METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL
MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI PONDOK PESANTREN
RAUDLATUT THALIBIN JETIS GENTAN KECAMATAN
SUSUKAN KABUPATEN SEMARANG, SERTA
RELEVANSINYA DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Muhammad Najmuddin
NIM : 21111024
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan,
arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa :
Nama : Muhammad Najmuddin
NIM : 211 11 024
Judul : Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul
Masail Dan Majlis Syawir di Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan
Susukan Kabupaten Semarang,Serta Relevansinya Di
Indonesia
dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian
dan digunakan sebagaimana mestinya.
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhammad Najmuddin
NIM : 21111024
Jurusan : Ahwal Al Syakhshiyyah
Fakultas :Syariah
Judul Skripsi : METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM
BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI
PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THALIBIN
JETIS DESA GENTAN KECAMATAN SUSUKAN
KABUPATEN SEMARANG, SERTA
RELEVANSINYA DI INDONESIA
menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karyasaya sendiri,
bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuanorang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kodeetik ilmiah.
Salatiga, 09 September 2015
Yang menyatakan,
MOTTO
حلصلأا ديدجلاب داجيلإاو حلاصلا ميدقلا ىلع ةظفاحملا
“
Melestarikan Tradisi Lama Yang Baik,
Dan Membentuk Tradisi Baru Yang Lebih Baik
”
“Aktualisasi Dan Kontekstualisasi Fiqih Dalam Kitab Kuning
Dapat Menjadi Solusi Terhadap Problematika Perilaku
Manusia Yang Tidak Hanya Terbatas Pada Wilayah
Ibadah Mahdhah, Namun Juga Mencakup Aspek Ekonomi,
Pendidikan, Kesehatan, Lingkungan Hidup,
Kependudukan, Politik Dan Kebudayaan”
PERSEMBAHAN
Skripsi ini peneliti persembahkan untuk:
Almarhum ayah tercinta, ayahanda Muhammad Huda Tohaserta Ibu terkasih,
ibunda Isdatul Isnaini yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta
memotivasi peneliti baik moral, materiil, maupunspiritual semenjak kecil
sampai saat ini. Serta dipersembahakan kepada adhek-adhek peneliti, M. Ali
Munawar Huda & Siti Uswatun hasanah yang telah dengan senang hati
membantu kakaknya menyelesaikan skripsi ini.
Guru peneliti, Al-Marhum KH. Mubarok Toha dan KH. Anis Toha (Pengasuh
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis), Al-Marhum Murobbi Ruhina
Romo KH. Baidlowi Syamsuri, Lc., dan KH. Anshor Syamsuri (Pengasuh
Pondok Pesantren Sirojuth Thalibin Brabo), Al-Allamah Prof. Dr. Abdullah
Baharun (Rektor Universitas Al-Ahgaff) beserta para dosennya, Al-„Alim Habib Salim As-Syatiri dan Ad-Da‟i Ilaallah Habib Umar Bin Khafidz selaku guru peneliti di Tareem Hadhramaut Republik Yaman, yang telah banyak
membimbing dan melindungi peneliti dengan do‟a-do‟anya.
Dosen-dosen di IAIN Salatiga khususnya dosen-dosen di lingkungan Fakultas
Syariah
Rekan-rekanita PC IPNU IPPNU Kabupaten Semarang, Sahabat-sahabati
PMII Kota Salatiga, Kawan-kawan LPM Dinamika, Kanda Yunda JQH IAIN
Salatiga, serta sahabat-sahabati di organisasi lainnya yang saya ikuti.
Seluruh santri pondok pesantren se-Indonesia yang sedang berjuang untuk
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillahi robbil‟aalamiin, segala puji dan syukur kami panjatkan
atas kehadiran Allah swt yang telah memberikan taufiq sertahidayah-Nya yang
tiada terhingga, sehingga peneliti dapat menyelesaikanskripsi ini dengan judul
“Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir Di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan
Kabupaten Semarang, Serta Relevansinya Di Indonesia”.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad saw, kepada keluarga, sahabat-sahabatnya, serta
parapengikutnya yang setia. Beliaulah sebagai rasul utusan Allahuntuk
membimbing umat manusia dari zaman jahiliyah sampai pada zamanyang modern
ini. Beliau juga lah yang selalu menjadi inspirasi dalam langkah-langkah kita.
Alhamdulillah berkat kerja keras serta dukungan dari berbagai pihak,
skripsi yang peneliti susun ini dapat terselesaikan tanpa ada suatu halangan
apapun. Tentunya dalam skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan dengan
sempurna tanpabantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu
peneliti. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.
3. Bapak Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si. selaku Ketua Jurusa Ahwal Al-Syakhsiyyah sekaligus Dosen Pembimbing yang telah memberikan bantuan,
arahan, dan bimbingan kepada peneliti dengan penuh kesabaran sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membekalipeneliti dengan
berbagai ilmu pengetahuan selama menempuh pendidikan di IAIN Salatiga,
sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsiini.
5. Almarhum ayah tercinta, ayahanda Muhammad Huda Tohaserta Ibu terkasih,
ibunda Isdatul Isnaini yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta
memotivasi peneliti baik moral, materiil, maupunspiritual.
6. Pengasuh, asatidz, alumni, kepala Pondok Pesantren, Ketua Lajnah Bahtsul
Masail Pondok Pesantren Raudlatut Thalibinbeserta jajaran kepengurusannya
yang telahmemberikan ijin serta memberikan fasilitas dalam pelaksanaan
penelitianskripsi yang peneliti lakukan
Skripsi yang telah peneliti susun ini pastinya masih jauh dari kata
sempurna.Maka dari itu peneliti mengharapkankritik dan saran dari para pembaca
yang bersifat membangun dan dapat memperbaiki skripsi di masa mendatang.
Akhirul kalam, semoga skripsi inidapat berguna bagi peneliti khususnya serta para
pembaca pada umumnya. Amin ya Robbal Alamin.
Salatiga, 09 September 2015
ABSRTAK
Najmuddin, Muhammad. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir DI Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang, Serta Relevansinya Di Indonesia. Skripsi. Jurusan Syariah. Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah. Fakultas Syari‟ah.Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si.
Kata Kunci: Ijtihad Kolektif, Bahtsul Masail, Majlis Syawir Ilhaq, Taqrir Jama‟i. Skripsi yang penelititulis ini berusaha mengungkap problematika minimnya orang-orang yang kompeten untuk berijtihad pada saat ini. Banyak cendikiawan yang mencetuskan ide tentang ijtihad kolektif melalui forum ilmiah sebagai sebuah solusi untuk menjawab problematika diatas. Salah satu metode ijtihad kolektif yang sudah ada di Indonesia adalah metode bahtsul masail dan majlis syawir. Pondok pesantren yang sudah melaksanakan metode bahtsul masail adalah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis. Berangkat dari hal-hal tersebut, peneliti membahas pada empat fokus masalah dalam skripsi ini, yaitu Bagaimana metode penalaran hukum Islam dalam bahtsul masail? Bagaimana metode penalaran hukum Islam dalam majlis syawir? Bagaimana metode bahtsul masail di Pondok Pesantren tersebut? Dan bagaimana relevansi kedua metode tersebut di Indonesia?
Melalui penelitian kualitatif, peneliti mengungkap fokus permasalahan diatas. Dengan metode tersebut peneliti langsung melakukan observasi lapangan untuk melihat secara langsung pelaksanaan bahtsul masail dan majlis syawir di pondok pesantren tersebut. Selain itu, untuk menambah data peneliti juga melakukan wawancara kepada berbagai narasumber sesuai dengan data yang kami butuhkan. Peneliti juga menggunakan data serta dokumentasi yang ada pada pengurus LBM untuk melengkapi data yang peneliti butuhkan. Dan untuk menguji hasil temuan data tersebut maka peneliti mengadakan analisis data dengan menggunakan kerangka teoritik yang peneliti buat.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……….
LEMBAR BERLOGO ……..………....
NOTA PEMBIMBING …………..…..……….
LEMBAR PENGESAHAN KELULUSAN………..
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .……… G. Metodologi Penelitian …….………...
