5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Buah Jambu Biji
Jambu batu (Psidium guajava L.) atau sering juga disebut jambu biji, jambu siki dan jambu klutuk adalah tanaman tropis yang berasal dari Brazil, disebarkan ke Indonesia melalui Thailand. Jambu batu memiliki buah yang berwarna hijau dengan daging buah berwarna putih atau merah dan berasa asam-manis. Buah jambu batu dikenal mengandung banyak vitamin C. Gambar dan klasifikasi ilmiah jambu biji ditunjukkan pada Gambar 1.
Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Plantae (tidak termasuk) Eudicots (tidak termasuk) Rosids
Ordo: Myrtales Famili: Myrtaceae Upafamili: Myrtoideae Bangsa: Myrteae Genus: Psidium Spesies: P. guajava
Nama binomial Psidium guajava
Gambar 1. Jambu biji dan klasifikasi ilmiahnya (Wikipedia, 2011)
Beberapa macam /kultivar jambu biji di Indonesia, sebagian dikenal sejak lama, sebagian merupakan introduksi dari Negara lain.
Jambu pasar minggu
Jambu pasar minggu memiliki dua varian: berdaging buah putih dan merah. Yang berdaging putih, dikenal sebagai „jambu susu putih‟, lebih digemari karena rasanya manis, daging buahnya agak tebal, dan teksturnya lembut. Yang berdaging buah merah kurang disukai karena buahnya cepat membususk dan rasanya kurang manis. Kulit buahnya tipis berwarna hujau kekuningan bila masak. Bentuk buahnya agak lonjong dengan bagian ujung membulat, sedangkan bagian pangkal meruncing. Jambu pasar minggu merupakan ras lokal.
Jambu getas merah
Jambu getas merah adalah varian jambu biji yang berdaging hijau sampai kekuning-kuningan dan berisi merah muda. Jambu ini beda dengan jambu pasar minggu, jambu ini bentuknya agak melonjong dan rasanya kurang manis, tetapi jambu ini memiliki hasiat yang baik karena mengandung Tanin,
6
quersetin, glikosida quersetin, flavonoid, minyak atsiri, asam ursolat, asam psidiolat, asam kratogolat, asam oleanolat, asam guajaverin dan vitamin yang lebih banyak. Kelebihannya lagi jambu getas merah ini tidak mengenal musim, dan selalu berbuah setiap saat dan dan kebanyakan dikembangbiakkan dengan pencangkokan. Jambu ini sudah banyak dibudidayakan di daerah Kendal, asalnya dari Getasblawong Pageruyung Kendal.Jambu Australia
Jambu biji Australia diintroduksi dari Australia. Kekhasannya adalah daunnya berwarna merah keunguan. Walaupun buahnya dapat dimakan, biasanya orang menanam di pekarangan lebih sebagai tanaman hias. Buahnya manis bila sudah masak, tetapi tawar bila belum matang.
Jambu crystal
Jambu biji crystal merupakan mutasi dari residu Muangthai Pak, ditemukan pada tahun 1991 di District Kao Shiung -Taiwan. Diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1991oleh Misi Teknik Taiwan. Jambu crystal sebetulnya tidak benar-benar nirbiji, jumlah bijinya kurang dari 3% bagian buah, sepintas Jambu biji crystal hampir tidak berbiji. Daging buahnya putih kekuningan dengan rasa manis agak asam. Teksturnya agak keras, renyah, dan beraroma wangi. Bentuk buahnya mirip apel, dengan ukuran diameter antara 10-15 cm. Kulit buahnya bila matang berwarna hijau keputihan. Jambu crystal dapat berproduksi terus menerus sepanjang tahun, meskipun relatif sedikit. Namun demikian, jenis jambu ini relatif tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Buah jambu crystal dapat dilihat pada Gambar 2.
Jambu Bangkok
Jambu Bangkok merupakan sebutan untuk jambu biji dengan buah yang besar. Beberapa memang diintroduksi dari Thailand. Salah satunya adalah „jambu sari‟. Bentuk buahnya bulat sempurna dengan garis tengah sekitar 10cm. Ukuran buah mentahnya lebih besar daripada ketika matang.
Gambar 2. Buah jambu biji crystal atau jambu sukun Taiwan (Anonim, 2011a)
Jambu dapat diperbanyak dengan biji. Namun demikian, perbanyakan dengan cara ini tidak disukai karena pertumbuhannya lama menjadi dewasa dan juga akan berubah sifat dari induknya. Perbanyakan yang sekarang dilakukan adalah secara vegetatif, khususnya dengan cara pencangkokan.
Daun jambu biji dikenal sebagai bahan obat tradisional untuk batuk dan diare. Jus jambu biji merah juga dianggap berkhasiat untuk membantu penyembuhan penderita demam berdarah dengue (Wikipedia, 2011).
7
B.
Laju Respirasi Buah-Buahan
Setelah proses pemanenan, jaringan yang ada pada komoditi holtikultura masih hidup dan melakukan proses metabolisme diantaranya respirasi. Proses ini bermanfaat dalam mempertahankan organisasi sel, transformasi metabolit ke seluruh jaringan, dan mempertahankan permeabilitas membran (Wills et al., 1981). Namun proses ini juga merusak untuk jangka waktu tertentu yaitu proses pembusukan.
Respirasi adalah sesuatu proses pembongkaran bahan organik yang tersimpan (karbohidrat, protein, dan lemak) menjadi bahan sederhana dan produk akhirnya berupa energi. Kehilangan cadangan makanan selama respirasi berarti kehilangan nilai gizi makanan (nilai energi) untuk konsumen, berkurangnya kualitas rasa, khususnya rasa manis, dan kehilagan berat kering ekonomis (khususnya bagi komoditi yang akan didehidrasi).
Secara sederhana proses respirasi dapat digambarkan dengan persamaan reaksi kimia berikut: C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + 674 kkal energi.
Dari persamaan di atas, dapat diketahui bahwa glukosa diperlukan untuk proses respirasi. Glukosa ini diperoleh dari cadangan makanan yang disimpan dalam bentuk buah, umbi, dan lain sebagainya. Menurut Ryall dan Lipton (1983), respirasi dapat dijelaskan dengan persamaan sederhana, setiap respirasi 180 g glukosa mengkonsumsi 192 g O2 dan menghasilkan 264 g CO2, 108 g air dan 673 K/cal energi. Besar kecilnya respirasi dapat di ukur dengan menentukan jumlah subtrat yang hilang, O2 yang diserap, CO2 yang dihasilkan, panas yang dihasilkan dan energi yang timbul (Pantastico, 1986).
Rahmad (1990), merekomendasikan bahwa penyimpanan salak pada suhu kamar, laju produksi CO2 sebesar 18.346 ml/kg.jam dan laju konsumsi O2 adalah 18.029 ml/kg.jam, sedangkan penyimpanan pada suhu 15o C sebesar 6.302 ml/kg.jam dengan laju produksi CO2 sebesar 5.917 ml/kg.jam.
Menurut Lili (1997), laju respirasi buah manggis pada suhu penyimpanan kamar, 5o C, dan 10o C laju produksi CO2 47.7 ml/kg.jam, 6.38 ml/kg.jam, 6.41 ml/kg.jam, sedangkan laju konsumsi O2 adalah 17.31 ml/kg.jam, 2.74 ml/kg.jam dan 3.46 ml/kg.jam.
Sudiari (1997), merekomendasikan bahwa penyimpanan buah nangka terolah minimal pada suhu penyimpanan kamar, 5o C, dan 10o C, laju produksi CO2 149.604 ml/kg.jam, 12.035 ml/kg.jam dan 30.398 ml/kg.jam sedangkan laju konsumsi O2 adalah 47.778 ml/kg.jam, 3.40 ml/kg.jam dan 8.615 ml/kg.jam. RQ yang dihasilkan sebesar 3.13, 3.54 dan 3.53. Respiratory quotient (RQ) adalah nilai rasio antara gas CO2 yang diproduksi dengan gas O2 yang dikonsumsi selama respirasi. Proses respirasi anaerob (fermentasi) ditandai dengan RQ yang tinggi.
Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk menduga daya simpan buah dan sayuran setelah dipanen. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran jalannya metabolisme dan sering dianggap mengenai potensi daya simpan yang pendek. Bahan yang memilliki daya respirasi tinggi biasanya memiliki daya simpan pendek. Klasifikasi komoditi holtikultura berdasarkan laju respirasi dapat dilihat pada Tabel 4.
8
Tabel 4. Klasifikasi komoditi holtikultura berdasarkan laju respirasinyaKelas Kisaran pada 5oC (41oF)
(mg CO2/kg-jam)
Komoditi
Sangat rendah <5 Kurma, kacang-kacangan, buah kering
Rendah 5-10 Apel, jeruk, anggur, jambu biji
Sedang 10-20 Apricot, pisang
Tinggi 20-40 Strawberry, alpukat
Sangat tinggi 40-60 Artichoke, bunga potong
Sangat-sangat tinggi >60 Asparagus, brokoli, jamur, bayam,
jagung manis
Sumber: Mitra, 1997
C.
Buah Terolah Minimal
Pengolahan minimal adalah serangkaian perlakuan terhadap bahan pangan segar yang pada dasarnya dimaksudkan untuk menghilangkan bagian-bagian yang tidak dapat dikonsumsi dan memperkecil ukuran produk untuk mempercepat penyajian (Schilmme, 1995). Pengolahan minimum yang dilakukan terhadap buah-buahan pada umumnya meliputi perlakuan pencucian, sortasi, trimming, pengupasan, pengirisan, dan coring (pembuangan biji) yang cenderung tidak mempengaruhi kualitas produk dari keadaan segarnya (Shewelt, 1987). Perlakuan pemotongan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dengan bentuk yang spesifik dimaksudkan agar produk lebih praktis untuk dikonsumsi. Menurut Burn (1995), buah segar yang terolah minimal lebih menawarkan jaminan mutu yang baik dibandingkan dengan kondisi utuh tertutup kulit, karena konsumen dapat langsung melihat kondisi daging buah.
Produk olahan minimal lebih mudah mengalami kerusakan dibandingkan dengan produk utuh (Krochta, 1992). Konsekuensi dari perlakuan pengolahan minimum terhadap buah segar adalah terjadinya perubahan fisiologi akibat kehilangan kulit sebagai lapisan pelindung. Keadaan tersebut akan menyebabkan terjadinya induksi sintesis etilen, degradasi membran lipid, reaksi pencoklatan, pembentukan metabolit sekunder, kehilangan air dan terjadinya peningkatan laju respirasi. Induksi sintesis etilen adalah pembentukan etilen karena bereaksinya enzim pembentuk etilen dengan O2 yang perlu dihindari karena dapat mempercepat penuaan. Perubahan-perubahan fisiologi tersebut akan menyebabkan buah segar terolah minimal semakin pendek masa simpannya. Pernyataan ini dibuktikan oleh hasil penelitian Kim et al. (1993) terhadap buah apel segar yang telah dikupas dan dipotong kemudian disimpan pada suhu 2oC dan RH 90% selama 12 hari, dimana hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa laju respirasinya (produksi CO2) meningkat menjadi 3.5-7.6 ml/kg.jam dibandingkan buah apel utuh yang hanya 1 ml/kg.jam.
Penelitian terhadap penyimpanan buah dan sayuran yang terolah minimal telah banyak dilakukan diantaranya Sudiari (1997), merekomendasikan penyimpanan buah nangka terolah minimal dengan komposisi gas 10% untuk O2 dan 2% untuk CO2 pada suhu 15oC selama 27 hari.
Andrianis (2001), merekomendasikan penyimpanan buah durian terolah minimal dengan komposisi 3-5% O2 dan 10-15% CO2 dengan suhu penyimpanan sebesar 5
o
9
D.
Buah Terolah Minimal dengan Lapisan Edibel
Untuk memperpanjang umur simpan buah terolah minimal diperlukannya penanganan yang tepat dan optimum. Salah satu alternatif yang diharapkan dapat menekan laju penurunan mutu buah terolah minimal dan memperpanjang umur simpannya adalah melapisnya dengan suatu film yang dinamakan (edible coating) dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu rendah. Oleh karena itu, penelitian mengenai lapisan edibel perlu dilakukan untuk memperoleh hasil dengan karakteristik dan spesifikasi yang jelas.
