• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Sistem dan Politik Hukum Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perkembangan Sistem dan Politik Hukum Di Indonesia"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Perkembangan Sistem dan Politik Hukum Di Indonesia

a. Zaman Kerajaan Hindu-Budha

1. Zaman Melayu Polinesia

Pada masa ini perilaku budayanya masih serba dipengaruhi zat-zat kesaktian, sebagaimana dikatakan M. Yamin kebanyakan dipengaruhi oleh 5 jenis zat kesaktian yaitu: “Panduan Kesaktian” bahwa di sekitar manusia itu ada yang ghaib mengawasi kehidupannya. “Sri Kesaktian” bahwa di dalam manusia itu ada jiwa dan semangat. “Shangyang Kesaktian” bahwa ada Tuhan yang kuasa. “Pengantara Kesaktian” bahwa ada manusia yang dapat berhubungan dengan manusia.

Menurut para ahli sejarah pada masa ini sudah dipengaruhi oleh filsafat Kong Hu Chu (551-479 SM) yang membedakan antara ”Li” (adat sopan santun) ”Yen” (cinta kasih sesama manusia), sehingga masyarakat hukum adat yang ada di berbagai kepulauan nusantara sudah dipengaruhi oleh ajaran filsafat yaitu:

 jika anda tidak senang dengan perilaku orang terhadap anda, janganlah anda berperilaku seperti itu;

 Hormatilah orang tua, setialah kepada keluarga dan pujalah roh-roh leluhur.  Isteri harus tata pada suami.

 Pemerintah adalah pelayan rakyat dan bukanlah rakyat yang melayani pemerintah;

 Pemerintah adalah teladan bagi rakyat, oleh karena itu janganlah pemerintah berbuat kasar terhadap rakyat.

2. Zaman Sriwijaya

Pada masa ini di pusat-pusat pemerintahan kerajaan berlaku hukum Hindu-Budha yang bercampur dengan hukum adat setempat. Bentuk hukumnya berbentuk prasasti, prasasti tersebut biasanya ditulis di atas batu. Sedangkan di daerah pedalaman masyarakat masih tetap memegang hukum adat setempat

3. Zaman Mataram I

Sampai abad ke 10 Jawa Barat masih tetap berada di bawah pengaruh kekuasaan Sriwijaya, sedangkan Jawa Tengah dan Jawa Timur cenderung untuk bersatu dan memisahkan diri dari pengaruh Sriwijaya. Sampai akhir abad ke 13 dan berdirinya Kerajaan Majapahit (1294) aturan-aturan hukum perundangan pada masa ini berbentuk prasasti batu.

4. Zaman Majapahit

Pada masa ini sistem pemerintahannya sudah lebih teratur. Sudah ada pemerintahan umum, kehakiman dan peradilan, dan politik luar negeri sehingga hukum adat tidak terlalu banyak mempengaruhi sistem pemerintahan pada zaman Majapahit.

b. Zaman Kerajaan Islam 1. Zaman Aceh Darussalam

Agama Islam memasuki kepulauan Indonesia dimulai dari daerah Aceh pada pertengahan abad ke 12. Sejak saat itu ilmu pengetahuan dan agama Islam berkembang pesat. Pada masa ini sumber hukum terdiri dari Hukum Syarak dan Hukum Adat serta Adat dan Resam.

(2)

2. Zaman Demak

Pada zaman ini Kerajaan Islam di Jawa terbagi menjadi 4, yakni Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram II, dan Kerajaaan Banten. Ke-4 kerajaan ini dilaksanakan berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Adat serta peraturan-peraturan kerajaan lainnya.

3. Zaman Mataram II

Pada masa ini hukum Islam dan hukum adat sangat berperan penting misalnya dalam urusan peradilan yang di masa Sultan Agung disebut “kisas” (bukan kisas dalam arti hukum Islam) dilaksanakan oleh Penghulu Agama atas nama Raja yang didampingi oleh beberapa ulama sebagai anggota majelis peradilan bertempat di serambi mesjid Agung. Peradilan ini dilaksanakan atas dasar musyawarah dan mufakat (collegiale rechtspraak), jadi bukan keputusan Hakim ketua sendiri seperti Kadhi dalam peradilan Islam. Hasil putusan musyawarah menjadi badan putusan terakhirnya oleh Raja. Di daerah-daerah masih tetap berlaku peradilan “padu”, yaitu penyelesaian perselisihan antara perseorangan oleh peradilan keluarga (peradilan desa) secara damai, dan apabila tidak dapat diatas secara kekeluargaan maka diselesaikan oleh peradilan padu secara damai di bawah pimpinan seorang pejabat kerajaan yang disebut Jaksa.

