• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Perilaku Seksual Pranikah

1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

Seksualitas adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perilaku seksual maupun orientasi seksual. Kata seksualitas berasal dari kata dasar seks, yang memiliki beberapa arti, yaitu:

a) Jenis Kelamin: keadaan biologis manusia yang membedakan laki-laki dan perempuan. Istilah jenis kelamin berbeda dengan jender. Jender adalah pembedaan jenis kelamin berdasarkan peran yang dibentuk oleh masyarakat/budaya tertentu (misalnya perempuan lembut, laki-laki kasar).

b) Reproduksi Seksual: Membuat bayi. Bagian-bagian tubuh tertentu laki maupun perempuan bisa menghasilkan bayi dengan kondisi-kondisi tertentu. Bagian tubuh itu disebut alat atau organ reproduksi. Organ reproduksi laki-laki dan perempuan berbeda karena punya fungsi yang berbeda.

c) Organ reproduksi: organ reproduksi laki-laki dan perempuan terdiri atas organ bagian luar dan bagian dalam. Organ reproduksi perempuan antara lain vagina dan rahim; sedangkan organ laki-laki antara lain penis dan testis.

(2)

d) Rangsangan atau Gairah Seksual: rangsangan seksual dapat disebabkan perasaan tertarik sekali (seperti magnit) pada seseorang sehingga terasa ada getaran “aneh” yang muncul dalam tubuh.

e) Hubungan Seks: Hubungan seks (HUS) terjadi bila dua individu saling merasa terangsang satu sama lain (dapat terjadi pada lain jenis maupun pada sejenis) sampai organ seks satu sama lain bertemu dan terjadi penetrasi.

f) Orientasi seksual (sexual orientation) adalah kecenderungan seseorang mencari pasangan seksualnya berdasarkan jenis kelamin. Ada tiga orientasi seksual:

a. Heteroseksual (tertarik pada jenis kelamin yang berbeda). b. Homoseksual (tertarik pada jenis kelamin yang sama: gay

pada laki-laki, lesbian pada perempuan).

c. Biseksual (tertarik pada dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan).

g) Kelainan Perilaku Seksual (sexual disorders) adalah kecenderungan seseorang untuk memperoleh kepuasan seksual melalui tingkah laku tertentu. Misalnya:

a. Sadisme : memperoleh kepuasan seksual dengan melukai atau menyiksa pasangannya.

b. Machosisme: memperoleh kepuasan seksual dengan melukai diri sendiri (BKKBN, 2008; 49-50).

(3)

Menurut Yuliadi (2010) seksualitas memiliki arti yang lebih luas karena meliputi tentang bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut terhadap orang lain melalui tindakan yang dilakukannya seperti, sentuhan, ciuman, pelukan, senggama.

Adapun yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 2011;174).

Menurut Wahyudi (dalam Yuliadi, 2010) perilaku seksual merupakan perilaku yang muncul karena adanya dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku. Perilaku seksual yang sehat dan dianggap normal adalah cara heteroseksual, vaginal, dan dilakukan suka sama suka, dan tentu saja dalam ikatan suami istri. Sedangkan yang tidak normal (menyimpang) antara lain sodomi, homoseksual, lesbian, dan lain-lain.

Sedangkan menurut Soetjiningsih (2008) yang dimaksud dengan perilaku seksual pranikah remaja adalah segala tingkah laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual lawan jenisnya, yang dilakukan oleh remaja sebelum mereka menikah. Bentuk-bentuk perilaku ini umumnya bertahap, mulai dari tingkat yang kurang intim sampai dengan hubungan seksual.

(4)

Jadi perilaku seksual pranikah merupakan segala tingkah laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan di luar pernikahan.

