• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THALIBIN JETIS GENTAN KECAMATAN SUSUKAN KABUPATEN SEMARANG, SERTA RELEVANSINYA DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THALIBIN JETIS GENTAN KECAMATAN SUSUKAN KABUPATEN SEMARANG, SERTA RELEVANSINYA DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL

MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI PONDOK PESANTREN

RAUDLATUT THALIBIN JETIS GENTAN KECAMATAN

SUSUKAN KABUPATEN SEMARANG, SERTA

RELEVANSINYA DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Muhammad Najmuddin

NIM : 21111024

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga di Salatiga

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan,

arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa :

Nama : Muhammad Najmuddin

NIM : 211 11 024

Judul : Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul

Masail Dan Majlis Syawir di Pondok Pesantren

Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan

Susukan Kabupaten Semarang,Serta Relevansinya Di

Indonesia

dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqosyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian

dan digunakan sebagaimana mestinya.

(4)
(5)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Najmuddin

NIM : 21111024

Jurusan : Ahwal Al Syakhshiyyah

Fakultas :Syariah

Judul Skripsi : METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM

BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI

PONDOK PESANTREN RAUDLATUT THALIBIN

JETIS DESA GENTAN KECAMATAN SUSUKAN

KABUPATEN SEMARANG, SERTA

RELEVANSINYA DI INDONESIA

menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karyasaya sendiri,

bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuanorang lain yang

terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kodeetik ilmiah.

Salatiga, 09 September 2015

Yang menyatakan,

(6)

MOTTO

حلصلأا ديدجلاب داجيلإاو حلاصلا ميدقلا ىلع ةظفاحملا

Melestarikan Tradisi Lama Yang Baik,

Dan Membentuk Tradisi Baru Yang Lebih Baik

“Aktualisasi Dan Kontekstualisasi Fiqih Dalam Kitab Kuning

Dapat Menjadi Solusi Terhadap Problematika Perilaku

Manusia Yang Tidak Hanya Terbatas Pada Wilayah

Ibadah Mahdhah, Namun Juga Mencakup Aspek Ekonomi,

Pendidikan, Kesehatan, Lingkungan Hidup,

Kependudukan, Politik Dan Kebudayaan”

(7)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini peneliti persembahkan untuk:

 Almarhum ayah tercinta, ayahanda Muhammad Huda Tohaserta Ibu terkasih,

ibunda Isdatul Isnaini yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta

memotivasi peneliti baik moral, materiil, maupunspiritual semenjak kecil

sampai saat ini. Serta dipersembahakan kepada adhek-adhek peneliti, M. Ali

Munawar Huda & Siti Uswatun hasanah yang telah dengan senang hati

membantu kakaknya menyelesaikan skripsi ini.

 Guru peneliti, Al-Marhum KH. Mubarok Toha dan KH. Anis Toha (Pengasuh

Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis), Al-Marhum Murobbi Ruhina

Romo KH. Baidlowi Syamsuri, Lc., dan KH. Anshor Syamsuri (Pengasuh

Pondok Pesantren Sirojuth Thalibin Brabo), Al-Allamah Prof. Dr. Abdullah

Baharun (Rektor Universitas Al-Ahgaff) beserta para dosennya, Al-„Alim Habib Salim As-Syatiri dan Ad-Da‟i Ilaallah Habib Umar Bin Khafidz selaku guru peneliti di Tareem Hadhramaut Republik Yaman, yang telah banyak

membimbing dan melindungi peneliti dengan do‟a-do‟anya.

 Dosen-dosen di IAIN Salatiga khususnya dosen-dosen di lingkungan Fakultas

Syariah

 Rekan-rekanita PC IPNU IPPNU Kabupaten Semarang, Sahabat-sahabati

PMII Kota Salatiga, Kawan-kawan LPM Dinamika, Kanda Yunda JQH IAIN

Salatiga, serta sahabat-sahabati di organisasi lainnya yang saya ikuti.

 Seluruh santri pondok pesantren se-Indonesia yang sedang berjuang untuk

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillahi robbil‟aalamiin, segala puji dan syukur kami panjatkan

atas kehadiran Allah swt yang telah memberikan taufiq sertahidayah-Nya yang

tiada terhingga, sehingga peneliti dapat menyelesaikanskripsi ini dengan judul

“Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir Di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan

Kabupaten Semarang, Serta Relevansinya Di Indonesia”.

Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita

Nabi Muhammad saw, kepada keluarga, sahabat-sahabatnya, serta

parapengikutnya yang setia. Beliaulah sebagai rasul utusan Allahuntuk

membimbing umat manusia dari zaman jahiliyah sampai pada zamanyang modern

ini. Beliau juga lah yang selalu menjadi inspirasi dalam langkah-langkah kita.

Alhamdulillah berkat kerja keras serta dukungan dari berbagai pihak,

skripsi yang peneliti susun ini dapat terselesaikan tanpa ada suatu halangan

apapun. Tentunya dalam skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan dengan

sempurna tanpabantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu

peneliti. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih yang

sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.

(9)

3. Bapak Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si. selaku Ketua Jurusa Ahwal Al-Syakhsiyyah sekaligus Dosen Pembimbing yang telah memberikan bantuan,

arahan, dan bimbingan kepada peneliti dengan penuh kesabaran sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membekalipeneliti dengan

berbagai ilmu pengetahuan selama menempuh pendidikan di IAIN Salatiga,

sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsiini.

5. Almarhum ayah tercinta, ayahanda Muhammad Huda Tohaserta Ibu terkasih,

ibunda Isdatul Isnaini yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta

memotivasi peneliti baik moral, materiil, maupunspiritual.

6. Pengasuh, asatidz, alumni, kepala Pondok Pesantren, Ketua Lajnah Bahtsul

Masail Pondok Pesantren Raudlatut Thalibinbeserta jajaran kepengurusannya

yang telahmemberikan ijin serta memberikan fasilitas dalam pelaksanaan

penelitianskripsi yang peneliti lakukan

Skripsi yang telah peneliti susun ini pastinya masih jauh dari kata

sempurna.Maka dari itu peneliti mengharapkankritik dan saran dari para pembaca

yang bersifat membangun dan dapat memperbaiki skripsi di masa mendatang.

Akhirul kalam, semoga skripsi inidapat berguna bagi peneliti khususnya serta para

pembaca pada umumnya. Amin ya Robbal Alamin.

Salatiga, 09 September 2015

(10)

ABSRTAK

Najmuddin, Muhammad. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir DI Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang, Serta Relevansinya Di Indonesia. Skripsi. Jurusan Syariah. Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah. Fakultas Syari‟ah.Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si.

Kata Kunci: Ijtihad Kolektif, Bahtsul Masail, Majlis Syawir Ilhaq, Taqrir Jama‟i. Skripsi yang penelititulis ini berusaha mengungkap problematika minimnya orang-orang yang kompeten untuk berijtihad pada saat ini. Banyak cendikiawan yang mencetuskan ide tentang ijtihad kolektif melalui forum ilmiah sebagai sebuah solusi untuk menjawab problematika diatas. Salah satu metode ijtihad kolektif yang sudah ada di Indonesia adalah metode bahtsul masail dan majlis syawir. Pondok pesantren yang sudah melaksanakan metode bahtsul masail adalah Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis. Berangkat dari hal-hal tersebut, peneliti membahas pada empat fokus masalah dalam skripsi ini, yaitu Bagaimana metode penalaran hukum Islam dalam bahtsul masail? Bagaimana metode penalaran hukum Islam dalam majlis syawir? Bagaimana metode bahtsul masail di Pondok Pesantren tersebut? Dan bagaimana relevansi kedua metode tersebut di Indonesia?

Melalui penelitian kualitatif, peneliti mengungkap fokus permasalahan diatas. Dengan metode tersebut peneliti langsung melakukan observasi lapangan untuk melihat secara langsung pelaksanaan bahtsul masail dan majlis syawir di pondok pesantren tersebut. Selain itu, untuk menambah data peneliti juga melakukan wawancara kepada berbagai narasumber sesuai dengan data yang kami butuhkan. Peneliti juga menggunakan data serta dokumentasi yang ada pada pengurus LBM untuk melengkapi data yang peneliti butuhkan. Dan untuk menguji hasil temuan data tersebut maka peneliti mengadakan analisis data dengan menggunakan kerangka teoritik yang peneliti buat.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….

LEMBAR BERLOGO ……..………....

NOTA PEMBIMBING …………..…..……….

LEMBAR PENGESAHAN KELULUSAN………..

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .……… G. Metodologi Penelitian …….………...

