• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. menganalisis GK dengan sudut pandang dan analisis yang berbeda-beda.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. menganalisis GK dengan sudut pandang dan analisis yang berbeda-beda."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Karya sastra GK mengundang perhatian beberapa peneliti sastra yang menganalisis GK dengan sudut pandang dan analisis yang berbeda-beda. Penelitian terhadap GK yang pernah dilakukan yaitu mengenai estetis karya, struktur karya, dan kritik sosial. Pembahasan yang dilakukan oleh para peneliti juga beragam, di antaranya sebagai ulasan dalam proyek penelitian dan pembahasan struktur yang dianggap tidak komperhensif. Para peneliti yang pernah membicarakan GK, di antaranya adalah tim peneliti dari Universitas Udayana (1995), Cokorda Istri Sukrawati (2005), dan Putu Eka Guna Yasa (2014).

Tim Peneliti Universitas Udayana yang diketuai oleh I Wayan Suteja, menulis laporan penelitian pada Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, Provinsi Bali berjudul “Aspek Puitis Geguritan Kawiswara” (1995). Dalam laporan penelitian itu dibicarakan masalah estetika karya dalam hal penggunaan idiom-idiom maupun metafora-metafora dalam GK. Pengungkapan keindahan kata dan kalimat yang merangkai karya sastra ini telah dilakukan secara menyeluruh. Keindahan bahasa yang digunakan dalam teks menjadi fokus dalam penelitian ini. GK dalam penelitian ini dianalisis dari aspek estetis, pengguanaan idiom yang banyak, sekaligus memberikanruang penafsiran yang luas. Pengetahuan linguistik diperlukan dalam hal ini untuk menghasilkan penelitian yang objektif. Pengarang menyelipkan sebuah maksud dari metafora-metafora yang terdapat di dalam GK sehingga pada akhirnya pengungkapan mengenai makna merupakan hal

(2)

2

yang diharapkan. Makna yang dihasilkan dari analisis estetik, menjadi gambaran umum pada penelitian yang dilakukan.

Cokorda Istri Sukrawati (2005) dalam penelitian berjudul “Geguritan Kawiswara Analisis Struktur dan Nilai”. Hasil penelitian itu merupakan laporan penelitian pada Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Dalam penenelitian ini dibahas struktur pembangun teks GK yang terdiri atas tema, amanat, tokoh, dan penokohan. Selain itu, nilai filosofis secara umum juga diungkapkan dalam karya ini yang berkenaan dengan idealisme pemikiran, pandangan empirisme, dan pandangan pragmatis. Pada penelitian ini GK diterjemahkan dengan baik dan utuh yang menggunakan teks naskah terbitan Yayasan Dharma Sastra (2011). Menurut pengamatan penulis, analisis struktur pada penelitian ini masih sangat ringkas karena hanya memperkenalkan para tokoh dan belum memperdalam mengenai karakteristik tokoh dengan lebih jauh.

Putu Eka Guna Yasa (2014) menulis makalah yang berjudul “Kritik Sosial dalam Geguritan Kawiswara”. Makalah ini disajikan dalam seminar di Balai Bahasa Provinsi Bali yang mengulas kritik sosial terhadap para spiritualis, penekun sastra, dan pandangannya terhadap ilmu pengobatan yang termuat dalam GK. Selain itu, refleksi dari ketiga tokoh yang berdialog, yakni Kawiswara, Rasutama, dan Bajradhana disinggung juga oleh penulis dalam kaitan mengungkapkan kritik sosial yang ada di dalamnya. Ulasan mengenai kritik sosial pada makalah ini menjadi pembahasan awal yang mengantarkan pada pemahaman karya sastra GK yang lebih komperhensif, sesuai dengan keutuhan karya.

Berdasarkan pada penelitian-penelitian mengenai GK yang telah dilakukan sebelumnya, maka posisi penelitian ini yaitu: 1) mengulas struktur intrinsik puisi secara lebih komprehensif di antaranya metrum, gaya bahasa, dan struktur naratif; 2)

(3)

3

menempatkan analisis wacana (diskursus) sebagai kajian utama untuk menjelaskan kompleksitas ajaran-ajaran yang terdapat dalam GK, terutama mengenai persoalan kehidupan yang berkaitan dengan agama Hindu di Bali.

2.2 Konsep

Konsep adalah rancangan dari suatu ide yang diperlukan untuk memberikan penjelasan, pemahaman dan pembatasan terhadap lingkup kajian dalam penelitian ini. Di samping itu, sekaligus sebagai bentuk abstraksi dalam tataran teoretis maupun praktis. Konsep-konsep yang diuraikan sehubungan dengan penelitian ini adalah konsep

geguritan dan konsep wacana sunia merta.

2.2.1 Konsep Geguritan

Geguritan sebagai bentuk karya sastra Bali tradisional yang tergolong ke dalam

salah satu kesusastraan tembang di Bali diistilahkan dengan sekar alit (bunga kecil). Agastia (1980: 16-17) menjelaskan bahwa karya sastra ini mempunyai sistem konvensi atau metrum yang cukup ketat yang dibentuk oleh pupuh atau pupuh-pupuh.

