• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKU REFERENSI EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUKU REFERENSI EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ii

BUKU REFERENSI

(3)

iii

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002

Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,

mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(4)

iv

BUKU REFERENSI

EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT

Chatarina Muryani Sigit Santosa Singgih Prihadi

(5)

v EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT

Penulis: Chatarina Muryani Sigit Santosa Singgih Prihadi Penerbit: CV. Pramudita Press

Goresan Rt.2 Rw.8 Demakan, Mojolaban, Sukoharjo www.pramudita.wordpress.com

email: penerbit.pramudita@gmail.com

Desain Cover & Layout: Singgih Prihadi Mei 2020

ISBN: 978-623-90014-7-6 Page: 187 + vii

Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang memperbanyak karya ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin dari penerbit

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Pariwisata memiliki peranan penting dalam aset negara. Pariwisata merupakan sektor utama yang memberikan kontribusi untuk pertumbuhan berkelanjutan di semua negara. Pengembangan pariwisata idealnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan di wilayah tersebut.Dewasa ini, bidang pariwisata merupakan suatu bidang yang potensial dalam pembangunan suatu negara. Pariwisata dianggap membawa dampak positif sebagai motor penggerak kegiatan ekonomi rakyat. Daerah dengan potensi pariwisata dapat menghidupkan kegiatan ekonomi masyarakat sekitar dengan menciptakan usaha-usaha skala kecil sampai menengah, mengurangi tingkat pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pembangunan sektor pariwisata merupakan usaha modernisasi yang telah banyak membawa perubahan perikehidupan manusia maupun cara pemanfaatan lingkungan.

Pembangunan pariwisata juga akan berpengaruh pada sektor budaya, diantaranya adalah tingkat partisipasi dan kegotong-royongan penduduk, komunikasi antara penduduk, pendidikan dan norma social, kepadatan penduduk, mobilitas penduduk bahkan sampai pada tingkat kriminalitas. Pariwisata adalah suatu gejala yang sangat kompleks, yang menyangkut manusia seutuhnya dan memiliki berbagai aspek: sosiologis, psikologis, ekonomis, ekologis dan sebagainya. Aspek yang mendapat perhatian paling besar dan merupakan satu-satunya aspek yang dianggap penting ialah aspek ekonomisnya.

Buku Ekowisata Berbasis Masyarakat ini diharapkan dapat memenuhi tuntutan perkembangan pariwisata di Indonesia. Indonesia memiliki potensi pariwisata yang sangat besar, bahkan desa-desa yang tersebar di seluruh Indonesia memiliki potensi menjadi desa wisata asal dikelola dengan baik dengan melibatkan masyarakat setempat.

Demikian pengantar tentang buku ini, semoga buku ini bermanfaat untuk kemajuan di bidang geografi pariwisata demi mencapai mutu ekowisataberbasis masyarakat yang lebih baik.

Surakarta, Mei 2020

(7)
(8)

1 BAB I

PARIWISATA

1.1. Pendahuluan

Pariwisata memiliki peranan penting dalam aset negara. Pariwisata merupakan sektor utama yang memberikan kontribusi untuk pertumbuhan berkelanjutan di semua negara. Pengembangan pariwisata idealnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan di wilayah tersebut. 'Pertumbuhan ekonomi', 'kesejahteraan masyarakat' dan 'lingkungan' adalah tiga faktor yang membuat sistem sosial-ekonomi daerah yang berkelanjutan (Yabuta dkk, 2008). Manfaat yang paling penting dari kegiatan pariwisata adalah pembangunan ekonomi melalui dolar asing, pendapatan pajak, investasi asing langsung dan lapangan kerja baru bagi penduduk setempat (Fleming dan Toepper, 1990; Stynes, 2013).

Pariwisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktivitas lainnya (Pendit, 1999).

Menurut Undang-Undang No.9 tahun 1990, kepariwisataan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan pengusahaan objek dan daya tarik wisata, usaha sarana wisata, usaha jasa pariwisata, serta usaha-usaha lain yang terkait. Seiring dengan perkembangan tingkat kebutuhan rekreasi masyarakat yang tinggi, menjadikan dorongan untuk mengunjungi obyek wisata semakin meningkat.Dalam hal ini, pembangunan kepariwisataan memerlukan perencanaan dan perancangan yang baik.Perkembangan pariwisata di suatu tempat, tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses. Proses itu dapat terjadi secara cepat atau lambat, tergantung dari berbagai faktor eksternal (dinamika pasar, situasi politik, ekonomi makro) dan faktor eksternal di tempat yang bersangkutan, kreatifitas dalam mengolah asset yang dimiliki, dukungan pemerintah dan masyarakat.

(9)

2 Dewasa ini, bidang pariwisata merupakan suatu bidang yang potensial dalam pembangunan suatu negara. Pariwisata dianggap membawa dampak positif sebagai motor penggerak kegiatan ekonomi rakyat. Daerah dengan potensi pariwisata dapat menghidupkan kegiatan ekonomi masyarakat sekitar dengan menciptakan usaha-usaha skala kecil sampai menengah, mengurangi tingkat pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang akan kembali digunakan oleh pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di daerah dan mencapai kesejahteraan. Dengan kata lain, pariwisata merupakan suatu jenis industri yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan cepat mencakup lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasikan faktor-faktor produksi lainnya.

Pembangunan sektor pariwisata merupakan usaha modernisasi yang telah banyak membawa perubahan perikehidupan manusia maupun cara pemanfaatan lingkungan. Kecenderungan terjadi pemanfaatan sumberdaya alam didasari oleh motif ekonomi tanpa memperhatikan alternatif penggunaan sesuai dengan kebutuhan dan perubahan dari sumberdaya alam yang sifatnya terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Semakin meningkatnya volume kegiatan pariwisata disuatu daerah menuntut bertambahnya kebutuhan akan sumber-sumber bentang lahan dan bentang budaya yang dapat diangkat menjadi objek wisata.

