DIFERENSIAL PARSIAL BLACK SCHOLES
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Matematika
Oleh :
Rochi Ifahyani Siagian NIM : 063114009
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
DIFFERENTIAL EQUATION MODEL
THESIS
Presented As a Partial Fulfillment of The Requirements to Obtain The Sarjana Sains Degree
In Mathematics
by :
Rochi Ifahyani Siagian Student Number : 063114009
MATHEMATICS STUDY PROGRAM DEPARTEMENT OF MATHEMATICS FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA
v “
!" #
vii
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas penyertaan dan kemurahanNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Penentuan Harga Opsi Tipe Eropa Menggunakan Transformasi Fourier Pada Model Persamaan Diferensial Parsial Black Scholes.” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains di Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Kesuksesan penyusunan ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari banyak pihak, baik berupa materiil, moral, tenaga, maupun doa. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Ch. Enny Murwaningtyas, S.Si., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan, masukan, dan perhatiannya yang besar serta saran dalam penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Yosef Agung Cahyanta, S.T., M.T. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi.
3. Ibu Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si., M.Si. selaku Ketua Program Studi Matematika yang telah banyak membantu.
4. Bapak Ir. Ign. Aris Dwiatmoko, M.Sc. selaku penguji skripsi yang telah menyediakan waktu untuk memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Ibu M. V. Any Herawati, S.Si., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik. 6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Matematika yang telah memberikan bekal
viii selama penulis menjalankan kuliah.
8. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang memberikan fasilitas dan kemudahan kepada penulis.
9. Kedua orang tuaku yaitu Bapak Haden Siagian dan Ibu Murniati Sitorus yang telah memberikan kasih sayang yang besar dan memberikan dukungan dalam doa dan perhatian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
10.Saudara-saudaraku yaitu Jeannie Setiyanti Siagian, Denny Irjanto Siagian, Putri Yunita Siagian, Rocha Ifahyana Siagian, dan Aditya Indra Wijaya, serta seluruh keluarga besarku atas semua perhatian, dukungan, serta doa yang tiada hentinya selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
11.Keluarga besar Rantetana yang juga turut serta memberikan dukungan dan doa selama penulis menjalankan kuliah dan menyelesaikan skripsi ini.
12.Kakak Mitra Samadara yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan setiap hari melalui alat komunikasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
13.Sahabat-sahabat terkasih Ribka Anggarani Mandak, Diyah Sayekti, Titik Murwani, Metta, Victor, Tito, Liong, John Gobai, dan Demeninggus Pekei atas bantuannya kepada penulis baik dalam bentuk dukungan semangat dan membantu penulis dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dalam penyusunan skripsi ini.
ix
Walaupun skripsi ini telah dibuat sebaik-baiknya oleh penulis, namun penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penuyusunan skripsi ini. Oleh kerana itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.
Akhirnya, semoga skripsi ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi pembaca demi perkemabngan ilmu pengetahuan, khusunya dalam ilmu matematika.
Yogyakarta, 26 Maret 2010
xi
Saham merupakan objek finansial yang nilainya pada setiap waktu berubah-ubah sehingga pergerakannya berfluktuasi secara random. Untuk mengestimasi harga saham tersebut, maka dibuat suatu model matematika yang digambarkan dalam persamaan diferensial sebagai berikut
= + 2 +
dimana S(t) merupakan harga saham pada waktu t dan t merupakan waktu kontinu, dan masing-masing merupakan mean dan standar deviasi dari return harga saham, dan merupakan variabel random berdistribusi normal. Model di atas sering disebut sebagai model harga saham gerak Brown yang merupakan model probabilistik karena terdapat unsur probabilistik yaitu . Dalam skripsi ini saham dibahas sebagai aset dasar dari suatu opsi tipe Eropa.
Opsi saham tipe Eropa merupakan suatu kontrak antara dua pihak dimana salah satu pihak (pembeli) memiliki hak dan bukan kewajiban, untuk membeli atau menjual saham sebagai aset dasarnya dari pihak lain (penjual) dengan harga yang telah ditentukan/ disepakati dan hanya dapat dilaksanakan pada masa jatuh tempo opsi tersebut. Opsi saham tipe Eropa dibedakan menjadi dua yaitu opsi beli dan opsi jual. Untuk menentukan harga opsi beli digunakan suatu model matematika yang disebut model persamaan diferensial parsial Black Scholes.
Model persamaan diferensial parsial Black Scholes merupakan model deterministik yang diperoleh dengan menurunkan model harga saham menggunakan Lemma Ito dan dinyatakan dalam persamaan di bawah ini
+12 + − = 0
dimana F merupakan fungsi pembayaran untuk harga opsi dan r merupakan tingkat suku bunga.
Walaupun masih terdapat S yang merupakan variabel random pada model Black Scholes, namun unsur probabilitas d yang terdapat dalam model tersebut dieliminasi dengan asumsi adanya proses hedging sehingga resiko yang disebabkan oleh kerandoman dari dW(t) tidak ada. Kemudian, model Black Scholes tersebut diselesaikan dengan menggunakan transformasi Fourier.
Prinsip penggunaan transformasi Fourier adalah dengan mengubah persamaan diferensial parsial Black Scholes menjadi persamaan panas dimana persamaan panas merupakan persamaan diferensial parsial yang sederhana. Dengan demikian diperoleh suatu penyelesaian yang merupakan formula harga opsi beli. Sementara itu, untuk mendapatkan formula harga opsi jual digunakan hubungan kesamaan opsi beli dan opsi jual.
xii
Stock is a financial object which its value changes every time so that its movement fluctuates randomly. In order to estimate the price stock, it need a mathematical model described in the following differential equation
= + 2 +
where S(t) is the stock price on t, and t is a continuous time, each of and is a mean and standard deviation of the stock price return, and dW(t) is normally distributed random variable. The model above is often named as Brownian motion stock price model which is a probabilistic model since there is probabilistic element, dW(t). In this thesis, the stock is discussed as a basic asset of a Europe type option.
The European type stock option is a contract between two parties, where one of the parties (buyer) owns right and it is not an obligation to buy or to sell the stock as the basic asset from another party (seller) with an agreed price and it is only able to be conducted at the time period of the option. There are two type of European stock option, that are call and put option. To determine the call option price, it is used a mathematical model called Black Scholes partial differential equation model.
The Black Scholes partial differential equation model is a deterministic model acquired by decreasing the stock price model using Lemma Ito and it is expressed into the following equation
+12 + − = 0
where F is a payment function of the option price and r is an interest rate.
Although S still appears as a random variable in the Black Scholes model, but the probability element of dW(t) existing in the model is eliminated by an assumption that there is a hedging process, so that the risk caused by the randomness of dW(t) does not exist. Furthermore, the Black Scholes model is determined by using Fourier Transformation.
The principle of using the Fourier transformation is by changing the Black Scholes partial differential equation into hot equation, which is a simple partial differential equation. Thereby, we have a solution for call option price formula. Meanwhile, to achieve a put option price formula, the put-call parity is used.