Pupuh-pupuh tersebut diikat oleh syarat yang disebut dengan padalingsa (banyaknya baris

dalam bait (pada), banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik), dan bunyi akhir tiap-tiap baris, yang membuat pupuh tersebut harus dilagukan. Hal itu juga terjadi karena dalam menulis dan atau mengarang dengan pupuh biasanya pengarang sambil melagukannya atau karya sasra geguritan diciptakan sambil dilagukan.

Bahasa yang digunakan dalam sastra geguritan umumnya diistilahkan dengan bahasa Bali Kawi. Bahasa Bali Kawi umumnya dijumpai dalam karya sastra Bali pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong. Bahasa Bali Kawi memiliki struktur bahasa Bali, tetapi banyak memakai bentuk morfologis atau kata-kata bahasa Kawi. Bahasa

(4)

4

Bali Kawi biasanya banyak dijumpai pada periode kerajaan Gelgel dan Klungkung. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kesusastraan Jawa, yang kemudian disebut dengan istilah kesusastraan Jawa Bali sangat memengaruhi masyarakat Bali (Sancaya, 1990:13).

Pada hakikatnya karya sastra yang dibangun oleh konvensi pupuh-pupuh tersebut bersifat fungsional di masyarakat yang bertujuan untuk ditembangkan atau dilagukan. Geguritan yang terbangun oleh pupuh-pupuh ini senantiasa menarik untuk dilagukan sekaligus didiskusikan melalui kegiatan tradisi mabebasan1. Dalam perkembangnanya, pupuh-pupuh yang membangun sebuah geguritan tersebut sebenarnya berasal dari Jawa yang berjumlah lebih dari kima belas buah pupuh

(tembang macapat) (Sardjana, 1968:14). Dalam kesusastraan Bali terdapat lebih dari 45

buah pupuh yang menunjukkan bahwa di Bali telah terjadi penciptaan pupuh-pupuh yang baru. Namun, tidak semua pupuh tersebut populer di masyarakat. Pupuh yang populer agaknya hanya sepuluh buah pupuh, yaitu pupuh Sinom, pupuh Semarandana,

pupuh Maskumambang, pupuh Mijil, pupuh Pucung, pupuh Pangkur, pupuh Ginada, pupuh Ginanti, pupuh Dangdang, dan pupuh Durma (Agastia, 1980:18).

Menurut Tinggen2 (1988:31), kesepuluh pupuh tersebut memiliki padalingsa yang berbeda, yaitu pupuh sinom terdiri atas sepuluh baris dengan jumlah suku kata dan bunyi akhir suku kata (8a, 8a, 8i, 8i, 8u, 8a, 8i, 4u, 8a), pupuh ginada terdiri atas tujuh baris dengan jumlah suku kata dan bunyi akhir suku kata (8a, 8i, 8a, 8u, 8a, 4i, 8a),

1

Istilah mabebasan, menurut I Wayan Jendra (1995), mabebasan berarti „perihal berbahasa‟, dengan kegiatan membaca sekaligus menembangkan karya sastra, baik kakawin maupun sloka. Sebelumnya tradisi mabebasan, menurut Medera (1989:15) tidak hanya kakawin dan sloka yang dijadikan bahasan dalam mabebasan, tetapi banyak juga jenis geguritan yang digunakan sebagai bahan bahasan, yang melibatkan pembaca (pangwacen), penerjemah (peneges/pangartos), yang memberikan ulasan, dan pendengar.

2

Buku yang ditulis oleh Bapak Nengah Tinggen dengan judul Aneka Rupa Paribasa Bali, ditemukan pula dalam terbitannya yang lain, yaitu pada tahun terbit 1988 oleh penerbit Rhika Dewata.

(5)

5

pupuh Durma terdiri atas tujuh baris yang memiliki jumlah suku kata dan bunyi akhir

suku kata (12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i), pupuh pangkur terdiri atas tujuh baris dengan ketentuan jumlah suku kata dan bunyi akhir suku kata (8a, 10i, 8u, 8a, 12u, 8a, 8i),

pupuh ginanti yang terdiri atas enam baris memiliki jumlah suku kata dan bunyi akhir

suku kata (8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i), pupuh maskumambang terdiri atas lima baris dengan jumlah suku kata dan bunyi akhir suku kata (4a, 8i, 6a, 8i, 8a), pupuh pucung terdiri atas enam baris dengan ketentuan jumlah suku kata dan bunyi akhir suku kata (4u, 8u, 6a, 8i, 4u, 8a), pupuh mijil terdiri atas tujuh baris dengan ketentuan jumlah suku kata dan bunyi akhir suku kata (4u, 6i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u), pupuh Semarandana terdiri atas tujuh baris dengan jumlah suku kata dan bunyi akhir suku kata (8i, 8a, 8o, 8a, 8a, 8u, 8a), dan

pupuh dangdang berjumlah dua belas baris memiliki jumlah suku kata dan bunyi akhir

suku kata (10i, 4a, 6a, 8e, 8u, 8i, 8a, 8u, 8a, 4a, 8i, 8a).

