i TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Magister Manajemen Rumah Sakit pada Program Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh : IRHAMI ELFAJRI
20121030023
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN RUMAH SAKIT PROGRAM PASCASARJANA
ii
EVALUASI PASCA HUNI RUANG PERAWATAN INTENSIF RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II
Telah Disetujui Pada Tanggal : Agustus 2016
Disusun oleh : Irhami Elfajri 20121030023
Dosen Pembimbing : Pembimbing I
Dr. Ir. Widodo Hariyono Amd., M.Kes. Tanggal...
Pembimbing II
iii
Akhirnya tesis dengan judul “Evaluasi Pasca Huni Ruang Perawatan Intensif RS PKU Muhmmadiyah Yogyakarta Unit II” dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan.
Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syarat
memperoleh derajat Magister Manajemen Rumah Sakit di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, selain itu juga
sebagai sarana melatih kemampuan dalam rangka mengembangkan ilmu
pengetahuan dalam bidang kedokteran dan manajemen rumah sakit.
Dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penelitian ini dapat
terselesaikan dengan baik, maka pada kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Dr. dr. Arlina Dewi, M,Kes, AAK selaku Pengelola Program Studi
Konsentrasi Magister Manajemen Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menyusun tesis ini.
2. Bapak Dr.Ir.Widodo Hariyono Amd.,Mkes dan Bapak Iswanta ST,MT
selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini yang telah sabar memberikan
arahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.
3. dr. Triandari Sumatri, dr. Siti Hardiyanti Adam, dr.Martika Intan terimakasih
atas kerjasama yang diberikan untuk sama-sama menyelesaikan tesis di RS
PKU Muhammadiyah Yogyaarta Unit II.
4. Orang tua, ayahanda alm.Suherman BA yang selalu memperhatikan
akademis anak-anaknya dan ibunda Jumiati atas doa tulus sepanjang waktu
untuk anak-anaknya, tak lupa mertua saya tercinta papa Drs.Muhamad Rasim
dan mama Titin Rochmah, A.Ma.Pd ats segala pengetiannya selama ini.
5. Suami tercinta dr.Akhmad Isna N yang selalu memotivasi dan memberikan
iv
Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang
telah menjalin tali ukhuwah dan silaturrahim dengan penulis, mohon ikhlaskan
segala khilaf dari penulis, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan kalian.
Penulis sadar bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, kritik dan
saran yang mambangun sangat diharapkan. Semoga penelitian ini dapat
bermanfaat.Aamiiin.
Yogyakarta, Agustus 2016
v
di dalam naskah Tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh
orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam
sumber kutipan dan daftarpustaka. Apabila dikemudian hari ada yang mengklaim
bahwa karya ini adalah milik orang lain dan dibenarkan secara hukum, maka saya
bersedia dituntut berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.
Yogyakarta, Agustus 2016
Yang Membuat Pernyataan,
Irhami Elfajri
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II
POST OCCUPANCY EVALUATION OF THE INTENSIVE CARE UNIT PKU MUHAMMADIYAH HOSPITAL UNIT II OF YOGYAKARTA
Irhami Elfajri1, Widodo Hariyono2,Iswanta3.
Magister Manajemen Rumah Sakit, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
1. Program Studi Manajemen Rumah Sakit, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 55183
Email: elfajri_ismail@yahoo.co.id
2. Dosen Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Gadjah Mada.
3. RSUP Dr.Sardjito
Latar Belakang: Penampilan fisik suatu rumah sakit merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan suatu rumah sakit. Penampilan fisik termasuk bangunan, penataan ruang, infrastruktur harus mendekati indikator kenyamanan. Untuk mengetahui keadaan sarana dan prasarana fisik yang saat ini ada digunakan evaluasi pasca huni.
Metode Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional, jenis data dan analisis data berupa data kualitatif dan kuantitatif. Populasi pada penelitian ini adalah pengguna internal ruang perawatan intensif. Total keseluruhan sampel sebanyak 17 orang data yang didapat 15 orang, 2 orang mengikuti pelatihan.
Hasil Penelitian: Suhu ruangan diruang perawatan intensif adalah 27,9ºC, pencahayaan 213 lux, kebisingan 49,7 db, dan kelembaban 52,1%. Hasil observasi fisik bangunan untuk aspek proses dan fungsional baik, hasil observasi prasarana ruang aspek proses buruk sedangkan aspek fungsional dan teknikal baik.
Simpulan Penelitian: Terdapat beberapa ruangan yang belum tersedia seperti ruang administrasi,ruang kepala ruangan ICU, ruang utilitas bersih, janitor, dan tanda bahaya. Tingkat kebisingan dan pencahayaan masih belum memenuhi standar. Dan ruang perawatan intensif mudah diakses dari ruangan lainnya
a hospital. The physical apperance including buildings, spatial planning, infrastructure must be approached of comfort indicators. To know the state of physical infrastructure used post occupancy evaluation.
Methods: This research is a descriptive observational study, the type of data and analysis is qualitative and quantitative data. The population in this study are the internal user intensive care unit. The total of 17 respondents, data obtained 15 people, 2 training.
Results: The temperature in intensive care unit is 27,9ºC, the lighting is 213 lux, noise is about 49,7 db, and moisture 52,1%. The results of observation of the building 's physical and functional aspects of the process well , the observation of the bad aspects of the space
infrastructure , while the functional and technical aspects well.
Conclusions: There are some rooms that have not been available as administrative space , head of ICU room , utility room clean , janitor , and alerts. The noise level and the lighting is still not meet the standards . And intensive care is easily accessible from other rooms
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penampilan fisik suatu rumah sakit merupakan hal yang sangat penting
bagi perkembangan suatu rumah sakit. Penampilan fisik termasuk bangunan,
penataan ruang, insfrakstruktur harus mendekati dengan indikator kenyamanan.
Bangunan yang indah, fungsional, efisien, dan bersih akan memberikan kesan
yang positif bagi seluruh pengguna rumah sakit, terutama pasien dan pengunjung
rumah sakit, dimana pada dasarnya akan berhubungan langsung dengan kualitas
pelayanan medik yang berlangsung. Bangunan yang baik tentunya akan
memberikan tingkat kenyamanan yang tinggi kepada pengguna fasilitas pelayanan
di rumah sakit, sehingga akan memberikan sumbangan pada proses penyembuhan
pasien yang datang ke rumah sakit tersebut ( Hatmoko,2010).
Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Salah satu
dari pelayanan rumah sakit adalah Intensive Care Unit (ICU) atau ruang
perawatan intensif. Ruang Perawatan intensif adalah ruang rawat di rumah sakit
yang dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati
pasien dengan perubahan fisiologis yang cepat memburuk yang mempunyai
intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya,
sehingga merupakan keadaan kritis yang menyebabkan kematian. Tiap pasien
kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif oleh karena memerlukan
pencatatan medis yang berkesinambungan dan monitoring serta dengan cepat
dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau akibat dari penurunan fungsi
organ-organ tubuh lainnya.
Salah satu kriteria pelayanan di rumah sakit adalah pelayanan kesehatan di
ruang perawatan intensif, sehingga dapat dikatakan kualitas pelayanan ruang
perawatan intensif merupakan salah satu ujung tombak pemberian pelayanan
kesehatan dari sebuah rumah sakit. Oleh karena itu, pelayanan ruang perawatan
intensif adalah suatu unit integral dalam suatu rumah sakit dimana pasien yang
pernah dirawat di ruang perawatan intensif akan menjadi pengaruh di mana
pengalaman besar bagi masyarakat untuk memberikan gambaran tentang
bagaimana kualitas pelayanan yang ada di rumah sakit itu sebenarnya.
Komponen pelayanan yang diberikan kepada ruang perawatan intensif
terdiri atas perlengkapan elektrikal dan mekanikal serta jenis perabotan dan
jumlah. Kualitas juga mempengaruhi terhadap kegiatan yang berlangsung di
dalam ruangan tersebut. Ada dua faktor penting, yaitu manusia sebagai pengguna
dan bangunan beserta komponen-komponennya sebagai lingkungan binaan yang
mengakomodasi kegiatan manusia.
