• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Secara umum pemungutan pajak yang teratur dan permanen telah dikenakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Secara umum pemungutan pajak yang teratur dan permanen telah dikenakan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Sejarah Perpajakan di Indonesia

Secara umum pemungutan pajak yang teratur dan permanen telah dikenakan pada masa kolonial. Tetapi pada masa kerajaan dahulu juga telah ada pungutan seperti pajak, pungutan seperti itu dipersembahkan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, yang disampaikan rakyat di wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur raja dalam hal ini dapat dipandang sebagai manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (Negara).

Dengan adanya perkembangan dalam masyarakat telah mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan dengan cuma-cuma dan bersifat memaksa tersebut, kemudian dibuatlah suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi adanya unsur keadilan tersebut, maka rakyat diikut sertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang hasilnya nanti akan dikembalikan untuk kepentingan rakyat itu sendiri.

Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak. Akan tetapi, terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan pada saat itu mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang yang dibuat pada saat itu ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah besama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk melakukan reformasi

(2)

undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang-undang-undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang bersifat lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah :

1. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). 2. UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh).

3. UU No. 8 Tahun 1983 Tentang PPN dan PPnBM. 4. UU No. 12 Tahun 1985 Tentang PBB.

5. UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai (BM).

Dengan berkembangnya waktu, pemerintah akhirnya melakukan perubahan dalam undang-undang. Perubahan ketiga undang-undang tersebut adalah :

1. UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 16 Tahun 2000 diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007, yang berlaku mulai 1 Januari 2008.

2. UU PPh No. 17 Tahun 2000 diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008, yang berlaku mulai 1 Januari 2009.

3. UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan Atas Barang Mewah No. 18 Tahun 2000 diubah dengan UU. No. 42 Tahun 2009, Yang Berlaku Mulai 1 April 2010.

II.1.1 Pengertian Pajak

Menurut Pasal 1 UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud dengan pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara

(3)

yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

II.1.2 Unsur - unsur Pajak

Dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak antara lain :

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam undang-undang”.

2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik yang ditujukan secara langsung.

3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. 4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak

tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Adanya fungsi dalam mengisi kas Negara/ anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintah.

II.1.3 Jenis Pajak

Di lihat dari segi Lembaga Pemungut Pajak, jenis pajak di bagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu:

1. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. Terdiri dari : - Pajak Penghasilan

(4)

Diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU No. 36 Tahun 2008.

- Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir dengan UU No. 42 Tahun 2009.

- Bea Materai

UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai.

2. Pajak Daerah (UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah), antara lain :

- Pajak Provinsi, terdiri dari : Pajak kendaraan bermotor, Bea perolehan nama kendaraan bermnotor, Pajak bahan bakar kendaraan bermotor, Pajak rokok dan Pajak air permukaan.

- Pajak Kabupaten/ Kota, terdiri dari : Pajak hotel, Pajak hiburan, Pajak reklame, Pajak restoran, Pajak penerangan jalan, Pajak parkir, Pajak air tanah, Pajak mineral bukan logam dan batuan, Pajak sarang burung walet, Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Dilihat dari segi administrative yuridis, pajak digolongkan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :

1. Pajak Langsung, artinya pajak ini dipungut secara periodik, yakni dipungut secara berulang-ulang dengan menggunakan penetapan sebagai dasarnya. Dan jika dilihat dari segi ekonomis apabila beban pajak tidak dikenakan kewajiban atau diterapkan

(5)

untuk membayar pajak dengan pihak yang benar-benar memikul pajak merupakan pihak yang sama. Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh).

2. Pajak Tidak Langsung, artinya pajak ini dipungut secara tidak berulang-ulang. Dan dari segi ekonomis apabila pihak wajib dapat mengalihkan beban pajaknya kepada pihak lain, atau dengan kata lain antara mereka yang wajib pajaknya kepada pihak lain, dengan benar-benar memikul beban pajak itu merupakan pihak yang berbeda. Contohnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Berdasarkan titik tolak pemungutannya, pajak dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :

1. Pajak Subjektif, merupakan pajak yang pengenaannya berpangkal pada diri orang atau badan yang dikenai pajak (Wajib Pajak). Pajak ini dimulai dengan menetapkan orangnya dan kemudian dicari syarat-syarat objektifnya. Contohnya, Pajak Penghasilan (PPh)

2. Pajak Objektif, merupakan pajak yang pengenaannya berpangkal pada objek yang dikenai pajak, dan untuk mengenakannya pajaknya harus dari subjek pajaknya dahulu. Contohnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

II.1.4 Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan bernegara. Di dalam pelaksanaan pembangunan, pajak juga berperan penting karena pajak merupakan sumber pendapatan Negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal tersebut, pajak mempunyai fungsi, yaitu:

(6)

Merupakan fungsi utama pajak dan fungsi fiskal yaitu suatu fungsi dimana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas Negara, berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Jadi disini, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara.

2. Fungsi Regulerend (Mengatur),

Fungsi mengatur dan sebagainya dipergunakan pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan, dan sebagainya sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak. Untuk mencapai tujuan tersebut, pajak dipakai sebagai alat kebijakan.Misalnya, pajak atas minuman keras yang ditinggikan untuk mengurangi konsumsi minuman keras.

II.1.5 Teori Pemungutan Pajak

Terdapat beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada Negara untuk memungut pajak, yaitu: 1. Teori Asuransi,

Negara berhak memungut pajak dari penduduk karena teori ini Negara melindungi semua rakyat dan rakyat membayar premi kepada Negara.

2. Teori Kepentingan,

Bahwa Negara berhak memungut pajak karena penduduk Negara tersebut mempunyai kepentingan pada Negara, makin besar kepentingan penduduk kepada Negara maka makin besar pula pajak yang harus dibayarnya kepada Negara.

3. Teori Daya Pikul,

Teori ini mengusulkan supaya didalam hal pemungutan pajak pemerintah memperhatikan daya pikul wajib pajak.

(7)

4. Teori Bakti,

Mengajarkan bahwa penduduk adalah bagian dari suatu Negara oleh karena itu penduduk terikat pada Negara dan wajib membayar pajak kepada Negara dalam arti berbakti pada Negara.

5. Teori Asas Daya Beli,

Justifikasi pemungutan pajak terletak pada akibat pemungutan pajak. Misalnya tersedianya dana yang cukup untuk membiayai pengeluaran umum Negara, karena akibat baik dari perhatian Negara pada masyarakat maka pemungutan pajak adalah juga baik.

II.1.6 Asas Pemungutan Pajak

Asas pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2009) dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Asas Domisili (tempat tinggal)

Negara dimana Wajib Pajak tinggal berhak mengenakan pajak terhadap semua Wajib Pajak. Siapa saja yang bertempat kediaman di Indonesia dikenakan pajak atas segala penghasilan yang diperoleh di Indonesia, maupun diperolehnya di luar Indonesia.