2. Kehadiran Peneliti dan Tempat Penelitian ...
3. Teknik Pengumpulan Data ...
4. Analisis Data ...
5. Pengecekan Keabsahan Data ...
6. Tahap-Tahap Penelitian ...
H. Sistematika Penulisan .………...
BAB II BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR SEBAGAI SEBUAH
METODE PENALARAN HUKUM ISLAM
A. Definisi Ijtihad ……… B. Landasan Yuridis Normatif Ijtihad ………. C. Syarat-Syarat Melakukan Ijtihad .……… D. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid .………. E. Ijtihad Kolektif .………... F. Ijtihad Dalam Perspektif Ulama‟ Nahdliyyin .………. G. Bahtsul Masail Sebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif .…. H. Majlis Syawir Sebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif .…….
BAB III METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL
MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI PONDOK PESANTREN
RAUDLATUT THALIBIN JETIS
Raudlatut Thalibin ………..………... C. Tujuan Diadakannya Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir Di
Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin ..………. D. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail
1. Pelaksanaan Bahtsul Masail ……… 2. Tarjih Ibarat (I‟tibar) Dalam Bahtsul Masail ……... E. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Majlis Syawir
1. Pelaksanaan Majlis Syawir ……….. 2. Ilhaqul Masail Dalam Majlis Syawir ………... F. Persamaan Dan Perbedaan Metode Penalaran Hukum Islam
Dalam Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir
1. Persamaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir ..……. 2. Perbedaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir ……… G. Contoh Produk Hukum LBM Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin
1. Produk Hukum Bahtsul Masail ………. 2. Produk Hukum Majlis Syawir ………...
BAB IV RELEVANSI BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI
INDONESIA
A. Khazanah Keilmuan Islam Nusantara ..………. B. Pembangunan Fiqih Indonesia Yang Aktual dan Kontekstual ....
D. Legislasi Dan Formalisasi Syariat Islam .……….. E. Peningkatan Intelektualitas dan Grafik Ilmiah Bagi Santri …... F. Forum Penyaluran Ilmu Dari Ulama‟ dan Cebdikiawan Muslim
BAB II PENUTUP
A. Kesimpulan …….………...
B. Saran ……….……….
DAFTAR PUSTAKA ..……….
GLOSARY ………
LAMPIRAN ………..
113
119
122
125
127
129
133
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari
Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui rasul-Nya Nabi Muhammad
SAW, yakni Al Qur‟an Al Karim. Sebagai sebuah sumber hukum tertinggi dalam syariat Islam, al-Qur‟an merupakan satu-satunya kitab suci yang tidak pernah mengalami perubahan satu huruf pun semenjak diturunkan kepada manusia.
Kemudian sumber hukum agama Islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita
kenal dengan Hadits. Sebagai sebuah sumber hukum, hadis sendiri yang pada
awalnya tidak pernah terbukukan, dan kemudian baru dikodifikasi oleh para
ulama‟ hadis setelah mengalami penyaringan yang sangat ketat.
Al-Qur‟an dan hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat. Selain itu, Al-Qur‟an dan hadits juga merupakan sumber utama hukum dan aturan yang wajib dipegang teguh oleh umat Islam. Semua hukum yang
berhubungan dengan syariat Islam tidak boleh bertentangan dengan teks-teks
al-Qur‟an dan hadist. Dalam berbagai ayat-Nya, Allah menerangkan bahwa seluruh hukum harus meruju‟ dari al-Qur‟an dan al-Hadits.
Namun, seiring dengan berkembangnya zaman banyak problematika umat
Islam yang tidak dapat dijawab secara implisit dan tidak terdapat solusinya dalam
banyak dan berkembang. Umat Islam harus segera mendapatkan solusi dan
jawaban atas semua problematika tersebut. Dalam hal ini baik al-Qur‟an dan al -Hadist memberikan sebuah solusi yang bernama Ijtihad. Ijtihad merupakan
metode penalaran terhadap hukum yang tidak terdapat secara implisit dalam
al-Qur‟an dan al-Hadits tetapi dapat dipahami secara eksplisit dari keduanya.
Walaupun ijtihad merupakan sebuah metode dalam pencarian hukum
Islam, bukan berarti tidak menemukan hambatan dalam pelaksanaannya. Salah
satu kendala yang timbul adalah minimnya para ulama‟ dan cendikiawan yang berkompeten untuk melakukan ijtihad. Syarat dan ketentuan yang diharuskan ada
pada seorang mujtahid sangatlah sulit untuk ditemukan pada sosok cendikiawan
pada masa ini. Tentunya hal ini merupakan sebuah problem besar yang harus
segera dituntaskan, karena waktu terus berjalan dan problematika umat semakin
berkembang dan harus segera mendapatkan jawaban dan solusi.
Untuk menjawab problematika minimnya mujtahid tersebut, Dr. Yusuf
Al-Qardhawi memberikan sebuah solusi melalui sebauh metode ijtihad yang dia
namakan dengan ijtihad kolektif. Ijtihad kolektif adalah “metode ijtihad dimana para ilmuwan memusyawarahkan semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal
yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas manusia” (Al-Qardhawi,
2000:138). Manurut al-Qardhawi, ijtihad kolektif bahkan dipandang sebagai
metode yang lebih baik karena lebih mendekati kebenaran dari pada pendapat
perseorangan, walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang sangat
Ijtihad kolektif tersebut dapat dilangsungkan melalui forum atau diskusi
ilmiah yang selama ini banyak diselenggarakan oleh umat Islam di berbagai
belahan dunia. Menurut Dr. Muhammad Yusri (2008:369), umat Islam pada
zaman modern banyak sekali dihadapkan dengan berbagai problematika baik itu
dalam masalah ibadah, mu'amalat, maupun dalam siyasah syar‟iyyah (politik
Islam). Problematika-problematika tersebut menurutnya harus mendapatkan
perhatian dari mujtahid dengan cara mencarikan hukum dan solusinya. Termasuk
dalam cara pencarian hukum dan solusi adalah melalui al-majalis al-ilmiyyah
(lembaga-lembaga kelimuan yang ilmiah) dan al-majami‟ al-ilmiah (forum-forum
ilmiah).
Majlis dan forum-forum ilmiah sebagai sebuah metode ijtihad kolektif
seperti yang diungkapkan oleh Dr. Muhammad Yusri di atas sudah banyak
diselenggarakan di Indonesia. Diantara majlis dan forum ilmiah tersebut adalah
bahtsul masail di komunitas nahdliyyin, dan masjlis tarjih di komunitas
Muhammadiyyah. Bahkan pelaksanaan forum dan majlis ilmiah yang bernama
bahtsul masail tidak hanya dilakukan oleh komunitas nahdliyyin di tingkatan
struktural, namun juga dilakukan oleh kalangan nahdliyyin di tingkatan kultural.
Pelaksanaan bahtsul masail oleh kalangan kultural dari nahdliyyin tersebut selama
ini banyak dilakukan oleh pesantren-pesantren, terutama pondok pesantren salaf
di Indonesia.
Salah satu pesantren yang melaksanakan penalaran hukum Islam melalui
ijtihad kolektif dalam forum atau majlis ilmiah adalah Pondok Pesantren
Semarang.Pesantren ini mengaplikasikan Ijtihad kolektif tersebut ke dalam 2 buah
metode. Metode yang pertama adalah Bahtsul Masail. Dalam metode ini para
santri diberikan sebuah permasalahan kontemporer yang dihadapi oleh umat
Islam. Kemudian para santri dituntut untuk memberikan sebuah dalil yang
bersumber dari kitab-kitab fiqh yang mempunyai illatul hukmi yang sama dengan
kasus masalah tersebut. Dalil-dalil tersebut kemudian didiskusikan oleh para
santri untuk disepakati dalil manakah yang lebih tepat atau medekati kasus hukum
diatas.
Metode yang kedua adalah Majlis Syawir. Dalam metode ini para santri
mencari sebuah illatul hukmi yang terdapat dalam sebuah teks kitab fathul qarib.
Kemudian setelah mendapatkan illatul hukmi tersebut maka mereka berdiskusi
untuk mencari masalah-masalah hukum kontemporer apa saja yang bisa
menggunakan dalil pada teks kitab tersebut.
