PENGARUH POLA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN
AYAM KAMPUNG YANG DISELEKSI UNTUK
MENGURANGI SIFAT MENGERAM
(The Effect of Dietary Regimes on the Growth of Kampung Chicken Selected
for Reduced Broodiness)
SOFJAN ISKANDAR danDESMAYATI ZAINUDDIN
Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT
At least 370-day-old chicks of kampung chicken selected for reduced broodiness (F6) and at least 200-day-old chicks of control population (CP) kampung chicken obtained from 10 hatches were allocated to experimental design as 2 (dietary regimes) x 2 (lines) x 10 (hatches as replication) with 10 unsexed chicks per replication. The birds were raised in wire colony cages placed in a well ventilated-concrete building up to 10 weeks of age. The females were separated from the males and kept up to 14 weeks of age in the same building then moved to individual cages in the layer house. First dietary regime consisted of 20% crude protein (cp) ration for chicks 0-6 weeks of age, followed with 17% cp for 6−14 week of age, then 14% cp ration for 14−18 weeks of age. The second regime consisted of 19% cp ration for chicks 0-6 weeks of age, followed by 17% cp for chicks 6−10 weeks of age, then 15% cp for chicks 10−14 of age, and 13.2% cp for chicks 14−18 of age. All rations contained 2850 kcal ME/kg with lysine, methionine, calsium, and phosphorus and micro minerals formulated, as recommended for light improved laying type of chicken, the same throughout the rations. Diets and water were served ad libitum. Sanitation, and diseases break prevention were carried out following intensive chicken husbandry procedures. The results showed that average bodyweight, feed consumption, feed conversion ratio, and number of birds survived statistically were not significantly (P>0.05) affected neither by dietary regimes nor by bird lines. There was not significant interaction between dietary regimes and bird lines. The performance of birds at 6, 10, 14, and 18 weeks of age, in term of grand means figures of the whole birds, showed that age respective bodyweights (gram/bird) were 169 (cv 23%), 431 (cv, 21%), 683 (cv 16%) and 832 (cv 13%). The age respective feed consumptions (gram/bird) were 750 (cv 13%), 1732 (cv 14%), 3016 (cv 11%) and 4529 (cv 13%). The age respective feed conversion ratios (gram feed/gram bodyweight gain) were 5.53 (cv 24%), 4.36 (cv 24%), 4.72 (cv 32%), and 5.57 (cv 19%). The number of bird survive up to 6 and 10 weeks of age (calculated per 10 birds) and up to 14 and 18 weeks of age (calculated per 5 birds) were 86% (cv 22%), 66% (cv 25%), 90% (cv 23%), and 80% (cv
25%), respectively for age 6, 10, 14 and 18 weeks.
Key words: Selected kampung chicken, dietary regime, growth ABSTRAK
Sebanyak 370 anak ayam umur sehari (F6) dari induk ayam kampung hasil seleksi (Generasi ke 5) di Balai Penelitian Ternak dan 200 anak ayam umur sehari dari tetua kontrol populasi (KP) yang diperoleh dari 10 kali penetasan dialokasikan pada satu rancangan percobaan 2 galur (F6 dan KP) x 2 pola ransum (Pola 1 dan 2) x 10 ulangan (penetasan) dengan masing-masing ulangan berisi 10 ekor anak ayam umur sehari (jantan betina dicampur), dipelihara dalam kandang koloni kawat dalam bangunan tertutup cukup ventilasi, penghangat dan penerangan sampai umur 10 minggu. Pada umur tersebut ayam-ayam betina muda dipisahkan dari jantannya dan ditempatkan dalam kandang batere dalam bangunan berdinding kawat. Pola ransum 1 terdiri dari ransum berprotein kasar 20% (untuk