2. Asas Sumber

Pengenaan pajak tergantung adanya sumber di suatu Negara. Siapapun yang menerima penghasilan dari Indonesia, akan dikenakan pajak oleh Negara Indonesia, baik bagi Wajib Pajak bertempat tinggal di Indonesia, maupun di luar negeri.

3. Asas Kebangsaan

Asas ini menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan suatu Negara, dimana setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indoneisa diperlukan untuk membayar pajak.

(8)

II.1.7 Tata Cara Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel, yaitu: 1. Stelsel Nyata

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), pemungutan dilakukan pada akhir tahun pajak setelah penghasilan sesungguhnya diketahui. Pajak lebih realistis, tapi baru dapat dikenakan di akhir periode.

2. Stelsel Anggapan (Fictive Stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur undang-undang.Tanpa menunggu akhir tahun dan tidak berdasarkan keadaan sesungguhnya.

3. Stelsel Campuran

Merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun dihitung berdasarkan anggapan dan akhir tahun disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.

II.1.8 Sistem Pemungutan Pajak

Dalam memungut pajak, sistem yang digunakan menurut Mardiasmo (2009), sebagai berikut:

1. Self Assessment System

Sistem ini diberlakukan di Indonesia. Wajib Pajak menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Intinya, pajak yang dipungut melalui usaha atau kerja dari Wajib Pajak itu sendiri atau dengan kata lain Wajib Pajak sendirilah yang melakukan pembayaran pajaknya.

(9)

Di Indonesia, caranya seperti berikut : Wajib Pajak menghitung berapa besarnya Pajak Penghasilan yang dia miliki, kemudian memungut besarnya pajak milikinya tersebut, kemudian membayarkan ke Bank yang tunjuk sebagai penerima pembayaran pajak. Hal yang paling penting adalah melaporkan pajaknya dengan media SPT (Surat Pemberitahuan) ke Kantor Pajak.

2. Official Assessment System

Sistem ini memberlakukan pemungutan pajak yang dilakukan oleh fiskus (petugas pemungut pajak). Dalam sistem ini, pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah, jadi yang menghitung dan memungut besaran pajak dari masyarakat adalah petugas negara atau dilakukan oleh pihak negara.

3. Withholding Tax System

Pemungutan dan pemotongan pajak dalam sistem ini dilakukan oleh pihak ketiga selain negara dan Wajib Pajak sendiri. Contohnya, dapat kita lihat pada pemungutan Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang bekerja sebagai karyawan suatu perusahaan. Perusahaan biasanya, BUMN akan memotong dan memungut pajak dari penghasilan bulanan yang dimiliki pegawainya. Dalam hal ini, perusahaan sebagai pihak ketiga. Sistem ini juga berlaku di Indoenesia terutama pada kantor-kantor BUMN.

II.1.9 Hukum Pajak

Peraturan pajak dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Hukum Pajak Formil

Mengatur tentang kewajiban dan hak Wajib Pajak. Meliputi bagaimana suatu kewajiban ditunaikan, sanksi yang dikenakan apabila kewajiban tidak ditunaikan, serta hal-hal mengenai hak Wajib Pajak.

(10)

2. Hukum Pajak Materiil

Mengatur tentang hal-hal substantive pemungutan pajak. Meliputi siapa yang dikenakan pajak (Subjek Pajak), atas apa ia dikenakan pajak (Objek Pajak), dan berapa besarnya pajak yang dikenakan (Tarif Pajak).

II.2 Ventura Bersama (Joint Venture)

II.2.1 Pengertian Ventura Bersama (Joint Venture)

Berdasarkan PSAK Nomor 12, mendefinisikan “Ventura bersama sebagai perjanjian kontraktual dimana dua atau lebih pihak menjalankan aktivitas ekonomi yang tunduk pada pengendalian bersama”.

Joint Venture adalah suatu unit terpisah yang melibatkan dua atau lebih peserta aktif yang dijadikan sebagai mitra. Joint Venture merupakan kerjasama pemerintah dan swasta dimana tanggung jawab dan kepemilikan ditanggung bersama dalam hal penyediaan struktur. Terkadang disebut sebagai aliansi strategis yang meliputi berbagai mitra, termasuk organisasi nirlaba, sektor bisnis dan umum. Menurut Peter Mahmud, Joint Venture merupakan suatu kontrak antara dua perusahaan untuk membentuk satu perusahaan baru, dimana perusahaan baru inilah yang disebut dengan perusahaan Joint Venture. Sedangkan pengertian lain, menurut Erman Rajagukguk, Joint Venture adalah suatu kerjasama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional yang didasarkan pada perjanjian. Jadi pengertian ini lebih condong pada Joint Venture yang bersifat internasional.

Adanya pengertian Joint Venture dari kedua pendapat tersebut, bahwasanya Joint Venture ialah suatu perjanjian, maka harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun dalam pengaturan Joint

(11)

Venture tersebut berada di luar KUH Perdata, karena Joint Venture termasuk ke dalam perjanjian yang tidak bernama serta tidak diatur dalam KUH Perdata. Berdasarkan pengertian dari kedua tokoh diatas, maka dapat kita ketahui adanya unsur-unsur yang terdapat dalam Joint Venture, antara lain :

1. Kerjasama yang terjadi antar pemilik modal asing dan pemilik modal nasional. 2. Membentuk perusahaan baru antara perusahaan asing dan nasional.

3. Didasarkan pada suatu perjanjian atau kontraktual.

Meskipun banyaknya penyebutan yang digunakan dalam istilah lain dari bentuk ventura bersama, namun semuanya sama-sama mengandung pengertian bahwa bentuk aliansi ini merupakan suatu perikatan atau kerjasama antara dua badan atau lebih, untuk menjalankan suatu aktivitas ekonomi yang terikat oleh suatu perjanjian kontraktual yang membentuk suatu pengendalian bersama. Dengan pertimbangan bahwa istilah yang digunakan untuk kerjasama bentuk model ini adalah ventura bersama, maka dalam penulisan ini penulis menggunakan istilah “Ventura Bersama/ Joint Venture”, sementara pihak yang berada dalam perikatan atau kerjasama disebut “Venturer”.

II.2.2 Ciri - ciri Umum Joint Venture

1. Dua atau lebih venture diikat oleh suatu perjanjian kontraktual (contractual arrangement).

2. Perjanjian kontraktual tersebut menciptakan pengendalian bersama (joint control). Walaupun suatu entitas hukum yang dikendalikan bersama (jointly controlled entity) memenuhi definisi Joint Venture, akan tetapi perlakuan akuntansinya bagi para venturer dan investor tidak diatur dalam PSAK No. 12.

