• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN TIPE-TIPE KONFLIK INTRAPERSONAL WARIA YANG PERNAH MENIKAH BERDASARKAN GANGGUAN IDENTITAS GENDER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN TIPE-TIPE KONFLIK INTRAPERSONAL WARIA YANG PERNAH MENIKAH BERDASARKAN GANGGUAN IDENTITAS GENDER"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Penulis 1 adalah staf pengajar Fakultas Psikologi UPI YPTK dan penulis 2 adalah alumni Fakultas Psikologi

UPI YPTK

1

GAMBARAN TIPE-TIPE KONFLIK INTRAPERSONAL WARIA

YANG PERNAH MENIKAH BERDASARKAN

GANGGUAN IDENTITAS GENDER

Aulia1

Noverina Sastrealti2 Fakultas Psikologi Universitas Putra Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran tipe-tipe konflik intrapersonal waria yang

pernah menikah yang berdasarkan gangguan identitas gender. Pendekatan dalam penelitian ini mengunakan

pendekatan fenomenologi dengan teknik analisis tematik yang bertujuan untuk melihat tipe-tipe konflik

intrapersonal pada waria yang pernah menikah berdasarkan gangguan identitas gender dari pembagian

tipe-tipe konflik intrapersonal teori Lapangan Kurt Lewin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua responden mengalami konflik intrapersonal yang

berkaitan dengan identitas gender dan status mereka yang pernah menikah. Tipe-tipe konflik yang dialami

terjadi dalam wilayah kehidupan yang berbeda-beda seperti wilayah fisiologis, wilayah cinta kasih dan rasa

memiliki, serta wilayah aktualisasi diri. Tipe-tipe konflik yang dialami subjek penelitian mencakup konflik

mendekat-mendekat, konflik menjauh-menjauh, konflik mendekat-menjauh, dan konflik mendekat-menjauh

lebih dari satu.

Kata Kunci : Konflik intrapersonal, Gangguan Identitas Gender, Waria.

Salah satu fungsi utama kelompok teman sebaya

menurut Santrock (2003) adalah untuk menyediakan berbagai informasi dunia d iluar keluarga. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Remaja belajar tentang apakah apa yang mereka lakukan lebih baik, sama baiknya atau bahkan lebih buruk dari apa yang dilakukan remaja lain.

Peran teman sebaya mempunyai arti yang sangat besar bagi remaja karena remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan bergabung dengan teman sebayanya. Remaja cenderung tidak ingin berbeda dengan teman-teman atau kelompoknya sehingga remaja akan bertingkah laku dengan cara-cara yang dipandang wajar atau dapat diterima oleh kelompoknya. Remaja yang menjadi anggota kelompok ini akan cenderung melakukan konformitas agar sesuai dengan norma yang ada didalam kelompoknya.

Menurut Santrock (2003), konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka. Sedangkan dalam Baron dan Byrne (2003), mengatakan konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan

tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.

Biasanya remaja yang cenderung konform terhadap kelompok sebayanya akan berperilaku sesuai dengan yang menjadi standar yang ada dalam kelompok sebayanya. Menurut Santrock (2003), Konformitas terhadap tekanan kelompok sebaya dapat menjadi positif yang melibatkan aktivitas sosial yang baik dan merupakan keinginan untuk terlibat dalam dunia teman sebaya, misalnya berpakaian seperti teman-temannya dan ingin menghabiskan waktu dengan anggota perkumpulan. Namun demikian, konformitas menurut Santrock (2003), tidak selalu membawa pengaruh yang positif, remaja menggunakan bahasa yang asal-asalan, mencuri, coret mencoret, dan mempermainkan orang tua dan guru merupakan akibat dari konformitas yang negatif.

