• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

24

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini disajikan hasil – hasil penelitian beserta pembahasan yang meliputi pandangan petani terhadap aplikasi PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi), faktor – faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi inovasi aplikasi PHSL, perbandingan hasil panen dan keuntungan usahatani yang didapatkan petani yang menggunakan aplikasi PHSL dengan menggunakan pemupukan non PHSL (Lampiran 6) dan kecenderungan petani untuk mengadopsi teknologi PHSL di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali.

Dalam pandangan petani terhadap inovasi aplikasi PHSL akan dideskripsikan respon petani terhadap adanya inovasi baru untuk rekomendasi pemupukan tanaman padi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi. Untuk mengetahui respon petani dengan adanya inovasi aplikasi PHSL ini dilakukan wawancara (Lampiran 1) secara perseorangan kepada setiap petani yang mengikuti program PHSL ini meliputi keuntungan, kelebihan, kekurangan dan kendala yang dialami petani dalam mengadopsi inovasi aplikasi PHSL tersebut. Hal ini dapat dijadikan alasan petani untuk mengambil keputusan menerima ataupun menolak mengadopsi aplikasi rekomendasi pemupukan tersebut. Pendugaan keuntungan secara ekonomi dalam menggunakan aplikasi PHSL dengan cara langsung membandingkan hasil panen dan selisih keuntungan yang didapatkan dan faktor penentu adopsi teknologi PHSL didapatkan dengan model regresi logistik.

A.

PANDANGAN PETANI TERHADAP APLIKASI PHSL

Aplikasi PHSL merupakan inovasi teknologi baru usahatani padi sawah melalui rekomendasi pemupukan yang tepat jenis, dosis, dan waktu pemupukan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Aplikasi ini dikembangkan oleh IRRI (International Rice Reserach Institute), Filipina bersama Puslitbang Tanaman Pangan, BB Padi, dan Badan Litbang Pertanian. Sejak pertama kali diperkenalkan aplikasi ini sudah 9 kali melakukan pengujian lapang yang tersebar di 9 provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Tengah aplikasi PHSL yang di prakarsai oleh IRRI dan BPTP Jawa Tengah dilakukan di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Oleh karena itu, analisis respon dan pandangan petani yang ditinjau dari beberapa aspek, yaitu aspek operasional, teknologi informasi, sosial budaya, dan faktor pendorong dan penghambat adopsi teknologi PHSL.

Pengertian pandangan petani terhadap inovasi aplikasi PHSL dalam hal ini merupakan respon petani dilihat dari sebelum dan setelah mencoba menggunakan rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL tersebut. Pada program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi), seorang petani membagi jumlah lahan yang dimiliki, yang pertama lahan yang pemupukannya berdasarkan rekomendasi aplikasi PHSL dan yang kedua lahan yang pemupukannya berdasarkan petani sendiri. Untuk budi daya pertanian diserahkan sepenuhnya kepada petani seperti yang biasa mereka lakukan baik pada lahan PHSL maupun lahan petani sendiri yang telah mereka bagi. Termasuk didalamnya ketersediaan benih, pengolahan lahan, pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Dalam hal ini yang dibedakan hanya rekomendasi pemupukannya, yaitu berdasarkan aplikasi PHSL dan berdasarkan kebiasaan petani sendiri. Untuk menghindari risiko, yakni hasil panen padi pada lahan PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) tidak sesuai yang diharapkan pihak IRRI dan BPTP Jawa Tengah memberikan kompensasi untuk lahan PHSL yang hasil panennya lebih kecil daripada hasil panen pada lahan petani sendiri. Oleh sebab itu, pada lahan PHSL dibuat lebih kecil daripada lahan petani sendiri. Hal ini dilakukan untuk menghindari risiko pemberian kompensasi yang terlalu besar. Pemberian kompensasi (ganti rugi) ini disesuaikan selisih panen padi pada lahan PHSL yang dikonversi ke lahan

(2)

25

milik petani, jumlah uang yang diberikan sesuai dengan harga penjulan gabah pada saat itu. Hal ini dinilai petani membantu dan mengindari risiko terhadap hasil panen padi yang akan diperoleh.

Pada program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi) di Desa Jembungan varietas yang ditanam dibebaskan sesuai keinginan petani sehingga varietasnya bervariasi, antara lain Inpari 13, Mekongga, IR-64, Membramo, Lok Ulo, Inpari 1, Inpari 6. Kebutuhan benih padi juga bervariasi menurut luasan lahan yang dimiliki oleh petani. Benih padi merupakan input untuk menghitung biaya produksi padi sampai akhir panen.

Dalam hal pemupukan petani peserta program PHSL melakukan 2 perlakuan terhadap lahan yang mereka miliki. Setelah lahan yang mereka miliki diukur dan dibagi menjadi dua (tidak sama besar), lahan pertama untuk aplikasi pemupukan rekomendasi PHSL dan lahan yang lain untuk aplikasi pemupukan rekomendasi petani. Pemupukan untuk lahan pertama didasarkan pada rekomendasi pemupukan aplikasi PHSL melalui pengisian kuesioner yang didampingi petugas dari BPTP Jawa Tengah dan PPL setempat, data dari kesioner di isikan dalam aplikasi PHSL, kemudian hasil rekomendasi pemupukan ditetapkan untuk diaplikasikan pada lahan tersebut. Untuk lahan kedua rekomendasi pemupukan sesuai kebiaan petani pada saat memberi pupuk. Mekanisme cara mengakses aplikasi PHSL di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali di gambarkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Mekanisme pengaksesan aplikasi PHSL Pemberian kuesioner oleh

BPTP kepada Petani

Pengisian kuesioner oleh Petani

Kuesioner di kembalikan pada BPTP

Data petani diolah BPTP dengan aplikasi PHSL

Rekomendasi pemupukan kepada Petani

(3)

26

1.

Karakteristik Responden

Karakteristik petani responden di Desa Jembungan akan disajikan pada Tabel 2. Kuesioner yang diberikan kepada 20 petani responden, yaitu para petani yang telah menggunakan pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL menjelaskan tentang berbagai karakteristik petani responden. Karakteristik yang dideskripsikan antara lain umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status lahan, luasan lahan.

Tabel 2. Karakteristik petani responden.