(12)

II.2.3 Perjanjian Kontraktual (Contractual Arrangement)

Keberadaan perjanjian kontraktual membedakan Joint Venturedengan investasi dalam perusahaan asosiasi yang investornya mempunyai pengaruh signifikan (PSAK No. 15 tentang Akuntansi Untuk Investasi Dalam Perusahaan Asosiasi). Aktivitas yang tidak disertai dengan perjanjian kontraktual yang menciptakan pengendalian bersama (joint control) bukan merupakan Joint Venturemenurut PSAK No. 12.

Perjanjian kontraktual dapat dinyatakan dengan berbagai cara, misalnya dengan suatu kontrak antar para venturer. Apapun bentuknya, perjanjian kontraktual biasanya tertulis dan mengatur hal-hal tertentu seperti:

a. Aktivitas, jangka waktu dan kewajiban pelaporan dari Joint Venture tersebut. b. Penunjukan pengurus Joint Venture dan hak suara para venturer.

c. Partisipasi finansial masing-masing venturer.

d. Cara pembagian output, pendapatan, beban atau hasil usaha Joint Venture kepada para venturer.

Perjanjian kontraktual menciptakan pengendalian bersama terhadap Joint Venture.Persyaratan tersebut menghendaki agar tidak ada satupun venturer yang dapat mengendalikan sendiri aktivitas tersebut.Perjanjian tersebut mengatur pengembilan keputusan penting yang memerlukan persetujuan dari seluruh venturer dan pengambilan keputusan yang cukup mendapat persetujuan mayoritas para venturer.

Perjanjian kontraktual tersebut dapat menunjuk salah satu venturer sebagai operator atau manager Joint Venture.Operator tersebut tidak mengendalikan Joint Venture, tetapi melaksanakan kebijakan keuangan dan operasi yang telah disetujui oleh seluruh venturer sesuai dengan perjanjian kontraktual.

(13)

II.2.4 Tujuan Pembentukan Ventura Bersama (Joint Venture)

Ventura bersama biasanya dibentuk dengan tujuan untuk memanfaatkan peluang. Ventura bersama (Joint Venture) semakin banyak digunakan karena adanya beberapa manfaat yang bisa diperoleh oleh perusahaan, misalnya seperti:

- Memungkinkan perusahaan akan dapat memperbaiki komunikasi dan networking - Memungkinkan perusahaan beroperasi secara global

- Dapat meminimalkan risiko.

Menurut Kathryb Rudie Harrigan, menyimpulkan tren makin meningkatnya pemakaian Joint Venture terutama disebabkan oleh beberapa faktor:

- Kelangkaan sumber daya dalam lingkungan bisnis global, - Semakin cepatnya perubahan teknologi,

- Meningkatnya kebutuhan modal,

- Semakin banyaknya pertanyaan tentang bagaimana memanage Joint Venture yang paling efektif.

II.2.5 Persamaan Dan Perbedaan Antara Joint Operation Dan Joint Venture

Bila dilihat dari pengertian dari masing-masing bentuk kerjasama ini, berdasarkan Surat Dirjen Pajak Nomor S-323/PJ.42/1989 tentang masalah perpajakan bagi bentuk kerjasama operasi, mendefinisikan “Joint Operation sebagai kumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek penggabungan yang bersifat sementara sampai proyek tersebut selesai”. Sedangkan Menurut Peter Mahmud, Joint Venture merupakan suatu kontrak antara dua perusahaan untuk membentuk satu perusahaan baru, dimana perusahaan baru inilah yang disebut dengan perusahaan Joint Venture.

(14)

Meskipun banyaknya pengertian lain yang digunakan dalam bentuk ventura bersama, namun semuanya sama-sama mengandung pengertian bahwa bentuk aliansi ini merupakan suatu perikatan atau kerjasama antara dua badan atau lebih, untuk menjalankan suatu aktivitas ekonomi yang terikat oleh suatu perjanjian kontraktual yang membentuk suatu pengendalian bersama.

Dilihat dari penerapannya, bentuk penggabungan seperti ini bukanlah merupakan Subjek Pajak dari pengenaan PPh Badan, namun penghasilan yang diperoleh atas bagi hasil pada masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi atau bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya, tetap merupakan Objek Pajak dan dikenakan pada masing-masing badan yang menjadi anggota dalam menjalankan JO/ JV tersebut. Meskipun macam bentuk penggabungan ini tidak dikenakan PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29 di badan usahanya, tetapi mereka tetap diwajibkan memungut PPh Pasal 21/ 26, PPh Pasal 23, serta transaksi PPN atas setiap transaksi yang berkaitan dengan penjualannya. Oleh karena itu bentuk penggabungan (Joint Operation dan Joint Venture) ini harus memperoleh NPWP untuk tujuan administrasi dalam pemungutan PPh dan PPN. Bentuk kerjasama ini tidak berkewajiabn untuk menyampaikan laporan dan membayar PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29, namun diwajibkan memotong dan memungut PPh Pasal 21/ 26, PPh Pasal 23 dan PPN, serta menyetorkan ke kas Negara dan melaporkannya ke KPP.

II.2.6 Bentuk-bentuk Ventura Bersama (Joint Venture)

Dalam PSAK No. 12 Tentang Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama, menyebutkan bahwa ventura bersama menggunakan banyak bentuk dan struktur yang berbeda. Pernyataan ini dapat mengidentifikasikan 3 (tiga) jenis bentuk ventura bersama

(15)

yaitu, pengendalian bersama operasi, pengendalian bersama aset, dan pengendalian bersama entitas. Yang secara umum dijelaskan sebagai, dan memenuhi definisi dari ventura bersama. Karakteristik umum seluruh ventura bersama adalah sebagai berikut: - Dua atau lebih venturer terikat oleh suatu perjanjian kontraktual.

- Perjanjian kontraktual tersebut membentuk pengendalian bersama. 1. Pengendalian Bersama Operasi (Jointly Controlled Operation)

Dalam pengendalian bersama operasi (PBO), terdapat beberapa karakteristik, yaitu : a. Pemanfaatan aset dan sumber daya lainnya dari para venturer dan tidak

memerlukan pembentukan suatu PT, firma, atau badan usaha lain ataupun pengelolaan keuangan yang terlepas dari venturer.

b. Masing-masing venturer menggunakan aktiva tetapnya.

c. Perjanjian biasanya mengatur cara pembagian pendapatan dan beban bersama. d. Setiap venturer membukukan dan menyajikan dalam laporan keuangan

masing-masing, yaitu :

- Aktiva yang dikendalikan sendiri dan kewajiban yang ditanggung sendiri. - Beban yang terjadi dari aktivitas sendiri dan bagian atas pendapatan bersama

atas penjualan.

e. Laporan keuangan tersendiri untuk Joint Venturewajib disusun apabila jumlah material dan proyek bersifat jangka panjang.