umur 0−6 minggu), 17% (untuk umur 6-14 minggu) dan 14% (untuk umur 14−18 minggu), sementara itu pola ransum 2 terdiri dari ransum berprotein kasar 19 % (untuk umur 0−6 minggu), 17% (untuk 6−10 minggu), 15% (untuk 10−14 minggu) dan 13,2% (untuk umur 14−18 minggu). Kandungan energi (2850 kkal ME/kg), asam amino lysine, methionine, kalsium, fosfor, vitamin dan mineral mikro diformulasikan sama untuk semua ransum pada tingkat yang direkomendasikan uantuk tipe petelur ras ringan. Ransum dan air minum diberikan ad libitum selama masa percobaan. Pencegahan penyakit dilaksanakan sesuai dengan prosedur baku pemeliharaan ayam secara intensif. Individu ayam dan konsumsi per kelompok ulangan ditimbang dan jumlah ayam hidup dicatat mingguan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perbedaan pertumbuhan, konsumsi ransum, efisiensi penggunaan ransum (FCR) dan daya hidup kedua galur ayam (F6 versus KP) secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Begitu juga dengan pengaruh pola ransum dan interaksi antara galur x ransum. Nilai rata-rata kinerja oleh karena itu merupakan nilai rata-rata secara keseluruhan (grand mean) yang dikemukakan berdasarkan urutan umur 6 dan 10 minggu (campuran jantan dan betina), 14 dan 18 minggu (ayam dara). Rata-rata bobot badan (gram/ekor) masing-masing urutan umur mencapai 169 (coefisien variation, cv 23%), 431 (cv 21%), 683 (cv 16%) dan 832 (cv 13%). Rata-rata konsumsi ransum (gram/ekor) masing-masing urutan umur mencapai 750 (cv 13 %), 1732 (cv 14%), 3016 (cv
11%) dan 4529 (cv 13%). Rata-rata FCR (gram ransum/gram pertambahan bobot badan) masing-masing urutan umur mencapai 5,53 (cv 24%), 4,36 (cv 24%), 4,72 (cv 32%) dan 5,57 (cv 19%). Rata-rata ayam hidup per 10 ekor untuk umur 6 dan 10 minggu dan per 5 ekor untuk umur 14 dan 18 minggu, masing-masing urutan umur mencapai 86% (cv 22%), 66% (cv 25%), 90% (cv 23%), 80% (cv 25%).
Kata kunci: Ayam-kampung-F6, pola-ransum, pertumbuhan
PENDAHULUAN
Salah satu faktor yang menentukan
produksi dan bobot telur adalah ukuran rangka,
atau dimanifestasikan sebagai bobot badan
maksimum pada ayam ras petelur dara pada
umur 18 minggu (L
EESONdan S
UMMERS, 1991).
Adapun bobot ayam hasil seleksi sampai
generasi ke empat (G4) pada saat keluar telur
pertama berkisar antara 1200–1250 gram/ekor
(Z
AINUDDIN, 2003 Pers.Com.). Pola pemberian
pakan selama pertumbuhan (masa
starter,
grower
dan
developer
) sangat penting dalam
mempersiapkan ayam-ayam petelur yang sehat.
Pencapaian bobot dewasa kelamin yang tepat
target atau sedikit lebih tinggi sangat diharapkan
untuk menunjang perteluran yang baik, sehingga
ayam-ayam yang kecil di bawah target bobot
harus dikeluarkan dari kelompok (S
WARBRICK,
1996). Sementara ayam-ayam yang telalu
gemukpun pada saat dewasa kelamin tidak
akan menunjang perteluran yang baik (L
EESONdan S
UMMERS, 1991). Pola pemberian ransum
yang tepat untuk persiapan tersebut di atas
perlu diketahui, tentu saja dengan pertimbangan
pada kekhususan ayam kampung yang termasuk
pada golongan tipe ringan, yang sementara ini
ketersediaan informasinya masih langka.
Protein dan energi ransum sangat
berpengaruh pada pencapaian target bobot
pullet. L
EESONet al
. (1993) melaporkan bahwa
ransum protein rendah (15% CP) pada masa
starter
, meskipun diberikan dengan cukup lisin
dan methionin, menurunkan bobot target,
karena ayam kekurangan asam amino lainnya.
Bahkan kelebihan lisin di atas 1%
menyebabkan bobot badan turun karena
kemungkinan terjadi antagonis dengan arginin.