(12)

2. Kehadiran Peneliti dan Tempat Penelitian ...

3. Teknik Pengumpulan Data ...

4. Analisis Data ...

5. Pengecekan Keabsahan Data ...

6. Tahap-Tahap Penelitian ...

H. Sistematika Penulisan .………...

BAB II BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR SEBAGAI SEBUAH

METODE PENALARAN HUKUM ISLAM

A. Definisi Ijtihad ……… B. Landasan Yuridis Normatif Ijtihad ………. C. Syarat-Syarat Melakukan Ijtihad .……… D. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid .………. E. Ijtihad Kolektif .………... F. Ijtihad Dalam Perspektif Ulama‟ Nahdliyyin .………. G. Bahtsul Masail Sebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif .…. H. Majlis Syawir Sebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif .…….

BAB III METODE PENALARAN HUKUM ISLAM DALAM BAHTSUL

MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI PONDOK PESANTREN

RAUDLATUT THALIBIN JETIS

(13)

Raudlatut Thalibin ………..………... C. Tujuan Diadakannya Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir Di

Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin ..………. D. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail

1. Pelaksanaan Bahtsul Masail ……… 2. Tarjih Ibarat (I‟tibar) Dalam Bahtsul Masail ……... E. Metode Penalaran Hukum Islam Dalam Majlis Syawir

1. Pelaksanaan Majlis Syawir ……….. 2. Ilhaqul Masail Dalam Majlis Syawir ………... F. Persamaan Dan Perbedaan Metode Penalaran Hukum Islam

Dalam Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir

1. Persamaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir ..……. 2. Perbedaan Antara Bahtsul Masail Dan Majlis Syawir ……… G. Contoh Produk Hukum LBM Pondok Pesantren Raudlatut

Thalibin

1. Produk Hukum Bahtsul Masail ………. 2. Produk Hukum Majlis Syawir ………...

BAB IV RELEVANSI BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR DI

INDONESIA

A. Khazanah Keilmuan Islam Nusantara ..………. B. Pembangunan Fiqih Indonesia Yang Aktual dan Kontekstual ....

(14)

D. Legislasi Dan Formalisasi Syariat Islam .……….. E. Peningkatan Intelektualitas dan Grafik Ilmiah Bagi Santri …... F. Forum Penyaluran Ilmu Dari Ulama‟ dan Cebdikiawan Muslim

BAB II PENUTUP

A. Kesimpulan …….………...

B. Saran ……….……….

DAFTAR PUSTAKA ..……….

GLOSARY ………

LAMPIRAN ………..

113

119

122

125

127

129

133

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari

Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui rasul-Nya Nabi Muhammad

SAW, yakni Al Qur‟an Al Karim. Sebagai sebuah sumber hukum tertinggi dalam syariat Islam, al-Qur‟an merupakan satu-satunya kitab suci yang tidak pernah mengalami perubahan satu huruf pun semenjak diturunkan kepada manusia.

Kemudian sumber hukum agama Islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita

kenal dengan Hadits. Sebagai sebuah sumber hukum, hadis sendiri yang pada

awalnya tidak pernah terbukukan, dan kemudian baru dikodifikasi oleh para

ulama‟ hadis setelah mengalami penyaringan yang sangat ketat.

Al-Qur‟an dan hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan

akhirat. Selain itu, Al-Qur‟an dan hadits juga merupakan sumber utama hukum dan aturan yang wajib dipegang teguh oleh umat Islam. Semua hukum yang

berhubungan dengan syariat Islam tidak boleh bertentangan dengan teks-teks

al-Qur‟an dan hadist. Dalam berbagai ayat-Nya, Allah menerangkan bahwa seluruh hukum harus meruju‟ dari al-Qur‟an dan al-Hadits.

Namun, seiring dengan berkembangnya zaman banyak problematika umat

Islam yang tidak dapat dijawab secara implisit dan tidak terdapat solusinya dalam

(16)

banyak dan berkembang. Umat Islam harus segera mendapatkan solusi dan

jawaban atas semua problematika tersebut. Dalam hal ini baik al-Qur‟an dan al -Hadist memberikan sebuah solusi yang bernama Ijtihad. Ijtihad merupakan

metode penalaran terhadap hukum yang tidak terdapat secara implisit dalam

al-Qur‟an dan al-Hadits tetapi dapat dipahami secara eksplisit dari keduanya.

Walaupun ijtihad merupakan sebuah metode dalam pencarian hukum

Islam, bukan berarti tidak menemukan hambatan dalam pelaksanaannya. Salah

satu kendala yang timbul adalah minimnya para ulama‟ dan cendikiawan yang berkompeten untuk melakukan ijtihad. Syarat dan ketentuan yang diharuskan ada

pada seorang mujtahid sangatlah sulit untuk ditemukan pada sosok cendikiawan

pada masa ini. Tentunya hal ini merupakan sebuah problem besar yang harus

segera dituntaskan, karena waktu terus berjalan dan problematika umat semakin

berkembang dan harus segera mendapatkan jawaban dan solusi.

Untuk menjawab problematika minimnya mujtahid tersebut, Dr. Yusuf

Al-Qardhawi memberikan sebuah solusi melalui sebauh metode ijtihad yang dia

namakan dengan ijtihad kolektif. Ijtihad kolektif adalah “metode ijtihad dimana para ilmuwan memusyawarahkan semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal

yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas manusia” (Al-Qardhawi,

2000:138). Manurut al-Qardhawi, ijtihad kolektif bahkan dipandang sebagai

metode yang lebih baik karena lebih mendekati kebenaran dari pada pendapat

perseorangan, walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang sangat

(17)

Ijtihad kolektif tersebut dapat dilangsungkan melalui forum atau diskusi

ilmiah yang selama ini banyak diselenggarakan oleh umat Islam di berbagai

belahan dunia. Menurut Dr. Muhammad Yusri (2008:369), umat Islam pada

zaman modern banyak sekali dihadapkan dengan berbagai problematika baik itu

dalam masalah ibadah, mu'amalat, maupun dalam siyasah syar‟iyyah (politik

Islam). Problematika-problematika tersebut menurutnya harus mendapatkan

perhatian dari mujtahid dengan cara mencarikan hukum dan solusinya. Termasuk

dalam cara pencarian hukum dan solusi adalah melalui al-majalis al-ilmiyyah

(lembaga-lembaga kelimuan yang ilmiah) dan al-majami‟ al-ilmiah (forum-forum

ilmiah).

Majlis dan forum-forum ilmiah sebagai sebuah metode ijtihad kolektif

seperti yang diungkapkan oleh Dr. Muhammad Yusri di atas sudah banyak

diselenggarakan di Indonesia. Diantara majlis dan forum ilmiah tersebut adalah

bahtsul masail di komunitas nahdliyyin, dan masjlis tarjih di komunitas

Muhammadiyyah. Bahkan pelaksanaan forum dan majlis ilmiah yang bernama

bahtsul masail tidak hanya dilakukan oleh komunitas nahdliyyin di tingkatan

struktural, namun juga dilakukan oleh kalangan nahdliyyin di tingkatan kultural.

Pelaksanaan bahtsul masail oleh kalangan kultural dari nahdliyyin tersebut selama

ini banyak dilakukan oleh pesantren-pesantren, terutama pondok pesantren salaf

di Indonesia.

Salah satu pesantren yang melaksanakan penalaran hukum Islam melalui

ijtihad kolektif dalam forum atau majlis ilmiah adalah Pondok Pesantren

(18)

Semarang.Pesantren ini mengaplikasikan Ijtihad kolektif tersebut ke dalam 2 buah

metode. Metode yang pertama adalah Bahtsul Masail. Dalam metode ini para

santri diberikan sebuah permasalahan kontemporer yang dihadapi oleh umat

Islam. Kemudian para santri dituntut untuk memberikan sebuah dalil yang

bersumber dari kitab-kitab fiqh yang mempunyai illatul hukmi yang sama dengan

kasus masalah tersebut. Dalil-dalil tersebut kemudian didiskusikan oleh para

santri untuk disepakati dalil manakah yang lebih tepat atau medekati kasus hukum

diatas.

Metode yang kedua adalah Majlis Syawir. Dalam metode ini para santri

mencari sebuah illatul hukmi yang terdapat dalam sebuah teks kitab fathul qarib.

Kemudian setelah mendapatkan illatul hukmi tersebut maka mereka berdiskusi

untuk mencari masalah-masalah hukum kontemporer apa saja yang bisa

menggunakan dalil pada teks kitab tersebut.

