• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Perkembangan Wilayah Kota Sukabumi

Identifikasi tingkat perkembangan wilayah di Kota Sukabumi dilakukan pada unit wilayah kelurahan dan kecamatan yang dilihat dari nilai Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) untuk unit wilayah kecamatan dan nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) untuk unit wilayah kelurahan.

Nilai IPK dianalisis berdasarkan data jumlah keseluruhan fasilitas dan data rata-rata jarak terhadap fasilitas yang dijumpai di wilayah kecamatan sedangkan nilai IPD dianalisis berdasarkan data jumlah fasilitas dan data jarak terhadap fasilitas yang dijumpai di wilayah kelurahan. Data fasilitas dan data jarak terhadap fasilitas diperoleh dari Potensi Desa Kota Sukabumi Tahun 2003 dan Tahun 2008. Dari Podes Tahun 2003 dan Tahun 2008 tersebut dipilih 21 (dua puluh satu) jenis data yang terdiri dari 12 (dua belas) data jenis fasilitas (fasilitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi) dan 9 (sembilan) jenis data jarak (jarak terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi). Jenis data yang digunakan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.

5.1.1. Perkembangan Wilayah Kecamatan

Dari analisis yang dilakukan terhadap data jumlah keseluruhan fasilitas dan data rata-rata jarak terhadap fasilitas tahun 2003 diperoleh hasil rataan Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) Kota Sukabumi yaitu 22.54 dengan nilai minimum 11.06 (Kecamatan Lembursitu) dan nilai maksimum 39.21 (Kecamatan Cikole). Nilai rataan IPK tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 21.92 dengan nilai minimum 10.35 (Kecamatan Lembursitu) dan nilai maksimum 37.53 (Kecamatan Cikole). Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) dan Hirarki Kecamatan Tahun 2003 dan Tahun 2008 ditampilkan secara lengkap pada Lampiran 5 dan 6 sedangkan tingkat perkembangan wilayah kecamatan di Kota Sukabumi Tahun 2003 dan 2008 ditampilkan pada Tabel 19.

(2)

Tabel 19. Tingkat Perkembangan Wilayah Kecamatan Tahun 2003 dan Tahun 2008

Kecamatan

Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK)

Jumlah Jenis Fasilitas

(Unit) Hirarki Wilayah 2003 2008 2003 2008 2003 2008 Cikole 39.21 37.53 20 20 Hirarki 1 Hirarki 1 Citamiang 31.54 29.59 20 19 Hirarki 2 Hirarki 2 Gunung Puyuh 29.54 30.15 19 19 Hirarki 2 Hirarki 2 Warudoyong 20.66 19.99 19 19 Hirarki 3 Hirarki 3 Baros 13.64 13.64 12 12 Hirarki 3 Hirarki 3 Cibeureum 12.16 12.16 13 13 Hirarki 3 Hirarki 3 Lembursitu 11.06 10.35 13 13 Hirarki 3 Hirarki 3 Sumber : Hasil Analisis (2011)

Keterangan : 1. Nilai IPK Hirarki I = > 33.57 (Thn 2003) dan > 32.50 (Thn 2008)

2. Nilai IPK Hirarki II = 22.54-33.57 (Thn 2003) dan 21.92-32.50 (Thn 2008) 3. Nilai IPK Hirarki III = < 22.54 (Thn 2003) dan nilai IPD < 21.92 (Thn 2008)

Berdasarkan hasil analisis, hanya 1 (satu) kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah Hirarki I yaitu Kecamatan Cikole. Adapun kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah Hirarki II adalah Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Citamiang. Kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Lembursitu termasuk ke dalam wilayah Hirarki III.

Dilihat dari nilai IPK, terdapat penurunan nilai IPK dari tahun 2003 ke tahun 2008. Hal ini disebabkan karena analisis skalogram menggunakan perbandingan jumlah fasilitas dan rata-rata jarak terhadap fasilitas di setiap kecamatan sehingga memiliki sifat relatif. Sebagai dampaknya, apabila suatu wilayah kecamatan mengalami penambahan jumlah fasilitas sehingga jarak terhadap fasilitas menjadi lebih dekat, nilai IPK pada kecamatan tersebut akan mengalami peningkatan dan nilai IPK kecamatan lain seolah-olah mengalami penurunan. Setelah dilakukan penghitungan nilai IPK, hasil akhir pada analisis tingkat perkembangan kemudian disusun berdasarkan jumlah jenis fasilitas dan ditentukan hirarki wilayahnya. Hirarki kecamatan menunjukkan wilayah-wilayah yang berada pada level perkembangan yang sama.