Contoh dari PBO adalah apabila dua atau lebih venturer menggabungkan operasi, sumber daya dan keahliannya dalam rangka memproduksi, memasarkan dan mendistribusikan bersama suatu produk tertentu, misalnya pesawat terbang. Proses produksi komponen pesawat tertentu dilakukan oleh masing-masing venturer. Setiap venturer memikul biayanya sendiri dan memperoleh bagian dari hasil penjualan pesawat

(16)

terbang, sesuai dengan cara pembagian yang telah disepakati dalam perjanjain kontraktual.

Sehubungan dengan bagian partisipasi (interest) venturer pada PBO, setiap venturer membukukan dan menyajikan dalam laporan keuangan masing-masing :

a. Aktiva yang dikendalikan sendiri dan kewajiban yang timbul atas aktivitasnya sendiri, dan

b. Beban (expenses) yang terjadi atas aktivitasnya sendiri dan bagiannya (its share) atas pendapatan bersama dari penjualan barang dan jasa oleh Joint Venture tersebut.

Laporan keuangan tersendiri untuk Joint Venture wajib disusun apabila jumlahnya material dan proyek kerjasama diselesaikan dalam jangka panjang. Jenis, bentuk dan isi laporan keuangan disesuaikan dengan kebutuhan venturer dan perjanjian kontraktual.

2. Pengendalian Bersama Asset (Jointly Controlled Assets) Karakteristik dalam pengendalian bersama aset (PBA), yaitu :

a. Para venturer melakukan pengendalian bersama dan kepemilikan besama atas aset yang diserahkan oleh venturer, atau dibeli untuk kegiatan Joint Venture. b. Aset tersebut digunakan untuk menghasilkan keuntungan bagi para venturer. c. Masing-masing venturer dapat mengambil bagiannya atas output yang dihasilkan

oleh aset tersebut, berikut bagian atas beban yang terjadi.

d. Dalam pelaksanaan Joint Venture seperti ini, tidak perlu didirikan suatu PT, firma, atau badan usaha lain.

e. Setiap venturer dalam PBA membukukan dan menyajikan : - Bagiannya atas aset yang dikendalikan bersama,

(17)

- Kewajiban yang menjadi tanggung jawab sendiri, - Bagiannya atas kewajiban bersama,

- Bagiannya atas output dan beban bersama, - Beban yang menjadi tanggungan sendiri.

Banyak aktivitas dalam industri penambangan minyak, gas dan mineral yang dilaksanakan melalui PBA misalnya, beberapa perusahaan minyak dapat mengendalikan dan mengoperasikan bersama saluran minyak (oil pipeline). Masing-masing venturer menggunakan saluran tersebut untuk mengangkut produknya dan memikul bagiannya atas beban pengoperasian saluran tersebut dalam proporsi yang telah disepakati. Contoh lain pengendalian bersama aset adalah bila dua perusahaan mengendalikan bersama suatu properti, masing-masing venturer mendapat bagian atas pendapatan sewa dan memikul bagiannya atas beban yang terjadi.

Sehubungan dengan bagian partisipasi (interest) venturer dalam pengendalian bersama aset, setiap venturer membukukan dan menyajikan dalam laporan keuangannya masing-masing:

a. Bagiannya (share) atas asset yang dikendalikan bersama, diklasifikasikan menurut sifat dari aset tersebut, bukan sebagai investasi. Sebagai contoh bagiannya atas saluran minyak diklasifikasikan sebagai aktiva tetap.

b. Setiap kewajiban yang menjadi tanggungannya sendiri, misalnya pinjaman bank yang digunakan untuk membiayai partisipasinya pada Joint Venture.

c. Bagiannya (share) atas setiap kewajiban bersama yang ditanggung bersama oleh para venturer sehubungan dengan Joint Venture.

d. Bagiannya (share) atas output Joint Venture,dan bagiannya atas beban bersama yang terjadi pada Joint Venture tersebut, dan

(18)

e. Beban yang menjadi tanggungannya sendiri sehubungan dengan partisipasinya dalam Joint Venture, misalnya bunga atas pinjaman bank yang digunakan untuk membiayai partisipasinya pada Joint Venture.

Perlakuan akuntansi PBA mencerminkan substansi dan realitas ekonomi dan bentuk formal Joint Venture. Pembukuan tersendiri untuk Joint Venture tersebut dapat dibatasi misalnya pada beban bersama yang terjadi, yang akhirnya harus ditanggung bersama oleh para venturer sesuai dengan pembagian yang telah disepakati. Laporan keuangan tersendiri wajib disusun untuk Joint Venture tersebut apabila jumlahnya material dan proyek kerjasama diselesaikan dalam jangka panjang. Jenis, bentuk, dan isi laporan keuangan disesuaikan dengan kebutuhan venturer dan perjanjian kontraktual.

3. Pengendalian Bersama Entitas (Jointly Controlled Entity)

Pengendalian bersama entitas adalah ventura bersama yang melibatkan pendirian suatu perseroan terbatas, persekutuan atau entitas lainnya yang mana setiap venturer mempunyai bagian partisipasi. Entitas tersebut beroperasi seperti entitas lainnya, namun didukung dengan adanya perjanjian kontraktual antar venturer yang menjadi dasar dari pengendalian bersama atas ektivitas ekonomi entitas.

Untuk mengakui partisipasinya dalam PBE, venturer dapat menggunakan metode akuntansi konsolidasi atau metode ekuitas. Pada metode konsolidasi proporsional, venturer mengakui dan menyajikan setiap bagiannya atas aset, liabilitas, penghasilan dan beban dari PBE dengan cara menggabungkannya satu persatu unsur yang serupa dalam laporan keuangan venturer, atau melaporkannya sebagai unsur baris terpisah.

Sedangkan pada metode ekuitas, venturer mengakui bagian partisipasi dalam PBE yang pada awalnya dicatat sebesar harga perolehan dan selanjutnya disesuaikan untuk

(19)

perubahan setelah perolehan atas aset neto dari PBE. Pengakuan laba atau rugi venturer sebesar bagian venturer atas laba atau rugi dari pengendalian bersama entitas. Metode ekuitas tidak lagi digunakan jika venturer berhenti memiliki pengendalian bersama atas, atau berhenti memiliki pengaruh signifikan dalam pengendalian bersama entitas.

II.2.7 Pengertian Pengusaha Kena Pajak Pada Ventura Bersama (Joint Venture) Dalam Pasal 1 Angka 15 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, menyebutkan bahwa pengusaha kena pajak (PKP) mengandung pengertian sebagai berikut:

- Pengusaha (Perusahaan) yang tidak termasuk Pengusaha Kecil yang menyerahkan Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak,

- Pengusaha yang memenuhi syarat ini, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebelum melakukan penyerahan BKP/ JKP,

- Pengusaha kecil yang menyerahkan BKP/ JKP, dan memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak

- Pengusaha kecil diberikan pilihan untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak atau tidak menjadi Pengusaha Kena Pajak. Artinya, hukumnya tidak wajib.

Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000, menyebutkan bahwa, yang termasuk Pengusaha Kena Pajak yaitu :

a. Pengsuaha yang baru berniat akan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak (dalam tahap pra operasi/ belum berproduksi komersial), artinya perusahaan tersebut belum memulai usahanya, tetapi dari kegiatan persiapan yang dilakukan seperti pembelian barang modal atau bahan baku dapat diketahui bahwa Pengusaha ini berniat akan melakukan panyerahan Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak.

(20)

b. Bentuk kerjasama operasi (Joint Operation/ Joint Venture) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak. Apabila Joint Operation/ Joint Venture tersebut hanya merupakan alat koordinasi, sedangkan transaksi penyerahan BKP/ JKP tetap dilakukan sendiri-sendiri oleh peserta Joint Operation/ Joint Venture, maka Joint Operation/ Joint Venture tersebut tidak perlu dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Tetapi apabila Joint Operation/ Joint Venturedianggap seolah-olah merupakan entitas terpisah dari perusahaan anggotanya, maka Joint Operation/ Joint Venture tersebut dapat dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

II.2.8 Kewajiban Perusahaan Joint Venture Sebagai Pemotong Pajak

Kewajiban-kewajiban perusahaan Joint Venture) sebagai pemotong/ pemungut pajakdapat diuraikan sebagai berikut :

1. Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak ini muncul pada saat Joint Venturemelakukan pembayaran atau pengakuan biaya sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilaukan oleh orang pribadi dalam negeri. Berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008, tariff pajak yang berlaku menurut ketentuan dalam Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan adalah :

1). Orang Pribadi

- Sampai dengan Rp50.000.000,00 sebesar 5%

- Di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp250.000.000,00 sebesar 15% - Di atas Rp250.000.000,00 sampai dengan Rp500.000.000,00 sebesar 25% - Di atas Rp500.000.000,00 sebesar 30%

(21)

2). Badan dan Bentuk Usaha Tetap

- Sampai dengan Rp50.000.000,00 sebesar 10%

- Di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00 sebesar 15% - Di atas Rp100.000.000,00 sebesar 30%.

2. Pajak Penghasilan Pasal 23

Muncul pada saat Joint Venture melakukan pembayaran atau pengakuan biaya atas bunga, dividen, royalty, dan sewa atas penggunaan harta dan modal, serta pembayaran atau pengakuan biaya sehubungan dengan hadiah dan penghargaan, jasa teknik, jasa managemen dan jasa lain yang dilakukan oleh Subjek Pajak Badan Dalam Negeri.

Atas penghasilan berupa deviden, bunga (termasuk premium dan diskonto), imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto.

Atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan), serta atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

Mengenai jasa lain yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan Undang-undang 36/ 2008. Dengan diterbitkannya PMK-244/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember tentang jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf C Undang-undang Pajak Penghasilan. Pada tahun 2009, pasal 23 mempunyai dua macam tarif. Karena sebelum tahun 2009, tarif pasal 23 hanya terdiri dari satu tarif 15% (dari bruto maupun netto), dan sekarang tarif pasal 23 terdiri dari 2% dan 15% dari jumlah

(22)

bruto. Oleh karena itu, Peraturan Menteri Keuangan hanya menjelaskan jenis jasa lain yang dimaksud dalam pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan, tanpa mencantumkan perkiraan penghasilan netto seperti aturan PPh Pasal 23 terdahulu. Apabila ada jasa yang tidak tercantum, maka jasa tersebut tidak akan menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Seperti jasa konstruksi misalnya, maka atas Jasa Konstruksi tidak dipotong PPh Pasal 23, melainkan dikenakan pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2).

3. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)

PPh pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa, atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pajak penghasilan yang dikenakan terhadap objek pajak penghasilan PPh Pasal 4 ayat (2) hanya sekali dikenakan dan tidak perlu dihitung lagi dengan tarif pajak Pasal 17 Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Apabila wajib pajak atas penghasilannya telah dipotong final, maka :

1. Atas penghasilan tersebut tidak perlu dihitung lagi dalam SPT Tahunan (Badan atau Orang Pribadi), hanya dilaporkan saja. Sehingga, apabila seluruh penghasilannya merupakan penghasilan bersifat final, maka tidak ada PPh terutang atau SPT Nihil. 2. Apabila PPh yang bersifat final dipotong pihak lain, maka berhak meminta bukti

pemotongannya.

(23)

a. Penghasilan berupa bunga deposito/ tabungan, diskonto SBI dan Jasa Giro (Pasal 4 Ayat (2) huruf a Undang-undang PPh Jo Peraturan Pemerintah No. 131 Tahun 2000 Jo KMK 51/ KMK. 04/ 2001.

b. Bunga obligasi dan surat utang Negara, Pasal 4 Ayat (2) huruf a Undang-undang PPh Jo Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2009.

c. Bunga simpanan anggota yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi, (Pasal 4 Ayat (2) huruf a dan Pasal 17 (7) Jo Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2009.

d. Penghasilan berupa hadiah undian, (Pasal 4 ayat (2) huruf b Undang-undang PPh Jo Peraturan Pemerintah No. 132 Tahun 2000.

e. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura (PP Nomor 4 Tahun 1995).

f. Penghasilan dari transaksi pengalihan Hak Atas Tanah dan/ atau Bangunan (harta berupa tanah dan/ atau bangunan dan usaha real estate), dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf d Undang-undang PPh jo Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2008.

g. Persewaan tanah dan/ atau bangunan, dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1996 jo Peraturan Pemerintah No. 05 Tahun 2012.

Sehubungan dengan telah diberlakukannya beberapa ketentuan tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu yang dikenakan secara final, sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-03/PJ.33/1998 Tentang Pengenaan Sanksi Bagi Wajib Pajak Yang Tidak Memenuhi Kewajiban Pph Final. Maka, diberikan penegasan mengenai pengenaan sanksi bagi wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban memungut/ memotong atau membayar PPh Final.

(24)

4. PPN dan PPnBM

Ketentuan PPN dan PPnBM pada perusahaan Joint Venture adalah sebgai berikut : 1) Joint Venture dianggap sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) jika penutupan

kontrak dengan pihak lain dilakukan atas namaJoint Venture. Pajak Masukan dpaat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran Joint Venture apabila dalam faktur pajaknya mencantumkan nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Joint Venture yang bersangkutan.

2) Apabila penutupan kontrak dengan pihak lain secara nyata dilakukan oleh masing-masing anggota, sedangkan Joint Venture hanya sebagai koordinator dan secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/ atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pihak lain, maka masing-masing anggota merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pajak Masukan dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran anggota apabila faktur pajaknya mencantumkan nama, alamat dan NPWP Joint Venture tidak dapat dikreditkan oleh anggota.

3) Dalam hal Joint Venture menunjuk leader, maka apabila atas jasa yang diberikan oleh leader kepada anggota diterima pembayaran imbalan, maka atas pembayaran tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 PP No. 28 Tahun 1988 jo. Pengumuman Dirjen Pajak No. PENG-139/ PJ. 63/ 1989, terutang PPN.