Dalam penerapannya, kedua metode diatas mempunyai keunggulan

masing-masing, yang mana keunggulan yang satu mengisi kelemahan metode

yang lain. Metode tersebut telah banyak menelurkan solusi hukum untuk

menjawab problematika kontemporer yang menjadi dinamika umat Islam. Kedua

metode tersebut sangatlah tepat dan relevan apabila diaplikasikan oleh para

cendikiawan baik dari kalangan santri maupun akademisi di negara Indonesia.

Metode ini juga berfungsi sebagai solusi untuk menjawab minimnya mujtahid

(19)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik permasalahan

sebagai berikut

1. Bagaimana metode penalaran hukum Islam yang digunakan dalam Bahtsul

Masail?

2. Bagaimana metode penalaran hukum Islam yang digunakan dalam Majlis

Syawir?

3. Bagaimana relevansi Bahtsul Masail dan Majlis Syawir di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui penalaran hukum Islam dengan metode Bahtsul Masail.

2. Mengetahui penalaran hukum Islam dengan metode Majlis Syawir.

3. Mengetahui relevansi metode-metode tersebut dalam menjawab problematika

kontemporer umat Islam di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a.

Hasil penelitian dapat memberikan masukan berharga berupa konsep dan

metode penalaran hukum Islam dalam mememecahkan sebuah kasus

hukum.

b. Hasil penelitian dapat dijadikan sumber bahan yang penting bagi

parapeneliti di kajian hukum Islam, khususnya kajian yuridis hukum

(20)

c. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmu bagi

peneliti,seluruh pembaca pada umumnya, dan bagi mahasiswa Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

Memberikan informasi mengenai bahtsul masail dan majlis syawir sebagai

salah satu metode ijtihad kolektif dalam menjawab dan memecahkan

problematika kontemporer umat Islam. Hal ini diharapkan mampu membantu

para mahasiswa dan para akademisi dalam mengatasi berbagaipermasalahan

umat Islam yang terjadi dengan efektif dan bermakna.

E. Penegasan Istilah

1. Definisi Bahtsul Masail

Bahtsu dari segi bahasa berarti membahas. Sedangkan masail adalah

jama‟ dari kata mas‟alah yang berarti masalah atau problematika. Definisi

bahtsul masail secara istilah adalah “salah satu forum diskusi keagamaan

untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual yang muncul dalam kehidupan masyarakat”. Melalui forum bahtsul masail, para

ulama‟, cendikiawan dan santri selalu aktif mengagendakan pembahasan tentang problematika aktual dengan berusaha secara optimal untuk

memecahkan kebuntuan hukum Islam akibat perkembangan sosial

masyarakat yang terus menerus tanpa mengenal batas, sementara secara

(21)

2007:XVII). Yang dimaksud bahtsul masail disini adalah forum diskusi yang

diselenggarakan oleh Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Pondok Pesantren

Raudlatut Thalibin dalam membahas serta menganalisa permasalahan yang

dihadapi oleh masyarakat, baik itu yang menjadi isu lokal, nasional, maupun

internasional.

2. Majlis Syawir

Majlis merupakan bahasa arab yang artinya tempat duduk.Sedangkan syawir

sendiri artinya adalah bermusyawarah. Majlis Syawir dalam terminologi yang

dibuat oleh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin adalah salah satu forum

diamana para santri mencari sebuah illatul hukmi yang terdapat dalam sebuah

teks kitab fathul qaribkemudian mencocokkan dengan problematika

kontemporer yang ada.

F. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan penelusuran peneliti, kajian dan hasil penelitian mengenai

bahtsul masail baik itu berupa penelitian, buku maupun yang lainnya belum lah

terlalu banyak. Diantara hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti adalah

jurnal yang ditulis oleh Sukron Ma‟mun. Dalam jurnalnya yang berjudul “Ilhaq Dalam Bahtsul Masail NU: Antara Ijtihad Dan Ikhtiyath” tersebut, Sukron

(22)

pengkaji ushul fiqih, dan ternyata ini merupakan metode yang sering digunakan

dalam bahtsul masail yang diselenggarakan oleh organisasi Nahdlatul Ulama

(NU).

Sedangkan dalam bentuk skripsi, penelitian tentang bahtsul masail pernah

dilakukan Izul Anwar, mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan

Madzhab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam

skripsinya yang berjudul “Studi Perbandingan Penetapan Hukum Dalam Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Dan Bahtsul Masail Rifa‟iyyah”, Izzul Anwar (2010:19) meneliti tentang metode bahtsul masail yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan

bahtsul masail yang dilakukan oleh aliran Rifa‟iyyah. Dalam skripsinya, peneliti mengungkap tentang persamaan dan perbedaan antara metode bahtsul masail di

dalam organisasi NU dan aliran Rifa‟iyyah.

Persamaan antara metode bahtsul masail di kalangan NU dan aliran

Rifa‟iyyah adalah sama-sama menganut faham ahlussunnah wal jama‟ah. Baik NU maupun aliran Rifa‟iyyah sama-sama mengakui dan menggunakan pendapat para mujtahid dan para fuqaha yang tercantum dalam kitab kuning. Metode dan

prosedur yang mereka gunakan dalam penetapan hukum pun juga sama, karena

keduanya condong kepada madzhab Syafi‟yyah. Sedangkan perbedaan bahtsul masail antara NU dan aliran Rifa‟iyyah adalah adanya dominasi dalam penggunaan kitab-kitab aliran Rifa‟iyyah dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh aliran Rifa‟iyyah. Sedangkan dalam bahtsul masail NU tidak ada dominasi dalam penggunaan kitab-kitab yang digunakan sebagai sebuah referensi kecuali

(23)

Salah satu peneliti yang pernah meneliti bahtsul masail adalah Jaih

Mubarok. Jaih Mubarok (2002:179) dalam bukunya Metodologi Ijtihad Hukum

Islam mengungkapkan bahwa bahtsul masail merupakan salah satu metode

pengambilan keputusan hukum yang ditetapkan dalam NU. Dengan metode ini

keputusan bahtsul masail dibuat dalam bermadzhab kepada salah satu dari empat

madzhab yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qauli. Oleh

karena itu prosedur pengambilan hukum tersebut secara garis besar banyak

merujuk kepada pendapat individu para tokoh madzhab dalam kitab-kitab mereka.

Di kalangan bahtsul masail NU, istinbath hukum dalam bahtsul masail

merupakan alternatif terakhir, yaitu ia dapat dilakukan apabila suatu masalah atau

pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standard. Dengan

demikian tidak ada peluang untuk melakukan pemilihan pendapat dan tidak

memungkinkan para ulama‟ untuk melakukan ilhaq karena tidak ada mulhaq bih

dan wajh ilhaq. Dalam hal ini pun kemudian istinbath dilakukan secara kolektif

dengan mengaplikasikan kaidah ushul dan kaidah fiqih (Mubarok, 2002:179).

Peneliti sendiri pernah melakukan penelitian secara kolektif dalam

penelitian kompetitif kolektif yang pernah diadakan STAIN Salatiga tahun 2013.

Dalam penelitian terdahulu bersama 2 peneliti lain, peneliti mengambil judul

“Bahtsul Masail Sebagai Metode Ijtihad Kolektif Dalam Menjawab Problematika Kontemporer Umat Islam (Studi Kasus di Pondok Pesantren Sirajuth Thalibin

Brabo Tanggungharjo Grobogan)”. Dalam penelitian tersebut peneliti mengungkap tentang metode ijtihad kolektif dalam bahtsul masail. Ijtihad kolektif

(24)

yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi

mayoritas manusia. Ijtihad kolektif bahkan dipandang sebagai metode yang lebih

baik karena lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan,

walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang sangat tinggi.

Di Indonesia sendiri pelaksanaan ijtihad kolektif telah sejak lama

diterapkan dalam dunia pesantren dan ormas-ormas Islam. Salah satu ormas Islam

yang melaksanakan ijtihad kolektif tersebut adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ijtihad

kolektif tersebut kemudian terkenal di Indonesia dengan istilah Bahtsul Masail.

Bahtsul Masail sebagai sebuah metode ijtihad kolektif berupaya untuk menjawab

problematika kontemporer yang berkembang di masyarakat Islam. Dengan

mengadopsi metode-metode istinbat para ulama‟ salaf, para peserta bahtsul masail berupaya menganalisis masalah dan mencarikan solusi hukumnya.

Praktek pengambilan keputusan hukum dalam NU itu kemudian diadopsi

oleh banyak pesantren yang berlatar belakang NU. Salah satu pesantren NU yang

mengadakan forum bahtsul masail adalah Pondok Pesantren Sirojut Thalibin

Brabo Tanggungharjo Grobogan. Pesantren ini telah melaksanakan bahtsul masail

dalam waktu yang sangat lama. Bahkan kemudian telah menjadi tradisi sampai

sekarang. Forum ini telah banyak menelurkan solusi hukum untuk menjawab

problematika kontemporer yang menjadi dinamika masyarakat umat Islam.