2. Bentuk-Bentuk Perilaku Seksual

Selama ini perilaku seksual sering disederhanakan sebagai hubungan seksual berupa penetrasi dan ejakulasi. Padahal menurut Wahyudi (dalam Yuliadi, 2010), perilaku seksual secara rinci dapat berupa:

a) Berfantasi, merupakan perilaku membayangkan dan mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme.

b) Pegangan Tangan, aktivitas ini tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang kuat namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas yang lain.

c) Cium Kering, berupa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan bibir.

d) Cium Basah, berupa sentuhan bibir ke bibir.

e) Meraba, merupakan kegiatan bagian-bagian sensitif rangsang seksual, seperti leher, dada, paha, alat kelamin dan lain-lain. f) Berpelukan, aktivitas ini menimbulkan perasaan tenang, aman,

nyaman disertai rangsangan seksual (terutama bila mengenai daerah erogen/sensitif).

(5)

g) Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki), yaitu perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual.

h) Oral Seks, merupakan aktivitas seksual dengan cara memasukkan alat kelamin ke dalam mulut lawan jenis.

i) Petting, merupakan seluruh aktivitas non intercourse (hingga menempelkan alat kelamin).

j) Intercourse (senggama), merupakan aktivitas seksual dengan memasukan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita.

3. Faktor-faktor Penyebab Perilaku Seksual Pranikah

Hal-hal yang mendorong remaja melakukan hubungan seks pranikah, menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Keluarga Kaiser (dalam Dariyo, 2004;89) adalah (1) Faktor mispersepsi terhadap pacaran, yaitu bentuk penyaluran kasih sayang yang salah di masa pacaran, (2) Faktor Religiusitas, yaitu kehidupan iman yang tidak baik, dan (3) Faktor kematangan biologis.

1) Bentuk penyaluran kasih sayang yang salah dalam masa pacaran. Seringkali remaja mempunyai pandangan yang salah bahwa masa pacaran merupakan masa dimana seseorang boleh mencintai maupun dicintai oleh kekasihnya. Dalam hal ini, bentuk ungkapan rasa cinta (kasih sayang) dapat dinyatakan dengan berbagai cara, misalnya, pemberian hadiah bunga,

(6)

berpelukan, berciuman, dan bahkan melakukan hubungan seksual. Dengan anggapan yang salah ini, maka juga akan menyebabkan tindakan yang salah. Karena itu, sebelum pacaran, sebaiknya orangtua wajib memberi pengertian yang benar kepada anak remajanya agar mereka tidak terjerumus pada tindakan yang salah.

2) Kehidupan beragama yang baik dan benar ditandai dengan pengertian, pemahaman, dan ketaatan dalam menjalankan ajaran-ajaran agama dengan baik, tanpa dipengaruhi oleh situasi kondisi apapun. Dalam keadaan apa saja, orang yang taat beragama, selalu dapat menempatkan diri dan mengendalikan diri agar tidak berbuat hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Dalam hatinya, selalu ingat terhadap Tuhan, sebab mata Tuhan selalu mengawasi setiap perbuatan manusia. Oleh karena itu, ia takkan melakukan hubungan seksual sebelum nikah secara resmi. Ia akan menjaga kehormatan pacarnya, agar terhindar dari nafsu seksual sesaat. Bagi individu yang taat beragama, akan melakukan hal itu dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, bagi individu yang rapuh imannya cenderung mudah melakukan pelanggaran terhadap ajaran-ajaran agamanya. Agama hanya dijadikan sebagai kedok atau topeng untuk mengelabui orang lain (pacar), sehingga tak

(7)

heran, kemungkinan besar orang tersebut dapat melakukan hubungan seksual pranikah.

3) Dapat diketahui bahwa masa remaja ditandai dengan adanya kematangan biologis. Dengan kematangan biologis, seorang remaja sudah dapat melakukan fungsi reproduksi sebagaimana orang dewasa lainnya, sebab fungsi organ seksualnya telah bekerja secara normal. Hal ini membawa konsekuesi bahwa seorang remaja akan mudah terpengaruh oleh stimulasi yang merangsang gairah seksualnya, misalnya, dengan melihat film porno atau cerita cabul. Kematangan biologis yang tidak disertai dengan kemampuan pengendalian diri, cenderung berakibat negatif, yakni terjadinya hubungan seksual pranikah di masa pacaran remaja. Sebaliknya, kematangan biologis yang disertai dengan kemampuan pengendalian diri akan membawa kebahagiaan remaja di masa depannya, sebab ia tidak akan melakukan hubungan seksual pranikah.