Bangunan ruang perawatan intensif harus menyediakan sarana penerimaan
untuk penatalaksanaan pasien, hal ini merupakan bagian dari perannya dalam
pelayanan kepada pasien. Penunjang dalam pemberian pelayanan pasien ruang
perawatan intensif adalah fasilitas dan kualitas dari gedung bangunan ruang
perawatan intensif itu sendiri. Banyak rumah sakit yang mengupayakan
RS PKU Muhammadiyah Muhammadiyah Unit II merupakan
pengembangan dari RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II mulai berkembang dan menjadi salah satu
rumah sakit rujukan, pada Rumah Sakit ini belum pernah dilakukan penelitian
evaluasi pasca huni pada ruang perawatan intensif
Banyaknya pasien yang membutuhkan ruang perawatan intensif RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II tidak sebanding dengan jumlah tempat tidur
pasien yang sudah tersedia di ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Unit II. Jumlah tempat tidur yang digunakan hanya berjumlah 4
tempat tidur, padahal ruang perawatan insentif RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Unit II memiliki 10 tempat tidur. Selain itu, ventilator yang ada di
ruang perawatan intensif hanya berjumlah 1 padahal banyak pasien kritis yang
masuk ke ruang perawatan intensif yang membutuhkan alat tersebut. Dalam
jangka waktu 3 bulan terhitung dari 1 Desember 2015 sampai 29 Februari 2016
tercatat 72 orang pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.
Berfungsinya RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II menyebabkan
semakin tingginya jumlah personil yang terlibat di ruang perawatan intensif,
sehingga penempatan ruangan, sirkulasi ruangan, maupun impelementasi fungsi
ruangan harus diatur dengan baik.
Beberapa masalah yang ditemukan di ruang perawatan intensif RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II yakni :
2. Belum adanya ruang kepala IGD, dan
3. Belum adanya ruang utilitas bersih.
Aspek-aspek teknikal yang tidak diterapkan sesuai standar yang dapat
ditemukan antara lain pencahayaan yang kurang. Masalah-masalah lain mungkin
akan ditemukan sesuai berjalannya penelitian ini.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan standar dari Pedoman Teknis
Bangunan Rumah Sakit Ruang Perawatan Intensif Kementerian Kesehatan tahun
2012 tentang persyaratan teknis prasarana ruang perawatan intensif rumah sakit
yang terdiri dari umum, prasarana, instalasi mekanikal, instalasi elektrikal,
instalasi proteksi kebakaran. Dimana peneliti hanya mengambil sebagian dari
persyaratan instalasi mekanikal yaitu sistem pengkondisian udara meliputi
temperatur, kelembaban dan kebisingan. Persyaratan instalasi elektrikal yaitu
sistem pencahayaan. Beberapa parameter ini diambil karena merujuk pada
penelitian sebelumnya dan keterbatasan alat serta kemampuan peneliti.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
Bagaimana gambaran evaluasi pasca huni ruang perawatan intensif RS
PKU Muhammadiyah Gamping berdasarkan pengamatan langsung dan
berdasarkan penilaian pengguna internal tentang 3 aspek utama
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran performansi fisik dan evaluasi pasca huni
pengguna ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Unit II berdasarkan pengamatan langsung dan penilaian 3 aspek utama
evaluasi pasca huni menurut pengguna internal dibandingkan dengan
pedoman Kementerian Kesehatan RI 2012.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran evaluasi pasca huni bagi pengguna
terhadap performansi fisik di Ruang Perawatan Intensif RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II berdasarkan pencahayaan,
kebisingan, dan penghawaan.
b. Menilai aspek teknikal, fungsional, dan proses di Ruang Perawatan
Intensif RS PKU Muhammadiyah Unit II terhadap standar
Kemenkes 2012 berdasarkan penilaian pengguna internal.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan kepada manajemen
RS PKU Muhammadiyah Unit II untuk mengoptimalkan dan memperbaiki
ruang perawatan intensif agar dapat sesuai dengan standar Kemenkes
2. Bagi Ilmu Pengetahuan
Sebagai bahan kajian tentang manajemen fisik rumah sakit terutama
bagian ruang perawatan intensif.
3. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dalam hal manajemen tata ruang dan bangunan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Evaluasi Pasca Huni (Post Occupancy Evaluation)
Fasilitas kesehatan sekarang ini berada dalam tahap penghunian dan
pemanfaatan, karena itu dibutuhkan evaluasi terhadap segala fasilitas yang ada di
dalamnya, yang di sebut dengan Evaluasi Pasca Huni (Post Occupancy
Evaluation).
Evaluasi Pasca Huni (EPH) adalah proses evaluasi terhadap bangunan
dengan cara sistematis dan teliti setelah bangunan selesai dibangun dan telah
dipakai untuk beberapa waktu. Fokus EPH adalah pemakai dan kebutuhan
pemakai, sehingga mereka memberikan pengetahuan mengenai akibat dari
keputusan-keputusan desain masa lalu dan dari hasil kinerja bangunan.
Pengetahuan ini mejadi sebuah dasar yang baik untuk menciptakan bangunan
yang lebih baik di masa depan.
Evaluasi Pasca Huni (EPH) adalah kegiatan dalam rangka penilaian
tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan
kepada penghuni, terutama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Kegiatan
EPH dilakukan untuk menilai tingkat kesesuaian antara bangunan dan lingkungan
binaan dengan nilai – nilai dan kebutuhan penghuni bangunan, disamping itu juga
untuk memberikan masukan dalam merancang bangunan yang mempunyai fungsi
jangka panjang serta memberikan dukungan untuk meningkatkan kepuasan
penghuni atas bangunan dan lingkungan binaan yang dihuni (Suryadhi, 2005).
Menurut Preiser (1998) Evaluasi Pasca Huni (EPH) didefinisikan sebagai
pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan
kepuasan dan dukungan kepada pemakai, terutama nilai – nilai dan kebutuhannya.
Penggunaan EPH adalah untuk menilai tingkat kesesuaian antara
bangunan (lingkungan binaan) dengan nilai-nilai dan kebutuhan penghuni/
pemakainya dan sebagai masukan dalam merancang bangunan dengan fungsi
yang sama.
Sebuah rumah sakit sangat berpengaruh dengan keadaan dan fungsi dari
prasarana dan sarananya, terlebih pada rumah sakit modern yang menggunakan
teknologi maju. Banyak manajemen rumah sakit yang kurang memperhatikan hal
ini. Seperti diketahui sebuah bangunan bukan hanya terdiri atas ruangan dan
pembatas- pembatasnya saja, tetapi berfungsi juga komponen lain yaitu
komponen servis. Komponen servis ini terdiri atas perlengkapan elektrikal dan
mekanikal dan perabotan yang jenis dan jumlah serta kualitasnya tergantung
dari kegiatan yang berlangsung di dalam rumah tersebut. Dengan demikian ada
2 faktor penting, yaitu manusia sebagai pengguna dan bangunan beserta
komponen-komponennya sebagai lingkungan binaan yang mengakomodasi
kegiatan manusia.
Peningkatan fungsi dan pelayanan rumah sakit merupakan fenomena
yang selalu dihadapi oleh para pengelola rumah sakit. Menurut Haryadi dan
dan pelayanan rumah sakit selalu berdasarkan keadaan sebenarnya saat ini,
untuk mencapai kondisi yang lebih baik di saat mendatang. Untuk mengetahui
keadaan sebenarnya dari prasarana dan sarana fisik saat ini perlu dilakukan
evaluasi, yaitu evaluasi pasca huni (post occupancy evaluation).
Menurut Haryadi dan Slamet (1996), Evaluasi Pasca Huni (EPH)
didefinisikan sebagai pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatu
bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada pemakai, terutama
nilai-nilai dan kebutuhannya. Evaluasi terhadap tingkat kepuasan pengguna atas
sebuah bangunan dengan mempelajari Performance (tampilan) elemen-elemen
bangunan tersebut setelah digunakan beberapa saat. Pengetahuan tentang
performansi bangunan rumah sakit merupakan dasar peningkatan fungsi dan
pelayanan rumah sakit.