Disamping itu pula dilaporkan bahwa
konsumsi energi lebih penting dari pada
protein pada saat ayam mendekati dewasa
kelamin (L
EESONdan S
UMMERS, 1981).
C
ANTORand J
OHNSON(1985) dan H
USSEINet
al
. (1996) melaporkan bahwa pola pemberian
protein ransum yang meningkat (
step up
)
ternyata menurunkan bobot badan pada umur
20 minggu dan menurunkan produksi telur,
sementara pemberian protein yang tetap
(
constant
) pada tingkat 16% tidak menurunkan
bobot badan 20 minggu tidak pula produksi
telur dibandingkan dengan pola pemberian
yang menurun (
step down
).
Dalam rangka melengkapi rekomendasi
teknologi bibit ini, rekomendasi pola pemberian
pakan optimum dalam mendukung produksi
telur yang maksimum perlu diupayakan.
MATERI DAN METODE
Sebanyak 370 anak ayam umur sehari F6
yang merupakan hasil perkawinan ayam G5
yang telah diseleksi untuk produksi telur 6
bulan dan mengurangi sifat mengeram
(G
UNAWANet al
. 2003) dan 200 ekor anak
ayam umur sehari dari kelompok kontrol
populasi (KP) diperoleh dari 10 kali penetasan.
Ayam dipelihara dalam kandang koloni kawat
kapasitas 10 ekor sampai umur 10 minggu.
Ukuran masing-masing koloni kawat adalah 35
cm x 45 cm x 35 cm. Kandang koloni tersebut
ditempatkan dalam bangunan tembok yang
dilengkapi dengan ventilasi dan penerangan
yang cukup. Pada saat ayam mencapai umur 10
minggu, ayam betina dipisahkan dari yang
jantannya dan masih tetap dipelihara dalam
kandang koloni sampai umur 14 minggu,
setelah itu dipindahkan ke dalam kandang
batere dalam bangunan kandang ayam petelur
berdinding kawat.
Tabel 1. Ransum percobaan
Pola ransum 1 Pola ransum 2
Untuk umur (minggu)
0−6 6−14 14−18 0−6 6−10 10−14 14−18 Bahan pakan Jagung (%) 52,3 57,8 55,5 54,8 57,8 55,1 57,4 Dedak (%) 6,0 10,8 18,8 5,9 10,8 18,0 24,4 Bungkil kelapa (%) 5,0 5,0 6,0 5,0 5,0 5,5 Minyak (%) 1,5 0,7 1,2 1,4 0,7 1,0 0,5 Bungkil kedele (%) 25,5 15,6 10,0 25,0 15,6 11,2 10,0 Tepung ikan (%) 7,3 8,0 5,6 5,6 8,0 6,8 5,1 CaCO3 (%) 1,3 1,3 1,4 1,0 1,3 1,3 1,3 Tepung tulang (%) 0,8 0,5 0,8 1,0 0,5 0,5 1,0 Topmix (%) 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 L-Lysine (%) 0,3 0,3 Dl-Methionine (%) 0,1 Total (%) 100 100 100 100 100 100 100 Protein kasar (%) 20,0 17,0 14,0 19,0 17,0 15,0 13,2 ME (kkal/kg) 2850 2849 2844 2850 2849 2850 2850 Kalsium (%) 1,0 1,0 1,1 0,9 1,0 1,0 1,2 Fosfor (%) 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 Lisin (%) 0,8 1,0 0,9 1,1 1,0 1,0 0,8 Metionine (%) 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3 Serat kasar (%) 3,6 3,6 4,2 3,6 3,6 4,2 4,7
Dua perlakuan pola ransum yang diberikan
berdasarkan urutan umur, terdiri atas: Pola I
yang terdiri atas ransum
starter
, dengan 20%
protein kasar untuk umur 0
−
6 minggu,
kemudian ransum
grower
dengan 17% protein
kasar untuk umur 6
−
14 minggu, dan
selanjutnya ransum
developer
dengan 14%
protein kasar untuk umur 14
−
18 minggu. Pola
II yang terdiri atas ransum
starter
dengan 19%
protein kasar untuk umur 0
−
6 minggu,
kemudian ransum
grower
awal dengan 17%
protein kasar untuk umur 6
−
10 minggu,
dilanjut dengan ransum
grower
akhir dengan
15% protein kasar untuk umur 10
−
14 minggu,
dan selanjutnya ransum
developer
dengan 13%
protein kasar untuk umur 14
−
18 minggu.