4. Zaman Cirebon dan Banten

Dari hasil penelitian VOC dapat diketahui bahwa hukum yang berlaku masih sangat dipengaruhi oleh hukum dan peradilan menurut sistem dari masa pengaruh kekuasaan Sultan Agung Mataram. Sistem peradilan yang berlaku adalah “Peradilan Agama”, “Peradilan Drigama”, “Peradilan Cilaga”, sedangkan hukumnya berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Adat Lama.

5. Kerajaan dan Persekutuan Adat Lainnya

Selain dari kerajaan-kerajaan Islam seperti Perlak, Samudera Pasai, dan Aceh Darussalam, begitu pula Demak, Pajang, Mataram II, dan Banten masih terdapat kerajaan Islam kecil-kecil. Kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai aturan undang-undang rajanya masing-masing. Begitu pula halnya dengan persekutuan-persekutuan hukum adat di berbagai pedesaan di seluruh nusantara mempunyai aturan-aturan tertulis dan tidak tertulis misalnya, kitab-kitab perundangan Kutaramanawa di Bali, kitab hukum adat yang disebut “Patik Dohot Uhum ni Halak Batak (kitab hukum Batak), Undang-Undang Simbur Cahaya di Palembang, Bengkulu dan Jambi, Undang-Undang nan puluh di Minangkabau, Kutara Raja Niti di Lampung, undang-undang perniagaan dan pelayaran Wajo (Bugis) dan sebagainya.

C. Zaman Kompeni 1.Zaman VOC

Pada masa ini hukum perundangan yang digunakan dalam memeriksa dan mengadili perkara adalah aturan-aturan dalam bentuk “plakat” dan ketetapan-ketetapan VOC ditambah dengan Hukum Belanda Kuno dan Hukum Romawi. 2.. Zaman Daendels

Pada tahun 1975 Negeri Belanda yang semula menjadi Republik der zeven vereenigde Nederlanden (Republik Tujuh Provinsi Belanda) berubah menjadi Bataafse Republiek (Republik Batavia). Pada tahun 1998 pemerintah Bataafse

(3)

Republiek membatalkan hak oktroi VOC dan semua harta kekayaannya dan hutang-hutangnya diambil alih oleh Bataafse Republiek.

Pada tahun 1804 Bataafse Republiek berubah menjadi kerajaan di bawah kerajaan di bawah kekuasaan Raja dari Perancis yaitu Louis Napoleon. Pada tahun 1807 raja ini mengangkat Mr. Herman Willem Daendels (1762-1818) sebagai Gubernur Jenderal untuk mempertahankan jajahan Belanda di Indonesia (1808-1811) terhadap serangan Inggris. Selama empat tahun di Jawa, hal-hal yang dilakukanya antara lain :

1. Menyatakan pemerintahan dengan tangan besi;

2. Melaksanakan sistem pemerintahan sentralisasi, dan para bupati ditetapkan menjadi pegawai yang mendapatkan gaji;

3. Raja-raja di Surakarta dan Yogyakarta dinyatakan sebagai bawahan; 4. Membangun pasukan tentara pribumi yang disebut Jayengsekar, yang

langsung di bawah komandannya.

5. Membangun pasukan tentara pribumi yang disebut Jayengsekar, yang langsung di bawah komandannya;

6. Mengerahkan tenaga rakyat dengan paksa untuk memperbaiki dan membangun benteng-benteng pertahanan;

7. Membuat jalan raya Anyer-Penarukan dengan tindakan kekerasan;

8. Mengubah usaha pengecoran perunggu rakyat di Semarang menjadi tempat pengecoran peluru;

9. Menjual tanah pemerintah kepada pengusaha swasta untuk mendapatkan dana pertahanan;

10. Memperbaiki peradilan yang berdasarkan pasal 86 charter Bataafse Republiek, sehingga susunan pengadilan pribumi tetap berlaku menurut hukum adat mereka

Demikian perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Daendels telah meletakkan dasar-dasar bagi susunan peradilan di masa akan datang. Hanya sayangnya di dalam pelaksanaan Daendels sendiri terlalu banyak mencampuri urusan peradilan, bahkan seringkali mengambil keputusan yang kejam dan menyimpang dari ketentuan peradilan yang telah digariskannya sendiri.

3. Zaman Raffles

Dikarenakan tindakan-tindakannya yang kasar dan kejam, begitu pula menyangkut kelemahannya dalam masalah keuangan, maka Daendels digantikan pada tanggal 16 Mei 1811 oleh Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens dengan memikul tugas berat memperbaiki keadaan dalam negeri dan menghadapi ancaman Inggris.

