• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK METODOLOGI DALAM PENELITIAN ERGONOMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASPEK METODOLOGI DALAM PENELITIAN ERGONOMI"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

1

ASPEK METODOLOGI

DALAM PENELITIAN ERGONOMI

Oleh

Dr. Drs. I Made Gede Arimbawa, M.Sn

PROGRAM STUDI KRIYA SENI

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

(2)

2 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………... i DAFTAR ISI ………... ii I PENDAHULUAN... 1 II PEMBAHASAN...…………...………. 1

2.1 Tahap Diagnosis dalam Penelitian Ergonomi…..………... 1

2.2 Tahap Treatment dalam Penelitian Ergonomi …...………...… 25

2.3 Tahap Follow-up dalam Penelitian Ergonomi ... 35

III PENUTUP... 36

(3)

3 ASPEK-ASPEK METODOLOGI

DALAM PENELITIAN ERGONOMI

I PENDAHULUAN

Istilah ergonomi berasal dari bahasa Yunani: ergein artinya bekerja dan terdiri dari dua kata, yaitu: ergos yang berarti kerja dan nomos berarti hukum alam (natural law), sehingga ergonomi berarti peraturan atau tata cara kerja yang alamiah (Hafid, 2002; Shadily, 1990). Menurut Manuaba (1992) ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni yang berupaya menserasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia untuk terujudnya kondisi lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan efisien yang setinggi-tingginya. Batasan ini senada dengan yang disampaikan oleh Bridger (1995) dan Phesant (1991) bahwa ergonomi mempelajari tentang manusia baik sosok fisik sosio psikologis dalam berinteraksi dengan lingkungan.

Ergonomi terkait dengan industri juga disebut human engineering atau

applied/industrial ergonomic, karena banyak hal yang dihubungkan dengan aplikasi data

maupun pertimbangan faktor manusia (human factors engineering) dalam proses perancangan, modifikasi dan evaluasi dari produk (peralatan atau fasilitas) yang digunakan dalam sebuah sistem kerja (Wignjosoebroto, 2006, Moroney, 1995).

Dari pengertian tersebut, maka ergonomi adalah merupakan ilmu yang multi disiplin, sehingga dalam penelitian ergonomi terdapat banyak faktor yang terkait dan berpengaruh, oleh sebab itu permasalahan yang dihadapi tidak dapat dipecahkan secara parsial, melainkan harus dipecahkan secara komprehensif dengan memper-hitungkan sebanyak mungkin faktor atau variabel yang berpengaruh. Terkait dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ergonomi dimungkinkan untuk menerapkan berbagai metode penelitian yang terkait untuk mencapai tujuan penelitian. Hal ini sesuai dengan strategi gabungan atau triangulation strategies artinya pemecahan masalah dengan memadukan beberapa metode secara sekaligus (Axelsson, 2000). Dengan cara ini pemecahan masalah ergonomi dapat lebih menyeluruh dan dapat memenuhi kebutuhan semua pihak, manusiawi, competitif serta berkesinambungan.

II PEMBAHASAN

Secara garis besarnya metodologi ergonomi terdiri dari tiga tahap proses dasar penelitian dan perancangan (Depkes RI. 2006), yaitu: (1) tahap diagnosis; (2) tahap penentuan perlakuan atau treatment dalam bentuk intervensi ergonomi, dan (3) Follow-up. 2.1 Tahap Diagnosis dalam Penelitian Ergonomi

Dalam penelitian ergonomi, pelaksanaan tahap diagnosis atau dalam pengumpulan data agar efektif dan tearah, maka perlu berpedoman pada delapan aspek ergonomi, yaitu: data yang berkaitan dengan gizi, aplikasi tenaga otot, posisi tubuh, lingkungan kerja, kondisi berhubungan dengan waktu, kondisi sosial-budaya, kondisi informasi dan interaksi manusia/mesin.

(4)

4 Sehubungan dengan hal tersebut, maka beberapa metode pengumpulan data tentang manusia kerja diarahkan mengenai struktur tubuh, fungsi, pemaanfaatan perilaku dan kondisi lingkungan kerja. Seperti metode wawancara dengan pekerja, metode observasi tempat kerja, paralatan kerja dan sikap kerja, metode checklist yang lebih menekankan pada kesan, metode pengukuran fisik pekerja (subjektif dan objektif), dan metode pengukuran lingkungan kerja.

Dari beberapa metode yang digunakan dalam diagnosis tersebut ada beberapa jenis data yang akan diperoleh. Berdasarkan sumber data dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu data primer dan data sekunder, sedangkan berdasarkan sifatnya data yang akan diperoleh adalah data subjektif dan data obyektif dan berdasarkan kontinum data dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu data kualitatif dan kuantitatif.

a) Metode Wawancara

Metode wawancara merupakan suatu rangkaian kesatuan dari beberapa pertanyaan. Wawancara berbeda dengan pertanyaan seperti pada kuesioner. Wawancara bertujuan untuk mengurangi kekakuan dalam sebuah pertanyaan untuk mendapatkan jawaban yang lebih dapat diterima. Seorang pewawancara harus lebih bijaksana dan fleksibel dalam mengajukan pertanyaan untuk menggali informasi (Wilson and Corlet, 1990).

Dalam ergonomi metode tersebut dilakukan untuk mengetahui informasi mengenai kondisi kerja sebelum dan sesudah perbaikan yang diperoleh dari para pekerja. Data ini dapat dipakai sebagai salah satu dasar analisis, sintesa dan evaluasi. Data yang diperoleh dari wawancara dapat berupa data primer, kualitatif dan subyektif.

Metode kuesioner pada umumnya menggunakan dua jenis metode yaitu metode

ranking dan rating dan lebih baik dari jenis yang lain. Kuesioner sering dibuat pertanyaan

secara tetap dengan memberikan range yang tetap untuk tiap alternatif jawaban b) Metode Observasi

Metode observasi dilakukan dengan pengamatan secara langsung pada suatu sistem kerja dan datanya sangat diperlukan sebelum dilakukan intervensi atau analisis lebih lanjut. Mengkombinasikan data yang sudah ada (arsip) seperti data kondisi kerja dengan pengamatan yang dilakukan secara langsung pada objek (seperti tempat kerja, peralatan kerja, sikap kerja dan lain-lain). Tujuan pengamatan langsung adalah untuk mendapatkan data sebagai dasar untuk menentukan perbaikan yang sesuai dalam menyelesaikan masalah.

Dalam melakukan penelitian perlu melakukan observasi awal untuk mengetahui tata letak, deskripsi kerja dengan mengamati secara langsung untuk mencapai tujuan dan hubungan sistem yang diteliti sebelum pengamatan formal dilakukan. Metode observasi sangat berguna dalam mengumpulkan data yang tidak hanya data kuantitif (produk setiap jam, cacat per produk dll) akan tetapi perlu mengumpulkan data kualitatif seperti urutan produk, urutan tugas dan sebab-sebab kemacetan proses.

Pengumpulan data hasil observasi sebuah sistem perlu batasan yang jelas, karena banyak kejadian yang ada cukup kompleks. Batasan tergantung bagaimana data tersebut digunakan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka ada lima jenis informasi yang dapat dikumpulkan dalam observasi tersebut antara lain (Wilson and Corlet, 1990) :

(5)

5 1) urutan aktivitas yaitu aktivitas yang mengikuti aktivitas lain yang dilakukan oleh

operator atau oleh produk yang diperoses ;

2) durasi aktivitas yaitu lama waktu aktivitas yang dilakukan ;

3) frekuensi aktivitas berupa frekuensi aktivitas sejenis atau mirip yang terjadi dalam sistem

4) waktu tiap bagian yaitu waktu yang digunakan pada aktivitas khusus untuk tiap bagian proses dalam suatu aktivitas ;

5) ruang gerak yaitu perpindahan unit kerja, operator dan mesin dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya selama hari kerja.

c) Metode Checklist

Checklist berisikan daftar beberapa item yang diisikan sesuai dengan situasi yang ada, atau mencatat suatu kejadian dalam sistem kerja.

d) Metode Pengukuran Secara Subjektif dan Objektif

Sebelum melakukan pengukuran, beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai justifikasi kemampuan alat ukur yang digunakan, baik untuk memperoleh data subjektif maupun objektif yaitu (Kerlinger, 1969) :

1. Validitas

Apakah pengukuran tersebut memiliki hubungan langsung terhadap fenomena yang terdapat pada hipotesis? Seperti: Apakah pengukuran denyut nadi merupakan pengukuran yang valid untuk beban metabolisme ?. Kondisi ini akan valid jika tidak ada tekanan panas, ketegangan otot statis dan tekanan emosional. Dengan demikian secara teknis validitas merupakan korelasi antara variabel yang diukur dengan fenomena yang di representasikan pada hipotesis.

2. Reliabilitas

Apakah pengukuran tersebut memberikan hasil yang konsisten ketika digunakan secara berulang-ulang ?. Seperti: Apakah pengukuran denyut nadi yang berubah-ubah menjadi pengukuran beban metabolisme yang dapat dipercaya?. Validitas mempertanyakan seberapa baik sebuah pengukuran berhubungan dengan fenomena eksternal, sedangkan reliabilitas mempertanyakan seberapa baik pengukuran tersebut berhubungan dengan pengukuran itu sendiri.

