• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN STRES AKADEMIK PADA MAHASISWA TINGKAT AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN STRES AKADEMIK PADA MAHASISWA TINGKAT AKHIR"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN STRES

AKADEMIK PADA MAHASISWA TINGKAT AKHIR

Oleh :

Sitti Rahmiwaty Gobel

13320097

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2018

(2)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN STRES AKADEMIK PADA MAHASISWA TINGKAT AKHIR

Telah Disetujui Pada Tanggal

Dosen Pembimbing

(3)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN STRES AKADEMIK PADA MAHASISWA TINGKAT AKHIR

Sitti Rahmiwaty Gobel Rumiani

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosi dengan stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir di Yogyakarta. Sampel dalam penelitian merupakan mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengambil skripsi berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berusia 20-25 tahun dan berjumlah 85 orang. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan data yang diperoleh menggunakan skor yang diambil menggunakan skala stres akademik dan skala kecerdasan emosi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi spearman rho. Hasil penelitian ini menunjukkan koefisien korelasi r = -0.201 dengan nilai p = 0.032 (P< 0.01), sehingga kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir. Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima.

(4)

Pengantar

Pada tahun 2011, American College Health Association-National College Health Assesment (ACHA-NCHA) meneliti tentang perjalanan mahasiswa dari tahun ke dua hingga empat di berbagai institusi pendidikan di Amerika, hal ini menunjukkan bahwa 30% dari mahasiswa tidak dapat berbuat apa-apa terutama pada tingkat akhir (Krisdianto dan Mulyanti, 2015). Sebagian besar dari mahasiswa tingkat akhir tersebut pada awalnya mungkin akan melakukan “denial” terhadap kenyataan yang menunjukkan bahwa mereka gagal. Proses “denial” atau penolakan tersebut berakibat pada timbulnya pikiran-pikiran negatif pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan individu tersebut, yang pada akhirnya nanti justru menyebabkan individu tersebut mengalami stres (Ekarani, 2008).

Menurut Shenoy (2004) tuntutan yang diberikan kepada mahasiswa dapat menjadi sumber stres yang potensial dan dapat memicu timbulnya stres akademis maupun psikologis seperti yang dijelaskan oleh responden wawancara di atas, bahkan tingkat yang paling parah dapat menekan tingkat ketahanan tubuh hingga bisa sampai pada tindakan bunuh diri. Data dari portal berita oleh Musliadi (2017), melaporkan seorang remaja ditemukan tewas dengan cara gantung diri, diduga karena ia tidak dapat menyelesaikan kuliah, (TRIBUN, 13 September 2017). Hal ini menunjukkan bahwa adanya stres dapat memicu terjadinya bunuh diri.

Stres akademik adalah perasaan tegang dan ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi kemudian perasaan tersebut mengganggu dalam pelaksanaan tugas dan aktivitas yang beragam dalam situasi akademis (Haber dan Ruyon, 1984). Ketika mahasiswa mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh

(5)

sehingga yang bersangkutan tidak lagi mengerjakan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut distres. Sedangkan ketika mahasiswa sanggup menjalankan beban tugas dengan baik tanpa ada keluhan baik fisik maupun mental, maka ia dikatakan tidak mengalami stres melainkan disebut eustres (Hawari, 2011). Hasil penelitian Solanky, dkk (2012) mengatakan bahwa prevalensi 3,12% mahasiswa tidak mengalami stres, 55,6% mengalami stres pada tingkat rata-rata atau sedang dan 41,2% mengalami stres berat. Menurut penelitian Rahmawati dan Adawiyah (Barseli dan Ifdil, 2017) mengatakan stres akademik merupakan stres yang termasuk dalam kategori distres.

Adanya permasalahan yang kompleks pada mahasiswa tingkat akhir yang mengindikasikan stres dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Sarafino dan Smith (2011) faktor yang menyebabkan stres yaitu diri individu, keluarga dan komunitas/lingkungan. Selanjutnya Alvin (2007); Basteri dan Ifdil (2017) mengatakan faktor penyebab stres akademik terbagi atas dua, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal seperti mata kuliah yang padat, tekanan untuk berprestasi tinggi, dorongan status sosial dan orang tua saling berlomba. Sedngkan faktor internalnya adalah pola pikir, kepribadian dan keyakinan. Mahasiswa yang berpikir mereka tidak dapat mengendalikan situasi mereka akan cenderung mengalami tingkat stres akademik yang lebih besar. Julika (2017) mengatakan proses berfikir dan pengambilan keputusan dipengaruhi oleh kontrol, self-esteem dan juga optimisme. Kecerdasan emosi merupakan komponen emosi sekaligus juga komponen kognitif yang dapat mempengaruhi kesejahteraan subjektif, dan stres akademik sebagai salah satu pengalaman yang menimbulkan stres.