Pengertian dari Evaluasi Pasca Huni adalah :
1. Merupakan sebuah proses evaluasi bangunan dalam suatu cara yang ketat
dan sistematis setelah bangunan tersebut dihuni beberapa saat.
2. Evaluasi Pasca Huni dipusatkan pada pengguna bangunan dan
kebutuhan- kebutuhannya.
3. Tujuan adalah untuk menghasilkan bangunan yang lebih baik dikemudian
hari.
4. Evaluasi merupakan penilaian performansi bangunan, secara informal
5. Kegunaan
a. Jangka pendek :
Mengidentifikasikan keberhasilan dan kegagalan bangunan.
Membuat rekomendasi untuk mengatasi masalah.
Memberi masukan untuk tahapan pembiayaan proyek
b. Jangka menengah :
Membuat keputusan bagi pengguna kembali dan pembangunan baru
Memecahkan masalah bagi bangunan yang ada.
c. Jangka Panjang
Digunakan sebagai acuan pembangunan mendatang
Mengembangkan “state of the art” bangunan dengan fungsi yang
sama.
Menurut Presier.et.al (1998) evluasi pasca huni mempunyai tiga tingkatan
yaitu:
1. Indikatif EPH
Indikasi keberhasilan dan kegagalan bangunan, dilakukan dalam waktu
yang sangat singkat (kurang lebih 3 jam). Biasanya evaluator sudah sangat
mengenal dengan objek evaluasinya. Perolehan data dapat diperoleh salah
satunya dari mempelajari dokumen (blue print), walk in through, kuesioner,
2. Investigatif EPH
Berlangsung lebih lama dan lebih kompleks, biasanya dilakukan
setelah ditemukan isu-isu (saat indukatif EPH) dikerjakan selama 2-4 minggu.
Hasil dari EPH indikatif mempengaruhi hasil – hasil identifikasi permasalahan
utama. EPH investigatif meliputi berbagai macam topik yang lebih detail dan
reliabel.
Adapun langkah – langkah utama dalam pelaksanaan EPH investigatif
identik dengan langkah – langkah dalam EPH indikatif, dimana level upaya lebih
tinggi, lebih banyak menghemat waktu di tempat dan data yang dikumpulkan
serta teknik analisa yang digunakan akan lebih sempurna. Tidak seperti EPH
indikatif, dimana kriteria bentuk bangunan yang digunakan dalam evaluasi
berdasarkan pada pengalaman dari tim evaluasi, maka EPH investigatif
menggunakan kriteria riset yang ditempatkan secara obyektif dan eksplisit.
Pembentukan kriteria evaluasi pada level investigatif melibatkan
sedikitnya dua macam kegiatan : patokan perkiraan dibandingkan dengan patokan
fasilitas serupa yang ada saat ini.
3. Diagnostik
Menggunakan metode yang lebih canggih, dengan hasil yang lebih tepat/
akurat memerlukan waktu beberapa bulan. Hasilnya merupakan evaluasi yang
menyeluruh. EPH diagnostik ini mengikuti strategi metode yang beragam,
diantaranya; kuesioner, survey dan ukuran-ukuran fisik dimana seluruh
pendekatan ini disesuaikan dengan evaluasi komparatif terhadap fasilitas –
dalam jangka waktu beberapa bulan hingga satu tahun atau lebih. Hasil-hasil dan
rekomendasinya akan berorientasi jangka panjang yang bertujuan untuk
memperbaiki tidak hanya pada fasilitas utama, tetapi juga dalam patokan tipe
bangunan yang diberikan. Metodologi yang digunakan sangat mirip dengan
metode tradisional dimana riset ini memfokuskan pada penggunaan paradigma
ilmiah.
EPH diagnostik umumnya merupakan proyek berskala besar, dengan
melibatkan berbagai macam variabel. Tak jarang upaya yang dilakukan adalah
untuk mengembangkan hasil-hasil yang mengindikasikan hubungan-hubungan
antar-variabel. Karenanya, EPH diagnostik menggunakan baik teknik
pengumpulan data maupun teknik analisa sempurna yang menghasilkan EPH
investigatif dan indikatif.
Bagian penting dari EPH diagnostik telah diteliti, sementara tujuannya
memiliki kolerasi secara fisik, lingkungan dan ukuran bentuk perilaku yang
memberikan pengalaman lebih baik terhadap signifikansi beragam kriteria bentuk
yang bersifat relatif. Seluruh prasyarat yang diajukan dalam EPH diagnostik
memiliki potensi yang cukup besar dalam pembuatan prediksi yang bersifat akurat
tentang bentuk bangunan dan menambahkan patokan pengetahuan untuk tentang
tipe bangunan yang diberikan melalui perbaikan-perbaikan dalam kriteria desain
dan pedoman literatur yang digunakan.
Bangunan setelah dihuni beberapa waktu ada kemungkinan mengalami
perubahan kinerja akibat ketidak sesuaian dengan perencanaan awal dengan
bangunan. Bangunan selain memiliki persyaratan fisik, bangunan juga harus
mempunyai fungsi atas kegiatan pada penghuninya, sehingga bangunan dan
penghuninya mempunyai interaksi (Suryadhi, 2005).
Usia sebagai bangunan dapat mencapai 50-100 tahun, karena itu
penting sekali dipikirkan mengenai pemakaian energi dalam tahap disain.
Apabila kita salah dalam mengambil keputusan dalam tahap disain, akibatnya
harus ditanggung selama gedung ini berdiri. Misalnya kalau kita lebih banyak
menggunakan AC, padahal bisa dihemat dengan membuka jendela, lubang
angin, tanaman, pelindung (awning), beranda. Selain kerugian dalam bentuk
materi (uang) juga merusak lingkungan dan menghabiskan energi yang tidak
perlu.
Tata laksana penghawaan dan pengaturan suhu udara menurut
KEPMENKES RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit :
1. Penghawaan atau ventilasi di rumah sakit harus mendapat perhatian
yang khusus. Bila menggunakan sistem pendingin, hendaknya
dipelihara dan dioperasikan sesuai buku petunjuk. Sehingga dapat
menghasilkan suhu, aliran udara, dan kelembaban nyaman bagi pasien
dan karyawan. Untuk rumah sakit yang menggunakan pengatur udara
sentral harus diperhatikan cooling tower-nya agar tidak menjadi
perindukan bakteri legionella dan untuk AHU (Air Handling Unit) filter
2. Suplai udara dan Exhaust hendaknya digerakkan secara mekanis, dan
exhaust fan hendaknya diletakkan pada ujung sistem ventilasi.
3. Ruangan dengan volume 100 m3 sekurang-kurangnya 1 (satu) fan
dengan diameter 50 cm dengan debit udara 0,5 m3/detik, dan frekuensi
pergantian udara per jam adalah 2 (dua) sampai dengan 12 kali
4. Pengambilan suplai udara dari luar, kecuali unit ruang individual,
hendaknya diletakkan sejauh mungkin, minimal 7,50 Meter dari
exhauster atau perlengkapan pembakaran
5. Tinggi intake minimal 0,9 meter dari atap.
6. Sistem hendaknya dibuat keseimbangan tekanan.
7. Suplai udara untuk daerah sensitif : ruang operasi, perawatan bayi,
diambil dekat langit-langit dan exhaust dekat lantai, hendaknya
disediakan 2 (dua) buah exhaust fan dan diletakkan minimal 7,50 cm
dari lantai.
8. Suplai udara di atas lantai
9. Suplai udara koridor atau buangan exhaust fan dari tiap ruang
hendaknya tidak digunakan sebagai suplai udara kecuali untuk suplai
udara ke WC, toilet, gudang.
10. Ventilasi ruang-ruang sensitif hendaknya dilengkapi saringan 2
beds. Saringan I pasang di bagian penerimaan udara dari luar dengan
efisiensi 30% dan saringan II (filter bakteri) dipasang 90%. Untuk
mempelajari sistem ventilasi sentral dalam gedung hendaknya
11. Penghawaan alamiah, lubang ventilasi diupayakan sisitem silang
(cross ventilation) dan dijaga agar aliran udara tidak terhalang.