Belakangan ini, media masa sering memuat tentang kasus-kasus pelanggaran dan kekerasan yang terjadi dikalangan remaja. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal seperti mencaci maki maupun kekerasan fisik seperti, memukul, meninju dan sebagainya (www.e-psikologi.com, 18 April 2008). Pada

(2)

Penulis 1 adalah staf pengajar Fakultas Psikologi UPI YPTK dan penulis 2 adalah alumni Fakultas Psikologi

UPI YPTK

2

kalangan remaja aksi kekerasan ini biasa dikenal sebagai tawuran pelajar, di kota padang saja selama bulan Maret 2008 telah terjadi empat kali kasus perkelahian pelajar (www.padangekspres.co.id, 18 April 2008). Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresif dari seorang individu atau kelompok (www.e-psikologi.com, 18 April 2008).

Menurut Sears, dkk ( 2006), mendefenisikan agresi sebagai tindakan yang melukai orang lain dan dimaksudkan untuk itu. Faktor penentu perilaku agresif yang utama adalah rasa marah dan proses belajar masa lampau. Proses belajar ini bisa melalui langsung terhadap respon agresif atau melalu imitasi.

Konformitas

Konformitas

dapat

terjadi

dalam

beberapa bentuk dan mempengaruhi

aspek-aspek kehidupan remaja. Menurut Santrock

(2003), konformitas muncul ketika individu

meniru sikap atau tingkah laku orang lain

dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang

dibayangkan oleh mereka.

Baron

dan

Byrne

(2003)

mengungkapkan bahwa konformitas adalah

suatu jenis pengaruh sosial di mana individu

mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar

sesuai dengan norma sosial yang ada. Tekanan

untuk melakukan konformitas berakar dari

kenyataan bahwa di berbagai konteks ada

aturan-aturan eksplisit ataupun yang tak terucap

yang

mengindikasikan

bagaimana

kita

seharusnya atau sebaiknya bertingkah laku.

Aturan-aturan ini dikenal sebagai norma sosial

dan aturan-aturan ini seringkali menimbulkan

efek yang kuat pada tingkah laku.

Menurut Chaplin (2002), conformity

(konformitas) adalah kecenderungan untuk

memperbolehkan satu tingkah laku seseorang

dikuasai oleh sikap dan pendapat yang sudah

berlaku. Lebih lanjut, konformitas merupakan

ciri pembawaan kepribadian yang cenderung

membiarkan sikap dan pendapat orang lain

untuk menguasai diri.

Menurut Baron dan Byrne (2003) ada 3

faktor yang mempengaruhi konformitas, yaitu:

1. Kohesivitas dan Konformitas

Kohesivitas dapat didefinisikan sebagai

derajat ketertarikan yang dirasakan oleh

individu terhadap suatu kelompok yang

berpengaruh. Ketika Kohesivitas tinggi,

ketika individu suka dan mengagumi suatu

kelompok orang-orang tertentu, tekanan

untuk melakukan konformitas bertambah

besar. Lagi pula individu tahu bahwa salah

satu cara untuk diterima oleh orang-orang

tersebut adalah dengan menjadi seperti

mereka dalam berbagai hal. Sebaliknya,

ketika kohesivitas rendah, tekanan terhadap

(3)

Penulis 1 adalah staf pengajar Fakultas Psikologi UPI YPTK dan penulis 2 adalah alumni Fakultas Psikologi

UPI YPTK

3

konformitas juga rendah, buat apa individu

mengubah tingkah lakunya untuk menjadi

sama dengan orang-orang yang tidak

benar-benar disukai atau kagumi. Hasil penelitian

mengindikasikan

bahwa

kohesivitas

memunculkan efek yang kuat terhadap

konformitas, sehingga hal ini jelas-jelas

merupakan suatu penentu yang penting

mengenai sejauh mana kita akan menuruti

bentuk tekanan sosial ini.