Dalam penerapannya, kedua metode diatas mempunyai keunggulan
masing-masing, yang mana keunggulan yang satu mengisi kelemahan metode
yang lain. Metode tersebut telah banyak menelurkan solusi hukum untuk
menjawab problematika kontemporer yang menjadi dinamika umat Islam. Kedua
metode tersebut sangatlah tepat dan relevan apabila diaplikasikan oleh para
cendikiawan baik dari kalangan santri maupun akademisi di negara Indonesia.
Metode ini juga berfungsi sebagai solusi untuk menjawab minimnya mujtahid
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik permasalahan
sebagai berikut
1. Bagaimana metode penalaran hukum Islam yang digunakan dalam Bahtsul
Masail?
2. Bagaimana metode penalaran hukum Islam yang digunakan dalam Majlis
Syawir?
3. Bagaimana relevansi Bahtsul Masail dan Majlis Syawir di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui penalaran hukum Islam dengan metode Bahtsul Masail.
2. Mengetahui penalaran hukum Islam dengan metode Majlis Syawir.
3. Mengetahui relevansi metode-metode tersebut dalam menjawab problematika
kontemporer umat Islam di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a.
Hasil penelitian dapat memberikan masukan berharga berupa konsep danmetode penalaran hukum Islam dalam mememecahkan sebuah kasus
hukum.
b. Hasil penelitian dapat dijadikan sumber bahan yang penting bagi
parapeneliti di kajian hukum Islam, khususnya kajian yuridis hukum
c. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmu bagi
peneliti,seluruh pembaca pada umumnya, dan bagi mahasiswa Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga pada khususnya.
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi mengenai bahtsul masail dan majlis syawir sebagai
salah satu metode ijtihad kolektif dalam menjawab dan memecahkan
problematika kontemporer umat Islam. Hal ini diharapkan mampu membantu
para mahasiswa dan para akademisi dalam mengatasi berbagaipermasalahan
umat Islam yang terjadi dengan efektif dan bermakna.
E. Penegasan Istilah
1. Definisi Bahtsul Masail
Bahtsu dari segi bahasa berarti membahas. Sedangkan masail adalah
jama‟ dari kata mas‟alah yang berarti masalah atau problematika. Definisi
bahtsul masail secara istilah adalah “salah satu forum diskusi keagamaan
untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual yang muncul dalam kehidupan masyarakat”. Melalui forum bahtsul masail, para
ulama‟, cendikiawan dan santri selalu aktif mengagendakan pembahasan tentang problematika aktual dengan berusaha secara optimal untuk
memecahkan kebuntuan hukum Islam akibat perkembangan sosial
masyarakat yang terus menerus tanpa mengenal batas, sementara secara
2007:XVII). Yang dimaksud bahtsul masail disini adalah forum diskusi yang
diselenggarakan oleh Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin dalam membahas serta menganalisa permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat, baik itu yang menjadi isu lokal, nasional, maupun
internasional.
2. Majlis Syawir
Majlis merupakan bahasa arab yang artinya tempat duduk.Sedangkan syawir
sendiri artinya adalah bermusyawarah. Majlis Syawir dalam terminologi yang
dibuat oleh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah salah satu forum
diamana para santri mencari sebuah illatul hukmi yang terdapat dalam sebuah
teks kitab fathul qaribkemudian mencocokkan dengan problematika
kontemporer yang ada.
F. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran peneliti, kajian dan hasil penelitian mengenai
bahtsul masail baik itu berupa penelitian, buku maupun yang lainnya belum lah
terlalu banyak. Diantara hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti adalah
jurnal yang ditulis oleh Sukron Ma‟mun. Dalam jurnalnya yang berjudul “Ilhaq Dalam Bahtsul Masail NU: Antara Ijtihad Dan Ikhtiyath” tersebut, Sukron
pengkaji ushul fiqih, dan ternyata ini merupakan metode yang sering digunakan
dalam bahtsul masail yang diselenggarakan oleh organisasi Nahdlatul Ulama
(NU).
Sedangkan dalam bentuk skripsi, penelitian tentang bahtsul masail pernah
dilakukan Izul Anwar, mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan
Madzhab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam
skripsinya yang berjudul “Studi Perbandingan Penetapan Hukum Dalam Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Dan Bahtsul Masail Rifa‟iyyah”, Izzul Anwar (2010:19) meneliti tentang metode bahtsul masail yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan
bahtsul masail yang dilakukan oleh aliran Rifa‟iyyah. Dalam skripsinya, peneliti mengungkap tentang persamaan dan perbedaan antara metode bahtsul masail di
dalam organisasi NU dan aliran Rifa‟iyyah.
Persamaan antara metode bahtsul masail di kalangan NU dan aliran
Rifa‟iyyah adalah sama-sama menganut faham ahlussunnah wal jama‟ah. Baik NU maupun aliran Rifa‟iyyah sama-sama mengakui dan menggunakan pendapat para mujtahid dan para fuqaha yang tercantum dalam kitab kuning. Metode dan
prosedur yang mereka gunakan dalam penetapan hukum pun juga sama, karena
keduanya condong kepada madzhab Syafi‟yyah. Sedangkan perbedaan bahtsul masail antara NU dan aliran Rifa‟iyyah adalah adanya dominasi dalam penggunaan kitab-kitab aliran Rifa‟iyyah dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh aliran Rifa‟iyyah. Sedangkan dalam bahtsul masail NU tidak ada dominasi dalam penggunaan kitab-kitab yang digunakan sebagai sebuah referensi kecuali
Salah satu peneliti yang pernah meneliti bahtsul masail adalah Jaih
Mubarok. Jaih Mubarok (2002:179) dalam bukunya Metodologi Ijtihad Hukum
Islam mengungkapkan bahwa bahtsul masail merupakan salah satu metode
pengambilan keputusan hukum yang ditetapkan dalam NU. Dengan metode ini
keputusan bahtsul masail dibuat dalam bermadzhab kepada salah satu dari empat
madzhab yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qauli. Oleh
karena itu prosedur pengambilan hukum tersebut secara garis besar banyak
merujuk kepada pendapat individu para tokoh madzhab dalam kitab-kitab mereka.
Di kalangan bahtsul masail NU, istinbath hukum dalam bahtsul masail
merupakan alternatif terakhir, yaitu ia dapat dilakukan apabila suatu masalah atau
pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standard. Dengan
demikian tidak ada peluang untuk melakukan pemilihan pendapat dan tidak
memungkinkan para ulama‟ untuk melakukan ilhaq karena tidak ada mulhaq bih
dan wajh ilhaq. Dalam hal ini pun kemudian istinbath dilakukan secara kolektif
dengan mengaplikasikan kaidah ushul dan kaidah fiqih (Mubarok, 2002:179).
Peneliti sendiri pernah melakukan penelitian secara kolektif dalam
penelitian kompetitif kolektif yang pernah diadakan STAIN Salatiga tahun 2013.
Dalam penelitian terdahulu bersama 2 peneliti lain, peneliti mengambil judul
“Bahtsul Masail Sebagai Metode Ijtihad Kolektif Dalam Menjawab Problematika Kontemporer Umat Islam (Studi Kasus di Pondok Pesantren Sirajuth Thalibin
Brabo Tanggungharjo Grobogan)”. Dalam penelitian tersebut peneliti mengungkap tentang metode ijtihad kolektif dalam bahtsul masail. Ijtihad kolektif
yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi
mayoritas manusia. Ijtihad kolektif bahkan dipandang sebagai metode yang lebih
baik karena lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan,
walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang sangat tinggi.
Di Indonesia sendiri pelaksanaan ijtihad kolektif telah sejak lama
diterapkan dalam dunia pesantren dan ormas-ormas Islam. Salah satu ormas Islam
yang melaksanakan ijtihad kolektif tersebut adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ijtihad
kolektif tersebut kemudian terkenal di Indonesia dengan istilah Bahtsul Masail.
Bahtsul Masail sebagai sebuah metode ijtihad kolektif berupaya untuk menjawab
problematika kontemporer yang berkembang di masyarakat Islam. Dengan
mengadopsi metode-metode istinbat para ulama‟ salaf, para peserta bahtsul masail berupaya menganalisis masalah dan mencarikan solusi hukumnya.