Selain berpengaruh pada sosial ekonomi masyarakat, pembangunan pariwisata juga akan berpengaruh pada sektor budaya, diantaranya adalah tingkat partisipasi dan kegotong-royongan penduduk, komunikasi antara penduduk, pendidikan dan norma social, kepadatan penduduk, mobilitas penduduk bahkan sampai pada tingkat kriminalitas. Waimbo (2012) menyatakan bahwa pariwisata dengan segala aspek kehidupan yang terkait didalamnya akan menuntuk kosekuensi dari terjadinya pertemuan dua budaya ataulebih yang berbeda, budaya yang berbeda dan saling bersentuhan akan membawa pengaruh yang berdampak terhadap segala aspek kehidupan dalam

(10)

3 masyarakat disekitar obyek wisata. Perkembangan teknologi dan industri tidak terlepas dari pertumbuhan ruang lingkup kebudayaan.

1.2. Pengertian Pariwisata

Secara etimologi, kata pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri atas dua kata yaitu pari dan wisata. Pari berarti “banyak” atau “berkeliling”, sedangkan wisata berarti “pergi” atau “berpergian”. Atas dasar itu maka kata pariwisata seharusnya diartikan sebagai suatu perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar, dari suatu tempat ke tempat lain, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan kata “tour”, sedangkan untuk pengertian jamak, kata “kepariwisataan” dapat digunakan kata “tourisme” atau “tourism”I (Yoeti, 1996:112).

Pariwisata adalah suatu gejala yang sangat kompleks, yang menyangkut manusia seutuhnya dan memiliki berbagai aspek: sosiologis, psikologis, ekonomis, ekologis dan sebagainya. Aspek yang mendapat perhatian paling besar dan merupakan satu-satunya aspek yang dianggap penting ialah aspek ekonomisnya (Demartoto, 2009:13).

Menurut Undang-Undang No.10/ 2009 tentang Kepariwisataan, pada Bab I pasal I mengenai ketentuan umum, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

Wisatawan tentu saja menjadi faktor pendukung yang sangat penting, menurut WTO jenis wisatawan dapat di golongkan menjadi 3 (tiga) yaitu: (1) Pertama, traveller yaitu orang yang melakukan perjalanan antar dua atau lebih lokalitas; (2) Kedua, visitor yaitu orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan, (3) Ketiga, tourist yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi (WTO, dalam Demartoto, 2009:10).

(11)

4 BAB II

POTENSI OBJEK WISATA

2.1 Pengertian Objek Wisata

Menurut SK. MENPARPOSTEL Nomor: KM. 98 / PW.102 / MPPT-87, Obyek Wisata adalah semua tempat atau keadaan alam yang memiliki sumber daya wisata yang dibangun dan dikembangkan sehingga mempunyai daya tarik dan diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi wisatawan. Suatu kawasan/daerah dapat dikatakan sebagai objek wisata apabila telah memenuhi beberapa unsur pokok yang mendukung suatu kawasan/daerah untuk dikunjungi wisatawan. Beberapa unsur pokok yang menjadi syarat suatu tempat menjadi objek wisata adalah berikut:

1. Ada yang dapat dilihat (something to see), berarti dalam suatu kawasan/daerah tersebut memiliki sesuatu yang menarik untuk dilihat. Setiap tempat memiliki keunikan dan karakteristik masing-masing sehingga setiap tempat memerlukan adanya perhatian dari pihak terkait terhadap atraksi wisata yang dapat dijadikan sebagai hiburan bagi para wisatawan.

2. Ada yang dapat dibeli (something to buy), berarti dalam suatu kawasan/daerah tersebut memiliki sesuatu yang menarik dan khas untuk dibeli. Hal ini biasanya terlihat dengan adanya penjualan cenderamata, souvenir, dan bahan kerajinan lainnya di objek wisata tersebut. Wisatawan memerlukan cenderamata sebagai buah tangan dari setiap objek wisata. Umumnya setiap objek wisata memiliki ciri khas tersendiri dalam penjualan cenderamata yang tidak ditemui di kawasan/daerah lain. Selain itu, perlu adanya fasilitas penunjang kegiatan perbelanjaan untuk dapat mengakses sejumlah layanan keuangan, seperti ATM, bank, money changer, dll.

3. Ada yang dapat dilakukan (something to do), berarti dalam suatu kawasan/daerah tersebut memiliki suatu hal yang dapat menjadi aktivitas yang menarik. Aktivitas dan kegiatan menarik yang dapat

(12)

5 dilakukan di objek wisata tersebut dapat membuat para wisatawan merasa betah. Hal ini juga dapat menjadi kecenderungan bagi para wisatawan untuk berkunjung kembali ke objek wisata tersebut.

Terdapat beberapa pengertian potensi wisata yang dapat menjadi sumber acuan, antaralain:

 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1979 yang menerangkan bahwa obyek wisata adalah perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi.

 SK MENPARPOSTEL Nomor: KM.98/PW.102/MPPT-87 yang memerangkan bahwa obyek wisata adalah tempat atau keadaan alam yang memiliki sumber daya wisata yang dibangun dan dikembangkan sehingga mempunyai daya tarik dan diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi wisatawan.

 Menurut Yoeti (1996), objek wisata merupakan segala sesuatu (kondisi fisik: iklim, bentang alam, flora dan fauna, dan lainya; hasil ciptaan manusia: benda-benda bersejarah, monumen dan rumah adat, dan tata cara hidup masyarakat, upacara tradisional, adat istiadat dan lainnya) yang menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjunginya.

2.2 Pengertian Potensi Objek Wisata

Potensi objek wisata tersusun dari kata “potensi”, “objek”, dan “wisata”. Sebelum membahas lebih jauh mengenai potensi objek wisata, perlu diketahui pemahaman terkait setiap kata tersebut sebagai berikut:

 Menurut KBBI, potensi merupakan suatu kemampuan, kekuatan, kesanggupan, ataupun daya yang memiliki kemungkinan untuk dikembangkan.

 Menurut KBBI, objek adalah benda, hal, dan sebagainya yang dijadikan sasaran untuk diteliti, diperhatikan, dan sebagainya.

(13)

6

 UU Nomor 10 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa potensi objek wisata merupakan kemampuan ataupun daya yang terdapat dalam suatu objek ruang tertentu dan memiliki kemungkinan untuk dikembangkan menjadi tujuan rekreasi individu maupun kelompok. Beberapa pengertian mengenai potensi wisata juga telah disampaikan sebelumnya oleh para ahli antara lain:

1. Potensi wisata adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh daerah tujuan wisata, dan merupajan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut (Mariotti dalam Yoeti, 1996).