Belum lagi Janssens mantap duduk memerintah, pada tanggal 4 Agustus 1811 Ekspedisi tentara Inggris yang langsung dipimpin oleh Lord Minto dengan sekretarisnya Sir Thomas Stamford Raffles mendarat di Jawa. Dengan capitulatie yang ditandatangani Gubernur Jenderal Janssens di Salatiga maka menyerahlah tentara Belanda kepada Inggris.

Sebelum dilakukan penyerahan tersebut, pada tanggal 11 September 1811 Lord Minto telah mengangkat Raffles sebagai Luitnant-Gouverneur (Letnan Gubernur) yang akan melaksanakan pemerintahan di Jawa. Pada tanggal 11 Februari 1814 Raflles mengumumkan peraturan yang disebut “Regulation for the more effectual administration of justice in the provincial court of Java (Peraturan Tata Peraturan Peradilan yang lebih diutamakan untuk badan-badan peradilan di daerah-daerah

(4)

Jawa). Tujuan peraturan ini dimaksudkan agar para pejabat pemerintah atau peradilan orang Eropa dapat berhubungan langsung dengan rakyat dan mengurangi pengaruh para bupati. Kelanjutan dari peraturan tersebut, maka diadakan susunan pengadilan baru yang terdiri dari :

a. Division Court (DC) adalah pengadilan distrik setingkat kewedanan yang ketuanya adalah Wedana atau Demang dengan anggota-anggota beberapa pegawai. DC ini mengadili perkara pelanggaran kecil dan perkara-perkara perdata yang nilainya tidak lebih dari 20 Ropy. Putusan DC dapat dibanding pada DC

b. District’s Court atau Bupati Court’s (BC) adalah peradilan setingkat kabupaten yang ketuanya adalah Bupati dengan anggota beberapa pegawai dan dibantu oleh seorang penghulu dan Jaksa sebagai penasihat. Di dalam pemeriksaan perkara untuk mengambil suatu keputusan Bupati sebagai Ketua terlebih dahulu meminta pendapat dan nasihat dari Penghulu dan Jaksa. Jika tidak ada kesepakatan dalam menetapkan putusan , maka perkara dilanjutkan kepada Residen. BC ini mengadili perkara yang nilainya lebih dari 20 Ropy tetapu kurang dari 50 Ropy. Putusan BC dapat dibanding pada RC

c. Resident’s Court (RC) adalah pengadilan setingkat daerah Keresidenan yang Ketuanya adalah Residen dengan para Bupati sebagai anggota dengan Penghulu Kepala dan Jaksa Kepala. Keputusan RC ini dapat dibanding pada Letnan Gubernur. Hukum yang dijadikan pegangan untuk memeriksa dan mengadili adalah hukum (adat) rakyat yang tidak bertentangan dengan sendi-sendi hukum yang umum

d. Court of Circuit (CoC) adalah pengadilan bergerak berpindah-pindah tempat berdasarkan Maklumat 1812 yang kemudian diubah pada tahun 1814 sehingga kewenangannya adalah mengadili perkara pidana yang diancam hukuman mati. CoC ini terdiri dari seorang Hakim dan beberapa Jury yang tidak lagi orang-orang Eropa tetapi orang-orang pribumi . Hukum yang dijadikan dasar peradilan adalah hukum perundangan kolonial dengan mengindahkan hukum (adat) rakyat sebagaimana pendapat dan nasihat Penghulu dan Jaksa,

Dengan demikian di masa kekuasaan Raffles hukum (adat) rakyat dihormati keberlakuannya, karena ia menganggap bahwa hukum adat itu sesuai dengan kesadaran hukum rakyat. Namun hukum rakyat dimaksud tidak boleh bertentangan dengan “the universal and acknowledged principles of substansial justice”. Persyaratan bagi hukum rakyat ini diberlakukan sama dengan di India. Tetapi pada kenyataannya yang menyangkut perkara pidana terjadi sewenang-wenang dari penyimpangan dari hukum adat.

c. Zaman Hindia Belanda

Tahun 1848 merupakan tahun yang sangat penting dalam sejarah hukum perundang-undangan di Indonesia, karena sejak tahun ini dimulai pengkodifikasian hukum, pembukuan hukum ke dalam kitab perundangan yang disusun secara sistematis. Pengkodifikasian itu dimulai dari hukum perdata yang berlaku bagi golongan penduduk bangsa Eropa dengan mempertahankan asas konkordansi.