Praktek pengambilan keputusan hukum dalam NU itu kemudian diadopsi
oleh banyak pesantren yang berlatar belakang NU. Salah satu pesantren NU yang
mengadakan forum bahtsul masail adalah Pondok Pesantren Sirojut Thalibin
Brabo Tanggungharjo Grobogan. Pesantren ini telah melaksanakan bahtsul masail
dalam waktu yang sangat lama. Bahkan kemudian telah menjadi tradisi sampai
sekarang. Forum ini telah banyak menelurkan solusi hukum untuk menjawab
problematika kontemporer yang menjadi dinamika masyarakat umat Islam.
Sedangkan penelitian yang sekarang ini peneliti mempunyai titik fokus
pada kajian metode bahtsul masail yang dilakukan oleh Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin serta relevansi metode tersebut dalam menjawab problematika
bahtsul masail di pesantren tersebut ikut memberikan sebuah peran dan solusi
dalam menjawab problematika kontemporer umat Islam. Dan kemudian juga
diungkap bagaimana peran bahtsul masail dalam bidang pendidikan bagi para
santri, ulama‟ dan masyarakat.
Dalam perkembangannya Pesantren tersebut juga menerapkan metode
penalaran hukum Islam atau ijtihad kolektif yang lain. Metode tersebut adalah
Majlis Syawir. Dalam metode ini para santri mencari sebuah illatul hukmi yang
terdapat dalam sebuah teks kitab fathul qarib. Kemudian setelah mendapatkan
illatul hukmi tersebut maka mereka berdiskusi untuk mencari masalah-masalah
hukum kontemporer apa saja yang bisa menggunakan dalil pada teks kitab
tersebut.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Untuk membantu memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian,
peneliti akan menggunakan jenis penelitian secara kualitatif dan
menggunakan beberapa pendekatan sebagai acuan dalam penulisan karya
ilmiah ini. Secara jelasnya peneliti paparkan sebagai berikut:
a. Penelitian Kualitatif
Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh Prof. DR. Lex J.
Moleong, M.A. dari kutipan Bogdan dan Taylor (2011:4) bahwa, “metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
dapat diamati”. Dari pengertian tersebut, sudah barang tentu sesuai dengan judul penelitian yang telah ada ini, peneliti akan berada pada latar yang
alamiah sehingga metode yang akan digunakan adalah dengan melakukan
wawancara, observasi, catatan lapangan dan pemanfaatan dokumen
pelakasanaan bahtsul masail dan majlis syawir di Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin Jetis.
b. Pendekatan
Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah ini
adalah sebagai berikut:
1) Pendekatan Ushul Fiqih
Ushul fiqh menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah “ilmu tentang
kaedah, aturan dan pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum syara‟ mengenai suatu perbuatan dan dalil
-dalilnya secara terperinci” (Mustofa & Wahid, 2009:68). Dengan
pendekatan secara ushul fiqih tersebut maka peneliti akan
menggunakan ushul fiqih untuk menganalisis sumber data yang
berkenaan dengan metode pengambilan hukum, sumber hukum dan
produk hukum bahtsul masail dan majlis syawir.
2) Pendekatan Hermeneutika
Menurut Imam Suprayogo (2003:73), hermeneutika merupakan
metode bahkan aliran dalam penelitian kualitatif, khususnya dalam
memahami makna teks (kitab suci, buku, undang-undang, dan
hermeneutika adalah agar tidak terjadi distorsi pesan atau informasi
antara teks, penulis teks, dan pembaca teks. Tujuan spesifikasinya
adalah mengembangkan pengetahuan yang memberikan pemahaman
dan penjelasan yang menyeluruh dan mendalam.
2. Kehadiran Peneliti dan Tempat Penelitian
Peneliti telah melaksanakan observasi dan wawancara langsung pada
obyek kajian sehingga sudah barang tentu peneliti barada pada lapangan
bersama nara sumber yang ada. Penelitian dilaksanakan di adalah Pondok
Pesantren Roudlotut Tholibin Jetis Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten
Semarang. Alasan peneliti memilih pondok pesantren tersebut untuk
dijadikan obyek penelitian adalah karena pelaksanaan bahtsul masail di
pesantren tersebut telah berjalan secara dinamis dalam jangka waktu yang
lama. Peran yang diberikan pesantren tersebut melalui program
pendidikannya di bahtsul masail telah memberikan manfaat terhadap berbagai
pihak. Selain itu juga, pesantren tersebut mengagendakan majlis syawir yang
sangat jarang ada di pesantren lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik penumpulan data merupakan langkah yang paling penting
dalam sebuah penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah untuk
mendapatkan data. Dalam pelaksanaan penelitian ini, data akan diperoleh
a. Observasi Terlibat
Observasi terlibat adalah“teknik pengumpulan data dimana penyelidik mengadakan pengamatan secara langsung (tanpa alat)
terhadap gejala-gejala subyek yang sedang diteliti, baik pengematan itu
dilakukan di dalam situasi yang sebenarnya maupun dilakukan di dalam
situasi yang khusus diadakan” (Surachmad, 1972:155). Disini peneliti
langsung terjun mengikuti dan berinteraksi langsung di Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten
Semarang. Peneliti juga secara langsung mengikuti kegiatan bahtsul
masail dan majlis syawir yang dilaksanakan di pesantren tersebut.
Peneliti sendiri juga merupakan orang yang terlibat dalam kegiatan
tersebut dalam beberapa tahun. Dengan observasi terlibat ini peneliti
dapat mengetahu secara langsung proses pelaksanaan bahtsul masail dan
majlis syawir serta metode yang digunakan dalam forum tersebut.
b. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara
(interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moelong,
2011:186 ). Peneliti telah melakukan wawancara dengan pengasuh
pesantren dengan tujuan untuk mengetahui sejarah pesantren tersebut
serta peran bahtsul masail dan majlis syawir bagi santri dan masyarakat.
untuk mengetahu sejauh mana pelaksanaan dan peran mereka terhadapa
kegiatan bahtsul masail dan majlis syawir. Kelompok ketiga yang
diwawancarai peneliti adalah pengurus pesantren. Wawancara tersebut
dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara jelas mengenai profil dan
program kerja Lajnah Bahtsul Masail (LBM) di Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin Jetis, serta pelaksanaan bahtsul masail dan majlis
syawir di pesantren tersebut. Wawancara juga dilakukan dengan alumni
pesantren untuk mengetahui manfaat metode tersebut bagi para alumni.
c. Catatan Lapangan
Catatan lapangan merupakan catatan yang dibuat di lapangan pada
saat melaksanakan penelitian yang berisikan informasi penting apa saja
yang didapatkanpeneliti berdasarkan apa yang telah dilihat, didengar, dan
dirasakan saat melaksanakan observasi lapangan tersebut. Catatan
lapangan yang peneliti tulis adalah seputar pelaksanaan kegiatan bahtsul
masail dan majlis syawir.
d. Penggunaan Dokumen
Dokumen dalam artian ini adalah setiap bahan tertulis ataupun film
(foto) saat pelaksanaan penelitian sabagai bukti autentik dalam membantu
penyusunan laporan penelitian setelah purna. Dokumen yang peneliti
gunakan adalah dokumentasi hasil kegaiatan kegiatan bahtsul masail dan
bahtsul masail yang pernah dilakukan oleh pesantren tersebut. Dokumen
foto-foto kegiatan, tata tertib kegiatan, hasil musyawarah LBM, dan yang
lain sebagainya.
4. Analisis Data
Data yang terkumpul selanjutnya akan penulis analisa dengan
menggunakan teknik analisa data dengan cara:
a. Reduksi Data
Reduksi adalah ”proses identifikasi satuan unit” (Moleong, 2011:288). Peneliti melakukan reduksi data dengan cara mengidentifikasi
setiap data-data yang didapatkan, baik data melalui dokumen, wawancara
maupun observasi. Identifikasi ini dilakkan peneliti untuk lebih dapat
memahami dari setiap data yang didapatkan.
b. Kategorisasi
Kategorisasi adalah “upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam
bagian-bagian yang memiliki kesamaan” (Moleong, 2011:288). Peneliti
melakukan kategorisasi dengan cara memilah setiap data-data yang
didapatkan, baik data melalui dokumen, wawancara maupun observasi.