2. Potensi wisata adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh suatu daerah untuk daya tarik wisata dan berguna untuk mengembangkan industri pariwisata di daerah tersebut (Sukardi, 1998:67).

3. Potensi wisata adalah segala macam bentuk sumber daya yang terdapat di suatu daerah tertentu yang bisa diramu dan dikembangkan menjadi suatu aneka atraksi wisata (Pendit, 1999).

4. Potensi wisata adalah kemampuan dalam suatu wilayah yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk pembangunan, seperti alam, manusia serta hasil karya manusia itu sendiri (Sujali dalam Amdani, 2008)

2.3 Jenis Potensi Objek Wisata

Berdasarkan faktor dominan yang menunjang terciptanya suatu objek wisata, potensi objek wisata dibedakan menjadi empat jenis sebagai berikut:

1. Potensi Objek Wisata Alam

Potensi objek wisata alam ditunjang dengan adanya keadaan fisik seperti bentang alam baik hutan, pantai, pegunungan dan lain sebagainya serta keanekaragaman hayati mencakup seluruh jenis flora dan fauna yang terdapat di kawasan tersebut. Wisata alam di Indonesia

(14)

19 BAB III

KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK PARIWISATA

3.1. Pendahuluan

Lahan merupakan bagian dari bentang alam meliputi pengertian lingkungan fisik termasuk keadaan iklim, topografi, relief, hidrologi, serta keadaan vegetasi alami yang ada di dalamnya yang berpotensi mempengaruhi penggunaan lahan (FAO dalam Tim PPTA, 1993:3). Lahan menjadi tempat tinggal manusia sekaligus ruang bagi makhluk lain. Manusia membutuhkan lahan untuk melakukan berbagai aktivitas. Berbagai aktivitas manusia memerlukan lahan mulai dari lahan sebagai tempat tinggal, hingga lahan sebagai ruang pertanian maupun kegiatan produksi lainnya yang secara keseluruhan terintegrasi langsung terhadap pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

Lahan adalah salah satu sumberdaya yang terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Dalam analoginya, manusia terus bertambah sedangkan lahan tidak dapat bertambah. Berdasarkan hal tersebut lahan menjadi objek yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perencanaan tata guna lahan. Tata guna lahan merupakan suatu pemanfaatan dan penataan lahan yang dilakukan sesuai dengan kondisi eksisting alam. Sebagai contoh tata guna lahan berupa permukiman, perumahan, pertanian, perkebunan, ruang terbuka hijau, industri, dan lain sebagainya.

Tata guna lahan menjadi aturan dasar dalam upaya untuk mengatur penggunaan lahan secara rasional agar tercipta keteraturan dalam penggunaan lahan yang berkelanjutan. Peraturan dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 1 ayat 5 menerangkan bahwa, penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang memerlukan penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif,

(15)

20 dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

Penatagunaan lahan memiliki peran penting, tidak hanya sekedar sebagai ruang fungsional tetapi juga sebagai wujud suatu wilayah yang berdaulat secara politik. Peran penting lahan lainnya adalah menjadi input atau masukan dan juga produk dari proses perencanaan. Dalam perkembangannya terdapat berbagai permasalahan yang terjadi dalam penggunaan lahan. Selanjutnya, diperlukan adanya kajian terkait kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan agar dapat tercipta pembangunan berkelajutan. Hal tersebut diperlukan dalam berbagai perencanaan pembangunan termasuk dalam pembangunan pariwisata berbasis alam.

3.2.Pengertian Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan adalah keadaan dimana lahan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya. Lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat vital kegunaannya bagi kelangsungan hidup manusia. Secara lebih spesifik, kesesuaian lahan dapat ditinjau berdasarkan sifat-sifat fisik lingkungan seperti, iklim, tanah, topografi, hidrologi, dan drainase. Menurut FAO (1976) terdapat 5 kelas dalam kesesuaian lahan sebagai berikut:

a. Kelas S1 atau Sangat Sesuai (Highly Suitable)

Kelas S1 merupakan lahan yang tidak memiliki pembatas yang berat untuk penggunaan secara lestari atau memiliki pembatas tidak berarti dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi serta tidak menyebabkan kenaikan masukan yang diberikan pada umumnya.

b. Kelas S2 atau Cukup Sesuai (Moderately Suitable)

Kelas S2 merupakan lahan yang memiliki pembatas agak berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan, serta meningkatkan masukan yang diperlukan.

(16)

21 c. Kelas S3 atau Sesuai Marginal (Marginal Suitable)

Kelas S3 merupakan lahan yang memiliki pembatas yang sangat berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan. Perlu ditingkatkan masukan yang diperlukan.

d. Kelas N1 atau Tidak Sesuai Saat Ini (Currently Not Suitable)

Kelas N1 merupakan lahan yang memiliki pembatas yang lebih berat, tapi masih mungkin untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengetahuan sekarang ini dengan biaya yang rasional. Faktor-faktor pembatasnya begitu berat sehingga menghalangi keberhasilan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. e. Kelas N2 atau Tidak Sesuai Selamanya (Permanently Not Suitable)

Kelas N2 merupakan lahan yang memiliki pembatas yang sangat berat, sehingga tidak mungkin digunakan bagi suatu penggunaan yang lestari.

Menurut Sarwono dan Widiatmaka (2011), kesesuaian lahan mencakup dua hal penting, yaitu kesesuaian aktual dan potensial sebagai berikut:

a. Kesesuaian lahan aktual

Kesesuaian lahan (current suitability) dalam keadaan alami belum sampai mengarah pada usaha untuk melakukan perbaikan dan pengelolaan yang terarah. Perbaikan dan pengelolaan penting dilakukan untuk mengatasi hambatan (faktor-faktor pembatas) yang terdapat pada setiap satuan peta.

b. Kesesuaian lahan potensial

Kesesuaian lahan potensial merupakan kesesuaian lahan yang akan tercapai setelah adanya usaha perbaikan lahan. Suatu lahan yang disebut sebagai kesesuaian lahan potensial diharapkan telah sesuai dengan tingkat pengelolaan yang akan diterapkan.