Sumber : Data diolah

Berdasarkan data yang didapat (Tabel 1) semua responden mempunyai umur >40 tahun dan lebih dari 50 % diantaranya berada pada selang 40 – 45 tahun. Dari umur petani responden terlihat bahwa petani di Desa Jembungan telah memasuki usia tua. Semakin tua umur maka semakin menurun kekuatan dan kemampuan fisik yang mengakibatkan produktivitas menurun. Hal ini menjadi suatu kendala dalam proses petani untuk mengadopsi aplikasi PHSL (Pemupukan Hara

Uraian Petani Responden Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Umur (tahun) a. 40 – 45 14 70 b. 46 – 50 5 25 c. > 50 1 5 2. Fasilitas akses a. Handphone 20 100 b. Smartphone 0 0 c. Koneksi internet 1 5 3. Jenis Kelamin a. Laki - laki 18 90 b. Perempuan 2 10 4. Pendidikan a. SD 3 15 b. SLTP 4 20 c. SLTA 11 55 d. S1 2 10 5. Status Lahan a. Milik Sendiri 18 90 b. Sakap 2 10 6. Luas Lahan a. 0.2 - 0.3 15 75 b. 0.3 - 0.4 4 20 c. 0.4 - 0.5 1 5 7. Pengolahan Lahan a. Sendiri 17 85 b. Buruh Tani 3 15

(4)

27

Spesifik Lokasi). Karena untuk mengakses aplikasi PHSL diperlukan kemampuan pengguna untuk dapat mengoperasikan sarana komunikasi (handphone, smartphone, dan internet). Oleh karena itu, banyak diantara petani responden mengeluhkan hal ini, walaupun 100 % dari petani responden memiliki handphone yang dapat digunakan untuk mengakses rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL. Selain itu pada saat ini untuk mengakses aplikasi PHSL melalui handphone

(NMRiceMobile) masih dikenakan tarif sesuai durasi selama mengakses aplikasi PHSL tersebut. Hal ini memberikan tanda harus adanya regenerasi agar keberlanjutan pertanian khusunya usahatani padi terus berjalan dan berkesinambungan. Umur petani akan mempengaruhi fisiknya untuk bekerja dan berfikir, umumnya petani muda mempunyai kemampuan fisik yang lebih kuat daripada petani berumur tua. Petani muda umumnya lebih cepat menerima inovasi baru (kosmopolit = terbuka) serta lebih berani mengambil risiko dibandingkan dengan petani yang berumur tua.

Dari 20 petani responden, semuanya dalam satu keluarga petani minimal memiliki satu handphone. Sedangkan, untuk smartphone belum ada petani responden yang memilikinya. Di lokasi penelitian ada salah satu kelurga petani responden yang memiliki koneksi internet. Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong petani responden untuk mengadopsi inovasi baru aplikasi PHSL. Karena untuk mengakses aplikasi PHSL melalui internet dinilai lebih mudah, cepat dan menguntungkan.

Jenis kelamin dari petani responden 90 % adalah laki – laki, sedangkan petani perempuan hanya berjumlah 2 orang atau 10 % saja. Dari fakta ini petani berjenis kelamin perempuan semuanya menyewa orang lain (buruh tani) untuk mengolah lahan yang dimiliki. Sedangkan, untuk petani laki – laki hanya seorang petani yang menyewa orang lain untuk mengolahkan lahan yang dimiliki. Buruh tani akan dibayar menurut hari orang kerja (HOK) selama melakukan aktivitas budidaya sesuai dengan tarif setempat. Biaya ini akan mempengaruhi biaya produksi padi yang akan mempengaruhi langsung terhadap pendapatan usahatani.

Pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi cara berpikir petani. Tingkat pendidikan petani responden tergolong sedang. Tingkat pendidikan terendah dari petani responden adalah SD (Sekolah Dasar) yaitu berjumlah 3 orang petani, sedangkan tingkat pendidikan tertinggi adalah perguruan tinggi (S1) yang berjumlah 2 orang petani. Tingkat pendidikan terbanyak dari petani responden adalah SLTA dan sisanya tingkat SLTP. Untuk pendidikan non-formal petani responden telah mengikuti kegiatan SLPTT (Sekolah Lapang Tanaman Terpadu) dan saat ini sedang mengikuti kegiatan SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu).

Dari 20 petani responden sebagian besar yakni berjumlah 90 % petani memiliki lahan sendiri, sedangakan sisanya yang berjumlah 2 petani menyewa lahan untuk kegiatan usahataninya. Biaya sewa lahan di lokasi penelitian bervariasi tergantung luasan lahan dan lama penyewaan lahan. Masing – masing kedua petani itu menyewa lahan dengan luasan 3000 m2 dan biaya sewa Rp 7.000.000/2tahun, sedangkan yang lain menyewa dengan biaya sewa Rp 20.000.000/5tahun untuk luasan lahan sebesar 5000 m2.

Kepemilikan lahan petani responden relatif kecil 75 % diantaranya memiliki luasan lahan 0.2 – 0.3 ha. Luasan lahan antara 0.3 – 0.4 ha digarap oleh 4 orang petani atau sekitar 20 % petani. Sedangkan petani yang luasan lahannya 0.4 – 0.5 ha hanya ada seorang petani. Luasan lahan yang dimiliki oleh petani akan mempengaruhi produksi padi yang dihasilkan, secara umum luasan lahan yang semakin besar akan menghasilkan produksi padi yang besar pula. Akan tetapi, tidak selalu luasan lahan yang besar menghasilkan produksi yang tinggi, hal ini dipengaruhi dari hasil ubinan atau petakan lahan. Semakin besar hasil produksi ubinan, maka semakin besar hasil produksi padi bila dihitung pada luasan yang sama.

(5)

28

Di samping karakteristik petani responden di Desa Jembungan yang bervariasi, pada umumnya petani responden melakukan usahatani padi atas dasar turun temurun sesuai dengan kebiasaan yang telah diwariskan dari orang tua mereka. Jadi, petani responden telah mulai mengenal usahatani padi sejak kecil dan menekuninya setelah berumahtangga untuk mendapatkan keuntungan.

2.

Faktor Pendorong dan Penghambat Adopsi

Penerapan teknologi merupakan suatu proses atau rangkaian kegiatan untuk mempercepat pemanfaatan teknologi dari pengembang atau pemilik kepada pengguna teknologi. Menerapkan teknologi berarti menjadikan teknologi tersebut sebagai bagian dari pengoperasian fungsi – fungsi pengguna teknologi, menjadikan teknologi itu diketahui, dapat di jangkau dan difungsikan di lingkungan yang membutuhkan. Dalam menerapkan, mengembangkan dan menyebarluaskan teknologi, sebelumnya perlu dilakukan studi kelayakan untuk menilai aspek kelayakan teknis, kelayakan ekonomis, kelayakan sosial budaya dan lingkungan serta standardisasi teknologinya (Mizar et al, 2008).

Mizar et al (2008), merinci kinerja atau keberhasilan teknologi diukur dari empat faktor yang merupakan tolok ukur untuk mengevaluasi teknologi, faktor tersebut adalah :

a. Faktor pertama, teknologi harus menghasilkan nilai tambah, mempunyai fitur atau kemampuan beragam untuk keperluan yang makin beragam, hemat dalam menggunakan sumber daya termasuk energi, awet dan faktor teknis lainnya. Secara teknis aplikasi PHSL telah memberikan kemudahan bagi pengguna khususnya petani, karena sudah dapat diakses menggunakan handphone dimana sebagian besar petani telah memilikinya, sehingga manfaat dan tujuan dari inovasi aplikasi dapat tercapai. Namun pada kenyataannya, penggunaan aplikasi PHSL di lokasi penelitian sangat minim. Selain prosedur dan akses yang masih berbayar, pendampingan dari penyuluh pertanian setempat menjadi faktor penting bagi petani untuk memutuskan mengadopsi aplikasi PHSL.

b. Faktor kedua, teknologi harus menghasilkan produktivitas ekonomi atau keuntungan finansial. Inovasi aplikasi PHSL memberikan inovasi baru dalam pemupukan padi rekomendasi pemupukan yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi, pendapatan petani dan mendukung sistem pertanian berkelanjutan. Petani di lokasi penelitian telah membuktikan dan membandingkan produksi padi melalui rekomendasi aplikasi PHSL dan rekomendasi pemupukan sendiri.

c. Faktor ketiga, teknologi harus dapat diterima masyarakat pengguna. Teknologi dapat diterima karena memang diperlukan dan bermanfaat bagi pengguna, disenangi, mudah dipakai serta tidak bertentangan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat pengguna. Secara umum aplikasi PHSL memang menjadi solusi permasalahan peningkatan produksi padi saat ini, namun belum semua petani di lokasi penelitian dapat sepenuhnya mengadopsi inovasi aplikasi PHSL. Hal ini disebabkan dengan budaya penggunaan teknologi dalam bidang pertanian khususnya di Indonesia masih lemah.

d. Faktor keempat, teknologi harus serasi dengan lingkungan, faktor ini akan menentukan

sustainability keberadaan teknologi ditengah masyarakat pengguna. Inovasi aplikasi PHSL adalah program jangka panjang seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, maka penggunaanya juga akan semakin meningkat. Ketika teknologi informasi dan komunikasi telah menyentuh bidang pertanian, disaat itulah inovasi PHSL dan aplikasi sejenis akan dapat diadopsi secara penuh oleh pengguna.

(6)

29

Indikasi aplikasi teknologi dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu teknis, ekonomi dan sosial budaya. Pendekatan teknis ditekankan pada keberhasilan teknologi tersebut dalam meningkatkan produktivitas. Pendekatan ekonomi terkait dengan dukungan pasar, kemampuan permodalan dan adanya peningkatan pendapatan. Pendekatan sosial budaya ditekankan pada akseptabilitas dan tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku. Dengan demikian, keberhasilan aplikasi teknologi dalam mendukung pengembangan industri kecil akan tergantung pada kesesuaian teknologi tersebut dengan kondisi teknis, ekonomi dan sosial budaya.

Adapun keberhasilan penerapan inovasi aplikasi PHSL di lokasi penelitian akan tergantung pada kriteria kesesuaian inovasi di Desa Jembungan. Indikator dari faktor keberhasilan penerapan teknologi yang mempengaruhi tingkat adopsi di jelaskan pada Tabel 3 sebagai berikut :

Tabel 3. Faktor keberhasilan penerapan inovasi PHSL dan indikatornya No. Variabel Indikator

1. Faktor teknis Dapat meningkatkan produksi padi

Aplikasi teknologi sederhana / mudah dilakukan oleh pengguna (petani)

Peralatan dan sarana produksi mudah didapat 2. Faktor ekonomi Biaya operasional terjangkau

Secara finansial menguntungkan

Produknya mempunyai nilai tambah penjual

3. Faktor sosial Sesuai/tidak bertentangan dengan budaya masyarakat setempat 4. Faktor lingkungan Tidak menimbulkan dampak kerusakan terhadap lingkungan 5. Faktor kelembagaan Ada dukungan kebijakan/kelembagaan, UPTD kecamatan dan

PPL setempat

Dari hasil penelitian di Desa Jembungan, terdapat alasan yang dikelompokkan menjadi faktor – faktor yang bersifat mendorong (alasan petani yang mengakses atau berniat aplikasi PHSL) dan faktor penghambat (alasan petani tidak mengakses langsung apliaksi PHSL) dalam proses adopsi teknologi aplikasi PHSL.

Faktor – faktor pendorong dan penghambat petani untuk mengikuti program PHSL dijelaskan pada Tabel 4. Faktor pendorong terbesar yang menyebabkan petani mengikuti program PHSL di Desa Jembungan adalah mengharapkan peningkatan produktivitas padi. Dari hasil perhitungan, rata – rata produksi padi per ha yang diperoleh petani dengan menggunakan aplikasi PHSL sebesar 6779.11 ton GKP, sedangkan rata – rata hasil panen padi petani tanpa menggunakan aplikasi PHSL sebesar 6464.74 ton GKP. Rata – rata produksi padi menggunakan inovasi aplikasi PHSL lebih tinggi 314.37 kg dibandingkan rekomendasi pemupukan yang biasa dilakukan oleh petani. Dari hasil tersebut, hasil panen padi mempunyai penyebaran yang bervariasi dan normal, dari sebanyak 20 petani yang mengikuti inovasi program PHSL, sebanyak 12 petani menyatakan hasil panen yang didapatkan lebih besar, 7 petani lebih kecil dan 1 petani tidak bisa dihitung hasil panen padinya dikarenakan padi sedah dipanen sebelum di ubin.

(7)

30

Tabel 4. Faktor pendorong dan penghambat petani untuk mengikuti program PHSL No. Faktor Pendorong Faktor penghambat

1. Meningkatkan produktivitas Sarana kurang 2. Adanya sarana mengakses Kekurangan modal

3. Adanya modal Keraguan rekomendasi pemupukan 4. Penggunaan pupuk efisien Prosedur rumit

5. Kualitas tanah terjaga

Pada program PHSL (Pemupukan Hara Spesifik Lokasi), ketersediaan fasilitas untuk mengakses yang dimiliki oleh petani responden merupakan faktor pendorong kedua yang menyebabkan petani mengikuti dan mengakses aplikasi PHSL. Fasilitas akses ini sangat penting, karena merupakan hal mutlak untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL. Namun selama mengikuti program PHSL dari IRRI dan BPTP Jawa Tengah petani di Desa Jembungan menggunakan kuesioner untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL.

Dalam proses adopsi inovasi aplikasi PHSL hanya satu petani yang melanjutkan menggunakan aplikasi PHSL dengan faktor pendorong bahwa petani tersebut memiliki sarana mengakses yang memadai. Walaupun terdapat 3 cara untuk mengakses aplikasi PHSL, namun media internet menjadi cara yang paling populer untuk mengaksesnya. Media internet adalah media awal aplikasi PHSL saat diluncurkan, sehingga cara mengakses aplikasi ini identik dengan internet khususnya dan teknologi informasi pada umumnya. Media kedua yang paling populer dan potensial adalah melalui ponsel (handphone), karena hampir semua masyarakat petani Indonesia sudah memilikinya. Namun untuk menjawab pertanyaan dari aplikasi PHSL dan biaya yang dihitung menurut lama menelepon menjadi salah satu kendalanya. Sedangkan pengaksesan melalui

smartphone adalah cara yang kurang populer selain jumlah pemakainya sedikit di kalangan petani, aplikasi PHSL harus terpasang di smartphone tersebut akan menjadi kendalanya. Kekurangan sarana untuk mengakses menjadi faktor penghambat petani untuk mengadopsi inovasi aplikasi PHSL.