Lebih lanjut Tinggen (1982:33-34) menjelaskan bahwa selain memiliki konvensi (padalingsa) pupuh, kesepuluh jenis pupuh yang populer di Bali juga memiliki watak atau tugas untuk suatu kejadian atau peristiwa. Watak atau tugas kesepuluh pupuh tersebut adalah pupuh sinom berwatak ramah tamah yang digunakan untuk menyampaikan amanat, nasihat, atau bercakap-cakap dengan sahabat, pupuh ginada digunakan untuk mengungkapkan kesedihan, merana, atau kecewa, pupuh durma memiliki watak yang keras untuk mengungkapkan amarah, pupuh Pangkur memiliki watak perasaan hati memuncak yang digunakan untuk cerita yang sungguh-sungguh,

pupuh ginanti wataknya senang dan cinta kasih untuk menguraikan cerita yang

bernuansa asmara, pupuh maskumambang wataknya nelangsa yang mengungkapkan kesedihan, pupuh pucung wataknya kendor untuk mengungkapkan kisah yang tidak sungguh-sungguh, pupuh mijil wataknya melahirkan perasaan untuk menguraikan

(6)

6

nasihat, pupuh semarandana wataknya memikat hati, sedih karena asmara, dan pupuh

dangdang wataknya halus dan lemas untuk mengungkapkan ajaran, berkasih-asihan dan

biasanya digunakan menutup karangan.

Tugas tiap-tiap watak pupuh tidaklah mutlak. Tugas tersebut akan dilanggar oleh penulis geguritan apabila ia memakai hanya satu jenis pupuh dalam geguritan, seperti dalam geguritan Jayaprana (ginada), Pakangraras (ginada), Bagus Umbara (ginada),

Pan Bongkling (sinom), Burayut (sinom), Bagus Diarsa (sinom), Luh Raras (ginada), Lingga Peta (ginada), Basur (ginada), dan sebagainya. Pelanggaran yang demikian

dapat dilihat pula dalam karya sastra geguritan yang ditulis belakangan. Sekali pun demikian adanya “tugas” tiap-tiap pupuh tersebut adalah tetap merupakan salah satu sistem konvensi sastra geguritan (Agastia, 1980:18--19).

Karya sastra geguritan memiliki konvensi yang cukup ketat. Adanya denyutan-denyutan dalam kesusastraan Bali yang antara lain diakibatkan oleh adanya penyimpangan dari konvensi atau kode sastra yang telah ada, maka kesusastraan Bali telah menunjukkan ciri khasnya (Agastia, 1980:19). Teeuw (1984:344) menjelaskan bahwa ciri karya sastra yang paling khas bukanlah penetapan konvensi sastra yang berlaku pada masa dan di satu tempat untuk satu bahasa, melainkan sebaliknya penyimpangan dari kode sastra itu, peniadaannya, maupun pendobrakannya.

Geguritan merupakan suatu hasil dari kegiatan berkesenian dengan bahasa

sebagai medianya. Ini berarti bahwa bahasa adalah penghubung antara masyarakat pembaca dan karya sastra. Untuk itu, bahasa yang digunakan dalam geguritan merupakan bahasa yang khas, tidak sama dengan fungsi bahasa sehari-hari. Maksudnya adalah bahasa dalam geguritan menuntut ketepatan makna yang mengandung daya estetis dalam mengungkapkan konsep ide, emosi pengarang, dan menimbulkan

(7)

7

keharuan pembaca. Sementara itu, bersamaan dengan merangkai kata-kata terpilih nan estetis itulah struktur cerita tetap diperhitungkan. Adapun ciri-ciri bahasa dalam

geguritan, yaitu bahasanya bersifat konotatif (makna informasi faktual yang

mengandung nilai emotif yang bersifat menyenangkan atau pun tidak), ekspresif (tampat dari bunyi kata atau metafora yang digunakan), sugestif (kemampuan mempengaruhi pembaca terhadap ide yang diungkapkan), dan asosiatif (membawa perasaan pembaca ke arah penafsiran) (Bagus, 1990:66-67).

Geguritan sebagai puisi naratif diikat oleh hakikat puisi seperti tema, rasa (feeling), sikap pengarang (tone), dan tujuan pengarang (intention). Dalam

perkembangannya di Bali, karya sastra ini dibedakan atas tiga kelompok, yaitu

geguritan yang bertemakan siklus panji, geguritan bertemakan epos (diambil dari cerita wiracerita), dan geguritan bertemakan kehidupan masyarakat luas (Bagus, 1991:4).