12. Penghawaan ruang operasi harus dijaga agar tekanannya lebih
tinggi dibandingkan ruang-ruang yang lain dan menggunakan
cara mekanis (air conditioner).
13. Penghawaan mekanis dengan menggunakan exhaust fan atau air
conditioner dipasang pada ketinggian minimum 2,00 meter di atas
lantai atau minimum 0,20 meter dari langit-langit.
14. Untuk mengurangi kadar kuman dalam udara ruang (indoor) 1 (satu)
kali sebulan harus di disinfeksi dengan menggunakan electron
presipitator (resorcinol, trieylin glikol) atau disaring dengan electron
presipitator atau menggunakan penyinaran ultraviolet.
15. Pemantauan kualitas udara ruang minimum 2 (dua) kali setahun
dilakukan pengambilan sampel dan pemeriksaan parameter kualitas udara
(kuman, debu, dan gas)
Pencahayaan menurut Simha (2001) bertujuan :
1. Untuk mendukung aktivitas dan kegiatan lain pengguna bangunan.
2. Untuk mendukung fungsi keamanan.
3. Untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dan menyenangkan
Cahaya sendiri dapat dibagi dua, yaitu cahaya alam (matahari) dan
cahaya buatan (lampu). Kenyamanan dari sebuah cahaya menurut Moore (1999)
ditentukan oleh : kondisi fisiologis mata, latar belakang objek, bentuk/
Menurut KEPMENKES RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit bahwa tata laksana
pencahayaan adalah sebagai beikut :
1. Lingkungan rumah sakit baik dalam maupun luar ruangan harus
mendapat cahaya dengan intensitas cukup berdasarkan fungsinya.
2. Semua ruang yang digunakan baik untuk bekerja ataupun untuk
menyimpan barang /peralatan perlu diberi penerangan.
3. Ruangan pasien harus diberikan penerangan umum dan penerangan
untuk malam hari dan diediakan saklar dekat pintu masuk,
saklar individu ditempatkan pada titik yang mudah dijangkau dan tidak
menimbulkan berisik. Disetiap setiap area pencahayaan adalah
faktor yang sangat penting,
Sebaiknya digunakan sistem pencahayaan dengan standar yang tinggi.
Masing-masing cahaya perlu mempunyai suatu tenaga 30,000 lux, untuk
menerangi suatu ukuran bidang sedikitnya 150 mm dan dengan konstruksi yang
sempurna. Pertimbangan lain sebaiknya area klinis juga tetap harus
diberikan pencahayaan walaupun dalam keadaan siang karena hal ini dapat
mengurangi efek disorientasi bagi para staff dan pasien.
Akustik adalah suatu bunyi yang mengalihkan perhatian, mengganggu
atau berbahaya bagi kegiatan sehari-hari. Bising yang cukup keras diatas 70
desibel dapat menyebabkan kegelisahan, kurang enak badan, kejenuhan
mendengar,sakit lambung dan masalah peredaran darah (Doelle,1980). Faktor
dapat diatasi oleh elemen interior di dalam melawan airborne noise dan impact
noise, elemen interior seperti dinding atau partisi klinik harus meredam bunyi
dengan kekuatan 40-50 desibel (Simha,2001)
Konsep pengendalian kebisingan ditujukan untuk mengatasi kebisingan
dari dalam banguan ( interior noise ) dan dari luar bangunan ( exterior noise ).
Tingkat kebisingan yang diizinkan untuk sebuah pelayanan kesehatan seperti
rumah sakit antara 35-45 desibel, sehingga penyelesaian pengendalian kebisingan
diupayakan melalui elemen interior seperti dinding atau partisi, dimana untu
rumah sakit paling tidak harus dapat meredam bunyi dengan kekuatan 40-45
desibel. Konsep yang digunakan untuk mengatasi masalah kebisingan adalah
mengelola tata letak dan perencanaan interior, pemilihan material bangunan serta
finishing dinding sedemikian rupa yang dapat mendukung pengendalian
kebisingan tersebut. Disisi lain, perencanaan tata massa bangunan juga berperan
dalam pengendalian kebisingan. Penggunaan material seperti karpet, baik pada
lantai maupun dinding dapat mereduksi kebisingan sampai 70%. Penggunaan
plafon yang tepat juga dapat mereduksi kebisingan terutama dari lantai ke lantai.
Kebisingan juga dapat dihindari dengan tidak menggunakan bahan-bahan logam
pada furniture (Harmoko, 2010).
Preiser et.al (1998) menyebutkan dalam evaluasi pasca huni yang diukur
adalah kriteria performansi yang meliputi tiga aspek yaitu :
a. Aspek teknikal : dapat terjadi ciri latar belakang lingkungan pengguna
kebakaran, elektrikal, dinding eksterior, finishing interior, atap,
akustik, pencahayaan dan sistem kontrol lingkungan.
b. Aspek fungsional : meliputi faktor manusia, penyimpanan, komunikasi
dan alur kerja, fleksibilitas dan perubahan, serta spesialisasi dalam tipe
atau unit bangunan.
c. Aspek perilaku : meliputi teritorialitas, privasi dan interaksi, persepsi
lingkungan, citra dan makna, serta kognisi dan orientasi lingkungan.
B. Ruang Perawatan Intensif (ICU)
Penyelenggaraan pelayanan ruang perawatan intensif di rumah sakit harus
berpedoman pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang pedoman penyelenggaraan di rumah sakit.
Pelayanan ICU di rumah sakit meliputi banyak hal. Pertama etika
kedokteran di mana pelayanan di ruang ICU harus berdasarkan falsafah dasar
“Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dan berorientasi untuk
dapat secara optimal memperbaiki kondisi kesehatan pasien.” Kedua, indikasi
yang benar di mana pasien yang dirawat di ICU harus pasien yang memerlukan
intervensi medis segera yakni pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem
organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan
pengawasan yang konstan dan metode terapi titrasi, dan pakaian sakit kritis yang
memerlukan pemantauan kontinu dan tindakan segera untuk mencegah timbulnya
dekompensasi fisiologis. Ketiga, kerja sama multi disipliner dalam masalah medis
tenaga kesehatan dari beberapa disiplin ilmu terkait yang memberikan kontribusi
sesuai dengan bidang keahliannya dan bekerja sama di dalam tim yang dipimpin
oleh seorang dokter intensif sebagai ketua tim. Keempat, kebutuhan pelayanan
kesehatan di mana kebutuhan pasien ICU adalah tindakan resusitasi yang meliputi
dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti air way (fungsi jalan napas),
breathing (fungsi pernafasan), circulation (fungsi sirkulasi), brain (fungsi otak),
dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif. Kelima,
peran koordinasi dan integrasi dalam kerja sama tim di mana setiap tim multi
disiplin harus bekerja dengan melihat kondisi pasien, misalnya sebelum masuk
ICU dokter yang merawat pasien melakukan evaluasi pasien sesuai bidangnya dan
memberi pandangan atau usulan terapi kemudian kepala ICU melakukan evaluasi
menyeluruh, mengambil kesimpulan, memberi intruksi terapi dan tindakan secara
tertulis dengan mempertimbangkan usulan anggota tim lainnya serta berkonsultasi
dengan konsultan lain dan mempertimbangkan usulan-usulan anggota tim.
Keenam, asas prioritas yang mengharuskan setiap pasien yang dimasukkan ke
ruang ICU harus dengan indikasi masuk ke ruang ICU yang benar. Karena
keterbatasan jumlah tempat tidur ICU maka berlaku asas prioritas dan indikasi
masuk. Ketujuh, system manajemen peningkatan mutu terpadu demi tercapainya
koordinasi dan peningkatan mutu pelayanan di ruang ICU yang memerlukan tim
kendali mutu di mana anggotanya terdiri dari beberapa disiplin ilmu. Kedelapan,
kemitraan profesi di mana kegiatan pelayanan pasien di ICU disamping multi
mana unit pelayanan di ruang ICU mempunyai biaya dan teknologi yang tinggi,
multi disiplin, dan multi profesi.