Aplikasi PHSL diakses dengan menggunakan media yang bertujuan untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan. Untuk mendapatkan informasi tersebut tentunya diperlukan modal dan biaya. Biaya yang dikeluarkan sebanding dengan intensitas dan lamanya waktu mengakses aplikasi PHSL sesuai dengan media yang digunakan. Adanya anggaran biaya yang dikeluarkan untuk mengakses aplikasi PHSL menjadi faktor pendorong untuk mengadopsi inovasi ini, sebaliknya tidak adanya anggaran petani untuk mengakses aplikasi ini membuat petani enggan untuk mengadopsi inovasi tersebut. Setelah mendapatkan rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL umumnya petani akan ragu untuk mengaplikasikan pemupukan ke lahan karena rekomendasi pemupukan yang lebih sedikit. Hal ini menjadi faktor penghambat petani untuk mengadopsi aplikasi PHSL.

Pemupukan rekomendasi dari aplikasi PHSL adalah pemupukan yang berimbang dan mengadospsi sistem pertanian berkelanjutan. Jumlah rekomendasi pemupukan yang diberikan akan sesuai dengan kebutuhan hara tanaman dan kemampuan tanah untuk menyerap hara. Pemberian pupuk juga didasarkan pada jumlah bahan organik yang terdapat di dalam tanah, sehingga penggunaan pupuk kimia dapat ditekan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari risiko yang disebabkan oleh pemberian pupuk kimia yang berlebihan. Pemberian pupuk yang efisien dan efektif secara langsung akan menekan biaya produksi pertanian, sehingga pendapatan lebih besar tanpa mengurangi hasil panen padi. Sebagian petani di daerah penelitian telah menyadari hal ini

(8)

31

setelah mengikuti program dari PHSL bahwa dengan pemupukan yang lebih efisien mampu menghasilkan produksi yang sama bahkan lebih dari hasil produksi padi biasanya. Hal ini menjadi faktor pendorong petani untuk mengadopsi inovasi aplikasi PHSL.

Rekomendasi pemupukan dari aplikasi PHSL hanya berlaku untuk satu musim tanam kedepan, sehingga untuk musim tanam berikutnya rekomendasi pemupukan sudah tidak relevan. Kendala yang didapatkan di lokasi penelitian sehingga petani enggan mengadopsi inovasi aplikasi PHSL adalah prosedur yang rumit, harus menjawab pertanyaan dan jawaban dari pertanyaan harus relevan dengan keadaan nyata dilapangan sehingga hasil rekomendasi yang diberikan tepat. Umumnya petani di lokasi penelitian lebih nyaman menggunakan rekomendasi pemupukan menurut pengalaman mereka sendiri.

3.

ANALISIS TEKNOLOGI INFORMASI

Adopsi teknologi baru di bidang pertanian masih rendah jika dibandingkan dengan bidang bisnis dan usaha lainnya. Bentuk nyata dari adopsi teknologi dapat diamati dalam bentuk tingkah laku, metode, peralatan atau fasilitas, maupun teknologi yang digunakan oleh adopter didalam kegiatannya. Adopsi merupakan proses mental dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan atau penolakan ide tersebut (Mizar et al, 2008).

Aspek ini merupakan aspek yang paling utama, karena basis dari aplikasi PHSL adalah teknologi informasi dan komunikasi. Kendala (1) keterbatasan kemampuan masyarakat petani dalam mengadopsi teknologi, (2) peranan pengembang dan penanggung jawab dalam kesuksesan adopsi teknologi masih lemah. Tingkat adopsi inovasi aplikasi PHSL diukur berdasarkan tingkatan penggunaan (level of use) terhadap tekonologi yang telah diadopsi di bidang pertanian yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu. Mizar et al (2008) menyebutkan tingkatan penggunaan inovasi ini dibagi menjadi 5 level, yaitu : (1) Discontinu, teknologi sudah tidak digunakan lagi untuk berproduksi / berhenti digunakan, (2) Mechanical Use, teknologi digunakan masih dalam tahap untuk berlatih mengoperasikan, mencoba untuk berproduksi dan masih jarang sekali digunakan untuk keperluan produksinya, (3) Routine, teknologi sudah digunakan secara rutin untuk keperluan produksinya tetapi belum ada pemikiran untuk memodifikasinya, (4) Refinement, teknologi sudah digunakan secara rutin untuk keperluan produksinya dan sudah ada pemikiran modifikasi / pernbaikan, (5) Integration, teknologi sudah digunakan secara rutin untuk keperluan produksinya dan sudah ada perlakuan memproduksi ulang teknologi tersebut untuk spesifikasi dan fungsi yang sama, bahkan teknologi yang telah digunakan diadaptasi sesuai dengan perkembangan kebutuhan untuk mencapai hasil yang lebih maksimal. Tingkatan adopsi inovasi aplikasi PHSL di Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali masih sampai pada tahap “Mechanical Use”, pengunaan inovasi aplikasi PHSL masih sangat jarang.

(9)

32

4.

ANALISIS OPERASIONAL

Aspek operasional merupakan faktor penting untuk petani mengakses inovasi aplikasi PHSL, sarana yang digunakan untuk mengakses aplikasi PHSL termasuk dalam aspek operasional. Dari 20 responden sudah memiliki fasilitas yang dapat digunakan untuk mengakses aplikasi PHSL, setiap kelurga tani di Desa Jembungan telah memiliki handphone. Namun untuk mengakses aplikasi PHSL melalui handphone dengan cara menelepon dikenakan biaya menurut durasi (waktu) telepon. Dalam aplikasi PHSL terdapat 10 pertanyaan untuk sekali mengakses aplikasi PHSL melalui handphone.

Dari 20 responden yang didapatkan semuanya dapat mengoperasikan handphone, namun kendala dalam aspek operasional terletak pada saat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh aplikasi PHSL. Dalam mengakses melalui handphone pertanyaan disajikan secara lisan sehingga membutuhkan waktu untuk memahami dan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan, hal ini akan berdampak pada mahalnya biaya operasional untuk rekomendasi pemupukan.

