IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Perusahaan
Bloop merupakan distribution outlet (distro) pionir di kawasan Jakarta, khususnya di wilayah Tebet. Sebagai salah satu distribution outlet besar dan tertua di Jakarta, Bloop telah membentuk standar yang tinggi dalam persaingan distribution outlet itu sendiri. Saat ini, Bloop yang awalnya menjual produk pakaian jadi untuk pelajar SMP dan SMA, harus menambah jenis produknya mengingat karena kesetiaan konsumen mereka untuk tetap belanja di Bloop walaupun mereka telah lulus dari SMA.
Bloop merupakan salah satu usaha yang berada di bawah payung PT Endorsindo Makmur Selaras (EMS). Bloop didirikan pada September 2003 oleh Theresia Alit Widyasari, Martinus Sunu Susetyo dan Bertolomeus Saksono Jati. Distribution Outlet pakaian yang berlokasi di kawasan Tebet ini menyasar anak-anak muda yang peduli fashion. Kawasan Tebet dipilih karena kestrategisannya. Modal awal mendirikan Bloop adalah sebesar Rp. 21 juta untuk sewa tempat, Rp.50 juta untuk renovasi, Rp.40 juta untuk pengisian barang di awal.
Nama Bloop sendiri menurut Theresia Alit Widyasari dipilih karena mudah disebut dan terdengar seperti harapan hidup. Distribution outlet yang menjual produk hasil produksi jakarta dan bandung ini menyasar segmen pasar usia 15-30 tahun. Untuk memenuhi kebutuhan akan daur hidup mode yang tergolong cepat, rancangan produk dibuat oleh tim desainer khusus.
Dalam pembagian tugas, Martinus Sunu Susetyo bertanggung jawab dalam urusan pengadaan barang dan desain toko, Bertolomeus Saksono Jati bertanggung jawab dalam urusan pengembangan bisnis, keuangan, dan sumber daya manusia, dan Theresia Alit Widyasari bertangung jawab sebagai marketing director. Karyawan yang dipekerjakan di Bloop juga merupakan orang-orang yang kreatif. Ditambah dukungan dari pemilik untuk memiliki usaha sendiri, saat ini beberapa karyawan Bloop telah memiliki penghasilan
sampingan yang lebih besar daripada gaji mereka bekerja karena produk yang mereka buat ternyata diminati oleh banyak konsumen.
Awalnya, produk-produk yang dijual di gerai Bloop berasal dari pemasok Bandung yang transaksinya dilakukan secara beli putus. Namun saat jumlah pengunjung makin bertambah dari waktu ke waktu, akhirnya Bloop memiliki desainnya sendiri. Perkembangan ini terus berlanjut hingga saat ini Bloop telah berhasil merambah pasar luar Jakarta, bahkan mancanegara seperti Singapura dan Malaysia.
Saat ini, Bloop telah menjual 200 merek clothing line dalam tokonya dan dikunjungi oleh sekitar 1.000–1.500 orang pada hari kerja dan lebih dari 2.000 orang pada akhir minggu. Rekor yang pernah terjadi adalah pengunjung yang berjumlah 11.000 orang dalam satu hari pada bulan Ramadhan.
Gambar 5. Struktur organisasi bloop
4.2 Karakteristik Responden
Pada bagian ini akan diberikan gambaran umum mengenai responden. Responden adalah konsumen Gerai Bloop di Tebet Utara Dalam Jakarta no. 22 Jakarta Selatan yang melakukan pembelian saat penelitian sedang dilaksanakan. Total populasi didapat dari rata-rata jumlah konsumen perbulan yang secara keseluruhan mencapai 50.000 orang konsumen dan yang dijadikan contoh adalah sebesar 100 orang konsumen. Deskripsi karakteristik responden diperoleh berdasarkan kuesioner yang disebarkan kepada konsumen gerai Bloop. Gambaran umum yang dipaparkan adalah mengenai jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, frekuensi pembelian, penerimaan per bulan, pengeluaran per bulan, dan pengeluaran per bulan untuk membeli produk pakaian jadi.
Bloop
4.2.1 Jenis Kelamin
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5. Jumlah responden perempuan adalah sebanyak 60 orang atau sebesar 60 persen. Jumlah responden laki-laki adalah sebanyak 40 orang atau sebesar 40 persen.
Tabel 5. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Jumlah Responden
(Orang) Persentase (%)
Laki-laki 40 40
Perempuan 60 60
Total 100 100
Perbandingan jumlah konsumen laki-laki dan perempuan ini diambil berdasarkan pengamatan pihak Gerai Bloop. Hasil pengamatan diketahui berdasarkan wawancara dengan pihak Gerai Bloop tersebut. Pembagian ini dilakukan agar dapat mewakili jumlah konsumen perempuan yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan jumlah konsumen laki-laki.
4.2.2 Usia
Karakteristik responden berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 6. Jumlah usia responden terbesar berada pada kisaran usia 17 -19 tahun yaitu sebanyak 39 orang (39%). Hal ini dapat dijelaskan oleh media promosi dan iklan Gerai Bloop yang biasa dipasang di majalah-majalah remaja dengan segmen pasar usia tersebut.