Berdasarkan pendapat tersebut, dari segi isi karya sastra geguritan tidak hanya mengandung satu ideologi saja karena para pengarang geguritan dapat berekspresi secara maksimal, dengan menyuguhkan berbagai pengalaman batin manusia Bali. Misalnya, persoalan filsafat (ke-Tuhanan), estetika, etika, mitologi, kritik sosial, masyarakat multikultur, cinta, kemeranaan, nasihat-nasihat, dan lain-lain.

2.2.2 Konsep Wacana Sunia Merta

Puisi merupakan suatu aktivitas bahasa yang menghasilkan pemaknaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, dalam upaya meraih makna tidak langsung itulah analisis tanda-tanda di luar linguistik diperlukan. Dengan demikian, teori semiotik yang digunakan untuk menganalisis GK bertujuan untuk memperoleh makna dalam definisi wacana sebagai penggunaan bahasa.

(8)

8

Analisis penggunaan bahasa tidak terlepas dari analisis tentang tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Sebuah definisi wacana sebagai penggunaan bahasa sesuai dengan pandangan fungsionalisme pada umumnya, yaitu wacana dilihat sebagai sebuah sistem atau merupakan sebuah cara berbicara yang diatur oleh sosial dan budaya (Schiffrin, 2007:41) . Jakobson berpandangan bahwa situasi tuturan meliputi bahasa sebagai salah satu dari komponen-komponen situasi dan titik-titik fokus tuturan. Dasar untuk fungsi metalinguistik adalah “kode”; dasar untuk fungsi-fungsi emotif dan konotatif adalah pembicara dan mitra tutur. Ujaran tidak hanya memiliki satu fungsi. Meskipun sebuah ekspresi tertentu memiliki sebuah fungsi primer, ekspresi itu sangat khas untuk digunakan merealisasikan secara serempak fungsi yang berbeda (Schiffrin, 2007:43).

Hoed (2008:129) mengatakan bahwa wacana dan teks sebagai unsur bahasa berdsasarkan pada kerangka acuan yang merupakan unsur luar bahasa yang merujuk pada pengalaman manusia sehingga sifatnya menjadi terbuka. Teks adalah relasi dari wacana. Teks dan wacana memiliki makna yang berbeda dengan berdasarkan pada hubungan language dan parole dalam teori bahasa Ferdinand de Saussure. Teks merupakan rekaman penggunaan bahasa oleh seorang pengarang dalam mengungkapkan ide dan gagasannya.

Norman Fairclough meletakkan penyelidikan wacana pada perubahan bahwa penggunaan bahasa yang konkret berdasarkan struktur kewacanaan dari penggunaan bahasa dengan makna yang telah mapan. Pemahaman ini termuat melalui konsep antartekstualitas, yaitu teks individu bergantung pada unsur-unsur teks lain. Wacana-wacana yang berbeda mengakibatkan penggunaan bahasa konkret tersebut mengubah

(9)

9

wacana individu. Dengan demikian juga mengubah dunia sosial dan kulturalnya (dalam Marrianne, 2007:13).

Menurut Djajasudarma (1994:8), sastra merupakan rekaman penggunaan bahasa oleh seorang pengarang dalam mengungkapkan idedan gagasannya. Maka karya sastra merupakan salah satu bentuk wacana, yang juga dapat hadir dengan unsur-unsur wacana lainnya (antartekstualitas), atau bagian dari produksi teks yang mengandung pranata sosial dan saling berinteraksi.Wacana sastra merupakan rangkaian tuturan yang menceritakan dan menyajikan sebuah rangkaian peristiwa atau kejadian. Koherensi wacana dalam pemahaman wacana sastra seringkali dirangkaikan dalam unsur-unsur bahasa secara implisit sesuai dengan konteksnya.

Berdasarkan pengertian wacana pada ulasan sebelumnya, maka dalam kedudukannya sebagai sebuah karya sastra, GK tidak mengabaikan hubungan dengan unsur-unsur wacana lainnya (antartekstualitas). Melalui langkah-langkah pemaknaan teks dan tanda-tanda kebahasaan dalam ilmu semiotik, diketahui bahwa sunia merta merupakan sebuah rumusan pemikiran yang diwacanakan dalam karya sastra GK. Ajaran sunia merta dalam GK diposisikan sebagai wacana sastra pada penelitan ini karena mengandung rangkaian makna yang membangun keutuhan GK.

Sunia merta yang diwacanakan di dalam GK merupakan salah satu ajaran agama

Hindu di Bali. sunia merta tidak hanya diwacanakan dalam GK, tetapi juga termuat dalam sastra-sastra lainnya. Maksudnya adalah wacana sunia merta merupakan konsep antartekstualitas, yaitu GK sebagai teks individu yang pemaknaannya bergantung pada unsur-unsur teks lain. Misalnya, pada teks Bhuwana Kosa, Wrhspatitattwa, Kakawin

(10)

10

GK dihadapkan dengan sebuah pergulatan penggambaran tentang shunya3.