xiii
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN JUDUL (INGGRIS)... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
HALAMAN PENGESAHAN... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi
PRAKATA... vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... x
ABSTRAK... xi
ABSTRACT... xii
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR GAMBAR... xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah... 4
C. Pembatasan Masalah... 4
D. Tujuan Penulisan... 5
E. Manfaat Penulisan... 5
F. Metode Penulisan... 5
xiv LOGNORMAL
A. Fungsi Kontinu... 8
B. Bilangan Kompleks dan Persamaan Euler... 14
C. Derivatif dan Antiderivatif... 16
D. Konvergensi Barisan dan Deret... 20
E. Deret Taylor... 28
F. Pengertian Deret Fourier... 31
G. Kekonvergenan Deret Fourier... 44
1. Sifat Koefisien Deret Fourier... 44
2. Teorema Riemann-Lebesgue dan Akibatnya... 47
3. Kernel Dirichlet... 49
H. Integral Fourier... 59
I. Deret Fourier Kompleks... 61
J. Integral Fourier Kompleks... 64
K. Persamaan Diferensial Biasa dan Parsial... 67
L. Keluarga Penyelesaian... 70
M. Masalah Syarat Batas... 71
N. Pemisahan Variabel... 73
O. Probabilitas... 74
P. Variabel Random dan Distribusinya... 76
Q. Distribusi Probabilitas Bersama/ Gabungan... 79
xv
T. Metode Fungsi Distribusi... 95
U. Distribusi Normal dan Lognormal... 95
V. Nilai Waktu Uang... 109
BAB III OPSI TIPE EROPA DAN PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL BLACK SCHOLES A. Opsi Tipe Eropa... 115
1. Pengertian Saham... 115
2. Gerak Brown... 117
3. Lemma Ito... 122
4. Model Gerak Brown... 126
5. Pengertian Opsi Eropa... 128
6. Arbitrase... 134
7. Hubungan kesamaan opsi beli dan jual... 136
B. Persamaan Diferensial Parsial Black Scholes... 140
1. Asumsi-Asumsi Dasar Persamaan Diferensial Parsial Black Scholes... 141
2. Model Persamaan Diferensial Parsial Black Scholes... 142
3. Syarat Nilai Batas dan Nilai Akhir untuk Opsi Eropa... 145
BAB IV FORMULA HARGA OPSI TIPE EROPA A. Transformasi Fourier ... 148
1. Konvolusi Fourier... 153
xvi
menjadi Persamaan Panas... 159 C. Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial Black Scholes
pada Opsi Beli dan Opsi Jual Tipe Eropa
1. Penyelesaian persamaan diferensial parsial Black Scholes
pada opsi beli tipe Eropa... 170 2. Penyelesaian persamaan diferensial parsial Black Scholes
pada opsi jual tipe Eropa... 183 BAB V PENUTUP
xvii
Gambar 2.1 Fungsi ganjil dan fungsi genap... 10
Gambar 2.2 Fungsi periodik kontinu g(x) dengan periode T... 11
Gambar 2.3 Kurva normal dengan mean dan variansi ... 97
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang dihadapkan pada berbagai pilihan dalam menentukan proporsi dana atau sumber daya yang mereka miliki untuk konsumsi saat ini dan di masa datang. Investasi merupakan komitmen untuk menanamkan sejumlah dana atau sumber daya lainnya pada saat ini dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan di masa datang. Perkembangan dunia investasi tidak saja ditunjukkan oleh semakin meningkatnya jumlah dana yang diinvestasikan ataupun semakin banyaknya jumlah investor yang berinvestasi, tetapi juga ditunjukkan oleh semakin banyaknya alternatif instrumen investasi yang biasa dijadikan sebagai pilihan investor dalam berinvestasi.
Salah satu instrumen investasi yang telah banyak dikenal dan diperdagangkan oleh masyarakat adalah opsi. Opsi merupakan suatu kontrak antara dua pihak dimana salah satu pihak (pembeli) memiliki hak, bukan kewajiban, untuk membeli atau menjual dari pihak lain (penjual), suatu sekuritas (jaminan) atau aset tertentu seperti halnya saham, dengan harga yang telah ditentukan/ disepakati (strike price) dalam periode waktu yang juga telah ditentukan (exercise time).
memperdagangkan opsi di bursa resmi yang terorganisir. Di Indonesia, perda-gangan opsi baru disimulasikan di Bursa Efek Jakarta pada paro kedua tahun 2003 dan dilakukan pertama kali pada tanggal 6 Oktober 2004. Perdagangan opsi di Indonesia yang dikenal adalah opsi saham. Berdasarkan definisi opsi, maka opsi saham adalah opsi untuk membeli atau menjual saham. Selain itu, opsi yang diperdagangkan tidak hanya opsi saham, tetapi juga opsi indeks saham, opsi kurs valas, opsi obligasi, dan lain-lain. Dalam pasar opsi, yang diperjualbelikan bukanlah saham atau instrumen investasi finansial lainnya, melainkan hanyalah hak, baik hak untuk menjual maupun hak untuk membeli suatu aset dasar (un-derlying asset).
Berdasarkan jenisnya, opsi dibedakan menjadi dua, yaitu opsi beli (call option) dan opsi jual (put option). Opsi beli merupakan hak untuk membeli suatu sekuritas/ aset, sedangkan opsi jual merupakan hak untuk menjual suatu sekuritas/ aset. Opsi juga dibedakan atas waktu pembayaran (waktu dimana opsi tersebut dijalankan), yaitu opsi tipe Amerika dan opsi tipe Eropa. Opsi tipe Amerika adalah opsi yang dapat dilaksanakan kapan saja antara tanggal kesepakatan sampai masa jatuh temponya, sedangkan opsi tipe Eropa adalah opsi yang hanya dapat dilaksanakan pada masa jatuh tempo opsi tersebut. Dalam tulisan skripsi ini, penulis hanya akan membahas mengenai opsi tipe Eropa dengan aset dasar (seku-ritasnya) adalah saham.
karena pergerakan harga saham yang tidak menentu yang mempengaruhi harga opsi. Oleh karena itu, investor tersebut perlu mengetahui estimasi harga opsi yang rasional sebelum membeli opsi agar tidak mengalami kerugian dalam kegiatan menginvestasinya. Mengetahui estimasi harga opsi tipe Eropa yang rasional sama halnya dengan bagaimana menentukan harga opsi tersebut.
Persamaan diferensial parsial Black Scholes merupakan persamaan paling terkenal yang berani menerobos pasar dunia dalam penentuan harga opsi. Persamaan ini pertama kali diperkenalkan oleh Fischer Black, seorang kontraktor keuangan swasta di Cambridge, Massachutsetts, dan Myron Scholes, seorang asisten profesor keuangan di MIT (Massachusetts Institute of Technology) pada tahun 1973 dalam karya ilmiah mereka yang berjudul “The Pricing of Options and Corporate Liabilities”, yang secara garis besar berisi tentang model analitik yang digunakan untuk menentukan harga pasar yang rasional untuk opsi beli tipe Eropa.
transformasi Fourier digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial parsial Black Scholes sehingga menghasilkan formula harga opsi tipe Eropa.
B. Perumusan Masalah
Bagaimana menentukan harga opsi tipe Eropa dengan formula yang diperoleh dari penyelesaian persamaan diferensial parsial Black Scholes menggunakan transformasi Fourier?
C. Pembatasan Masalah
Ada beberapa hal yang dibatasi dalam penulisan skripsi ini, antara lain: 1. Penulis hanya akan membahas opsi tipe Eropa dengan aset dasarnya adalah
saham.
2. Deret Taylor dalam penurunan Lemma Ito tidak dibahas secara mendalam. 3. Teorema 2.1.2 tentang kesamaan hasil kali trigonometri tidak dibuktikan. 4. Persamaan panas tidak dibahas secara mendalam.
Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penulisan ini adalah mempelajari dan mengetahui persamaan diferensial parsial Black Scholes terhadap opsi tipe Eropa dan menentukan harga opsi tipe Eropa dengan formula yang diperoleh dari penyelesaian persamaan diferensial parsial Black Scholes menggunakan transformasi Fourier.
E. Manfaat Penulisan
Manfaat yang akan diperoleh setelah mempelajari topik ini adalah dapat menentukan harga opsi tipe Eropa Black Scholes dengan formula yang diperoleh dari penyelesaian persamaan diferensial parsial Black Scholes menggunakan transformasi Fourier.
F. Metode Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN
Dalam bab I dibahas tentang latar belakang, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II: DERET FOURIER, MASALAH SYARAT BATAS,
DAN DISTRIBUSI LOGNORMAL
DIFERENSIAL PARSIAL BLACK SCHOLES
Dalam bab III akan dibahas opsi tipe Eropa dan persamaan diferensial parsial Black Scoles.
BAB IV: FORMULA HARGA OPSI TIPE EROPA
Dalam bab IV akan dibahas transformasi Fourier, persamaan diferensial parsial Black Scholes menjadi persamaan panas, penyelesaian persamaan diferensial parsial Black Scholes pada opsi beli dan opsi jual tipe Eropa
BAB V: KESIMPULAN
BAB II
DERET FOURIER, MASALAH NILAI BATAS, DAN DISTIBUSI
LOGNORMAL
A. Fungsi Kontinu
Definisi 2.1.1
Suatu fungsi f adalah suatu aturan padanan yang menghubungkan setiap objek x
dalam suatu himpunan, yang disebut daerah asal, dengan sebuah nilai tunggal f(x)
dari himpunan kedua. Himpunan nilai yang diperoleh secara demikian disebut daerah
hasil fungsi tersebut.