Sedangkan penelitian yang sekarang ini peneliti mempunyai titik fokus

pada kajian metode bahtsul masail yang dilakukan oleh Pondok Pesantren

Raudlatut Thalibin serta relevansi metode tersebut dalam menjawab problematika

(25)

bahtsul masail di pesantren tersebut ikut memberikan sebuah peran dan solusi

dalam menjawab problematika kontemporer umat Islam. Dan kemudian juga

diungkap bagaimana peran bahtsul masail dalam bidang pendidikan bagi para

santri, ulama‟ dan masyarakat.

Dalam perkembangannya Pesantren tersebut juga menerapkan metode

penalaran hukum Islam atau ijtihad kolektif yang lain. Metode tersebut adalah

Majlis Syawir. Dalam metode ini para santri mencari sebuah illatul hukmi yang

terdapat dalam sebuah teks kitab fathul qarib. Kemudian setelah mendapatkan

illatul hukmi tersebut maka mereka berdiskusi untuk mencari masalah-masalah

hukum kontemporer apa saja yang bisa menggunakan dalil pada teks kitab

tersebut.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Untuk membantu memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian,

peneliti akan menggunakan jenis penelitian secara kualitatif dan

menggunakan beberapa pendekatan sebagai acuan dalam penulisan karya

ilmiah ini. Secara jelasnya peneliti paparkan sebagai berikut:

a. Penelitian Kualitatif

Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh Prof. DR. Lex J.

Moleong, M.A. dari kutipan Bogdan dan Taylor (2011:4) bahwa, “metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

(26)

dapat diamati”. Dari pengertian tersebut, sudah barang tentu sesuai dengan judul penelitian yang telah ada ini, peneliti akan berada pada latar yang

alamiah sehingga metode yang akan digunakan adalah dengan melakukan

wawancara, observasi, catatan lapangan dan pemanfaatan dokumen

pelakasanaan bahtsul masail dan majlis syawir di Pondok Pesantren

Raudlatut Thalibin Jetis.

b. Pendekatan

Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah ini

adalah sebagai berikut:

1) Pendekatan Ushul Fiqih

Ushul fiqh menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah “ilmu tentang

kaedah, aturan dan pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum syara‟ mengenai suatu perbuatan dan dalil

-dalilnya secara terperinci” (Mustofa & Wahid, 2009:68). Dengan

pendekatan secara ushul fiqih tersebut maka peneliti akan

menggunakan ushul fiqih untuk menganalisis sumber data yang

berkenaan dengan metode pengambilan hukum, sumber hukum dan

produk hukum bahtsul masail dan majlis syawir.

2) Pendekatan Hermeneutika

Menurut Imam Suprayogo (2003:73), hermeneutika merupakan

metode bahkan aliran dalam penelitian kualitatif, khususnya dalam

memahami makna teks (kitab suci, buku, undang-undang, dan

(27)

hermeneutika adalah agar tidak terjadi distorsi pesan atau informasi

antara teks, penulis teks, dan pembaca teks. Tujuan spesifikasinya

adalah mengembangkan pengetahuan yang memberikan pemahaman

dan penjelasan yang menyeluruh dan mendalam.

2. Kehadiran Peneliti dan Tempat Penelitian

Peneliti telah melaksanakan observasi dan wawancara langsung pada

obyek kajian sehingga sudah barang tentu peneliti barada pada lapangan

bersama nara sumber yang ada. Penelitian dilaksanakan di adalah Pondok

Pesantren Roudlotut Tholibin Jetis Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten

Semarang. Alasan peneliti memilih pondok pesantren tersebut untuk

dijadikan obyek penelitian adalah karena pelaksanaan bahtsul masail di

pesantren tersebut telah berjalan secara dinamis dalam jangka waktu yang

lama. Peran yang diberikan pesantren tersebut melalui program

pendidikannya di bahtsul masail telah memberikan manfaat terhadap berbagai

pihak. Selain itu juga, pesantren tersebut mengagendakan majlis syawir yang

sangat jarang ada di pesantren lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik penumpulan data merupakan langkah yang paling penting

dalam sebuah penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah untuk

mendapatkan data. Dalam pelaksanaan penelitian ini, data akan diperoleh

(28)

a. Observasi Terlibat

Observasi terlibat adalah“teknik pengumpulan data dimana penyelidik mengadakan pengamatan secara langsung (tanpa alat)

terhadap gejala-gejala subyek yang sedang diteliti, baik pengematan itu

dilakukan di dalam situasi yang sebenarnya maupun dilakukan di dalam

situasi yang khusus diadakan” (Surachmad, 1972:155). Disini peneliti

langsung terjun mengikuti dan berinteraksi langsung di Pondok Pesantren

Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten

Semarang. Peneliti juga secara langsung mengikuti kegiatan bahtsul

masail dan majlis syawir yang dilaksanakan di pesantren tersebut.

Peneliti sendiri juga merupakan orang yang terlibat dalam kegiatan

tersebut dalam beberapa tahun. Dengan observasi terlibat ini peneliti

dapat mengetahu secara langsung proses pelaksanaan bahtsul masail dan

majlis syawir serta metode yang digunakan dalam forum tersebut.

b. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara

(interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moelong,

2011:186 ). Peneliti telah melakukan wawancara dengan pengasuh

pesantren dengan tujuan untuk mengetahui sejarah pesantren tersebut

serta peran bahtsul masail dan majlis syawir bagi santri dan masyarakat.

(29)

untuk mengetahu sejauh mana pelaksanaan dan peran mereka terhadapa

kegiatan bahtsul masail dan majlis syawir. Kelompok ketiga yang

diwawancarai peneliti adalah pengurus pesantren. Wawancara tersebut

dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara jelas mengenai profil dan

program kerja Lajnah Bahtsul Masail (LBM) di Pondok Pesantren

Raudlatut Thalibin Jetis, serta pelaksanaan bahtsul masail dan majlis

syawir di pesantren tersebut. Wawancara juga dilakukan dengan alumni

pesantren untuk mengetahui manfaat metode tersebut bagi para alumni.

c. Catatan Lapangan

Catatan lapangan merupakan catatan yang dibuat di lapangan pada

saat melaksanakan penelitian yang berisikan informasi penting apa saja

yang didapatkanpeneliti berdasarkan apa yang telah dilihat, didengar, dan

dirasakan saat melaksanakan observasi lapangan tersebut. Catatan

lapangan yang peneliti tulis adalah seputar pelaksanaan kegiatan bahtsul

masail dan majlis syawir.

d. Penggunaan Dokumen

Dokumen dalam artian ini adalah setiap bahan tertulis ataupun film

(foto) saat pelaksanaan penelitian sabagai bukti autentik dalam membantu

penyusunan laporan penelitian setelah purna. Dokumen yang peneliti

gunakan adalah dokumentasi hasil kegaiatan kegiatan bahtsul masail dan

bahtsul masail yang pernah dilakukan oleh pesantren tersebut. Dokumen

(30)

foto-foto kegiatan, tata tertib kegiatan, hasil musyawarah LBM, dan yang

lain sebagainya.

4. Analisis Data

Data yang terkumpul selanjutnya akan penulis analisa dengan

menggunakan teknik analisa data dengan cara:

a. Reduksi Data

Reduksi adalah ”proses identifikasi satuan unit” (Moleong, 2011:288). Peneliti melakukan reduksi data dengan cara mengidentifikasi

setiap data-data yang didapatkan, baik data melalui dokumen, wawancara

maupun observasi. Identifikasi ini dilakkan peneliti untuk lebih dapat

memahami dari setiap data yang didapatkan.

b. Kategorisasi

Kategorisasi adalah “upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam

bagian-bagian yang memiliki kesamaan” (Moleong, 2011:288). Peneliti

melakukan kategorisasi dengan cara memilah setiap data-data yang

didapatkan, baik data melalui dokumen, wawancara maupun observasi.

Kategorisasi tersebut dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam

menyatukan data-data tersebut nantinya.

c. Sintesisasi

Sintetsisasi adalah“mencari kaitan antara satu kategori dengan

kategori yang lainnya agar bertemu titik permasalahannya” (Moleong,

2011:289). Data yang telah dikategorikanoleh peneliti kemudian dicari

(31)

ke dalam satu pembahasan yang sama sehingga dapat memberikan sebuah

penjelasan yang utuh

5. Pengecekan Keabsahan Data

Dalam rangka mendapatkan informasi yang faktual dan terperinci,

maka penelitu menggunakan beberapa teknik pengecekan data yang diuraikan

sebagai berikut:

a. Triangulasi

Triangulasi adalah“sebuah teknik pemeriksaan keabsahan data

yang memanfaatkan sesuatu yang lain” (Moleong, 2011:330). Artinya,

melalui teknik ini data pokok yang ada akan dibandingkan dengan data

pendukung lainnya, baik berdasarkan sumber, metode, penyidik, dan teori.