Secara khusus mengenai kata shunya atau sunia dan variasinya dalam GK dijelaskan, baik secara tersurat (eksplisit) maupun tersirat (implisit). Secara eksplisit, misalnya;

lamun tawang ento madan kesunyatan, ento ne elingang sai sai, kamit apang yatna, da ampah mangenehang, dening sida ngemitang widhi, yaning ento ilang, nyen ada ke buin tagihin. Sementara itu, kata shunya atau sunia secara implisit dijelaskan dengan

penggunaan metafora-metafora yang sifatnya sangat rahasia dan utama. Misalnya, samarnya minyak dengan susu, bagaikan bayangan dalam cermin, bagaikan api dalam kayu, melihat jejak burung kuntul yang sedang melayang, yang berada di luar sekaligus di dalam, dan sebagainya.

Istilah shunya dalam GK tidak dapat dibayangkan dan berada di luar jangkauan pikiran. Secara etimologis, kata shunya (Skt) berarti kosong, kehampaan, sepi sunyi lengang, diam tidak bersuara, tidak bergerak, tidak bernyawa (Zoetmulder, 1995:1147). Demikian pula arti atau makna kata shunya dalam bahasa Bali, yaitu sunyi atau sepi (Suasta, 2008:692). Namun, penulisan dalam Kamus Bahasa Bali bukan shunya, melainkan sunia. Untuk itu, pada penulisan selanjutnya yang berhubungan dengan GK akan digunakan kata sunia yang berdasarkan pada bahasa Bali karena selanjutnya berkaitan dengan korelasi arti atau makna padanan katanya yaitu merta.

Palguna (1999:131--133) dalam penelitiannya mengenai Kakawin Dharma

Shunya menjelaskan bahwa sunia bercahaya di dalam kesadaran, tidak ada lagi yang

dikonsepsikan sebagai rasa, rupa, dan nama karena pikiran dualis dikotomis hilang

3

Terdapat sejumlah karya sastra yang secara eksplisit menyebutkan kata Shunya dalam judulnya seperti

Dharma Shunya, Dharma Shunya Tanpaguru, Shunya Tanpamaya, Sunia Sarira, Shunya Tanmona, Shuya Tattwa, Shunya Wibawa, atau Shunya Wirya (Agastia, 2005: 8-9). Selain itu, Palguna (2008: 2)

juga menyebutkan trilogy karya sastra yang membicarakan shunya atau shunya, di antaranya Kakawin

Dharma Shunya, Dharma Putus, dan Dharma Niskala.Istilah Shunya Mretha dalam ajaran Sapta Mretha

(11)

11

tanpa sisa. Kesadaran sunia, antara lain bercirikan suci, murni, tiada, bahagia, nirmala (bebas dari kotoran), tak terbatas, sempurna, lebur, luluh, dalam pemujaanya pada pengalaman keindahan sejati, tidak tercampur. Sunia di atas segala realitas yang ada atau diadakan. Sementara itu, alam semesta ini, bahkan angkasa yang teramat halus sekali pun, sebagai contoh dari yang ada, tidak bisa dibandingkan dengan sunia yang tiada (sifat) itu. Dengan demikian, kesadaran yang bebas dari (sifat) itulah

Paramashiwa yang merupakan kesadaran tertinggi bersifat sunia yaitu sempurna (sunia nirbana) merupakan gambaran unsur hidup yang selalu sadar dan terjaga.

Penjelasan mengenai konsep sunia dalam GK menyangkut padanan makna kata

mreta4 (Skt) atau merta (dalam bahasa Bali), yang berarti air suci yang memberikan

hidup kekal atau berkat dan karunia. Kata sunia dalam penelitian ini dilekatkan dengan kata merta karena pelekatan kata sunia merta memiliki makna yang sama yaitu sebuah perjalanan untuk sampai pada Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Paramashiwa. Perjalanan itu tidak dilakukan ke luar, tetapi dilakukan ke dalam diri. Para orang suci menerangkan bahwa tubuh adalah sebuah kuil Tuhan yang hidup. Mereka mengajarkan kebenaran yang sederhana yaitu bahwa Tuhan ada di dalam diri. Untuk itu, maka tentu saja pencarian tersebut hendaknya dilakukan dari dalam diri (tubuh) manusia karena sejatinnya tubuh manusia erupa dengan laboratorium yaitu tempat untuk melakukan penyelidikan dan bergabung kembali dengan-Nya (Yendra, 2016: 6).