Definisi 2.1.2
Suatu fungsi f(x) yang terdefinisi pada interval − ≤ ≤ dikatakan fungsi genap
dalam interval tersebut jika
− = (2.1)
dan dikatakan fungsi ganjil dalam interval tersebut jika
− = − . (2.2)
Teorema 2.1.1
Hasil kali dua fungsi genap dan hasil kali dua fungsi ganjil adalah fungsi genap,
Bukti
a. Misalkan f(x) adalah hasil kali antara fungsi genap g(x) dan fungsi genap h(x),
maka f(x) = g(x)h(x). Akan ditunjukkan bahwa f(-x) = f(x).
f(-x) = g(-x)h(-x).
Karena g dan h adalah fungsi genap, maka
f(-x) = g(x)h(x)
= f(x).
Jadi, hasil kali dua fungsi genap adalah fungsi genap.
b. Misalkan f(x) adalah hasil kali antara fungsi ganjil g(x) dan fungsi ganjil h(x),
maka f(x) = g(x)h(x). Akan ditunjukkan bahwa f(-x) = f(x).
f(-x) = g(-x)h(-x).
Karena g dan h adalah fungsi ganjil, maka
f(-x) = (-g(x))(-h(x))
= g(x)h(x)
= f(x).
Jadi, hasil kali dua fungsi ganjil adalah fungsi genap.
c. Misalkan f(x) adalah hasil kali antara fungsi genap g(x) dan fungsi ganjil h(x),
maka f(x) = g(x)h(x). Akan ditunjukkan bahwa f(-x) = -f(x).
f(-x) = g(-x)h(-x).
Karena g adalah fungsi genap dan h adalah fungsi ganjil, maka
= -g(x)h(x)
f(-x) = -f(x).
Jadi, hasil kali antara fungsi genap dan fungsi ganjil adalah fungsi ganjil. ∎
Adapun, suatu fungsi f disebut simetri di x = 0 jika f adalah fungsi genap seperti
pada gambar (a) dalam Gambar 2.1 dan suatu fungsi f disebut antisimetri di x = 0 jika
f adalah fungsi ganjil seperti pada gambar (b) dalam Gambar 2.1.
Gambar 2.1: Fungsi ganjil dan fungsi genap
Definisi 2.1.3
Suatu fungsi g(x) dikatakan periodik dengan periode T jika
+ = (2.3)
untuk semua x, dan T merupakan konstanta positif. Nilai terkecil dari T disebut
sebagai periode terkecil atau periode dari g(x).
Gambar 2.2: Fungsi periodik g(x) dengan periode T
Contoh 2.1.1
1. Fungsi sin x mempunyai periode 2 , 4 , 6 ,... karena sin (x + 2 ), sin (x + 4 ),
sin (x + 6 ),... sama dengan sin x, tetapi 2 adalah periode terkecil atau periode
sin x.
2. Periode fungsi sin nx atau cos nx, dimana n bilangan bulat positif, adalah .
3. Suatu konstanta mempunyai periode suatu bilangan positif.
Dalam Contoh 2.1.1 di atas, kita dapat menemukan fungsi-fungsi trigonometri
seperti fungsi sinus dan kosinus. Masih banyak fungsi trigonometri lainnya, namun
Teorema 2.1.2
Andaikan diketahui fungsi-fungsi trigonometri yaitu sin , sin , cos , cos
dimana = 1, 2, 3, … dan = 1, 2, 3, … , maka berlaku kesamaan hasil kali
trigonometri sebagai berikut
1. sin sin = cos − − cos + , ≠ . (2.4)
2. sin cos = sin − + sin + , ≠ . (2.5)
3. cos cos = cos − + cos + , ≠ . (2.6)
4. sin + cos = 1, = . (2.7)
Teorema 2.1.2 di atas merupakan teorema dasar kalkulus trigonometri yang sangat
mudah untuk dibuktikan sehingga bukti teorema tersebut tidak diberikan dalam
skripsi ini.
Definisi 2.1.4 (Limit)
lim!→# = berarti bahwa untuk setiap $ > 0 yang diberikan, terdapat ' > 0
sedemikian sehingga untuk setiap x, 0 < ) − *) < ' maka berlaku ) − ) < $.
Definisi 2.1.5 (Limit kanan dan limit kiri)
Limit kanan yang dinyatakan dengan lim!→#+ = berarti bahwa untuk setiap
$ > 0 yang diberikan, terdapat ' > 0 sedemikian sehingga untuk setiap x, 0 < −
lim!→#, = berarti bahwa untuk setiap $ > 0 yang diberikan, terdapat ' > 0
sedemikian sehingga untuk setiap x, 0 < − − * < ' maka berlaku ) − ) <
$.
Definisi 2.1.6 (Kekontinuan fungsi di suatu titik)
Suatu fungsi, f, dikatakan kontinu di c jika untuk setiap $ > 0 yang diberikan,
terdapat ' > 0 sedemikian sehingga untuk setiap x, ) − *) < ' maka berlaku
) − * ) < $.
Definisi 2.1.7
Fungsi f(x) disebut fungsi kontinu bagian demi bagian pada interval [a, b] bila
dipenuhi syarat-syarat berikut:
1. Interval [a, b] dapat dibagi menjadi sebanyak berhingga sub interval sehingga
f(x) kontinu pada setiap sub interval tersebut.
2. Limit dari f(x) jika x mendekati ujung-ujung dari sub interval ada dan berhingga.
Dengan kata lain, f(x) disebut fungsi kontinu bagian demi bagian bila dan hanya bila
B. Bilangan Kompleks dan Persamaan Euler
Definisi 2.2.1
Bilangan kompleks adalah bilangan yang berbentuk x + yi atau x + iy dengan x dan y
adalah bilangan real dan i2 = -1.
Biasanya z dipakai untuk menyatakan bilangan kompleks yang bentuknya
sesuai dengan definisi di atas dan ditulis z = x + yi, dimana x dapat dinyatakan juga
sebagai bagian real dari z dan y bagian imajiner dari z. Bagian real dan bagian
imajiner dari bilangan kompleks z biasanya dinyatakan dengan Re(z) dan Im(z),
sehingga jika x dan y adalah real dan z = x + iy, maka x = Re(z) dan y = Im(z).
Himpunan semua bilangan kompleks biasanya diberi notasi ℂ, sehingga dapat
ditulis ℂ = {z: z = x + iy, x∈ℝ dan y∈ℝ}. Jika Im(z) = 0, maka bilangan kompleks z
menjadi bilangan real x, sehingga bilangan real adalah keadaan khusus dari bilangan
kompleks. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa himpunan bilangan real
merupakan himpunan bagian dari himpunan bilangan kompleks atau ℝ ⊂ ℂ. Jika
Re(z) = x = 0, dan Im(z) 0, maka z menjadi iy dan dinamakan bilangan imajiner
murni.
Definisi 2.2.2
Untuk setiap bilangan kompleks z = x + iy, maka bilangan kompleks
dinamakan konjugat bilangan z.
Diberikan suatu daerah asal 5 yang merupakan subhimpunan bidang kompleks
ℂ dan f suatu fungsi dari 5 ke dalam ℂ. Jika z menyatakan sembarang titik di dalam
5, dan z menyatakan bilangan kompleks dalam 5, maka z dinamakan suatu variabel
kompleks. Untuk z∈5 maka nilai fungsi f(z) adalah bilangan kompleks. Fungsi yang
bernilaikan bilangan kompleks disebut fungsi bernilai kompleks atau disingkat fungsi
kompleks. Jadi, fungsi f ini adalah fungsi kompleks dari variabel kompleks dengan
daerah definisi (daerah asal) 5. Nilai fungsi kerap dinyatakan dengan huruf w
sehingga fungsi f dengan domain definisi 5 ditulis w = f(z) dengan z∈5. Jika suatu
fungsi bernilai kompleks dari variabel kompleks f(z), maka f(z) = u(x,y) + iv(x,y)
dengan u dan v adalah fungsi bernilai real dari variabel real x dan y. Fungsi u(x,y) dan
v(x,y) berturut-turut dinamakan bagian real dan bagian imajiner dari fungsi f(z).