Dalam hal ini peneliti membandingkan antara data-data yang didapatkan

peneliti melalui wawancara dengan dokumentasi serta hasil observasi

lapangan. Selain itu peneliti juga membandingkan antara metode yang

dilaksanakan dengan apa yang menjadi dasarnya dalam kitab kuning atau

buku panduan pelaksanaan program tersebut.

b. Uraian Rinci

Dalam teknik ini penelititelah melaporkan hasil penelitiannya

sehingga urainnya itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin.

c. Auditing

Auditing adalah “proses pemeriksaan kebergantungan dan

(32)

informasi yang didapatkan peneliti baik berbentuk catatan ataupun data

lainnya dimanfaatkan dalam proses auditing.

6. Tahap-tahap Penelitian

Pada tahapan ini peneliti membaginya dalam tiga tahap yaitu:

a. Tahap Pra-lapangan

Dalam tahap pertama ini ada lima hal yang telah dilengkapi oleh

peneliti, yaitu:

1. Menyusun rancangan penelitian.

2. Mengurus perizinan.

3. Menjajaki dan menilai lapangan.

4. Memilih dan memanfaatkan informan.

5. Menyiapkan perlengkapan penelitian.

b. Tahap Pekerjaan Lapangan

Uraian tentang tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga bagian,

yaitu:

1. Memahami latar penelitian.

2. Adaptasi peneliti dilapangan.

3. Berperan serta sambil mengumpulkan data.

c. Tahap Pasca Lapangan

Pada bagian ini akan dibahas prinsip pokok, tetapi tidak akan

dirinci bagaimana cara analisis data itu dilakukan. Dalam penelitian kali

ini peneliti secara langsung melakukan analisisnya dalam setiap bab tanpa

(33)

dilakukan karena peneliti ingin menyajikan dua pokok pembahasan dalam

babnya sendiri-sendiri.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penelitian yang peneliti susun mencakup subtansi sebagai

berikut:

Bab I adalah Pendahuluan. Dalam bab ini peneliti menguraikan tentang :

Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat

Penelitian, Penegasan Istilah, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan

Sistematika Penulisan Penelitian.

Bab II mengemukakan tentang Bahtsul Masail dan Majlis Syawir sebagai

metode penalaran hukum Islam. Dalam bab ini peneliti menguraikan tentang

Tinjauan Umum Ijtihad, Landasan Normatif Yuridis Ijtihad, Syarat Ijtihad,

Ruang Lingkup Ijtihad, Tingkatan Mujtahid, serta Bahtsul Masail dan Majlis

Syawir Sebagai Metode Ijtihad Kolektif.

Bab III menjelaskan tentang Paparan Data dan Temuan Penelitian

pelaksanaan Bahtsul Masail dan Majlis Syawir di Pondok Pesantren Raudlatut

Thalibin. Yang dibahas dalam bab ini yaitu Gambaran Umum tentang Pondok

Pesantren Raudlatut Thalibin Jetis Desa Gentan Kecamatan Susukan Kabupaten

Semarang, Latar Belakang Pelaksanaan Bahtsul Masail dan Majlis Syawir di

pesantren tersebut, Metode Bahtsul Masail dan Majlis Syawir, dan Contoh

(34)

Bab IV menguraikan tentang relevansi metode bahtsul masail dan majlis

syawir di Indonesia. Dalam bab ini menjelaskan tentang peran bahtsul masail

dan masjllis syawir Di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin serta relevansinya

di Indonesia terutama dalam menjawab berbagai problematika kontemporer.

Selain itu juga diuraikan bagaimana metode yang digunakan oleh pondok

pesantren tersebut serta hasil dari kajian yang ada dapat diadopsi di pesantren

lain atau kalangan akademisi dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum.

Bab V adalah Penutup. Dalam bab terakhir ini adalah membahas tentang

kesimpulan penelitian yang telah dilakukan dan saran-saran yang diharapkan

dapat memberikan manfaat dalam pengembangan Bahtsul Masail dan Majlis

Syawir sebagai sebuah metode ijtihad dan penutup sebagai kesempurnaan dalam

(35)

BAB II

BAHTSUL MASAIL DAN MAJLIS SYAWIR SEBAGAI SEBUAH METODE PENALARAN HUKUM ISLAM

A. Definisi Ijtihad

Kata ijtihad merupakan mashdaryang berasal dari kata fiil madhiijtahada

dan fiil mudhari‟yajtahidu.Kata ijtahada merupakan fiil tsulasi mazid yang

mengikuti wazanifta‟ala dan berasal dari fiil tsulasijahada. Jahada mempunyai

arti berusaha dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan ijtihad sendiri secara

etimologi mempunyai beberapa arti, yaitu kerja keras atau sungguh-sungguh,

pengetahuan mengenai hukum atau jurisprudensi, dan mencurahkan segala

kemampuan atau menanggung beban (Ali & Ahmad, 1998:27).

Adapun secara terminologi para ulama‟ banyak memberikan definisi tentang ijtihad. Menurut al-Amidi seperti yang dikutip dalam buku Hukum Islam

Kontemporer (2009:68), ijtihad adalah “mengerahkan segenap kemampuan dalam

mencari hukum syar‟i yang bersifat dzanny, dalam batas sampai dirinya merasa

mampu melebihi usahanya sendiri itu”. Sedangkan definisi ijtihad menurut Imam

al-Ghazali adalah “pencerahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka

memperoleh hukum-hukum syar‟i” (Mustofa & Wahid, 2009:68).

Imam al-Mahalli dalam kitab Syarah Waraqat memberikan definisi ijtihad

sebagai berikut:

(36)

Menurut Imam al-Mahalli, Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk

mencapai sebuah tujuan yang diinginkannya dalam sebuah keilmuan tertentu yang

ingin dia dapatkan (Yusri, 2008:369).

Dari berbagai definisi ijtihad yang diberikan oleh para mujtahid maka bisa

dilihat bahwa yang menjadi konteks ijtihad adalah pencarian hukum yang

berkaitan dengan syariat Islam. Pencarian hukum tersebut harus disertai dengan

segala kemampuan yang dimiliki oleh orang tersebut. Sedangkan yang menjadi

obyek dari ijtihad sendiri adalah ketika permasalahan tersebut bersifat dzanny,

belum ada ketetapan pasti dari syariat Islam.

Tidak semua urusan dalam agama dibenarkan untuk menjadi obyek ijtihad.

Ada wilayah yang tidak boleh diijtihadi dan ada wilayah yang boleh diijtihadi.

Menurut Dr. Muhammad Yusri (2008:371), wilayah yang diperbolehkan untuk

menjadi obyek ijtihad terfokus pada dua hal, yaitu:

1. Permasalahan yang tidak ada ketentuan hukumnya sama sekali, baik itu

dalam al-Qur‟an maupun al-Hadis.

2. Permasalahan yang disebutkan hukumnya, tetapi ada pertentangan antara satu

dalil dengan dalil yang lainnya.

Dalam permasalahan terakhir tersebut yang menjadi wilayah ijtihad hanya sebatas

menyatukan antara dalil-dalil yang bertentangan atau melakukan tarjih terhadap

salah satu dalilnya.

Imam al-Ghazali telah memberikan batasan khusus berkenaan lapangan

(37)

tertentu dan tidak mengandung makana lain. Qath‟i dapat pula berarti suatu lafadz

yang dipahami darinya satu makna tertentu dan tidak mengandung kebolehan

untuk ditakwil serta tidak mengandung kemungkinan untuk dipahami makna lain,

selain ditunjukkan lafadz itu (Mustofa & Wahid, 2009:70-71).

Menurut alasan tekstual dan logis syariah historis, ijtihad perdefinisi

dibatasi pada maslah-masalah yang belum dijelaskan oleh teks al-Qur‟an dan sunnah yang jelas dan terperinci. Selain itu, dibawah formulasi historis ushul fiqih

ijitihad tidak mungkin dilakukan, bahkan dalam masalah-masalah yang telah

disepakati melalui ijma‟. Namun Abdullah Ahmed An-Naim (2011:48) mengungkapkan bahwa pembatasan peranan ijtihad harus dimodifikasi. Usulan ini

sebagian didukung fakta bahwa Umar, khalifah kedua dan seorang sahbat

terkemuka melakukan ijtihad dalam masalah-masalah yang jelas ditunjuk oleh

teks al-Qur‟an dan sunnah yang jelas dan rinci. Contohnya adalah pada kasus khalifah tidak membagikan zakat pada golongan muallafah qulubuhum pada masa

pemerintahannya dikarenakan iman orang-orang Islam pada waktu itu telah kuat.