Unit Ruang Perawatan Intensif menurut Departemen Kesehatan yaitu
memiliki ruangan:
1. Ruang administrasi
Ruang untuk menyelenggarakan kegiatan administrasi khususnya
pelayanan pendaftaran dan rekam medik internal pasien di Ruang Perawatan
Intensif. Ruang ini berada pada bagian depan Ruang Perawatan Intensif dengan
dilengkapi loket atau Counter, meja kerja, lemari berkas/arsip dan
telepon/interkom.
2. Ruang untuk tempat tidur pasien
a. Ruang tempat tidur berfungsi untuk merawat pasien lebih dari 24 jam,
dalam keadaan yang sangat membutuhkan pemantauan khusus dan
terus-menerus.
b. Ruang pasien harus dirancang untuk menunjang semua fungsi perawatan
yang penting.
c. Luas lantai yang digunakan untuk setiap tempat tidur pasien dapat
mengakomodasi kebutuhan ruang dari semua peralatan dan petugas yang
berhubungan dengan pasien untuk kebutuhan perawatan.
d. Ruang rawat pasien disarankan mempunyai luas lantai bersih antara 12
m2- 16 m2 per tempat tidur.
e. Tombol alarm harus ada pada setiap bedside di dalam ruang rawat
pasien. Sistem alarm sebaiknya terhubung secara otomatis ke pusat
telekomunikasi rumah sakit, pos sentral perawat, ruang pertemuan ICU,
ruang istirahat petugas ICU, dan setiap ruang panggil. Perletakan alarm
ini harus dapat terlihat.
f. Pencahayaan alami harus optimal.
g. Sebaiknya memaksimalkan jumlah jendela sebagai sarana visual untuk
menguatkan orientasi pada siang dan malam hari. Jendela sebaiknya
tahan lama, tidak menyimpan debu dan mudah dibersihkan dan harus
dibersihkan secara rutin.
h. Daerah rawat pasien harus teduh, dan tidak silau, harus mudah
dibersihkan, tahan api, bersih debu dan kuman, dan dapat digunakan
i. Rasio kebutuhan tempat tidur di Ruang Perawatan Intensif dipengaruhi
oleh :
- Jumlah total tempat tidur pasien di rumah sakit.
- Jumlah kasus yang memerlukan pelayanan perawatan intensif.
Untuk rumah sakit, diasumsikan jumlah tempat tidur pasien di
Ruang Perawatan Intensif berkisar + 2 % dari total tempat tidur
pasien.
3. Ruang isolasi pasien.
a. Ruang yang mempunyai kekhususan teknis sebagai ruang perawatan
intensif dan memiliki batasan fisik modular per pasien, dinding serta
bukaan pintu dan jendela dengan ruangan ICU lain.
b. Ruang yang diperuntukkan bagi pasien menderita penyakit yang
menular, pasien yang rentan terkena penularan dari orang lain, pasien
menderita penyakit yang menimbulkan bau (seperti penyakit tumor,
ganggrein, diabetes) dan untuk pasien menderita penyakit yang
mengeluarkan suara dalam ruangan.
c. Pintu dan partisi pada ruang isolasi terbuat dari kaca minimal setinggi
100 cm dari permukaan lantai agar pasien terlihat dari pos perawat.
d. Ruang Perawatan Intensif dengan modul kamar individual/ kamar
Gambar 2.2 Ruang Perawatan Intensif – Isolasi Sumber Kemenkes RI
4. Pos sentral perawat/ ruang stasi perawat
a. Pos sentral perawat adalah tempat untuk memonitor perkembangan
pasien ruang perawatan intensif selama 24 jam sehingga apabila
terjadi keadaan darurat pada pasien segera diketahui dan dapat
diambil tindakan seperlunya terhadap pasien.
b. Letak pos perawat harus dapat menjangkau seluruh pasien
c. Pos stasiun perawat sebaiknya memberikan ruangan yang nyaman
dan berukuran cukup untuk mengakomodasi seluruh fungsi yang
penting.
d. Pos stasiun perawat harus mempunyai pencahayaan cukup, dan
e. Kepala perawat sebaiknya mempunyai ruang kerja tersendiri. Pos
perawat dilengkapi dengan lemari penyimpanan barang habis pakai
dan obat.
5. Ruang dokter jaga
a. Ruang kerja dan istirahat Dokter dilengkapi dengan sofa, wastafel,
dan toilet
b. Ruangan ini dilengkapi sistem komunikasi internal dan sistem alarm.
6. Ruang istirahat petugas.
a. Ruang istirahat petugas medik dilengkapi dengan sofa, wastafel, dan
toilet.
b. Ruang istirahat petugas medik harus berada dekat dengan ruang rawat
pasien ruang perawatan intensif.
c. Ruang ini sebaiknya memberikan keleluasaan, kenyamanan, dan
lingkungan yang santai.
d. Ruangan ini dilengkapi sistem komunikasi internal dan sistem alarm.
7. Pantri.
Daerah untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk petugas,
dilengkapi meja untuk menyiapkan makanan, freezer, bak cuci dengan
kran air dingin dan air panas, microwave dan atau kompor, dan lemari
pendingin.
8. Ruang penyimpanan alat medik.
a. Ruang penyimpanan alat medik berfungsi sebagai penyimpanan
b. Peralatan yang disimpan diruangan ini harus dalam kondisi siap pakai
dan dalam kondisi yang sudah disterilisasi.
c. Alat-alat yang disimpan dalam ruangan ini antara lain
respirator/ventilator, alat/mesin hemodialisa (HD), mobile X-ray,
monitor pasien, syringe pump, infusion pump, defibrillator dan
lain-lain.
d. Ruang sebaiknya cukup besar untuk memudahkan akses, lokasinya
mudah untuk mengeluarkan peralatan .
e. Kotak kontak pembumian listrik sebaiknya tersedia di dalam ruang
dengan kapasitas yang cukup untuk membuang arus batere dari
peralatan yang menggunakan batere.
9. Ruang utilitas bersih.
a. Ruang utilitas bersih dan kotor harus ruang terpisah yang tidak saling
berhubungan.
b. Lantai sebaiknya ditutup dengan bahan tanpa sambungan untuk
memudahkan pembersihan.
c. Ruang utilitas bersih sebaiknya digunakan untuk menyimpan
obat-obatan, semua barang-barang yang bersih dan steril, dan boleh juga
digunakan untuk menyimpan linen bersih.
d. Rak dan lemari untuk penyimpanan harus diletakkan cukup tinggi
dari lantai untuk memudahkan akses pembersihan lantai yang ada di
e. Tempat/kabinet/lemari penyimpanan instrumen dan bahan perbekalan
yang diperlukan, termasuk untuk barang-barang steril.
10. Ruang utilitas kotor
a. Ruang utilitas bersih dan kotor harus ruang terpisah yang tidak saling
berhubungan.
b. Ruang utilitas kotor harus menghadap ke luar/berada di luar ruang
rawat pasien ICU ke arah koridor kotor.
c. Ruang utilitas kotor tempat membuang kotoran bekas pelayanan
pasien khususnya yang berupa cairan.
d. Ruang ini temperaturnya harus terkontrol, dan pasokan udara dari
ruang utilitas kotor harus dibuang ke luar.
e. Ruang utilitas kotor harus dilengkapi dengan spoelhoek dan slang
pembilas serta pembuangan air limbahnya disalurkan instalasi
pengolahan air limbah RS.
f. Spoelhoek adalah fasilitas untuk membuang kotoran bekas pelayanan
pasien khususnya yang berupa cairan. Spoelhoek berupa bak atau
kloset yang dilengkapi dengan leher angsa (water seal).
g. Pada ruang Spoolhoek juga harus disediakan kran air bersih untuk
mencuci wadah kotoran pasien. Ruang spoolhoek ini harus
menghadap keluar/berada di luar ruang rawat pasien ICU ke arah
koridor kotor.
h. Saluran air kotor/limbah dari Spoolhoek dihubungkan ke tangki
i. Kontainer tertutup yang terpisah harus disediakan untuk linen kotor
dan limbah padat.
j. Kontainer khusus sebaiknya disediakan untuk buangan jarum suntik dan
barang-barang tajam lainnya.