Lapisan edibel didefinisikan sebagai lapisan tipis yang melapisi bahan pangan dan aman untuk dikonsumsi. Bahan utama pembentuk film adalah biopolymer seperti protein, karbohidrat (pektin, gum, dan pati), lemak, dan campuran.
Bahan dasar pembentuk lapisan edibel sangat mempengaruhi sifat-sifat lapisan edibel itu sendiri. Lapisan edibel yang berasal dari hidrokoloid memiliki ketahanan yang baik terhadap gas O2 dan CO2 meningkatkan kekuatan fisik, namun ketahanan terhadap uap air rendah akibat sifat hidroliknya. Oleh karena itu, protein dan poliskarida tidak dapat digunakan sebagai penahan (barrier) terhadap kelembaban pada permukaan yang mempunyai aktifitas air permukaan tinggi (Garnida, 2006). Hal ini menurut Wong et al. (1994), berarti lapisan hidrolik sebaiknya dihindari penggunaannya untuk menyimpan buah pada kelembaban relatif yang tinggi.
Fungsi lapisan edibel adalah untuk memberikan tahanan yang selektif terhadap transmigrasi gas dan uap air (Park et al., 1994). Lapisan edibel telah banyak digunakan pada bahan-bahan farmasi, manisan, beberapa produk daging, unggas, seafood. Namun, penelitian dan aplikasi kemasan ini pada umumnya dijumpai pada buah dan sayur segar terutama buah dan sayur siap hidang (minimally processed) (Choi et al., 2000). Selain itu, ada beberapa keuntungan yang didapat apabila produk dilapisi edibel coating, yaitu:
1. Dapat menurunkan aw permukaan bahan sehingga kerusakan oleh mikroorganisme dapat dihindari,
2. Dapat memperbaiki struktur permukaan bahan sehingga permukaan menjadi lebih mengkilat, 3. Dapat mengurangi terjadinya dehidrasi sehingga susut bobot dapat dicegah,
4. Dapat mengurangi kontak oksigen dengan bahan sehingga oksidasi dapat dihindari, 5. Sifat asli produk seperti flafor tidak mengalami perubahan,
6. Dapat memperbaiki penampilan produk.
Menurut Grant dan Burns (1994), metode penggunaan lapisan edibel pada buah dan sayuran dapat berupa pencelupan (dip application), pembuihan (foam application), penyemprotan (spray application), penetesan (drip application), dan penetesan terkendali (controlled drip application). Cara pengaplikasiannya tergantung pada ukuran, jumlah, sifat produk, dan hasil yang diinginkan.
Pada penelitian ini, lapisan yang digunakan adalah glukomanan. Glukomanan merupakan polisakarida yang tersusun oleh satuan D-glukosa dan D-manosa dengan perbandingan dua banding satu (Smith & Srivasta, 1956). Glukomanan banyak terdapat dalam tanaman iles-iles. Tepung konjak glukomanan merupakan serat alam kental yang paling mudah larut dan membentuk larutan yang sangat kental. Menurut Firmansyah (2010), keuntungan glukomanan adalah:
1. Merupakan serat yang secara alami dapat larut dalam air, tidak mengandung lemak gula, tepung atau protein.
2. Bebas dari gandum,
10
4. Tembus cahaya dan bersifat seperti agar-agar serta tidak berbau,5. Dapat disimpan di bawah suhu ruangan selama sekitar satu tahun.
Menurut Budiman (1970), larutan glukomanan dapat membentuk lapisan tipis yang mempunyai sifat tembus pandang. Dengan penambahan gliserin atau NaOH kedalam larutan glukomanan lapisan tipis yang terbentuk akan kedap air. Di dalam air, glukomanan memiliki kemampuan mengembang yang besar sekitar 138-200%. Glukomanan juga mempunyai sifat mencair seperti agar, sehingga dapat digunakan dalam pertumbuhan mikroba pengganti agar (Boelharsin et al., 1970).