Menurut Sarwono (2011;187-188) yang menjadi faktor-faktor penyebab perilaku seksual remaja, yaitu:

1) Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.

(8)

2) Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum karena adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria), maupun karena norma sosial yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lain).

3) Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku di mana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah. Bahkan, larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman dan masturbasi. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut.

4) Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya teknologi canggih (video cassette, fotokopi, satelit, VCD, telepon genggam, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.

(9)

5) Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak tidak terbuka terhadap anak, malah cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah satu ini.

6) Di pihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita makin sejajar dengan pria.

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Suryoputro (2003-2004) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja di Jawa Tengah adalah : (1) faktor internal (pengetahuan, aspek-aspek kesehatan reproduksi, sikap terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi, kerentanan yang dirasakan terhadap resiko kesehatan reproduksi, gaya hidup, pengendalian diri, rasa percaya diri, usia, agama, dan status perkawinan), (2) faktor eksternal (akses dan kontak terhadap sumber-sumber informasi, sosial-budaya, nilai dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu) (Suryoputro, et al. 2006).

4. Dampak Perilaku Seksual Pranikah

Selain dilarang oleh agama, hubungan seks sebelum nikah banyak mengandung resiko, seperti:

(10)

Kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) adalah kehamilan yang tidak diharapkan oleh salah satu calon orang tua bayi tersebut. Kehamilan tidak diinginkan pun mempunyai dampak antara lain:

a) Dampak fisik: pendarahan, komplikasi, kehamilan bermasalah, dll.

b) Dampak psikologis: tidak percaya diri, malu, stres. c) Dampak sosial: drop-out sekolah, dikucilkan

masyarakat, dll.

B. Pengguguran kandungan atau Aborsi

a) Aborsi spontan (abortus spontane) adalah keguguran yang terjadi secara alamiah atau tidak sengaja.

b) Aborsi buatan (abortus provokatus) adalah usaha penguguran yang disengaja. Ada dua cara melakukan aborsi buatan, yaitu cara yang aman secara medis dan cara yang tidak aman secara medis (self treatment/unsafe abortion).

Dampak dari aborsi itu sendiri yaitu:

a) Aborsi sangat berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan.

b) Dampak fisik: Aborsi yang dilakukan secara sembarangan (oleh mereka yang tidak terlatih) dapat menyebabkan kematian bagi ibu hamil.

(11)

Perdarahan yang terus menerus serta infeksi yang terjadi setelah tindakan aborsi merupakan sebab utama kematian wanita yang melakukan aborsi. c) Dampak psikologis: Perasaan bersalah seringkali

menghantui pasangan khususnya perempuan setelah mereka melakukan tindakan aborsi.

Alasan remaja melakukan aborsi yaitu:

a) Ingin terus melanjutkan sekolah atau kuliah. b) Takut pada kemarahan orangtua.

c) Belum siap secara mental dan ekonomi untuk menikah dan mempunyai anak.

d) Malu pada lingkungan sosial bila ketahuan hamil sebelum nikah.

e) Tidak mencintai pacar yang menghamili.

f) Tidak tahu status anak nantinya karena kehamilan terjadi akibat perkosaan, terlebih bila pemerkosa tidak dikenal oleh si remaja putri.

C. Terkena Infeksi Menular Seksual (IMS)

Infeksi menular seksual adalah infeksi yang menyerang organ kelamin seseorang dan sebagian besar ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit menular seksual akan lebih berisiko bila melakukan hubungan seksual dengan

(12)

berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal (BKKBN, 2008;64-67).