Pada Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012, untuk penyerahan Jasa Kena Pajak, ditegaskan bahwa Penyerahan Jasa Kena Pajak terutang Pajak Pertambahan Nilai jika dilakukan di dalam daerah pabean meskipun JKP tersebut nantinya akan dimanfaatkan di luar daerah pabean. Penyerahan BKP/JKP untuk pemakaian sendiri baik

(25)

untuk tujuan produktif maupun tujuan konsumtif termasuk dalam pengertian penyerahan yang terutang PPN.Namun PPN tidak dipungut khusus untuk pemakaian sendiri BKP/JKP untuk tujuan produktif, kecuali pemakaian sendiri yang digunakan untuk melakukan penyerahan yang tidak terutang PPN atau mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN.

Telah diundangkan pada tanggal 3 Januari 2012 peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Beberapa hal yang baru adalah, penjelasan lebih mendalam tentang tanggung jawab renteng. Pembeli BKP/ JKP baru ‘tidak dapat’ dikenakan tanggung jawab renteng jika tidak dapat membuktikan bahwa dia telah membayar PPN dan/ atau PPnBM kepada penjual atau jika PPN dan/ atau PPnBM tersebut dapat ditagih kepada penjual.

Jika kedua syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka pembeli BKP/ JKP dapat ditagih PPN dan/atau PPnBM dengan menggunakan ketetapan pajak. PP Nomor 1 Tahun 2012 juga menghapus PP Nomor 144 Tahun 2000, sehingga jenis BKP/JKP serta kriteria dan/ atau rincian BKP/ JKP akan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan dengan batasan sesuai Pasal 4A UU PPN.

(26)

II.2.9 Pembagian Bentuk Joint Venture

Secara umum, Joint Venture dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu : 1). Administrative Joint Venture, sering disebut sebagai Kerjasama Operasi dan 2). Non Administrative Joint Venture. Dari segi permodalan, Joint Venture tidak terbagi atas saham. Modal kerja Joint Venture berupa kelebihan kemampuan dari masing-masing anggotanya yang dapat berupa : kemampuan penguasaan teknologi, financial support yang kuat, spesialisasi keahlian, atau bahkan fasilitas penugasan semata.

1). Administrative Joint Venture

Dalam tipe Joint Venture ini, kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditanda tangani atas nama Joint Venture. Dalam hal ini Joint Venture dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri terpisah dari perusahaan para anggotanya. Tanggung jawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas Joint Venture, bukan pada masing-masing anggota Joint Venture. Masalah pembagian modal kerja atau pembagian proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pda porsi pekerjaan (scope of work) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Venture Agreement.

2). Non-Administrative Joint Venture

Joint Venture dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut dengan konsorsium. Di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini hanya bersifat sebagai alat koordinasi.Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing anggota.

(27)

II.2.10 Pentingnya Perjanjian Joint Venture

Perjanjian Joint Venture ini tidak mengakibatkan perubahan struktural pada masing-masing pihak, sehingga mereka masih memiliki hak-hak mereka sebagai pebisnis namun tetap mempunyai tanggung jawab. Dan perjanjian tersebut merupakan perjanjian kerjasama yang didasarkan sepenuhnya pada kontrak. Setiap pihak yang bergabung dalam perjanjian bisnis akan mendapat bagiannya masing-masing atas keuntungan yang diperoleh dalam bisnis, dan juga akan mendapatkan bagian mereka ketika terdapat sumber keuntungan lainnya seperti, pengembalian pajak dan sebagainya. Kecuali Joint Venture tersebut bergerak dalam perusahaan/ organisasi nirlaba yang tidak mengharapkan keuntungan semata.

Perjanjian Joint Venture ini sangat baik dilakukan bagi organisasi/ perusahaan yang memerlukan rekan bisnis atau rekan kerja untuk menangani sebuah proyek secara bersama-sama dalam jangka waktu tertentu. Jadi, dapat dikatakan bahwa perjanjian Joint Venture akan sangat tepat untuk mereka yang memerlukan kerjasama yang sesaat atau tidak untuk selamanya, ataupun dalam jangka panjang.

Selain itu, sangat penting untuk mengamankan kontrak dari pemutusan secara sepihak. Jika ini tidak diatur secara lengkap, kemungkinan akan terjadi salah satu pihak secara diam-diam atau terang-terangan tidak melanjutkan kontrak atau memutuskan kontrak, sehingga proyek pendirian perusahaan akan terganggu. Harus diatur secara tegas bagaimana cara pemutusan kontrak, dan apakah dimungkinkan pemutusan secara sepihak, dan apakah konsekuensinya jika terjadi pihak yang memutuskan secara sepihak. Oleh karena itu, selain mekanisme atau proses yang jelas tentang pemutusan kontrak, harus pula diatur konsekuensinya, atau kompensasi tertentu jika terjadi pemutusan sepihak.

(28)

II.2.11 Isi Perjanjian Joint Venture

Terdapat beberapa hal tentang perjanjian Joint Venture dalam melakasanakan suatu proyek/ bisnis dalam kerjasama, antara lain :

1. Jumlah detail tentang semua pihak yang bergabung dalam kesepakatan perjanjian, serta nama-nama para anggota. Semua data tersebut harus didokumentasikan sebagai syarat administrasi dan mengandung kekuatan hukum, sebagai antisipasi atas kemungkinan terburuk dalam kelangsungan kerjasama.

2. Dokumen atas perjanjian Joint Venture tentang tujuan diadakannya kerjasama tersebut serta point-point persetujuan lainnya.

3. Perjanjian yang membahas kontribusi semua pihak dalam pelaksanaan kerjasama bisnis.

4. Perjanjian Joint Venture yang membahas tentang kepemilikan modal masing-masing pihak serta kesepakatan pembagian hasil, sehingga pembagian hasil yang dicapai dapat dilakukan dengan seadil-adilnya.

5. Perjanjian Joint Venture yang membahas tentang manajemen bisnis tersebut, serta peran masing-masing pihak dalam pelaksanaan bisnis.

6. Hasil dari pembahasan tentang hak atas kekayaan intelektual juga harus dilampirkan dengan lengkap pada perjanjian Joint Venturetersebut.

7. Ketentuan tentang tugas dan kedudukan semua individu dalam Joint Venture tersebut juga harus dibahas sebelumnya, dan dicantumkan di dalam perjanjian Joint Venture. Hal ini dapat mendukung pelaksanaan bisnis dengan baik dan tercapainya sistem manajemen yang baik.

8. Perjanjian Joint Venture tentang penulisan laporan pertanggung jawaban masing-masing pihak.

(29)

Perjanjian Joint Venture merupakan sebuah keharusan untuk lancarnya pelaksanaan kerja sama bisnis antar anggota Joint Venture. Hal ini juga dibicarakan oleh semua anggota/ pihak yang akan bergabung dalam bisnis Joint Venture ini, sehingga keselarasan dapat tercapai untuk mencapai sebuah kesuksesan.