Kandungan energi metabolis sebanyak 2850
kkal/kg dipertahankan sama untuk semua
ransum, sementara metionin dan lisin diatur
proporsional terhadap kandungan protein kasar
dan kandungan gizi lainnya dipertahankan
pada tingkat yang sama untuk semua perlakuan
ransum (Tabel 1). Parameter yang diukur:
Bobot badan, konsumsi ransum,
feed
conversion ratio
(FCR) dan jumlah ternak
hidup pada umur 6, 10, 14 dan 18 minggu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot badan umur 6, 10, 14 dan 18 minggu
yang dikelompokkan berdasarkan perlakuan
disajikan pada Tabel 2. Hasil analisa
keragaman pada taraf nyata 5 %, ternyata tidak
memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata
kelompok galur, pola perlakuan ransum,
maupun interaksi antara galur x pola ransum
pada bobot badan umur 6, 10, 14 dan 18
minggu. Apabila dilihat dari rata-rata bobot
badan umur 18 minggu yang tidak mencapai
satu kg/ekor, maka terlihat bahwa ayam-ayam
ini memang masuk pada ayam tipe ringan. Bila
dibandingkan dengan ayam ras tipe ringanpun
(1,2–1,5 kg/ekor) ayam F6 maupun KP ini
masih terlalu ringan, sehingga diperkirakan
ayam-ayam ini diduga tidak akan terlambat
bertelur karena ukuran tubuh yang relatif
terlalu kecil (L
EESONdan S
UMMERS, 1991).
Bobot ayam F6 dan KP ini relatif rendah
apabila dibandingkan dengan hasil percobaan
G
UNAWANet al
. (2001) yang pada kondisi
peternak dengan sistem pemeliharaan intensif
dapat mencapai bobot rata-rata 1,3 kg/ekor
untuk campuran ayam kampung jantan betina.
Begitu juga dengan yang dilaporkan
C
RESWELLdan G
UNAWAN(1982) yang
mencapai bobot 932 gram/ekor untuk ayam
kampung pada umur 16 minggu dan juga yang
dilaporkan oleh G
UNAWANdan M
ATONDANG(2002) pada ayam kampung yang juga
dipelihara secara intensif. Rendahnya bobot
ayam F6 dan KP ini besar kemungkinan
dipengaruhi oleh adanya serangan penyakit
snot
pada umur 3–9 minggu yang dapat
menekan konsumsi ransum dan menghambat
pertumbuhan maksimal. Disamping itu,
terbatasnya telur tetas karena terbatasnya
induk-induk G5 menyebabkan panjangnya
kelompok penetasan (10 penetasan), sehingga
ayam-ayam dengan berbagai umur terpaksa
dipelihara dalam satu kandang. Kondisi ini
secara umum menyebabkan mudahnya
berjangkit penyakit. Pertumbuhan yang diduga
kurang maksimal ini diperlihatkan juga oleh
tingginya keragaman bobot badan (koefisien
variasi = kv 20%) sampai dengan umur 10
minggu dan mulai menurun pada umur
berikutnya sebagai akibat berkurangnya
ayam-ayam kecil yang tidak dapat bertahan hidup.
Tidak nyatanya perbedaan galur ini, diduga
sudah terjadinya suatu adaptasi KP pada
kondisi intensif juga tentunya dipengaruhi oleh
keragaman yang cukup tinggi dengan koefisien
variasi berkisar antara 13–20%.