2.1.2 Kontrol Diri

1. Pengertian Kontrol Diri

Goldfried dan Merbaun (dalam Ghufron & Risnawita, 2010;22) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Kontrol diri juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan.

Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya. Selain itu, juga kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi, kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan menarik perhatian, keinginan merubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, menyenangkan hati orang lain, dan menutupi perasaannya (Ghufron & Risnawita, 2010;21-22).

Synder dan Gangestad (dalam Ghufron & Risnawita, 2010;22) mengatakan bahwa konsep mengenai kontrol diri secara langsung sangat relevan untuk melihat hubungan antar pribadi dengan lingkungan

(13)

masyarakat dalam mengatur kesan masyarakat yang sesuai dengan isyarat situasional dalam bersikap dan berpendirian efektif.

Ketika berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan berusaha menampilkan perilaku yang dianggap paling tepat bagi dirinya, yaitu perilaku yang dapat menyelamatkan interaksinya dari akibat negatif yang disebabkan karena respon yang dilakukannya. Kontrol diri diperlukan guna membantu individu dalam mengatasi kemampuannya yang terbatas dan mengatasi berbagai hal merugikan yang mungkin terjadi yang berasal dari luar (A.E. Kazdin, 1994 dalam Ghufron dan Risnawita, 2010;23).

Calhoun dan Acocella, 1990 (dalam Ghufron dan Risnawati, 2010;23) mengemukakan dua alasan yang mengharuskan individu mengontrol diri secara kontinu. Pertama, individu hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Kedua, masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya. Ketika berusaha memenuhi tuntutan, dibuatkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kontrol diri dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif, agar sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan serta terhindar dari konsekuensi negatif akibat respon yang dilakukannya.

(14)

2. Perkembangan Kontrol Diri pada Remaja

Kemampuan mengontrol diri berkembang seiring dengan bertambahnya usia. Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok darinya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa harus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam seperti hukuman yang dialami ketika anak-anak (Ghufron & Risnawita, 2010;28).

Pada remaja kemampuan mengontrol diri berkembang seiring dengan kematangan emosi. Anak laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak meluapkan emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Petunjuk kematangan emosi yang lain adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang.

Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Adapun caranya adalah dengan membicarakan berbagai masalah pribadinya dengan orang lain. Keterbukaan, perasaan dan masalah pribadi dipengaruhi sebagian oleh rasa aman dalam hubungan sosial dan sebagian oleh tingkat kesukaannya pada orang sasaran (yaitu orang yang kepadanya remaja mau mengutarakan berbagai kesulitannya).

(15)

Bila remaja ingin mencapai kematangan emosi, ia juga harus belajar menggunakan katarsis emosi untuk menyalurkan emosinya. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis. Meskipun cara-cara ini dapat menyalurkan gejolak emosi yang timbul karena usaha pengendalian ungkapan emosi, namun sikap sosial terhadap perilaku menangis adalah kurang baik dibandingkan dengan sikap sosial terhadap perilaku tertawa, kecuali bila tertawa hanya dilakukan bilamana memperoleh dukungan sosial (Hurlock, 1997;213).

3. Aspek-Aspek Kontrol Diri

Averill (dalam Ghufron dan Risnawita, 2010;29-31) menyebutkan kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yaitu kontrol perilaku (behaviour control), kontrol kognitif (cognitive control), dan mengontrol keputusan (decisional control).

1) Kontrol Perilaku (behaviour control)

Kontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability).

Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan

(16)

situasi atau keadaan. Apakah dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi.

Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu diantara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir, dan membatasi intensitasnya. 2) Kontrol kognitif (cognitive control)

Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasikan, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal).

Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha menafsirkan suatu

(17)

keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

3) Mengontrol keputusan (decisions control)

Mengontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi, baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas, maka untuk mengukur kontrol diri digunakan aspek-aspek seperti di bawah ini : a) Kontrol perilaku yang terdiri dari: kemampuan mengontrol

perilaku dan kemampuan mengontrol stimulus.

b) Kontrol kognitif yang terdiri dari: kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian dan kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian.

c) Kontrol keputusan yang terdiri dari kemampuan mengambil keputusan.