Pelekatan kata sunia dengan kata merta yang diartikan sebagai hakikat tujuan hidup di dunia dan akhirat harus dicari dengan melakukan perjalanan batin. Hal ini didasarkan penafsiran simbolik kareakter tiga tokoh dalam GK, yaitu jalan pengetahuan (Kawiswara), jalan bakti (Rasutama), dan jalan kerja (Bajradana). Namun, perbedaan

4

Kata ‘merta’ dalam kamus merujuk pada kata ‘mreta’. Lihat Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan

(12)

12

jalan yang ditempuh tersebut mempunyai acuan yang sama, yaitu menuju Paramashiwa (Siwa yang sunia). Paramashiwa dijelaskan sebagai kesadaran yang bersifat sunia, kosong, nol, bebas (Palguna, 2008:57). Sunia merupakan tujuan ideal umat Hindu. Tujuan ideal atau tujuan tertinggi tersebut diyakini dapat dicapai dengan latihan yang terus-menerus. Itulah sebabnya agama Hindu memberikan kedudukan terpenting pada ajaran tapa, brata, yoga, dan semadi (Agastia, 2005:9).

Konsep wacana sunia merta dalam GK menjelaskan hakikat tujuan hidup yang diperoleh secara tersurat (eksplisit) dan tersirat (implisit). Secara khusus istilah sunia

merta yang diungkapkan dalam GK dibahas ke dalam tiga bagian yaitu (1) kesulitan dan

tantangan dalam mencapai sunia merta, (2) cara mencapai sunia merta, dan (3) hasil yang diperoleh setelah mencapai sunia merta. Konsep ini dibayangkan sebagai tempat yang sulit disadari karena sangat utama.Oleh karena itu, diupayakan untuk memperoleh pemaknaan mengenai wacana tersebut yang dibantu teori semiotik.

2.3 Landasan Teori

Teori sastra akan membantu analisis, interpretasi, dan penilaian yang tepat sehingga hasil penilaian terebut dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Teori membantu dalam upaya penyeimbangan sastra dari aspek intrinsik dan ekstrinsik (Endraswara, 2008: 3--4). Teori memberikan berbagai kemudahan untuk memahami objek, dalam fungsinya untuk mengubah dan membangun pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan (Ratna, 2004:2). Berdasarkan pemahaman tersebut, penelitian ini membutuhkan teori sastra untuk mengungkapkan permasalahan dalam GK.

Karya sastra GK penting dikaji berdasarkan struktur bentuk, mengingat GK merupakan karya sastra yang tergolong ke dalam puisi naratif yang diikat oleh metrum yang khas. Untuk itu, digunakan teori struktur. Langkah selanjutnya, yakni mengkaji

(13)

13

makna wacana sunia merta yang terkandung dalam GK dengan kajian semiotik. Hoed (2008:3--6) mengungkapkan bahwa bahasa merupakan sistem tanda-tanda yang makna diberikan oleh manusia dalam lingkungan sosial budayanya. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam penelitian ini teori semiotik digunakan dalam upaya mengungkapkan makna wacana sunia merta yang terdapat di dalam GK.

2.3.1 Teori Struktur

Kaum Formalis memandang karya sastra sebagai sistem sarana. Karya sastra dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi referensial atau mimetiknya. Karya sastra dianggap sebagai tanda yang otonom, yang hubungannya dengan kenyataan bersifat tidak langsung. Sehubungan dengan itu, peneliti pertama-tama bertugas meneliti struktur karya sastra yang kompleks dan multidimensional berdasarkan pemahaman bahwa karya sastra dibangun dalam struktur yang utuh dan lengkap yang keutuhan dan kelengkapannya didukung dan dibina oleh dirinya sendiri. Hal ini berarti, analisis struktural terhadap suatu karya sastra dilakukan dengan memusatkan pengamatannya hanya pada karya, pengungkapan unsur-unsur pembangun struktur dengan melakukan penelitian secara cermat, dan mengamati bentuk pertalian antarunsur yang membangun sehingga menjadi satu struktur yang utuh, bulat, dan menyeluruh (Teeuw, 1984:130).

Teori struktur yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis intrinsik oleh Renne Wellek dan Austin Warren. Pembahasan mengenai genre puisi dengan analisis struktur intrinsik menjadi pembahasan utama di dalam peneltian ini. Peran analisis intrinsik adalah memasukkan unsur-unsur genre sastra, seperti konvensi irama dan matra yang berdasarkan pada pemahaman bahwa karya sastra adalah urutan bunyi yang menghasilkan makna. Stratum bunyi karya sastra puisi terkadang kurang penting, tetapi dalam stratum fonetik tetap merupakan persyaratan makna sehingga stratum bunyi

(14)

14

tersebut menarik perhatian terhadap efek estetis yang juga meliputi gaya bahasa, metafora, dan struktur cerita yang membangunnya. Upaya mengklasifikasikan puisi tidak hanya berdasarkan isi dan temanya, tetapi menguraikan dan mempelajari “makna” puisi dari keseluruhan strukturnya yang kompleks. Apabila hal tersebut dilakukan, berarti kita mulai berhadapan dengan inti struktur puitis (Wellek & Warren, 1994:235).