II.2.12 Kebijakan Umum Di Bidang Perpajakan Atas Perusahaan Joint Venture Untuk dapat menjalankan kebijakan perpajakan dengan baik, suatu perusahaan harus dapat memahami ketentuan perpajakan yang ada (menyangkut hak dan kewajibannya), disesuaikan dengan karakteristik usaha yang dijalankan. Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), bahwa subjek PPh terdiri dari Orang Pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, Badan dan Badan Usaha Tetap (BUT).

Walaupun bentuk kerjasama ini bukan merupakan Subjek Pajak, namun ia tetap berkewajiban untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Berdasarkan Surat Dirjen Pajak Nomor : S-323/PJ.42/1989 dinyatakan bahwa pemberian NPWP kepada bentuk ventura bersama (Joint Venture) semata-mata hanya untuk keperluan pemotongan/ pemungutan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26 dan PPN atas transaksi yang dilakukan atas nama ventura bersama.

II.2.13 Kewajiban Perpajakan Perusahaan Dan Kewajiban Para Pihak Perusahaan Joint Venture

Walaupun penghasilan yang diterima atau diperoleh Joint Venture merupakan penghasilan sehubungan dengan menjalankan kegiatan usaha untuk melakukan pekerjaan bebas, Joint Venture tidak mempunyai kewajiban PPh Pasal 25 dan PPh Pasal

(30)

29, karena Joint Venture bukan merupakan subjek pajak penghasilan. Subjek pajak (pihak penanggung pajak) adalah para venturer, sehingga kewajiban PPh Pasal 25 dan Pasal 29 tetap melekat pada venturer. Laba atau rugi Joint Venture dialokasikan/ didistribusikan kepada para venturer sesuai dengan bagian partisipasi masing-masing, untuk kemudian dicatat sebagai penghasilan/ kerugian dari Joint Venture, dan digabungkan dengan penghasilan lainnya pada tahun pajak yangsama dari venturer yang bersangkutan dalam rangka perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29.

Laba atau rugi Joint Venture yang didistribusikan kepada para venturer merupakan laba atau rugi fiskal. Dalam penyusunan laporan laba/ rugi fiskal diperlukan adanya perlakuan yang tepat berdasarkan Prinsip Akuntansi yang berlaku umum, dan peraturan perpajakan yang berlaku atas dua unsur utama lapaoran laba/ rugi, yaitu pendapatan dan biaya.

Dalam halnya mengenai kewajiban para pihak dalam perusahaan, di mana kontrak Joint Venture melibatkan lebih dari satu pihak yang berjanji untuk mendirikan sebuah perusahaan. Dengan demikian,akan muncul sejumlah hak dan kewajiban para pihak. Kontrak Joint Venture harus jelas menguraikan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak selama pendirian perusahaan. Misalnya, pihak mana yang mengurus perjanjian, pengurusan lahan, dan sebagainya. Dan yang lebih penting adalah mengenai beban biaya pengurusan kewajiban kepada siapa dibebankan.

Sering terjadi perselisihan mengenai tanggung jawab atas biaya yang sudah dikeluarkan, manakala ternyata perusahaan Joint Venture gagal didirikan. Oleh karena itu, kontrak Joint Venture harus mengantisipasi hal tersebut. Jika perlu disertai dengan ketentuan ganti rugi jika ada pihak yang gagal melaksanakan kewajibannya.

(31)

II.2.14 Perlakuan Perpajakan Atas Ventura Bersama (Joint Venture) A. Status Subyek dan Wajib Pajak

Secara eksplisit, bentuk Joint Venture tidak termasuk dalam pengertian subjek pajak badan. Hal ini dipertegas dengan rulling yang pernah dikeluarkan oleh pihak Direktorat Jendral Pajak (DJP) Nomor SE-44/PJ./1994 Tanggal 24 Oktober 1994 yang menyebutkan bahwa Joint Venture bukan subjek PPh Badan. Penegasan terakhir mengenai posisi DJP ini dapat dibaca juga pada private ruling yang dikeluarkan oleh pihak DJP melalui suratnya dengan Nomor: S-823/PJ.312/2002 tertanggal 24 Oktober 2002.

Meski demikian, merefer pada ketentuan Pasal 1 a UU KUP Nomor 16/2000 dan Pasal 1 (2) huruf 1 UU PPN Nomor 18/2000, Joint Venture termasuk dalam ketegori sebagai Wajib Pajak yang ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu dan pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan barang/ jasa kena pajak.

Sehingga apabila Joint Venture telah memiliki NPWP, dengan statusnya bukan sebagai objek pajak PPh badan, maka tidak ada kewajiban bagi Joint Venture untuk melaporkan SPT 1771 karena bagian profit didistribusikan kepada para anggotanya (dilaporkan dalam SPT PPh Badan anggota). Registrasi NPWP untuk Joint Venture, lebih banyak ditujukan untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan di bidang withholding income taxes dan PPN.

B. Kewajiban Withholding Income Taxes (PPh 4 Ayat 2 final, 21, 22, 23,26)

Secara garis besar, kewajiban withholding income taxes Joint Venture terkait dengan pola atau bentuk Joint Venture yang dilakukan. Apabila seluruh transaksi antara

(32)

Joint Venture dengan pihka ketiga (khususnya subkontraktor) dilakukan atas nama Joint Venture, maka Joint Venture berkewajiban untuk melakukan withholding (pemotongan/ pemungutan) atas pembayaran-pembayaran tersebut. Misalnya, apabila penyewaan gedung kantor dilakukan atas nama Joint Venture kepada pemilik, maka kewajiban PPh Pasal 4 Ayat 2 (final) sebesar 10% berada di tangan Joint Venture. Begitu pula jika Joint Venture membayar gaji/ upah kepada karyawannya, maka Joint Venture terutang PPh 21/ 26. Lebih jauh, apabila pihak Joint Venture melakukan pembayaran bunga dan jasa-jasa sebagaimana diatur dalam Keputusan DJP No.KEP-305/2001, maka Joint Venture terutang PPh Pasal 23.

Dalam hal masing-masing anggota Joint Venture yang berkewajiban untuk membayarkan sewa gedung, gaji/ upah, bunga dan jasa-jasa lain tersebut, maka Joint Venture tidak terutang withholding income taxes PPh Pasal 4 Ayat 2 (final), PPh 21/ 26, dan PPh 23. Kewajiban withholding income taxes akan menjadi tanggung jawab masing-masing anggota Joint Venture.