Dr. Ahmad Yusri membagi hukum ijtihad menjadi tiga bagian, yaitu

wajib, fardhu kifayah, dan sunnah.

1. Ijtihad dihukumi wajib adalah ketika kemampuan dan keahlian untuk

berijtihad hanya dimiliki oleh satu orang atau hanya orang tersebut yang

dapat mengetahui terhadap sebuah permasalahan hukum. Maka bagi orang

tersebut wajib untuk mencurahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk

(38)

2. Ijtihad dihukumi fardhu kifayah adalah jika pada waktu tersebut terdapat

lebih dari seorang mujtahid. Apabila salah seorang dari mujtahid tersebut

telah melakukan ijtihad, maka gugur kewajiban dari mujtahid yang lain. Akan

tetapi jika salah satu diantara mereka tidak ada yang melakukan ijtihad, maka

semua mujtahid yang ada mendapatkan dosa semuanya.

3. Ijtihad dihukumi sunnah adalah ijtihad yang dilakukan terhadap permasalahan

yang belum terjadi, dan beberapa saat kemudian permasalahan tersebut

diperkirakan akan benar-benar terjadi. Maka hukum ijtihad yang demikian

adalah sunnah(Yusri, 2008:370-371).

B. Landasan Yuridis Normatif Ijtihad

Diantara landasan yangmelegitimasi adanya ijtihad adalah

1. Surat an-Nisa‟ ayat 59



 Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Depag, 1995:88).

2. Surat an-Nisa ayat 105

(39)

3. Hadis riwayat Imam Muslim (An-Nawawi, 1994:240)

حاذإونارجاهلفباصابشدهتجافمكابغامكحاذلإاقملسوهيلعهللاىلصهلللاوسرعمسنهاصاعلانبورمعنع

رجاهلفأطخابشدهتجافمك

.

Dari Amr Ibn Ash bahwa dia mendengar dari Rasulullah Saw. Bersabda mana kala seorang hakim menetapkan perkara dengan berijtihad, kemudian benar maka baginya akan mendapatkan dua pahala. Dan apabila hasil ijtihadnya salah maka mendapatkan satu pahala.

4. Hadis riwayat Imam Tirmidzi (Al-Mubarakfury, 1990:464)

كيفنكيملنإفلاقهللاباتكيفامبيضقلأاقف؟يضقتفيكلاقفنميلاىلإاذاعمثعبملسوهيلعهللاىلصهلللاوسرنأ

دهتجلأاق؟ملسوهيلعهللاىلصهلللاوسرةنسيفنكيملنإفلاقملسوهيلعهللاىلصهلللاوسرةنسبفلاق؟للهابات

ملسوهيلعهللاىلصهلللاوسرلوسرقفويذلاهللدمبغلااقييأر

Bahwasanya Rasulullah Saw. Mengutus Muadz bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman. Maka beliau bersabda “bagaimana engkau menghukumi sesuatu?”, Muadz menjawab “saya akan menghukumi dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Nabi bersabda “apabila tidak terdapat dalam Kitabullah?”, Muadz menjawab “maka saya akanmenghukumi dengan sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda “apabila tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah?”, Muadz menjawab “saya akan berijtihad dengan fikiran saya”. Kemudian nabi bersabda “segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah”.

C. Syarat-Syarat Melakukan Ijtihad

Para ulama dalam menetapkan syarat-syarat kebolehan melakukan ijtihad

tidaklah sependapat. Sekalipun demikian dapatlah ditetapkan bahwa syarat-syarat

umum untuk melakukan ijtihad itu antara lain:

1. Mengetahui dengan baik bahasa Arab dengan segala seginya.

2. Mengetahui dengan baik isi al-Qur‟an dan hadis

(40)

4. Mengetahui ushul fiqih, kaidah-kaidah fiqhiyyah, maqashid syariah dan

rahasia-rahasia syara‟.

5. Mujtahid memiliki sifat jujur, adil, dan berahlak terpuji.

6. Mujtahid mempunyai niat yang suci dan benar (Salam & Fathurohman:

1994:102-103).

Selain pada syarat umum diatas, al-Qardhawi juga memberikan beberapa

aturan dan ketentuan pokok yang merupakan kode etik dalam ijtihad kontemporer.

Adapun aturan dan ketentaun pokok tersebut yaitu:

1. Tidak ada ijtihad tanpa mencurahkan kemampuan.

2. Tidak ada ijtihad dalam permasalahan qath‟i.

3. Tidak boleh menjadikan dzanni sebagai qath‟i.

4. Menghubungkan antara fiqih dan hadis.

5. Waspada agar tidak tergelincir oleh tekanan realita.

6. Mengantisipasi pembaharuan yang bermanfaat.

7. Tidak mengabaikan semangat zaman dan kebutuhannya.

8. Transformasi menuju ijitihad kolektif (jama‟i).

9. Bersikap lapang dada terhadap kekeliruan Mujtahid (Al-Qardhawi,

2000:131-138).

(41)

Menurut Abu Zahrah, para ulama‟ ushul fiqh membagi fuqaha‟ menjadi tujuh tingkatan.Empat diantaranya sebagai mujtahidin dan sisanya sebagai

muqallidin. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah:

1. Mujtahid Mustaqil, yaitu mereka yang wajib mempunyai syarat-syarat yang

lengkap sebagai seorang mujtahid. Merekalah yang secara langsung menggali

hukum dari al-Qur‟an dan al-Hadis, serta mengqiyaskan, memberikan fatwa dan yang lainnya. Yang termasuk ke dalam tingkatan ini adalah imam 4

madzhab.

2. MujtahidMuntasib, yaitu mereka yang mengikuti Imamnya dalam hal-hal

ushul (pokok), dan berbeda dengan Imamnya dalam hal furu‟. Yang termasuk

dalam tingkatan ini adalah seperti Abu Yusuf dalam mahdzhab Abu Hanifah

dan Al-Muzanni dalam madzhab Imam Syafi‟i.

3. MujtahidMadzhab, yaitu mereka yang mengikuti dan sepakat dengan Imam

baik dalam hal ushul maupun dengan furu‟.

4. MujtahidMurjih, yaitu mereka yang tidak mengadakan istinbath dalam

masalah-masalah yang tidak diketahui hukumnya. Mereka hanyalah

men-tarjih pendapat-pendapat yang mereka temukan dalam madzhab mereka

(Depag, 1986: 143-144).

E. Ijtihad Kolektif

Ijtihad kolektif menurut al-Qardhawi (2000:138) adalah “metode ijtihad dimana para ilmuwan memusyawarahkan semua persoalan yang terjadi,

(42)

manusia”. Ijtihad kolektif merupakan sebuah solusi untuk menyikapi

problematika minimnya Mujtahid. Ijtihad kolektif bahkan dipandang sebagai

metode yang lebih baik karena lebih mendekati kebenaran daripada pendapat

perseorangan, walaupun seseorang itu memiliki kapasitas keilmuan yang sangat

tinggi.

Al-Qardhawi (2000:24) mengatakan bahwa dewasa ini ada dua macam

ijtihad yang diperlukan oleh umat Islam. Kedua macam ijtihad tersebut adalah:

1. Ijtihad Intiqa‟i, yaitu “memilih salah satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat dalam warisan fiqih Islam, yang penuh dengan fatwa

dengan keputusan hukum”. Dalam ijtihad ini dilakukan suatu studi

komparatif terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab fiqih dan meneliti

dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan sandaran pendapat

tersebut, sehingga pada akhirnya dapat dipilih pendapat yang terkuat

dalilnya sesuai dengan kaidah tarjih. Contoh hasil ijthad menggunakan

metode ini adalah orang yang dipaksa membunuh maka hukumnya juga

sepadan dengan orang yang memaksanya.

2. Ijtihad Insya‟i, yaitu “pengambilan konklusi hukum baru dari suatu

persoalan, yang persoalan itu belum pernah dikemukakan oleh ulama‟

-ulama‟ terdahulu, baik itu persoalan lama atau baru”. Sebagian besar

ijtihad ini terjadi pada masalah-masalah baru yang belum dikenal dan

diketahui oleh ulama terdahulu dan belum pernah terjadi pada masa mereka.