Tabel 6. Karakteristik responden berdasarkan usia Usia Jumlah Responden
(Orang) Persentase (%) 17 - 19 tahun 39 39 20–22 tahun 37 37 23–25 tahun 15 15 Di atas 25 tahun 9 9 Total 100 100
4.2.3 Frekuensi Pembelian Produk Bloop
Berdasarkan frekuensi pembelian produk Bloop, jumlah responden terbesar berada pada kelompok dengan frekuensi satu kali yaitu sebanyak 67 orang (67%) dan terkecil berada pada kelompok dengan frekuensi pembelian empat kali yaitu sebanyak 3 orang (3%).
Hal ini dapat dijelaskan oleh konsumen yang mayoritas merupakan konsumen tetap. Namun karena mayoritas konsumen adalah pelajar dan mahasiswa dengan penghasilan yang masih sangat terbatas, maka frekuensi pembelian tiap bulan hanya dapat dilakukan sebanyak satu kali saja. Karakteristik responden berdasarkan frekuensi pembelian produk Bloop dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Karakteristik responden berdasarkan frekuensi pembelian produk yang dijual di Bloop per bulan
Frekuensi Pembelian Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) Satu kali 67 67 Dua kali 20 20 Tiga kali 5 5 Empat kali 3 3
Lebih dari empat kali 5 5
Total 100 100
4.2.4 Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, jumlah responden terbesar berada pada kelompok dengan pendidikan yang sedang ditempuh atau terakhir adalah S1 atau sarjana yaitu sebanyak 60 orang (60%) dan terkecil berada pada kelompok dengan pendidikan terakhir lainnya yaitu sebanyak 6 orang (6%). Hal ini disebabkan media promosi yang digunakan oleh Gerai Bloop biasanya adalah majalah atau radio yang biasa didengar oleh konsumen dengan tingkat pendidikan tersebut. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan terakhir dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
Tingkat Pendidikan Terakhir
Jumlah Responden
(Orang) Persentase (%)
SMU atau Sederajat 23 23
D3 11 11
S1 60 60
Lainnya 6 6
4.2.5 Klasifikasi Pekerjaan
Karakteristik responden berdasarkan klasifikasi pekerjaan, mayoritas responden berada pada kelompok pelajar atau mahasiswa sebanyak 71 orang (71%) dan yang terkecil berada pada kelompok pegawai negeri sebanyak 2 orang (2%). Hal ini dikarenakan segmentasi utama yang ditentukan oleh Gerai Bloop merupakan pelajar dan mahasiswa sehingga konsumen paling banyak merupakan pelajar atau mahasiswa. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Karakteristik responden berdasarkan klasifikasi pekerjaan Klasifikasi Pekerjaan Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) Pelajar atau Mahasiswa 71 71 Pegawai Negeri 2 2 Pegawai Swasta 18 18 Wiraswasta 9 9 Total 100 100
4.2.6 Penerimaan per Bulan
Berdasarkan frekuensi penerimaan per bulan, jumlah responden terbesar berada pada kelompok dengan penerimaan Rp. Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 yaitu sebanyak 40 orang (40%) dan terkecil berada pada kelompok dengan penerimaan Rp. 5.000.001 –
Rp. 10.000.000 yaitu sebanyak 2 orang (2%). Karakteristik responden berdasarkan penerimaan per bulan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik responden berdasarkan penerimaan per bulan
Penerimaan per Bulan Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) < Rp. 500.000 15 15 Rp. 500.000–Rp. 1.000.000 40 40 Rp. 1.000.001–Rp. 2.000.000 29 29 Rp. 2.000.001–Rp. 5.000.000 10 10 Rp. 5.000.001–Rp. 10.000.000 2 2 > Rp. 10.000.000 4 4 Total 100 100
4.2.7 Pengeluaran per Bulan
Berdasarkan frekuensi pengeluaran per bulan, jumlah responden terbesar berada pada kelompok dengan pengeluaran Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000yaitu sebanyak 48 orang (48%) dan terkecil berada pada kelompok dengan pengeluaran lebih dari Rp. 10.000.000 yaitu sebanyak 0 orang (0 %). Karakteristik responden berdasarkan pengeluaran per bulan dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Karakteristik responden berdasarkan pengeluaran per bulan
Pengeluaran per Bulan Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) < Rp. 500.000 24 24 Rp. 500.000–Rp. 1.000.000 48 48 Rp. 1.000.001–Rp. 2.000.000 16 16 Rp. 2.000.001–Rp. 5.000.000 9 9 Rp. 5.000.001–Rp. 10.000.000 3 3 > Rp. 10.000.000 0 0 Total 100 100
4.2.8 Pengeluaran per Bulan untuk Membeli Produk Pakaian Jadi Berdasarkan frekuensi pengeluaran per bulan untuk membeli produk pakaian jadi, jumlah responden terbesar berada pada kelompok dengan pengeluaran Rp. 200.001 – Rp. 500.000 yaitu sebanyak 46 orang (46%) dan terkecil berada pada kelompok dengan pengeluaran lebih dari Rp. 2.000.000 yaitu sebanyak 0 orang (0%). Karakteristik responden berdasarkan pengeluaran per bulan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Karakteristik responden berdasarkan pengeluaran per bulan untuk membeli produk pakaian jadi
Pengeluaran per Bulan Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) < Rp. 100.000 5 5 Rp. 100.000–Rp. 200.000 39 39 Rp. 200.001–Rp. 500.000 46 46 Rp. 500.001–Rp. 1.000.000 6 6 Rp. 1.000.001–Rp. 2.000.000 4 4 > Rp. 2.000.000 0 0 Total 100 100
4.3 Analisis Faktor
Sebelum data dianalisis dan diolah, data yang masih berskala ordinal karena menggunakan skala likert diubah terlebih dahulu sehingga menjadi berskala interval. Pengubahan skala data ini dilakukan dengan menggunakan software minitab 14 dan gmacro. Pengubahan skala menjadi interval ini dilakukan mengingat salah satu asumsi dalam analisis regresi berganda adalah variabel terikat merupakan variabel yang bersifat kontinu (Suharyadi dan Purwanto, 2009) sehingga skala likert harus diubah menjadi skala interval terlebih dahulu.