Oleh karena bagi golongan Eropa di Indonesia diadakan beberapa kekecualian dalam keadaan yang istimewa, untuk menyesuaikannya dengan keadaan di

(5)

Indonesia, pada tahun 1839 Raja Belanda membentuk suatu panitia yang diketuai Mr. C. J Scholten van Oud Haarlem, mantan Ketua Hoog Gerechtschol di Indonesia. Panitia tersebut kemudian membuat beberapa rencana peraturan perundangan, antara lain:

1. Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) yaitu ketentuan-ketentuan umum tentang perundangan di Indonesia;

2. Burgelijke Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);

3. Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD);

4. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der Justitie (RO) atau Peraturan Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Justitie.

Keempat kitab undang-undang tersebut kemudian setelah diundangkan dimasukkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1847 Nr. 23.

Pada mulanya kodifikasi hukum pidana itu berbeda-beda antara yang berlaku bagi golongan Eropa dan bagi golongan pribumi dan Timur Asing. Pada tahun 1915 baru dibuat kodifikasi hukum pidana yang bersifat unifikasi, yaitu suatu hukum pidana yang berlaku bagi semua golongan rakyat di Indonesia. Kodifikasi hukum pidana ini mulai berlaku pada tahun 1918 (S.1915 Nr. 732,jis S. 1917 Nr. 497 dan Nr. 645).

Setelah kodifikasi 1848 timbul perbedaan pendapat antara Mr. Wichers yang menghendaki agar sebagian hukum perdata harus dilakukan juga untuk golongan yang bukan Eropa, sedangkan Gubernur Jenderal Rochussen menghendaki agar bagi golongan rakyat bukan Eropa harus berlaku hukum adat sepenuhnya. Perbedaan pendapat yang berkepanjangan itu akhirnya menempatkan dasar perundangan berlakunya hukum adat bagi golongan pribumi dan timur asing dalam 11 AB.

Dengan adanya pasal 11 AB, maka dalam hukum perdata yang berlaku di Hindia Belanda sejak waktu itu berdasarkan dua asas, yaitu “asas konkordansi” untuk golongan hukum Eropa, sehingga diperlakukannya Hukum Perdata Barat yang sama dengan Hukum Perdata yang berlaku di Belanda dan “asas dualisme” bagi golongan pribumi dan timur asing dimana berlaku Hukum Perdata Barat atas dasar “menaatinya secara sukarela” dan berlakunya hukum perdata adat yang berupa aturan keagamaan, kelembagaan rakyat, dan kebiasaan mereka.

Kemudian terjadi perubahan undang-undang pada tanggal 31 Desember 1906 S.1906 Nr. 204 jo. UU tertanggal 6 Juni 1919 S. 1919 Nr. 621 jo. S.1919 Nr. 816, maka asas dualisme itu dimasukkan ke dalam pasal 75 ayat 3 (redaksi lama) Regeerings Reglement (RR) tahun 1854. Di antara tahun 1870-1900 muncul dari beberapa pihak yang menghendaki agar bagi golongan pribumi dilakukan pula kodifikasi hukum adat, dimana Menteri Jajahan Belanda Cremer pada tahun 1900 memerintahkan kepada Mr. Carpentier Alting untuk memeriksa kemungkinan untuk melaksanakan kodifikasi hukum adat di daerah Minahasa yang bersifat lokal dalam rangka kodifikasi hukum adat di seluruh daerah di Indonesia.

Hasil kerja Alting yang selesai pada tahun 1902 adalah berupa “Regeling van het privaatrecht voor de Inlandsche bevolking in de Minahasa districten der Residentie Manado” (Peraturan hukum perdata untuk penduduk pribumi di daerah Minahasa keresiden Manado). Karena konsep unifikasi tersebut akan berakibat terdesaknya hukum adat, maka Van Vollehhoven yang menjadi Guru Besar pada Universitas Leiden menentangnya dengan hebat.

(6)

Usul unifikasi itu diperdebatkan juga di Dewan Perwakilan Rakyat Belanda pada tahun 1906, yang dibela oleh Menteri Fock yang menggantikan Idenburtg pada tahun 1904, tetapi banyak ditentang oleh para anggota DPR Belanda. Hasil kerja Alting tersebut dibantah keras oleh Mr. I. A. Nederlanburgh dan Mr. F.C. Hekmeyer, oleh karena diragukan akan dapat berlaku dengan baik, dikarenakan bagian terbesar kodifikasi itu sistem hukum Eropa. Laporan hasil kerja Alting tersebut tidak diperdebatkan dalam Dewan Perwakilan Rakyat karena Menteri Cremer diganti Idenburgh.

Menteri jajahan Idenburgh berpendapat bahwa di Hindia Belanda perlu diadakan unifikasi hukum yang asasnya berdasarkan hukum Eropa, sebagaimana direncanakan oleh Prof. Mr. LWG. van den Berg, sehingga redaksi pasal 75 dan pasal 109 RR tahun 1854 perlu diadakan perubahan.