Menurut petani jumlah pertanyaan dalam aplikasi PHSL tidak terlalu banyak. Bahasa dalam aplikasi PHSL dapat disesuaikan dengan keinginan pengakses aplikasi ini, sehingga lebih memudahkan petani daerah untuk menggunakannya. Hal ini terlihat dalam kuesioner yang disebarkan dimana semua petani tidak mengalami kesulitan dalam menjawab dan memahami pertanyaan yang diajukan. Sebagian besar petani juga telah mengerti tentang satuan lokal di lokasi penelitian. Dari semua responden, 90 % juga masih mengingat hasil panen musim lalu, hal ini digunakan sebagai acuan dalam memperkirakan seberapa besar kandungan organik yang tersisa di lahan. Pada Tabel 5 disajikan persentase faktor – faktor pendorong petani untuk mencoba mengakses aplikasi PHSL. Pada umumnya jawaban petani pada aspek operasional teknologi PHSL bersifat positif, tetapi penggunaan aplikasi PHSL di lokasi penelitian masih rendah. Hal ini disebabkan, menurut petani menjawab pertanyaan secara lisan dan melalui tombol (keypad) ponsel masih sulit dilakukan.

Tabel 5. Faktor – faktor aspek operasional Uraian Pertanyaan

Jumlah Sampel Jumlah Sampel Ya (Orang) Persentase (%) Tidak (Orang) Persentase (%) Mempunyai HP 20 100 0 0 Bisa Mengoperasikannya 20 100 0 0 Pertanyaan PHSL mudah dimengerti 18 90 2 10 Jumlah pertanyaan terlalu banyak 0 0 20 100

Bahasa mudah dipahami 20 100 0 0

Mengerti satuan lokal yang ada 18 90 2 10 Dapat mengingat hasil panen musim yang lalu 18 90 2 10

(10)

33

5.

ANALISIS SOSIAL BUDAYA

Aspek ini merupakan faktor penentu petani untuk mengambil keputusan menerima atau menolak untuk mengadopsi inovasi baru yang diperkenalkan. Inovasi baru yang diperkenalkan akan mudah diadopsi oleh masyrakat jika tidak bertentangan dengan budaya atau kebiasaan masyarakat setempat dan tidak menimbulkan kesurakan lingkungan pada umumnya. Budidaya padi di lokasi penelitian berdasarkan pengalaman yang telah mereka dapatkan semenjak kecil ditambah dengan pengalaman selama mereka menjadi petani. Banyaknya pemupukan yang diaplikasikan ke lahan didasarkan pada musim pada saat tanam, melihat warna daun.

Selama ini petani di lokasi penelitian biasanya berkonsultasi dengan penyuluh lapangan untuk mendapatkan informasi penting mengenai budidaya padi yang dilakukan tak terkecuali dalam hal pemupukan. Sebanyak 18 petani dari 20 petani telah aktif untuk berkonsultasi dengan PPL. Dari 20 petani, hanya ada 1 petani yang belum mengerti tentang aplikasi PHSL. Ada 16 petani yang berniat untuk mengakses aplikasi PHSL dan ada 18 petani yang bersedia untuk mengaplikasikan rekomendasi dari aplikasi PHSL. Pada Tabel 6 disajikan faktor – faktor petani untuk mengakses aplikasi PHSL dari aspek sosial budaya. Dari hasil ini, rekomendasi yang dapat diberikan adalah perlu adanya pendampingan dari penyuluh lapangan bagi petani yang ingin mengakses aplikasi PHSL untuk mendapatkan rekomendasi pemupukan yang tepat.

Tabel 6. Faktor – faktor aspek sosial budaya Uraian Pertanyaan

Jumlah Sampel Jumlah Sampel Ya (Orang) Persentase (%) Tidak (Orang) Persentase (%) Pernah konsultasi dengan PPL 17 85 3 15 Pernah mendengar tentang aplikasi PHSL

sebelumnya 18 90 2 10

Apakah bersedia mengakses PHSL 16 80 4 20 Apakah bersedia mengaplikasikan rekomendasi

(11)

34

B.

ANALISIS USAHATANI

Sistem usahatani mengandung pengertian pola pelaksanaan usahatani masyarakat yang berkaitan dengan tujuannya. Secara umum, tujuan utama pertanian atau usahatani yang diterapkan sebagian besar petani kita adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga (pola subsistence). Hal ini berarti belum sepenuhnya bertujuan untuk dijual ke pasar (market oriented) seperti halnya usahatani di negara – negara yang telah maju (Daniel, 2002).

Perhitungan pendapatan usahatani padi rekomendasi PHSL dilakukan dengan menghitung hasil panen padi dan menghitung biaya produksi serta pendapatan yang didapatkan (Lampiran 3,4,5). Komponen biaya produksi dihitung terpisah, hal ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan biaya yang dikeluarkan petani untuk pemupukan saja. Jika faktor – faktor produksi lain dianggap sama, maka dapat ditentukan biaya pemupukan masing – masing rekomendasi pemupukan serta hasil panen padi yang didapatkan.

1. Penerimaan Usahatani

Tabel 7 menjelaskan tentang perbandingan usahatani padi dengan menggunakan aplikasi PHSL dan non PHSL. Usahatani dengan menggunakan rekomendasi aplikasi PHSL menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan usahatani dengan aplikasi pemupukan biasanya. Pada perhitungan hasil panen padi masing – masing rekomendasi pemupukan didapatkan rata – rata hasil panen padi rekomendasi PHSL lebih besar 314.38 kg jika dibandingkan dengan pemupukan rekomendasi petani.

Tabel 7. Perbandingan Penerimaan Usahatani PHSL dan non PHSL Uraian Usahatani

PHSL

Usahatani

non PHSL Selisih Luasan rata-rata lahan (m2) 368.95 2,650.26 2281.31 Luas rata - rata ubinan (m2) 6.54 6.54 0 Produksi rata - rata ubinan (kg/m2) 4.42 4.22 0.2 Produksi padi (kg) 246.87 1,732.89 1,486.02 Produksi padi rata – rata (kg/ha) 6,779.12 6,464.74 314.38

Harga gabah (Rp/kg) 3,500 3,500 0

Penerimaan (Rp) 864,064 6,065,122 5,201,058

Penerimaan rata – rata (Rp/ha) 23,726,918 22,626,590 1,100,328

Produktivitas padi dengan menggunakan aplikasi PHSL adalah 6,777.12 kg/ha sedangkan produktivitas padi dengan pemupukan petani sendiri sebesar 6,464.74 kg/ha. Harga gabah yang berlaku pada saat penelitian adalah Rp 3,500. Penerimaan usahatani merupakan hasil kali antara jumlah produksi padi yang dihasilkan dengan harga gabah yang berlaku pada saat itu. Berdasarkan produktivitas dan harga gabah yang berlaku pada saat itu, rata – rata penerimaan petani dengan aplikasi PHSL lebih tinggi daripada penerimaan petani yang menggunakan rekomendasi pemupukan sendiri. Penerimaan yang diterima rata – rata petani perhektar di lahan non PHSL adalah sekitar Rp 22,626,590 dan Rp 23,726,918 untuk budi daya di lahan PHSL per musim tanam. Sehingga, dengan adanya aplikasi PHSL dapat meningkatkan produksi padi rata – rata sekitar 314.38 kg perhektar dengan tambahan keuntungan senilai Rp 1,100,328 / hektar / musim tanam.

(12)

35 2. Biaya Usahatani

Biaya usahatani adalah nilai barang atau jasa yang digunakan dalam kegiatan usahatani untuk menghasilkan produk pertanian. Biaya yang dikeluarkan untuk usahatani dibagi menjadi biaya yang dibayarkan dan biaya yang diperhitungkan. Biaya yang dibayarkan adalah biaya tunai dalam proses produsksi yang dikeluarkan petani untuk pembelian benih, pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja. Biaya yang diperhitungkan meliputi sewa lahan, jaminan pekerja dan bunga modal. Perbandingan struktur biaya usahatani padi dengan menggunakan aplikasi PHSL dan non PHSL dijelaskan pada Tabel 8. Perhitungan struktur biaya usahatani padi ini masih dihitung dalam luasan yang berbeda, untuk lahan non PHSL memiliki luas lahan sebesar 368.95 m2 dan lahan PHSL sendiri memiliki luasa lahan sebesar 2650.26 m2.

Dalam penelitian ini terdapat petani yang memiliki lahan sendiri dan petani yang tidak memiliki lahan sendiri. Petani yang memiliki lahan sendiri tidak perlu mengeluarkan pembayaran untuk sewa lahan, sedangkan petani penyewa lahan (tidak memiliki lahan sendiri) harus membayar uang sewa lahan yang merupakan biaya atas penggunaan lahan. Biaya sewa lahan merupakan salah satu komponen biaya yang penting dan mempunyai proporsi yang cukup besar atas biaya total. Oleh karena itu, penggunaan lahan oleh pemilik lahan dianggap sebagai biaya dan dikategorikan sebagai biaya diperhitungkan.

Tabel 8. Struktur biaya usahatani padi di Desa Jembungan

No. Uraian Non PHSL Program PHSL

Nilai (%) Nilai (%)

1 Benih (kg) 11.46 - 1.59 -

2 Pupuk (kg) 46.77 - 3.46 -

3 Traktor - - - -

4 Pestisida (liter) 0.26 - 0.04 -

5 Tenaga Kerja (hari) 22.6 - 22.6 -

6 Biaya Dibayarkan = B (Rp) 1,552,572 43.62 178,528 39.46 a. Benih 91,107 5.87 12,640 7.08 b. Pupuk 320,065 20.62 23,078 12.93 c. Traktor 175,000 11.27 24,203 13.56 d. Pestisida 62,400 4.02 8,772 4.91 d. Upah TK 904,000 58.22 109,835 61.52 7 Biaya Diperhitungkan = C (Rp) 2,006,923.5 56.38 273,943 60.54 a. Jaminan Pekerja 150,000 7.47 20,745 7.57 b. Sewa Lahan 1,533,333 76.40 212,064 77.41 c. Bunga Modal 323,590.5 16.13 41,134 15.02 8 Biaya Total = B + C (Rp) 3,559,495.5 100 452,472 100

Secara umum struktur biaya dan jumlah struktur biaya dalam usahatani padi di lokasi penelitian relatif sama. Akan tetapi, perbedaan struktur biaya pemupukan menjadi perhatian khusus karena menjadi faktor pembanding utama dalam penelitian ini. Perbedaan jumlah struktur biaya pemupukan cukup terlihat nyata, yaitu sejumlah Rp 320,065 atau 20.62 % untuk lahan petani dan Rp 23,078 atau 12.93 % untuk budidaya petani di lahan PHSL.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa komponen biaya terbesar pada usahatani padi adalah upah tenaga kerja. Biaya yang dikelurkan untuk tenaga kerja adalah untuk pekerjaan pengolahan tanah, cabut tanam, tanam, pemupukan, pengendalian OPT dan pemanenan mencapai Rp 904,000 atau 58.22 % dan Rp 109,835 atau 61.52 % untuk pertanian di lahan PHSL. Usahatani yang dilakukan di lahan budidaya petani memerlukan biaya tunai (biaya dibayarkan) yang lebih besar yaitu sekitar 43.62 % dari biaya total dibanding dengan usahatani di lahan PHSL yang hanya memerlukan biaya

(13)

36

tunai sekitar 39.46 %. Jumlah ini menggambarkan modal usahatani yang harus disediakan petani lebih besar dibanding jika petani menggunakan rekomendasi aplikasi PHSL untuk budi daya pertaniannya.

Dalam penggunaan tenaga kerja terdapat semacam spesialisasi dalam pekerjaannya. Untuk pengolahan tanah biasanya menggunakan traktor dan jenis yang berkembang adalah traktor roda dua (hand tractor) karena luasan lahan yang digarap relatif sempit. Tenaga kerja utama untuk tanam (umumnya sistem tabela), penyiangan, dan membersihkan hasil perontokan. Tenaga kerja manusia juga digunakan untuk kegiatan panen, pemotong padi dan angkut. Penggunaan tenaga kerja terbanyak adalah pengolahan tanah, tanam, penyiangan, dan panen. Untuk kegiatan tersebut, sebagian besar kebutuhan tenaga kerja dipenuhi dengan tenaga kerja upahan. Dari hal inilah tenaga kerja merupakan masukan yang paling mahal di bidang usahatani padi.

3. Pendapatan Usahatani

Tabel 9 menjelaskan perbandingan pendapatan usahatani padi dan nilai B/C petani yang menggunakan aplikasi PHSL dan non PHSL (dihitung dalam satu musim tanam). Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya usahatani. Dengan demikian, petani akan memperoleh pendapatan usahatani jika penerimaan lebih besar daripada biaya usahataninya. Dalam penelitian ini pendapatan dibagi menjadi dua macam yaitu pendapatan atas biaya dibayarkan dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya dibayarkan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya dibayarkan, sedangkan pendapatan atas biaya total adalah selisih antara penerimaan dengan biaya total usahatani.

Tabel 9. Perbandingan Pendapatan Usahatani dan nilai B/C PHSL dan non PHSL

Uraian Nilai

PHSL non PHSL Penerimaan (Rp) 864,064 6,065,122 Biaya dibayarkan (Rp) 178,529 1,552,572 Biaya total (Rp) 452,472 3,559,495.5

Pendapatan atas biaya dibayarkan (Rp) 685,535 4,512,550 Pendapatan atas biaya total (Rp) 411,592 2,505,626.5

B/C atas biaya total (Rp) 1.91 1.70

Dari nilai B/C, usahatani dengan pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL atau budi daya di lahan PHSL memiliki nilai B/C sebesar 1.91, artinya petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.91 untuk setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya produksi pertanian. Sedangkan usahatani di lahan petani sendiri atau pemupukan rekomendasi petani yang biasa mereka lakukan memiliki nilai B/C sebesar 1.70 yang artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk budidaya pertanian akan mengahasilkan penerimaan sebesar Rp 1.70. Dari hasil ini, budi daya dengan pemupukan rekomendasi aplikasi PHSL lebih menguntungkan, meskipun budi daya petani yang biasa dilakukan di Desa Jembungan sudah cukup menguntungkan. Sehingga petani di Desa Jembungan dapat mengadopsi ataupun tidak mengadopsi inovasi aplikasi PHSL.