3. Sensitivitas

Apakah pengukuran tersebut memberikan reaksi yang cukup baik terhadap perubahan pada variabel bebas?. Dalam suatu pengukuran sangat mungkin pengukuran yang dipilih valid dan reliabel akan tetapi tidak menunjukkan pengaruh yang cukup besar terhadap variabel bebas. Oleh karena itu semua pengukuran harus mengikuti tiga kriteria tersebut yaitu valid, reliabel dan sensitif.

Metode Pengukuran Secara Subyektif

Untuk aplikasi sebuah intervensi, maka diperlukan data atau informasi dan pengetahuan agar penelitian dapat berjalan dengan lancar. Informasi yang diperlukan tentunya sesuai dengan kebutuhan intervensi yang akan dilakukan tersebut. Dalam hal ini

(6)

6 informasi bisa didapat dari pengguna atau pekerja dan akan digunakan sebagai acuan menentukan intervensi dan evaluasi.

Beberapa metode subjektif yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Wilson, et al, 1987):

a. Metode observasional:

1. Studi eksperimental terdiri dari : a. eksperimen laboratorium ; b. simulasi ; dan

c. eksperimen lapangan. 2. Studi observasional

b. Metode data base terdiri dari : 1. buku, jurnal, hasil penelitian ; 2. catatan dari sistem terdahulu ; dan 3. data dari para ahli

Metode pengukuran subjektif terdiri dari: (a) metode ranking ditekankan pada jenis pertanyaan dan me-ranking dari yang terbaik sampai terburuk atau sebaliknya. Selanjutnya responden disuruh untuk me-rangking dari awal sampai akhir dengan kriteria mudah untuk dibaca sampai sukar dibaca dan (b) metode rating berkaitan dengan jenis pertanyaan dan diberi skala pada tiap jenis pertanyaan. Skala yang digunakan dikategorikan: sangat mudah, mudah sedang, sulit, dan sangat sulit. Metode yang umum digunakan adalah :

1. metode dengan skala rating sederhana ; 2. teknik perbandingan berpasangan; 3. metode interval equel openning; dan 4. skala Likert

Data yang diperoleh dengan metode pengukuran subjektif adalah data yang dikumpulkan berdasarkan sensasi dan perasaan yang dirasakan oleh subjek. Data ini tidak dapat diukur seperti pada pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lain-lain. Data yang dikumpulkan umumnya bersekala nominal dan ordinal (Daniel, 1999).

Ada beberapa data subjektif yang sering dipakai dalam kaitan dengan intervensi ergonomi diperoleh dengan metode sebagai berikut:

a. Metode Pengukuran Keluhan Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal atau istilah lainnya Musculo Skeletal Disorders (MSDs) atau

Repetitive Strain Injuries(RSIs) atau Work-related Upper Extremity Disorders (UEDs) (Melhorn,

1996) adalah keluhan nyeri atau sakit yang dirasakan pada sistem otot rangka. Banyak faktor penyebab terjadinya gangguan pada sistem muskuloskeletal, seperti: sikap kerja yang buruk atau tidak alamiah yang dilakukan dalam waktu yang relatif lama (Chavalitsakulchai dan Shahnavaz, 1993). Untuk mengukur lokasi dan intensitas keluhan tersebut didata dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map (NBM) (lihat lampiran 1)yang dimodifikasi dengan empat skala Likert (Fenety & Walker, 2002; Sutjana dan Sutajaya, 2000).

(7)

7 Selain menggunakan Nordic Body Map (NBM), keluhan muskuloskeletal juga dapat diketahui dengan Rula (Rapid Upper Limb Assessment) (McAtamney and Corlett, 1993) (lihat Gambar 1), yaitu suatu cara dalam ergonomi untuk mengetahui adanya keluhan muskuloskeletal. Rula adalah suatu alat ukur untuk mengetahui biomekanik dan beban yang diterima oleh keseluruhan tubuh. Rula dikhususkan untuk mengetahui keluhan muskuloskeletal daerah leher, badan, anggota gerak atas, dan sangat sesuai untuk pekerjaan-pekerjaan yang statis atau menetap, seperti misalnya pekerjaan pada komputer. Nilai yang dihasilkan dalam perhitungan Rula mengindikasikan tingkat intervensi yang diperlukan untuk mengurangi adanya resiko keluhan muskuloskeletal.

Metode pengukuran keluhan muskuloskeletal dengan Rula (Rapid Upper Limb

Assessment) dilakukan dengan mengadakan pengamatan mengenai gerakan badan pekerja

saat beraktivitas, mulai dari gerak anggota badan atas; lengan atas. Jika posisi lengan atas seperti gambar 1, right upper arm (RUA - A), maka memiliki nilai 1; RUA-B = 2; RUA-C = 2; RUA – D = 3; RUA – E = 4, dan ditambahkan masing-masing dengan nilai 1, jika pada saat bekerja bahu terangkat dan anggota gerak atas dibengkokkan. Serta nilai dikurangi 1, jika pada saat bekerja lengan disangga.

Lengan bawah, jika posisi lengan bawah seperti Gambar 1 (right lower arm-A), maka memiliki nilai 1, RLA-B = 1; RLA-C = 1 dan masing-masing ditambahkan dengan nilai 1, jika pada saat bekerja lengan bawah mengambil benda secara menyilang, dan mengambil benda di luar tubuh pekerja (RLA – D)

Posisi tangan. Jika posisi tangan seperti Gambar 1 (right wrist – A), maka nilai adalah 1, RW-B = 2; RW-C = 3; RW – D = 3, ditambahkan dengan nilai 1, jika tangan dibengkokkan ke kiri atau ke kanan (RW – E)

Posisi putaran tangan. Jika tangan memutar benda masih dalam posisi normal nilai 1 (right wrist twist – A), dan jika tangan memutar benda sampai mendekati batas maksimal dari kemampuan tangan untuk memutar nailainya 2 (right wrist twist – B).

Posisi leher. Jika posisi leher seperti pada Gambar 1 (neck – A) nilai 1; neck – B = 2; Neck – C = 3; Neck – D = 4. Leher berputar (neck twist), leher menekuk ke samping (neck side bend), maka masing-masing ditambahkan dengan nilai 1

Posisi badan. Jika posisi badan tegak (trunk – A) nilai 1; trunk – B = 2; trunk – C = 3 dan trunk – D = 4, badan terpelintir dan miring ke samping (trunk side bend – A/B), maka masing-masing ditambahkan dengan nilai 1 (trunk twist – A/B)

Posisi kaki. Jika posisi anggota gerak bawah berdiri dalam keadaan seimbang nilai 1 (legs – A), jika posisi anggota gerak bawah berdiri tidak dalam keseimbangan (legs – C).

Penggunaan tenaga otot. Gerakan cedrung statis atau gerakkan tersebut berlangsung selama lebih dari satu menit, pengulangan lebih dari empat kali dalam satu menit, maka nilai ditambahkan dengan 1

Sedangkan penilaian beban pada leher, badan dan kaki, ditampilkan pada tabel 1: Tabel 1: Beban Yang Dilakukan Tubuh dan Waktu Pembebanan

0 1 2 3

< 2 kg dan hanya

(8)

8

berulang.

Setelah semua nilai tersebut terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah memasukkan ke dalam suatu lembar nilai RULA Employee Assessment Worksheet (lihat Tabel 2) A B C D E F Right Side: R ig ht U pp er A rm raised is abducted support-ing the weight of the arm R ig ht L ow er A

rm across the midline of the

body or out to the side R ig ht W ri st bent away from midline R ig ht W ri st T w is t Fo rc e & L oa d fo r t he R ig ht ha nd s id e

SELECT ONLY ONE OF THESE: or force

–10kg intermittent load or force

– -10kg repeated loads or

Muscle Use minute or repeated more than 4

times per minute Left Side: L ef t U pp er A rm raised is abducted supporting the weight of the arm L ef t L ow er A

rm across the midline of the

body or out to the side L ef t W ri st bent away from midline L ef t W ri st T w is t Fo rc e & L oa d fo r t he R ig ht ha nd s id e

SELECT ONLY ONE OF THESE: or force

–10kg intermittent load or force

(9)

9

Muscle Use ute or repeated more than 4

times per minute

N ec k N ec k T w is t N ec k Si de -be nd T ru nk T ru nk T w is t T ru nk Si de -b en d L eg s

Legs and feet are well supported and in an evenly balanced posture.

Legs and feet are NOT evenly balanced and supported.

Force & Load for the neck, trunk and legs

SELECT ONLY ONE OF THESE: –10kg intermittent load or force

– - 10kg or more

intermittent load or force buildup

Muscle Use

4 times per minute

Gambar 1: Rula (Rapid Upper Limb Assessment) b. Metode Pengukuran Kelelahan

Kelelahan menurut Ganong (2001) kelelahan adalah reaksi fungsional dari pusat kesadaran, di korteks serebri yang dipengaruhi oleh dua sistem antagonik, yaitu sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Sistem penghambat terdapat dalam talamus yang mampu menurunkan reaksi manusia dan cenderung menyebabkan

(10)

10 leleh dan ngantuk, sedangkan sistem penggerak terdapat pada famatio retikularis yang dapat merangsang pusat-pusat vegetatif untuk bekerja. Keadaan seseorang sangat dipengaruhi oleh kedua sistem ini. Apabila sistem penghambat lebih kuat, maka tubuh akan mengalami keadaan kelelahan. Demikian sebaliknya, apabila sistem aktivasi lebih kuat maka tubuh akan terasa segar untuk bekerja (Grandjean, 1993). Kelelahan juga diakibatkan tidak cukupnya ketersediaan nutrient energi yang diperlukan dari glikogen otot atau glukosa darah. Mungkin juga akibat tidak berfungsi sistem energi secara optimal akibat defisiensi nutrient lain seperti vitamin dan mineral. Kelelahan dapat diatasi secara lebih efektif karena zat gizi cadangan dapat digunakan untuk kembali pada keadaan homeostasis (Wolinsky, 1994).