Apabila Joint Venture memperoleh penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 23, mengacu pada ketentuan Surat Edaran DJP Nomor SE-44/PJ./1994, maka pemotongan PPh Pasal 23 oleh pemilik proyek dapat dilakukan dengan cara :

1). Pengajuan splitting/ pemecahan dan overbooking/ pemindahbukuan bukti pemotongan PPh Pasal 23 atas nama Joint Venture kepada para anggotanya di KPP, tempat Joint Venture terdaftar/ berkedudukan, untuk kemudian diklaim sebagi kredit pajak dalam SPT PPh badan para anggota Joint Venture. Hal ini dilakukan pada kasus pemotongan PPh Pasal 23 oleh pemilik proyek yang telah terlanjur dilakukan atas nama Joint Venture.

(33)

2). Pemilik proyek membuat bukti pemotongan PPh Pasal 23 atas nama Joint Venture dengan qq anggota (NPWP anggota Joint Venture) dengan menyebutkan jumlah pajak porsi masing-masing anggota Joint Venture. Ini dapat diterapkan apabila pemotongan Pasal 23 belum dibukukan.

C. Kewajiban PPN dan PPnBM

1). Apabila seluruh transaksi dengan pihak lain secara nyata dilakukan atas nama Joint Venture, maka wajib untuk dikukuhkan sebagai PKP. Konsekuansinya, Joint Venture berkewajiban untuk menerbitkan faktur pajak atas setiap billing yang timbul akibat penyerahan BKP/ JKP dan melaporkan SPM PPN setiap bulannya. Perlu diperhatikan di sini mengenai PPN masukan yang dapat diklaim oleh Joint Venture dalam SPM yang dilaporkannya. Joint Venture hanya diperkenankan untuk mengkreditkan PPN masukan sepanjang faktur pajak dengan jelas ditunjukan atas NPWP Joint Venture. Setiap faktur pajak yang ditujukan dan atas nama anggota, tidak dapat dikreditkan oleh Joint Venture sebagai PPN masukan.

2). Sebaliknya, jika transaksi dengan pihak lain secara faktual dilakukan atas nama masing-masing anggota Joint Venture (Joint Venture hanya bertindak sebagai koordinator dan tidak memiliki kewenangan untuk bertransaksi), maka setiap anggota Joint Venture berkewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP, dan kewajiban penerbitan faktur pajak dan pelaporan SPM ada pada anggota Joint Venture. PPN masukan yang ditujukan untuk dan atas nama Joint Venture tidak dapat dikreditkan dengan PPN keluaran para anggota Joint Venture. Dalam hal Joint Venture menunjuk Joint Venture leader/ coordinator, setiap pembayaran imbalan jasa yang diberikan oleh leader/ coordinator kepada anggota lainnya, tetap terutang PPN.

(34)

D. Aspek Perpajakan Lainnya

1). Apabila salah satu anggota Joint Venture adalah WPLN, maka yang bersangkutan dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Konsekuensinya, atas pembagian laba Joint Venture akan terkena pajak tambahan berupa PPh Pasal 26 Ayat 4.

2). Apabila Joint Venture menganut konsepsi KSF, dapat terjadi Joint Venture tidak menyelenggarakan pembukuan, karena pencatatan dilakukan oleh masing-masing anggota. Oleh karena itu, tiap-tiap anggota Joint Venture bertanggung jawab sepenuhnya atas konsekuensi perpajakan yang menyangkut bagiannya, termasuk tanggung jawab perpajakannya saat dilakukan pemeriksaan pajak (tax audit).

Sebaliknya, jika konsepsi KSO yang dianut, maka Joint Venture berkewajiban menyelenggarakan pembukuan dan menyusun laporan keuangan berdasarkan dokumen, catatan dan supporting data yang relevan, untuk mengetahui pembagian laba yang akan didistribusikan kepada anggota Joint Venture. Terkait dengan masa daluwarsa perpajakan dan periode kewajiban penyimpanan dokumen pembukuan, sebagai dasar penghitungan pajak terutang selama 10 tahun, tanggung jawab melayani pemerintah fiskus dalam hal dilakukan pemeriksaan pajak akan menjadi masalah jika Joint Venture bubar.

II.2.15 Pembubaran Perusahaan Joint Venture

Pembubaran perusahaan Joint Venture diatur dalam kontrak Joint Venture, yang berisikan tentang tata cara pembubaran, likuidasi, dan konsekuensi hukumnya bagi para pihak, juga konsekuensi terhadap pihak ketiga, termasuk karyawan, yang harus

(35)

dipenuhi oleh para pihak atau perusahaan Joint Venture yang terbentuk. Masalah pembubaran Joint Venturejuga diatur dalam anggaran dasar perusahaan Joint Venture, tetapi lebih baik jika dalam kontrak Joint Venturejuga diatur secara lebih lengkap.

Isi dari pernyataan pembubaran perusahaan Joint Venture, antara lain : 1. Perusahaan Joint Venture bubar, karena :

a. Jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir, b. Tujuan perusahaan telah tercapai atau tidak tercapai,

c. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap berdasarkan alasan : 1. Perusahaan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan,

2. Tidak mampu membayar hutangnya setelah dinyatakan pailit, atau

3. Harta kekayaan perusahaan tidak cukup untuk melunasi hutangnya setelah pernyataan pailit dicabut.

2. Apabila perusahaan bubar sebagaimana diatur dalam angka (1) huruf a dan huruf b, Pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kakayaan perusahaan.

3. Apabila tidak ditunjuk likuidator, maka pengurus bertindak sebagai likuidator. 4. Pembubaran perusahaan hanya dapat dilakukan berdasarkan Rapat Pembina yang

dihadiri paling sedikit ¾ (tiga per empat) dari jumlah anggota Pembina dan disetujui paling sedikit ¾ (tiga per empat) dari seluruh jumlah naggota Pembina yang hadir.

Referensi

Dokumen terkait

Linear regression analysis was used to determine the possible corre- lation between postoperative time and duration of nursing care, and multiple regression analysis and

Indikator kinerja dalam meningkatkan efektifitas pengelolaan penyelesaian perkara berupa persentase salinan putusan yang dikirim ke pengadian pengaju yang tepat waktu dan

[r]

Kuliah Tatap Muka : 4x50” RPS Kontrak belajar Paradigma dalam penelitian kualitatif 10 2 - Menjelaskan karakteristik penelitian kualitatif - Menjelaskan kelebihan dan

Uji beda rata-rata ini dilakukan untuk menyelidiki apakah ada pengaruh dalam pemberian latihan ballhandling terhadap keterampilan menggiring bola dalam permainan

Suhu yang dikondisikan pada praktikum ini adalah 20 0 C, yang bertujuan agar tidak seluruhnya kristal asam maleat akan mengendap, karena filtratnya akan digunakan untuk dibuat

Halaman hasil Ujian CBT ini merupakan halaman informasi yang berisi nilai yang diperoleh Peserta PPDB setelah selesai mengerjakan ujian tesebut.Tampilan dari halaman hasil

Kegiatan Penatausahaan Persediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilaksanakan sesuai pedoman yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak