. m) Jual beli tidak boleh dibatasi dengan waktu.

n) Jual beli harus ada manfaat dan faedahnya bagi kedua belah pihak.

o) Jual beli harus terhindar dari syarat yang merusak. p) Dalam jual beli benda bergerak, benda harus diserahkan. q) Harga pertama harus diketahui.

r) Harus saling menerima dan harus sama dalam jual beli benda ribawiyah.

s) Terpenuhinya syarat salam dalam jual beli salam.

t) Dalam jual beli utang kepada selain mudin (orang yang berpiutang), salah satu penukaran bukan utang.

u) Barang yang dijual merupakan hak milik si penjual. v) Di dalam barang yang dijual tidak ada hak orang lain. w) Di dalam akad jual beli tidak ada syarat khiya>r.51 2) Menurut Malikiyah

Menurut Malikiyah, ada 11 syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, yaitu sebagai berikut:

a) Penjual dan pembeli harus mumayyiz.

51

(11)

29

b) Penjual dan pembeli harus menjadi pemilik atas barang, atau wakil dari pemilik.

c) Penjual dan pembeli harus orang yang memiliki kebebasan (mukhtar).

d) Penjual harus cerdas dalam mengelolah hartanya. e) I>jab> dan qabu>l harus bersatu dalam satu majelis. f) I>jab> dan qabu>l tidak boleh terpisah.

g) Mab>i’ dan tsaman (harga) harus benda yang tidak dilarang oleh shyara>’.

h) Benda yang dijual harus suci.

i) Benda harus bermanfaat menurut shyara>’.

j) Benda yang menjual obyek akad harus diketahui, tidak majhul.

k) Benda yang menjadi obyek akad harus bisa diserahkan.52 3) Menurut Syafi’iyah

Menurut Syafi’iyah, ada 22 syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, yaitu sebagai berikut:

a) ‘\A>qid harus memiliki sifat cerdas, yakni baligh dan berakal.

b) Tidak ada paksaan tanpa hak.

c) Islamnya pembeli dalam pembelian mushhaf dan sebagainya, seperti hadis, fiqh dan lain-lain.

52

(12)

30

d) Pembeli bukan ka>fir h}arbi> dalam pembelian alat perlengkapan perang yang digunakan untuk memerangi kaum muslimin.

e) Para pihak mengucapkan khita>bnya kepada temannya, bukan ditunjukan kepada orang lain.

f) Khita>b menggunakan jumlah (kalimat) mukha>thab.

g) Qabu>l harus diucapkan oleh orang yang langsung mendengarkan i>jab.

h) Orang yang mulai pembicaraan hendaknya menyebutkan harga dan barang.

i) Penjual dan pembeli menghendaki dengan sungguh-sungguh arti kata-kata yang diucapkan. Apabila hati tidak sesuai dengan ucapan, seperti akad main-main maka akadnya tidak sah.

j) Kecakapan (ahliyah) penjual dan pembeli harus tetap ada sampai selesainya qabu>l.

k) Antara i>jab> dan qabu>l tidak boleh terpisah dengan waktu yang lama.

l) I>jab> dan qabu>l tidak boleh diselingi dengan pembicaraan dengan orang lain, walaupun sedikit, karena hal itu berarti berpaling dari qabu>l.

m) Orang yang menyatakan i>jab> tidak boleh mengubah pembicaraannya sebelum pihak lain menyatakan qabu>l.

(13)

31

n) Para pihak yang melakukan akad jual beli harus mendengarkan ucapan pihak lainnya.

o) I>jab> dan qabu>l harus betul-betul sesuai dan tidak boleh berbeda.

p) Sighat i>jab> dan qabu>l tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh akad.

q) Akad jual beli tidak boleh dibatasi dengan waktu. r) Ma’qud ‘alaih (obyek ‘a>qid) harus suci.

s) Obyek akad harus bermanfaat menurut shyara>’. t) Obyek akad harus barang yang bisa diserahkan.

u) Obyek akad harus dimiliki oleh ‘a>qid, atau ia memperoleh kekuasaan (wilayah). Oleh karena itu, jual beli fud{uli menurut Syafi’iyah hukumnya batal.

v) Ma’qu>d ‘alaih harus diketahui oleh para pihak yang melakukan akad, baik bendanya, kadarnya, maupun sifatnya.53

4) Menurut Hanabilah

Menurut Hanabilah, ada 11 syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, yaitu sebagai berikut.

a) ‘A>qid harus memiliki sifat cerdas dalam mengelola harta kekayaan kecuali dalam urusan kecil.