Kategorisasi tersebut dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam
menyatukan data-data tersebut nantinya.
c. Sintesisasi
Sintetsisasi adalah“mencari kaitan antara satu kategori dengan
kategori yang lainnya agar bertemu titik permasalahannya” (Moleong,
2011:289). Data yang telah dikategorikanoleh peneliti kemudian dicari
ke dalam satu pembahasan yang sama sehingga dapat memberikan sebuah
penjelasan yang utuh
5. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam rangka mendapatkan informasi yang faktual dan terperinci,
maka penelitu menggunakan beberapa teknik pengecekan data yang diuraikan
sebagai berikut:
a. Triangulasi
Triangulasi adalah“sebuah teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain” (Moleong, 2011:330). Artinya,
melalui teknik ini data pokok yang ada akan dibandingkan dengan data
pendukung lainnya, baik berdasarkan sumber, metode, penyidik, dan teori.
Dalam hal ini peneliti membandingkan antara data-data yang didapatkan
peneliti melalui wawancara dengan dokumentasi serta hasil observasi
lapangan. Selain itu peneliti juga membandingkan antara metode yang
dilaksanakan dengan apa yang menjadi dasarnya dalam kitab kuning atau
buku panduan pelaksanaan program tersebut.
b. Uraian Rinci
Dalam teknik ini penelititelah melaporkan hasil penelitiannya
sehingga urainnya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin.
c. Auditing
Auditing adalah “proses pemeriksaan kebergantungan dan
informasi yang didapatkan peneliti baik berbentuk catatan ataupun data
lainnya dimanfaatkan dalam proses auditing.
6. Tahap-tahap Penelitian
Pada tahapan ini peneliti membaginya dalam tiga tahap yaitu:
a. Tahap Pra-lapangan
Dalam tahap pertama ini ada lima hal yang telah dilengkapi oleh
peneliti, yaitu:
1. Menyusun rancangan penelitian.
2. Mengurus perizinan.
3. Menjajaki dan menilai lapangan.
4. Memilih dan memanfaatkan informan.
5. Menyiapkan perlengkapan penelitian.
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga bagian,
yaitu:
1. Memahami latar penelitian.
2. Adaptasi peneliti dilapangan.
3. Berperan serta sambil mengumpulkan data.
c. Tahap Pasca Lapangan
Pada bagian ini akan dibahas prinsip pokok, tetapi tidak akan
dirinci bagaimana cara analisis data itu dilakukan. Dalam penelitian kali
ini peneliti secara langsung melakukan analisisnya dalam setiap bab tanpa
dilakukan karena peneliti ingin menyajikan dua pokok pembahasan dalam
babnya sendiri-sendiri.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian yang peneliti susun mencakup subtansi sebagai
berikut:
Bab I adalah Pendahuluan. Dalam bab ini peneliti menguraikan tentang :
Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Penegasan Istilah, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan Penelitian.
Bab II mengemukakan tentang Bahtsul Masail dan Majlis Syawir sebagai
metode penalaran hukum Islam. Dalam bab ini peneliti menguraikan tentang
Tinjauan Umum Ijtihad, Landasan Normatif Yuridis Ijtihad, Syarat Ijtihad,
Ruang Lingkup Ijtihad, Tingkatan Mujtahid, serta Bahtsul Masail dan Majlis
Syawir Sebagai Metode Ijtihad Kolektif.
Bab III menjelaskan tentang Paparan Data dan Temuan Penelitian
pelaksanaan Bahtsul Masail dan Majlis Syawir di Pondok Pesantren Raudlatut
Thalibin. Yang dibahas dalam bab ini yaitu Gambaran Umum tentang Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten
Semarang, Latar Belakang Pelaksanaan Bahtsul Masail dan Majlis Syawir di
pesantren tersebut, Metode Bahtsul Masail dan Majlis Syawir, dan Contoh
Bab IV menguraikan tentang relevansi metode bahtsul masail dan majlis
syawir di Indonesia. Dalam bab ini menjelaskan tentang peran bahtsul masail
dan masjllis syawir Di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin serta relevansinya
di Indonesia terutama dalam menjawab berbagai problematika kontemporer.
Selain itu juga diuraikan bagaimana metode yang digunakan oleh pondok
pesantren tersebut serta hasil dari kajian yang ada dapat diadopsi di pesantren
lain atau kalangan akademisi dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum.
Bab V adalah Penutup. Dalam bab terakhir ini adalah membahas tentang
kesimpulan penelitian yang telah dilakukan dan saran-saran yang diharapkan
dapat memberikan manfaat dalam pengembangan Bahtsul Masail dan Majlis
Syawir sebagai sebuah metode ijtihad dan penutup sebagai kesempurnaan dalam
BAB II
BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR SEBAGAI SEBUAH METODE PENALARAN HUKUM ISLAM
A. Definisi Ijtihad
Kata ijtihad merupakan mashdaryang berasal dari kata fiil madhiijtahada
dan fiil mudhari‟yajtahidu.Kata ijtahada merupakan fiil tsulasi mazid yang
mengikuti wazanifta‟ala dan berasal dari fiil tsulasijahada. Jahada mempunyai
arti berusaha dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan ijtihad sendiri secara
etimologi mempunyai beberapa arti, yaitu kerja keras atau sungguh-sungguh,
pengetahuan mengenai hukum atau jurisprudensi, dan mencurahkan segala
kemampuan atau menanggung beban (Ali & Ahmad, 1998:27).
Adapun secara terminologi para ulama‟ banyak memberikan definisi tentang ijtihad. Menurut al-Amidi seperti yang dikutip dalam buku Hukum Islam
Kontemporer (2009:68), ijtihad adalah “mengerahkan segenap kemampuan dalam
mencari hukum syar‟i yang bersifat dzanny, dalam batas sampai dirinya merasa
mampu melebihi usahanya sendiri itu”. Sedangkan definisi ijtihad menurut Imam
al-Ghazali adalah “pencerahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka
memperoleh hukum-hukum syar‟i” (Mustofa & Wahid, 2009:68).
Imam al-Mahalli dalam kitab Syarah Waraqat memberikan definisi ijtihad
sebagai berikut:
Menurut Imam al-Mahalli, Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk
mencapai sebuah tujuan yang diinginkannya dalam sebuah keilmuan tertentu yang
ingin dia dapatkan (Yusri, 2008:369).
Dari berbagai definisi ijtihad yang diberikan oleh para mujtahid maka bisa
dilihat bahwa yang menjadi konteks ijtihad adalah pencarian hukum yang
berkaitan dengan syariat Islam. Pencarian hukum tersebut harus disertai dengan
segala kemampuan yang dimiliki oleh orang tersebut. Sedangkan yang menjadi
obyek dari ijtihad sendiri adalah ketika permasalahan tersebut bersifat dzanny,
belum ada ketetapan pasti dari syariat Islam.
Tidak semua urusan dalam agama dibenarkan untuk menjadi obyek ijtihad.
Ada wilayah yang tidak boleh diijtihadi dan ada wilayah yang boleh diijtihadi.
Menurut Dr. Muhammad Yusri (2008:371), wilayah yang diperbolehkan untuk
menjadi obyek ijtihad terfokus pada dua hal, yaitu:
1. Permasalahan yang tidak ada ketentuan hukumnya sama sekali, baik itu
dalam al-Qur‟an maupun al-Hadis.
2. Permasalahan yang disebutkan hukumnya, tetapi ada pertentangan antara satu
dalil dengan dalil yang lainnya.
Dalam permasalahan terakhir tersebut yang menjadi wilayah ijtihad hanya sebatas
menyatukan antara dalil-dalil yang bertentangan atau melakukan tarjih terhadap
salah satu dalilnya.
Imam al-Ghazali telah memberikan batasan khusus berkenaan lapangan
tertentu dan tidak mengandung makana lain. Qath‟i dapat pula berarti suatu lafadz
yang dipahami darinya satu makna tertentu dan tidak mengandung kebolehan
untuk ditakwil serta tidak mengandung kemungkinan untuk dipahami makna lain,
selain ditunjukkan lafadz itu (Mustofa & Wahid, 2009:70-71).