Wilayah Kota Sukabumi mengalami pemekaran pada tahun 2000, dimana berdasarkan Perda Nomor 15 Tahun 2000 tanggal 27 September 2000, Kecamatan Baros dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Lembur Situ,

(3)

Kecamatan Baros dan Kecamatan Cibeureum, yang diistilahkan dengan Kota Baru dan memiliki ciri utama pertanian, sedangkan 4 (empat) kecamatan yang sudah ada (existing) diistilahkan dengan Kota Lama. Pemekaran yang terjadi menyebabkan wilayah Kota Sukabumi memiliki tingkat perkembangan yang berbeda dimana hal ini mendorong pengembangan wilayah Kota Baru sehingga diharapkan perkembangan Kota Sukabumi dapat lebih merata. Adapun dasar pengembangan wilayah Kota Baru yang terletak di selatan Kota Sukabumi adalah Urban Development sedangkan dasar pengembangan wilayah Kota Lama yang terletak di utara Kota Sukabumi adalah Urban Renewal.

Kecamatan Cikole adalah kecamatan wilayah Hirarki I yang terletak di sebelah utara Kota Sukabumi dan termasuk ke dalam wilayah Kota Lama. Kecamatan Cikole merupakan BWK II pusat Kota Sukabumi yang terdiri dari 6 (enam) wilayah Kelurahan yaitu Kelurahan Cikole, Kelurahan Kebonjati, Kelurahan Gunungparang, Kelurahan Selabatu, Kelurahan Subangjaya dan Kelurahan Cisarua. Fungsi utama kawasan dari Kecamatan Cikole adalah perdagangan dan jasa, pemerintahan/ perkantoran, perumahan serta pariwisata. Kawasan permukiman di Kecamatan Cikole menyebar mengikuti pola linier dan konsentris pada pusat-pusat pertumbuhan. Kawasan pertanian dengan luas terbatas juga terdapat di Kecamatan Cikole yaitu di sebelah utara Kelurahan Subang Jaya, sebelah utara Kelurahan Cisarua dan sebelah utara Kelurahan Selabatu (Dinas Tata Ruang, Lingkungan Hidup, dan Permukiman Kota Sukabumi, 2004). Dilihat dari fungsi kawasan sebagai pusat kota, Kecamatan Cikole memiliki jumlah jenis fasilitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang sangat lengkap. Oleh karena itu, aksesibilitas baik jarak tempuh maupun kemudahan mencapai fasilitas sangat baik karena beragam fasilitas dimilikinya sendiri sehingga aktivitas masyarakat di wilayah ini sangat tinggi dan beragam. Tingkat perkembangan yang lebih tinggi dimiliki kecamatan ini sebagai dampak dari kebijakan Kota Sukabumi dimana pada awalnya perkembangan fisik bersifat sentralistik (concentric) di wilayah Kota Lama dimana Kecamatan Cikole sebagai pusatnya sehingga penggunaan lahan di Kecamatan Cikole didominasi oleh areal lahan terbangun.

(4)

Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah Hirarki II adalah Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Citamiang. Kedua kecamatan tersebut memiliki jumlah fasilitas lebih sedikit namun memiliki aksesibilitas lebih baik karena berbatasan langsung dengan Kecamatan Cikole yang merupakan pusat kota. Secara umum, kecamatan yang masuk wilayah hirarki I dan hirarki II merupakan bagian dari Kota Lama yang lebih dahulu berkembang. Kecamatan Citamiang termasuk ke dalam BWK IV Kota Sukabumi dengan fungsi utama kawasan yaitu perdagangan dan perumahan dengan komponen utama kawasan adalah perdagangan, industri, perumahan serta kawasan hijau sedangkan Kecamatan Gunungpuyuh termasuk ke dalam BWK I Kota Sukabumi dengan fungsi utama kawasan perumahan dengan komponen utama kawasan mencakup perumahan, perdagangan, pendidikan tinggi dan hutan kota (Dinas Tata Ruang, Lingkungan Hidup, dan Permukiman Kota Sukabumi, 2004).