11. Ruang Kepala Ruangan ICU.
Ruang kerja dan istirahat Kepala perawat dilengkapi sofa, meja dan kursi
kerja.
12. Parkir troli.
Tempat untuk parkir trolley selama tidak ada kegiatan pelayanan pasien
atau selama tidak diperlukan.
13. Ruang Ganti Penunggu Pasien dan Ruang Ganti Petugas (pisah pria
wanita) (termasuk di dalamnya Loker).
a. Tempat ganti pakaian, meletakkan sepatu/alas kaki sebelum masuk
daerah rawat pasien dan sebaliknya setelah keluar dari ruang rawat
pasien, yang diperuntukkan bagi staf medis maupun non medis dan
pengunjung.
b. Fasilitas mencuci tangan untuk pengunjung pasien dan untuk petugas
harus disediakan, lengkap dengan sabun antiseptik (;general
prequotion).
c. Kontainer/wadah khusus baju pelindung bekas pakai harus
disediakan, karena baju pelindung tidak boleh digunakan lebih dari
14. Ruang tunggu keluarga pasien (berada di luar wilayah ruang perawatan
intensif).
a. Tempat keluarga atau pengantar pasien menunggu. Tempat ini perlu
disediakan tempat duduk dengan jumlah sesuai dengan aktivitas
pelayanan pasien yang dilaksanakan di Ruang Perawatan Intensif.
Disarankan untuk menyediakan pesawat televisi dan fasilitas telepon
umum.
b. Letak ruang tunggu pengunjung dekat dengan Ruang Perawatan
Intensif dan di luar ruang rawat pasien.
c. Akses pengunjung sebaiknya di kontrol dari ruang resepsionis.
d. Rasio kebutuhan jumlah tempat duduk keluarga pasien adalah 1
tempat tidur pasien ICU berbanding 1 – 2 tempat duduk.
e. Dilengkapi dengan fasilitas toilet pengunjung
f. Disarankan menyediakan ruang konsultasi untuk keluarga.
15. Koridor untuk kebutuhan pelayanan.
a. Koridor disarankan mempunyai lebar minimal 2,4 m.
b. Pintu masuk ke Ruang Perawatan Intensif, ke daerah rawat pasien dan
pintu-pintu yang dilalui tempat tidur pasien dan alat medik harus
lebarnya minimum 36 inci (1,2 m), yang terdiri dari 2 daun pintu
(dimensi 80 cm dan 40 cm) untuk memudahkan pergerakan tanpa
hambatan.
c. Lantai harus kuat sehingga dapat menahan beban peralatan yang
16. Janitor/ Ruang Cleaning Service.
Ruangan tempat penyimpanan barang-barang/bahan-bahan dan peralatan
untuk keperluan kebersihan ruangan, tetapi bukan peralatan medik.
17. Toilet petugas medik.
Toilet petugas medik terdiri dari closet yang dilengkapi hand shower dan
wastafel/ lavatory.
18. Ruang penyimpanan silinder gas medik.
a. Ruang yang digunakan untuk menyimpan tabung-tabung gas medis
cadangan yang digunakan di Ruang Perawatan Intensif.
b. Penyimpanan silinder gas medik ini berlaku bagi RS yang tidak
memiliki central gas. O2, vacuum dan compress air (udara tekan
medik).
19. Toilet pengunjung/penunggu pasien.
Toilet pengunjung/penunggu pasien terdiri dari closet dan wastafel/
lavatory.
20. Ruang diskusi medis (terutama bagi RS A dan B).
a. Ruang diskusi ditempatkan di ICU atau dekat dengan ICU untuk
digunakan sebagai tempat kegiatan pendidikan dan diskusi medis.
b. Ruangan ini dilengkapi dengan telepon atau sistem komunikasi
internal dan sistem alarm yang tersambung langsung ke ICU.
c. Ruang diskusi dilengkapi dengan tempat/ lemari untuk menyimpan
buku-buku kedokteran/ medik dan perawatan, VCR, dan peralatan
Ruang perawatan intensif Kemenkes (2012), termasuk dalam zona resiko
tinggi. Yang memiliki ketentuan yaitu :
a. Dinding permukaan harus rata dan berwarna terang,
b. Lantai terbuat dari bahan yang kuat, mudah dibersihkan, kedap air,
berwarna terang dan pertemuan antara lantai dengan dinding harus
berbentuk konus.
c. Langit-langit terbuat dari bahan multipleks atau bahan yang kuat, warna
terang, mudah dibersihkan, kerangka harus kuat, dan tinggi minimal 2,70
dari lantai.
d. Lebar pintu minimal 1,20 dan tinggi minimal 2,10 meter dan ambang
bawah jendela minimal 1,00 meter dari lantai.
e. semua stop kontak dan saklar dipasang pada ketinggian minimal 1,40
meter dari lantai.
C. Keaslian Penelitian
1. Poliman, 1997 dengan judul penelitian “Strategi Pengembangan Unit
Gawat Darurat Rumah Sakit Honoris dengan Menggunakan Teori Evaluasi
Pasca Huni.” Metode yang digunakan dengan menggunakan kuisioner dan
pengukuran standart lingkungan fisik. Hasil penelitian menunjukkan
masih banyak ruangan di UGD RS Honoris yang tidak terpakai dan
ini adalah kuisioner yang dipakai merupakan standar Departemen
Kesehatan 2012 dan persepsi pengguna internal
2. Suryadhi, 2005 dengan judul penelitian “Evaluasi Pasca Huni Instalasi
Rawat Darurat di Rumah Sakit Tabanan”. Metode pengambilan data yang
digunakan dengan menggunakan kuisioner dan pengukuran lingkungan
fisik. Hasil penelitian menunjukkan masih banyak ruangan di IRD RSU
Tabanan yang memiliki kekurangan bila dibandingkan dengan standar
Departemen Kesehatan RI. Perbedaan dengan penelitian ini adalah objek
penelitian dilakukan pada Ruang Perawatan Intensif.
3. Sangkay, 2000 dengan judul penelitian “Pengukuran Kinerja Kelas Utama
RSUD Datoe Binangkang Kotamobagu Melalui Evalausi Pasca Huni”.
Metode penelitian yang digunakan dalam mengambil data adalah
menggunakan kuisioner dan pengukuran lingkungan fisik. Hasil penelitian
yang didapat adalah waktu tunggu yang lama untuk mendapatkan
pelayanan kelas utama di RSUD Datoe Binangkang Kotamobagu dan
tingkat kebisingan yang melewati standar yang berlaku. Perbedaan dengan
penelitian ini adalah kuisioner yang digunakan menurut standar
D. Kerangka Teori
Berdasarkan landasan teori diatas, dapat dibentuk kerangka teori sebagai
berikut :
Gambar 2.3 Teori Evaluasi Pasca Huni
E. Landasan Teori
Penyelenggaraan pelayanan ruang perawatan intensif di rumah sakit harus
berpedoman pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang pedoman penyelenggaraan di rumah sakit.
Unit ruang perawatan intensif menurut Kementerian Kesehatan yaitu
memiliki ruangan : ruang administrasi, ruang untuk tempat tidur pasien, ruang
pantri, ruang penyimpanan alat medik, ruang utilitas bersih, ruang utilitas kotor,
ruang kepala ruangan ICU, parkir troli, ruang ganti penunggu pasien, dan ruang
ganti petugas (pisah pria dan wanita), ruang tunggu keluarga pasien (berada di
luar ICU), koridor untuk kebutuhan pelayanan, janitor, toilet petugas medik, ruag
penyimpanan silinder gas medik, toilet pengunjung, ruang diskusi medis.
Evaluasi Pasca Huni (EPH) adalah kegiatan dalam rangka penilaian
tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan
kepada penghuni, terutama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Kegiatan
EPH dilakukan untuk menilai tingkat kesesuaian antara bangunan dan lingkungan
binaan dengan nilai – nilai dan kebutuhan penghuni bangunan, disamping itu juga
untuk memberikan masukan dalam merancang bangunan yang mempunyai fungsi
yang sama. EPH bermanfaat untuk acuan jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang serta memberikan dukungan untuk meningkatkan kepuasan
penghuni atas bangunan dan lingkungan binaan yang dihuni.