Pada akhirnya tanggal 10-12 Oktober 1906 DPR menerima usul amandemen anggota DPR van Idsinga dimana konsep unifikasi itu lalu disingkirkan dan tetap dipertahankan konsep kodifikasi. Redaksi amandemen Idsinga tersebut menjadi Pasal 75 RR(redaksi baru) dan kemudian menjadi redaksi pasal 131 ayat 2 b IS sampai pecah perang dunia kedua. Usul perubahan pasal 75 RR dan pasal 109 lama ditetapkan menjadi undang-undang pada tanggal 31 Desember 1906 tetapii ketentuan peralihannya baru selesai pada tahun 1915 oleh Menteri Pleyte dan redaksi baru dari kedua pasal tersebut baru ditetapkan pada tahun 1919. Belum lagi berlaku perubahan pasal RR yang baru ini, pada tahun 1925 RR telah diganti dengan Indische Staatsregeling (IS) dimana pasa 75 RR redaksi baru menjadi pasal 131 IS dan pasal 109 RR redaksi baru menjadi pasal 163 IS.

Isi dari Pasal 131 IS antara lain:

1. Hukum perdata Barat dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu kodifisir;

2. Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi);

3. Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan sebagainya), jika ternyata ”kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, bagi seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru, untuk mengindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka. (ayat (2)

4. Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa diperbolehkan ”menundukkan diri” (orderwerpen) pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukkan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4)

5. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka ”Hukum Adat” (ayat 6).

Isi dari Pasal 163 IS antara lain:

1. ayat 1 menyatakan : ” Jikalau ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, dalam peraturan umum dan peraturan setempat, dalam aturan-aturan,

(7)

peraturan polisi dan administrasi diadakan perbedaan antara golongan Eropa, golongan Pribumi, dan golongan Timur Asing, maka kesemuanya itu dijalankan menurut aturan-aturan seperti di bawah”.

2. ayat 2 menyatakan ”kalau sampai diadakan perpisahan itu dalam sesuatu peraturan siapa-siapa dalam sesuatu peraturan siapa-siapa yang harus tunduk pada peraturan-peraturan bagi golongan Eropa,. Jadi siapa-siapa yang termasuk golongan Eropa.

3. Dalam ayat 3 ditentukan ”siapa yang akan tunduk kepada peraturan-peratruran bagi golongan Pribumi, jadi siapa yang termasuk golongan Pribumi

4. Ayat 4 menentukan siapa yang termasuk golongan Timur Asing d. Zaman Kemerdekaan

1. Zaman Jepang.

Pada tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda bertekuk lutut menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Namun pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu akibat bom atom yang dijatuhkan Sekutu pada tanggal 6 Agustus di Hiroshima dan Nagasaki. Ini berarti Indonesia diduki Jepang hanya selama tiga tahun lima bulan lima hari atau hampir tiga setenga tahun.

Selama pemerintahan Jepang pada umumnya yang berlaku adalah hukum militer, hukum perundangan apabila hukum adat tidak mendapat perhatikan sama sekali.

2. Zaman Perjuangan

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah berdasarkan hukum adat, sebagaimana kelanjutan keputusan kongres pemuda Indonesia pada tahun 1928 dan perjuangaan pergerakan kemerdekaan Indonesia sebelum. Dikatakan berdasarkan hukum adat, karena kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa (hukum rakyat) dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Demikian dinyatakan pada alinea pertama Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang ditandatangi Soekarno, Hatta dan tujuh pemimpin lainnya. Isi piagam tersebut kemudian menjadi pembukaan UUD 1945.

Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI yang dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta mengadakan rapat. Hasil dari rapat tersebut adalah :

a. Mengesahkan Undang-Undang Dasar yang telah dipersiapkan oleh

Dokuritsu Junbi Cosakai (yang sekarang dikenal sebagai Undang-Undang

Dasar 1945).

b. Memilih Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta masing-masing sebagai sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

c. Membentuk sebuah Komite Nasional untuk membantu Presiden selama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum tersusun.

Walaupun di dalam UUD 1945 tidak digunakan istilah Pancasila dan hukum adapt, namun dari Pembukaan UUD 1945 itu dapat diketahui unsur-unsur pancasila dan di dalam batang tubuhnya yaitu pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Kemudian dalam

(8)

Penjelasan UUD 1945 dikatakan bahwa “Undang-undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis sedang disampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis...Yang paling penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara adalah ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintah

Sejak proklamasi dan diumumkan berlakunya UUD 1945 tersebut maka sebagaian besar masyarakat Indonesia belum mengetahuinya, kecuali di kalangan para pemimpin dan para cendikiawan di kota-kota dan di daerah-daerah yang aman, terutama di pulau Jawa dan Sumatera. Di daerah-daerah-daerah-daerah pedesaan yang berlaku adalah hukum adat sedangkan daerah-daerah yang bergejolak dalam perjuangan rakyat mempertahankan kemerdekaan terhadap ancaman NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang berlindung dibalik KNIL (Koninklijk Netherlands Indisch Leger) atau tentara Kerajaan Hindia Belanda yang berlaku adalah hukum perang.

3. Sejak UUDS 1950

Berdasarkan piagam persetujuan antara delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO lahirlah konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) yang dinyatakan berlaku pada tanggal 6 Februari 1950. Dalam konstitusi RIS mengenai hukum adat antara lain antara lain pasal 144 ayat (1) tentang hakim adat dan hakim agama pasal 145 ayat (2) pengadilan adat pasal 146 ayat (1) aturan hukum adat yang menjadi dasar hukuman. Namun ketentuan-ketentuan tersebut tidak pernah digunakan karena sejak tanggal 17 Agustus 1950 telah berlaku UUD Sementara 1950, yang mengambil alih ketentuan-ketentuan tersebut.

Di dalam UUDS 1950 hal-hal yang menyangkut hukum adat antara lain dinyatakan sebagai berikut:

a. Pasal 25 ayat (2), “perbedaan dalam kebutuhan masyarakat dan kebutuhan hukum golongan rakyat akan selalu diperhatikan;

b. Pasal 102, “kodifikasi di dalam kitab-kitab hukum, dan membolehkan adanya peraturan tentang beberapa hal di dalam undang-undang tersendiri; c. Pasal 104, “dimana istilah hukum adat digunakan dengan jelas untuk dapat

dipergunakan sebagai dasar menjatuhkan hukum oleh pengadilan di dalam keputusan-keputusannya.

4. Sejak Dekrit 5 Juli 1959

Ternyata bahwa Konstituante dalam UUDS 1950 tidak dapat menyelesaikan tugas pada waktunya, maka Soekarno selaku Presiden RI/Panglima Tertinggi Angkatan Perang mengucapkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan pembubaran Konstituante, UUD 1945 berlaku kembali dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950. kemudian berdasarkan Ketetapan MPRS No. II/1960 maka hukum adat menjadi landasan tata hukum nasional.

Pada tanggal 11 Maret 1966 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan dua undang-undang organik yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 24 dan 25 UUD 1945. Kedua undang-undang tersebut antara lain UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Kedua undang-undang tersebut sama sekali tidak memberikan jaminan akan kemandirian hakim, sebaliknya justru secara eksplisit mengebiri kebebasan

(9)

hakim. Hal ini tercermin dari ketentuan dalam Pasal 19 UU No. 19 Tahun 1964 bahwa:

”Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa, atau kepentingan masyarakat mendesak, presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”.

Kemudian di dalam penjelasannya ditegaskan sebagai berikut:

”Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang. Sandaran yang utama bagi pengadilan sebagai alat revolusi adalah Pancasila dan manipol/usdek. Segala sesuatu yang merupakan persoalan hukum berbentuk perkara-perkara diajukan wajib diputus dengan sandaran itu dengan mengingat fungsi hukum sebagai pengayom. Akan tetapi, adakalanya bahwa presiden/pimpinan besar revolusi harus dapat turun atau campur tangan, baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan negara dan bangsa yang lebih besar. Tidak diadilinya seseorang atau cara-cara maupun susunan pengadilannya mungkin dapat ditentukan oleh presiden dalam susunan pengadilannya mungkin dapat ditentukan oleh preiden. Akan tetapi, keadaan ini adalah keadan perkecualian yang istimewa. Syaratnya ialah apabila kehormatan negara dan bangsa yang sangat mendesak, memerlukan turun atau campur tangan presiden. Memang jalan biasa dapat ditempuh. Presiden dapat menanti hingga perkara selesai diadili dan diputuskan dan baru kemudian memberi grasi. Akan tetapi, mungkin jalan ini terlalu panjang dan lama. Itulah sebabnya bahwa dalam keadan yang sangat mendesak, presiden/pimpinan besar revolusi diberi wewenang untuk turun atau campur tangan”.

Selanjutnya dalam Pasal 23 ayat (1) UU No. 13 Tahun 1965 dicantumkan: (1) Dalam hal-hal dimana presiden melakukan turun tangan, sidang dengan

seketika itu menghentikan pemeriksaan yang sedang dilakukan dan mengumumkan keputusan Presiden dalam sidang terbuka dengan membubuhi catatan dalam berita acara dan melampirkan keputusan Presiden dalam berkas tanpa menjatuhkan putusan.