(14)

37

C.

ANALISIS FAKTOR PENENTU PETANI UNTUK MENGGUNAKAN

APLIKASI PHSL

Dalam melakukan analisis faktor – faktor penentu adopsi teknologi PHSL di Desa Jembungan digunakan model regresi logistik. Model ini selanjutnya digunakan untuk melakukan pendugaan terhadap masing – masing koefisien dalam model regresi logistik. Variabel penjelas akan diuji kelayakan melalui model regresi logistik, kemudian dilakukan pengujian signifikansi terhadap masing – masing variabel penjelas. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap faktor – faktor yang secara signifikan mempengaruhi penggunaan teknologi PHSL di Desa Jembungan berdasarkan hasil analisis sebelumnya. Model ini akan menghasilkan faktor penentu adopsi teknologi PHSL dan peluang petani untuk mengadopsi teknologi PHSL selanjutnya.

Dari konsep adopsi inovasi teknologi dan pertimbangan kenyataan pada lokasi penelitian di Desa Jembungan, ada enam variabel penjelas yang dapat mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi inovasi PHSL. Keenam variabel itu adalah pendidikan, pernah tidaknya konsultasi dengan PPL, umur, luasan lahan usahatani, status kepemilikan lahan, dan pendapatan usahatani. Variabel tersebut dipilih karena dapat mewakili karakteristik petani (umur dan pendidikan), faktor usahatani (luasan dan status lahan), faktor sosial dan budaya (pernah tidaknya konsultasi dengan PPL) dan pendapatan adalah gabungan dari faktor karakteristik petani dan karakteristik usahatani (lampiran 7).

1. Pendugaan Intersep dan Koefisien Variabel Bebas

Setelah model regresi logistik penelitian ditentukan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan estimasi terhadap masing – masing koefisien dari variabel penjelas model regresi logistik. Dalam regresi logistik teknik estimasi parameter yang dipakai adalah teknik Maximum Likelihood Estimate (MLE). Ringkasan hasil estimasi model regresi logistik terhadap faktor – faktor yang mempengaruhi petani di Desa Jembungan untuk menggunakan aplikasi PHSL dengan menggunakan teknik MLE dijelaskan pada Tabel 10 (selengkapnya Lampiran 8).

Tabel 10. Hasil Estimasi Model Regresi Logistik terhadap Faktor yang Mempengaruhi Petani untuk Menggunakan Teknologi PHSL

Nilai Chi-square atau Statistik Hosmer dan Lemeshow adalah 6.692 dengan Sig. 0.570 Koefisien berada pada nilai -2 Log likelihood 42.684 ; pada tingkat peluang 5%

Dari hasil regresi logistik terlihat bahwa semua variabel bernilai positif (Sig. , Exp (B), Sig. of the Change). Sedangkan koefisien (pendidikan, umur, status lahan, dan penyuluhan) bernilai negatif. Pada variabel umur nilai Exp (B) bernilai 0.909, hal ini menunjukkan bahwa setiap variabel pendidikan bertambah 1 poin maka tingkat adopsi teknologi PHSL akan bertambah 0.909 poin. Begitu juga pada variabel luasan lahan dan pendapatan usahatani yang memiliki nilai berturut – turut sebesar 1.000 dan 1.488, hal ini dapat diartikan setiap penambahan 1 poin pada

Variabel Sig. Exp (B) Sig.of the

Change Koefisien Pendidikan 0.517 0.909 0.147 - 0.070 Umur 0.765 0.958 0.142 - 0.021 Luas lahan 0.902 1.000 0.001 0.000 Status Lahan 0.030 0.031 1.608 - 2.568 Pendapatan 0.047 1.488 0.200 0.288 Penyuluhan 0.067 0.161 0.994 - 1.510 Konstanta 0.656 41.302 8.348 2.593

(15)

38

luasan lahan dan pendapatan, maka tingkat adopsi teknologi PHSL akan bertambah sebesar berturut – turut 1.000 dan 1.488 poin.

Istilah Sig. sebenarnya menyatakan P-value yang akan digunakan dalam Wald test dan istilah Sig. of the Change menunjukkan P-value yang akan digunakan dalam tes rasio likelihood

(likelihood rasio test). Setelah koefisien masing – masing parameter diestimasi, perlu dilakukan pengujian apakah variabel penjelas yang diikutsertakan dalam model mempunyai pengaruh yang nyata terhadap variabel terikat (keputusan adopsi teknologi PHSL). Terdapat dua cara yang dapat digunakan dalam melakukan pengujian tersebut yaitu Wald test dan likelihood ratio test. Dengan uji Wald, variabel penjelas dikatakan mempunyai pengaruh nyata pada taraf ɑ jika P-value (Sig.) variabel tersebut lebih kecil atau sama dengan ɑ (tingkat peluang / signifikansi) yang dipakai. Sementara uji rasio likelihood, variabel penjelas dikatakan mempunyai pengaruh nyata pada ɑ jika

P-value (Sig. of the Change) variabel tersebut lebih kecil atau sama dengan ɑ (tingkat peluang)

yang dipakai.

Pada tabel 9 menunjukkan bahwa konstanta mempunyai pengaruh yang siknifikan berdasarkan Uji Wald pada taraf 5 % karena P-value (sig.) pada konstanta mempunyai nilai yang lebih kecil dari 5 %. Hipotesis yang dibangun adalah sebagai berikut:

Ho = Koefisien Regresi Tidak Signifikan Hi = Koefisien Regresi Signifikan

Pengambilan keputusan (berdasarkan probabilitas, lihat kolom Sig.) adalah sebagai berikut: Jika Sig. > 0,05 maka Ho diterima

Jika Sig. < 0,05 maka Ho ditolak , Hi diterima

Variabel status kepemilikan lahan dan pendapatan pada model regresi ini ditemukan berpengaruh nyata terhadap adopsi teknologi PHSL di Desa Jembungan. Nilai masing – msaing variabel penjelas tersebut berturut – turut adalah 0.030 dan 0.047 dimana semua nilai tersebut lebih kecil daripada tingkat peluang (ɑ) sebesar 5 % atau 0.050.