Munculnya kelelahan secara ergonomis disebabkan oleh pekerjaan yang monotone, kerja fisik yang berat, rentang waktu pekerjaan terlalu lama, mikroklimat yang buruk, masalah mental, adanya penyakit, rasa sakit waktu bekerja dan kurang energi (Manuaba, 19832). Kelelahan juga dapat memunculkan gejala yang dikenal sebagai

burnout. Menurut (Greenberg dalam Sinungan 1987) bahwa burnout merupakan suatu

sindrom yang berisikan gejala-gejala kelelahan fisik, emosional dan mental, akibat dari

stress yang berkepanjangan, seperti: mudah marah, mudah tersinggung, frustasi, cepat

lelah, lari dari kenyataan, berdalih dan lain-lain.

Ditinjau dari sudut fisiologi adalah merupakan kelelahan otot, yaitu suatu keadaan di mana otot mengalami gerakan atau aksi (tekanan, ketegangan dan tarikan) yang berlebihan dalam waktu relatif lama, hal ini terlihat pada beberapa gejala tremor otot, penurunan tenaga, gerak otot yang lambat dan koordinasi otot menurun. Penyebab kelelahan otot dimungkinkan karena sikap kerja yang statis, sehingga aliran darah ke otot terhambat, suplai oksigen dan glukosa menurun, terjadi penumpukan sisa metabolisme, sehingga terjadi nyeri atau sakit (Manuaba, 19831; Guyton, 1995).

Data tingkat kelelahan berupa keluhan subjektif yang dialami oleh pekerja setelah melakukan pekerjaan diukur dengan menggunakan kuesioner 30 item self ranting test (skala empat) (lihat lampiran 2). Kusioner ini telah mendapat rekomendasi dari Japan Association

Industrial Helth (JAIH) berupa daftar pertanyaan tentang gejala-gejala yang berhubungan

dengan kelelahan (Adiputra, 1998). Aplikasi kuesioner ini adalah dengan menanyakan kepada para pekerja yang telah selasai melakukan pekerjaanya. Jawaban yang diberikan bersifat subjektif dan diusahakan sesuai dengan yang dirasakannya. Jenis pertanyaan dikelompokan menjadi tiga kelompok. Kelompok I (item 1- 10) mengenai adanya pelemahan aktivitas. Kelompok II (item 11- 20) mengenai adanya penurunan motivasi, dan Kelompok III (item 21- 30) mengenai adanya kelelahan fisik.

c. Metode Pengukuran Stress

Pengukuran stress yang relevan sebaiknya terfokus pada : (a) persepsi menyeluruh seseorang pada situasi yang menimbulkan stress atau (b) pada berbagai macam elemen proses penilaian, yaitu derajat tuntutan yang diterima, sumber daya pribadi, sifat dan tingkat dukungan serta hambatan dalam penanganan yang diterima. Metode yang telah dikembangkan untuk mengukur respon emosional pada kondisi yang penuh tekanan salah satunya adalah stress arousal checklist (SACL).

SACL dikembangkan oleh Cox dan Mackay di Nottingham dengan menggunakan teknik analitik faktor untuk mengukur kejiwaan. Checklist mereprentasikan

(11)

11 dari 30 tingkat kejiwaan yang relatif umum dengan mendeskripsikan perasaan mereka saat itu. Model yang mendasari checklist ini sifatnya dua dimensional. Satu dimensi terkait dengan perasaan tidak menyenangkan atau menyenangkan atau stress dan dimensi yang lain berkaitan dengan rasa kantuk atau penuh semangat. Dan dimensi stress bisa merefleksikan daya dukung lingkungan eksternal yang diterima, dengan demikian dimensi

stress dipengaruhi oleh aspek kognitif.

Metode Pengukuran Objektif.

Pengukuran secara objektif dilakukan dengan memgunakan alat-alat ukur dan data yang diperoleh umumnya memiliki skala interval dan rasio (Daniel, 1999). Dalam pengukuran ini instrumen yang digunakan harus sesuai dengan standar tertentu dan telah diuji validitas serta reabilitasnya, sehingga dapat dipertanggung-jawabkan (Arikunto, 1998). Ada beberapa data objektif yang umum dikumpulkan untuk keperluan penelitian ergonimi, yaitu:

a. Beban Kerja

Menurut Adiputra (1998), secara umum beban kerja dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu:

1) external load = stressor adalah: beban kerja yang berasal dari pekerjaan yang sedang dilakukan, yang mempunyai ciri khusus yang berlaku untuk semua orang. Yang termasuk dalam external load ini adalah: task, organisasi dan lingkungan;

2) internal load atau functional load / strain adalah reaksi tubuh seseorang terhadap suatu external load yang diberikan. Untuk mengetahui pengaruh external load, dapat diukur melalui denyut nadi/jantung.

Menurut Rodahl (1989) beban kerja fisik yang terpapar pada tenaga kerja dapat diukur secara objektif dengan cara:

a) pengukuran secara langsung kebutuhan energi yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Misalnya, dengan mengukur asupan oksigen yang diperlukan selama bekerja dengan analisis ekspirasi;

b) secara tidak langsung dengan merekam denyut nadi selama kerja.

Denyut nadi merupakan respon fisiologis yang dapat dihitung secara praktis pada saat ingin mengetahui beban kerja seseorang, karena untuk mengetahui jumlah denyut nadi per menit cukup dilakukan dengan meraba pada radialis dengan teknik palpasi atau dengan alat pulsemonitor. Parameter fisiologis dengan denyut nadi per menit tersebut lazim digunakan sebagai indikator penilaian beban kerja karena: (1) proses pengukurannya sederhana, (2) biaya murah dan (3) tidak terlalu banyak mengganggu pekerja.

Denyut nadi dapat digunakan untuk memprediksi atau sebagai indikator penilaian beban kerja seseorang, yaitu dengan mengkonversikan pada tabel kategori beban kerja menurut Christensen (1991) dengan menghitung frekuensi denyut nadi per menit, seperti dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3: Katagori Beban Kerja Dinilai dari Frekuensi Denyut Nadi Kerja No Denyut Nadi Kerja (Denyut Per Menit) Katagori beban kerja

(12)

12 2. 75 ― 100 Ringan 3. 100 ― 125 Sedang 4. 125 ― 150 Berat 5. 150 ― 175 Sangat berat 6. 175 < Ekstrim Sumber: Christensen (1991)

1. Metode Pengukuran Denyut Nadi a) Metode Palpasi

Cara untuk mengetahui denyut nadi dengan metode palpasi dilakukan dengan diraba di tempat-tempat tertentu pada permukaan kulit, misalnya: (a) pada pergelangan tangan di bagian depan sebelah atas pangkal ibu jari (arteri radialis); (b) pada leher sebelah kiri atau kanan di depan otot sterno cleido mastoideus (arteri carolis); (c) pada dada sebelah kiri, tepat di apex jantung (arteri temperalis); (d) pada pelipis. Cara menghitung denyut nadi secara manual dengan teknik palpasi dapat dilakukan dengan cara: (a) denyut nadi dihitung selama 6 detik; hasilnya dikalikan 10; (b) denyut nadi dihitung selama 10 detik; hasilnya dikalikan 6; (c) denyut nadi dihitung selama 15 detik; hasilnya dikalikan 4; (d) denyut nadi dihitung selama 30 detik; hasilnya dikalikan 2.

Metode palpasi yang lazim digunakan dalam ergonomi adalah dengan sepuluh denyut atau ten pulses method. Metode ini dapat dilakukan selama bekerja atau pada akhir bekerja selama 30 detik dan hasilnya dikalikan dua dan metode ini dapat dipakai untuk menggambarkan denyut nadi kerja. (Astrand, et al. 1986; Adiputra, 2002).

Cara menghitung adalah dengan menggunakan stopwatch, berapa lama waktu yang diperlukan mulai denyut yang dirasakan pertama sampai denyut nadi kesebelas dan hasilnya dihitung dalam detik.

Misalnya: lama waktu 10 denyut = 6 detik, maka denyut nadi per menit

= 10

6 60

denyut = 100 denyut...(1) Prosedur Kerja

1. Suruh orang coba atau subjek penelitian untuk duduk tenang selama 2- 3 menit 2. Ukur denyut nadi orang coba dengan meraba arteri radialisnya. Hitung jumlah

denyut selama 1 menit.

3. Lakukan percobaan 2 dengan menghitung 15 detik pertama (dikalikan 4), 30 detik pertama (dikalikan 2). Dibandingkan hasilnya.

4. Lakukan pengukuran denyut nadi dengan metode 10 denyut yaitu menghitung lamanya waktu yang dipergunakan untuk 10 denyut.

b) Metode Pulsemeter

Metode lain untuk pengukuran denyut nadi juga dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut pulse meter. Ada beberapa jenis, seperti pulse meter dengan pegas dengan angka dan pulse meter dengan alat elektronik. Pulse meter dengan pegas jarumnya akan menunjukkan simpangan ke kiri dan ke kanan. Kalau sudah menunjuk satu angka maka angka itulah sebagai denyut jantung per menitnya. Sedangkan

(13)

13 pulse meter dengan alat elektronik atau pulsemonitor (lihat pada Gambar 2), angka yang terlihat pada layar display langsung menunjukkan denyut jantung per menitnya, sehingga pemeriksa tinggal membacanya saja. Sensornya biasanya dilekatkan pada daun telinga atau pada ujung telunjuk (Andersen,at al., 1978; Depdiknas, 2004). Dengan cara ini denyut jantung dapat ditunjukkan sampai dengan angka ganjil seperti 111 atau 121 per menit.