(6)

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir di Yogyakarta. Penelitian ini juga memiliki manfaat kepada mahasiswa tingkat agar dapat memiliki keterampilan-keterampilan emosi yang baik sehingga dapat mengendalikan perilakunya dan dapat menyelesaikan urusan perkuliahan dengan baik.

Variabel stres akademik dalam penelitian ini menggunakan teori dari Sarafino & Smith (2011) yang menyatakan bahwa stres merupakan keadaan yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, yang menyebabkan persepsi jarak antara tuntutan yang berasal dari situasi dan yang bersumber pada biologis, psikologis, atau sistem sosial seseorang. Pada penelitian ini, peneliti akan memfokuskan stres pada stressor akademik mahasiswa. Menurut Busari (2011) stres akademik terjadi ketika terdapat tuntutan akademik pada seseorang dimana tuntutan tersebut dianggap melampaui kemampuan penyesuaian dirinya.

Menurut Sarafino & Smith (2011) ada 2 aspek dalam stres, yaitu : a. Aspek Biologis

Tubuh akan beradaptasi terhadap stresor seperti tingkat fluktuasi hormon seperti kortisol dan epinefrin, tekanan darah, dan dungsi imun yang menumpuk dari waktu ke waktu. Gejala fisik yang dirasakan juga seperti jantung yang mulai berdetak lebih cepat dan lebih kuat, otot yang bergetar, b. Aspek Psikologis

1) Kognitif dan Stres

Kesulitan berpikir jernih selama stres disertai dengan kontrol fisiologis yang buruk atau regulasi respon stres. Kondisi stres dapat

(7)

mengganggu proses berpikir individu dan cenderung mengalami gangguan daya ingat, perhatian dan konsentrasi berkurang sehingga seseorang tidak fokus dalam melakukan suatu hal.

2) Emosi dan Stres

Emosi selalu berhubungan dengan stres, ketika seseorang mengalami stres maka mereka cenderung mengevaluasi pengalaman emosional. Stres dapat mempengaruhi perasaan seperti perasaan sedih dan depresi. Ketakutan dan kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu juga merupakan gejala emosi.

3) Tingkah Laku dan Stres

Stres dapat merubah perilaku seseorang, dalam situasi stres orang akan menjadi kurang bersosialisasi dengan orang lain. Kemarahan juga akan menyebabkan perilaku agresif pada seseorang.

Kemudian variabel kecerdasan emosi pada penelitian ini menggunakan teori dari Goleman (2016), kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Selanjutnya Salovey dan Mayer (1990) mendefinisikan kecerdasan emosi yaitu suatu jenis kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial pada diri sendiri dan orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Goleman (2016) mengemukakan aspek-aspek kecerdasan emosi dalam 5 wilayah, yaitu :

(8)

a. Mengenali emosi diri. Mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional, kemampuan memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. b. Mengelola emosi. Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap

dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Kemampuan menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang muncul karena gagalnya keterampilan emosional dasar ini. Orang-orang yang buruk dalam kecerdasan ini akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan. c. Memotivasi diri sendiri. Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan

adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk member perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan untuk berkreasi. Mengendalikan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Dan, mampu menyesuaikan diri dalam “flow” memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.

(9)

d. Mengenali emosi orang lain. Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan “keterampilan bergaul”. Biaya sosial akibat ketidakpedulian secara emosional, dan alasan-alasan empati memupuk altruisme. Orang yang lebih empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa saja yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Orang-orang seperti ini cocok untuk pekerjaan-pekerjaan keperawatan, mengajar, penjualan dan manajemen.

e. Membina hubungan. Seni membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Orang-orang yang heat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain, mereka adalah bintang-bintang pergaulan.

Metode Penelitian

Responden dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Responden merupakan mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengambil skripsi dan berada di Yogyakarta, dengan kisaran usia 20-25 tahun. Penelitian ini dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan skala stres akademik dari Sarafino & Smith (2011) yang terdapat 28 butir pernyataan dan skala kecerdasan emosi dari Goleman (2016) yang terdapat 25 butir pernyataan. Dalam penelitian ini, untuk melihat validitas alat ukur, peneliti melakukan pengecekan bahasa dan membuat blue print. Reliabilitas penelitian ini akan dihitung menggunakan koefisien cronbach alpha yang mana koefisien reliabilitas angkanya berada

(10)

dalam rentang 0 sampai dengan 1. Pada penelitian ini untuk mengolah data analisis perbedaan menggunakan Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis Test.