Penggunaan teori struktur pada penelitian ini berkaitan dengan objek analisis sebagai karya sastra puisi Bali tradisional (geguritan). Struktur karya sastra geguritan tidak hanya memenuhi konvensi sastra (metrum) berupa padalingsa. Karya sastra ini mengandung jalinan cerita dan rangkaian pesan yang disampaikan pengarang melalui diksi yang digunakan. Teeuw (1984:130) beranggapan bahwa segenap unsur karya sastra memiliki koherensi intrinsik. Artinya, antara satu unsur dengan unsur yang lain yang berkaitan, saling mendukung, dan saling menyusun dengan aturannya sendiri. Koherensi intrisik inilah yang menjadi dasar analisis struktur GK yang berupaya untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh mengenai makna wacana sunia merta.

Analisis struktur yang diterapkan dalam penelitian GK dilakukan dengan langkah-langkah yaitu; (1) menganalisis metrum pupuh sebagai karya sastra puisi yang diikat oleh metrum (padalingsa), (2) menganalisis gaya bahasa dan sekaligus membicarakan metafora-metafora dalam GK, dan (3) menganalisis struktur naratif yang membangun GK yang terdiri atas alur, latar, tokoh dan penokohan, point of view, dan tematik cerita.

Teori struktur digunakan dalam penelitian GK untuk memperoleh makna wacana

sunia merta. Hal ini sangat penting dilakukan dan tidak dapat ditiadakan. Misalnya,

pada analisis watak dan penokohan GK dilakukan secara tersurat (eksplisit) dan tersirat (implisit). Nama-nama tokoh dan isi dialog antar tokoh dalam cerita GK sangat

(15)

15

simbolik. Luxemburg,dkk.(1984:171) menyebutkan bahwa analisis tokoh dan penokohan dapat dilakukan secara eksplisit dan implisit. Secara eksplisit watak tokoh dilukiskan melalui komentar seorang pelaku lain. Ucapan seorang tokoh mengenai seorang tokoh lain tidak selalu dapat dipercaya begitu saja. Namun, lain halnya dengan penokohannya yang secara implisit sesungguhnya lebih penting dari pada penggambaran tokoh secara eksplisit. Hal ini disebabkan oleh penggambaran tokoh secara implisit terjadi lewat perbuatan dan ucapan tokoh yang bersangkutan. Berdasarkan pendapat tersebut, analisis tokoh dan penokohan dalam GK didasarkan pada penggambaran sifat para tokoh oleh pengarang, yang berdasarkan pada dialog para tokoh (dalam substansi sastra tutur). Pembahasan tokoh dan penokohan yang simbolik inilah akan membantu pemknaan wacana sunia merta dalam GK.

2.3.2 Teori Semiotik

Teori yang digunakan adalah semiotik yang didasarkan pada pemahaman bahwa setiap karya sastra merupakan sebuah sistem tanda. Pada dasarnya teori Semiotik digunakan untuk membaca tanda (sesuatu yang berdasarkan pada sesuatu yang lain), dengan tujuan memperoleh makna. Dalam perkembangannya, semiotik adalah teori yang digunakan untuk mengkaji kebudayaan manusia dan gejala budaya (Hoed, 2008:4). Tanda yang dimaksudkan secara mutlak mempunyai sifat representatif. Tanda berarti „menunjuk pada, menggantikan, mewakili, atau menyajikan sesuatu‟. Selain memiliki sifat representatif tanda juga memiliki sifat imperatif. Namun, dalam memahami sebuah tanda, penerima tanda akan mencoba menafsirkannya dengan segenap psikis maupun budaya yang membentuk pemahamannya mengeni tanda tersebut. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantara tanda-tanda proses kehidupan manusia menjadi lebih efisien, manusia dapat berkomunikasi dengan

(16)

16

sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, sehingga manusia disebut homosemioticus (Ratna, 2004:7).

Teks merupakan suatu tanda yang dibentuk oleh sejumlah tanda-tanda yang lain. Tanda-tanda tersebut berperan komunikatif, yaitu antara pengarang dan pembaca sebagai penafsir. Untuk dapat memahami makna wacana sunia merta yang terdapat dalam teks GK, teori semiotik dapat membantu mengungkapkan sebuah teks yang memandang bahasa sebagai tanda (sign), yang mempunyai nilai dan makna tertentu dalam masyarakat tertentu. Dalam hal ini, bahasa dilihat sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia (Halliday dan Hasan, 1992:5).

Teori semiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotik pengkajian puisi seperti yang dikemukakan oleh Michael Riffaterre. Fenomena sastra merupakan suatu dialektik antara teks dan pembaca serta dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Gagasan itu didasarkan atas prinsip bahwa puisi (karya sastra) merupakan satu aktivitas bahasa. Akan tetapi, aktivitas bahasa itu tiadak langsung, yang disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of

meaning), yaitu ketika tanda-tanda berpindah dari satu arti ke arti yang lain, ketika satu

kata menggantikan kata yang lain, sebagaimana metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorsing of meaning), yaitu akibat ambiguitas, kontradiksi, atau

nonsense; (3) penciptaan arti (creating of meaning), yaitu ditemukan oleh satu

organisasi prinsip untuk tanda-tanda di luar item-item linguistik (Riffaterre, 1978:1--2). Puisi merupakan aktivitas bahasa yang berbeda dengan pemakaian bahasa pada umumnya. Puisi memilikiciri khas kesatuannya, yaitu satu kesatuan, baik formal maupun semantik. Puisi senantiasa berbicara mengenai sesuatu secara tidak langsung

(17)

17

dengan menyembunyikannya ke dalam suatu tanda. Oleh karena itu, teori yang relevan untuk memahami makna sebuah sajak adalah teori semiotik Riffaterre dengan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik.