Gambar 2: Foto Alat Pengukur Denyut Nadi

Pulsemonitor

Gambar 3: Foto Stop watch digital

merk Citizen c) Metode Auskultasi

Metode ini menggunakan stetoskop (alat dengar) untuk mendengarkan denyutan jantung. Tinggal menghitung berapa denyut dalam waktu 5 detik, atau 10 detik atau dalam 15 detik. Hasilnya dikalikan dengan 12, 6 atau 4 seperti di atas sesuai dengan lamanya mendengarkan detikan tadi. Cara ini baik dipakai bila subjeknya diam tidak bergerak (Andersen, 1978; Astrand and Rodahl, 1986). Hasil perhitungan denyut jantung per menit selalu dalam angka genap; hal itu merupakan kekurangan sistem palpasi dan auskultasi.

d) Metode elektrokardiografi

Metode ini dengan menggunakan alat elektrokardiograf (EKG) grafik aktivitas listrik jantung, dapat direkam. Dari rekaman gambar listrik jantung tersebut (elektrokardiogram) dihitung berapa denyut jantung per menit. Alat EKG tentu mahal harganya dan menjadi sangat tidak praktis di lapangan (Astrand and Rodahl, 1986). Untuk subjek bergerak hal ini tidak bisa dilakukan. Metode ini sangat populer di bidang kesehatan, untuk evaluasi penderita di ruang bangsal/perawatan.

e) Metode dengan EKG Tanpa Kabel

Metode tersebut dengan menggunakan alat sensor yang dipasang di dada, lalu secara telemetri rekaman dapat diterima oleh penerima dan langsung digambar listrik jantungnya. Kembali hasil dapat dihitung. Dengan alat tersebut subjek yang sedang bergerak aktif dapat dimonitor dari jauh tanpa mengintervensi gerakan yang sedang dilakukan (Andersen, 1978).

f) Metode dengan Sport tester

Metode tersebut mengunakan alat perekam yang dipasang di dada, kemudian hasil rekaman seluruh denyut jantung dapat ditampilkan pada layar monitor komputer (Andersen, 1978). Hasil direkam ini akan diproses secara komputer, seperti: dapat ditampilkan dalam bentuk grafik atau perhitungan statistik lainnya. Di samping itu

(14)

14 dengan cara ini dapat dihitung denyut jantung pada saat tertentu, misalnya jam kerja ke-3. Cuma metode ini sebaiknya disertai dengan time and motion study (Wilson and Corlett, 1990), untuk dapat menjelaskan seandainya terjadi perubahan atau lonjakkan denyut jantung yang mencurigakan.

Data denyut nadi yang perlu diketahui terkait dengan beban kerja adalah:

1) Denyut nadi istirahat atau denyut nadi pada waktu tidak bekerja. Disebut sebagai denyut nadi istirahat, karena pengukuran dilakukan pada subjek dalam keadaan istirahat. Pada orang dewasa normal, denyut nadi saat istirahat berkisar antara 60 - 80 denyut setiap menit. Dalam suatu penelitian yang memakai denyut nadi sebagai salah satu indikator beban kerja, maka denyut nadi istirahat dianggap sebagai kondisi yang menggambarkan kondisi awal subjek (Adiputra, 2002). Denyut nadi istirahat dihitung berdasarkan denyut nadi radialis di pergelangan tangan kiri dengan metode sepuluh denyut. Metode pengukuran dilakukan tiga kali berturut-turut dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang lebih konstan. Subjek yang akan diukur diusahakan dalam keadaan tenang. Pada saat dilakukan

palpasi, posisi subjek boleh duduk, berdiri atau dalam posisi terlentang (Andersen,

1978; Adiputra, 2002).

2) Denyut nadi kerja (nadi saat kerja fisik) yaitu denyut nadi yang diukur pada saat subjek sedang melaksanakan pekerjaan. Kecepatan denyut nadi yang terjadi saat bekerja adalah sebagai akibat dari kecepatan dari metabolisme dalam tubuh (Grandjean, 1988; Adiputra, 2002). Penghitungan denyut nadi kerja dilaksanakan selama kerja, apabila alat pengukur memungkinkan, jika tidak, maka penghitungan dapat dilakukan setiap lima menit, tiga puluh menit atau bahkan setiap satu jam sejak mulai kerja sampai akhir kerja, tergantung dari jenis pekerjaan yang dilakukan. Pengukuran dengan menggunakan metode sepuluh denyut (ten pulses method) (stopwatch ditekan start saat denyutan satu dan ditekan stop pada denyutan ke sebelas) dapat dilakukan selama bekerja atau pada akhir bekerja selama 30 detik dan hasilnya dikalikan dua dan metode ini lazim dipakai untuk menggambarkan denyut nadi kerja. (Astrand and Rodahl,1986; Adiputra, 2002). 3) Denyut nadi pemulihan atau recovery heart rate yaitu denyut nadi yang dialami saat

pekerja selesai melaksanakan pekerjaannya. Beban kerja yang diterima pekerja saat bekerja dapat pula diketahui dengan mengukur denyut nadi pemulihan. Ketika mulai berhenti bekerja, maka saat itu denyut nadi akan mulai mengalami penurunan denyut nadinya sampai kembali ke kondisi awal (sebelum bekerja) kondisi denyut nadi tersebut disebut nadi pemulihan (Grandjean, 1988; Adiputra, 2002). Denyut nadi pemulihan biasanya diukur satu menit setelah pekerjaan dihentikan, kemudian dilanjutkan lagi pada menit kedua, ketiga, keempat dan kelima, masing-masing dihitung berdasarkan denyut nadi radialis dipergelangan tangan kiri dalam 30 detik dan hasilnya dikalikan dua yang dilakukan setelah selesai bekerja. Denyut nadi pemulihan memberikan fakta tentang perubahan metabolisme tubuh dari keadaan aktif ke kondisi istirahat (Kilbom, 1990; Adiputra, 2002)

Cara lain untuk mengetahui external load adalah dengan metode Brouha (Kilbom, 1990; Intaranont dan Vanwonterghem, 1993) yang dilaksanakan dengan cara mengukur denyut nadi istirahat dan denyut nadi pemulihan yang diukur sesaat setelah selesai bekerja

(15)

15 sebanyak lima kali (P1, P2, P3, P4 dan P5) dan masing-masing diukur dalam 30 detik dan hasilnya dikalikan dua, dengan cara ini dapat diketahui pengaruh lingkungan terhadap tubuh dan simpanan panas dalam tubuh (Adiputra,1998):

a) extra cardiac pulse due to metabolism (ECPM);

b) extra cardiac pulse due to heat transfer to periphery (ECPT) dengan rumus sebagai berikut:

) 2 ..( ... ... ... ... ... ... ... ... 0 3 5 4 3 P P P P ECPT    

 

...(3) 3 5 4 3 3 2 1 P P P P P P ECPM       di mana:

P0 = denyut nadi istirahat;

P1 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-1 pada pemulihan P2 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-2 pada pemulihan P3 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-3 pada pemulihan P4 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-4 pada pemulihan P5 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-5 pada pemulihan Dari hasil perhitungan dengan rumus tersebut dapat diketahui:

a) ECPT=ECPM, maka berarti bahwa panas oleh faktor lingkungan memberikan efek yang sama dengan panas oleh karena proses metabolisme yang dihasilkan oleh panas tubuh;

b) ECPT >ECPM, maka berarti ada external load dari lingkungan kepada tubuh; c) ECPM >ECPT, maka berarti memang proses metabolisme karena otot-otot aktif

yang lebih dominan.

Gambar 4: Indeks WBGT Dengan mengetahui nilai yang didapatkan dan membandingkan dengan pedoman di atas, maka dapat diketahui ke arah mana upaya-upaya perbaikan akan dilaksanakan. Sedangkan peningkatan denyut nadi istirahat ke denyut nadi kerja yang diijinkan menurut Grandjean (1988) agar tercapainya kerja yang bisa berlangsung 8 jam berkesinambungan adalah 35 denyut/menit (denyut nadi istirahat dihitung pada saat duduk), sedangkan kalau denyut nadi istirahat dihitung pada saat berdiri peningkatan yang diijinkan adalah 30 denyut/menit.

Selain itu berdasarkan denyut nadi pemulihan dapat pula diketahui beban kerja selama melakukan pekerjaan antara lain:

1) penumpukan beban kerja berat dari hari kehari dalam waktu yang lama, sehingga denyut jantung pemulihan lama tidak mencapai nilai istirahat. (Adiputra, 1998); 2) dengan mempergunakan metode Brouha (Wilson dan Corlet, 1990) denyut nadi

pemulihan yang dihitung sebanyak tiga kali (P1, P2 dan P3) dapat pula diketahui hal-hal sebagai berikut:

(16)

16 a) jika P1 - P3 > 10, dan jika P1, P2 dan P3 semuanya berada di bawah 90, maka

nadi pemulihan adalah normal;

b) jika rerata P1 selama pengukuran < 110, dan P1 - P3 > 10, beban kerja tidak berlebihan;

c) jika P1 - P3 < 10, dan jika P3 > 90, berarti beban kerja berlebihan.