Hasil Penelitian 1. Uji Normalitas

Hasil uji normalitas dalam penelitian ini memiliki sebaran data skala stres akademik yang normal yang ditunjukkan dengan nilai p = 0.200 (Sig>0.05). Sedangkan sebaran data skala kecerdasan emosi menunjukkan nilai p = 0.009 (sig<0.05) yang artinya sebaran data terdistribusi secara tidak normal. 2. Uji Linieritas

Hasil uji linieritas menunjukkan bahwa variabel stres akademik dan kecerdasan emosi membentuk suatu garis lurus dengan F Linearity = 6.229 dengan signifikansi 0.016 (p<0.05), serta F Deviation From Linearity = 0.640 dengan signifikansi 0.640. Kesimpulannya bahwa data yang diperoleh pada penelitian ini dengan menggunakan skala stres akademik dan kecerdasan emosi bersifat linier.

3. Uji Hipotesis

Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa stres akademik dan kecerdasan emosi memiliki hubungan negatif dilihat dari nilai r = -0.201 dengan nilai p 0.032. Tanda negatif pada koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi stres akademik maka semakin rendah kecerdasan emosi pada mahasiswa tingkat akhir. Sebaliknya, semakin rendah stres akademik maka semakin tinggi kecerdasan emosi. Oleh karena itu hipotesis yang diajukan peneliti dalam penelitian ini diterima. Diketahui pula bahwa nilai koefisien determinasi (r2) = 0.040 atau sebesar 4 %. Hal tersebut

(11)

menunjukkan bahwa stres akademik mahasiswa tingkat akhir dipengaruhi oleh variabel kecerdasan emosi sebesar 4 %, (small effect size).

Pembahasan

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir di Yogyakarta. Hasil analisis yang dilakukan peneliti dengan menggunakan teknik Non Parametrik dengan metode Korelasi Spearman Rho. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara kecerdasan emosi dengan stres akademik mahasiswa tingkat akhir dengan r = -0.201, p = 0.032, p<0.05. Hubungan negatif pada penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang negatif antara kecerdasan emosi dengan stres akademik. Hal tersebut menjelaskan semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah stres akademik, sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi maka semakin tinggi stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti dalam penelitian ini dinyatakan diterima.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar responden memiliki stres akademik yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 30,6 % yaitu 26 orang responden. Tingginya persentase stres akademik yang dialami oleh mahasiswa tingkat akhir menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut memiliki kesulitan dalam mengerjakan tugas akhir atau skripsi sehingga hal tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dan biologis pada mahasiswa tingkat akhir tersebut. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Agung (2013) yang menyatakan reaksi stres seringkali muncul pada saat mengerjakan

(12)

skripsi dapat bersifat positif maupun negatif, reaksi stres bersifat positif misalnya, mahasiswa semakin terpacu untuk mencari refrensi-refrensi tambahan skripsi, mahasiswa juga semakin terpacu untuk mengerjakan skripsi dan lain sebagainya. Reaksi stres bersifat negatif misalnya, mahasiswa menghindar dengan tidak mengerjakan skripsi, melakukan aktivitas lain yang dianggap menarik, menunda-nunda dan sebagainya. Reaksi stres yang bersifat negatif akibat skripsi jika dibiarkan berlarut-larut menyebabkan mahasiswa tidak dapat segera menyelesaikan skripsinya dan tidak dapat segera lulus bangku kuliah, stres yang dibiarkan terus menerus akan dapat mengakibatkan reaksi fisik atau psikologis pada mahasiswa.

Sedangkan sebaran pada variabel kecerdasan emosi sebagian besar responden berada pada kategori sedang dengan persentase 25,8 % yaitu 22 orang responden. Persentase kecerdasan emosi yang diperoleh mahasiswa tingkat akhir menunjukkan bahwa mahasiswa akhir belum memiliki kemampuan yang baik dalam mengendalikan emosi. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Salovey & Mayer (Setiawati, 2015), remaja yang memiliki kecerdasan emosi sedang masih mengalami proses transisi atau dalam menilai emosi diri sendiri dan orang lain dalam situasi tertentu dapat akurat walaupun belum sepenuhnya baik.