2. Konformitas dan Ukuran kelompok

Studi-studi terkini malah menemukan

bahwa konformitas cendrung meningkat

seiring

dengan

meningkatnya

ukuran

kelompok hingga delapan orang anggota

tambahan atau lebih. Jadi tampak bahwa

semakin besar kelompok tersebut, maka

semakin besar pula kecendrungan seseorang

untuk ikut serta, bahkan meskipun itu

berarti kita akan menerapkan tingkah laku

yang berbeda dari yang sebenarnya kita

inginkan.

3. Norma sosial

Menurut Hurlock (2002), konformitas

terhadap

standar

budaya

kawula

muda

mempunyai dua efek serius dan mendasar,

yaitu:

1. Konformitas

menyebabkan

alienasi

(keterasingan) dan protes terhadap budaya

dewasa.

2. Konformitas merupakan persiapan yang

buruk untuk memasuki masyarakat biasa

yang ditandai dengan nilai-nilai dewasa.

Para remaja yang harus mengikuti standar

budaya kawula muda bila ingin diterima

oleh

kelompok

sebayanya

harus

mempelajari standar perilaku dan nilai-nilai

yang nantinya harus diubah sebelum mereka

diterima oleh budaya dewasa.

METODE

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas I sampai kelas 3 SLTP Negeri 7 Semarang, karena siswa-siswi kelas 1 sampai kelas 3 SLTP termasuk dalam kelompok usia remaja awal. Populasi dalam penelitian ini berbentuk kelas-kelas yang terdiri dari 18 kelas.

Adapun teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik Cluster Random Sampling.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis varian satu jalur, yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan dua populasi.

HASIL

Hasil analisis data menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan kecenderungan fobia

(4)

Penulis 1 adalah staf pengajar Fakultas Psikologi UPI YPTK dan penulis 2 adalah alumni Fakultas Psikologi

UPI YPTK

4

sosial antara remaja awal yang mempunyai tipe kepribadian ekstrovert dengan remaja awal yang mempunyai tipe kepribadian introvert. Hal ini ditunjukkan oleh F sebesar 15, 132 dan nilai p<0,01. Dengan demikian hasil penelitian ini mendukung hipotesis yang penulis ajukan.

Hasil analisis data juga menunjukkan bahwa rerata kecenderungan fobia sosial tipe kepribadian ekstrovert (A1) sebesar 96,512 dan rerata kecenderungan fobia sosial tipe kepribadian introvert (A2) sebesar 106,200. Hal ini berarti remaja awal dengan tipe kepribadian introvert memiliki kecenderungan fobia sosial yang lebih tinggi dibandingkan remaja awal dengan tipe kepribadian ekstrovert.

Sumbangan efektif atau peranan tipe kepribadian terhadap kecenderungan fobia sosial ditunjukkan oleh R2 sebesar 0,166. Dengan demikian peranan tipe kepribadian terhadap kecenderungan fobia sosial sebesar 16,6 %, sehingga masih terdapat 83,4 % faktor-faktor lain yang mempengaruhi kecenderungan fobia sosial di luar variabel tipe kepribadian seperti jenis kelamin, lingkungan tempat tinggal, tingkat pendidikan, gaya hidup dan status sosial ekonomi.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada perbedaan yang sangat signifikan kecenderungan fobia sosial antara remaja awal bertipe kepribadian ekstrovert dengan remaja awal bertipe kepribadian introvert, ditunjukkan dengan besarnya F = 15,132 dan p< 0,0 1.

2. Remaja awal bertipe kepribadian introvert memiliki kecenderungan fobia sosial yang lebih tinggi daripada remaja awal bertipe kepribadian ekstrovert. Hal tersebut ditunjukkan dengan rerata kecenderungan fobia sosial tipe kepribadian introvert sebesar 106,200 yang lebih besar dibanding rerata kecenderungan fobia sosial tipe kepribadian ekstrovert sebesar 96,512.