(2) Dalam hal-hal dimana presiden menyatakan keinginannya untuk melakukan campur tangan menurut ketentuan-ketentuan undang-undang pokok kekuasaan kehakiman, sidang menghentikan musyarawah dengan Jaksa.

(3) Musyawarah termaksud dalam ayat (2) diatas, tetapi untuk melaksanakan keinginan presiden.

(4) Keinginan presiden dan hasil musyawarah tersebut diumumkan dalam sidang terbuka setelah sidang dibuka kembali

Berdasarkan rumusan dari pasal kedua undang-undang tersebut, maka jelaslah bahwa presiden dapat mengintervensi segala persoalan yang terjadi di pengadilan, termasuk dalam mencampuri putusan hakimm. Dengan demikan UU No. 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung bertentangan dengan prinsip yang dianut dalam Pasal 24 dan 25 UUD 1945

(10)

yakni prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman (the independency of judiciary

principle).

5. Zaman Orde Baru

Pada tanggal 30 September 1965 PKI melancarkan G30S. Kemudian berdasarkan SP 11 Maret 1966 Jenderal Soeharto membubarkan PKI. Berdasarkan TAP MPRS No. XXXIII tahun 1967 Soeharto ditetapkan sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia, kemudian dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia dalam Sidang Umum MPRS ke V, maka mulailah zaman Orde Baru sebagai koreksi total terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Lama yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Salah satu langkah yang ditempuh adalah, mencabut semua peraturan perundang-undangan yang inskonstitusional termasuk UU No. 19 Tahun 1964 dan UU No. 13 Tahun 1965. sebagai tindak lanjut pemerintah Orde Baru menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin keindependensian kekuasaan kehakiman. Beberapa peraturan perundang-undangan itu antara lain :

1. UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 3. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum

4. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 5. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

6. UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Masalah kekuasan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuataan ekstra yudisial dalam UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 14 Tahun 1985.

Pasal 1 UU No 14 Tahun 1970 menyatakan :

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Indonesia. Pasal 4 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1970 menyatakan:

“Campur tangan dalam urusan peradilan dengan peradilan oleh pihak-pihak lain kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yan tersebut dalam undang-undang dasar”.

Pasal 2 UU No. 1985 menyatakan :

“Mahkamah Agung adalah pengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.

Di dalam UU No 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman, ada beberapa pasal yang menyinggung masalah hukum adat antara lain:

a. Pasal 31 ayat 1

Semua peradilan di Indonesia diseluruh wilayah Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang

(11)

Catatan : pasal ini dimaksudkan untup menutup kemungkinan adanya atau akan diadakan lagi peradilan swapraja atau peradilan adat yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara demikian dinyatakan dalam Penjelasan No. 7 kedudukan dan peranan hukum adat diakui (dengan menggunakan pengertian “hukum tidak tertulis:) hanya pelaksananaanya dilakukan oleh badan peradilan Negara

b. Pasal 23 ayat 1

Segala putusan pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Catatan : dalam hal ini diberikan kedudukan dan peranan yang sejajar bagi hukum adat (hukum tidak tertulis) dan hukum yang tertulis,

c. Pasal 27 ayat 1

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Catatan : Di dalam penjelasan dinyatakan bahwa “ Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan dan rasa keailan masyarakat.

Selanjutnya dalam Penjelasan Umum No 7 dikatakan bahwa ”Dengan ketentuan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam penerapan hukum yang tidak tertulis itu akan berjalan wajar.

Dengan demikian pada masa pemerintahan Orba kemandirian kehakiman termasuk Mahkamah Agung telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang ada yakni UU No. 14 tahun 1970 dan UU No. 14 tahun 1985. Namun, dalam praktinya kekuasaan pengadilan di Intervensi oleh lembaga negara lain, terutama pemerintahan Orde Baru, yakni dengan melakukan penekanan terhadap Mahkamah Agung untuk memutus kembali perkara sesuai dengan keinginan pemerintah. Intervensi tersebut dilakukan karena dipengaruhi banyak faktor antara lain: pertama, pada masa Orde Lama dan Orde Baru kekuasaan politik pemerintah yang sangat kuat dan dominan secara sistematis berusaha melemahkan kekuasaan negara lain. Kedua, sistem rekrutmen dan terutama pelaksanaan rekrutmen Hakim Agung dan Pimpinan Agung saat itu politis dan menafikan proses rekrutmen yang transparan, partisipatif, akuntabel dan berdasarkan merit system.