4. Jenis–Jenis Kontrol Diri

Menurut Block dan Block (dalam Ghufron dan Risnawati, 2010; 31) ada tiga jenis kualitas kontrol diri, yaitu:

(18)

A. Over Control

Merupakan kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam bereaksi terhadap stimulus.

B. Under Control

Merupakan suatu kecenderungan individu untuk melepaskan impulsivitas dengan bebas tanpa perhitungan yang masak.

C. Appropriate Control

Merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan impuls secara tepat.

5. Teknik Kontrol Diri

Ada empat cara kontrol diri menurut Skinner (dalam Alwisol, 2009;329), yaitu :

a) Memindah / menghindar (Removing/Avoiding)

Menghindar dari situasi pengaruh, atau menjauhkan situasi pengaruh sehingga tidak lagi diterima sebagai stimulus. b) Penjenuhan (Satiation)

Membuat diri jenuh dengan suatu tingkah laku, sehingga tidak lagi bersedia melakukannya.

(19)

c) Stimuli yang tidak disukai (Aversive Stimuli)

Menciptakan stimulus yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan bersamaan dengan stimulus yang ingin dikontrol. d) Memperkuat Diri (Reinforce Oneself)

Memberi reinforsemen kepada diri sendiri, terhadap “prestasi” dirinya.

6. Faktor yang mempengaruhi kontrol diri

Kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besarnya faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri ini terdiri dari faktor internal (dari diri individu) dan faktor eksternal (lingkungan individu).

1. Faktor internal

Faktor internal yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah usia. Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin baik kemampuan mengontrol diri seseorang itu.

2. Faktor eksternal

Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga terutama orangtua menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang. Bila orangtua menerapkan sikap disiplin kepada anaknya secara intens sejak dini, dan orangtua tetap konsisten terhadap semua konsekuensi yang dilakukan anak bila ia menyimpang dari yang sudah ditetapkan,

(20)

maka sikap kekonsistenan ini akan diinternalisasikan anak. Kemudian akan menjadi kontrol bagi dirinya (Hurlock dalam Gufron dan Risnawita, 2010; 32).

2.1.3 Remaja

1. Definisi Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1997:206).

Remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata latin adolescere yang artinya tumbuh ke arah kematangan Muss (dalam Sarwono, 2011:11). Kematangan di sini tidak hanya berarti kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis.

Sementara Salzman (dalam Yusuf, 2008:184) mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orangtua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.

Menurut Rumini dan Sundari (2004:53) masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa.

Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mengandung perubahan besar fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia, Old, & Feldman, 2008:534).

(21)

Penggolongan remaja menurut Konapka (dalam Yusuf, 2008;184) masa remaja meliputi (a) remaja awal: 12 – 15 tahun, (b) remaja madya: 15-18 tahun, dan (c) remaja akhir: 19-22 tahun. Sedangkan menurut Thornburg (dalam Dariyo, 2004:14) terbagi tiga tahap, yaitu (a) remaja awal (usia 13 - 14 tahun), (b) remaja tengah (usia 15-17 tahun), (c) remaja akhir (usia 18 - 21 tahun). Masa remaja awal, umumnya individu telah memasuki pendidikan di bangku sekolah menengah tingkat pertama (SLTP), sedangkan masa remaja tengah, individu sudah duduk di sekolah menengah atas (SMU). Kemudian, mereka yang tergolong remaja akhir, umumnya sudah memasuki dunia perguruan tinggi atau lulus SMU dan mungkin sudah bekerja.

2. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja

Havighurst (dalam Yusuf, 2008:65) mengartikan bahwa tugas perkembangan itu merupakan suatu tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila tugas itu dapat berhasil akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya; sementara apabila gagal, maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat, dan kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya.

Tugas-tugas perkembangan remaja, menurut Havighurst (dalam Dariyo, 2004:78), ada beberapa, yaitu sebagai berikut.