Berdasarkan data Podes Tahun 2003 dan 2008, apabila dibandingkan dengan Kecamatan Cikole, jenis fasilitas yang tidak dimiliki Kecamatan Citamiang dan Kecamatan Gunungpuyuh adalah fasilitas pendidikan tinggi (akademi/perguruan tinggi) dan pondok pesantren/madrasah diniyah. Oleh karena itu, jarak tempuh terhadap fasilitas menjadi lebih jauh namun karena kedua kecamatan tersebut dekat dengan Kecamatan Cikole (Hirarki I), ditunjang dengan adanya infrastruktur berupa jalan arteri, maka kemudahan mencapai fasilitas relatif lebih baik. Perkembangan di wilayah Kecamatan Citamiang dan Gunungpuyuh terjadi searah dengan perbaikan infrastruktur dan pertumbuhan di wilayah tersebut.

Kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Lembursitu termasuk kedalam wilayah Hirarki III karena memiliki jumlah fasilitas yang relatif lebih sedikit dan aksesibilitas yang relatif kurang baik karena keempat kecamatan ini terletak jauh dari pusat kota. Kecamatan Warudoyong walaupun merupakan bagian dari Kota Lama, terletak di sebelah selatan dari wilayah Kota Baru dan memiliki jumlah fasilitas lebih sedikit dibandingkan kecamatan lainnya di wilayah Kota Baru. Berdasarkan Data Podes Tahun 2003 dan 2008, fasilitas yang tidak terdapat di 4 (empat) kecamatan ini adalah fasilitas pendidikan (SLTP, SLTA,dan

(5)

akademi/perguruan tinggi), fasilitas kesehatan (apotik) dan fasilitas ekonomi (hotel/penginapan) sehingga jumlah jenis fasilitasnya lebih sedikit. Oleh karena itu, aksesibilitas berupa jarak tempuh menjadi lebih jauh karena fasilitas tersebut terdapat di luar wilayahnya. Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Lembursitu memiliki ciri utama pertanian dan masih memiliki areal pertanian yang cukup luas. Dengan kata lain, areal non terbangun di wilayah ini masih luas sehingga pembangunan fasilitas mengarah ke wilayah Hirarki III.

Untuk menciptakan perkembangan antar wilayah yang berimbang di Kota Sukabumi, Pemerintah Kota Sukabumi menerapkan strategi pengembangan dengan banyak pusat secara menyebar diantaranya dengan memanfaatkan daya tarik jalan lingkar selatan untuk mengembangkan salah satu pusat kegiatan baru berskala regional. Oleh karena itu, diterapkan strategi penataan bipolar yang dapat menstimulan perkembangan wilayah Kota Sukabumi di bagian selatan (Kota Baru). Sebaran hirarki kecamatan Kota Sukabumi ditampilkan pada Gambar 9.

(6)

5.1.2. Perkembangan Wilayah Kelurahan

Dari analisis yang dilakukan terhadap data fasilitas dan data jarak terhadap fasilitas tahun 2003 diperoleh hasil rataan Indeks Perkembangan Desa (IPD) Kota Sukabumi yaitu 18.90 dengan nilai minimum 8.17 (Kelurahan Cisarua) dan nilai maksimum 45.81 (Kelurahan Cikole). Nilai rataan IPD tahun 2008 mengalami peningkatan 22,22 % menjadi 23.10 dengan nilai minimum 6.68 (Kelurahan Jayaraksa) dan nilai maksimum 51.79 (Kelurahan Cikole).

Dalam kurun waktu tahun 2003 hingga tahun 2008, jumlah wilayah Hirarki I mengalami peningkatan jumlah yaitu dari 4 (empat) kelurahan menjadi 5 (lima) kelurahan, sedangkan jumlah wilayah Hirarki II mengalami pengurangan jumlah dari 10 (sepuluh) kelurahan menjadi 9 (sembilan) kelurahan karena 1 (satu) kelurahan mengalami peningkatan nilai IPD sehingga masuk ke dalam wilayah Hirarki I. Jumlah kelurahan pada wilayah Hirarki III adalah tetap yaitu 19 (sembilan belas) kelurahan.