Tabel 2. Bobot badan ayam hasil seleksi untuk mengurangi sifat mengeram (F6) dan kontrol populasi (KP) pada dua pola ransum pertumbuhan
Bobot badan Faktor Umur 6 minggu Umur 10 minggu Umur 14 minggu Umur 18 minggu Total Rata-rata (g/ekor) 169 431 683 832 Koefisien variasi (%) 23 21 16 13 Galur (G)1) F6 (g/ekor) 1702) 425 678 853 KP (g/ekor) 169 439 688 812 SE (g/ekor) 39 92 111 109 Pola ransum (R)3) Pola 1 (g/ekor) 167 425 677 827 Pola 2 (g/ekor) 172 438 690 839 SE (g/ekor) 39 91 110 108 Interaksi G x R tn4) tn tn tn
1) F6= turunan ayam yang diseleksi untuk mengurangi sifat mengeram, KP= ayam-ayam kampung kontrol populasi yang tidak diseleksi; SE= Standard error
2) Nilai rata-rata dalam kelompok dan kolom yang sama secara statistik tidak berbeda nyata (P>0.05) 3) Pola ransum 1 = starter 20% protein kasar (PK) untuk umur 0-6 minggu, grower 17% PK untuk umur 6−14
minggu, developer 14% PK untuk umur 14−18 minggu. Pola ransum 2 = starter 19% PK untuk umur 0-6 minggu, grower-1 17% PK untuk umur 6−10 minggu, grower-2 15% PK untuk umur 10−14 minggu,
developer 13,2% PK untuk umur 14−18 minggu. Kandungan gizi lainnya untuk seluruh ransum sama 4) tn= tidak nyata (P>0,05)
Perlakuan pola ransum tidak nyata
mempengaruhi bobot badan 6, 10, 14 maupun
18 minggu. Kenyataan inipun menunjukkan
bahwa pola ransum 2 yang mengandung
protein kasar 19% untuk umur 0
−
6 minggu,
kemudian 17% untuk umur 6
−
14 minggu, lalu
14% untuk umur 14
−
18 minggu dapat
dikatakan cukup optimum untuk mendukung
pertumbuhan untuk mencapai bobot badan di
bawah satu kilogram per ekor pada umur 18
minggu. Perbedaan respon pertumbuhan
terhadap pola ransum yang tidak nyata ini
besar kemungkinan disebabkan oleh kecilnya
perbedaan kandungan protein ransum pada
kedua pola. Ayam kampung dilaporkan dapat
bertahan pada kandungan protein ransum
15
−
17% untuk umur 0
−
12 minggu dan 14%
untuk umur 12
−
22 minggu (S
INURAT, 1991),
sehingga besar kemungkinan tingkat protein
ransum yang diberikan pada ayam percobaan
ini lebih tinggi dan tidak dapat memperbaiki
pertumbuhan karena potensi genetik untuk
pertumbuhan sudah dapat dicapai dengan
protein ransum 15
−
17%.
Konsumsi ransum kumulatif kedua galur
ayam kampung diukur pada umur 6, 10, 14 dan
18 minggu disajikan dalam Tabel 3. Hasil
analisa keragaman menunjukkan bahwa galur
dan pola ransum tidak berpengaruh nyata
(P>0,05) terhadap konsumsi kumulatif, begitu
juga dengan interaksi kedua faktor perlakuan
tersebut. Rata-rata konsumsi kumulatif dari
semua faktor perlakuan, masing-masing untuk
umur 6, 10, 14 dan 18 minggu adalah 750
gram/ekor (kv 13 %), 1732 (kv 14 %), 3016
(kv 11 %) dan 4529 (kv 13 %). Konsumsi
ransum kumulatif rata-rata per ekor selama
pengamatan ini jauh lebih rendah dari yang
dilaporkan G
UNAWANet al
. (2001) yang dapat
mencapai 6 kg/ekor sampai dengan umur 16
minggu. Oleh karena itu rendahnya konsumsi
ayam F6 dan KP ini kembali merupakan
sebagai dampak oleh terjangkitnya penyakit
snot.