(22)

1) Menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis–psikologis. Diketahui bahwa perubahan fisiologis yang dialami oleh individu, mempengaruhi pola perilakunya. Di satu sisi, ia harus dapat memenuhi kebutuhan dorongan biologis (seksual), namun bila dipenuhi hal itu pasti akan melanggar norma-norma sosial, padahal dari sisi penampilan fisik, remaja sudah seperti orang dewasa. Oleh karena itulah, remaja menghadapi dilema. Dengan demikian, dirinya dituntut untuk dapat menyesuaikan diri (adjustment) dengan baik.

2) Belajar bersosialisasi sebagai seorang laki-laki maupun wanita. Dalam hal ini, seorang remaja diharapkan dapat bergaul dan menjalin dengan individu lain yang berbeda jenis kelamin, yang didasarkan atas saling menghargai dan menghormati satu sama lainnya, tanpa menimbulkan efek samping yang negatif. Pergaulan dengan lawan jenis ini sebagai sesuatu hal yang amat penting, karena dianggap sebagai upaya untuk mempersiapkan diri guna memasuki kehidupan pernikahan nanti.

3) Memperoleh kebebasan secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lain. Ketika sudah menginjak remaja, individu memiliki hubungan pergaulan yang lebih luas, dibandingkan dengan masa anak-anak sebelumnya yaitu selain dari teman teman tetangga, teman sekolah, tetapi juga dari orang dewasa lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa individu remaja tidak lagi

(23)

bergantung pada orangtua. Bahkan mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bergaul bersama dengan teman-temannya (peer-group), dibandingkan kehidupan remaja dengan keluarganya.

4) Remaja bertugas menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Untuk dapat mewujudkan tugas ini, umumnya remaja berusaha mempersiapkan diri dengan menempuh pendidikan formal maupun non-formal agar memiliki taraf ilmu pengetahuan, keterampilan/keahlian yang professional. Warga negara yang bertanggung jawab ditandai dengan kepemilikan taraf keahlian dan profesi yang dapat disumbangkan oleh seorang individu untuk mengembangkan dan memajukan seluruh warga masyarakat.

5) Memperoleh kemandirian dan kepastian secara ekonomis. Tujuan utama individu melakukan persiapan diri dengan menguasai ilmu dan keahlian tersebut, ialah untuk dapat bekerja sesuai dengan bidang keahlian dan memperoleh penghasilan yang layak sehingga dapat menghidupi diri sendiri maupun keluarganya nanti. Sebab keinginan terbesar seorang individu (remaja) adalah menjadi orang yang mandiri dan tak bergantung dari orangtua secara psikis maupun secara ekonomi (keuangan).

(24)

Sedangkan William Kay (dalam Yusuf, 2008:72) mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja itu sebagai berikut.

1) Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya. 2) Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur

yang mempunyai otoritas.

3) Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok.

4) Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya. 5) Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap

kemampuannya sendiri.

6) Memperkuatself-control(kemampuan mengendalikan diri).

3. Perkembangan Seksual Remaja

Rumini & Sundari (2004;64) menyatakan bahwa ciri-ciri seksual terdiri atas ciri primer dan sekunder. Ciri-ciri atau tanda-tanda primer, yaitu organ tubuh yang langsung berhubungan dengan proses reproduksi dan alat kelamin yaitu rahim, saluran telur, vagina, bibir kemaluan, dan klitoris bagi wanita, sedangkan untuk pria yaitu penis dan testis. Ciri-ciri kelamin sekunder, yaitu ciri-ciri jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan proses reproduksi. Pada wanita ciri atau tanda sekunder antara lain tumbuh payudara, panggul mulai melebar dan membesar, di samping itu akan mulai tumbuh bulu-bulu halus di sekitar ketiak dan vagina (BKKBN, 2008;51). Sedangkan pada laki-laki yaitu

(25)

badan menjadi lebih berotot (terutama bahu dan dada), suara berubah lebih besar, tumbuh rambut di sekitar alat kelamin, kaki, tangan, dada, ketiak, dan wajah (BKKBN, 1997;9).