Teori semiotik Riffaterre meliputi (1) pembacaan heuristik (pembacaan taraf mimesis yang berdasarkan pada konvensi bahasa, yang memerlukan kompetensi linguistik); (2) pembacaan hermeneutik (pembacaan yang berdasarkanpada konvensi sastra sehingga makna yang dihasilkan menjadi interpretasi pertama; (3) matriks (kata kunci dari serangkaian teks yang tidak pernah dimuat di dalam teks, baik yang dapat berupa kata, frasa, klausa, maupun kalimat sederhana), model (aktualisasi matriks yang berupa kata atau kalimat dengan ciri puitisnya), varian (perluasan model-model yang merupakan turunan teks secara keseluruhan; (4) dan hipogram, yaitu teks yang menjadi latar penciptaan teks baru, yang dapat berupa hipogram potensial atau actual (Ratih, 2016: 7-8).

Teori semiotik yang digunakan dalam penelitian ini bertumpu pada prinsip bahwa karya sastra GK dilihat sebagai sebuah sistem tanda. Dengan demikian pembacan secara heuristik, hermeneutik, matriks, dan hipogram sangat diperlukan untuk melihat keutuhan makna-makna yang terkadung dalam GK dan membentuk satu kesatuan wacana.

(18)

18 2.4 Model Penelitian

Berdasarkan latar belakang, permasalahan, teori, dan ruang lingkup hasil yang ingin dicapai dalam penelitian ini, berikut ini diberikan gambaran dan paparan tentang bagan model penelitian yang dilakukan.

Bagan 2.4 Model Penelitian

GEGURITAN KAWISWARA

Wacana Sunia Merta dalam Geguritan Kawiswara

Teori: 1. Struktur 2. Semiotik Metode :  Kepustakaan  Formal

M Metode dan Teknik:

Penyediaan Data (langkah-langkah penyediaan data) Teknik:  membaca  mencatat  wawancara ( Analisis Data (Pembacaan Heuristik-Hermeneutik, dan Analisis Deskriptif) Teknik:  mencatat Masalah: 1. Struktur GK

2. Makna Wacana Sunia Merta

(19)

19 Keterangan Simbol-Simbol:

: batasan penelitian

: topik analisis

: saling berhubungan : proses analisis selanjutnya

Keterangan Model:

GK merupakan objek penelitian.Wacana sunia merta merupakan kajian dalam

objek ini. Naskah-naskah GK yang ditemukan dan literatur-literatur lainnya yang menunjang penelitian diolah melalui tahapan-tahapan dalam metode penelitian, di antaranya metode dan teknik penyediaan data dan metode dan teknik analisis data. Selanjutnya, berdasarkan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori struktur dan teori semiotik. Berdasarkan tahapan metode penelitian dan teori yang digunakan untuk menganalisis GK, temuan yang diharapkan, yaitu struktur GK dan makna wacana sunia merta dalam GK.

Referensi

Dokumen terkait

Menganalisis akurasi metode non-parametrik CTA dengan teknik data mining untuk klasifikasi penggunaan lahan menggunakan citra Landsat-8 OLI serta menerapkan hasil dari KDD

kepastian untuk membuat keputusan sendiri apakah perlu evakuasi, tetap berada di tempat, atau kembali. Segera sesudah gempa berhenti, anggota Jaring Komunikasi SAR

Perlu dibahas element-element penting untuk mendukung implementasi rantai peringatan seperti : Back up Posko 24/7 BPBD ditingkat Provinsi, Kapasitas Staff Posko, Soft

Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan pernikahan usia muda di tahun 2015 dengan perbandingan tahun 2011, tingginya pernikahan usia muda sebagian besar

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jumlah titik lampu yang dipasang pada tiap ruang kuliah (kondisi eksisting) tidak sesuai dengan jumlah titik lampu pada

*euntungan pada kon(igurasi 1uck antara lain adalah e(isiensi yang tinggi, rangkaiannya sederhana, tidak memerlukan trans(ormer, tingkatan  stress  pada komponen

 Satu mol sesuatu bahan ialah kuantiti yang mengandungi bilangan zarah yang sama dengan bilangan atom yang terdapat dalam 12.000 gram karbon- 12.  Ahli kimia telah

Tujuan dan Manfaat dari penelitian ini adalah menerapkan sistem penilaian ujian essay secara otomatis berbasis web secara online menggunakan metode GLSA, menghasilkan