Tabel 3. Konsumsi ransum kumulatif ayam hasil seleksi untuk mengurangi sifat mengeram (F6) dan kontrol populasi (KP) pada dua pola ransum pertumbuhan
Konsumsi ransum kumulatif
Faktor Umur 6 minggu Umur 10 minggu Umur 14 minggu Umur 18 minggu Total Rata-rata, gram/ekor 750 1732 3016 4529 Koefisien variasi, % 13 14 11 13 Galur (G)1) F6, gram/ekor 7582) 1701 2945 4476 KP, gram/ekor 741 1764 3092 4584 SE, gram/ekor 95 251 335 579 Pola Ransum (R) 3) Pola 1, gram/ekor 736 1703 2973 4470 Pola 2, gram/ekor 764 1762 3062 4590 SE, gram/ekor 95 251 335 579 Interaksi G x R tn4) tn tn tn
1) F6= turunan ayam yang diseleksi untuk mengurangi sifat mengeram, KP= ayam-ayam kampung kontrol populasi yang tidak diseleksi, SE= Standar error
2) Nilai rata-rata dalam kelompok dan kolom yang sama secara statistik tidak berbeda nyata (P>0.05) 3) Pola ransum 1 = starter 20% protein kasar (PK) untuk umur 0−6 minggu, grower 17% PK untuk umur
6−14 minggu, developer 14% PK untuk umur 14−18 minggu. Pola ransum 2 = starter 19% PK untuk umur 0−6 minggu, grower-1 17% PK untuk umur 6−10 minggu, grower-2 15% PK untuk umur 10−14 minggu,
developer 13,2% PK untuk umur 14−18 minggu. Kandungan gizi lainnya untuk seluruh ransum sama 4) tn= tidak nyata (P>0,05)
Efisiensi penggunaan ransum yang
diekpresikan sebagai feed conversion ratio
(FCR) sebagai perbandingan jumlah ransum
yang dikonsumsi pada kurun waktu tertentu
dengan pertambahan bobot badan pada kurun
waktu yang sama, juga tidak dipengaruhi
secara nyata (P>0,05) oleh faktor perlakuan.
Kondisi ini bisa terjadi karena pembilang
(konsumsi ransum) dan penyebut (pertambahan
bobot badan) tidak dipengaruhi oleh faktor
perlakuan disamping keragaman nilai nominal
yang relatif kecil dan tidak menunjukkan suatu
kecenderungan yang jelas diantara
parameter-parameter yang diukur pada
kelompok-kelompok perlakuan yang diujikan. Nilai FCR
untuk semua perlakuan dalam setiap kelompok
umur disajikan pada Tabel 4.
Dilihat dari respon konversi penggunaan
ransum pada ayam F6 dan KP relatif sedikit
lebih tinggi (5,57) dibandingkan dengan yang
dilaporkan G
UNAWANet al
. (2001) pada ayam
kampung yang belum diseleksi yang mencapai
4,7 pada umur 14 minggu dan 5,52 pada umur
20 minggu. Rendahnya efisiensi penggunaan
ransum untuk pertumbuhan pada ayam F6 yang
diseleksi untuk mengurangi masa mengeram
dan juga meningkatkan produksi telur mungkin
demikian adanya, karena ayam tersebut tidak
diseleksi untuk peningkatan bobot tubuh.
Jumlah ayam yang bertahan hidup selama
periode pengamatan disajikan pada Tabel 5.
Jumlah ayam yang bertahan hidup ini dihitung
berdasarkan jumlah asal masuk dalam setiap
ulangan kandang koloni sebanyak
masing-masing 10 ekor campuran jantan dan betina.
Kemudian pada umur 10 minggu yang betina
dipisahkan dari yang jantan, sehingga
perhitungan jumlah ayam hidup sampai dengan
umur 10 minggu didasarkan pada 10 ekor,
namun pada umur 14 dan 18 minggu, yang
hanya pada ayam betina saja dilakukan
pengamatan, ukuran didasarkan pada sejumlah
5 ekor per ulangan.