Analisis faktor sendiri digunakan untuk menemukan hubungan (interrelationship) antar sejumlah atribut yang saling independen satu dengan yang lain, sehingga dapat dibuat satu atau beberapa kumpulan atribut yang lebih sedikit dari jumlah atribut awal. Adanya pengelompokan atribut yang berkorelasi cukup kuat tersebut dapat memudahkan produsen dalam merumuskan kebijakan strategi pemasaran yang efektif untuk pemasaran produk pakaian jadi.
4.3.1 Analisis Faktor Motif Kognitif
Atribut awal yang digunakan dalam analisis penelitian tentang motif kognitif adalah kenyamanan produk (atribut 1), kualitas produk (atribut 2), kualitas bahan baku (atribut 3), tingkat kemurahan harga (atribut 4), rekomendasi teman-teman (atribut 5), model produk yang menarik (atribut 6), model sesuai dengan kepribadian konsumen (atribut 7), pembelian lebih dari satu jenis produk (atribut 8), harga yang sesuai dengan kualitas produk (atribut 9), jenis produk yang banyak dan lengkap (atribut 10), serta lebih up to date dibandingkan dengan distro lain (atribut 11). Kesebelas atribut tersebut ditentukan berdasarkan teori motif kognitif yang ada mengenai pengaruh-pengaruh dalam motif kognitif terhadap keputusan pembelian konsumen. Variabel-variabel tersebut telah disesuaikan dengan karakteristik dari produk pakaian jadi yang diteliti.
Berdasarkan hasil penghitungan data, diketahui bahwa
signifikansi 0,000 dan nilai koefisien KMO MSA mencapai 0,790. Karena nilai signifikansi Bartlett Test of Sphericity lebih kecil dari 0,05 (5%) dan nilai MSA lebih besar dari 0,5 maka data yang digunakan layak untuk diuji. Hasil pengolahan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Dapat dilihat pada tabel Anti-image Matrices pada Lampiran 5 seluruh variabel yang dianalisis memiliki nilai MSA > 0,5 (koefisien variabel yang membentuk diagonal dan bertanda “a”) dengan nilai MSA terkecil 0,694 yang artinya seluruh variabel yang diuji layak untuk difaktoranalisiskan. Tabel 13 menunjukkan bahwa atribut dengan nilai communality terbesar adalah kualitas bahan baku. Tingginya nilai communality sendiri menunjukkan sejauh mana suatu atribut berpengaruh terhadap keputusan pembelian. Atribut kualitas bahan baku memiliki nilai communality sebesar 0,809 yang berarti bahwa 80,9% keragaman dari atribut kualitas bahan baku dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang dapat terbentuk.
Atribut ini dinilai paling berpengaruh dapat dikarenakan saat ini terdapat banyak retail yang menjual produk pakaian jadi dengan harga yang bersaing dengan harga yang ditetapkan oleh Gerai Bloop. Retail di sini tidak hanya distribution outlet, namun juga department store dan butik. Namun tidak semua retail menjual produk yang memiliki bahan baku yang berkualitas sehingga nantinya produk akan cepat rusak. Mengingat bahwa responden mayoritas berusia 17 hingga 19 tahun dan masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa dengan pendapatan terbatas, tentunya konsumen akan mencari produk dengan harga terjangkau namun tahan lama agar mereka tidak perlu sering pergi berbelanja.