3. Sumbangan efektif variabel tipe kepribadian terhadap kecenderungan fobia sosial sebesar 16,6 % yang ditunjukan oleh R2 sebesar 1,166 sehingga masih terdapat 83,4 % faktor-faktor lain yang mempengaruhi kecenderungan fobia social di luar variabel tipe kepribadian.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis mengajukan saran sebagai berikut :

1. Bagi siswa, sebagai subjek penelitian yang kebetulan mempunvai tipe kepribadian introvert dan mempunyai kecenderungan fobia sosial yang tinggi maka, perlu secara khusus ditangani oleh para orang tua, guru dan psikolog. Cara penanganannya antara lain melalui kelompok belajar atau kegiatan keterampilan dan olah raga sehingga dengan kebersamaan, rasa kepercavaan akan tercipta hubungan komunikasi dengan orang lain. Akhirnya akan terjadi keterbukaan diri yang mengarah pada pemahaman diri yang lebih baik. Dengan demikian akan menurunkan tingkat introversinya dan kecenderungan fobia sosial akan berkurang yang pada akhirnya akan relatif lebih sehat mentalnya. Sedangkan bagi subjek yang bertipe kepribadian ekstrovert, dipertahankan dan dipupuk terus sifat sosiabilitasnya sehingga tidak akan ada kecenderungan fobia sosial dalam dirinya.

2. Bagi para pendidik di tempat penelitian, agar senantiasa membimbing dan mengarahkan siswa-siswinya secara tepat dan jeli dengan kepribadian masing-masing stswa-siswinya. Dan seperti dijelaskan di atas bahwa pihak sekolah harus mengadakan kegiatan-kegiatan baik intra maupun ekstrakurikuler yang variatif dan mengandung unsur-unsur sosiabilitas serta menarik yang disesuaikan dengan trend remaja tapi tetap bersifat edukatif agar siswa-stswi khususnya yang bertipe kepribadian introvert munpu melatih dirinva bersosialisasi sehingga mengurangi kecenderungan fobia sosial.

3. Bagi para pembaca pada umumnya, bahwa bukan berarti setiap individu dengan tipe kepribadian introvert pasti akan mengalami fobia sosial tapi hendaknya mampu mengontrol diri dan mawas diri agar terhindar dari resiko mengalami kecenderungan fobia sosial. Dan apabila pembaca atau orang-orang sekitar mengalami kecenderungan fobia sosial sebaiknya segera intropeksi diri dan berusaha untuk mengatasinya, selain itu jangan segan-segan untuk konsultasi dengan para ahli.

4. Bagi peneliti lain yang tertarik untuk mengadakan penelitian dengan tema yang sama diharapkan dapat menambah atau memperhatikan faktor--faktor atau variabel-variabel lain yang mempengaruhi kecenderungan fobia sosial selain tipe kepribadian seperti jenis kelamin, lingkungan tempat tinggal, tingkat pendidikan, gaga hidup dan status sosial ekonomi. Selain itu peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas populasi dan memperbanyak sampel, agar ruang lingkup dan generalisasi penelitian menjadi lebih

(5)

Penulis 1 adalah staf pengajar Fakultas Psikologi UPI YPTK dan penulis 2 adalah alumni Fakultas Psikologi

UPI YPTK

5

luas dan mencapai proporsi yang seimbang. DAFTAR PUSTAKA

Adi, IR. 1994, Psikologi, Pekerjaan Sosial dan i1mu

Kesejahteraan Sosial. Dasar-Dasar Pemikiran.

Jakarta : PT Raja Grafindo Perkasa.

Carlson, N. 1998. Discovery Psychology.

Massachussetts. : Allyn and Bacon.

Coleman, JC, Butcher, J Nand Carson, RC. 1980.

Abnormal Psychology and Modern life, (6`h

Edition). Illinois : Scott, Foreman and Company. Djarwanto, 1990, Pokok-pokok Metode Riset dan

Bimbingan Teknik Penulisan Skripsi.

Yogyakarta: Liberty.

Eysenck, HD and Wilson, G. 1982, Know Your Own

Personality. Great Britain : Hazell Watson &

Viney Ltd, Aylesbury, Bucks.