Menurut alasan tekstual dan logis syariah historis, ijtihad perdefinisi
dibatasi pada maslah-masalah yang belum dijelaskan oleh teks al-Qur‟an dan sunnah yang jelas dan terperinci. Selain itu, dibawah formulasi historis ushul fiqih
ijitihad tidak mungkin dilakukan, bahkan dalam masalah-masalah yang telah
disepakati melalui ijma‟. Namun Abdullah Ahmed An-Naim (2011:48) mengungkapkan bahwa pembatasan peranan ijtihad harus dimodifikasi. Usulan ini
sebagian didukung fakta bahwa Umar, khalifah kedua dan seorang sahbat
terkemuka melakukan ijtihad dalam masalah-masalah yang jelas ditunjuk oleh
teks al-Qur‟an dan sunnah yang jelas dan rinci. Contohnya adalah pada kasus khalifah tidak membagikan zakat pada golongan muallafah qulubuhum pada masa
pemerintahannya dikarenakan iman orang-orang Islam pada waktu itu telah kuat.
Dr. Ahmad Yusri membagi hukum ijtihad menjadi tiga bagian, yaitu
wajib, fardhu kifayah, dan sunnah.
1. Ijtihad dihukumi wajib adalah ketika kemampuan dan keahlian untuk
berijtihad hanya dimiliki oleh satu orang atau hanya orang tersebut yang
dapat mengetahui terhadap sebuah permasalahan hukum. Maka bagi orang
tersebut wajib untuk mencurahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk
2. Ijtihad dihukumi fardhu kifayah adalah jika pada waktu tersebut terdapat
lebih dari seorang mujtahid. Apabila salah seorang dari mujtahid tersebut
telah melakukan ijtihad, maka gugur kewajiban dari mujtahid yang lain. Akan
tetapi jika salah satu diantara mereka tidak ada yang melakukan ijtihad, maka
semua mujtahid yang ada mendapatkan dosa semuanya.
3. Ijtihad dihukumi sunnah adalah ijtihad yang dilakukan terhadap permasalahan
yang belum terjadi, dan beberapa saat kemudian permasalahan tersebut
diperkirakan akan benar-benar terjadi. Maka hukum ijtihad yang demikian
adalah sunnah(Yusri, 2008:370-371).
B. Landasan Yuridis Normatif Ijtihad
Diantara landasan yangmelegitimasi adanya ijtihad adalah
1. Surat an-Nisa‟ ayat 59
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Depag, 1995:88).
2. Surat an-Nisa ayat 105
3. Hadis riwayat Imam Muslim (An-Nawawi, 1994:240)
حاذإونارجاهلفباصابشدهتجافمكابغامكحاذلإاقملسوهيلعهللاىلصهلللاوسرعمسنهاصاعلانبورمعنع
رجاهلفأطخابشدهتجافمك
.
Dari Amr Ibn Ash bahwa dia mendengar dari Rasulullah Saw. Bersabda mana kala seorang hakim menetapkan perkara dengan berijtihad, kemudian benar maka baginya akan mendapatkan dua pahala. Dan apabila hasil ijtihadnya salah maka mendapatkan satu pahala.
4. Hadis riwayat Imam Tirmidzi (Al-Mubarakfury, 1990:464)
كيفنكيملنإفلاقهللاباتكيفامبيضقلأاقف؟يضقتفيكلاقفنميلاىلإاذاعمثعبملسوهيلعهللاىلصهلللاوسرنأ
دهتجلأاق؟ملسوهيلعهللاىلصهلللاوسرةنسيفنكيملنإفلاقملسوهيلعهللاىلصهلللاوسرةنسبفلاق؟للهابات
ملسوهيلعهللاىلصهلللاوسرلوسرقفويذلاهللدمبغلااقييأر
Bahwasanya Rasulullah Saw. Mengutus Muadz bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman. Maka beliau bersabda “bagaimana engkau menghukumi sesuatu?”, Muadz menjawab “saya akan menghukumi dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Nabi bersabda “apabila tidak terdapat dalam Kitabullah?”, Muadz menjawab “maka saya akanmenghukumi dengan sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda “apabila tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah?”, Muadz menjawab “saya akan berijtihad dengan fikiran saya”. Kemudian nabi bersabda “segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah”.C. Syarat-Syarat Melakukan Ijtihad
Para ulama dalam menetapkan syarat-syarat kebolehan melakukan ijtihad
tidaklah sependapat. Sekalipun demikian dapatlah ditetapkan bahwa syarat-syarat
umum untuk melakukan ijtihad itu antara lain:
1. Mengetahui dengan baik bahasa Arab dengan segala seginya.
2. Mengetahui dengan baik isi al-Qur‟an dan hadis
4. Mengetahui ushul fiqih, kaidah-kaidah fiqhiyyah, maqashid syariah dan
rahasia-rahasia syara‟.
5. Mujtahid memiliki sifat jujur, adil, dan berahlak terpuji.
6. Mujtahid mempunyai niat yang suci dan benar (Salam & Fathurohman:
1994:102-103).
Selain pada syarat umum diatas, al-Qardhawi juga memberikan beberapa
aturan dan ketentuan pokok yang merupakan kode etik dalam ijtihad kontemporer.
Adapun aturan dan ketentaun pokok tersebut yaitu:
1. Tidak ada ijtihad tanpa mencurahkan kemampuan.
2. Tidak ada ijtihad dalam permasalahan qath‟i.
3. Tidak boleh menjadikan dzanni sebagai qath‟i.
4. Menghubungkan antara fiqih dan hadis.
5. Waspada agar tidak tergelincir oleh tekanan realita.
6. Mengantisipasi pembaharuan yang bermanfaat.
7. Tidak mengabaikan semangat zaman dan kebutuhannya.
8. Transformasi menuju ijitihad kolektif (jama‟i).
9. Bersikap lapang dada terhadap kekeliruan Mujtahid (Al-Qardhawi,
2000:131-138).
Menurut Abu Zahrah, para ulama‟ ushul fiqh membagi fuqaha‟ menjadi tujuh tingkatan.Empat diantaranya sebagai mujtahidin dan sisanya sebagai
muqallidin. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah:
1. Mujtahid Mustaqil, yaitu mereka yang wajib mempunyai syarat-syarat yang
lengkap sebagai seorang mujtahid. Merekalah yang secara langsung menggali
hukum dari al-Qur‟an dan al-Hadis, serta mengqiyaskan, memberikan fatwa dan yang lainnya. Yang termasuk ke dalam tingkatan ini adalah imam 4
madzhab.
2. MujtahidMuntasib, yaitu mereka yang mengikuti Imamnya dalam hal-hal
ushul (pokok), dan berbeda dengan Imamnya dalam hal furu‟. Yang termasuk
dalam tingkatan ini adalah seperti Abu Yusuf dalam mahdzhab Abu Hanifah
dan Al-Muzanni dalam madzhab Imam Syafi‟i.
3. MujtahidMadzhab, yaitu mereka yang mengikuti dan sepakat dengan Imam
baik dalam hal ushul maupun dengan furu‟.
4. MujtahidMurjih, yaitu mereka yang tidak mengadakan istinbath dalam
masalah-masalah yang tidak diketahui hukumnya. Mereka hanyalah
men-tarjih pendapat-pendapat yang mereka temukan dalam madzhab mereka
(Depag, 1986: 143-144).
E. Ijtihad Kolektif
Ijtihad kolektif menurut al-Qardhawi (2000:138) adalah “metode ijtihad dimana para ilmuwan memusyawarahkan semua persoalan yang terjadi,
manusia”. Ijtihad kolektif merupakan sebuah solusi untuk menyikapi
problematika minimnya Mujtahid. Ijtihad kolektif bahkan dipandang sebagai
metode yang lebih baik karena lebih mendekati kebenaran daripada pendapat
perseorangan, walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang sangat
tinggi.
Al-Qardhawi (2000:24) mengatakan bahwa dewasa ini ada dua macam
ijtihad yang diperlukan oleh umat Islam. Kedua macam ijtihad tersebut adalah:
1. Ijtihad Intiqa‟i, yaitu “memilih salah satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat dalam warisan fiqih Islam, yang penuh dengan fatwa
dengan keputusan hukum”. Dalam ijtihad ini dilakukan suatu studi
komparatif terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab fiqih dan meneliti
dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan sandaran pendapat
tersebut, sehingga pada akhirnya dapat dipilih pendapat yang terkuat
dalilnya sesuai dengan kaidah tarjih. Contoh hasil ijthad menggunakan
metode ini adalah orang yang dipaksa membunuh maka hukumnya juga
sepadan dengan orang yang memaksanya.