Tabel 13. Nilai communalities motif kognitif
Variabel Nilai
Communality
kualitas bahan baku 0,809
kualitas produk 0,797
kenyamanan produk 0,708
model produk sesuai dengan kepribadian konsumen
0,616 harga yang sesuai dengan kualitas produk 0,528 produk lebih up to date dibandingkan dengan
distribution outlet lain
0,515
tingkat kemurahan harga 0,475
jenis produk yang banyak dan lengkap 0,468 pembelian lebih dari satu jenis produk 0,427
rekomendasi teman-teman 0,331
model produk yang menarik 0,231
Sumber: Data diolah (2010) 4.3.2 Analisis Faktor Motif Afektif
Atribut awal yang digunakan dalam analisis penelitian tentang motif afektif adalah kekhawatiran akan kualitas produk distribution outlet lain (atribut 1), perasaan mengikuti tren (atribut 2), memperbaiki penampilan (atribut 3), merasa lebih menarik (atribut 4), kualitas yang terasa memuaskan (atribut 5), merasa lebih bergengsi (atribut 6), merasa ingin diterima (atribut 7), pandangan orang lain terhadap dirinya (atribut 8), merasa lebih percaya diri (atribut 9), merasa mirip model atau public figure (atribut 10). Kesepuluh atribut tersebut ditentukan berdasarkan teori motif afektif yang ada mengenai pengaruh-pengaruh dalam motif afektif terhadap keputusan pembelian konsumen. Variabel-variabel tersebut telah disesuaikan dengan karakteristik dari produk pakaian jadi yang diteliti.
Berdasarkan hasil penghitungan data, diketahui bahwa
Bartlett’s Test memiliki nilai chi-square 434,252 dengan nilai signifikansi 0,000 dan nilai koefisien KMO MSA mencapai 0,880. Karena nilai signifikansi Bartlett Test of Sphericity lebih kecil dari 0,05 (5%) dan nilai MSA lebih besar dari 0,5 maka data yang digunakan layak untuk diuji. Hasil pengolahan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.
Dapat dilihat pada tabel Anti-image Matrices pada Lampiran 6 seluruh variabel yang dianalisis memiliki nilai MSA > 0,5 (koefisien variabel yang membentuk diagonal dan bertanda “a”) dengan nilai MSA terkecil 0,795 yang artinya seluruh variabel yang diuji layak untuk difaktoranalisiskan. Tabel 14 menunjukkan bahwa atribut dengan nilai communality terbesar adalah kualitas yang terasa memuaskan dengan nilai communality sebesar 0,750 yang berarti bahwa 70,5% keragaman dari atribut kualitas yang terasa memuaskan dapat dijelaskan oleh dua faktor yang dapat terbentuk.
Atribut ini dinilai paling berpengaruh dapat dikarenakan dengan pendapatan yang terbatas, konsumen cenderung akan memilih produk yang mereka sudah tahu pasti memiliki kualitas yang memuaskan sehingga meminimalkan ketegangan yang dapat timbul akibat produk tidak memuaskan. Apalagi jika mengingat bahwa harga produk yang dijual di kebanyakan distribution outlet cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pusat-pusat perdagangan. Sehingga, untuk mengeluarkan uang sejumlah tersebut, konsumen harus memiliki suatu keyakinan bahwa konsumen akan mendapat kepuasan yang diinginkan setelah membeli produk tersebut. Salah satu pendorong timbulnya keyakinan tersebut antara lain adalah dengan telah merasakan dan membuktikan sendiri tingginya kualitas dari suatu produk.
Tabel 14. Nilai communalities motif afektif
Variabel Nilai
Communality
kualitas yang terasa memuaskan 0,750
pandangan orang lain terhadap dirinya 0,721
merasa lebih bergengsi 0,691
kekhawatiran akan kualitas produk distribution outlet lain
0,664
merasa ingin diterima 0,648
merasa mirip model atau public figure 0,586
merasa lebih percaya diri 0,562
merasa lebih menarik 0,527
perasaan mengikuti tren 0,495
4.4 Analisis Regresi Berganda 4.4.1 Uji Normalitas
Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kurva normal P-Plot. Dapat dilihat pada Gambar 6 bahwa titik-titik berada menyebar di sekitar garis diagonal. Jadi data pada variabel dependen dinyatakan normal
Gambar 6. Uji normalitas 4.4.2 Uji Multikoliearitas
Menurut Nugroho (2005), uji multikolinearitas diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain dalam suatu model. Uji multikolinearitas dapat dilihat dari nilai VIF dan Tolerance seperti yang tercantum pada Tabel 15.
Tabel 15. Uji multikolinearitas
Variabel Kolinear Statistik
TOL VIF
X1 0,641 1,559
X2 0,641 1,559
Sumber: Data diolah (2010)
Dapat dilihat pada tabel hasil perhitungan, nilai VIF dan TOL menunjukkan bahwa nilai TOL tidak kurang dari 0,1 sedangkan nilai VIF bernilai tidak lebih dari 10. Maka dapat disimpulkan bahwa antara variabel independen satu dengan lainnya dalam penelitian ini
tidak saling berkolinearitas atau tidak terjadi multikolinearitas antar variabel independen pada penelitian ini.
4.4.3 Uji Heteroskedastisitas
Pengujian heteroskedastisitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah variasi residual absolut sama atau tidak sama untuk semua pengamatan. Untuk mengetahui ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilihat dalam gambar scatterplot pada Gambar 7.