53

(14)

32

b) Adanya persetujuan (kerelaan) dari para pihak yang melakukan akad, dan ikhtiya>r (kebebasan), atau tidak ada paksaan kecuali dengan hak.

c) I>jab> dan qabu>l harus menyatu dalam satu majelis. d) I>jab> dan qabu>l tidak boleh terpisah.

e) Akad tidak boleh dibatasi dengan waktu, dan tidak digantungkan dengan selain kehendak Allah SWT.

f) Obyek akad harus berupa ma>l(harta).

g) Obyek akad harus dimiliki oleh penjual dengan milik yang sempurna.

h) Obyek akad harus bisa diserahkan pada waktu akad.

i) Obyek akad harus diketahui baik oleh penjual maupun pembeli.

j) Harga juga harus diketahui oleh para pihak yang melakukan akad, baik pada waktu akad, atau sebelumnya.

k) Baik harga, barang, maupun orang yang melakukan akad harus terhindar dari hal-hal yang menghalangi keabsahan akad, seperti riba, atau syarat yang tidak selaras dengan tujuan akad dan sebagainya.54

D. Jual Beli yang Dilarang

54

(15)

33

Di antara keagungan Islam dan keindahannya bahwa mu’amalah yang diharamkan tidaklah terlalu banyak, berbeda dengan mu’amalah yang dibolehkan jumlahnya tidak terbatas, karena memang hukum asal mu’amalah adalah mubah. Para ulama menjelaskan secara umum faktor penyebab mu’amalah yang diharamkan ada 3 hal : 55

1. Kezaliman

Manakala sebuah mu’amalah mengandung kezaliman terhadap salah satu pihak atau pihak manapun juga niscaya diharamkan.56 Berdasarkan firman Allah:

                        

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu". (al-Nisa>' : 29).57

Kezaliman menafikan suka sama-suka dan termasuk juga memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Di antara bentuk-bentuk jual beli yang diharamkan karena mengandung kezaliman, yaitu :

a. Ghisy, yaitu dengan cara menyembunyikan cacat barang atau dengan cara menampilkan barang yang bagus dan menyelipkan diselanya barang yang jelek.

55

Yusuf Al-Subaily, Fiqh Perbankan Syariah : Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya dalam

Ekonomi Modern Aplikasinya dalam Ekonomi Modern, terj. Erwandi Tarmizi, (t.t. : t.p., t.t.) 19. 56

Ibid. 57

(16)

34

b. Najsy, secara bahasa berarti membangkitkan. Secara istilah memiliki beberapa bentuk :

1) Seseorang menaikkan harga pada saat lelang sedangkan dia tidak berniat untuk membeli, baik ada kesepakatan sebelumnya antara dia dan pemilik barang atau perantara, maupun tidak. 2) Penjual menjelaskan kriteria barang yang tidak sesungguhnya. c. Menjual, membeli dan menawar barang yang terlebih dahulu dijual,

dibeli, dan ditawar oleh orang lain.

d. Ihtikar (menimbun barang) yaitu menahan barang yang merupakan kebutuhan orang banyak dengan tidak menjualnya agar permintaan bertambah dan harga menjadi naik, saat itulah kemudian ia menjualnya.

e. Menjual barang yang digunakan untuk maksiat. Menjual barang yang mubah kepada pembeli yang diketahui akan menggunakannya untuk berbuat mungkar diharamkan, seperti menjual anggur kepada pabrik minuman keras dan menjual senjata kepada perampok.58 2. Gharar (samar)

Gharar menurut bahasa berarti resiko, tipuan dan menjatuhkan diri atau harta ke jurang kebinasaan. Menurut istilah gharar berarti jual beli yang tidak jelas kesudahannya. Jadi, asas gharar adalah

58

Yusuf Al-Subaily, Fiqh Perbankan Syariah : Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya dalam

(17)

35

ketidakjelasan atau samar. 59

Ketidakjelasan itu bisa terjadi pada barang atau harga.

a. Ketidakjelasan pada barang disebabkan beberapa hal:

1) Fisik barang tidak jelas misalnya penjual berkata, “aku menjual kepadamu barang yang ada di dalam kotak ini dengan harga Rp.100.000,- dan pembeli tidak tahu fisik barang yang berada di dalam kotak tersebut.