Di dalam industri makanan, tepung manan dapat digunakan sebagai zat pengental, misalnya dalam pembuatan sirup, sari buah, dan sebagainya. Di Jepang, tepung manan telah secara luas digunakan untuk makanan tradisional dengan shirataki dan konyaku. Jika manan dikonsumsi maka bahan makanan dapat berperan sebagai serat dietary yang dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah (Dekker et al., 1976). Pada Tabel 5 disajikan perbandingan mutu tepung iles produksi Indonesia dan Jepang.
Tabel 5. Perbandingan mutu tepung iles produksi Indonesia dan Jepang Karakteristik Sanindo, Indonesia
1)
Kyo-B Jepang2)
Proposal Shimizu, jepang2)
Warna Cokelat keabuan Putih Putih
Kekentalan (cps) <10 000 28 000 10 000-100 000 Kadar glukomanan (%) 30-40 55 67 1) Soewandhi et al,. 1995 2) Internet, 2001b
Glukomanan yang paling baik adalah glukomanan dengan kualitas A dengan kekentalan di atas 35 000 cps (Anonim, 2011b). Bila dilihat dari faktor harga dibandingkan dengan pelapis edibel lain, yaitu low methoxy pectin, maka harga glukomanan lebih murah. Harga glukomanan Rp 100 000, 00/ kg sedangkan harga low methoxy pectin Rp 1 500 000, 00/ kg dapat dilihat bahwa harga glukomanan jauh lebih murah.
Hasil penelitian Paramawati (1998), menyatakan bahwa suku salak segar berlapis film edibel mempunyai umur simpan 9.2 hari dengan kombinasi komposisi atmosfer 6 ± 1% O2 dan 14 ± 2% CO2 pada suhu 5oC.
Fardiaz et al. (1999) menyatakan bahwa buah mangga arumanis terolah minimal berlapis edibel yang disimpan pada suhu 5oC dapat bertahan sampai pada hari ke-5 sedangkan jika disimpan pada suhu 10oC dapat bertahan sampai pada hari ke-4. Ratule (1999), memaparkan bahwa umur simpan buah mangga siap hidang terlapis film edibel adalah 6.6 hari. Andina (2005), menyatakan bahwa perlakuan buah melon dengan pelapis edibel dari pektin mampu mempertahankan umur simpan dan mutu buah melon yang lebih baik sampai pada hari ke-18 penyimpanan denga suhu 5oC dibandingkan tanpa pelapis edibel yakni buah melon hanya bertahan 10 hari.
Hasil penelitian Wong et al. (1994), menunjukan bahwa lapisan irisan buah apel dengan derivate selulosa dan lipida dapat mengurangi kehilangan air sebesar 75% setelah penyimpanan pada suhu ruang dan RH 50% selama 72 jam. Pengaruh suhu dan RH berhubungan langsung dengan proses penguapan air pada komoditi holtikultura. Dengan pengurangan air yang terkandung pada komoditi holtikultura, bobot produk tersebut juga akan berkurang.
Shih (1992), menyatakan bahwa baik protein yang berasal dari susu maupun dari kedelai sangat potensial sebagai bahan dasar pelapis edibel. Yoyo (1995), telah membuat pelapis edibel dari
11
bahan protein kedelai dengan penambahan gliserol 6%, dimana pelapis tersebut dapat berfungsi sebagai barrier dalam menghambat berkurangnya flavor yang dikehendaki dan uap air, serta dapat membatasi perubahan gas O2 dan CO2.Pengaplikasian dari lapisan edibel pada buah terolah minimal dilakukan pada buah mangga arumanis beserta karakteristiknya dilakukan oleh Purwadaria et al. (1997), Setiasih et al. (1998) dan Wuryani et al. (1998).
Purwadaria dan Wuryani (1999), mengembangkan model respirasi untuk maggga arumanis terolah minimal berlapis edibel yang disimpan pada komposisi atmosfer di berbagai suhu.
Setiasih et al. (1998), memaparkan bahwa formula pelapis edibel (low methoxy pectin) yang ditambah 0.25% asam stearat disertai dengan perlakuan penyimpanan 10oC dan kelembaban 65% dapat digunakan pada mangga arumanis terolah minimal.