Dapat dilihat pada Gambar 7 bahwa sebaran data di sekitar angka nol pada sumber Y dan tidak membentuk suatu pola tertentu yang jelas, serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka nol (0) pada sumbu Y. Hal ini berarti tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi, sehingga model regresi layak untuk digunakan dalam penelitian ini.
Gambar7. Uji heteroskedastisitas
4.4.4 Pembahasan Hasil Analisis Regresi Linear Berganda
Setelah 100 responden selesai menjawab kuesioner, jawaban dari kuesioner-kuesioner tersebut didaftar untuk kemudian diolah. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan metode analisis regresi berganda, hubungan antara motif kognitif, motif afektif dan keputusan pembelian dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Motif Kognitif dan Motif Afektif terhadap Keputusan Pembelian Konsumen
Variabel Koefisien
Regresi thitung Taraf Nyata
Konstanta 1,232 4,384 0,000
Motif Kognitif (X1) 0,517 5,189 0,000
Motif Afektif (X2) 0,035 0,415 0,679
Fhitung 23,131 0,000
R2 0,323
Sumber: Data diolah (2010)
Berdasarkan Tabel 15, hasil perhitungan menunjukkan nilai R2 (R Square) adalah 0,323 yang artinya keputusan pembelian konsumen pada gerai Bloop dapat dijelaskan oleh motif kognitif dan motif afektif sebesar 32,3 persen. Sisa sebesar 67,7 persen yang tidak dapat dijelaskan oleh motif pembelian, berarti dijelaskan oleh faktor-faktor lain seperti tekanan sosial, kegiatan pemasaran, sikap konsumen, perilaku konsumen, pengetahuan, preferensi, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Engel, dkk (1994) bahwa banyak faktor dapat membentuk hasil keputusan akhir, tidak hanya motif internal, melainkan juga pengaruh eksternal. Perhitungan lengkap dari hasil pengolahan data ini dapat dilihat pada Lampiran 6. Persamaan regresi berganda yang diperoleh dari hasil pengolahan data ini adalah:
Y = 1,232 + 0,517 X1* + 0,035 X2 Keterangan : * =signifikan pada α = 5%
Berdasarkan persamaan di atas, konstanta dalam persamaan regresi sebesar 1,232 menyatakan bahwa jika tidak ada motif kognitif (X1) ataupun motif afektif (X2), keputusan pembelian konsumen gerai Bloop adalah 1,232. Konstanta sebesar 1,232 artinya adalah jika variabel independen motif kognitif dan motif afektif (X1 dan X2) bernilai 0 (nol), maka tingkat pembelian konsumen (Y) adalah 1,232. Koefisien regresi motif kognitif (X1)adalah 0,517, artinya adalah apabila faktor motif kognitif meningkat sebanyak 1 (satu) unit, maka keputusan pembelian (Y) konsumen akan meningkat sebesar 0,517
Terima H01
Terima Ha1
3,464 23,131
unit. Koefisien regresi motif afektif (X2) adalah 0,035, artinya adalah apabila faktor motif afektif meningkat sebanyak 1 (satu) unit, maka keputusan pembelian (Y) konsumen akan meningkat sebesar 0,035 unit.
Nilai dari koefisien regresi tersebut menunjukkan bahwa motif kognitif berpengaruh lebih dominan terhadap keputusan pembelian dibandingkan dengan motif afektif. Hal ini dapat dilihat dari koefisien regresi motif kognitif yang lebih besar dibandingkan dengan koefisien regresi motif afektif.
4.5 Uji Serempak (Uji F)
Hasil uji F diperoleh Fhitungsebesar 23,131 dengan taraf nyata 0,000. Karena taraf nyata 0,000 jauh lebih kecil dari nilai alpha yang digunakan yaitu 0,05, maka motif kognitif dan motif afektif secara bersama-sama berpengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen (H01 ditolak). Penolakan H01 ini juga dapat dilihat dari Gambar 8 yang menunjukkan bahwa nilai Fhitung yang lebih besar daripada nilai Ftabel sebesar 3,464 membuat nilai Fhitungberada pada daerah menolak H01atau menerima Ha1.
Gambar 8. Daerah keputusan menerima hipotesis dalam uji F untuk motif kognitif dan motif afektif
4.6 Uji Parsial (Uji t)
Hasil dari uji t motif kognitif (X1) diperoleh hasil bahwa H02 ditolak. Hal ini dapat dilihat dari taraf nyata untuk motif kognitif sebesar 0,000 lebih kecil dari nilai alpha yang digunakan yaitu 0,05 dan nilai thitung yaitu 5,189 yang lebih besar daripada nilai t tabel yaitu 1,987. Secara jelas, keputusan H02 ditolak ini juga dapat dilihat pada Gambar 9. Dari Gambar 9 tersebut, dapat dilihat bahwa nilai thitungberada pada daerah tolak H02atau terima Ha2.
Dengan begitu, motif kognitif secara parsial berpengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen gerai Bloop.