Dalam fungsi kompleks, ada beberapa fungsi elementer yang dikenal. Namun
dalam skripsi ini, penulis hanya akan membahas fungsi Euler yang merupakan fungsi
eksponensial.
Definisi 2.2.3
Untuk bilangan kompleks z didefinisikan
67= 6! cos 4 + 3 sin 4 (2.8)
Dalam Definisi 2.2.3, kita dapat melihat bahwa jika diambil z real, yaitu z = x +
i0, maka ruas kiri dari Persamaan (2.8) menjadi ex, sedangkan ruas kanan menjadi
6! cos 0 + 3 sin 0 = 6!. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa Persamaan
(2.8) merupakan perluasan fungsi eksponensial real yang sudah kita kenal dalam
kalkulus. Jika diambil z = iy dengan y real, kita memperoleh hubungan yang
dijabarkan di atas. Dengan melihat Definisi 2.2.3 dengan z = ± iy, maka kita dapat
memperoleh rumus sebagai berikut
6±9: = cos 4 ± 3 sin 4. (2.9)
Persamaan (2.9) di atas disebut sebagai persamaan Euler.
C. Derivatif dan Antiderivatif
Definisi 2.3.1
Turunan atau derivatif f yang dinyatakan dengan ′ (dibaca “f aksen”) untuk sebarang
nilai c adalah
< * = lim =→>
* + ℎ − * ℎ
jika limitnya ada.
Teorema 2.3.1
Jika < * ada, maka f kontinu di c.
Bukti
= * +@ ! A@ #
!A# − * , dimana ≠ *.
lim!→# = lim!→#B * +@ ! A@ #!A# − * C
= lim!→# * + lim!→#B@ ! A@ #!A# − * C
= lim!→# * + lim!→#B@ ! A@ #!A# C ∙ lim!→# − * .
Berdasarkan Definisi 2.3.1 dan Definisi 2.1.4, maka
lim!→# = * + < * ∙ 0
= * .
Berdasarkan Definisi 2.1.5, maka f kontinu di c. ∎
Definisi 2.3.2
Suatu fungsi F disebut antiderivatif (anti turunan) dari fungsi f bila turunan dari F
adalah f.
Definisi 2.3.3 (Integral tentu)
Andaikan f suatu fungsi yang didefinisikan pada selang tertutup EF, GH. Jika
lim →IJ9L 9 ∆ 9
ada, maka f dikatakan terintegralkan pada EF, GH. Lebih lanjut, MPO N disebut
integral tentu (atau integral Riemann) f dari a ke b yang didefinisikan oleh
MPO N = lim →IJ9L 9∗ ∆ 9
Bilangan a dan b dalam MPO N disebut berturut-turut sebagai batas bawah dan
batas atas integral, serta f(x) disebut integran.
Berikut ini akan diberikan penggunaan simetri dalam penghitungan integral
tentu.
Teorema 2.3.2 (Teorema simetri)
Jika f adalah fungsi genap, maka
MARR N = 2 M>R N (2.10)
dan jika f adalah fungsi ganjil, maka
MARR N = 0. (2.11)
Bukti
a. Karena f adalah fungsi genap, maka
MARR N = MAR> N + M>R N
= MR> − N − + M>R N
= − M − −>R N + M>R N
= M>R − N + M>R N
= M>R N + M>R N
= 2 M>R N .
b. Karena f adalah fungsi ganjil, maka
MARR N = MAR> N + M>R N
= MR> − N − + M>R N
= − M − −>R N + M>R N
= M>R − N + M>R N
= − M>R N + M>R N
= 0. ∎
Teorema 2.3.3 (Teorema periodik)
Jika f periodik dengan periode T, maka
MPSTOST N = MPO N . (2.12)
Bukti
Andaikan U = − sehingga = U + dan NU = N , sehingga
MPSTOST N = MPO U + NU.
Berdasarkan Definisi 2.1.3, maka
MPSTOST N = MPO U NU
D. Konvergensi Barisan dan Deret
Definisi 2.4.1 (Barisan)
Suatu barisan adalah himpunan dari bilangan-bilangan W , W , WX, … dengan urutan
penyusunan yang pasti (atau dengan kata lain korespondensi dengan
bilangan-bilangan asli) dan tersusun menurut suatu aturan yang pasti.
Dari definisi di atas, kita juga dapat mengatakan bahwa suatu barisan (atau
barisan tak hingga) adalah suatu fungsi yang daerahnya hasilnya adalah himpunan
bilangan bulat positif.
Definisi 2.4.2 (Konvergensi barisan)
Suatu barisan YW ZSL disebut mempunyai limit L(x) bila untuk sebarang $ > 0
ada bilangan bulat positif N sedemikian rupa sehingga )W − ) < $ bila
≤ [. Bila barisan YW ZSL mempunyai limit L(x), maka barisan konvergen ke
L(x) dan ditulis
lim → W = .
Definisi 2.4.3 (Deret tak hingga)
Suatu deret tak hingga adalah suatu ungkapan bentuk
U + U + UX+ ⋯ + U + ⋯
Definisi 2.4.4 (Konvergensi deret tak hingga)
Andaikan Y^ Z adalah barisan jumlah bagian deret J]L W] . Jika barisan
Y^ Z konvergen ke limit S(x), maka deret itu konvergen dan S(x) disebut jumlah
deret, ditulis
^ = J]L W] .
Untuk sebuah deret tak terhingga J]L W] , didefinisikan jumlah parsial ke-n
dari deret tersebut sebagai jumlah n suku yang pertama dari deret tersebut, yaitu
^ = J]L W] .
Berdasarkan Definisi 2.4.4, suatu deret tak terhingga dapat dikatakan
konvergen ke f(x) pada suatu interval jika diberikan sebarang bilangan positif $,
sedemikian sehingga untuk setiap x di dalam interval tersebut terdapat suatu bilangan
bulat positif N, sehingga )^ − ) < $ untuk semua ≥ [.
Teorema 2.4.1 (Uji banding)
Andaikan J F] dan J G] adalah deret dengan suku-suku positif dan andaikan
F ≤ G , F ≤ G , FX ≤ GX, … , F]≤ G], …, maka
i. Jika J G] (deret yang lebih besar) konvergen, maka J F] (deret yang lebih kecil)
juga konvergen.
ii. Jika J F] (deret yang lebih kecil) divergen, maka J G] (deret yang lebih besar)
Bukti
i. Andaikan J G] konvergen dan konvergen ke B, maka untuk semua n berlaku
G + G + GX+ ⋯ + G < J]L G] = `.
Karena hipotesis kita yaitu F ≤ G , F ≤ G , FX ≤ GX, … , F] ≤ G], … , maka
berlaku
F + F + FX+ ⋯ + F ≤ G + G + GX+ ⋯ + G
sehingga F + F + FX+ ⋯ + F ≤ `.
Karena F + F + FX+ ⋯ + F bersifat naik dan terbatas ke atas dengan batas
atas B, maka dapat dikatakan bahwa setiap jumlah parsial dari J F] kurang dari B
dan akibatnya J F] konvergen.
ii. Bagian ini merupakan ungkapan lain dari bagian (i) dengan memandang (ii)
merupakan kontraposisi dari (i). Jika J F] divergen maka J G] juga harus
divergen, karena konvergensi deret J G] mengakibatkan J F] juga konvergen. ∎
Definisi 2.4.5 (Deret konvergen mutlak)
Jika J )W]L ] ) konvergen maka J]L W] disebut konvergen mutlak.
Definisi 2.4.6 (Konvergensi seragam)
Deret J]L W] disebut konvergen secara seragam ke S(x) dalam suatu interval jika
untuk setiap $ > 0 terdapat sebuah bilangan positif N sehingga untuk semua ≥ [
)^ − ^ ) < $, untuk semua x dalam interval.
Hal yang sangat mendasar dari definisi di atas adalah bahwa N hanya tergantung pada
$ dan tidak tergantung pada nilai x di dalam interval tersebut.
Selain dengan menentukan jumlah ^ dan kemudian menggunakan Definisi
2.4.6, Weierstrass M test dapat juga digunakan untuk membuktikan konvergensi
seragam dari suatu deret.
Teorema 2.4.2 (Uji Weierstrass M)
Andaikan deret J]L W] adalah deret yang semua sukunya terdefinisi pada suatu
interval. Jika terdapat deret konstan J]L a] yang konvergen, sehingga )W] ) ≤
a] untuk semua x dalam interval tersebut, maka deret J]L W] konvergen mutlak
dan konvergen seragam pada interval tersebut.
Bukti
i. Pertama, akan dibuktikan J]L W] konvergen mutlak.
Bukti
Untuk setiap x dalam suatu interval, tiap suku deret J )W]L ] ) kurang dari
atau sama dengan suku ke-n dari deret J]L a] yang konvergen, dan ditulis
)W] ) ≤ a] . Menurut Uji banding dalam Teorema 2.4.1, maka deret
J )W]L ] ) adalah deret yang konvergen. Dengan demikian berdasarkan
ii. Kedua, akan dibuktikan J]L W] konvergen seragam pada suatu interval
dimana semua suku dari deret tersebut terdefinisi pada interval tersebut.
Bukti
Jika pendekatan suatu fungsi f oleh jumlah parsial ke-n dari J]L W] yaitu
^ , maka besar kesalahan pada suatu titik x adalah selisih − ^ .
Selisih ini biasanya disebut sisa ke-n dari J]L W] dan ditulis b =
− ^ . Nilai mutlak dari sisa ke-n tersebut adalah
)b ) = ) − ^ )
= )W S + W S + W SX + ⋯ )
≤)W S ) + )W S )+)W SX ) + ⋯
≤a S + a S + a SX+ ⋯
Jika = a S + a S + a SX+ ⋯ merupakan sisa ke-n dari deret JI]L a]
yang konvergen, maka )b ) ≤ .
Karena JI]L a] adalah deret konstan yang konvergen, maka untuk setiap $ > 0
yang diberikan, terdapat bilangan bulat positif N sedemikian sehingga < $
untuk ≤ [.
Untuk nilai N yang sama, diperoleh
)b ) ≤ < $ untuk ≤ [.
Karena N tidak tergantung pada x, tetapi hanya bergantung pada nilai $, maka
Jadi terbukti bahwa JI]L W] konvergen mutlak dan konvergen seragam pada
interval tersebut. ∎
Teorema 2.4.3
Jika masing-masing suku dari deret tak hingga JI]L W] kontinu pada interval (a,
b) dan deret tersebut konvergen secara seragam ke jumlah f(x) pada interval ini, maka
i. f(x) juga kontinu pada interval tersebut,
ii. deret tersebut dapat diintegralkan suku demi suku, yaitu
M YJPO I]L W] ZN = J]LI M WPO ] N
atau dapat ditulis
MPO N = M WPO N + M WPO N + ⋯ + M WPO N + ⋯
Bukti
i. Andaikan diberikan x0, F < > < G, dan andaikan diberikan $ > 0, maka harus
dicari ' sedemikian sehingga untuk 0 < ) − >) < ' ⇒ ) − > ) < $,
dan F < < G.
Karena deret JI]L W] konvergen secara seragam ke f(x), maka terdapat suatu
bilangan positif ' sedemikian sehingga
0 < ) − >) < ' ⇒ )^ − > ) <X$, ≤ [. (2.13)
Fungsi ^d sebagai jumlah bagian dari fungsi kontinu adalah juga kontinu.
0 < ) − >) < ' ⇒ )^d − ^d > ) <X$.
Berdasarkan Persamaan (2.13), diperoleh
)^d − ) <X$, )^d − > ) <X$.
Dengan memilih ' = minY' , ' Z, maka 0 < ) − >) < ' menunjukkan
) − > ) = ) − ^d + ^d − ^d > + ^d > − > )
≤) − ^d ) + )^d − ^d > ) + )^d > − > )
<X$ +X$ +X$ = $ untuk 0 < ) − >) < '.
Dengan demikian telah diperlihatkan bahwa
0 < ) − >) < ' ⇒ ) − > ) < $, F < < G.
Jadi f(x) juga kontinu pada interval (a, b).
ii. Seperti pembuktian sebelumnya, andaikan ^ adalah jumlah n bagian dari
deret JI]L W] , maka
M ^PO N = M WPO N + M WPO N + ⋯ + M WPO N .
Untuk membuktikan teorema di atas, harus ditunjukkan bahwa M ^PO N
konvergen ke MPO N , sehingga untuk setiap $ > 0 terdapat N sehingga
eM ^PO N − MPO N e < $, ≤ [. Untuk membuktikan ini, dipilih N yang
sangat besar sehingga
) − ^ ) <OAPf , ≤ [, F < < G,
Oleh karena itu,
eM ^PO N − MPO N e = eM EPO − ^ HN e
<OAPf G − F = $, ≤ [.
Dengan demikian, deret tersebut dapat diintegralkan suku demi suku, yaitu
M YJPO I]L W] ZN = JI]L M WPO ] N . ∎
Teorema 2.4.4
Deret yang konvergen dapat didiferensialkan suku demi suku jika diketahui bahwa
suku-suku dari deret tersebut mempunyai turunan yang kontinu dan deret dari turunan
itu konvergen secara seragam, yakni jika W]< =ghg!i adalah kontinu pada interval
F, G , JI]L W] konvergen ke f(x) pada interval F, G , dan JI]L W]<
konvergen secara seragam pada interval F, G , maka < = JI]L W]< .
Bukti
Andaikan g(x) adalah jumlah dari deret turunan tersebut, dan ditulis
= JI W]<
]L , F < < G.
Menurut Teorema 2.4.3, fungsi g(x) adalah fungsi kontinu, dimana
M!j
P N = J M WI]L P!j ]< N , F < < G,
sehingga
M!j
P N = J EWI]L ] − W] F H= J W]LI ] − J WI]L ] F .
M!j
P N = − F .
Jika kedua ruas diturunkan terhadap , maka = , F < < G.
Dengan kata lain, < = = JI]L W]< , F < < G.
Jadi terbukti bahwa deret tersebut dapat didiferensialkan suku demi suku. ∎
E. Deret Taylor
Definisi 2.5.1
Jika f berturunan pada semua tingkat pada = >, maka definisika deret Taylor yang
bersesuaian dengan f di sekitar = > adalah
= > + < > − > +@ kk!l
! − > + ⋯ +
@n !l
! − > + ⋯
Dari Definisi 2.5.1 di atas, kita juga dapat mengatakan bahwa ekspansi deret
Taylor untuk sebuah fungsi f(x) yang berturunan (n + 1) kali pada suatu interval
terbuka yang memuat titik x0 dapat ditulis sebagai berikut.
= > + < > − > +@ kk!l
! − > + ⋯ +
@n !l
! − > +
@n+j o
S ! − > S (2.14)
Suku terakhir dari rumus di atas adalah bentuk dari deret Taylor dengan suku
sisa dan dinyatakan dengan Rn+1. Mengingat bahwa f merupakan fungsi dengan satu
variabel maka dengan mengambil x0 = 0, deret Taylor pada Persamaan (2.14) di atas
= 0 + < 0 + << 0 + b
X. (2.15)
Selanjutnya ekspansi dari deret Taylor dengan satu variabel ini akan digunakan
untuk fungsi dengan dua variabel.
Misalkan bahwa fungsi F(y, z) mempunyai turunan parsial sampai suku ketiga
pada interval terbuka yang memuat titik dengan koordinat (y0, z0). Didefinisikan
sebuah fungsi f(x) = F(y + xh, z + xk), dimana h dan k merupakan bilangan-bilangan
yang cukup kecil sehingga f(x) berada di sekitar (y0, z0). Misalkan u = y + xh dan v = z
+ xk sehingga fungsi f(x) dapat ditulis f(x) = F(u, v). Dengan menggunakan aturan
rantai untuk fungsi dua variabel maka diperoleh turunan pertama dari fungsi f(x)
sebagai berikut.
= p U, q
′ = rsrtrtr!+rsrurur!.