Beban kerja dapat pula dinilai dengan menghitung cardiovascular load (%CVL) dengan klasifikasi Vanwonterghem yang berdasarkan pada peningkatan denyut nadi kerja dibandingkan dengan denyut nadi maksimum (220-umur) (Intaranont dan Vanwonterghem, 1993), dengan rumus sebagai berikut:

max8

...(4) 100 % HRr H Hr HRr HRW x CVL   

HRW = rata-rata denyut nadi kerja HRr = denyut nadi istirahat

Hr max 8H = denyut nadi maksimal yang diperbolehkan untuk 8 jam kerja {1/3.

(220-umur)}

Sedangkan untuk mengetahui beban kerja dipergunakan pedoman sebagai berikut: 00 - < 30%, tidak terdapat kelelahan dan tidak diperlukan tindakan tertentu (no particular

fatigue, no action requred. 30 - < 60%, perlu mendapat perhatian dan diperlukan

penghitungan terhadap lingkungan (attention level, improvement measurements advised). 60 - < 80%, perlu tindakan tertentu dalam kurun waktu tertentu (actions required on short term). 80 - < 100%, perlu tindakan segera (immediate actions required). > 100%, pekerjaan tidak diperkenankan (no activity allowed)

Untuk memonitor external load yang bersumber dari suhu lingkungan dapat pula dihitung dengan mempergunakan WBGT index (Wet Bulb Globe Temperature), yang aslinya diperkenalkan oleh Yaglou dan Minard tahun 1957 (Crokford, 1981). Kemudian ISO 7243-1982 merekomendasikan bahwa, nilai WBGT dapat dihitung berdasarkan indeks panas dasar baik di luar di bawah sinar matahari maupun di dalam ruangan, dengan formula sebagai berikut(Persons, 1990; Intaranont dan Vanwonterghem, 1993) :

WBGToutdoor : 0,7 WB + 0,2 GT + 0,1 DB ...( 5) atau :

WBGTindoor : 0,7 WB + 0,3 GT ...( 6)

Dimana :

WB : suhu bola basah (natural wet bulb temperature)

GT : suhu bola hitam (black globe temperature)

DB : suhu bola kering (dry bulb temperature of ambient)

Metode pengukuran nilai WB, GT, dan DB dilakukan dengan sebuah peralatan khusus yang dikenal dengan black globe yang dilengkapi dengan tiga sensor pembacaan secara otomatis yaitu dry thermometer, wet thermometer dan globe temperature. DB atau dry-bulb

(17)

17

temperature diukur dengan sebuah dry thermometer yang diletakkan di dalam sebuah black globe untuk mengetahui temperatur udara dan radiasi. WB atau wet bulb temperature diukur

dengan wet thermometer yang dilengkapi dengan sumbu basah untuk merespon kelembaban udara dan pergerakan udara. Sedangkan GT atau globe temperature dapat dibaca dari termometer yang ada di pusat lapisan hitam dengan diameter 15 cm. Indeks ideal untuk para pekerja berat di lingkungan panas yang direkomendasikan oleh World Health

Organization (WHO) tidak boleh melebihi 38°C (100,4°F).

Dari hasil perhitungan tersebut, dengan berpedoman pada indek WBGT dapat diketahui upaya-upaya yang harus dilaksanakan untuk tercapainya suatu kerja yang berkesinambungan selama 8 jam. Gambar 4 berikut memperlihatkan tabel dari indek

WBGT : dan periode istirahat.

(Sumber: Crockford,1981)

Gambar 4: Indeks WBGT dan periode istirahat (Sumber: Crockford (1981)

b. Metode Pengukuran Antropometri

Antropometri merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain alat-alat kerja atau tempat kerja, sebagai upaya untuk memperoleh kondisi kerja yang enase (efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien) dan produktivitas kerja yang maksimal (Suma’mur,1995), Antropometri adalah cabang dari ilmu ergonomi yang berkaitan dengan ukuran dimensi dan karakteristik tertentu dari tubuh manusia, seperti volume, titik berat, dimensi dan massa (Cormick dan Sanders,1993). Antropometri merupakan sistem pengukuran sifat fisik tubuh manusia, terutama mengenai dimensi ukuran dan bentuk tubuh manusia (Bhattacharjee dan McGlothlin, 1996). Merupakan

(18)

18 ukuran dan proporsi tubuh manusia yang mempunyai manfaat praktis untuk menentukan ukuran tempat duduk, meja kerja, jangkauan, genggaman, ruang gerak dan batas-batas gerakan sendi dan sebagainya (Penero, and Zelnik, 1979).

Pemanfaatan data antropometri memungkinkan para perancang untuk mengakomodasi kebutuhan yang diinginkan dari populasi potensial. Sumber perbedaan antropometri dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu : (1) umur ; (2) jenis kelamin ; (3) etnis ; (4) lingkungan geografi ; (5) tingkat sosial ; dan (6) jenis pekerjaan. Perbedaan antropometri akan berpengaruh terhadap nilai rata-rata dan standar deviasi, yang akan membedakan nilai persentil. Dimensi tubuh pria memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan wanita, misalkan panjang lengan dan kaki, panjang dan besar tangan. Akan tetapi untuk ukuran pinggul wanita memiliki ukuran yang lebih besar. Orang-orang Eropa dan Amerika memiliki ukuran tubuh lebih tinggi. Orang Afrika memiliki bentuk kaki yang lebih panjang. Sedangkan orang-orang timur memiliki ukuran kaki yang lebih pendek.

Dimensi tubuh manusia yang beranekaragam dapat digunakan sebagai bahan untuk melakukan penelitian, dengan fungsi perhitungan diketahui sebagai distribusi normal. Johann Gauss (1777-1855), seorang ahli matematika dan psikologi Jerman memusatkan perhatiannya kepada kerusakan fisik (cacat tubuh). Sir Francis Galton (1822-1911) seorang ahli antropologi dan genetik asal Inggris mengemukakan model matematika untuk menghitung distribusi normal dan karakteristik antropometri. Ada dua parameter yang digunakan untuk menggam-barkan distribusi normal yaitu rerata dan standar deviasi. Rerata adalah nilai rata-rata dari jumlah variabel distribusi normal yang disebut juga sebagai persentil 50. Jika rerata dan standar deviasi dari variabel distribusi normal diketahui, maka nilai persentil dapat dihitung, dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Clark, 1996) :

p x X P(  p) p s x x X P x X P(  p) [(  )/ ( p )/  _   p z Z P(  p) s x x zp ( p )/ _   s z x xp p. _   ...(7) N x x

i ... ..(8) 1 (   

N x x S i ...(9) dengan : Xp : Nilai persentil ke p

(19)

19

x : Nilai rata-rata

Zp : Nilai standar normal S : Standar deviasi

Tabel 4 : Nilai standar normal (Zp) Persentil kecil Persentil 0,5 1 2,5 5 10 15 25 (p) 0,005 0,01 0,025 0,05 0,1 0,15 0,25 Zp -2,575 -2,327 -1,96 -1,645 -1,282 -0,675 Persentil besar Persentil 75 85 90 95 97,5 99 99,5 (p) 0,75 0,85 0,9 0,95 0,975 0,99 0,995 Zp 0,675 1,282 1,645 1,96 2,327 2,575

Alat yang digunakan untuk mengukur disebut anthropometer, seperti Gambar 5:

Gambar 5: Foto Anthropometer Merk Toyota, Buatan Jepang

Secara sederhana ada beberapa data antropometri yang perlu diukur untuk memperoleh kesuaian dengan peralatan yang digunakan (Sutajaya, 2006) seperti:

1) Tinggi siku. Ketentuan yang harus diperhatikan dalam pengukuran tinggi siku adalah: a) Diukur dari tempat berpijak sampai tepi bawah siku (lihat Gambar 6).

b) Ukuran standarnya (pada persentil 5) adalah untuk pria 104,9 cm dan untuk wanita 98,0 cm.

(20)

20 d) Jika tidak sesuai antara tinggi bidang kerja dengan tinggi siku maka lengan akan terangkat (terlalu tinggi), punggung akan membungkuk (jika terlalu rendah), presisi atau power tidak terpenuhi.

e) Cara mengukur tinggi siku seperti Gambar 6

Menurut Grandjean (1998) bahwa dalam upaya merancang peralatan untuk pekerjaan yang tergolong halus dan memerlukan ketelitian, maka tinggi bidang kerja antara 5-10 cm di atas tinggi siku. Sedangkan untuk pekerjaan manual menggunakan tangan, maka tinggi bidang kerja disarankan antara 10-15 cm di bawah siku, dan untuk pekerjaan yang menggunakan berat badan untuk menekan, maka diperlukan bidang kerja antara 15 - 40 cm lebih rendah dari tinggi siku berdiri.

(Sumber: Sutjana dan Sutajaya. 2000)

Gambar 5. Cara Mengukur Antropometri dalam Posisi Berdiri

Gambar 6 Cara Mengukur Tinggi Siku Gambar 7 Cara Mengukur Jangkauan ke Depan (Sumber: Sutjana dan Susila. 1997)

(21)

21 2) Jangkauan ke depan, ketentuan yang harus diperhatikan dalam pengukuran jangkauan

ke depan adalah:

a) Diukur dari belakang punggung sampai titik tengah tongkat yang dipegang (lihat Gambar 5).

b) Ukuran standar (pada persentil 5) adalah: untuk pria 75,4 cm dan wanita 67,6 cm. c) Dimanfaatkan untuk menentukan jarak penempatan alat, bahan dan kontrol yang

ada di depan tubuh.

d) Jika penempatan alat/ bahan/kontrol tidak sesuai dengan jangkauan ke depan, maka akan terjadi sikap kerja yang tidak alamiah.

e) Cara mengukur jangkauan ke depan seperti Gambar 7.