Penelitian ini juga menunjukkan dari 85 orang responden yang mendominasi yaitu laki-laki. Tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat stres akademik mahasiswa akhir antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan antara satu dan lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir laki-laki dan perempuan adalah sama. Penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Agolla & Ongori (2009), Maryama (2015)

(13)

dan Kurnia (2016) yang menunjukkan ada perbedaan tingkat stres akademik antara laki-laki dan perempuan. Menurut Kurnia (2016) pada umumnya, wanita lebih mengutamakan perasaan daripada logika dalam menghadapi suatu permasalahan, dengan demikian wanita lebih rentan terhadap stres.

Akan tetapi penelitian ini sejalan dengan penelitian Suwartika, dkk (2014) yang menyatakan karakteristik stressor akademik (jumlah, pola, intensitas) yang sama dan tidak adanya perbedaan kewajiban akademisi antara laki-laki dan perempuan yang harus dipenuhi oleh mahasiswa kemungkinan memiliki korelasi terhadap hasil penelitian. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa intensitas, pola dan jumlah stressor yang diterima oleh mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan adalah sama. Akibatnya, pengalaman mahasiswa terpapar terhadap stressor akademik juga sama (Suwartika,dkk., 2014).

Stres akademik mahasiswa akhir berdasarkan usia tidak ada perbedaan antara satu dan lainnya. Jadi dalam penelitian ini usia pada mahasiswa tingkat akhir tidak berpengaruh pada tingkat stres akademik. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian dari Suwartika, dkk (2014) yang mengatakan pada tingkatan usia yang lebih tinggi, tingkat stres akademik cenderung akan semakin rendah. Pendapat tersebut lebih diperjelas lagi dengan penelitian dari Stuart dan Laraia (Suwartika, dkk, 2014) yang menyatakan usia berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam menghadapi berbagai macam stresor, kemampuan memanfaatkan sumber dukungan dan keterampilan dalam mekanisme koping. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka kemampuan seseorang dalam hal pengelolaan stres semakin baik, sehingga tingkat stres akademik pada usia yang semakin meningkat semakin rendah dengan karakteristik stresor yang sama.

(14)

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas, diterimanya hipotesis pada penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosi mampu memberikan pengaruh pada mahasiswa tingkat akhir dalam mengatasi stres akademik yang dialami saat mengerjakan tugas akhir atau skripsi. Dengan begitu, ketika mahasiswa akhir memiliki kemampuan kecerdasan emosi dalam menegelola emosi dan membina hubungan yang baik dengan orang lain, maka tingkat stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir dapat menurun, sehingga mahasiswa mampu menegerjakan tugas akhir atau skripsi secara optimal. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Lestari (2016) menyatakan seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik akan memiliki sifat yang menyukai dirinya apa adanya, mengetahui betul kekuatan dirinya, tidak meragukan kemampuannya, mempunyai kekuatan mendapatkan apa yang diinginkan, bertanggungjawab dalam menyelesaikan pekerjaan, tidak khawatir dengan masa depan, tidak mudah marah tanpa alasan, mampu melakukan sesuatu, dan berani tampil beda.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir memiliki koefisien r = -0201 dengan koefisien p = 0.032. Hasil yang telah didapatkan tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif yang sigifikan antara kecerdasan emosi dengan stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir. Artinya, semakin tinggi kecerdasan emosi yang dimiliki maka stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir akan rendah. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosi yang dimiliki maka stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir akan tinggi.

(15)

Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan saran untuk peneliti selanjutnya, yaitu:

a. Menggunakan teori serta alat ukur stres akademik agar mendapatkan pembahasan yang lebih spesifik.

b. Menambah responden pada uji coba dan pengambilan data agar memiliki hasil yang lebih bervariasi.

c. Menambah responden berjenis kelamin perempuan supaya hasil penelitian lebih bervariasi.

d. Menggunakan pembatasan angkatan pada responden yang diteliti. e. Melakukan uji beda berdasarkan perguruan tinggi.

(16)

Daftar Pustaka

Agolla, J.E., & Ongori, H. (2009). An Assesment of Academic Stress Amonng Undergraduate Students: The Case of University of Botswarna. Academic Journals, Vol 4 (2), 63-70.

Agung, G., & Budiani, M.S. (2013). Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Tingkat Stres Mahasiswa yang Sedang Mengerjakan Skripsi. Character Universitas Negeri Surabaya, Vol 1 (2), 1-6.

Busari, O. A. (2011). Stress Inoculation Techniques in Fostering Adjusment to Academic Stress Among Undergraduate Students. British Journal of Humanities and Social Science, 1, 229-243.