Gambar 9. Daerah keputusan menerima hipotesis dalam uji t untuk motif kognitif
Hasil dari uji t motif afektif (X2) diperoleh hasil bahwa H03 diterima. Hal ini dapat dilihat dari taraf nyata untuk motif afektif sebesar 0,679 lebih besar dari nilai alpha yang digunakan yaitu 0,05 dan nilai thitung yaitu 0, 415 yang lebih kecil daripada nilai ttabel yaitu 1,987. Secara jelas, keputusan H03 diterima ini juga dapat dilihat pada Gambar 10. Dari Gambar 10 tersebut, dapat dilihat bahwa nilai thitung berada pada daerah terima H03. Dengan begitu, motif afektif secara parsial tidak berpengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen Gerai Bloop.
Gambar 10. Daerah keputusan menerima hipotesis dalam uji t untuk motif afektif
Faktor motif kognitif merupakan satu-satunya motif yang memiliki pengaruh terhadap keputusan pembelian. Penyebab mengapa hanya motif kognitif yang berpengaruh dan motif afektif tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap keputusan pembelian dapat diduga dari analisis beberapa karakteristik responden seperti usia, frekuensi pembelian, penerimaan konsumen, dan pengeluaran konsumen untuk membeli produk pakaian jadi.
Usia responden yang telah berada di atas 17 tahun dapat membantu menganalisis mengapa motif kognitif berpengaruh sedangkan motif afektif
Terima H03 Terima Ha3 Terima Ha3 -1,987 0,415 1,987 1,987 Terima H02 Terima Ha2 Terima Ha2 -1,987 5,189
tidak berpengaruh. Dengan usia di atas 17 tahun, konsumen dianggap telah dapat berfikir secara rasional sehingga hanya membeli produk yang dianggap memberi manfaat kepada konsumen secara nyata, tidak hanya memberi konsumen manfaat secara psikologis (hedonic). Apalagi, konsumen mayoritas merupakan pelajar atau mahasiswa dengan pendapatan yang masih sangat terbatas sehingga pengambilan keputusan harus dilakukan dengan cermat agar manfaat yang didapat sesuai dengan jumlah uang yang dikeluarkan.
Berdasarkan karakteristik frekuensi pembelian, dapat dilihat bahwa mayoritas responden yaitu sebesar 67 orang (67%) berbelanja di Gerai Bloop satu kali tiap bulannya, dan sisanya berbelanja lebih dari satu kali tiap bulannya di gerai Bloop. Hal ini dapat menandakan bahwa konsumen gerai Bloop merupakan konsumen yang loyal karena selalu menyempatkan diri untuk berbelanja di Gerai Bloop setiap bulannya. Dari sini dapat diduga bahwa produk yang dijual di Gerai Bloop memiliki nilai tambah dibandingkan dengan produk di gerai lain.
Pendapatan dari mayoritas responden yang merupakan konsumen gerai Bloop adalah Rp. 500.000– Rp. 1.000.000, dan pengeluaran per bulan untuk membeli produk pakaian jadi adalah Rp. 200.001 –Rp. 500.000, yang berarti minimal konsumen mengeluarkan sekitar 20 persen dari pendapatannya untuk membeli produk pakaian jadi. Persentase yang cukup besar ini ditambah dengan loyalitas konsumen Gerai Bloop mengindikasikan bahwa konsumen gerai Bloop benar-benar mengandalkan motif kognitif atau rasionalnya dalam berbelanja di Gerai Bloop. Hal ini juga dapat disimpulkan dengan mengingat konsumen Gerai Bloop yang mayoritas merupakan pelajar atau mahasiswa (71%) dengan penghasilan terbatas akan lebih memikirkan kualitas agar pakaian jadi yang mereka pakai tidak cepat kehilangan manfaatnya, dibandingkan dengan produk yang mengandalkan prestise dengan kualitas yang tidak jauh berbeda, namun dengan harga yang cenderung lebih mahal.
4.7 Pembahasan dan Implikasi Manajerial 4.7.1 Pembahasan
Hasil uji instrumen yang dilakukan menunjukkan bahwa seluruh instrumen pada penelsitian ini valid dengan rhitung > rtabel. Untuk semua instrumen pada penelitian ini memiliki angka reliabilitas > 0,6 sehingga seluruh instrumen dapat dinyatakan handal. Adapun penelitian ini dilakukan untuk untuk menjawab rumusan masalah mengenai motif kognitif dan afektif konsumen yang mempengaruhi konsumen dalam pembuatan keputusan pembelian produk pakaian jadi yang dijual di Gerai Bloop, bagaimana pengaruh motif kognitif dan motif afektif terhadap pembuatan keputusan pembelian produk pakaian jadi yang dijual di Gerai Bloop, dan motif apakah yang berpengaruh paling dominan terhadap pembuatan keputusan pembelian produk pakaian jadi yang dijual di Gerai Bloop. Metode analisis data yang digunakan untuk membantu pengolahan data dalam penelitian ini adalah analisis faktor, analisis regresi linier berganda, uji t, dan uji F.