Selain itu, untuk keperluan pengukuran alat yang digunakan dengan cara digenggam (handtool) berupa pegangan (grip), maka dibutuhkan data antropometri tangan dengan persentil 5 dan cara mengukur antropometri tangan yang sering dimanfaatkan dalam mendesain peralatan kerja dan keperluan lain. (lihat Gambar 8). Terkait dengan peralatan yang mamakai handel, Dul and Weerdmeester (1993), memberi syarat untuk mencapai kenyamanan dalam pemakaiannya, maka pegangan atau handel peralatan agar dirancang berdiameter 3 cm dengan panjang 10 cm.

(Sumber: Sutjana dan Sutajaya, 2000) Gambar 8 Cara Mengukur Antropometri Tangan

Dalam melakukan suatu perancangan maka diperlukan kreteria metode antropometri agar produk yang dibuat sesuai dengan fungsinya.

Kriteria antropometri yang digunakan dalam perancangan terdiri dari 3 kategori, yaitu clerance, reach dan posture.

1) clearence dimensions (dimensi ruang) yaitu area minimum yang diperlukan operator

untuk melakukan aktivitas kerja pada tempat kerja (ditentukan dari orang terbesar dalam populasi pengguna). Dalam hal ini digunakan nilai standar normal (Zp) dengan persentil besar yaitu persentil 90 sampai dengan 99 ;

2) reach dimensions (dimensi jangkauan) yaitu area maksimum yang dapat dilakukan

(22)

22 dalam populasi pengguna). Dalam hal ini digunakan nilai standar normal (Zp) dengan persentil kecil yaitu persentil 1 sampai dengan 10 ; dan

3) posture merupakan hal yang cukup rumit misalkan meja kerja yang terlalu tinggi

tidak diinginkan oleh pekerja yang terlalu rendah. Dalam kondisi ini solusinya adalah merancang stasiun kerja yang dapat disesuaikan (adjustable). Atau merancang peralatan tunggal dengan cara kompromi para pengguna yaitu jika pengguna banyak yang posture nya tinggi maka dibuat perancangan yang tinggi begitu juga sebaliknya.

c. Metode Pengukuran Berat dan Tinggi Badan

Berat badan atau body weight adalah bobot tubuh seseorang atau seorang subjek penelitian yang diukur dengan timbangan badan , seperti timbangan badan merk Detecto

Medical Scale, model 439 buatan Amerika dengan ketelitian 0,2 kg (lihat Gambar 9).

Sedangkan tinggi badan atau body height adalah ukuran tinggi tubuh seseorang yang diukur pada posisi berdiri tegak dengan antropometer tegak lurus dari lantai sampai ubun-ubun atau vertex.

Cara mengukur berat badan adalah dengan menyuruh seorang subjek penelitian berdiri pada bidang (daun) timbangan tanpa alas kaki dan tanpa membawa sesuatu. Geser batu timbangan yang terdapat pada mistar timbangan sambil memperhatikan ujung mistar sampai satu titik dengan ujung penunjuk. Kemudian baca angka dalam satuan kg yang ditunjukkan oleh batu timbangan pada mistar tersebut.

Gambar 9: Timbangan Badan Merk Detecto Medical Scale, Model 439 Buatan Amerika dengan ketelitian 0,2 kg

Sedangkan cara mengukur tinggi badan adalah dengan menyuruh seorang subjek penelitian untuk berdiri tegak dengan sikap bersiap, pandangan lurus ke depan. Usahakan tumit, pantat, punggung dan kepala bagian belakang menyentuh tembok atau pada posisi segaris. Diukur dari lantai kemudian seku-siku digerakkan sampai menyentuh vertex (Sutjana dan Susila, 1997) (lihat Gambar 10)

(23)

23 Gambar 10: Cara Mengukur Tinggi Badan atau Body Height

dengan Antropometer Tegak Lurus dari Lantai Sampai Ubun-Ubun atau Vertex. Data pengukuran berat dan tinggi badan para pekerja bermanfaat untuk mengetahui ukuran badan yang ideal. Sebab dengan perbandingan antara berat dan tinggi badan yang ideal dapat dipakai sebagai salah satu indikator kesehatan tubuh dan memungkinkan pekerja akan dapat bekerja lebih optimal. Sebaliknya perbandingan yang tidak ideal (dengan asumsi berat badan melebihi daya topang tubuh) dapat menimbulkan keluhan muskuloskeletal, seperti: rasa nyeri atau sakit pada pinggang, lutut, atau pada pergelangan kaki. Berat badan yang ideal dapat dihitung dengan rumus: tinggi badan - 100 ± (hasil pengurangan × 10%) (Aryatmo, 1981).

d. Metode Pengukuran Tekanan Darah

Tekanan darah merupakan tenaga yang dipompakan dari jantung untuk melawan tahanan pembuluh darah atau sejumlah tenaga yang dibutuhkan untuk mengedarkan darah ke seluruh tubuh. Sepanjang hari, tekanan darah akan berubah-ubah tergantung dari aktivitas tubuh (Hartati, 2004). Dalam pengukuran tekanan darah dikenal dua jenis tekanan darah: (1) tekanan darah sistol, yaitu tekanan tertinggi yang terjadi saat ventrikel berkontraksi dan (2) tekanan darah diasto, yaitu tekanan terendah yang terjadi saat jantung berada dalam fase relaksasi. Menurut World Health Organization (WHO), bahwa tekanan darah dalam keadaan normal, jika tekanan darah systolic kurang atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolic kurang atau sama dengan 90 mmHg. (Depkes RI, 2007). Di kalangan medis alat yang digunakan untuk mengukur tekanan darah disebut

Sphygmomanometer, sedangkan di masyarakat lazim disebut dengan tensimeter (lihat Gambar

11). Alat ini digunakan untuk mengukur tekanan darah pada pembuluh arteri perifer. Cara pengukuran tekanan darah adalah dengan menggunakan Sphygmomano-meter pada lengan atas dan selangnya dipasang tepat pada pembuluh arteri, selain itu, juga dipasang stethoscope pada pangkal siku bagian dalam. Kemudian dipompa sampai pada tekanan 150 mmHg dan selanjutnya diturunkan secara perlahan sambil memdengarkan bunyi detakan pada stethoscope. Bunyi detakan atau 'dug' yang pertama kali terdengar adalah merupakan tanda tekanan darah systolic dan dari sini terus akan terdengar bunyi 'dug' yang semakin melemah sampai hilang. Tepat pada saat bunyi 'dug' menghilang adalah tanda dari tekanan darah diastolic. Pengukuran dilakukan 2 kali berturut-turut dengan interval 2 menit. Apabila terdapat selisih tekanan darah >10 mmHg pada peng-ukuran ke 1 dan ke 2 baik pada systolic dan atau pada diastolic, kembali perlu dilakukan

(24)

24 pengukuran ke 3 (Hartati, 2004).Pengukuran dilakukan dengan posisi duduk, setelah orang coba beristirahat sedikitnya 10 menit.

Gambar 11: Sphygmomanometer atau Tensimeter Alat Pengukur Tekanan Darah

e. Metode Pengukuran Suhu Kering, Suhu Basah, Kelembaban Relatif dan Gerakan Udara

Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan angin atau gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaannya. Suhu kering (dry bulb temperature) adalah suhu yang ditunjukkan oleh thermometer suhu kering, sedangkan suhu basah alami (nature wet bulb

temperature) adalah suhu yang ditunjukkan oleh termometer bola basah alami ( Idris, 1999)

Kelembaban udara relatif adalah perbandingan jumlah uap air dalam udara (kelembaban absolut) dengan jumlah uap air maksimum yang dapat dikandung oleh udara tersebut dalam suhu udara pada saat dan tempat yang sama.Untuk mengukur kelembaban relatif dapat dilakukan dengan mengkonversikan hasil pengukuran suhu basah dan kering pada Psychometric Chart (lihat Tabel 5) dan hasilnya dalam prosentase (%) kelembanan (Manuaba, 1998).

Kecepatan angin dalam ruang kerja adalah gerakan udara atau hembusan angin yang dirasakan pekerja saat melakukan aktivitasnya dalam ruangan kerja. Gerakan udara juga memberi pengaruh kepada suhu dalam suatu ruangan. Terkait dengan hal tersebut, agar gerakan udara tersebut tidak menimbulkan dampak buruk terhadap para pekerja, maka dianjurkan gerakan udara di dalam ruangan tidak lebih dari 0,2 m/detik (Manuaba, 1998; Grandjean, 1998).

Untuk mengetahui suhu basah dan kering pada ruang kerja, diukur dengan menggunakan alat sling thermometer (lihat Gambar 12). Pengukuran dilakukan pada lima titik, yaitu di tiap pojok dan di pusat ruang dapur dan dilaksanakan pada rentang waktu tertentu, dengan maksud untuk mendapatkan suhu awal kerja dan suhu paling ekstrim hari tersebut. Cara mengukur suhu basah dan kering dengan menggunakan sling

thermometer dilakukan dengan:

a) membasahi salah satu thermometer yang terdapat pada sling themometer (pada bagian ujungnya).