6. Zaman Reformasi

Zaman reformasi diawali oleh tumbangnya rezim Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998 oleh desakan kelompok reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa, akademisi, kaum profesional, LSM, dan pers. Penegakkan sumpremasi hukum (supremacy of law) dan penataan sistem peradilan merupakan salah satu agenda reformasi yang harus dijalankan oleh pemerintah

(12)

Orde Reformasi. Untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah dan MPR/DPR RI telah mengadakan amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945 dari tahun 1999-2002. Adapun salah satu dari hasil amandemen UUD 1945 adalah diangkatnya hukum adat yang tadinya hanya terdapat di dalam Penjelasan UUD 1945 yang asli ke dalam materi perubahan UUD 1945 yakni Pasal 18 B UUD 1945.

Pasal 18 B UUD 1945:

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh pemerintah Orde Reformasi adalah dikeluarkannya UU No. 35 Tahun 1999 tentang perubahan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun pertimbangan yang mendorong lahirnya UU No. 35 tahun 1999 adalah untuk menghilangkan dualisme kekuasaan yang selama ini dipersoalkan oleh masyarakat karena dapat mempengaruhi kemandirian kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya untuk mengadili perkara. Hal ini dilakukan dengan menempatkan kekuasaan kehakiman di bawah satu atap Mahkamah Agung meskipun dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dalam jangka lima tahun sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut. Adapaun caranya adalah dengan mengalihkan Direktorat Jenderal Peradilan Umum dan TUN yang tadinya di bawah Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung.

Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah Orde Reformasi ini mengeluarkan berbagai produk perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman antara lain:

1. UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

3. UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.

4. UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari beberapa undang-undang tersebut di atas diperoleh gambaran bahwa UU No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang kemandiran kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 1 UU No, 4 tahun 2004 ditegaskan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia” .

(13)

Dalam penjelasan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 ditegaskan bahwa:

”Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan perundang-undangan tersebut memiliki pengertian sebagai kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945”

Selain itu, perlu dikemukakan bahwa kebebasan kekuasaaan kehakiman dalam melaksanakan wewenang yudisal bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia, bukan keadilan subjektif menurut pengertian atau kehendak hakim semata. Namun, dalam pelaksanaannya kebebasan dan kemandirian yang diberikan kepada kekuasaan kehakiman (hakim) tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal tersebut disebabkan dalam menjalankan kemandiriannya hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik dan ekonomi, serta peraturan perundang-undangan yang mengatur kemerdekaan tersebut.

Selain ketentuan tersebut diatas undang-undang kekuasaan kehakiman juga mengatur tentang lembaga-lembaga peradilan yang tugas untuk mengadili perkara. Hal itu tertuang dalam Pasal 2 UU No. 4 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 2 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman:

“Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Sumber Bacaan:

Hadikusuma. Hadi. Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju. 2003

Kartohadiprodjo. Soediman. Pengantar Tata Hukum Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1993

Republik Indonesia. Risalah Sidang BPU-PKI dan PPKI 26 Mei-22 Agustus

1945, Jakarta: Sekretariat Negara, 1995.

Sudirman. Antonius. Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan

dari Perspektif Ilmu Hukum (Behavioral Jurisprudence) Kasus

Hakim Bismar Siregar. Bandung: PT. Aditya Bakti. 2007 Soebekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermassa, 2003

Soekanto. Soerjono. Peranan dan Kedudukan Hukum Adat Di Indonesia. Jakarta: Kurnia Esa. 1982.

Referensi

Dokumen terkait

aparat penegak hukum dalam penanganan Sampah Rumah Tangga dan sampah Sejenis sampah Rumah Tangga antara lain Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup,

Conqueror yang bukan berasal dari Inggris untuk menjadi raja. Baru-baru

Event Organizer atau sering disebut EO tidak jauh beda pengertiannya dengan sebuah kepanitiaan. Mulai dari level ‘Perpisahan Sekolah’ sampai ‘Pindah Jabatan’, EO

Muara dari semua itu yang merupakan harapan kita semua adalah terciptanya “Indonesia berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi

Hal yang sama telah dilakukan oleh khalifah umar ibnul khattab Radziyallahu anhu saat menjelang ajalnya karena tertusuk, ia menjadikan urusan kekhalifaan sesudahnya agar

(1975) dalam Fachrul (2007) pada tabel 2.2 dapat diketahui bahwa keadaan perairan waduk Wonorejo pada tiap stasiun secara kumulatif yaitu stasiun I yang merupakan daerah

Kegiatan perekaman data ke dalam sofware microsoft access telah direkam sebanyak 3.035 data (table 2), yang diperoleh dari data yang terekam di buku induk

Bila kemungkinan terbukti bahwa saya temyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan Ijazah yang