Tingkat perkembangan wilayah desa di Kota Sukabumi Tahun 2003 dan 2008 ditampilkan pada Tabel 20 sedangkan perbandingan jumlah kelurahan pada setiap hirarki tahun 2003 dan tahun 2008 ditampilkan pada Gambar 10. Indeks Perkembangan Desa (IPD) dan hirarki kelurahan tahun 2003 dan 2008 ditampilkan secara lengkap pada Lampiran 7 dan 8.

(7)

Tabel 20. Tingkat Perkembangan Wilayah Desa Tahun 2003 dan Tahun 2008

No Kelurahan

Indeks Perkembangan Desa

(IPD)

Jumlah Jenis Fasilitas

(Unit) Hirarki Wilayah 2003 2008 2003 2008 2003 2008 1 Cikole 45.81 51.79 21 21 Hirarki 1 Hirarki 1 2 Gunungparang 42.42 46.60 20 19 Hirarki 1 Hirarki 1 3 Nyomplong 30.59 42.47 20 21 Hirarki 1 Hirarki 1 4 Gunungpuyuh 33.86 34.63 19 21 Hirarki 1 Hirarki 1 5 Selabatu 26.05 33.93 20 20 Hirarki 2 Hirarki 1 6 Cipanengah 22.24 28.73 20 18 Hirarki 2 Hirarki 2 7 Kebonjati 23.88 32.31 19 20 Hirarki 2 Hirarki 2 8 Sriwidari 22.44 21.37 19 19 Hirarki 2 Hirarki 3 9 Sukakarya 19.47 26.31 19 19 Hirarki 2 Hirarki 2 10 Karamat 24.96 32.91 18 18 Hirarki 2 Hirarki 2 11 Subangjaya 23.11 20.44 18 20 Hirarki 2 Hirarki 3 12 Cikondang 20.67 24.16 17 17 Hirarki 2 Hirarki 2 13 Nanggeleng 19.95 20.70 17 19 Hirarki 2 Hirarki 3 14 Citamiang 20.96 15.21 16 15 Hirarki 2 Hirarki 3 15 Gedongpanjang 18.83 23.15 18 18 Hirarki 3 Hirarki 2 16 Karangtengah 16.74 20.45 17 17 Hirarki 3 Hirarki 3 17 Lembursitu 16.49 28.13 17 16 Hirarki 3 Hirarki 2 18 Baros 15.55 21.77 15 15 Hirarki 3 Hirarki 3 19 Limusnunggal 14.88 23.27 14 16 Hirarki 3 Hirarki 2 20 Benteng 14.12 24.11 16 19 Hirarki 3 Hirarki 2 21 Tipar 14.01 16.97 15 15 Hirarki 3 Hirarki 3 22 Jayamekar 13.79 15.18 12 14 Hirarki 3 Hirarki 3 23 Cikundul 12.57 18.96 11 14 Hirarki 3 Hirarki 3 24 Dayeuhluhur 12.47 12.31 15 13 Hirarki 3 Hirarki 3 25 Situmekar 12.31 15.78 14 15 Hirarki 3 Hirarki 3 26 Sindangsari 12.10 18.12 13 16 Hirarki 3 Hirarki 3 27 Babakan 12.09 14.16 13 15 Hirarki 3 Hirarki 3 28 Warudoyong 11.94 17.85 15 14 Hirarki 3 Hirarki 3 29 Jayaraksa 11.67 6.68 15 14 Hirarki 3 Hirarki 3 30 Sudajayahilir 10.45 17.87 14 15 Hirarki 3 Hirarki 3 31 Cibeureumhilir 9.70 11.72 15 14 Hirarki 3 Hirarki 3 32 Sindangpalay 9.43 13.70 12 15 Hirarki 3 Hirarki 3 33 Cisarua 8.17 10.67 16 15 Hirarki 3 Hirarki 3 Sumber : Hasil Analisis (2011)

Keterangan : 1. Nilai IPD Hirarki I = > 27.89 (Thn 2003) dan > 33.45 (Thn 2008)

2. Nilai IPD Hirarki II = 18.90-27.89 (Thn 2003) dan 23.10-33.45 (Thn 2008) 3. Nilai IPD Hirarki III = < 18.90 (Thn 2003) dan nilai IPD < 23.10 (Thn 2008)