Rusmono et al. (1998), menyatakan hubungan antara RO2max serta K1/2 terhadap suhu penyimpanan mengikuti persamaan eksponensial dengan:
RO2max.,T= 0.087 Exp (0.0286T); R2=0.9958 K1/2
T
= 0.011 Exp (0.0155T); R2= 0.9962
Rusmono et al. (1999), memaparkan bahwa mangga arumanis terolah minimal berlapis edibel dalam kemasan stretch film pada penyimpanan 10oC dapat bertahan sampai pada hari ke-5.
E.
Penyimpanan dalam Atmosfer Termodifikasi pada Suhu Rendah
Penyimpanan dengan atmosfir termodifikasi adalah penyimpanan dengan lingkungan udara yang mempunyai komposisi gas berbeda dengan udara normal (Smock, 1979). Penyimpanan dilakukan dalam kemasan plastik film yang mempunyai permeabilitas tertentu untuk mengontrol transmisi gas respirasi. Hasilnya adalah akumulasi gas CO2 dan penurunan jumlah gas O2 di sekitar produk yang dapat memperpanjang umur simpan produk tersebut (Kader et al., 1977). Kandungan O2 rendah menghambat respirasi dan kandungan CO2 yang lebih tinggi dari kondisi normal menurunkan laju respirasi, oksidasi, dan menurunkan pengaruh etilen. Menurut Ryall et al. (1974), pemberian sejumlah gas O2 yang cukup untuk terjadinya proses respirasi dibawah konsentrasi normal di udara dapat memperlambat terjadinya pembusukkan dan kehilangan air pada buah dan sayuran. Batas peningkatan CO2 dan penurunan O2 dapat dilihat pada Tabel 6 (Hasbullah, 1996).
Tabel 6. Batas maksimum CO2 dan batas minimum penurunan O2 dari beberapa jenis buah-buahan (%) Buah/ sayuran CO2 O2 Apel 2 2 Pisang 5-8 3-5 Aprikot 2.5-3 2-3 Alpukat 6-10 3-5 Jambu biji 8-10 3-5 Rambutan 12-15 3-5 Belimbing 5-7 3-10 Nanas 10 5 Melon 10-15 3-5 Sumber: Hasbullah, 1996
12
Ada dua cara dalam penyimpanan atmosfer termodifikasi, yaitu aktif dan pasif. Cara pasif yaitu kesetimbangan antara CO2 didapat melalui pertukaran udara lingkungan dengan udara di dalam kemasan melalui film kemasan. Jadi kesetimbangan tidak dikontrol pada awalnya, melainkan hanya mengandalkan permebealitas dari kemasan yang digunakan. Sedangkan cara aktif adalah penyimpanan dengan modifikasi atmosfer dimana pada awalnya udara dalam kemasan dikontrol dengan cara menarik semua udara di dalam kemasan untuk kemudian diisi kembali udara dengan konsentrasi CO2 dan O2 optimum menggunakan alat sehingga keseimbangan langsung tercapai.Penyimpanan pada atmosfer termodifikasi biasa dipadukan dengan penyimpanan pada suhu rendah. Penyimpanan pada suhu rendah merupakan salah satu cara untuk mempertahankan mutu karena mengurangi kelayuan akibat kekurangan air, penurunan laju reaksi kimia (termasuk respirasi), penurunan laju pertumbuhan mikroba, mengurangi laju produksi etilen dan reaksi jaringan terhadap etilen sehingga dapat memperlambat proses pemasakan.