Ekarani, Agita. (2008). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Stres dalam Mengerjakan Skripsi. Naskah Publikasi. Yogyakarta; Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya. Universitas Islam Indonesia.

Goleman, Daniel. (2006). Emotional Intelligence (Terjemahan). Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama

Haber, A., & Runyon, P. (1984). Psychology of Adjustment. Illinois; The Dorsey Press.

Julika, Sari. (2017). Hubungan antara Kecerdasan Emosional, Stres Akademik dan Kesejahteraan Subjektif pada Mahasiswa. Tesis Magister. Yogyakarta; Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada.

Kurnia, E. (2016). Kecendurungan Tingkat Stres Akademik Mahasiswa Semester Akhir. Skripsi Sarjana. Fakultas Psikologi dan Kesehatan, UIN Surabaya.

Krisdianto, M. A. & Mulyanti. (2015). Mekanisme Koping Berhubungan dengan Tingkat Depresi pada Mahasiswa Tingkat Akhir. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia, 3 (2), 71-76

Lestari, S. D. (2016). Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Stres dalam Menyusun Skripsi pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi Sarjana. Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Maryama, H. (2015). Pengaruh Character Strengths Gender terhadap Stres Akademik Mahasiswa UIN Jakarta yang Kuliah Sambil Bekerja. Skripsi Sarjana. Fakultas Psikologi, UIN Jakarta.

Musliadi, R. A. (2017). Depresi Karena Skripsi Mahasiswa UNKA Sintang Nekat Gantung Diri. Berita. Pontianak. Di akses pada tanggal 13 September

2017. dari:

(17)

8/breaking-news-depresi-karena-skripsi-mahasiswa-unka-sintang-nekat-gantung-diri.

Salovey, P & Mayer, J. (1990). Emotional Intelligence.Journal of University New Hamspire. Baywood Publishing Co., Inc.

Sarafino, E. P. & Smith, T. W. (2011). Health Psychology. 7h editions. New York; Jhony Wiley & Sons, Inc.

Setiawati, Rina. (2015). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Agresi pada Remaja. Naskah Publikasi. Surakarta; Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Shenoy, U.A. (2004) Colledge-stress and symptom-expression in international students: a comperative study. Di akses pada tanggal 13 September 2017 dari : http://scholarlib.vt.edu/thesis/available/etd.07022001-115853 Solanky, dkk. (2012). Study of Psychological Stress Among Undergraduate

Medial Students od Government Medical College, SURAT. International Journal of Medical Science and Public Health. Vol. 1(2). Halaman 38-42. Suwartika, dkk. (2014). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Stress Akademik Mahasiswa Reguler Program Studi D III Keperawatan Cirebon Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya. Jurnal Keperawatan Soedirman. Vol 9 (3), Halaman 173-189.

(18)

Identitas Penulis

Nama : Sitti Rahmiwaty Gobel

Alamat Kampus : Universitas Islam Indonesia, Jalan Kaliurang KM 14,5, Yogyakarta

Alamat Rumah : Perumnas Tomulabutao, Blok B Nomor 181, Kecamatan Dungingi, Kelurahan Tomulabutao Selatan, Gorontalo

Nomor Telepon/HP : 0821-3444-4097

Referensi

Dokumen terkait

Karyawan Perhutani yang memiliki kecerdasan emosi tinggi diharapkan akan memiliki daya tahan yang baik dan manajemen stres, sehingga tidak menggangu kemampuan

Berdasarkan gambar 2 tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam penelitian ini kecenderungan tingkatt stres akademik mahasiswa semester akhir dapat dilihat dari

Patton (dalam Ifham, 2002) memberi definisi mengenai kecerdasan emosi adalah menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan produktif,

Kejadian tersebut harusnya tidak terjadi karena mahasiswa yang bekerja memiliki pengendalian emosi yang baik dari kecerdasan emosi yang mereka miliki agar membina

Oleh karena itu, penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana hubungan kecerdasan emosi dengan kemampuan mengelola stres kerja. Subjek yang digunakan dalam

Kebidanan. Stres akademik yang dirasakan oleh mahasiswa dapat mempengaruhi perubahan emosi yang drastis pada mahasiswa. Tidak sedikit mahasiswa pada tingkat akhir

diri sendiri, mengenali orang lain dan membina hubungan dengan orang lain.. demikian, kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengelola. emosinya secara sehat terutama

(Tari et al., 2022) Berdasarkan hasil penelitian ini mengenai Hubungan Stress Akademik dengan Kualitas Tidur Mahasiswa Fakultas Kedokteran Tingkat Akhir di