Berikut merupakan pembahasan jawaban rumusan masalah dalam penelitian ini. Hasil analisis faktor untuk mengidentifikasi atribut motif kognitif dan motif afektif yang paling berpengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen didapatkan bahwa untuk motif kognitif, atribut yang paling berpengaruh adalah kualitas bahan baku, yang diikuti dengan atribut kualitas produk dan kenyamanan produk. Untuk motif afektif, atribut yang paling berpengaruh adalah kualitas yang terasa memuaskan, diikuti dengan pandangan orang lain dan merasa lebih bergengsi. Hasil ini ditunjukkan oleh tingginya nilai communality yang didapat untuk atribut-atribut di atas.
Hasil uji asumsi klasik yaitu uji normalitas, uji multikolinearitas, dan uji heteroskedastisitas menunjukkan bahwa data penelitian tidak memliki masalah pelanggaran asumsi, sehingga layak untuk dianalisis lebih lanjut. Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data, diketahui bahwa variabel motif kognitif dan motif
afektif dapat menjelaskan variabel keputusan pembelian sebesar 32,3 persen. Hal ini berarti sisa 67,7 persen lainnya dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lain seperti sikap konsumen, pengetahuan konsumen, strategi promosi, dan lain-lain.
Uji F dan uji t dilakukan untuk melihat apakah variabel motif kognitif (X1) dan motif afektif (X2) berpengaruh baik secara serempak maupun secara parsial terhadap keputusan konsumen dalam membeli produk pakaian jadi yang dijual di Gerai Bloop. Berdasarkan hasil olahan uji F pada Tabel 15, didapatkan bahwa signifikansi Fhitung sebesar 0,000 < 0,005 yang berarti bahwa variabel independen atau X memiliki pengaruh secara serempak terhadap variabel dependen atau Y. Untuk hasil olahan uji t pada Tabel 15 menunjukkan bahwa hanya satu dari dua variabel dependen yang mempengaruhi variabel independen. Variabel yang berpengaruh tersebut adalah motif kognitif (X1). Artinya secara parsial motif kognitif berpengaruh terhadap keputusan pembelian, sedangkan motif afektif secara parsial tidak berpengaruh terhadap keputusan pembelian.
Rumusan masalah yang terakhir dapat dijawab dengan melihat koefisien regresi yang paling besar. Dapat dilihat juga di Tabel 15 bahwa koefisien regresi paling besar ditunjukkan oleh motif kognitif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa motif kognitif memiliki pengaruh yang lebih dominan dibandingkan dengan motif afektif terhadap keputusan pembelian produk pakaian jadi di Gerai Bloop.
Penelitian ini dapat membuktikan bahwa motif pembelian berpengaruh terhadap keputusan konsumen. Seperti yang dikatakan Loudon dan Della Bitta (1993) bahwa motif memiliki fungsi dan peran dalam mengidentifikasi produk sebagai objek tujuan.
Dalam penelitian ini hanya motif kognitif saja yang berpengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen, yang berarti bahwa konsumen lebih menggunakan motif rasionalnya dibandingkan dengan motif emosional. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kotler (2007) yang menyatakan bahwa proses evaluasi alternatif konsumen
dalam proses pengambilan keputusan konsumen dipandang sebagai proses yang berorientasi kognitif yaitu konsumen membentuk penilaian atas produk dengan sangat sadar dan rasional.
4.7.2 Implikasi Manajerial
Keputusan konsumen dalam melakukan pembelian barang atau jasa dipegaruhi oleh berbagai macam faktor. Seperti yang dikatakan oleh Kotler (2007), perilaku pembelian konsumen dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial, pribadi, dan psikologis. Faktor-faktor tersebut tentunya harus dipahami oleh perusahaan untuk kemudian dipengaruhi melalui kegiatan-kegiatan pemasaran perusahaan.
Loudon dan Della Bitta (1993) menyebutkan bahwa motif terbagi dua, yaitu pola-pola yang disederhanakan dan pola komprehensif. Pola komprehensif dapat dibagi menjadi motif kognitif dan motif afektif dimana masing memiliki pengaruh masing-masing terhadap perilaku konsumen. Motif kognitif menunjukkan pengaruh ketetapan, sifat, pengelompokkan, obyektivitas, otonomi, pencarian, kesesuaian, dan manfaat. Motif afektif menunjukkan pengaruh pengurangan ketegangan, ekspresi diri, pertahanan diri, menguatkan, penegasan, keanggotaan, pembentukan identitas, dan model.
Gerai Bloop dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas sumber daya dengan memperhatikan motif pembelian konsumen,, sehingga diharapkan baik secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan dan pangsa pasar. Dari penelitian pun telah terbukti bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel motif pembelian terhadap keputusan pembelian konsumen.
Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa atribut yang paling berpengaruh dalam variabel motif kognitif adalah kualitas bahan baku dan atribut yang paling berpengaruh dari motif afektif adalah kualitas yang terasa memuaskan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasution (2005) bahwa pentingnya kualitas daapt dijelaskan
dari dua sudut, yaitu dari sudut manajemen operasional dan manajemen pemasaran. Dilihat dari sudut manajemen operasional, kualitas produk merupakan salah satu kebijaksanaan penting dalam meningkatkan daya saing produk yang harus memberikan kepuasan kepada konsumen melebihi atau paling tidak sama dengan kualitas produk pesaing. Dilihat dari sudut manajemen pemasaran, kualitas merupakan salah satu unsur utama dalam bauran pemasaran, yaitu produk, harga, promosi, dan saluran distribusi yang dapat meningkatkan volume penjualan dan memperluas pangsa pasar perusahaan.