(25)

25 c) membaca suhu kering pada themometer yang ujungnya tidak dibasahi dan suhu

basah pada thermometer yang ujungnya dibasahi.

Pengukuran kelembaban relatif dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi lingkungan antara sebelun dan sesudah perlakuan. Jika melalui perhitungan statistik terdapat perbedaan yang bermakna, berarti suhu lingkungan akan berpengaruh terhadap hasil intervensi yang diberikan, sebab kondisi udara yang panas dan lembab akan berpengaruh kepada kenyamanan pekerja dalam ruang kerja, merugikan pekerja, baik dari segi kesehatan fisik maupun mental. Kondisi tersebut dapat menyebabkan keringat tidak dapat berevaporasi, kulit tubuh tetap basah, dan panas tubuh meningkat. Terkait dengan hal ini, Grandjean (1998) memberikan batas suhu tinggi sebesar 35-400C kelembaban 40-50%; perbedaan suhu permukaan < 40C.

Gambar 12: Foto sling Thermometer Alat Pengukur suhu Basah dan Kering.

Tabel 5: Psychometric Chart

Sedangkan Panduan umum untuk pengukuran lingkungan dingin hampir sama dengan penilaian lingkungan panas. Penilaian dilakukan dengan menghitung indeks udara dingin yang dikenal dengan Wind Chill Index (WCI).

a t -V)(33 -10/45 (V (10 WCI  ...(10)

(26)

26 Di mana V adalah kecepatan udara (m/detik) dan ta adalah suhu udara (oC). Beberapa nilai WCI dan pengaruhnya seperti pada Tabel 6 berikut :

Tabel 6 : Nilai WCI dan pengaruhnya

No Nilai WCI Pengaruh

1 2 3 4 5 6 200 400 1000 1200 1400 2500 Nyaman Agak dingin/sejuk Dingin Dingin sekali Sangat dingin sekali Tidak tertahankan

Dalam kondisi seperti tersebut, maka pakaian menjadi sangat penting dalam lingkungan dingin untuk mengurangi pengaruh kesehatan dan performansi lingkungan kerja. Suhu lingkungan antara 20 - 25°C akan dapat mempertahankan performasi dan kenyamanan. Sedangkan suhu lingkungan dibawah 15°C akan terasa tidak nyaman. Disamping itu performansi akan sangat tergantung pada lama waktu tugas yang dijalankan.

Kecepatan angin diukur dengan menggunakan alat yang disebut animometer. Seperti anemometer digital merk Lutron AM 4201 (lihat Gambar 13). Cara penggunaannya dalam ruangan sebagai berikut:

a) Menggeser tombol sakelar pada posisi on.

b) Menghadapkan baling-baling animometer atau sensor head berlawanan dengan aliran angin yang masuk ke dalam ruangan dapur selama lima menit.

c) Kemudian membaca hasilnya pada display.

Gambar 13: Foto Anemometer digital merk Lutron AM 4201, Alat Pengukur Kecepatan Angin

f. Metode Pengukuran Produktivitas

Pada prinsipnya peranan implementasi ergonomi dalam berbagai bidang adalah bertujuan untuk mengeleminir dampak buruk yang ditimbulkan akibat kerja dan menciptakan suasana kerja yang enase (efektif, nyaman, aman, sehat, dan efisien) dan berimplikasi pada peningkatan produktivitas (Manuaba, 20041). Menurut Ravianto (dalam

(27)

27 Revida, 2004) bahwa produktivitas dapat diketahui dengan pendekatan multidisiplin yang secara efektif merumuskan tujuan dan pelaksanaan (operasional) dengan menggunakan sumber daya secara efisien namun tetap menjaga kualitas. Pengertian produktivitas berkaitan erat dengan sistem produksi yaitu sistem pengelolaan dengan cara yang terorganisir mengenai tenaga kerja, modal atau kapital berupa mesin, peralatan kerja, bahan baku, bangunan, untuk mewujudkan barang atau jasa secara efektif dan efisien.

Cara mengukur produktivitas (P) adalah dengan membandingkan jumlah masukan (M) dan hasil yang diperoleh sebagai luaran (L) serta banyaknya waktu (W) yang diperlukan dalam satu siklus kerja antara sebelum dengan sesudah diberi perlakuan. Jadi dapat dihitung dengan:

Rumus: ...(11)

dimana:

P = Produktivitas L = Luaran

W = Waktu

2.2 Tahap Treatment Dalam Penelitian Ergonomi

Treatment adalah upaya perbaikan dalam bentuk intervensi ergonomi yang

bertujuan untuk memperoleh solusi atau pemecahan masalah kerja yang paling optimal, sehingga dapat meningkatkan kualitas keja dan produktivitas yang setinggi-tingginya (Manuaba, 2003). Pemecahan masalah ergonomi melalui pemberian intervensi sangat tergantung pada data dasar yang diperoleh pada tahap diagnosis. Aplikasi dari data yang terkumpul sebagai acuan untuk perbaikan atau pengembangan perancangan sistem kerja. Di sini data harus disintesis ke dalam konsep perancangan, prototipe perancangan akhir secara ergonomi. Metode akan men-terjemahkan data dasar tentang manusia ke dalam kriteria dan informasi lain yang digunakan dalam perancangan tugas dan juga proses perbaikan atau pengembangannya. Treatment dalam bentuk intervensi ergonomi yang diimplementasikan dalam perbaikan desain sistem kerja, organisasi dan lingkungan tidak selalu rumit dan canggih, namun kadang perlakuan berupa tindakan yang sangat sederhana, seperti mengubah posisi tempat duduk, memberi bantalan pada alat yang digunakan dan sebagainya (Depkes RI. 2006).

Selain hal tersebut, mengingat dalam pemecahan masalah dalam suatu sistem kerja berbasis ergonomi dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga dalam upaya pemecahan masalah dengan pemberian perlakuan tidak dapat dipecahkan secara parsial, namun solusi yang diberikan harus secara komprehensif dengan memperhi-tungkan sebanyak mungkin faktor-faktor atau variabel-variabel yang terkait dan berpengaruh. Hal ini sesuai dengan pendapat Marras dan Allread (2004) dan OSHA (2004) bahwa masalah-masalah ergonomi hanya dapat dipecahkan bila semua aspek yang terkait turut diperhitungkan. Salah satu metode yang memungkinkan untuk memecahkan permasalahan tersebut

(28)

28 adalah dengan strategi gabungan atau strategi triangulasi, yaitu merupakan multi metode yang tepadu digunakan dalam penelitian (Axelsson, 2000.; Wilson, 1990).

Menurut Wilson and Corlett (1990) strategi triangulasi adalah penggunaan dua atau lebih metode untuk memperbaiki efisiensi, kelengkapan dan wawasan dalam studi. Dengan penerapan strategi triangulasi memungkinkan kelemahan yang ada dalam suatu metode yang diterapkan dapat dilengkapi dengan metode lainnya. Suatu studi dengan menggunakan triangulasi metode dapat dilakukan dengan menggunakan campuran dari teknik-teknik atau metode-metode penelitian kualitatif, kuantitatif, lapangan, laboratorium. Meurut Axelsson (2000) bahwa dengan melakukan strategi triangulasi, cara pandang dapat lebih diperluas, sehingga mencakup: (1) triangulasi data (data triangulation) (menggunakan banyak sumber informasi atau data) sebagai acuan dalam penentuan intervensi ergonomi yang optimal. Data yang dimaksud seperti telah dipaparkan pada tahap diagnosis, (2) triangulasi peneliti atau penyelidik (investigator triangulation) (berdasarkan riset pendukung), yaitu penggunaan temuan-temuan terkait dari peneliti lain dan mendukung penelitian utama dengan tujuan untuk memperluas perspektif dalam pemecahan masalah. (3) triangulasi teori (theory triangulation) (menerapkan beragam cara pandang) dan (4) triangualasi metode (method triangulation) (mengunakan multi metode).Penggunaan metode penelitian yang terpadu akan meningkatkan validitas dan reliabilitas yang disimpulkan dan digeneralisasikan menjadi lebih optimal Metode yang dipilih harus sesuai dengan hipotesis yang akan dijawab dalam penelitian. Penyeleksian dan menguji penelitian dari beberapa sudut yang mencakup sejumlah cara yang berbeda, dan dapat digambarkan seperti pada Gambar 14.

Gambar 14: Strategi Triangulasi (Axelsson, 2000)

a) Treatment Pada Penelitian Berbasis Ergonomi Makro

Berdasarkan pada strategi triangulasi yang dikemukakan Axelsson (2000), maka hal ini sangat relevan diterapkan dalam penentuan perlakuan pada penelitian ergonomi, seperti dalam penelitian-penelitian yang berbasis ergonomi makro. Hal ini mengingat ergonomi makro ditinjau dari sejarah merupakan sub displin dari human faktor atau ergonomi, juga merupakan pengetahuan impiris bersumber dari penelitian sistem sosioteknologi tradisional sampai penelitian laboratoriun modern tentang hubungan antara teknologi, personal, organisasi, design,variabel lingkungan dan mengenai

(29)

29 interaksinya. Merupakan pengetahuan ilmiah yang baru mengenai sistem kerja dan desain sistem kerja. Sistematik metodelogi ergonomi makro adalah untuk analisis dan mendesain sistem kerja yang lebih baik, bersifat lebih umum sedangkan ergonomi makro lebih khusus. Ergonomi makro memberi cara pandang tentang ergonomis dengan apresiasi yang lebih luas. Suatu cara pandang yang memberi kemungkinan lebih sukses dari interversi secara ergonomi micro (Hendrick and Kleiner. 2000).