(17)

26 BAB IV

PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT (Community Based Tourism)

4.1. Pendahuluan

Optimalisasi manfaat pembangunan kepariwisataan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang berdomisili disekitar destinasi pariwisata sebagaimana tercermin dalam salah satu prinsip pembangunan kepariwisataan yang berlanjut. Dalam pembangunan kepariwisataan dikenal strategi perencanaan pengembangan kepariwisataan yang berorientasi pada pemberdayaan kepariwisataan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat yang mengedepankan peran dan partsipasi masyarakat setempat sebagai subjek pembangunan.

Dalam istilah keilmuan kepariwisataan, strategi tersebut dikenal dengan istilah Community Based Tourism Development (CBT). Kontruksi CBT ini pada prinsipnya merupakan salah satu gagasan yang penting dan kritis dalam perkembangan teori pembangunan kepariwisataan konvensional (growth oriented model) yang seringkali mendapatkan banyak kritik telah mengabaikan hak dan meminggirkan masyarakat lokal dari kegiatan kepariwsataan di suatu destinasi.

4.2. Pengertian Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism) dikembangkan berdasarkan prinsip keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan berbagai stakeholders pembangunan pariwisata termasuk pemerintah, swasta dan masyarakat. Secara ideal, prinsip pembangunan community based tourism menekankan pada pembangunan pariwisata “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat” (Demartoto, 2009:20). Pariwisata berbasis masyarakat harus dijalankan secara trannsparan, diwakili oleh pemangku kepentingan atau stakeholder untuk mewakili

(18)

27 kepentingan masyarakat dan mencerminkan kepemilikan yang sebenarnya. (Mearns, 2003:31).

Menurut Sunaryo (2013:218), CBT pada hakekatnya adalah salah satu pendekatan dalam pengembangan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal, baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun tidak, dalam bentuk pemberian akses pada manajemen dan sistem pembangunan kepariwisataan yang berujung pada pemberdayaan politis melalui kehidupan yang lebih demokratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegiatan kepariwisataan secara lebih adil bagi masyarakat.

Community based tourism yaitu konsep pengembangan suatu destinasi wisata melalui pemberdayaan masyarakat lokal, dimana masyarakat turut andil alam perencanaan, pengelolaan dan pemberian suara berupa keputusan dalam pembangunannya (Arifin, 2017:113). Tujuan dari pariwisata berbasis masyarakat atau community based tourism beragam dan ambisius, diantaranya pemberdayaan dan pelibatan masyarakat, konservasi sumberdaya alam dan budaya, pembangunan social dan ekonomi, serta pengalaman pengunjung yang berkualitas (Hiwasaki, 2006:677).

Menurut Demartoto (2009:21) hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat adalah mempertahankan unique values yang berupa adat istiadat, upacara tradisional, kepercayaan, seni pertunjukan tradisional, dan seni kerajinan khas yang dimiliki masyarakat dikawasan tersebut. Community Based Tourism tak hanya membutuhkan pemahaman tentang perpecahan struktur internal dalam masyarakat, tetapi juga membutuhkan pemahaman tentang hambatan eksternal untuk partisipasi masyarakat dan kontrol masyarakat, karena community based tourism berfungsi untuk mempertahankan keuntungan industri pariwisata (Haywood, 1988: 107).

Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (CBT) menekankan pada faktor masyarakat sebagai komponen utama, tetapi keterlibatan unsur lainnya seperti pemerintah dan swasta sangat diperlukan (Demartoto, 2009: 20). Suansri (2003:14) menguatkan definisi Community Based Tourism

(19)

28 (CBT) sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya dalam komunitas. CBT merupakan alat bagi pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan.

Menurut Ruiz (2011:657), pariwisata berbasis masyarakat sebagai strategi untuk meningkatkan ketahanan sistem sosial-ekologis yang akan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, sedangkan ekowisata berbasis masyarakat merupakan bentuk ekowisata yang menekankan pembangunan masyarakat lokal, memungkinkan penduduk setempat untuk menjadi kendali dan terlibat dalam pembangunan dan manajemen, serta manfaat kembali kepada masyarakat (Denman, 2001:5).

Secara teoritis (Murphy, 1988), pada hakekatnya pembangunan kepariwisataan tidak bisa lepas dari sumberdaya dan keunikan komunitas lokal, baik berupa elemen fisik maupun non fisik (tradisi dan budaya), yang merupakan unsur penggerak utama kegiatan wisata itu sendiri sehingga semestinya kepariwisataan harus dipandang sebagai “kegiatan yang berbasis pada komunitas setempat”.

Dalam salah satu tulisannya (Murphy, 1988) juga telah memberikan beberapa batasan pengertian CBT dengan kisi-kisi ciri pembatas sebagai berikut :

1) Wujud tata kelola kepariwisataan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat aktif dalam manajemen dan pembangunan kepakriwisataan yang ada.

2) Wujud tata kelola kepariwisataan yang dapat memberikan kesempatan pada masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha-usaha kepariwisataan juga bisa mendapatkan keuntungan dari kepariwisataan yang ada.

3) Bentuk kepariwisataan yang menuntut pemberdayaan secara sistematik dan demokratis serta distribusi keuntungan yang adil kepada masyarakat yang kurang beruntung yang ada pada destinasi.

(20)

29 Sedangkan menurut Hausler (2007) dalam Demartoto (2014) , CBT pada hakekatnya merupakan salah satu pendekatan dalam pembangunan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal, baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun tidak, dalam bentuk pemberian akses pada manajemen dan sistem pembangunan kepariwisataan yang berujung pada pemberdayaan politis melalui kehidupan yang lebih demokratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegiatan kepariwisataan secara lebih adil bagi masyarakat lokal.

5.3. Karakteristik Pariwisata Berbasis Masyarakat

Strategi community based tourism ini telah digunakan untuk pengembangan pariwisata di beberapa negara berkembang di Asia (Rocharungsat, 2008:60). Community based tourism harus melibatkan masyarakat luas, manfaat yang diperoleh dari community based tourism harus didistribusikan secara merata kepada seluruh tujuan masyarakat, memiliki managemen yang baik untuk pariwisata, harus memiliki kemitraan yang kuat dan dukungan dari dalam dan luar masyarakat, serta konservasi lingkungan yang tidak boleh diabaikan (Rocharungsat, 2008:65).