Tabel 4. Rasio konversi pakan (Feed conversion ratio=FCR) ayam hasil seleksi untuk mengurangi sifat mengeram (F6) dan kontrol populasi (KP) pada dua pola ransum pertumbuhan
Feed conversion ratio (FCR)
Faktor Umur 6 minggu Umur 10 minggu Umur 14 minggu Umur 18 minggu Total Rata-rata, gram/ekor 5,53 4,36 4,72 5,57 Koefisien variasi, % 24 24 32 19 Galur (G)1) F6, gram/ekor 5,572) 4,33 4,59 5,28 KP, gram/ekor 5,49 4,40 4,96 5,88 SE, gram/ekor 1,34 1,05 1,52 1,08 Pola Ransum (R)3) Pola 1, gram/ekor 5,52 4,40 4,83 5,66 Pola 2, gram/ekor 5,54 4,33 4,61 5,48 SE, gram/ekor 1,34 1,05 1,52 1,08 Interaksi G x R tn4) tn tn tn
1) F6= turunan ayam yang diseleksi untuk mengurangi sifat mengeram, KP= ayam-ayam kampung kontrol populasi yang tidak diseleksi, SE= Standar error
2) Nilai rata-rata dalam kelompok dan kolom yang sama secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) 3) Pola ransum 1 = starter 20% protein kasar (PK) untuk umur 0−6 minggu, grower 17% PK untuk umur
6−14 minggu, developer 14% PK untuk umur 14−18 minggu. Pola ransum 2 = starter 19% PK untuk umur 0−6 minggu, grower-1 17% PK untuk umur 6−10 minggu, grower-2 15% PK untuk umur 10−14 minggu,
developer 13,2% PK untuk umur 14−18 minggu. Kandungan gizi lainnya untuk seluruh ransum sama. 3) tn= tidak nyata (P>0,05)
Tabel 5. Jumlah ayam hidup selama pengamatan dari ayam diseleksi untuk mengurangi sifat mengeram (F6) dan kontrol populasi (KP) pada dua pola ransum pertumbuhan
Jumlah ayam hidup selama pengamatan
Faktor Umur
6 minggu 10 minggu Umur 14 minggu Umur 18 minggu Umur Total Rata-rata, % 87 66 90 80 Koefisien variasi, % 22 25 23 25 Galur (G)1) F6, % 902) 70 100 80 KP, % 80 60 90 80 SE, % 19 17 19 17 Pola ransum (R)3) Pola 1, % 80 70 100 80 Pola 2, % 90 60 90 80 SE, % 19 17 19 17 Interaksi G x R tn4) tn tn tn
1) F6= turunan ayam yang diseleksi untuk mengurangi sifat mengeram, KP= ayam-ayam kampung kontrol populasi yang tidak diseleksi, SE= Standar error
2) Nilai rata-rata dalam kelompok dan kolom yang sama secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) 3) Pola ransum 1 = starter 20% protein kasar (PK) untuk umur 0-6 minggu, grower 17% PK untuk umur 6−14
minggu, developer 14% PK untuk umur 14−18 minggu. Pola ransum 2 = starter 19% PK untuk umur 0−6 minggu, grower-1 17% PK untuk umur 6−10 minggu, grower-2 15% PK untuk umur 10−14 minggu,
developer 13,2% PK untuk umur 14−18 minggu. Kandungan gizi lainnya untuk seluruh ransum sama 4) tn= tidak nyata (P>0,05)
Untuk parameter inipun setelah dianalisa
keragamannya, tidak menunjukkan adanya
suatu pengaruh secara statistik yang nyata
(P>0,05) dari perlakuan galur maupun pola
pemberian ransum. Pengaruh kedua faktor
(galur x pola ransum) juga tidak menunjukkan
adanya suatu interaksi positif pada semua
parameter yang diukur. Tingkat kematian
sampai dengan umur 10 minggu kelihatannya
cukup rendah (66% dengan kv 25%). Namun
setelah ayam mencapai 14 minggu, betina
hidup relatif tinggi. Keadaan ini kemungkinan
besar ayam-ayam ini sudah beradaptasi
terhadap penyakit yang ada dibandingkan
dengan umur yang lebih muda. Berkurangnya
populasi ayam F6 dan KP pada percobaan ini
tidak terlihat adanya pengaruh faktor seleksi
tetapi lebih banyak menunjukkan adanya
pengaruh pengelolaan.