Gunarsa, SD 1991. Psikologi Perkembangan. Jakarta Gunung Mulia.

Hidayat, T. 1977 .Psikologi Remaja. Surakarta HP UNS. Hurlock, E. B. 1996. Psikologi Perkembangan Suatu

Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Edisi kelima.(Terjemahan oleh

Istiwidiyanti). Jakarta : Erlangga.

Ibrahim, AS, 2003. Fobia Sosial Pada K e l o m p o k

e k s e k u t i f d i Jakarta. Tempo interaktifcom

Kaplan, HI dan Sadock, BJ. 1997. Sinopsis Psikiatri.

Ilmu P e n g e t a h u a n P e r i l a k u Psikiatri Klinis. Edisi kedua. J i l i d 2 ( A l i h b a h a s a

o i e h Widjaya Kusuma). Jakarta Binarupa Aksara.

---. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. (Alih bahasa.: WM. Roan). Jakarta : Widya Medika. Lewis, D. 1990, Taklukan Fobia Anda. ( Terjemahan

oleh Kuniudawati)- Jakarta : Arcan.

Linda, D. 1993. Tingkah Laku Abnormal Suatu

Pendekatan Perkembangan. Semarang : Fakultas

Psikologi Universitas Soegijopranata.

Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya : Usaha Nasional. Marks, I.M. 1987. Cemas dan Fobia. Jakarta : PT Dian Rakyat.

Monks, FJ, Knoers, AMP dan Haditono, SR. 1994, Psikologi Perkembangan Pengantar dalam

Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

Morgan, HG dan Morgan, MH. 1991. Segi Praktis

Psikiatris. Edisi kedua (Alih bahasa oleh Rudy

Hartanto dan I Made Wiguna S). Jakarta : Binarupa Aksara.

Prawoto, WA dan Subardja, FL. 1990. Penelaahan tentang Perasaan dan Penghayatan terhadap Lingkungan dari 25 Anak Remaja Bermasalah. jurnal Psikologi Indonesia. No-3. 29 -- 5ti. Jakarta : ISPSI Pusat Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Suadirman. 1984. Psikologi dalam. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.

Supratiknya, A. 1995, Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta : Kanisius.

Suryabrata, S 2000. Psikologi Kepribadian. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Tambunan, NR. 1996. Remaja Mandiri 1. Jakarta : Arcan.

Team Pelayanan Medik, 1983, Pedoman Penggolongan

dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia.

(Edisi 111). Yogyakarta : RSJ Lalipwa.

Tim Kompas. 2000. Fobia Sosial tak Mudah Dipahami. Kompas : 19 Maret 2000, Halaman 16. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara. Wilson, TG. 1996. Abnormal Psychology Integrating

Referensi

Dokumen terkait

KI-4 Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas, sistematis dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan

Hal ini berarti, bahwa jika dana itu dipakai untuk investasi dalam suatu proyek, umpamanya proyek irigasi, maka pada waktu pengeluaran untuk investasi itu

Data yang dapat diambil dari metode ini adalah berupa proses pelaksanaan supervisi dengan menggunakan pendekatan non direktif yang dilakukan oleh kepala madrasah

Gambaran klinis tuberkulosis primer lain ialah panas atau demam biasanya pagi hari, malaise, keringat malam, dispneu ringan, batuk purulent produktif kadang disertai nyeri

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Tingkat Depresi

Herry Prasetyo yang merupakan pemain Arema membantu penulis menyerahkan angket kepamain Arema lainnya dan memberikan informasi akan jadwal bertemu

Abdul Moeloek Bandar Lampung yang mengalami pre-eklampsia berat adalah lebih sedikit jika dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami pre-eklampsia berat

Pada tahun 2017, Pusat Krisis Kesehatan telah melakukan assesment di 34 Kabupaten/Kota rawan bencana yang menjadi target