Rumah sakit merupakan sebuah fasilitas umum yang sarat dengan
prasarana pengguna sarana. Sebuah rumah sakit sangat berpengaruh dengan
keadaan dan fungsi dari prasarana dan sarananya, terlebih pada rumah sakit
modern yang menggunakan teknologi maju. Banyak manajemen rumah sakit
yang kurang memperhatikan hal ini. Seperti diketahui sebuah bangunan bukan
hanya terdiri atas ruangan dan pembatas- pembatasnya saja, tetapi berfungsi
juga komponen lain yaitu komponen servis. Komponen servis ini terdiri
atas perlengkapan elektrikal dan mekanikal dan perabotan yang jenis dan
rumah tersebut. Dengan demikian ada 2 faktor penting, yaitu manusia sebagai
pengguna dan bangunan beserta komponen-komponennya sebagai lingkungan
binaan yang mengakomodasi kegiatan manusia.
Dalam evaluasi pasca huni yang diukur adalah kriteria performansi yang
meliputi tiga aspek yaitu :
a. Aspek teknikal : dapat terjadi ciri latar belakang lingkungan pengguna
beraktivitas. Meliputi struktur, sanitasi dan ventilasi, keselamatan
kebakaran, elektrikal, dinding eksterior, finishing interior, atap,
akustik, pencahayaan dan sistem kontrol lingkungan.
b. Aspek fungsional : meliputi faktor manusia, penyimpanan, komunikasi
dan alur kerja, fleksibilitas dan perubahan, serta spesialisasi dalam tipe
atau unit bangunan.
c. Aspek perilaku : meliputi teritorialitas, privasi dan interaksi, persepsi
F. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori yang telah ada, maka dapat dibuat kerangka
konsep sebagai berikut :
`
Gambar 2.4 Kerangka Konsep
G. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan kerangaka konsep
penelitian, maka terdapat pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana performansi fisik di Ruang Perawatan Intensif RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II berdasarkan pencahayaan, kebisingan,
dan penghawaaan apakah sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan
2. Bagaimana kesesuaian aspek teknikal, fungsional, dan proses ruang
perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II terhadap
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Data diperoleh dari
hasil kuisioner dan pengukuran pencahayaan, suhu, kelembaban, dan
kebisingan di ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Unit II.
B. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini terdiri dari :
1. Performansi fisik ruang perawatan intensif yang dapat di evaluasi
dari tiga unsur, yaitu :
a. Evaluasi Proses : meliputi manajemen operasional, yang
dapat diperoleh dengan memberikan beberapa pertanyaan
kepada tim pengelola bagaimana mengelola bangunan
tersebut.
b. Evaluasi performansi fungsional : hal ini membahas
seberapa layak sebuah bangunan dalam mendukung suatu
organisasi dalam melakukan fungsinya.
c. Review dari performansi teknikal : hal ini meliputi
pengukuran dari performansi fisik, contohnya pencahayaan,
kelembaban, suhu dan kebisingan.
2. Pengguna internal ruang perawatan intensif, meliputi dokter yang
bertanggung jawab terhadap ruang perawatan intensif dan tenaga
paramedis maupun non paramedis yang bekerja di ruang tersebut.
Objek penelitian ini adalah ruang perawatan intensif RS PKU
Muhammdiyah Yogyakarta Unit II.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah pengguna internal ruang perawatan
intensif. Terdiri atas 1 dokter spesialis anastesi sebagai penanggung
jawab ruang perawatan intensif dan 16 paramedis dan non paramedis
yang bekerja di ruangan tersebut.
2. Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh populasi
penelitian berjumlah 17 orang. Data yang didapat 15 orang karena 2
orang paramedis ruang perawatan intensif mengikuti pelatihan selama
3 bulan September 2015 – Desember 2015.
D. Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah :
Kuisioner berisi pertanyaan tentang sarana kondisi fisik ruang
perawatan intensif sesuai dengan standar Departemen Kesehatan 2012.
2. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan sudah dikalibrasi, terdiri dari :
a. Lux meter, merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
cahaya baik pada siang ataupun malam hari. Satuan yang
dipergunakan adalah lux.
b. Sound level meter, yaitu alat untuk mengukur tingkat kebisingan
dengan menggunakan satuan desibel.
c. Termometer ruangan, merupakan alat pengukur suhu ruangan
dengan satuan derajat celcius
d. Humidity meter, merupakan alat untuk mengukur tingkat
kelembaban suatu ruangan.
3. Alat Dokumentasi
Kamera.
E. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Performansi fisik ruang perawatan intensif
F. Definisi Operasional
1. Performansi fisik Ruang Perawatan Intensif
Keadaan fisik suatu ruang perawatan intensif yang dapat dilihat dari
lokasi, pencahayaan, kebisingan, dan penghawaan yang ditemukan di
dalam ruang perawatan intensif.
2. Lokasi adalah letak bangunan ruang perawatan intensif di dalam
Rumah Sakit yang kemudian dinilai dengan lembaran observasi.
3. Pencahayaan adalah kepadatan suatu berks cahaya yang mengenai
suatu permukaan dimana diukur dengan menggunakan lux meter
dengan satuan lux.
4. Kebisingan adalah bunyi yang mengganggu dalam kegiatan
sehari-hari, kebisingan diukur dengan menggunakan sound level meter
dengan satuan desibel (dB).
5. Penghawaan yaitu pengaturan aliran udara baru di dalam ruangan,
dinilai dengan mengukur suhu ruangan menggunakan termometer
ruangan dengan satuan °C, serta mengukur kelembaban udara yaitu
kadar kandungan uap air di udara menggunakan alat humidity meter
dengan satuan %.
6. Evaluasi Pasca huni
Kegiatan yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan suatu
bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada
pengguna suatu bangunan, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pada
a. Aspek teknikal : Meliputi struktur, sanitasi dan ventilasi,
keselamatan kebakaran, elektrikal, dinding eksterior, finishing
interior, atap, akustik, pencahayaan, dan sistem kontrol lingkungan.
b. Aspek fungsional : meliputi faktor manusia, penyimpanan,
komunikasi dan alur kerja, fleksibilitas, dan perubahan, serta
spesialisasi dalam tipe atau unit bangunan.
c. Aspek proses : meliputi teritorialitas, privasi dan interaksi, persepsi
lingkungan, citra dan makna, serta kognisi dan orientasi
lingkungan.
7. Penilaian pengguna internal: kegiatan mengambil keputusan untuk
menentukan sesuatu berdasarkan kriteria baik buruk dan bersifat
kualitatif yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bekerjadi ruang
perawatan intensif.
G. Analisis Data
Data yang terkumpul dari kuisioner evaluasi pasca huni diolah dan
dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif menggunakan program
SPSS yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan kemudian
dapat ditarik kesimpulan.
H. Alur Penelitian
1. Penyebaran Kuisioner
Kuisioner disebarkan kepada pengguna internal ruang perawatan
pembuatan kuisioner mengacu pada standar Departemen Kesehatan
2012 yang dibedakan menjadi aspek proses, aspek fungsional, dan
aspek teknikal.
2. Dokumentasi
Peneliti mengambil gambar ruangan-ruangan yang ada di ruang
perawatan intensif.
I. Etika Penelitian
1. Persetujuan Penelitian
Peneliti mendapat persetujuan penelitian dari bagian Pengembangan
dan Penelitian RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.
2. Lembar Persetujuan
Peneliti melakukan informed consent yaitu lembar persetujuan antara
peneliti dengan responden untuk mengisi kuisioner.
3. Menjamin kerahasiaan (confidentiality)
Peneliti akan menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian dan hanya
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian RS PKU Muhammadiyah awalnya didirikan berupa klinik
sederhana pada tanggal 15 Februari 1923 di kampung Jagang Notoprajan
Yogyakarta. Awalnya bernama PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem)
dengan maksud menyediakan pelayanan kesehatan bagi kaum dhuafa’.