Menurut Soedibyo et al. (1980), selama penanganan, buah-buahan akan mengalami penurunan berat karena kehilangan air dan CO2 yang disebabkan oleh penguapan dan respirasi. Apabila buah-buahan didinginkan, maka proses respirasi yang menyebabkan kehilangan CO2 dapat dikurangi. Tetapi proses penguapan air justru dapat menjadi cepat terutama bila kelembaban relatif udara di bawah keadaan optimum (85%-90%). Disamping itu, pendinginan yang kurang tepat akan menyebabkan buah-buahan mengalami kerusakan dingin yang disebut chilling injury adalah buah menjadi kehilangan flavor dan keriput (Desrosier, 1988). Pengaruh suhu penyimpanan terhadap umur simpan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap umur simpan
Komoditi Hortikultura
Kondisi Optimal Umur Simpan Optimal (minggu) T (oC) RH (%) Aprikot 0-5 90-95 1-4 Alpukat 5-13 100 6-12 Nanas 10-15 100 4-6 Pisang 12-15 85-90 1.5-2 Apel 0-1 90-95 8-12 Belimbing 3-6 90 3 Durian 4 85-90 6-8 Jambu biji 5-10 90 2-3 Melon 5-10 90 1-4 Nanas 8-13 90-95 3
Sumber: Thomson et al., 1996
Konsentrasi O2 rendah dan CO2 tinggi dalam penyimpanan atmosfir termodifikasi akan menekan laju respirasi hingga memperlambat proses pematangan, memperlambat pembusukkan, serta menekan berbagai perubahan yang berhubungan dengan pematangan. Namun, konsentrasi O2 yang rendah dapat mengubah pola respirasi dari aerobik menjadi anaerobik yang akan menimbulkan berbagai kerusakan. Setiap produk memiliki batas minimum penurunan O2 dan batas maksimum peningkatan CO2 agar produk tidak mengalami kerusakan fisik.
Berikut adalah beberapa hasil penelitian mengenai penyimpanan dalam atmosfer termodifikasi pada suhu rendah. Rahmad (1990) membuktikan bahwa salak utuh jika disimpan dalam
13
plastik PVC dengan komposisi atmosfer termodifikasi 10% O2 dan 2% CO2 akan tahan disimpan selama 27 hari pada suhu 15oC.Cristianti (1992) telah berhasil meneliti bahwa komposisi udara terbaik untuk jambu biji utuh varietas bangkok, biasa, dan susu adalah sebesar 3-5% O2 dan 8-10% CO2. Jambu biji susu cocok dengan kemasan polietilen, sedangkan jambu biji biasa dengan kemasan polipropilen. Kemasan tersebut menghasilkan jambu yang tahan simpan selama 15 hari dengan suhu 10oC.
Purwadaria et al. (1997) memaparkan bahwa umur simpan buah mangga arumanis terolah minimal pada suhu 15oC adalah 6 hari lebih pendek dibandingkan penyimpanan suhu 10oC yaitu 8 hari.
Lili (1997) membuktikan bahwa buah manggis dapat disimpan selama 35 hari setelah dikemas dengan plastik stretch film dengan komposisi atmosfer termodifikasi 10-12% O2 dan 5-8% CO2 dengan suhu penyimpanan 5oC.
Sudiari (1997) membuktikan bahwa buah nangka terolah minimal dapat disimpan selama 8 hari setelah dikemas dengan plastik stretch film dengan komposisi atmosfer termodifikasi 4-7% O2 dan 10-12% CO2 dengan suhu penyimpanan 5
o C.
Paramawati (1998) merekomendasikan bahwa kondisi penyimpanan suku salak segar terbungkus pelapis edibel adalah pada perlakuan penyimpanan dengan komposisi gas 6±1% O2 dan 14±2% CO2 pada suhu penyimpanan 5oC.
Ratule (1999) memaparkan bahwa kondisi optimum penyimpanan buah mangga siap saji berlapis film edibel adalah komposisi atmosfer 4±1% O2 dan 11±2% CO2 pada suhu penyimpanan 10oC.
Harmen (2000) merekomendasikan penyimpanan salak pondoh pada suhu 10oC dengan konsentrasi gas masing-masing 2.76% O2 dan 10.30% CO2 selama 26 hari dengan berat bahan 0.93 kg.
Andrianis (2001) merekomendasikan penyimpanan buah durian terolah minimal pada komposisi gas 3-5% O2 dan 5-8% CO2 dalam kemasan LDPE selama 12 hari pada suhu penyimpanan 5oC.
Quariesta (2001) merekomendasikan penyimpanan buah alpukat dengan komposisi udara 2-5% O2 dan 6-8% CO2 pada suhu 15oC selam 30 hari.