Hudson dan Timothy (1999) mengemukkakan mengenai ciri khusus yang melekat pada CBT sebagai : pemahaman yang berkaitan dengan kepastian manfaat yang diperoleh oleh masyarakat dan adanya upaya perencanaan pendampingan yang membela masyarakat lokal serta kelompok lain yang memiliki ketertarikan/minat kepada kepariwisataan setempat, dan tata kelola kepariwisataan yang memberi ruang kontrol yang lebih besar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Menurut Suansri (2003:21-22), pengembangan kepariwisataan yang berbasis masyarakat (CBT) harus meliputi 5 dimensi pengembangan dalam kepariwisataan adalah sebagai berikut:

(21)

37 BAB V

EKOWISATA 5.1. Pendahuluan

Pariwisata adalah industri terbesar di dunia. Ini menyumbang lebih dari 10% dari total lapangan kerja, 11% dari PDB global, dan total perjalanan wisata diperkirakan meningkat menjadi 1,6 miliar pada tahun 2020. Dengan demikian, ia memiliki dampak besar dan meningkat pada keduanya manusia dan alam. Efek bisa negatif maupun positif. Pengembangan pariwisata yang tidak tepat dan praktik dapat menurunkan habitat dan lanskap, menguras alam sumber daya, dan menghasilkan limbah dan polusi. Sebaliknya, pariwisata bertanggung jawab dapat membantu menghasilkan kesadaran dan dukungan untuk konservasi dan lokal budaya, dan menciptakan peluang ekonomi untuk negara dan komunitas.

Ekowisata adalah istilah yang sering diperdebatkan. Kadang-kadang digunakan hanya untuk mengidentifikasi bentuk pariwisata di mana motivasi pengunjung, dan promosi penjualan bagi mereka, berpusat pada pengamatan alam. Umunya pasar sektor ini disebut 'wisata alam'. 'Ekowisata' sejati, bagaimanapun, membutuhkan sebuah pendekatan proaktif yang berupaya mengurangi yang negatif dan meningkatkan yang positif dampak wisata alam. Dewasa ini juga banyak dikembangkan ekowisata, terutama pada lokasi wisata yang “menjual” alam sebagai atraksi wisata. Ekowisata merupakan perjalanan untuk penemuan dan belajar tentang lingkungan alam. Konsep ekowisata harus memelihara keberlanjutan “lingkungan sosial-ekonomi”, 'Peningkatan kesejahteraan masyarakat', 'pengembangan pariwisata' dan 'pelestarian lingkungan' merupakan tiga pilar dalam pengembangan ekowisata berbasismasyarakat. Oleh karena itu, keseimbangan di antara ketiganya penting untuk pengembangan ekowisata.

Ekowisata merupakan istilah yang sering diperdebatkan. Terkadang hanya digunakan untuk pariwisata dimana motivasi pengunjung berpusat pada pengamatan alam. Hal semacam itu disebut 'wisata alam', sedangkan

(22)

38 'ekowisatai' pada prinsipnya memerlukan pendekatan proaktif yang berupaya mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif wisata alam. Masyarakat Ekowisata Internasional mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah-daerah alami yang melestarikan lingkungan dan menopang kesejahteraan masyarakat setempat (WWF International, 2009). IUCN ( 1997) mendefinisikan ekowisata adalah perjalanan wisata ke daerah alami untuk menikmati dan menghargai alam serta budaya setempat, mempromosikan konservasi, memiliki dampak pengunjung yang rendah, dan memberikan keterlibatan sosial ekonomi masyarakat lokal yang sangat baik

Dalam era pembangunan berkelanjutan yang sudah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1982 dengan dikeluarkanya Undang-undang No 4 tahun 1982 tentang ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, pengembangan ekowisata mempunyai peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak lingkungan, Ditambahkan oleh Kara et.al, 2011) bahwa ekowisata memberikan keuntungan lingkungan, budaya dan ekonomi pada daerah yang dikembangkan.

Pembangunan berkelanjutan melalui ekowisata belum banyak yang menggunakan pendekatan holistik yaitu menggabungkan antara kebutuhan sosial dan kebutuhan lingkungan (Pardo, (2008); Stronza A and Gordillo J (2008), Korosi, (2013)). Dengan kata lain, pada saat merencanakan kegiatan pariwisata mereka belum mengenali keterkaitan antara komponen lingkungan dengan komponen sosial. Sustainability is key to any long term eco-tourism development and particular performance indicators may be developed and applied to monitor the sustainable development of unique eco-tourism attractions (Mapjabil et.al., 2015).

(23)

39 5.2. Pengertian Ekowisata

Ekowisata (Ecotourism) dalam bahasa Indonesia biasa diartikan sebagai pariwisata berwawasan lingkungan. Maksudnya, melalui aktivitas yang berkaitan dengan alam, wisatawan diajak melihat dan menyaksikan alam dari dekat, menikmati keaslian alam dan lingkungannya sehingga membuatnya tergugah untuk mencintai alam.

Ekowisata merupakan bentuk pariwisata yang berfokus pada menyusuri alam dan menekankan daya tariknya pada pelestarian lingkungan (Bjork dalam Chiu, 2014). Ekowisata memiliki hubungan yang kuat dengan pariwisata berkelanjutan. Keberlanjutan itu tergantung pada hubungan antara pariwisata dan lingkungan. Pengelolaan yang baik dalam pengembangan ekowisata merupakan yang penting untuk melestarikan dan menjaga kekayaan hayati daerah serta meningkatkan ekonomi masyarakat setempat (Bunruamkaew, 2011).

Berbeda dengan pariwisata (tourism) yang kita kenal, ekowisata dalam penyelenggaraannya tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi yang modern atau luks yang dilengkapi dengan perlengkapan yang mewah atau bangunan artifisial yang berlebihan, semuanya disesuaikan dengan alam disekitarnya. Pada dasarnya penyelenggaraanya dilakukan secara sederhana, yang menonjol adalah memelihara keaslian seni budaya tradisional masyarakat, dan terciptanya ketenangan, sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya.

Menurut The International Ecotourism Society atau TIES (1991) dalam Nugroho (2011:15). Ekowisata adalah perjalanan wisata ke wilayah-wilayah alami dalam rangka mengkonservasi atau menyelamatkan lingkungan dan memberi penghidupan lokal.

Menurut World Conservation Union (WCU) dalam Nugroho (2011:15), Ekowisata adalah perjalanan wisata ke wilayah-wilayah yang lingkungan alamnya masih asli, dengan menghargai warisan budaya dan alamnya, mendukung upaya-upaya konservasi, tidak menghasilkan dampak negatif,

(24)

63 BAB VI

EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT

6.1 Pengertian Ekowisata Berbasis Masyarakat

Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh. Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif masyarakat. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola. Dengan adanya pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata sendiri.

Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jualsebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola.

Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan, dll. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata.

(25)

64 Ekowisata berbasis masyarakat (community based tourism) merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif masyarakat. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF- Indonesia, 2009).

Ekowisata berbasis masyarakat mengambil dimensi sosial ekowisata adalah suatu langkah lebih lanjut dengan mengembangkan bentuk ekowisata dimana masyarakat lokal yang mempunyai kendali penuh, dan keterlibatan di dalamnya baik itu di manajemen dan pengembangannya, dan proporsi yang utama menyangkut sisa manfaat di dalam masyarakat (WWF International, 2001).

Ekowisata berbasis masyarakat dapat membantu memelihara penggunaan sumberdaya alam dan penggunaan lahan yang berkelanjutan. Lebih dari itu, memelihara kedua-duanya adalah tanggung jawab kolektif dan inisiatif individu di dalam masyarakat tersebut. Selagi definisi dan penggunaan dari bentuk terminologi CBT dan ekowisata berbasis masyarakat bisa berubah-ubah dari satu negeri atau daerah [bagi/kepada] yang lain, tidaklah menjadi masalah yang berarti tentang sebuah nana, tetapi hanyalah prinsip sosial dan tanggung jawab lingkungan disetiap tindakan (The International Ecotourism Society, 2006)

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF-Indonesia, (2009) memberikan beberapa aspek kunci dalam ekowisata berbasis masyarakat adalah:

1. Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi) 2. Prinsip local ownership (pengelolaan dan kepemilikan oleh

(26)

65 dan pra-sarana ekowisata, kawasan ekowisata, dll (nilai partisipasi masyarakat)

3. Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata (nilai ekonomi dan edukasi)

4. Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat)

5. Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan obyek wisata menjadi tanggungjawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (fee) untuk wisatawan (nilai ekonomi dan wisata).

Dengan adanya pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing- masing.

Pengembangan ekowisata harus dilaksanakan secara holistik dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Dalam kata lain, setiap upaya untuk mengembangkan ekowisata harus melibatkan masyarakat lokal, sehingga mereka dapat menjadi subyek pembangunan, dan bukan hanya objek pasif (Situmorang & Mirzanti, 2012).

The Ecotourism Society (dalam Fandeli, 2002) terdapat delapan prinsip yang bila dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan yakni:

8. mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap alam dan budaya yang disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat;

9. pendidikan konservasi lingkungan, mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi;

(27)

66 10. pendapatan langsung untuk kawasan, mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan; 11. partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun

pengawasan;

12. keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat; 13. menjaga keharmonisan dengan alam;

14. pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan; dan

15. peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Beberapa aspek kunci dalam ekowisata berbasis masyarakat adalah: 1. Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan

kegiatan ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi) 2. Prinsip local ownership (pengelolaan dan kepemilikan oleh

masyarakat setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan pra-sarana ekowisata, kawasan ekowisata dan lain-lain (nilai partisipasi masyarakat)

3. Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata (nilai ekonomi dan edukasi)

4. Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat)

5. Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan obyek wisata menjadi tanggungjawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (fee) untuk wisatawan (nilai ekonomi dan wisata).

6.2 Syarat-syarat Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat

WWF (World Wide Fund for Nature) Guidelines for Community-Based Ecotourism Development (2001) menyebutkan syarat-syarat untuk memutuskan pengembangan bisnis ekowisata sebagai berikut

1. Kerangka ekonomi dan politik yang mendukung perdagangan yang efektif dan investasi yang aman;

(28)

171 BAB VII

DESA WISATA

7.1. Pendahuluan

Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat, bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energy trigger yang luar biasa, yang membuat masyarakat setempat mengalami metamorphose dalam berbagai aspeknya. Di samping berbagai dampak yang dinilai positif, hampir semua penelitian juga menunjukkan adanya berbagai dampak yang tidak diharapkan, seperti semakin buruknya kesenjangan pendapatan antara kelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan ekonomi, dan lain-lain.

Dampak-dampak negatif tersebut di atas disebabkan karena pengembangan pariwisata semata-mata dilakukan dengan pendekatan ekonomi dan pariwisata dipersepsikan sebagai instrumen untuk meningkatkan pendapatan, terutama oleh bidang usaha swasta dan pemerintah. Sementara itu banyak pakar yang mengadari bahwa pariwisata, meskipun membutuhkan lingkungan yang baik, namun bilamana dalam pengembangannya tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan kerentanan lingkungan terhadap jumlah wisatawan akan menimbulkan dampak negatif. Dengan tingginya wisatawan yang berkarakter Nature Based, pada satu sisi sangat positif dan bermanfaat, akan tetapi pada sisi lain terlihat belum adanya pendalaman terhadap fungsi lingkungan atau masih banyak masyarakat yang belum sadar akan pentingnya “Nature Related Tourism”.

Salah satu faktor terpenting untuk menangani hal tersebut yaitu dengan cara merubah prilaku pengunjung dari sekedar mengetahui menuju kepada suatu pemahaman keterkaitan alur dengan kehidupan manusia, dan pendalaman terhadap sumber daya alam hayati atau ekosistemnya menjadi satu prioritas utama dibandingkan dengan hanya memikirkan luas kawasan atau keindahan kawasan saja.

(29)

172 Sejalan dengan dinamika, gerak perkembangan pariwisata merambah dalam berbagai terminologi seperti, sustainable tourism development, village tourism, ecotourism, merupakan pendekatan pengembangan kepariwisataan yang berupaya untuk menjamin agar wisata dapat dilaksanakan di daerah tujuan wisata bukan perkotaan.

Salah satu pendekatan pengembangan wisata alternatif adalah desa wisata untuk pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dalam bidang pariwisata. Ramuan utama desa wisata diwujudkan dalam gaya hidup dan kualitas hidup masyarakatnya. Keaslian juga dipengaruhi keadaan ekonomi, fisik dan sosial daerah pedesaan tersebut, misalnya ruang, warisan budaya, kegiatan pertanian, bentangan alam, jasa, pariwisata sejarah dan budaya, serta pengalaman yang unik dan eksotis khas daerah. Dengan demikian, pemodelan desa wisata harus terus dan secara kreatif mengembangkan identitas atau ciri khas daerah.

Priasukmana & Mulyadin (2001), Desa Wisata merupakan suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkanya berbagai komponen kepariwisataan, misalnya atraksi, akomodasi, makanan-minuman, cindera-mata, dan kebutuhan wisata lainnya

Ramuan penting lainnya dalam upaya pengembangan desa wisata yang berkelanjutan yaitu pelibatan atau partisipasi masyarakat setempat, pengembangan mutu produk wisata pedesaan, pembinaan kelompok pengusaha setepat. Keaslian akan memberikan manfaat bersaing bagi produk wisata pedesaan. Unsurunsur keaslian produk wisata yang utama adalah kualitas asli, keorisinalan, keunikan, ciri khas daerah dan kebanggaan daerah diwujudkan dalam gaya hidup dan kualitas hidup masyarakatnya secara khusus berkaitan dengan prilaku, integritas, keramahan dan kesungguhan penduduk yang tinggal dan berkembang menjadi milik masyarakat desa

(30)

173 tersebut. Oleh sebab itu, pemodelan desa wisata bagi pembangunan pedesaan yang berkelanjutan harus terus secara kreatif mengembangkan identitas atau ciri khas yang baru bagi desa untuk memenuhi tujuan pemecahan masalah yang berkaitan dengan krisis ekonomi daerah pedesaan, semakin bertambah akibat adanya berbagai kekuatan yang rumit, yang menyebabkan baik berkurangnya kesempatan kerja maupun peningkatan kekayaan masyarakat desa, salah satu jalan keluar yang dapat mengatasi krisis tersebut adalah melalui pembangunan industri desa wisata skala kecil, sehingga mampu bersaing dan unggul dalam pembangunan daerah pedesaan, dan dalam penciptaan lapangan kerja baru serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.

7.2 Pengertian Desa Wisata

Menurut Nuryati (1993) dalam Soemarno (2010:1) menjelaskan bahwa desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasillitas pendukung yang disajikan dalam sutu srtuktur kehiupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Desa wisata (rural tourism) merupakan pariwisata yang terdiri dari keseluruhan pengalaman pedesaan, atraksi alam, tradisi, unsur-unsur yang unik yang secara keseluruhan dapat menarik minat wisatawan (Joshi, 2012).

Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. ( Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept, Perspective and Challenges, makalah bagian dari Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press). Desa Wisata (rural tourism) merupakan pariwisata yang terdiri dari keseluruhan pengalaman pedesaan, atraksi alam, tradisi, unsur - unsur yang unik yang secara keseluruhan dapat menarik minat wisatawan (Joshi, 2012).

Keberadaan desa wisata dalam perjalanan pembangunan pariwisata di Tanah Air sudah sedemikian penting. Desa wisata sudah mampu mewarnai variasi destinasi yang lebih dinamis dalam suatu kawasan pariwisata,

(31)

187 DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Anindya Putri R. (2017). Pendekatan Community Based Tourism dalam Membina Hubungan Komunitas di Kawasan Kota Tua Jakarta. Jurnal Visi Komunikasi. Vol 16, No.01. 111-130.

Aynalem, Sintayehu Aseres. (2015). “Potentialities of Community Participation in Community-based Ecotourism Development: Perspective of Sustainable Local Development a Case of Choke Mountain, Northern Ethiopia”. Research Article. Tourism and Development, Madawalabu University. Badan Pusat Statistik. 2017. Kecamatan Wonogiri Dalam Angka 2017. Wonogiri. Bagus, I Gusti. (2012). Metodologi Penelitian : Pariwisata dan perhotelan.

Yogyakarta. Penerbit Andi

Bintarto, R. (1991). Metode Analisa Geografi. Jakarta. LP3ES.

BPS. (2017). Kabupaten Karanganyar dalam Angka 2017. Karanganyar : BPS. BPS. (2017). Kecamatan Ngargoyoso dalam Angka 2017. Karanganyar : BPS. BPS. (2018). Kecamatan Ngargoyoso dalam Angka 2018. Karanganyar : BPS. Cooper, C., Fletcher, J., Gilbert,. D.G and Wanhill, S. (2005). Tourism : Principle

and Practive. Third Edition. Prentice Hall.

Dale, Edgar. 1969. Audio Visual Methods in Teaching. New York: Holt, Rinehart and Winston Inc. The Dryden Press.

Damanik, J dan Weber H. (2006). Perencanaan Ekowisata Dari Teori Ke Aplikasi. Yogjakarta: PUSPAR UGM dan Penerbit Andi

Dangi Tek B. and Tazim Jamal. 2016. An Integrated Approach to “Sustainable Community-Based Tourism. Sustainability, 8: 475; doi:10.3390/ su8050475

Demartoto, dkk. (2014). Habitus Pengembangan Pariwisata Konsep dan Aplikasi. Surakarta: UPT UNS Press.

Demartoto, Argyo.(2013). Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat. Edisi II. Surakarta. UNS Press.

Departemen Kehutanan. (2007). Kumpulan Peraturan dan Pedoman Pariwisata Alam (penilaian-pengembangan objek dan daya tarik wisata alam). Jakarta: Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata. (2009). Prinsip dan

Kriteria Ekowisata Berbasis Masyarakat. Jakarta. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF-Indonesia.

(32)

188 Erico, Albertus Jerry K N. (2019). Analisis Potensi dan Arah Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar Tahun 2019. Skripsi. FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Fandeli, Chafid dan Muhamad Nurdin. (2005). Pengembangan Ekowisata Bersbasis Konservasi di Taman Nasional. Yogyakarta. Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada.

Garrod, Brian. (2001). Local Partisipation in the Planning and Management of Ecotourism : A Revised Model Approach. (Bristol : University of the West of England).