(8)

Gambar 10. Grafik Perbandingan Hirarki Kelurahan Tahun 2003 dan Tahun 2008

Kelurahan Cikole, Kelurahan Gunungparang, Kelurahan Nyomplong, Kelurahan Gunungpuyuh dan Kelurahan Selabatu termasuk ke dalam wilayah Hirarki I. Kelurahan Selabatu mengalami peningkatan nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) sehingga berubah dari wilayah Hirarki II pada tahun 2003 menjadi wilayah Hirarki I pada tahun 2008 (Tabel 19). Secara umum, kelima kelurahan tersebut memiliki fasilitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang cukup lengkap sehingga aksesibilitas baik jarak maupun kemudahan untuk mencapai fasilitas tersebut sangat baik. Kelengkapan fasilitas dan aksesibilitas yang baik memudahkan masyarakat mendapatkan pelayanan sehingga dapat dikatakan aktivitas di wilayah ini cukup tinggi dan menunjukkan tingkat perkembangan kelurahan yang lebih tinggi sehingga dapat dijadikan pusat pelayanan bagi kelurahan-kelurahan yang ada di sekitarnya.

Kelurahan Cikole, Kelurahan Gunungparang dan Kelurahan Selabatu terletak di Kecamatan Cikole yang merupakan wilayah kecamatan Hirarki I sebagai pusat Kota Sukabumi. Kelurahan Selabatu mengalami peningkatan perkembangan wilayah dengan adanya penambahan fasilitas pendidikan (taman kanak-kanak serta akademi/perguruan tinggi). Kelurahan Gunungpuyuh termasuk

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Hirarki I Hirarki II Hirarki III

2003 4 10 19 2008 5 9 19 4 10 19 5 9 19 Jum la h K el ur aha n

Perbandingan Hirarki Kelurahan Tahun 2003 dan 2008

30.30 %

57.57 %

27.27 %

57.57 %

(9)

ke dalam Kecamatan Gunungpuyuh yang merupakan wilayah kecamatan Hirarki II sebagai pusat BWK II dan memiliki akses berupa jalan arteri sehingga memiliki aksesibilitas terhadap fasilitas di wilayah Hirarki I yang cukup baik. Kelurahan Nyomplong termasuk ke dalam Kecamatan Warudoyong yang merupakan kecamatan wilayah Hirarki III namun kelengkapan fasilitas, aksesibilitas yang baik dan kedekatan dengan pusat kota menjadikan Kelurahan Nyomplong termasuk ke dalam kelurahan Hirarki I.

Kelurahan yang termasuk ke dalam wilayah Hirarki II berjumlah 9 (sembilan) kelurahan. Pada tahun 2008, terdapat penurunan jumlah wilayah Hirarki II yaitu dari 10 (sepuluh) kelurahan menjadi 9 (sembilan) kelurahan (Gambar 11). Terdapat 5 (lima) kelurahan yang tetap berada pada wilayah Hirarki II yaitu Kelurahan Cipanengah, Kelurahan Kebonjati, Kelurahan Sukakarya, Kelurahan Karamat dan Kelurahan Cikondang. Selain itu terdapat 4 (empat) kelurahan yang mengalami peningkatan nilai IPD sehingga berubah dari wilayah Hirarki III ke Hirarki II yaitu Kelurahan Gedongpanjang, Kelurahan Lembursitu, Kelurahan Limusnunggal dan Kelurahan Benteng. Wilayah yang terdapat pada Hirarki II ini memiliki nilai IPD lebih rendah dari wilayah Hirarki I karena jumlah fasilitas lebih sedikit dibandingkan wilayah-wilayah yang berada pada Hirarki I sehingga jarak terhadap fasilitas juga menjadi lebih tinggi. Kelurahan Kebonjati walaupun merupakan bagian dari Kecamatan Cikole (kecamatan Hirarki I), termasuk ke dalam kelurahan Hirarki II karena fungsi utama Kelurahan Kebonjati adalah perumahan dan permukiman sehingga jumlah jenis fasilitas lebih sedikit dibandingkan dengan kelurahan lain di Kecamatan Cikole yaitu Kelurahan Cikole, Kelurahan Gunungparang dan Kelurahan Selabatu yang termasuk ke dalam wilayah Hirarki I.