Karena U = 4 + ℎ dan q = 1 + v maka rtr!= ℎ dan rur!= v , sehingga
diperoleh
′ = ℎrsrt+ vrsru (2.16)
= ℎrs :S!=,7S!]
r :S!= + v
rs :S!=,7S!]
r 7S!] .
Untuk x = 0 maka
′ 0 = ℎrs :,7
r: + v
rs :,7 r7
′ 0 = ℎp: 4, 1 + vp7 4, 1 ,
< 0 = ℎp
: 4>, 1> + vp7 4>, 1> . (2.17)
Dari Persamaan (2.16), maka kita dapat memperoleh turunan kedua dari f(x)
sebagai berikut
<′ = ℎ Brws
rtwrtr!+ r ws rtru
ru r!C + v B
rws rurt
rt r!+
rws ruwrur!C.
Karena U = 4 + ℎ dan q = 1 + v maka rt
r!= ℎ dan ru
r!= v , sehingga
diperoleh
<′ = ℎ Brws rtwℎ + r
ws
rtruvC + v B rws rurtℎ +
rws ruwvC
= ℎ rws
rtw+ ℎv r ws
rtru+ vℎ
rws rurt+
rws ruwv .
Karena rws rtru =
rws
rurt, maka
<′ = ℎ rws
rtw+ 2vℎ r ws rtru+
rws
ruwv (2.18)
= ℎ rws :S!=,7S!]
r :S!=w + 2vℎr
ws :S!=,7S!] r :S!= r 7S!] +
rws :S!=,7S!]
r 7S!] w v
Untuk x = 0 maka
<′ 0 = ℎ rws :,7
r:w + 2vℎr ws :,7
r:r7 + v
rws :,7 r7w
= ℎ p:: 4, 1 + 2vℎp:7 4, 1 + v p77 4, 1 ,
dan karena f(x) berada di sekitar (y0, z0) maka diperoleh
<< 0 = ℎ p
:: 4>, 1> + 2ℎvp:7 4>, 1> + v p77 4>, 1> (2.19)
Kemudian Persamaan (2.15) dapat ditulis menjadi
− 0 = < 0 + << 0 + b
X (2.20)
Apabila Persamaan (2.17) dan (2.19), serta x = 1 disubstitusikan pada
Persamaan (2.20), maka diperoleh
∆p = 1 − 0
= ℎp: 4, 1 + vp7 4, 1 + ℎ p:: 4, 1 + ℎvp:7 4, 1 + v p77 4, 1 .
(2.21)
F. Pengertian Deret Fourier
Deret Fourier merupakan istilah yang diciptakan oleh penemunya yaitu Jean
Baptiste Joseph (Baron) Fourier (1768 – 1830), seorang fisikawan Prancis dan
matematikawan tekenal. Berdasarkan penelitiannya terhadap konduksi panas dalam
suatu benda padat, Fourier menciptakan suatu hukum atas hal tersebut yang dikenal
dengan nama Hukum Fourier (law of heat conduction atau Fourier’s law). Kemudian
Fourier mempublikasikan teori yang sangat penting dalam perkembangan dunia
matematika dan aplikasi, yaitu “Theorie Analytique de la Chaleur”. Teori tersebut
membicarakan perwakilan suatu fungsi sebarang terhadap deret trigonometri dalam
suatu interval, yang sekarang dikenal dengan nama Deret Fourier (Jeffrey, 2002).
Deret trigonometri yang didefinisikan oleh
F>+ F cos + G sin + F cos 2 + G sin 2 + ⋯
mempunyai periode 2x dengan F>, F , … , G , G , … adalah bilangan real. Dengan
F>+ JIL F cos + G sin
dengan F dan G disebut koefisien-koefisien deret trigonometri. Berikut ini
merupakan definisi dari deret Fourier.
Definisi 2.6.1
Misalkan f(x) merupakan perwakilan dari deret Fourier yang terdefinisi pada interval
−x ≤ ≤ x dan f(x) kontinu bagian demi bagian pada interval tersebut, maka deret
Fourier yang bersesuaian dengan f(x) ditentukan oleh
= F>+ JIL F cos + G sin
= F>+ F cos + G sin + F cos 2 + G sin 2 + ⋯ (2.22)
dimana koefisien F>, F , … , G , G , … ditentukan oleh fungsi f(x).
Dari Definisi 2.6.1 di atas diperhatikan bahwa f(x) memuat dua jumlahan fungsi
yang tidak berhingga, yaitu fungsi kosinus dan fungsi sinus. Berdasarkan Persamaan
(2.1) maka fungsi kosinus dapat disebut sebagai fungsi genap dan berdasarkan
Persamaan (2.2) maka fungsi sinus dapat disebut sebagai fungsi ganjil.
Teorema 2.6.1
Andaikan fungsi cos nx, sin nx, cos mx, dan sin mx terdefinisi dalam interval −x ≤
≤ x, dimana n = 1, 2, 3, ... dan m = 1, 2, 3, ..., sedemikian sehingga berlaku
1. M sinA sin N = 0, ≠ .
2. M sinA cos N = 0, ≠ .
3. M cosA cos N = 0, ≠ .
4. M sinA N = 0.
5. M cosA N = 0.
Bukti
1. Karena sin dan sin keduanya merupakan fungsi ganjil, maka dengan
menggunakan Persamaan (2.4) diperoleh
M sinA sin N = M cosA − − cos + N
= B
yA sin − − yS sin + CA
= B z
yA sin − x − yS sin + x{ −
zyA sinE − −x H − yS sinE + −x H{C.
= B zyA sin − x − yS sin + x{ −
z−yA sin − x + yS sin + x{C.
Berdasarkan kenyataan bahwa sin − x = sin x = 0, maka diperoleh
M sinA sin N = ∙ 0
2. Karena sin adalah fungsi ganjil dan cos adalah fungsi genap sehingga
berdasarkan Teorema 2.1.1 diketahui bahwa hasil kali fungsi ganjil dan fungsi
genap adalah fungsi ganjil, maka berdasarkan Persamaan (2.11) diperoleh
M sinA cos N = 0.
3. Karena cos dan cos keduanya merupakan fungsi genap, maka dengan
menggunakan Persamaan (2.6) diperoleh
M cosA cos N = M cosA − + cos + N
= B yA sin − + yS sin + C
A
= B z
yA sin − x +yS sin + x{ −
zyA sin − −x +yS sin + −x {C
= B z
yA sin − x − yS sin + x{ −
z−yA sin − x − yS sin + x{C.
Berdasarkan kenyataan bahwa sin − x = sin x = 0, maka diperoleh
M cosA cos N = ∙ 0
= 0.
4. Karena sin adalah fungsi ganjil, maka berdasarkan Persamaan (2.11) diperoleh
M sinA N = 0.
5. M cosA N =
yEsin HA
=
Karena fungsi sinus merupakan fungsi ganjil, maka
M cosA N =
yEsin x + sin xH
= y∙ 0
= 0. ∎
Sifat-sifat di atas biasa disebut sebagai sifat-sifat ortogonalitas dari fungsi kosinus
dan sinus.
Kemudian dari Persamaan (2.22), kita dapat merumuskan formula untuk an dan
bn dalam persamaan tersebut yang bersesuaian dengan fungsi f(x) yang diberikan
dengan mengalikan f(x) dengan cos nx dan sin nx dimana n = 1, 2, 3,.. . Pertama-tama
akan dicari formula an dengan mengalikan cos nx pada Persamaan (2.22). Untuk itu,
diperoleh
cos = F>cos + F cos cos + F cos 2 cos + FXcos 3 cos
+ ⋯ + F A cos − 1 cos + F cos
+ F S cos + 1 cos + ⋯ + G sin cos + G cos 2 cos
+ ⋯
Dengan mengintegrasikan persamaan di atas dari – x hingga x , maka kita
MA cos N = F>M cos NA}} + F M cos cosA}} N
+ F M cos 2 cos NA + FXM cos 3 cosA N + ⋯
+F A M cos − 1 cosA N + F M cosA N +
+ F S M cos + 1 cos NA + ⋯ + G M sin cosA
+ G M cos 2 cos NA + ⋯
Berdasarkan sifat-sifat ortogonalitas dari fungsi sinus dan kosinus yang dibuktikan
dalam Teorema 2.6.1, maka
MA cos N = F M cosA N .