Haywood, K. (1988). Responsible and responsive tourism planning in the Community. Tourism Management. Vol. 2. No.9. 105-118.

Hiwaski, L. (2006). Community-Based tourism : a pathway to sustainability for japan’s protected areas. Society and Natural Resources, No.19. Vol.8. 675-692.

Indonesian Ecotourism Network (INDECON). (2008). Rancangan Standarisasi Pengembangan Community Based Ecotourism (CBT). Makalah konservasi wisata hasil kerjasama ECEAT (European Centre for Ecotourism and Agricultural Tourism) dengan INDECON. Bali.

Mearns, K. (2003). Community-based tourism : the key to empowering the Sankuyo Community in Botswana. Africa Insight. No.33. V.2. 29-32.

Murphy, Peter E. (1988). Community Driven Tourism Planning Planning. Tourism Management. 9 (2).

Nugroho, Iwan. (2011). Ekowisata Dan Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Nurhodayati, Sri E. (2011). Penerapan Prinsip Community Based Tourism (CBT) dalam Pengembangan Pariwisata di Kota Batu Jawa Timur. Jurnal Jejaring Administrasi Publik. No 1. 36-46

Peraturan Daerah Kabupaten Wonogiri No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wonogiri Tahun 2011 – 2031

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Tahun 2014 Tentang Tata Cara Penetapan Rayon di Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata

(33)

189 Alam dan Taman Buru dalam Rangka Pengenalan Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Pariwisata Alam.

Pitana, I Gede dan Ketut Surya Diarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset.

R. Denman (2001). Guidelines for community-based ecotourism development. Report, (July), 1-24.

Rangkuti, Fandeli. (2006). Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan (RIPP) Kabupaten Karanganyar Tahun 2016-2026

Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Karanganyar Tahun 2013-2032. Rocharungsat, P. (2008). Community-based tourism in Asia. In G. Moscardo (Ed.)

Building Community capacity for tourism development, pp. 60-74 (UK : CABI).

Ruiz Ballesteros. (2011). Social-ecological resilience and community-based tourism An approach from agua Blanca, Ecuador. Tourism Management. No.32.655-666

Sharpley, Richard. (1994). Tourism, Tourist and Society. England. British Library Cataloging in Publication Data.

Situmorang, D. B. M., dan I. R. Mirzanti, 2012. Social Entrepreneurship to Develop Ecotourism. Procedia Economics and Finance, 4: 398-405.

Suansari, Potjana. (2003). Community Based Tourism Handbook. Thailand : REST Project.

Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sunaryo, Bambang. (2013). Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Gava Media.

Timothy, & Hudson. (1999). “participatory planning a view of tourism in Indonesia”. Annuals Review of Tourism Research, XXVI (2).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Jakarta: Sekretariat Negara.

(34)

190 Usmu, Ermika Jannah. (2018). Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Wisata Waduk Gajah Mungkur Kabupaten Wonogiri. Thesis. Program Pacasarjana Pendidikan FKIP Universitas Sebelas Maret Surakata.

Yaman, Amat Ramsa & A. Mohd. (2004) “Community-based Ecotourism: New Proposition for Sustainable Development and Environment Conservation in Malaysia,” dalam Journal of Applied Sciences IV (4):583589.

Yoeti, Oka A. (2016). Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Edisi III. Jakarta. Balai Pustaka.

Wood, M. E. 2002. Ecotourism: Principles, Practices and Policies for

Sustainbility. UNEP.

http://www.unepie.org/tourism/library/ecotourism.htm.

World Tourism Organization. (2004). Indicators of Sustainable Development for Tourism Destination. A Guidebook.

WWF. 2001. Guidelines for Community-Based Ecotourism Development. WWF International, Switzerland

Zeppel, H. (2006). Indigenous Ecotourism Sustainable Development and Management. Edisi III. Australia. CABI North American Office.

(35)

Pariwisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktivitas lainnya. Optimalisasi manfaat pembangunan kepariwisataan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang berdomisili disekitar destinasi pariwisata sebagaimana tercermin dalam salah satu prinsip pembangunan kepariwisataan yang berlanjut. Dalam pembangunan kepariwisataan dikenal strategi perencanaan pengembangan kepariwisataan yang berorientasi pada pemberdayaan kepariwisataan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat yang mengedepankan peran dan partisipasi masyarakat setempat sebagai subjek pembangunan.Pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism) dikembangkan berdasarkan prinsip keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan berbagai stakeholders pembangunan pariwisata termasuk pemerintah, swasta dan masyarakat. Pariwisata berbasis masyarakat sebagai strategi untuk meningkatkan ketahanan sistem sosial-ekologis yang akan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, sedangkan ekowisata berbasis masyarakat merupakan bentuk ekowisata yang menekankan pembangunan masyarakat lokal, memungkinkan penduduk setempat untuk menjadi kendali dan terlibat dalam pembangunan dan manajemen, serta manfaat kembali kepada masyarakat Secara ideal, prinsip pembangunan community based tourism menekankan pada pembangunan pariwisata “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”.

Referensi

Dokumen terkait

Apabila ada mahasiswa yang belum selesai bimbingan proposal, mahasiswa dipanggil Kaprodi, dicari permasalahan dan diberi solusinya 4.. Setiap bimbingan harus membawa

• Pengukuran kompleksitas untuk bahasa secara keseluruhan, BNF dapat digunakan untuk menentukan berapa banyak tindakan dasar yang dibutuhkan dalam tugas tertentu, dan

4) Pada formulir permohonan kredit sudah ada kolom untuk penulisan data konsumen, seperti nama konsumen dan penjamin, alamat konsumen dan penjamin, nomor hp konsumen

Survei dilakukan di Desa Tempel Lemahbang, Kecamatan Jepon, Blora, Jawa Tengah dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur guna mengetahui status “managerial skill

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi disiplin kerja, motivasi kerja, dan persepsi guru tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru-guru

Dextrin merupakan salah satu jenis golongan karbohidrat yang memiliki formulasi yang mirip dengan tepung kanji (tapioka) namun memiliki susunan molekul yang lebih kecil

Menurut Supranto (2010: 228), kualitas pelayanan adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan suatu yang harus dikerjakan dengan baik, dengan harapan pelanggan

Sehat selain sebagai salah satu hak dasar manusia, juga merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), yang