Nilai Chi-square atau Statistik Hosmer dan Lemeshow digunakan untuk menguji kelayakan dari model ini. Hal ini digunakan untuk melihat apakah data empiris cocok atau tidak dengan model atau dengan kata lain diharapkan tidak ada perbedaan antara data empiris dengan model. Pada model ini akan dinyatakan layak jika signifikansi diatas 0.05 atau -2 Log likelihood dibawah tabel Chi square. Nilai Hosmer and Lemeshow Test adalah 6.692 dengan signifikansi 0.570 > 0.05, sehingga model ini dinyatakan layak dan boleh diinterpretasikan. Nilai Nagelkerke R Square sebesar 0.350 yang berarti bahwa keenam variabel penjelas yang ada mampu menjelaskan varians petani untuk menggunakan aplikasi PHSL sebesar 35 % dan sisanya yaitu 65 % dapat dijelaskan untuk faktor lain.

2. Pembahasan Faktor Penentu Adopsi Teknologi PHSL

Berdasarkan model regresi logistik yang dihasilkan dua dari enam variabel mempunyai hubungan positif dan siknifikan terhadap penggunaan aplikasi PHSL. Kedua variabel tersebut adalah status kepemilikan lahan dan pendapatan usahatani. Status kepemilikan lahan mempengaruhi keputusan yang dapat diambil oleh petani, petani bukan pemilik lahan harus membayar uang sewa lahan atau dapat membayar dengan hasil padi yang dipanen. Sementara itu, petani yang memiliki lahan sendiri tidak perlu melakukan pembayaran terhadap biaya lahan yang digunakan untuk usahatani. Hal ini menyebabkan petani bukan pemilik lahan lebih terpacu untuk menggunakan suatu inovasi seperti aplikasi PHSL yang berpotensi meningkatkan produktivitas padi, sehingga mereka dapat membayar biaya sewa lahan dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

(16)

39

Sektor usahatani merupakan mata pencaharian utama bagi kebanyakan petani di lokasi penelitian mempunyai pengaruh terhadap adopsi inovasi aplikasi PHSL untuk tanaman padi. Petani yang tidak mempunyai penghasilan lain dari sektor usahatani mempunyai kemungkinan yang lebih kecil untuk menggunakan aplikasi PHSL dari pada petani yang mempunyai penghasilan selain dari sektor usahatani padi. Petani yang hanya memiliki penghasilan dari sektor pertanian memiliki risiko kerugian yang lebih besar untuk menggunakan aplikasi PHSL untuk pemupukan padi mereka, jika tanaman padi yang mereka tanam mengalami gagal panen. Jika hal tersebut terjadi maka otomatis petani tersebut tidak mendapatkan penghasilan atau penghasilan mereka berkurang dari biasanya. Sedangkan petani yang memiliki penghasilan lain dari sektor usahatani padi cenderung lebih aman untuk mengadopsi aplikasi PHSL, karena risiko gagal panen dapat ditutupi dengan penghasilan petani tersebut selain dari sektor usahatani padi.

Sementara itu variabel lain seperti umur, pendidikan, penyuluhan dan luasan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap adopsi aplikasi PHSL di Desa Jembungan. Variabel umur berhubungan negatif dan tidak siknifikan terhadap adopsi aplikasi PHSL di lokasi penelitian, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gultom (2008) tentang adopsi petani terhadap teknologi budidaya jagung di Kabupaten Langkat. Sebagian besar beranggapan bahwa umur dapat dijadikan tolok ukur produktivitas seseorang dalam melakukan pekerjaan. Seseorang yang berumur produktif (muda) dirasa akan bekerja lebih baik dan maksimal. Sehingga hipotesis yang dikembangkan adalah pengaruh umur mempunyai sebaran yang normal terhadap adopsi teknologi PHSL di lokasi penelitian. Hal ini disebabkan karena di Desa Jembungan petani muda maupun yang lebih tua tetap memiliki potensi untuk menggunakan aplikasi PHSL untuk usahatani padi. Nilai odd ratio -0.021 menunjukkan bahwa petani yang umurnya lebih tua 1 tahun potensi untuk menggunakan aplikasi PHSL akan berkurang sebesar 2.1 %.

Variabel pendidikan dan penyuluhan tidak mempengaruhi petani untuk mengadopsi teknologi PHSL. Hal ini disebabkan karena pendidikan formal (sekolah) bukan merupakan prasyarat dari diadopsinya suatu inovasi di bidang pertanian oleh petani. Hubungan antara lama pendidikan dengan adopsi inovasi tidak selalu erat jika orientasi tentang inovasi tersebut bisa diperoleh dari luar sekolah (Basuki 2008). Frekuensi penyuluhan yang diikuti petani tidak dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap penggunaan aplikasi PHSL, karena materi penyuluhan oleh petugas lebih ditekankan pada praktik-praktik usahatani yang baik serta ramah lingkungan dan jarang berkaitan dengan inovasi baru atau teknologi di bidang pertanian. Justru untuk meningkatkan kemungkinan adopsi teknologi baru dibidang pertanian maka penyuluh pertanian harus menyampaikan informasi – informasi yang berkaitan dengan inovasi teknologi pertanian kepada petani. Jika materi yang disampaikan oleh penyuluh pertanian jarang yang menyinggung tentang inovasi teknologi pertanian, maka kegiatan penyuluhan tersebut tidak akan berpengaruh terhadap adopsi petani terhadap inovasi teknologi dibidang pertanian.

Gambar

Tabel 6. Faktor – faktor aspek sosial budaya  Uraian Pertanyaan
Tabel 7 menjelaskan tentang perbandingan usahatani padi dengan menggunakan aplikasi PHSL  dan  non  PHSL
Tabel 10. Hasil Estimasi Model Regresi Logistik terhadap Faktor yang Mempengaruhi Petani  untuk Menggunakan Teknologi PHSL

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian kuat tekan mortar yang direndam dalam aquadest, menunjukkan kuat tekan yang semakin meningkat seiring pertambahan umur, baik mortar semen OPC,

Penelitian tentang profesionalisme guru bahasa Arab dan hubungannya dengan prestasi belajar siswa di Kulliyatul Mu‟allimin Al-Islamiyah (KMI) Ta‟mirul Islam

Namum sejauh ini, dalam penegakan hukum di dalam masyarakat adat Aceh, masih terdapat kendala-kedala yang dihadapi, sehingga proses pembangunan hukum adat di Indonesia, khususnya di

Standar Pelayanan Pengadaan Pinjaman Dalam Negeri pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak

Suawardi Endraswara (2005:5) membuat definisi bahwa, “penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan tidak menyertakan angka-angka, tetapi mengutarakan kedalaman

Tabung berisi media pengayaan selektif dengan konsentrasi ganda [5.2.1 a] atau konsentrasi tunggal [5.2.1 b] yang diinkubasikan sesuai 9.2.2, dianggap positif, jika tabung

Perencanaan adalah proses mendefinisikan tujuan organisasi, membuat strategi untuk mencapai tujuan itu, dan mengembangkan rencana aktivitas kerja organisasi.. Perencanaan

Pengguna (Admin, KMK) akan memilih pertemuan. Setelah itu sistem akan menampilkan field-field yang harus dilengkapi oleh pengguna ketika proses penyimpanan pertemuan. Setelah