Berdasarkan Persamaan (2.7) dan sedikit modifikasi yaitu cos = S~•€ S !,
maka
M cosA N = M zA S~•€ S !{N
= z +
S sin + 1 {A
= zBx + S sin + 1 xC − B −x + S sin + 1 −x C{
= 2x
= x
dengan n 0, dan M 1 NA = −x = 2xx , maka diperoleh F> = MA N dan
Dengan cara yang sama dalam memperoleh formula an, maka kita dapat memperoleh
formula bn dengan mengalikan sin nx pada Persamaan (2.22) sedemikian sehingga
diperoleh
sin = F>sin + F cos sin + F cos 2 sin + ⋯
+ F A cos − 1 sin + F cos sin
+ F S cos + 1 sin + ⋯ + G sin sin + G cos 2 sin
+ ⋯ + G A sin − 1 sin + G sin
+ G S sin + 1 sin + ⋯
Dengan mengintegrasikan persamaan di atas dari – x hingga x , maka kita
memperoleh
MA sin N = F>M sin NA}} + F M cos sinA}} N +
F M cos 2 sin NA + FXM cos 3 sin NA + ⋯ +
F A M cos − 1 sinA N + F M cos sinA N +
F S M cos + 1 sin NA + ⋯ + G M sin sinA +
G M sin 2 sin NA + GXM sin 3 sin NA + ⋯ +
G A M sin − 1 sinA N + G M sinA N +
G S M sin + 1 sin NA .
Berdasarkan sifat-sifat ortogonalitas dari fungsi sinus dan kosinus yang dibuktikan
dalam Teorema 2.6.1, maka
Berdasarkan Persamaan (2.7) dan sedikit modifikasi yaitu sin = A~•€ S !,
maka
M sinA N = M zA A~•€ S !{N
= z −
S sin + 1 {A
= zBx −
S sin + 1 xC − B −x − S sin + 1 −x C{
= 2x
= x
untuk n 0, maka G = MA sin N untuk = 1,2, … .
Hasil-hasil tersebut merupakan formula Euler untuk koefisien an dan bn dalam
Persamaan (2.22). Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan deret Fourier yang
bersesuaian dengan f(x) sebagai berikut.
Definisi 2.6.2
Misalkan f(x) adalah fungsi yang terdefinisi pada interval −x ≤ ≤ x dan f(x)
kontinu bagian demi bagian pada interval tersebut, maka f(x) sebagai perwakilan dari
deret Fourier didefinisikan sebagai
= F>+ JIL F cos + G sin (2.23)
dengan koefisien-koefisien Fourier yang diberikan oleh formula Euler di bawah ini
untuk n = 1, 2, 3, ... .
Dengan memperhatikan Definisi 2.6.1 dan 2.6.2, maka deret Fourier memiliki
sifat yang mencerminkan periodiksitas dari fungsi sinus dan kosinusnya. Oleh karena
itu, interval −x ≤ ≤ x merupakan interval dasar dari ekspansi deret Fourier. Kita
juga dapat mendefinisikan perwakilan deret Fourier dari fungsi f(x) secara umum
pada interval − ≤ ≤ .
Definisi 2.6.3
Misalkan f(x) adalah fungsi yang terdefinisi pada interval − ≤ ≤ dan f kontinu
bagian demi bagian. Jadi, f(x) sebagai perwakilan dari deret Fourier didefinisikan
sebagai berikut
= F>+ J zF cos !
„ + G sin !
„ {
I
L (2.24)
dimana a0, an, dan bn merupakan koefisien-koefisien yang diberikan dengan formula
Euler seperti berikut
F> = „MA„„ N , F =„MA„„ cos „!N , G =„MA„„ sin „!N
(2.25)
untuk n = 1, 2, 3, ... .
Dapat diperhatikan bahwa fungsi f(x) yang merupakan perwakilan dari deret
Contoh 2.6.1
Tentukan perwakilan deret Fourier dari f(x) = x + 1 untuk −1 ≤ ≤ 1.
Penyelesaian:
Pada contoh ini, L = 1.
Berdasarkan Definisi 2.6.3, maka kita dapat menentukan a0, an, dan bn.
F> = MA + 1 N
= z + {
A
= zB + 1C − B − 1C{
= 1.
F = MA + 1 cos x N
= MA cos x + cos x N
= MA cos x N + M cos x NA
= ! €…† !− MA €…† !N + ~•€ !
= B! €…† !+~•€w w!+ ~•€ !C A
= B€…† +~•€w w + ~•€ C − B€…† +~•€w w + ~•€ C
= 0.
G = MA + 1 cos x N
G = MA cos x N + M cos xA N
= −! ~•€ !− MA ~•€ !N − ~•€ !
= B−! ~•€ !+€…†w w!− ~•€ !C A
= B−~•€ +€…†w w − ~•€ C − B~•€ −€…†w w − ~•€ C
= − ~•€ + €…†w w
= z−cos x +€…† {
= z€…† −cos x{.
Karena sin x = 0, dan cos x = −1 , maka
G = 0 + −1 −1
= A n+j
untuk n = 1, 2, 3, ... dengan n adalah bilangan bulat.
Kemudian langkah selanjutnya adalah mensubstitusikan koefisien-koefisien yang
sudah dicari ke dalam Persamaan (2.24), sehingga kita dapat memperoleh deret
Fourier yang diwakilkan dengan
= 1 + JIL z0 + A n+jsin x {
= 1 + JIL zA n+jsin x { untuk −1 ≤ ≤ 1.
Dengan melihat Definisi 2.6.3, maka Persamaan (2.24) dapat diekspansikan
= F>+ J F cos ! „ I
L + JIL G sin „!. (2.26)
Karena F> dan JIL F cos „! keduanya adalah fungsi genap sehingga F>+
JI F cos „!
L adalah juga fungsi genap, andaikan ℎ = F>+ JIL F cos „!
maka ℎ disebut sebagai deret kosinus Fourier. Sementara itu, karena
JI G sin „!
L adalah fungsi ganjil, dan andaikan = JIL G sin „!, maka
disebut sebagai deret sinus Fourier.
Berikut akan dicari koefisien-koefisien dari deret kosinus dan sinus Fourier.
1. Koefisien untuk deret kosinus Fourier
F> = „M ℎA„„ N
Karena h(x) merupakan fungsi genap, maka dengan menggunakan Persamaan
(2.10) diperoleh
F> = „z2 M ℎ N>„ {
=
„M ℎ N
„
> .
F = „M ℎA„„ cos „!N .
Karena h(x) dan fungsi kosinus merupakan fungsi genap sehingga berdasarkan
Teorema 2.1.2 diketahui bahwa hail kali dua fungsi genap adalah fungsi genap,
maka berdasarkan Persamaan (2.10) diperoleh
F = „z2 M ℎ>„ cos „!N {
=
„M cos
!
„ N
„
2. Koefisien untuk deret sinus Fourier
G = „MA„„ sin „!N
Karena g(x) dan fungsi sinus merupakan fungsi ganjil sehingga berdasarkan
Teorema 2.1.2 diketahui bahwa hasil kali dua fungsi ganjil adalah fungsi genap,
maka berdasarkan Persamaan (2.10) diperoleh
G = „z2 M>„ sin „!N {
= „M>„ sin „!N .
Dengan demikian, kita dapat meringkas penjelasan mengenai deret kosinus dan sinus
Fourier di atas dalam Definisi 2.6.4.
Definisi 2.6.4 (Deret kosinus dan sinus Fourier)
Jika f(x) terdefinisi pada interval − ≤ ≤ dan f kontinu bagian demi bagian,
maka deret sinus yang bersesuaian dengan f(x) adalah
= JI zG sin „!{
L , untuk − ≤ ≤ (2.27)
dimana
G =„M>„ sin „!N , untuk = 1,2, … , (2.28)
dan deret kosinus yang bersesuaian dengan f(x) adalah
= F>+ JIL zF cos „!{, untuk − ≤ ≤ (2.29)
dimana
G. Kekonvegrenan Deret Fourier
Dalam pembahasan sebelumnya mengenai pengertian deret Fourier, telah
diuraikan bentuk deret Fourier yang bersesuaian dengan suatu fungsi f(x) dimana f(x)
merupakan fungsi periodik dengan periode 2x dan kontinu bagian demi bagian dalam
interval −x < < x. Akan menjadi sangat baik jika deret Fourier yang diperoleh
konvergen ke f(x) sehingga dapat menjamin integral Fourier mempunyai suatu nilai
dan berhingga.
Untuk menjelaskan konvergensi deret Fourier, ada beberapa konsep yang perlu
sifat koefisien deret Fourier, Teorema Riemann-Lebesgue, dan Kernel Dirichlet.
1. Sifat Koefisien Deret Fourier
Sifat koefisien deret Fourier merupakan hal penting yang harus dibahas
sebelum membahas konvergensi deret Fourier. Sifat koefisien deret Fourier
tersebut yaitu
lim →IF = lim →IG = 0.
Sebelum kita membuktikan sifat koefisien deret Fourier di atas, akan dibuktikan
kesamaan parseval berikut ini yang digunakan dalam penurunan sifat koefisien
Teorema 2.7.1.1 (Kesamaan Parseval)
Andaikan deret Fourier yang bersesuaian dengan f(x) konvergen seragam ke f(x)
pada selang ‡– x, xˆ, maka berlaku kesamaam parseval di bawah ini, yaitu
MA N = 2F> + J ‡F + G ˆdL ,
dimana nilai integralnya diandaikan ada dan berhingga.
Bukti
Deret Fourier yang bersesuaian dengan f(x) adalah
= F>+ JdL F cos + G sin .
= F> + JdL F cos + G sin .
Dengan melakukan pengintegralan bagian demi bagian, maka
MA N
= M FA > N + MA JdL F cos + G sin N
= F>MA N + JdL MA F cos + G sin N
= F>MA N + J ‰M FdL A cos N + M GA sin N Š
= F>MA N + J ‰F MdL A cos N + G MA sin N Š
Berdasarkan definisi koefisien-koefisien Fourier yang diberikan dalam Definisi
2.6.2, maka diperoleh
MA N = 2xF> F>+ J EF F x + G G x HdL
= 2xF> + x J ‰F + G ŠdL
Teorema 2.7.1.2
Andaikan f kontinu bagian demi bagian yang mempunyai bentuk deret Fourier
F>+ ‹ F cos + G sin I
L
dan f terdefinisi pada interval −x ≤ ≤ x dengan periode 2x, maka koefisien
deret Fourier F dan G memenuhi sifat
lim →IF = lim →IG = 0. (2.31)
Bukti
Andaikan ^d adalah barisan jumlah parsial deret Fourier yang bersesuaian
dengan f(x) dan terdefinisi pada interval −x ≤ ≤ x, dan ditulis
^d = F>+ ‹ F cos + G sin d
L
dimana = 1,2,3, … .
Dengan melakukan pengintegralan bagian demi bagian, maka seperti pada
penurunan MA N dalam Teorema 2.7.1.1, diperoleh
MA ^d N = 2xF> + x J ‰F + G ŠdL dan
M E^A d H N = 2xF> + x J ‰F + G ŠdL ,
sehingga
M EA − ^d H N = MA N − 2 MA ^d N +
M EA − ^d H N =MA N − 4xF> − 2x J ‰F + G ŠdL +
2xF> + x J ‰F + G ŠdL
=MA N − 2xF> − x J ‰F + G ŠdL
=MA N − x‡2F> + J ‰F + G ŠdL ˆ.
Karena nilai M EA − ^d H N adalah tidak negatif, maka
MA N − x‡2F> + J ‰F + G ŠdL ˆ≥ 0,
sehingga
MA N ≥ ‡2F> + J ‰F + G ŠdL ˆ,
untuk semua N.
Untuk [ → ∞, maka
2F> + J ‰F + G ŠIL ≤ MA N .
Pertidaksamaan di atas dikenal dengan pertidaksamaan Bessel untuk deret
Fourier. Karena MA N nilainya ada dan berhingga, maka J ‰F +IL
G H menjadi terbatas sehingga J ‰F + G ŠIL konvergen. Oleh karena itu,
kita juga dapat mengatakan bahwa lim →I‡F + G ˆ = 0 atau lim →IF =
lim →IG = 0. ∎
2. Teorema Riemann-Lebesgue dan Akibatnya
Teorema 2.7.2.1 (Teorema Riemann-Lebesgue)
lim →IMA cos N = lim →IMA sin N = 0. (2.32)
Bukti
Telah diketahui bahwa MA cos N merupakan koefisien F dalam deret
kosinus Fourier untuk fungsi f kontinu bagian demi bagian pada selang 0 ≤ ≤
x, dengan mengabaikan nilai pada Persamaan (2.30) jika deret Fourier
terdefinisi pada interval 0 ≤ ≤ dengan = x. Demikian pula
MA sin N merupakan koefisien G dalam deret sinus Fourier untuk
fungsi f kontinu bagian demi bagian pada selang 0 ≤ ≤ x , dengan
mengabaikan nilai pada Persamaan (2.28) jika deret Fourier terdefinisi pada
interval 0 ≤ ≤ dengan = x. Menurut sifat koefisien deret Fourier, jika
→ ∞, maka lim →IF = lim →IG = 0 atau lim →IMA cos N =
lim →IMA sin N = 0. ∎
Teorema 2.7.2.2 (Teorema akibat)
Jika f kontinu bagian demi bagian pada interval 0 ≤ ≤ x, maka
limd→IMA sin dS !N = 0, (2.33)
Bukti
Karena sin Ž + ` = sin Ž cos ` + cos Ž sin `, maka MA sin dS !N
atau MA sin z[ +!{ N dapat ditulis menjadi MA sin z[ +!{ N =
MA sin [ cos!N + MA cos [ sin!N . Karena fungsi cos!
dan sin! adalah fungsi kontinu bagian demi bagian pada interval 0 ≤ ≤
x, maka menurut Teorema 2.7.2.1 dapat ditulis menjadi
MA sin dS !N
= M zA cos!{ sin [ N + M zA sin!{ cos [ N
= 0 + 0
= 0.
Jadi terbukti bahwa limd→IMA sin dS !N = 0. ∎
3. Kernel Dirichlet
Kernel Dirichlet adalah suatu fungsi dengan bentuk •d = +
Jd cos
Teorema 2.7.3.1
Andaikan fungsi •d bersifat kontinu, dan merupakan fungsi genap dan
periodik dengan periode 2x, maka fungsi •d memenuhi sifat-sifat di bawah
ini, yaitu
i. M •> d N =
ii. •d =€…†B dS
• wC
€…†•w , ≠ 0, ±2, ±4, … .
Bukti
i. M •> d N = M B + J> dL cos C N
= M N> + M J> dL cos N
= B C
> + J B sin C> d
L
= B x − 0 C + JdL B sin x − sin 0 C
= .
ii. Akan dibuktikan bahwa •d =€…†B dS
• wC
€…†•w , ≠ 0, ±2, ±4, …. Untuk
membuktikannya, kita akan memperhatikan persamaan berikut.
Untuk = 1,2,3, … , [,
Jd zsin Bz + { C − sin Bz − { C{
L = sin!JdL 2 cos
⇔sin Bz[ + { C − sin z { = sin!JdL 2 cos
⇔ sin Bz[ + { C = sin!JdL 2 cos + sin z {
⇔ sin Bz[ + { C = 2sin!zJdL cos + {
⇔ •d = €…†BzdS j w{!C
€…†•w . ∎
Teorema 2.7.3.2
Andaikan f(x) kontinu bagian demi bagian pada interval 0 ≤ ≤ x, dan turunan
kanan ‡ <’ 0 ˆ ada, maka
limd→IM> •d N = 0S (2.34)
dimana •d adalah Kernel Dirichlet.
Bukti
Andaikan
limd→IM> •d N = “d + ”d ,
dimana
“d = M E> − 0S H•d N dan ”d = M> 0S •d N .
Dengan menggunakan sifat bagian (ii) Kernel Dirichlet yang telah dibahas dalam
“d = M E − 0S H€…†B dS • wC €…†•w N >
= M E@ ! A@ >+ H
€…†•w sin B 2[ + 1 !C N
> (2.35)
Andaikan p =E@ ! A@ >+ H
€…†•w . Kita akan memperlihatkan bahwa F<