KESIMPULAN
Disimpulkan dari hasil penelitian: Pola
pemberian ransum untuk mendukung
pertumbuhan optimal ayam hasil seleksi (F6)
tidak mempengaruhi bobot badan, konsumsi
ransum dan
feed conversion ratio
(FCR).
Bobot badan, konsumsi ransum, FCR dan
jumlah ayam hidup tidak berbeda untuk ayam
F6 dari kontrol populasi (KP)-nya. Bobot
badan rata-rata sampai dengan 18 minggu
hanya mencapai 832 gram/ekor dengan
konsumsi ransum kumulatif rata-rata 4,5
kg/ekor dan FCR rata-rata 5,57. Daya hidup
ayam F6 maupun KP sampai umur 10
minggu hanya 66% dengan koefisien variasi
mencapai 25% dan daya hidup yang betina
umur 10–18 minggu mencapai 80% dengan
koefisien variasi mencapai 25%.
DAFTAR PUSTAKA
CANTOR,A.H.andT.H.JOHNSON, 1985. Influence of dietary protein sequence and selenium upon development of pullets. Poultry Science 64: (Suppl. 1): 75. (Abstr.).
CRESWELL, D.C. dan B. GUNAWAN. 1982.
Indigenous chicken in Indonesia: Production characteristics in improved environment. Laporan No. 2. Balai Penelitian Ternak. hlm. 9−14.
GUNAWAN,B. dan H.MATONDANG. 2002. Analisis
kurva pertumbuhan badan ayam lokal hasil crossbreeding ayam Pelung jantan dengan ayam lokal betina. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 2000, Buku II Non Ruminansia. Edisi Khusus. Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor. hlm. 26−32. GUNAWAN, B., D. ZAINUDDIN, S. ISKANDAR, K.
DIWYANTO,H.RESNAWATI,E.JUARINI dan S.
NASTITI. 2003. Optimasi mutu genetik untuk meningkatkan produksi telur pada ayam lokal. Kumpulan Hasil-Hasil penelitian APBN Tahun Anggaran 2002. Buku II Non Ruminansia. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. hlm. 1−11.
GUNAWAN,B.,T.SARTIKA dan T.SUDJANA. 2001.
Analisis kurva pertumbuhan badan ayam Buras (lokal) hasil cross breeding ayam jantan Pelung dan ayam Buras betina. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Peternakan APBN
Tahun Anggaran 1999/2000. Edisi Khusus. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. hlm. 1−7.
HUSSEIN,A.S.,A.H.CANTOR,A.J.PESCATORE and
T.H.JOHNSON. 1996. Effect of dietary protein and energy levels on pullet development.
Poult. Sci. 75: 973−978.
LEESON,S and J.D. SUMMERS. 1991. Commercial Poultry Nutrition. University Book, Guelph, Ontario, Canada. pp. 76−77.
LEESON,S. and J.D.SUMMERS. 1981. Dietary self
selection and use of reverse-protein diets for developing broiler breeder pullets. Poultry Science 60: 168−171.
LEESON,S., J.D.SUMMERS dan L. CASTON. 1993. Growth response of immature brown-egg strain pullets to varying nutrient density and lysine. Poult. Sci. 72: 1349−1358.
SARTIKA,T.,B.GUNAWAN,S.SASTRODIHARDJO dan
MURTIYENI. 1998. Seleksi untuk mengurangi sifat mengeram dan meningkatkan produksi Telur pada ayam buras. Laporan Penelitian, Balai Penelitian Ternak 1997/1998.
SINURAT, A.P. 1991. Penyusunan ransum ayam
buras. Wartazoa 2(1−2): 1−4.
SWARBRICK,O. 1996. Assessing the bodyweight of growing pullets. Poult. Int. December 1966: 66−70.