Contoh hasil ijthad menggunakan metode ini adalah diperbolehkannya

(43)

merupakan refleksi bayangan diri pada kertas, sedangkan melukis adalah

menyerupai hukum Allah (Al-Qardhawi, 2000:43).

Al-Qardhawi menambahkan bahwa pada masa modern ini memungkinkan

untuk memunculkan ijtihad baru yang merupakan integrasi antara ijtihad intiqa‟i

dan ijtihad insya‟i. Integrasi tersebut adalah dengan cara memilih berbagai

pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih rerlevan dan kuat, kemudian

dalam pendapat tersebut ditambahkan unsur-unsur ijtihad baru. Contoh dari model

hasil ijtihad ini adalah seperti hasil fatwa Lajnah Fatwa Kuwait tentang

permasalahan aborsi (Al-Qardhawi, 2000:47).

Menurut KH. Sahal Mahfudz, dalam aplikasinya ijtihadjama‟i meliputi

dua hal. Pertama, ijtihad dalam upaya memecahkan status hukum permasalahan

baru yang belum di singgung oleh al-Qur‟an, al-Sunnah, dan pembahasan ulama-ulama terdahulu. Jadi masalah ini dapat dikatakan masalah yang benar-benar baru

(al-masail al-mahaddatsah), karena bukan hanya al-Alqur‟an dan al-Sunnah tidak membicarakannya, juga hal ini belum pernah dibahas oleh ulama terdahulu.

Kedua, ijtihad untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan cita

kemaslahatan kemanusiaan universal sebagai spirit ajaran Islam. Hukum masalah

yang akan diijtihadi itu telah dibahas oleh imam-imam mujtahid terdahulu, tapi

karena ada beragam pandangan yang saling menampik antara yang satu terhadap

lain, maka tugas kita secara kolektif adalah memilih pendapat yang paling tepat

dan paling sesuai dengan ruh agama, yaitu kemaslahatan.

Hal-hal yang sifatnya ibadah mahdhah (rukun islam dan rukun iman) jelas

(44)

yang perlu dipertegas. Misalnya muncul ide zakat profesi demi menegakkan

keadilan dan kemaslahatan kolektif. Namun, untuk masalah sosial yang multi

dimensional, semisal inovasi teknologi, perdagangan bebas, politik internasional,

agresi militrr AS ke dan Iraq, pengembangan Nuklir Iran, kejahatan internasional,

inovasi kedokteran, informasi dunia, kemajuan pesat ilmu pengetahuan,

munculnya pikiran-pikiran baru yang lebih progresif-dinamis, serta munculnya

aliran keagamaan baru yang menghebohkan, membutuhkan jawaban yang

memadai dari ulama-ulama kita (Asmani, 2007:269).

Dalam kalangan nahdliyyin juga dikenal istilah yang hampir mirip dengan

ijtihad jama‟i atau ijtihad kolektif. Istilah tersebut adalah taqrir jama‟i, yaitu

upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara

beberapa qaul/wajah”. Selain itu juga dikenal istilah ilhaqul masail bi nadzairiha,

yaitu “menyamakan hukum suatu kasus/masalah serupa yang belum dijawab oleh

kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab” (LTN NU,

2007:446).

Dalam ijtihad individu kadangkala seseorang itu menyentuh suatu aspek

hukum dalam obyek pembahasan tertentu, sementara dia tidak menaruh perhatian

pada aspek lainnya. Terkadang seseorang menghafal segala sesuatu yang orang

lain tidak menghafalnya. Sedangkan diskusi kelompok semacam ijtihad kolektif

dapat menemukan point-point yang tersembunyi atau dapat memunculkan secara

jelas perkara-perkara yang sulit, atau mengingatkan beberapa masalah yang

(45)

adalah adanya usaha yang ditangani oleh sekelompok orang, atau usaha yang

dilakukan oleh sebuah lembaga sebagai sebuah ganti dari usaha individu.

Dasar tentang ijtihad kolektif adalah kisah Sayyidina Ali yang bertanya

kepada Nabi Muhammad tentang apa yang harus dilakukan jika dihadapakan pada

sebuah perkara yang belum pernah ada keputusan hukumnya dari al-Qur‟an dan hadis. Kemudian Nabi Muhammad Saw menjawab, “Engkau musyawarahkan perkara itu dikalangan para pakar fiqih dan orang-orang ahli ibadat dari kaum

Mukmin, dan janganlah engkau sekali-kali menetapkan hukum masalah ini

menurut pendapatmu sendiri”. Demikian inilah yang disebut dengan ijtihad

kolektif (Al-Qardhawi, 2000:139).

Metode ijtihad kolektif seperti inilah yang pernah ditempuh oleh

Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Abu Bakar ketika menghadapi suatu

perkara dan tidak mendapatkan dasar hukumnya dari al-Qur‟an dan hadis, maka beliau mengundang para tokoh diantara kaum muslimin dan para ulama mereka

untuk diajak musyawarah. Apabila pendapat mereka atas suatu perkara itu

disepakati, maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat tersebut. Begitu

pula dengan Sayyidina Umar, apabila tidak menemukan keputusan al-Qur‟an dan hadis serta tidak pula menemukan keputusan dari Abu Bakar maka beliau

mengundang para tokoh-tokoh kaum Muslim dan ulama-ulama mereka untuk

diajak bermusyawarah. Apabila pendapat mereka atas masalah tersebut disepakati,

maka beliau memutuskan perkara itu dengan pendapat tersebut.

Dengan adanya ijtihad kolektif ini bukan berarti membunuh (meniadakan)

(46)

kepada ijtihad kolektif adalah hasil penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap

mujtahid untuk didiskusikan secara kolektif. Setelah diteliti dan didiskusikan,

maka keluarlah suatu keputusan dari lembaga tersebut, baik berdasarkan ijma‟ maupun pendapat mayoritas.Apabila tidak melewati jalur penelitian, maka hasil

ijtihad individu ini dapat berakibat bahwa sebagian besar keputusan secara

kolektif itu nanti di dalamnya terdapat celah yang dapat dijadikan bahan kritikan

dan keraguan. Karenanya, hak individu dalam berijtihad itu masih ada pada setiap

keadaan. Bahkan, sebenarnya proses ijtihad itu pada dasarnya adalah proses

ijtihad individu. Sedangkan ijtihad kolektif merupakan permusyawaratan terhadap

hasil-hasil yang telah dicapai oleh setiap individu sebagaimana yang telah kita

ketahui(Al-Qardhawi, 2000:139).

F. Ijtihad Dalam Perspektif Ulama’ Nahdliyyin

Pengertian istinbath al-ahkam di kalangan ulama‟ nahdliyyin bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya yaitu, al-Qur‟an dan al -Hadis. Akan tetepi penggalian hukum dilakukan dengan men-tahqiq-kan secara

dinamis nash-nash fuqaha‟ dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.

Istinbath langsung dari sumber primer (al-Qur‟an dan al-Hadis) yang cenderung

kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan

karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang ilmu-ilmu

penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara

(47)

semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat (uraian teks) kitab-kitab

fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku (Mahfudz, 1994:26-27).

Menurut Jaih Mubarak, secara garis besar pengambilan keputusan hukum

Islam di kalangan nahdliyyin dapat dibagi menjadi 3 macam prosedur, yaitu:

1. Mengambil jawaban dari kitab-kitab yang sudah ada. Jika terdapat beberapa

qaul atau wajah, maka yang dilakukan adalah taqrir jama‟i untuk

menentukan pilihan terhadap salah satu pendapat. Dan metode ini juga

mempunyai prosedur tersendiri.

2. Ilhaqul Masail Binadzairiha(

اىرئاظنب لئاسبؼا ؽابغإ

), yaitu mempersamakan hukum

suatu kasus atau masalah yang dijawab oleh ulama‟ terhadap masalah atau kasus serupa yang telah dijawab oleh ulama‟ lain. Dengan kata lain, pendapat ulama‟ yang sudah jadi menjadi ushul atau pokok, dan kasus atau masalah yang belum ada hukumnya disebut furu‟ atau cabang. Metode ini merupakan

salah satu cara yang digunakan dalam berijtihad.

3. Istinbath Hukum sebagai alternatif terakhir, yaitu dapat dilakukan apabila

suatu masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya dalam kitab-kitab

standard sehingga tidak ada peluang untuk melakukan pemilihan pendapat

dan tidak memungkinkan para ulama untuk melakukan ilhaq karena tidak ada

mulhaq bih dan wajh ilhaq. Istinbath dilakukan secara jama‟i (kolektif)

dengan mempraktekkan kaidah ushul dan kaidah fikih (Mubarak,

2002:179-181).