Kualitas produk sendiri menurut Juran dalam Nasution (2005) merupakan kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Kecocokan penggunaan suatu produk adalah apabila produk mempunyai daya tahan penggunaan yang lama, tidak mudah rusak, dan adanya jaminan kualitas. Kecocokan penggunaan produk juga memiliki dua aspek uama yaitu memenuhi tuntutan pelanggan dan tidak memiliki kelemahan.
Berdasarkan hasil pengolahan data dan teori tersebut, maka Gerai Bloop sebaiknya menyeleksi dengan ketat produk-produk yang dijual di gerainya, apakah memiliki bahan baku berkualitas tinggi atau tidak. Kualitas bahan baku ini sangat berpengaruh mengingat keawetan produk dan manfaat yang bisa didapat dari produk juga dipengaruhi oleh kualitas bahan baku. Hal ini dapat ditanggapi oleh Gerai Bloop dengan mengadakan kegiatan promosi sehingga konsumen baru dapat merasakan kualitas produk yang dijual di Gerai Bloop. Dengan merasakan kualitas tersebut, diharapkan konsumen akan melakukan kegiatan pembelian ulang, dan akhirnya menjadi konsumen loyal Gerai Bloop.
Gerai Bloop juga dapat memberikan garansi atas produk yang dijualnya, sehingga konsumen merasa memiliki tambahan perlindungan akan produk yang mereka beli selama jangka waktu tertentu. Mengingat bahwa faktor kualitas merupakan faktor yang
paling penting, faktor ini juga harus terkomunikasikan dengan baik dalam media promosi Gerai Bloop sehingga konsumen dapat menangkap bahwa Gerai Bloop memiliki keunggulan dibandingkan dengan distribution outlet lainnya dalam hal menjaga kualitas produk yang dijual di gerainya.
Variabel motif afektif secara keseluruhan diketahui tidak menunjukkan angka yang signifikan pada penelitian ini. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi t yang lebih besar daripada nilai alpha yang digunakan yaitu 0,05. Hal ini dapat diartikan bahwa variabel periklanan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian konsumen gerai Bloop. Kondisi ini dapat disebabkan karena konsumen yang lebih mementingkan motif rasional dibandingkan dengan motif emosional, sehingga konsumen kurang peduli terhadap emosi yang didapat saat menggunakan produk yang dijual di Gerai Bloop, ataupun public figure yang juga memakai produk Bloop.
Melihat hal ini, dapat diartikan bahwa saat ini atribut-atribut motif kognitif seperti kualitas bahan baku, kualitas produk, kenyamanan produk, model produk, harga produk, kelengkapan jenis produk, dan rekomendasi teman konsumen merupakan hal yang lebih penting bagi konsumen. Untuk itu, Gerai Bloop sebaiknya memperhatikan kualitas produk yang dijual di tokonya, dan menambah jenis produk yang dijual sehingga konsumen merasa dapat membeli produk-produk pakaian yang diinginkannya hanya dengan pergi ke satu gerai, yaitu Gerai Bloop.
Gerai Bloop juga harus tetap selektif dalam memilih model produk yang akan dijual di Gerai Bloop mengingat bahwa model produk juga menentukan keputusan pembelian konsumen. Penetapan harga pun harus dilakukan secara hati-hati oleh Gerai Bloop mengingat Gerai Bloop bersaing tidak hanya dengan distribution outlet lain, tetapi juga dengan retail lain yang juga menjual produk pakaian jadi. Untuk hal ini, Gerai Bloop dapat mendiskon
produk-produknya saat retail lain tidak sedang mendiskon produk mereka, atau memberi potongan harga kepada konsumen loyal Gerai Bloop.
Gerai Bloop hendaknya juga meningkatkan loyalitas konsumen sehingga konsumen pada akhirnya merekomendasikan gerai Bloop sebagai gerai yang baik untuk tempat berbelanja produk pakaian jadi. Hal ini harus dilakukan mengingat rekomendasi teman-teman konsumen ikut memiliki pengaruh terhadap keputusan konsumen, sesuai dengan pernyataan Kotler (2007) dimana informasi yang paling efektif berasal dari sumber pribadi atau sumber publik yang merupakan wewenang independen. Informasi komersial biasanya menjalankan fungsi pembeli informasi, dan sumber pribadi menjalankan fungsi legitimasi atau evaluasi. Selain itu, Gerai Bloop juga tidak perlu melakukan iklan secara berlebihan atau kegiatan yang melibatkan model atau public figure untuk memakai produk yang dijual di Gerai Bloop mengingat hal tersebut tidak signifikan dalam mempengaruhi keputusan pembelian konsumen.