Maksud pendirian klinik tersebut yaitu menyediakan pelayanan kesehatan
bagi kaum dhuafa’. Pendirian pertama atas inisiatif H.M. Sudjak yang
didukung sepenuhnya oleh K.H. Ahmad Dahlan. Seiring dengan waktu,
nama PKO berubah menjadi PKU (Pembina Kesejahteraan Umat).
Saat ini, rumah sakit yang beralamat di Jl. Wates KM 5,5 Gamping,
Sleman ini dipimpin oleh Direktur yaitu dr. H Ahmad Faesol, Sp. Rad., M.
Kes. Secara operasional, RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II
rumah sakit ini dibuka pada tanggal 15 Februari 2009. Pada tanggal 16
Juni 2010 Rumah Sakit mendapatkan ijin operasional sementara nomer
503/0299a/DKS/2010.
Berbagai jenis pelayanan medis terdapat di PKU Muhammadiyah
Unit II, pelayanan medis tersebut yaitu: pelayanan rawat jalan/poliklinik,
pelayanan rawat inap, pelayanan rawat intensif, pelayanan bedah, dan
pelayanan bersalin. Macam-macam pelayanan yang ada di RS PKU
Muhammadiyah Unit 2 disajikan dalam bentuk tabel, yaitu sebagai
berikut:
Tabel 4.1
Jenis Pelayanan Medis RS PKU Muhammadiyah Unit 2
Jenis Pelayanan Medis Penjelasan
Pelayanan Rawat Inap/Poliklinik Pelayanan Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta
berlokasi di Poliklinik dilakukan waktu pagi dan sore hari. Dengan secara baik sesuai kebutuhan perawatan, mulai kelas VIP sampai kelas III.
Pelayanan Rawat Intensif Pelayanan perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta disediakan dan diberikan kepada pasien yang dalam keadaan sakit berat, dikoordinir oleh dokter anastesi khusus intensif care. Pelayanan perawatan intensif ini merupakan Intensif Care Unit (ICU) dan Intermediate Care (IMC) yang mampu memberikan pelayanan tertinggi dan tunjangan hidup dalam jangka panjang.
Pelayanan Bedah Pelayanan Bedah sebagai sarana
layanan terpadu untuk tindakan operatif terencana maupun darurat dan diagnostik. Instalasi Bedah merupakan ruang operasi yang dilengkapi dengan peralatan canggih yang terdiri dari 4 kamar operasi, ruang persiapan dan ruang pulih sadar.
menata perawatan kebidanan dan ibu bersalin, dengan memberikan pelayanan yang khusus kepada wanita dan ibu bersalin, kenyamanan dan ketentraman keluarga senantiasa terjaga.
Selain terdapat layanan medis, RS PKU Muhammadiyah Unit 2
memiliki layanan penunjang, layanan penunjang tersebut yaitu instalasi
laboratorium, instalasi radiologi, instalasi rehabilitasi medik, instalasi
farmasi, instalasi gizi, pelayanan diagnostik lain ((EEG (Electro
Encephalography), Elektro Kardiografi (EKG), Treadmill Test,
Spirometri), CSSD dan Laundry.
B. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
Guna mendapatkan data yang akurat dalam penelitian, instrumen
penelitian harus memiliki tingkat kesahihan (validitas dan reliabilitas)
Arikunto (2006) menyatakan instrumen yang baik harus memenuhi dua
persyaratan yang penting, yaitu valid dan reliabel.
1. Uji Validitas Instrumen
Teknik pengujian validitas dalam penelitian ini menggunakan
teknik Correlated-Item Total Correlation. Menurut Widiyanto (2010:
38-40), teknik correlated-item total correlation secara teoritis
menggunakan rumus korelasi terhadap efek spurious overlap. Adapun
1)Jika nilai r hitung > r tabel, maka item pertanyaan atau pernyataan
dalam angket berkorelasi signifikan terhadap skor total (artinya
item angket dinyatakan valid).
2)Jika nilai r hitung < rtabel, maka item pertanyaan atau pernyataan
dalam angket tidak berkorelasi signifikan terhadap skor total
(artinya item angket dinyatakan tidak valid).
Sampel penelitian ini berjumlah 15 sehingga nilai r tabelnya
(0,05, 26) adalah 0,514. Sehingga item pertanyaan dinyatakan valid
apabila nilai correlated-item total correlation memiliki nilai r hitung
lebih besar dari 0,514.
Hasil pengujian validitas pada penelitian ini diperoleh nilai r
hitung semua item pertanyaan lebih besar dari 0,514 sehingga dapat
dinyatakan bahwa semua item pertanyaan telah valid.
2. Instrumen Reliabilitas Instrumen
Pengujian reliabilitas pada penelitian ini menggunakan alpha
croncbach dengan nilai alphanya lebih besar dari 0,5<r<1
(Azwar,1999). Hasil uji reliabilitas Alpha Cronbach yang didapat
untuk masing-masing variabel ditunjukkan dalam tabel berikut:
Tabel 4.2
Uji Reliabilitas Instrumen
Cronbach’s
Alpha N of Items
Hasil pengujian menunjukkan nilai alpha croncbach 0,978
lebih besar dari 0,5 sehingga dapat dinyatakan bahwa item pernyataan
telah reliabel. Dengan demikian hasil pengujian validitas dan
reliabilitas telah memenuhi pengujian instrumen yang valid dan
reliabel sehingga instrumen dapat digunakan untuk analisis
berikutnya.
3. Karakteristik Responden
Seluruh populasi pada penelitian ini adalah pengguna internal
ruang perawatan intensif. Sampel yang digunakan pada penelitian ini
adalah seluruh populasi penelitian, berikut adalah penjelasan lengkap
mengenai karakteristik responden.
Tabel 4.3
Jenis Kelamin Responden Responden Jumlah Persentase (%)
Laki-laki 4 26,7
Perempuan 11 73,3
Jumlah 15 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Jumlah responden adalah 15 responden yang didominasi
responden perempuan yaitu sebanyak 73,3%, dan responden laki-laki
sebanyak 26,7%. Selain tabel jenis kelamin, terdapat pula tabel
mengenai pendidikan responden, yang disajikan sebagai berikut:
Jumlah 15 100 Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Jenis pendidikan responden yang menangani di ruang
perawatan intensif yaitu Ners dan Dokter. Dokter sebanyak 6,7%, S1
Ners 46%, D3 Ners 40%, dan D1 Ners 6,7%. Karakteristik responden
lainnya mengenai pekerjaan responden yaitu sebagai berikut:
Tabel 4.5
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Pekerjaan responden yaitu dokter, perawat dan asisten perawat.
Dokter sebanyak 6,7%, perawat sebanyak 86,7% dan asisten perawat
sebanyak 6,7%. Seluruh responden tersebut adalah pengguna internal
dari ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah Unit 2.
C. Hasil Observasi
1. Fisik Bangunan Ruang Perawatan Intensif
Keadaan fisik bangunan ruang perawatan intensif dilihat dari
tiga unsur, yaitu evaluasi proses, evaluasi performasi fungsional, dan
performasi fungsional. Ketiga unsur tersebut dapat mengukur keadaan
fisik dari ruang perawatan intensif RS PKU Muhammadiyah
a)Aspek Proses
Aspek proses digunakan untuk mengetahui bangunan fisik ruang
perawatan intensif rumah sakit. Aspek proses tersebut akan
memaparkan bangunan fisik perawatan intensif rumah sakit telah
sesuai dengan persyaratan teknis bangunan ruang perawatan
intensif .
Ruang perawatan intensif di RS PKU Muhammadiyah
disediakan dan diberikan kepada pasien yang dalam keadaan sakit
berat, dikoordinir oleh dokter anastesi khusus intensif care. Berikut
gambar tampak depan pintu masuk ruang perawatan intensif RS
PKU Muhammadiyah Unit 2:
Gambar 4.1
Pintu Masuk Ruang Perawatan Intensif
Gambar 1 adalah pintu masuk menuju ruang perawatan intensif yang
terdiri dari dua pintu, dengan lebar pintu cukup luas untuk memasukkan brankart