Sehubungan dengan hal tersebut ergonomi micro bertujuan memecahkan masalah melalui pendekatan yang terdiri dari empat komponen subsistem yaitu subsistem personil, subsistem teknologi, subsistem organisasi dan subsistem lingkungan. Aspek penting ergonomi makro meliputi struktur organisasi, interaksi antar manusia dalam organisasi, dan motivasi. Isu tambahan mengenai ergonomi makro bersifat psiko-sosial, seperti perancangan kerja, siklus kerja, perilaku pihak manajemen, dan keterlibatan pegawai dalam pengambilan keputusan (Hendrick and Kleiner. 2000). Oleh sebab itu dalam ergonomi makro sering diterapkan kombinasi dua atau lebih metode yang digunakan secara bersama-sama dalam analisa, intervensi dan evaluasi. Sebagai contoh: dalam implementasi pendekatan partisipatori ergonomi yang digunakan pada suatu proses intervensi ergonomi makro, dalam hal ini akan melibatkan beberapa metode, seperti metode yang digunakan:

1. dalam pelaksanaan suatu studi lapangan untuk mengamati sistem kerja yang ada dan terkait dengan ukuran pencapaian

2. dalam membuat suatu studi simulasi laboratorium tentang suatu perbaikan sistem kerja yang diusulkan kepada para pekerja.

3. dalam pelaksanaan suatu eksperimen tentang modifikasi bagian dari sistem pekerjaan dan dalam mengamati pengaruhnya

4. penggunaan metode focus group untuk mengevaluasi suatu eksperimen

5. penggunaan suatu metode kuesioner dan mensurvei setelah menerapkan re-design sistem kerja untuk memperoleh respon dari para karyawan terkait dengan perbaikan yang telah dilakukan.

Pendekatan partisipatori dalam pendekatan ergonomi makro yang mampu meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja (Imada, 1993). Demikian juga menurut Nagamachi (1993), bahwa pendekatan partisipartori dalam konteks ergonomi makro adalah keterlibatan semua pihak untuk berpartisipasi aktif dalam menerapkan ergonomi di tempat kerja. Hal ini mengingat dengan perbaikan kondisi kerja melalui ergonomi partisipatori secara tidak langsung akan berdampak juga pada peningkatan produktivitas dan kualitas produk (Gilad, 1998; Carrivick, et al, 2002). Demikian juga dari sudut pandang total quality management; adalah merupakan upaya keterlibatan dari seluruh tingkat hirarki perusahaan harus dimanfaatkan secara optimal apabila menghendaki perbaikan terus-menerus (Ibrahim,1997). Sehingga menurut Adiputra (2000), dengan penerapan ergonomi akan lebih berhasil jika didasari juga dengan penerapan asas partisipatori manajemen, karena pengalaman menunjukkan bahwa perbaikan yang dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan pekerja atau pemakainya akan tidak berkelanjutan.

b) Treatment Pada Penelitian Berbasis Ergonomi Total

Demikian juga dalam merancang intervensi sebagai perlakuan dalam upaya pemecahan masalah melalui pendekatan ergonomi total sangat memungkinkan untuk menggunakan metode campuran. Hal ini mengingat pendekatan ergonomi total

(30)

30 merupakan pendekatan konseptual yang muncul dalam upaya memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan kerja atau aktivitas lainnya yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Manuaba (20052) ergonomi total juga sebagai sisi lain dari mata uang logam Total Quality Management (TQM), yang belakangan ini menjadi pilihan manajemen untuk meningkatkan kualitas. Dalam artian, dengan melaksanakan prinsip-prinsip ergonomi sudah pasti pada saat yang sama juga akan dapat mencapai tujuan (kualitas dan kepuasan pelanggan) yang sama. Dalam penerapan pendekatan ergomomi total, permasalahan ergonomi yang ditemukan tersebut dianalisis dengan pendekatan SHIP yaitu secara: Pendekatan sistemik (systemic approach) maksudnya, permasalahan yang dijumpai di lapangan harus diselesaikan melalui pendekatan sistem, di mana semua aspek atau unsur yang terkait disusun dan dikerjakan secara sistem, sehingga dengan pendekatan ini diharapkan tidak ada masalah yang tertinggal. Pendekatan holistik (holistic approach) maksudnya, semua faktor dan sistem-sistem yang berhubungan dengan permasalahan yang terjadi, dipecahkan secara proaktif serta menyeluruh dari hulu sampai hilir. Pendekatan interdisipliner (interdisciplinary approach) adalah suatu upaya mendayagunakan seluruh disiplin ilmu yang terkait karena kompleksitas persoalan yang akan dipecahkan (termasuk masalah sosial-budaya). Dengan keterlibatan berbagai disiplin ilmu, maka simpulan yang diperoleh lebih luas dan kritis. Pendekatan partisipatori (participatory approach). Menurut Manuaba (2000) dan Michelle (2006) bahwa pendekatan ergonomi partisipatori adalah keterlibatan mental dan emosi setiap orang (pengguna dan penyelenggara) dari suatu kelompok tertentu yang mendorong mereka untuk berkontribusi dan bertanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama. Pendekatan ini semestinya dilaksanakan dari awal proses produksi dengan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh elemen yang terkait, seperti produsen dan pemakai, sehingga dapat lebih efektif dan efisien serta sesuai dengan permintaan dan kemungkinan kesalahan dapat diminimalis (Manuaba, 20042; 20052). Kemudian dalam upaya pemecahannya didasari dengan pendekatan teknologi tepat guna (TTG) melalui enam kriteria: (a) ekonomis, (b) teknis, (c) ergonomis, (d) sosial-budaya, (e) hemat energi dan (f) melindungi lingkungan (Manuaba, 19831; 20051). Penerapan ergonomi total dalam penentuan treatment dapat digambarkan seperti Gambar 15

Gambar 15. Penerapan ergonomi total dalam penentuan treatment c) Penentuan Treatmen Berdasarkan Metode Analisis Tugas

Menurut Stammers, et. al (dalam Wilson and Corlett. 1990) analisis tugas adalah metode menganalisis sistem lama agar menjadi sistem yang lebih baik. Analisis tugas

(31)

31 bertujuan untuk membantu mendapatkan informasi yang relevan untuk merancang sistem manusia-mesin yang baru atau untuk mengevaluasi rancangan sis-tem yang sudah ada. Hal ini dapat dicapai dengan menganalisis secara sistematik dari kebutuhan tugas operator dan tindak-tanduk tugas. Analisis tugas mungkin dapat di aplikasikan selama proses perancangan untuk mengevaluasi tuntutan tugas baru. Proses evaluasi selama analisis tugas di aplikasikan selama sistem beroperasi.

Pemikiran dasar proses analisis tugas dalam perancangan adalah mempelajari tugas pada sistem yang ada dan menyajikan informasi yang relevan terhadap perilaku manusia dalam sistem yang diusulkan. Perubahan yang mendasar dari perubahan sistem akan berdampak pada operator. Tidak menutup kemungkinan operator lama tidak digunakan dalam sistem baru atau operator dari sistem lama akan terlibat dalam sistem baru. Aplikasi analisis tugas dalam perancangan sistem dapat digambarkan seperti Gambar 16 berikut :

Gambar 16 : Aplikasi analisis tugas dalam perancangan sistem Sumber : (Wilson and Corlett 1990)

Terdapat 3 aplikasi analisis tugas dalam merancang sistem, antara lain :

1) analisis tugas yang digunakan untuk memperbaharui sistem yang sudah ada (gambar 2.1) ;

2) analisis tugas yang digunakan dalam beberapa sistem yang sudah ada dan saling berhubungan sehingga didapatkan informasi yang relevan untuk mendapatkan sistem baru (gambar 2.2) ; dan

Gambar

Tabel 1: Beban Yang Dilakukan Tubuh dan Waktu Pembebanan
Gambar 1: Rula (Rapid Upper Limb Assessment)  b. Metode Pengukuran Kelelahan
Gambar 2: Foto Alat Pengukur Denyut Nadi  Pulsemonitor
Gambar 4: Indeks  WBGT dan periode istirahat  (Sumber: Crockford (1981)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendapatkan penilaian responden mengenal faktor-faktor strategi internal dan strategi eksternal pengembangan yaitu dengan cara pemberian bobot terhadap seberapa besar

Diharapkan friendly smart monopoly tersebut dapat membantu anak didalam berinteraksi langsung dengan teman sebaya, berbagi pendapat mengenai aturan, bermain peran,

SK direktur S!A Anugrah tentang rah tentang Standar &#34;rosedur #perasional Standar &#34;rosedur #perasional II0 0.. maksimal seara vertikal dengan panah menunuk ke arah serum..

Perlu dijelaskan juga bahwa cara pengumpulan data dapat dikerjakan berdasarkan pengalaman sebelumnya. Pada penelitian arsitektur data yang diperoleh

Pada penelitian ini pengaruh status gizi dan defisiensi seng terhadap durasi diare akut cair pada tiap kelompok tidak dapat dianalisis karena gizi kurang pada tiap

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan banyaknya kopi bubuk dan suhu air penyeduhan yang tepat untuk dijadikan minuman kopi herbal dari kulit buah

permasalahan tersebut dalam bentuk uraian ilmiah yang berjudul “Analisis Penilaian Kredit Dan Laporan Keuangan Calon Debitur Terhadap Keputusan Pemberian Kredit Pada

[r]