2) Sifat barang tidak jelas. Misalnya penjual berkata, “aku jual sebuah mobil kepadamu dengan harga 50juta rupiah” dan pembeli belum pernah melihat mobil tersebut dan tidak tahu sifatnya.

3) Ukurannya tidak jelas misalnya penjual berkata, “aku jual kepadamu sebagian tanah ini dengan harga 10 juta rupiah”. Sedangkan pembeli belum mengetahui berapa ukuran tanah tersebut.

4) Barang bukan milik penjual, seperti menjual rumah yang bukan miliknya.

5) Barang tidak dapat diserah terimakan, seperti menjual jam tangan yang hilang.

b. Ketidakjelasan pada harga disebabkan beberapa hal:

59

(18)

36

1) Penjual tidak menentukan harga misalnya penjual berkata, “aku jual mobil ini kepadamu dengan harga sesukamu”. Kemudian mereka berpisah dan harga belum ditetapkan oleh kedua belah pihak.

2) Penjual memberikan 2 pilihan dan pembeli tidak menentukan salah satunya misalnya penjual berkata, “saya jual mobil ini kepadamu jika tunai dengan harga 50juta rupiah dan jika tidak tunai dengan harga 70juta rupiah”. Kemudian mereka berpisah dan pembeli membawa mobil tanpa menentukan harga yang mana disetujuinya.

3) Tidak jelas jangka waktu pembayaran misalnya penjual berkata, “saya jual motor ini dengan harga 5juta rupiah dibayar kapan anda mampu”.60

E. Obyek jual beli

Obyek jual beli adalah barang-barang tertentu yang dapat ditentukan wujudnya dan jumlahnya serta tidak dilarang menurut hukum yang berlaku untuk diperjual belikan.

Syarat obyek jual beli sebagai berikut:

1. Barang yang dijual harus maujud (ada). Oleh karena itu, tidak sah jual beli barang yang tidak ada (ma’dum) atau yang dikhawatirkan tidak ada.

60

(19)

37

2. Barang yang dijual harus ma>l mutaqawwim. Pengertian ma>l mutaqawwim sebagai mana yang sudah dijelaskan dalam uraian yang lalu adalah setiap barang yang bisa dikuasai secara langsung dan boleh diambil manfaatnya dalam keadaan Ikhtiya>r. Dengan demikian tidak sah jual beli ma>l yang ghairu mutaqawwim, seperti babi, darah dan bangkai.

3. Barang yang dijual harus barang yang sudah dimiliki. Dengan demikian tidak sah menjual barang yang belum dimiliki oleh seseorang, seperti rumput yang tumbuh ditanah milik perseorangan dan kayu bakar.

4. Barang yang dijual harus bisa diserahkan pada saat dilakukannya akad jual beli. Obyek yang tidak bisa diserahkan, walaupun barang tersebut milik penjual, seperti kerbau yang hilang, burung diudara, dan ikan dilaut.61

61

Referensi

Dokumen terkait

PER-03/BL/2007 dijelaskan bahwa Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance

Seperti apa saja yang dapat dilakukan actor yaitu pengelola (petugas gizi) maupun user (orang tua balita) dalam aplikasi diagnosa gizi buruk pada balita di daerah

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 prangko yang pertama kali di gunakan di Indonesia adalah prangko Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang yang di cetak

Dari kutipan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa aglomerasi merupakan sekumpulan kluster wilayah yang merupakan konsentrasi dari kegiatan ekonomidan disebabkan oleh

Kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b terdapat di Distrik Kaimana, Distrik Buruway, Distrik Teluk Arguni, Distrik Arguni Bawah, Distrik

Namun karena kedua negara tidak memiliki peta tersebut, dapat dikatakan bahwa tindakan negara Indonesia dan Malaysia untuk menyetujui penyelesaian kasus melalui Mahkamah

Dari hasil penelitian diketahui bahwa manajemen Laboratorium Klinik Cito sudah mempersepsikan apa yang menjadi harapan pelanggan dengan baik, karena mampu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) atmosfer ritel berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai hedonik, yang berarti semakin baik pengelolaan atmosfer