2. Ijtihad Insya‟i, yaitu “pengambilan konklusi hukum baru dari suatu
persoalan, yang persoalan itu belum pernah dikemukakan oleh ulama‟
-ulama‟ terdahulu, baik itu persoalan lama atau baru”. Sebagian besar
ijtihad ini terjadi pada masalah-masalah baru yang belum dikenal dan
diketahui oleh ulama terdahulu dan belum pernah terjadi pada masa mereka.
Contoh hasil ijthad menggunakan metode ini adalah diperbolehkannya
merupakan refleksi bayangan diri pada kertas, sedangkan melukis adalah
menyerupai hukum Allah (Al-Qardhawi, 2000:43).
Al-Qardhawi menambahkan bahwa pada masa modern ini memungkinkan
untuk memunculkan ijtihad baru yang merupakan integrasi antara ijtihad intiqa‟i
dan ijtihad insya‟i. Integrasi tersebut adalah dengan cara memilih berbagai
pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih rerlevan dan kuat, kemudian
dalam pendapat tersebut ditambahkan unsur-unsur ijtihad baru. Contoh dari model
hasil ijtihad ini adalah seperti hasil fatwa Lajnah Fatwa Kuwait tentang
permasalahan aborsi (Al-Qardhawi, 2000:47).
Menurut KH. Sahal Mahfudz, dalam aplikasinya ijtihadjama‟i meliputi
dua hal. Pertama, ijtihad dalam upaya memecahkan status hukum permasalahan
baru yang belum di singgung oleh al-Qur‟an, al-Sunnah, dan pembahasan ulama-ulama terdahulu. Jadi masalah ini dapat dikatakan masalah yang benar-benar baru
(al-masail al-mahaddatsah), karena bukan hanya al-Alqur‟an dan al-Sunnah tidak membicarakannya, juga hal ini belum pernah dibahas oleh ulama terdahulu.
Kedua, ijtihad untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan cita
kemaslahatan kemanusiaan universal sebagai spirit ajaran Islam. Hukum masalah
yang akan diijtihadi itu telah dibahas oleh imam-imam mujtahid terdahulu, tapi
karena ada beragam pandangan yang saling menampik antara yang satu terhadap
lain, maka tugas kita secara kolektif adalah memilih pendapat yang paling tepat
dan paling sesuai dengan ruh agama, yaitu kemaslahatan.
Hal-hal yang sifatnya ibadah mahdhah (rukun islam dan rukun iman) jelas
yang perlu dipertegas. Misalnya muncul ide zakat profesi demi menegakkan
keadilan dan kemaslahatan kolektif. Namun, untuk masalah sosial yang multi
dimensional, semisal inovasi teknologi, perdagangan bebas, politik internasional,
agresi militrr AS ke dan Iraq, pengembangan Nuklir Iran, kejahatan internasional,
inovasi kedokteran, informasi dunia, kemajuan pesat ilmu pengetahuan,
munculnya pikiran-pikiran baru yang lebih progresif-dinamis, serta munculnya
aliran keagamaan baru yang menghebohkan, membutuhkan jawaban yang
memadai dari ulama-ulama kita (Asmani, 2007:269).
Dalam kalangan nahdliyyin juga dikenal istilah yang hampir mirip dengan
ijtihad jama‟i atau ijtihad kolektif. Istilah tersebut adalah taqrir jama‟i, yaitu
“upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara
beberapa qaul/wajah”. Selain itu juga dikenal istilah ilhaqul masail bi nadzairiha,
yaitu “menyamakan hukum suatu kasus/masalah serupa yang belum dijawab oleh
kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab” (LTN NU,
2007:446).
Dalam ijtihad individu kadangkala seseorang itu menyentuh suatu aspek
hukum dalam obyek pembahasan tertentu, sementara dia tidak menaruh perhatian
pada aspek lainnya. Terkadang seseorang menghafal segala sesuatu yang orang
lain tidak menghafalnya. Sedangkan diskusi kelompok semacam ijtihad kolektif
dapat menemukan point-point yang tersembunyi atau dapat memunculkan secara
jelas perkara-perkara yang sulit, atau mengingatkan beberapa masalah yang
adalah adanya usaha yang ditangani oleh sekelompok orang, atau usaha yang
dilakukan oleh sebuah lembaga sebagai sebuah ganti dari usaha individu.
Dasar tentang ijtihad kolektif adalah kisah Sayyidina Ali yang bertanya
kepada Nabi Muhammad tentang apa yang harus dilakukan jika dihadapakan pada
sebuah perkara yang belum pernah ada keputusan hukumnya dari al-Qur‟an dan hadis. Kemudian Nabi Muhammad Saw menjawab, “Engkau musyawarahkan perkara itu dikalangan para pakar fiqih dan orang-orang ahli ibadat dari kaum
Mukmin, dan janganlah engkau sekali-kali menetapkan hukum masalah ini
menurut pendapatmu sendiri”. Demikian inilah yang disebut dengan ijtihad
kolektif (Al-Qardhawi, 2000:139).
Metode ijtihad kolektif seperti inilah yang pernah ditempuh oleh
Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Abu Bakar ketika menghadapi suatu
perkara dan tidak mendapatkan dasar hukumnya dari al-Qur‟an dan hadis, maka beliau mengundang para tokoh diantara kaum muslimin dan para ulama mereka
untuk diajak musyawarah. Apabila pendapat mereka atas suatu perkara itu
disepakati, maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat tersebut. Begitu
pula dengan Sayyidina Umar, apabila tidak menemukan keputusan al-Qur‟an dan hadis serta tidak pula menemukan keputusan dari Abu Bakar maka beliau
mengundang para tokoh-tokoh kaum Muslim dan ulama-ulama mereka untuk
diajak bermusyawarah. Apabila pendapat mereka atas masalah tersebut disepakati,
maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat tersebut.
Dengan adanya ijtihad kolektif ini bukan berarti membunuh (meniadakan)
kepada ijtihad kolektif adalah hasil penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap
mujtahid untuk didiskusikan secara kolektif. Setelah diteliti dan didiskusikan,
maka keluarlah suatu keputusan dari lembaga tersebut, baik berdasarkan ijma‟ maupun pendapat mayoritas.Apabila tidak melewati jalur penelitian, maka hasil
ijtihad individu ini dapat berakibat bahwa sebagian besar keputusan secara
kolektif itu nanti di dalamnya terdapat celah yang dapat dijadikan bahan kritikan
dan keraguan. Karenanya, hak individu dalam berijtihad itu masih ada pada setiap
keadaan. Bahkan, sebenarnya proses ijtihad itu pada dasarnya adalah proses
ijtihad individu. Sedangkan ijtihad kolektif merupakan permusyawaratan terhadap
hasil-hasil yang telah dicapai oleh setiap individu sebagaimana yang telah kita
ketahui(Al-Qardhawi, 2000:139).
F. Ijtihad Dalam Perspektif Ulama’ Nahdliyyin
Pengertian istinbath al-ahkam di kalangan ulama‟ nahdliyyin bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya yaitu, al-Qur‟an dan al -Hadis. Akan tetepi penggalian hukum dilakukan dengan men-tahqiq-kan secara
dinamis nash-nash fuqaha‟ dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.
Istinbath langsung dari sumber primer (al-Qur‟an dan al-Hadis) yang cenderung
kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan
karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang ilmu-ilmu
penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara
semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat (uraian teks) kitab-kitab
fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku (Mahfudz, 1994:26-27).
Menurut Jaih Mubarak, secara garis besar pengambilan keputusan hukum
Islam di kalangan nahdliyyin dapat dibagi menjadi 3 macam prosedur, yaitu:
1. Mengambil jawaban dari kitab-kitab yang sudah ada. Jika terdapat beberapa
qaul atau wajah, maka yang dilakukan adalah taqrir jama‟i untuk
menentukan pilihan terhadap salah satu pendapat. Dan metode ini juga
mempunyai prosedur tersendiri.