Perubahan fisik dan seksual atau bio-seksual mempunyai arti penting dalam psiko-sosialnya bila dibandingkan dengan perkembangan tingkah laku seksual. Dalam bidang seksual tidak ada alasan untuk melakukan tingkah laku seksual dengan segera, karena adanya norma sosial yang membolehkan hubungan seksual setelah pernikahan (Rumini & Sundari 2004;65).

Tugas perkembangan dalam aspek seksualitas remaja menurut Miron & Miron (2006;24-25) yaitu:

A. Masa remaja awal (12-14 tahun)

1) Anak perempuan lebih dulu dari anak laki-laki

2) Berteman dan beraktivitas kelompok dengan sesama jenis 3) Malu-malu dan rendah hati

4) Memamerkan kelebihan

5) Minat lebih besar kepada privasi

6) Bereksperimen dengan tubuh (bermasturbasi) 7) Khawatir apakah dirinya normal atau tidak B. Masa remaja menengah (14-17 tahun)

1) Kekhawatiran tentang daya tarik seksual 2) Sering bergonta-ganti hubungan

(26)

3) Bergerak menuju heteroseksualitas dengan ketakutan akan homoseksualitas

4) Kelembutan dan ketakutan terhadap lawan jenis terlihat 5) Perasaan cinta dan gairah

C. Masa remaja akhir (17-19 tahun) 1) Perhatian terhadap hubungan serius 2) Identitas seksual yang jelas

3) Kapasitas untuk rasa cinta yang lembut dan sensual

4. Nilai-nilai Seksual

Nilai-nilai seksual berkaitan dengan pandangan atau nilai-nilai masyarakat sendiri terhadap seks. Makin permisif (serba boleh) nilai-nilai itu, makin besar kecenderungan remaja untuk melakukan hal-hal yang makin dalam melibatkan mereka ke dalam hubungan fisik antar remaja (Sarwono, 2011;205-206).

Michael et al (dalam Yuliadi, 2010) membagi sikap dan keyakinan individu tentang seksualitas menjadi tiga kategori:

1) Tradisional : keyakinan keagamaan selalu dijadikan pedoman bagi perilaku seksual mereka. Dengan demikian homoseksual, aborsi, dan hubungan seks pranikah dan diluar nikah selalu dianggap sebagai sesuatu yang salah.

2) Relasional : berkeyakinan bahwa seks harus menjadi bagian dari hubungan saling mencintai, tetapi tidak harus dalam ikatan pernikahan.

(27)

3) Rekreasional : menyatakan bahwa kebutuhan seks tidak ada kaitannya dengan cinta.

Selanjutnya berbagai penelitian di AS menunjukkan hal-hal berikut, yang pada hakikatnya mencerminkan perbedaan nilai seksual antara remaja pria dan remaja wanita:

a. Daripada wanita, laki-laki lebih cenderung menyatakan bahwa mereka sudah berhubungan seks dan sudah aktif berperilaku seksual (Fieldman dalam Sarwono, 2011;210).

b. Remaja putri menghubungkan seks dengan cinta (Michel dalam Sarwono, 2011;210). Alasan mereka untuk berhubungan seks adalah cinta, sementara pada remaja pria cenderung ini jauh lebih kecil (Cassell dalam Sarwono, 2011;211).

c. Remaja pria cenderung menekan dan memaksa remaja putri mitranya untuk berhubungan seks, namun ia sendiri tidak merasa memaksa (Crump dalam Sarwono, 2011;211).

2.2 Hubungan Antara Kontrol Diri dengan Perilaku Seksual Pranikah

Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu mengatur dan mengarahkan perilaku yaitu kontrol diri. Masing-masing individu memiliki kontrol diri yang berbeda, ada yang memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada pula yang kontrol dirinya rendah. Individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi akan mampu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya sehingga menghasilkan konsekuensi yang positif, sedangkan individu yang memiliki kontrol diri yang rendah tidak mampu

(28)

menginterpretasikan stimulus yang ada, tidak mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin terjadi sehingga tidak dapat memilih tindakan yang tepat.