Yanti (2002) membuktikan bahwa komposisi udara terbaik untuk melon terolah minimal denga atmosfer termodifikasi yaitu sebesar 3-5% O2 dan 10-15% CO2 dengan suhu penyimpanan sebesar 5oC dalam plastik stretch film selama 16 hari.
Martini (2005) merekomendasikan penyimpanan buah jambu biji terolah minimal selama 8 hari pada suhu 10oC dalam komposisi atmosfer 1-3% O2 dan 8-10% CO2.
Sukara (2007) menyatakan bahwa komposisi atmosfer untuk penyimpanan irisan sirsak terolah minimal adalah 11±1% O2 dan 2±1% CO2 pada suhu penyimpanan 5oC. Pada kondisi seperti ini, sirsak dapat bertahan hingga 6 hari dalam kemasan stretch film.
Dillah (2009) menyatakan bahwa komposisi atmosfer yang disarankan untuk penyimpanan buah campuran kedondong, nenas, dan jambu air adalah 7-9% CO2 dan 8-10% O2 pada suhu penyimpanan 5oC selama 14 hari.
Ariesty (2010) menyatakan bahwa komposisi atmosfer yang disarankan untuk penyimpanan buah pepaya California terolah minimal dan berlapis edibel adalah 2-4% O2 dan 8-10% CO2 pada suhu penyimpanan 5oC.
Fisla (2010) merekomendasikan penyimpanan melon Cantaloupe terolah minimal dan berlapis edibel dalam komposisi atmosfer 3-5% O2 dan 8-10% CO2 pada suhu 5oC.
14
Menurut Fellows (2000), penyimpanan dengan atmosfir termodifikasi memiliki beberapa keuntungan dan keterbatasan. Keuntungannya antara lain:1. Meningkatkan umur simpan 50 – 400%.
2. Hanya perlu sedikit atau bahkan tidak sama sekali pengawet kimia. 3. Memperbaiki penampilan
4. Menurunkan biaya distribusi Sedangkan keterbatasannya adalah:
1. Menambah biaya pengemasan. 2. Memerlukan kontrol suhu.
3. Komposisi gas berbeda untuk tiap produk.
4. Memerlukan peralatan khusus dan operator yang dilatih.
F.
Pemilihan Jenis Kemasan
Mengatur interaksi antara bahan pangan dengan lingkungan sekitar akan menguntungkan bagi bahan pangan, dan menguntungkan bagi manusia yang mengkonsumsi bahan pangan. Pengemasan bahan pangan harus memenuhi beberapa kondisi atau aspek untuk dapat mencapai tujuan pengemasan itu, yaitu bahan pengemasnya harus memenuhi persyaratan tertentu, metode atau teknik pengemasan bahan pangan harus tepat, pola distribusi dan penyimpanan produk hasil pengemasan harus baik (Anonim, 2009).
Film adalah plastik tipis yang fleksibel dimana ketebalannya kurang dari 0.0254 cm. Terdapat beragam jenis plastik yang biasa digunakan dalam pengemasan dengan atmosfer termodifikasi. Polyethylen merupakan jenis film yang banyak digunakan pada industri pengemasan. High density polyethylene (HDPE) dibuat pada suhu 60°-160° dan pada tekanan 40 atm. Low density polyethylene (LDPE) merupakan film dengan harga yang cukup terjangkau yang kuat dan jernih. Polypropylene merupakan film yang lebih kaku, kuat dan lebih ringan dari polyethylene. Film ini memiliki permeabilitas uap air yang rendah, ketahanan yang cukup baik terhadap minyak, ketahanan terhadap suhu tinggi yang baik. polyvinilchlorida biasa digunakan untuk daging atau olahan susu lainnya (Sacharow, 1980). Koefisien permeabilitas film kemasan terhadap hasil perhitungan dan penetapan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Koefisien permeabilitas film kemasan terhadap hasil perhitungan dan penetapan (ml.mm/m2.jam.atm)
Jenis Film Kemasan
10°C 15°C 25°C
O₂ CO₂ O₂ CO₂ O₂ CO₂
Low density polyethylene (LDPE) - - - - 1002 3600
Polipropilene 265 363 294 430 229 656
Stretch film 342 888 473 748 4143 6226
White stretch film 226 422 291 412 1464 1479