2. Ilhaqul Masail Binadzairiha(
اىرئاظنب لئاسبؼا ؽابغإ
), yaitu mempersamakan hukumsuatu kasus atau masalah yang dijawab oleh ulama‟ terhadap masalah atau kasus serupa yang telah dijawab oleh ulama‟ lain. Dengan kata lain, pendapat ulama‟ yang sudah jadi menjadi ushul atau pokok, dan kasus atau masalah yang belum ada hukumnya disebut furu‟ atau cabang. Metode ini merupakan
salah satu cara yang digunakan dalam berijtihad.
3. Istinbath Hukum sebagai alternatif terakhir, yaitu dapat dilakukan apabila
suatu masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab
standard sehingga tidak ada peluang untuk melakukan pemilihan pendapat
dan tidak memungkinkan para ulama untuk melakukan ilhaq karena tidak ada
mulhaq bih dan wajh ilhaq. Istinbath dilakukan secara jama‟i (kolektif)
dengan mempraktekkan kaidah ushul dan kaidah fikih (Mubarak,
2002:179-181).
Kalimat istinbath di kalangan nahdliyyim terutama dalam kerja bahtsul
nahdliyyin dengan konotasi ijtihad mutlak, suatu aktivitas yang oleh ulama‟ syuriyah masih berat untuk dilakukan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul
masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi‟iyyah melalui referensi
(maraji‟) kutub fuqaha‟.
Sikap dasar bermadzhab telah menjadi pegangan nahdliyyin sejak
berdirinya. Secara konsekuen sikap ini ditindak lanjuti dengan pengembalian
hukum fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam
beberapa komponen: ibadah, mu‟amalah, munakahah, jinayat dan qadha‟. Selain
mempertimbangkan qaul yang diambil itu berdasarkan kekuatan qaul tersebut,
tetapi juga dipertimbangkan pengambilan sikap untuk menentukan pilihan sesuai
dengan situasi kebutuhan dzaruriyyah (primer), hajiyah (sekunder), dan
tahsiniyyah (tersier) (Mahfudz, 1994:28).
Sebagaimana dimaklumi, fiqih dalam arti terminologinya adalah ilmu
hukum agama. Kemudian ia diartikan sebagai kumpulan keputusan hukum agama
sepanjang masa, atau dengan kata lain yurisprudensi dalam Islam. Sebagai
kompendium,yurisprudensi fiqih memiliki sistematikanya sendiri. Ia tidak berdiri
sendiri karena sebagai sebuah disiplin ilmu maupun sebagai perangkat keputusan
hukum fiqih dibantu oleh sejumlah kerangka teoritik bagi pengambilan keputusan
hukum agama (Mahfudz, 1994:21).
Dari sana kita mengenal ushul fiqih yang membahas katagorisasi hal-hal
yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan. Juga kita kenal
kaedah-kaedah fiqih yang menjadi patokan praktis dalam memutuskan suatu kasus fiqih.
semuanya mendukung terselenggaranya fiqih sebagai disiplin ilmu dan perangkat
keputusan hukum .
Sistematika dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqih sebenarnya
memungkinkan dikembangkan secara kontekstual, sehingga tidak akan
ketinggalan terhadap perkembangan sosial yang ada. Pemahaman secara
kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqih secara mutlak.
Justru dengan pemahaman tersebut segala aspek perilaku kehidupan akan dapat
terjiwai oleh fiqih secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqih itu
sendiri. Atau minimal kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri yang
belakangan ini mulai enggan menguaknya, akan tetapi oleh siapa saja yang
berminat mengaji referensi pemikiran Islam. Dari uraian ini dapat dilihat
bagaimana bagaimana posisi fiqih dalam tatanan sosial, sehingga fiqih atau
komponen Islam yang lainnya tidak harus selalu disesuaikan dengan keadaan
zaman yang ada, akan tetapi bagaimana mengaplikasikan fiqih secara baik dan
benar serta mudah diterima oleh khalayak awam tanpa keresahan yang berarti.
Fiqih yang dipahami ulama nahdliyyin dalam pengertian terminologis
adalah sebagai ilmu tentang hukum syariah (bukan i‟tiqadiyah) yang berkaitan
dengan amal manusia yang diambil dan disimpulkan (muktasab) dari dalil-dalil
tafshili adalah fiqih yang diletakkanoleh para perintisnya (mujtahidin) pada dasar
pembentukannya; al-Qur‟an, al-Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas. Dalam pembentukannya fiqih selalu mempunyai konteks dengan kehidupan nyata dan karena itu bersifat
dinamis. Ini tergambar dalam proses pembentukannya yang tidak lepas dari
al-Qur‟an dan asbabul wurud bagi al-Sunnah. Dalam halaqah dan muktamar nahdliyyin direkomendasikan agar pada setiap masalah yang dibahas oleh
syuriyah diberi tashawwur al-masail (abstraksi), sehingga permasalahan dapat
menjadi lebih jelas. Dengan demikian maka kepastian hukum bisa diputuskan
secara terpadu dengan melibatkan orang-orang ahli dan profesional. Ini penting
artinya bagi upaya mengintegrasikan disiplin ilmu-ilmu lain ke dalam wilayah
fiqih, untuk memperoleh alternatif pemecahan masalah tanpa ada resiko hukum.
Rumusan hukum hasil produk ijtihad nahdliyyin bukan merupakan
keputusan akhir. Masih dimungkinkan adanya koreksi dan peninjauan ulang bila
diperlukan. Bila di kemudian hari ada salah seorang ulama‟ (meskipun bukan peserta forum bahtsul masail syuriyah) menemukan nash/qaul atau ibarat lain dari
salah satu kitab dan ternyata bertentangan dengan keputusan tersebut, maka
keputusan itu bisa ditinjau kembali dalam forum yang sama. Tidak ada perbedaan
antara ulama‟ senior maupun junior, antara yang sepuh dan yang muda dan antara
kiyai dan santri. Karena dalam dialog hukum ini yang paling mendasar adalah
benar atau tepatnya pengambilan hukum sesuai dengan subtansi masalah dan latar
belakangnya (Mahfudz, 1994:37).
Tentang pemahaman syariah secara kontekstual (muqtadha hal) diatas
memang memerlukan pengetahuan membaca perkembangan sosial. Kemampuan
demikian memang tidak ditegaskan dalam syarat-syarat formal seorang mujtahid.
Tetapi semua mujtahid adalah orang-orang yang seharusnya peduli dengan
kemaslahatan dan kepentingan masyarakat. Berbicara maslahat berarti berbicara
Meskipun tidak secara tegas, seroang mujtahid disyaratkan memiliki
kepekaan sosial. Syarat demikian secara implisit telah terekam baik di dalam
persyaratan-persyaratan yang ada maupun di dalam mekamisme penggalian
hukum itu sendiri. Sebagai bukti, Imam Syafi‟i di kenal memiliki qaul qadim yang dilahrikan di Baghdad Irak, dan qaul jadid yang dilahirkan setelah
kepindahannya ke Mesir. Padahal ayat-ayat al-Qur‟an yang beliau ketahui tetaplah sama juga (Mahfudz, 1994:45).
G. Bahtsul MasailSebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif
Bathsul masailmerupakan gabungan kata yang berasal dari dua kata, yaitu
bathsudan masail. Bahtsu merupakan mashdar yang berasal dari fiil
madhibahatsadan fiil mudhari yabhatsu. Bahtsu sendiri dalam kamus al-„Asyri
mempunyai banyak arti, yaitu penelitian, pembahasan, pencarian, riset, diskusi,
dan eksplorasi (Ali & Ahmad, 1998:301). Sedangkan masailmerupakan bentuk
jamak dan mufrodnya adalah mas‟alah. Masail sendiri mempunyai beberapa arti,
yaitu pertanyaan, persoalan, isu, problematika, perkara dan kejadian (Ali &
Ahmad, 1998:1705). Dengan demikian maka bahstul masail secara bahasa dapat
diartikan sebagai pembahasan atau penelitianan akan sebuahpersoalan atau
problematika.
Sedangkan bahtsul masail secara istilah seperti yang diterminologokan
dalam sambutan buku Ahkamul Fuqoha oleh KH. Sahal Mahfudz adalah“salah
satu forum diskusi keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi atas