Pada masa remaja, mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah yaitu dengan teman sebayanya, sehingga orangtua dan guru tidak dapat mengawasi remaja lebih dekat seperti yang dilakukan ketika anak-anak. Oleh karena itu, sekarang remaja harus bertanggung jawab dalam mengontrol dirinya. Kontrol diri termasuk salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai karena remaja telah bertambah tugas dan tanggung jawabnya. Salah satu tugas perkembangan itu adalah membentuk hubungan dengan lawan jenis, namun bila remaja tidak memiliki kontrol terhadap dirinya tidak dapat dipungkiri hal tersebut membuat remaja terjebak ke dalam pergaulan bebas yang tak terkendali yang berakibat adanya hubungan seksual di luar nikah. Bila mereka memiliki kontrol diri yang tinggi mereka akan mampu menginterpretasikan stimulus, mempertimbangkan konsekuensi, serta memilih tindakan agar tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan.

Kontrol diri diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif, agar sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan serta terhindar dari konsekuensi negatif akibat respon yang dilakukannya.

Remaja yang kontrol dirinya rendah tidak mampu mengarahkan dan mengatur perilakunya. Remaja telah mencapai kematangan organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi dan membutuhkan penyaluran dalam

(29)

bentuk perilaku seksual tertentu, namun tidak ada alasan untuk melakukan tingkah laku seksual dengan segera, karena adanya norma sosial yang membolehkan hubungan seksual setelah menikah. Namun bila remaja dengan kontrol diri yang rendah akan mudah melakukan pemenuhan terhadap dorongan seks tersebut tanpa adanya pemikiran yang panjang. Sehingga seringkali remaja terlibat dalam perilaku seksual pranikah. Dengan kontrol diri yang rendah mereka tidak mampu menginterpretasikan stimulus yang ada, mempertimbangkan konsekuensi, dan memilih tindakan yang tepat. Perilaku seksual pranikah merupakan segala tingkah laku seksual yang dilakukan di luar pernikahan.

2.3 Kerangka Berpikir

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir

Kontrol diri Perilaku seksual

pranikah

Aspek-aspek kontrol diri:

a.Kontrol Perilaku b.Kontrol Kognitif c.Kontrol Keputusan Mampu mengontrol perilaku Mampu mengontrol stimulus Mampu mengantisipasi peristiwa/ kejadian Mampu menafsirkan peristiwa/ kejadian Mampu mengambil keputusan Bentuk-bentuk perilaku seksual pranikah: a. Berfantasi b. Pegangan Tangan c. Cium Kering d. Cium Basah e. Meraba f. Berpelukan g. Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki) h. Oral Seks

i. Petting

(30)

2.4 Hipotesis

H0: Tidak ada hubungan antara kontrol diri dengan perilaku seksual

pranikah pada siswa SMK X.

HI: Ada hubungan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pranikah

Referensi

Dokumen terkait

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya. 1) Secara Teoritis,

Dasar hukum pelaksanaan program penyediaan jasa akses telekomunikasi perdesaan KPU/USO Tahun 2009 umumnya juga mengacu kepada beberapa peraturan perundang-undangan yang

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Sehingga motivasi bukan sebagai mediasi antara pelatihan terhadap kinerja.Sebagaimana penelitian yang dilakukan Anak Agung Ngurah Bagus Dermawan dkk (2012) bahwa Motivasi

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Manfaat yang akan diperoleh setelah mempelajari topik ini adalah dapat menentukan harga opsi tipe Eropa Black Scholes dengan formula yang diperoleh dari penyelesaian

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Game ini menolong para pencinta catur agar dapat menikmati permainan catur tanpa harus menggunakan papan catur danbidak catur yang sering kali hilang dan tanpa harus berada dalam