Kalimat istinbath di kalangan nahdliyyim terutama dalam kerja bahtsul

(48)

nahdliyyin dengan konotasi ijtihad mutlak, suatu aktivitas yang oleh ulama‟ syuriyah masih berat untuk dilakukan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul

masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi‟iyyah melalui referensi

(maraji‟) kutub fuqaha‟.

Sikap dasar bermadzhab telah menjadi pegangan nahdliyyin sejak

berdirinya. Secara konsekuen sikap ini ditindak lanjuti dengan pengembalian

hukum fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam

beberapa komponen: ibadah, mu‟amalah, munakahah, jinayat dan qadha‟. Selain

mempertimbangkan qaul yang diambil itu berdasarkan kekuatan qaul tersebut,

tetapi juga dipertimbangkan pengambilan sikap untuk menentukan pilihan sesuai

dengan situasi kebutuhan dzaruriyyah (primer), hajiyah (sekunder), dan

tahsiniyyah (tersier) (Mahfudz, 1994:28).

Sebagaimana dimaklumi, fiqih dalam arti terminologinya adalah ilmu

hukum agama. Kemudian ia diartikan sebagai kumpulan keputusan hukum agama

sepanjang masa, atau dengan kata lain yurisprudensi dalam Islam. Sebagai

kompendium,yurisprudensi fiqih memiliki sistematikanya sendiri. Ia tidak berdiri

sendiri karena sebagai sebuah disiplin ilmu maupun sebagai perangkat keputusan

hukum fiqih dibantu oleh sejumlah kerangka teoritik bagi pengambilan keputusan

hukum agama (Mahfudz, 1994:21).

Dari sana kita mengenal ushul fiqih yang membahas katagorisasi hal-hal

yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan. Juga kita kenal

kaedah-kaedah fiqih yang menjadi patokan praktis dalam memutuskan suatu kasus fiqih.

(49)

semuanya mendukung terselenggaranya fiqih sebagai disiplin ilmu dan perangkat

keputusan hukum .

Sistematika dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqih sebenarnya

memungkinkan dikembangkan secara kontekstual, sehingga tidak akan

ketinggalan terhadap perkembangan sosial yang ada. Pemahaman secara

kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqih secara mutlak.

Justru dengan pemahaman tersebut segala aspek perilaku kehidupan akan dapat

terjiwai oleh fiqih secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqih itu

sendiri. Atau minimal kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri yang

belakangan ini mulai enggan menguaknya, akan tetapi oleh siapa saja yang

berminat mengaji referensi pemikiran Islam. Dari uraian ini dapat dilihat

bagaimana bagaimana posisi fiqih dalam tatanan sosial, sehingga fiqih atau

komponen Islam yang lainnya tidak harus selalu disesuaikan dengan keadaan

zaman yang ada, akan tetapi bagaimana mengaplikasikan fiqih secara baik dan

benar serta mudah diterima oleh khalayak awam tanpa keresahan yang berarti.

Fiqih yang dipahami ulama nahdliyyin dalam pengertian terminologis

adalah sebagai ilmu tentang hukum syariah (bukan i‟tiqadiyah) yang berkaitan

dengan amal manusia yang diambil dan disimpulkan (muktasab) dari dalil-dalil

tafshili adalah fiqih yang diletakkanoleh para perintisnya (mujtahidin) pada dasar

pembentukannya; al-Qur‟an, al-Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas. Dalam pembentukannya fiqih selalu mempunyai konteks dengan kehidupan nyata dan karena itu bersifat

dinamis. Ini tergambar dalam proses pembentukannya yang tidak lepas dari

(50)

al-Qur‟an dan asbabul wurud bagi al-Sunnah. Dalam halaqah dan muktamar nahdliyyin direkomendasikan agar pada setiap masalah yang dibahas oleh

syuriyah diberi tashawwur al-masail (abstraksi), sehingga permasalahan dapat

menjadi lebih jelas. Dengan demikian maka kepastian hukum bisa diputuskan

secara terpadu dengan melibatkan orang-orang ahli dan profesional. Ini penting

artinya bagi upaya mengintegrasikan disiplin ilmu-ilmu lain ke dalam wilayah

fiqih, untuk memperoleh alternatif pemecahan masalah tanpa ada resiko hukum.

Rumusan hukum hasil produk ijtihad nahdliyyin bukan merupakan

keputusan akhir. Masih dimungkinkan adanya koreksi dan peninjauan ulang bila

diperlukan. Bila di kemudian hari ada salah seorang ulama‟ (meskipun bukan peserta forum bahtsul masail syuriyah) menemukan nash/qaul atau ibarat lain dari

salah satu kitab dan ternyata bertentangan dengan keputusan tersebut, maka

keputusan itu bisa ditinjau kembali dalam forum yang sama. Tidak ada perbedaan

antara ulama‟ senior maupun junior, antara yang sepuh dan yang muda dan antara

kiyai dan santri. Karena dalam dialog hukum ini yang paling mendasar adalah

benar atau tepatnya pengambilan hukum sesuai dengan subtansi masalah dan latar

belakangnya (Mahfudz, 1994:37).

Tentang pemahaman syariah secara kontekstual (muqtadha hal) diatas

memang memerlukan pengetahuan membaca perkembangan sosial. Kemampuan

demikian memang tidak ditegaskan dalam syarat-syarat formal seorang mujtahid.

Tetapi semua mujtahid adalah orang-orang yang seharusnya peduli dengan

kemaslahatan dan kepentingan masyarakat. Berbicara maslahat berarti berbicara

(51)

Meskipun tidak secara tegas, seroang mujtahid disyaratkan memiliki

kepekaan sosial. Syarat demikian secara implisit telah terekam baik di dalam

persyaratan-persyaratan yang ada maupun di dalam mekamisme penggalian

hukum itu sendiri. Sebagai bukti, Imam Syafi‟i di kenal memiliki qaul qadim yang dilahrikan di Baghdad Irak, dan qaul jadid yang dilahirkan setelah

kepindahannya ke Mesir. Padahal ayat-ayat al-Qur‟an yang beliau ketahui tetaplah sama juga (Mahfudz, 1994:45).

G. Bahtsul MasailSebagai Salah Satu Metode Ijtihad Kolektif

Bathsul masailmerupakan gabungan kata yang berasal dari dua kata, yaitu

bathsudan masail. Bahtsu merupakan mashdar yang berasal dari fiil

madhibahatsadan fiil mudhari yabhatsu. Bahtsu sendiri dalam kamus al-„Asyri

mempunyai banyak arti, yaitu penelitian, pembahasan, pencarian, riset, diskusi,

dan eksplorasi (Ali & Ahmad, 1998:301). Sedangkan masailmerupakan bentuk

jamak dan mufrodnya adalah mas‟alah. Masail sendiri mempunyai beberapa arti,

yaitu pertanyaan, persoalan, isu, problematika, perkara dan kejadian (Ali &

Ahmad, 1998:1705). Dengan demikian maka bahstul masail secara bahasa dapat

diartikan sebagai pembahasan atau penelitianan akan sebuahpersoalan atau

problematika.

Sedangkan bahtsul masail secara istilah seperti yang diterminologokan

dalam sambutan buku Ahkamul Fuqoha oleh KH. Sahal Mahfudz adalah“salah

satu forum diskusi keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi atas

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Satiti (2017) dengan judul “Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Jurusan SMA N 2 Sukoharjo Dengan Metode Fuzzy”, pada penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Danga Kecamatan Aesesa Kabupaten Nagekeo Tahun 2016, dapat disimpulkan bahwa terdapat

perataan laba dengan perusahaan yang tidak melakukan bahwa mempunyai. reaksi pasar

Variabel C mempunyai nilai loading factor 0.887 dimana mempunyai nilai yang signifikan sehingga berarti bahwa komunikasi yang terdapat pada website Pemerintahan Kota

Rata-rata kecenderungan kiner- ja guru dalam melaksanakan pem- belajaran adalah termasuk dalam kategori sangat tinggi, baik untuk skor kesesuaian dengan RPP maupun kua-

Skema pembagian rahasia adalah metode yang digunakan untuk membagi atau mendistribusikan suatu rahasia S pada suatu himpunan partisipan P, sehingga jika semua partisipan A ⊆ P

Produk Pelayanan Persyaratan Pelayanan Jangka Waktu Biaya 1 Konsultasi dan pelayanan medis anak usia 0-59 bulan - Berkas rekam medis dari pendaftaran yang sudah

Analisis susut energi yang terjadi pada sistem jaringan distribusi radial di PLN APJ Yogyakarta UPJ Wonosari unit Semanu menunjukkan bahwa, feeder satu memiliki panjang jaringan