Kelurahan Karamat termasuk ke dalam Kecamatan Gunungpuyuh sedangkan Kelurahan Cikondang dan Kelurahan Gedongpanjang termasuk ke dalam Kecamatan Citamiang yang merupakan kecamatan Wilayah Hirarki II. Kelurahan Gedongpanjang mengalami kenaikan nilai IPD dan naik dari wilayah Hirarki III menjadi Hirarki II karena mengalami penambahan jumlah jenis fasilitas berupa fasilitas pendidikan (taman kanak-kanak) sehingga aksesibilitas terhadap fasilitas ini menjadi lebih baik. Kondisi umum wilayah pada Hirarki II

(10)

tidak memiliki fasilitas pendidikan berupa sekolah menengah umum/kejuruan dan akademi/perguruan tinggi serta fasilitas penunjang kesehatan (apotik) namun karena memiliki kedekatan dengan wilayah di Hirarki I, memudahkan masyarakat untuk mengakses fasilitas yang tidak dimilikinya.

Pada tahun 2008, terdapat 19 (sembilan belas) kelurahan yang termasuk wilayah hirarki III. Sebanyak 15 (lima belas) kelurahan tetap berada pada wilayah Hirarki III dan terdapat 4 (empat) kelurahan yang mengalami penurunan nilai IPD yang berasal dari wilayah Hirarki II sehingga masuk ke dalam wilayah Hirarki III yaitu Kelurahan Subangjaya, Kelurahan Nanggeleng, Kelurahan Sriwedari dan Kelurahan Citamiang. Wilayah pada Hirarki III memiliki nilai IPD lebih jecil dibandingkan wilayah lainnya karena memiliki jumlah fasilitas yang lebih sedikit sehingga berimplikasi pada aksesibilitas terutama jarak tempuh terhadap fasilitas baik fasilitas pendidikan, kesehatan maupun ekonomi yang lebih jauh. Oleh karena itu, aktivitas masyarakat di wilayah ini relatif lebih rendah dari wilayah lainnya. Secara spasial, peta sebaran hirarki desa/kelurahan tahun 2003 dan tahun 2008 ditampilkan pada Lampiran 9 dan 10.

5.2. Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi

Berdasarkan hasil interpretasi visual pada data penginderaan jauh (Foto Udara tahun 2002 dan citra Quickbird tahun 2007) diperoleh 8 (delapan) tipe penggunaan lahan yaitu infrastruktur kota, pemukiman, tegalan, kolam ikan air tawar, sawah, RTH Non-Pertanian dan sungai. Tipe penggunaan lahan yang teridentifikasi serta deskripsi masing-masing tipe penggunaan lahan ditampilkan pada Tabel 21.

(11)

Tabel 21. Tipe Penggunaan Lahan yang Teridentifikasi dan Deskripsi Masing-masing Tipe Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi

No. Kelas Penggunaan Lahan Deskripsi Kelas Penggunaan Lahan

1. Infrastruktur kota* Kebutuhan dasar fisik yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik dan sektor privat sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik diantaranya fasilitas yang mendukung jaringan struktur seperti jalan, kereta api, air bersih, bandara, kanal, waduk, tanggul, pengelolahan limbah, perlistrikan, telekomunikasi dan pelabuhan. Termasuk pula infrastruktur

sosial yaitu kebutuhan dasar seperti sekolah dan rumah sakit.

2. Pemukiman areal lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan, serta merupakan bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang merupakan pemukiman perkotaan maupun pedesaan

3. Sawah areal atau bidang lahan yang diusahakan untuk kegiatan pertanian lahan basah dengan tanaman yang diusahakan berupa padi

4. Tegalan areal atau bidang lahan yang diusahakan untuk kegiatan pertanian lahan kering dengan vegetasi yang diusahakan berupa tanaman semusim baik palawija maupun hortikultura 5. Kolam Ikan Air Tawar areal lahan dengan penggenangan yang berfungsi untuk

perikanan air tawar

6. Peternakan areal lahan yang digunakan untuk usaha pemeliharaan dan pembiakan ternak

7. RTH Non-Pertanian* Areal yang digunakan untuk tumbuhan dan tanaman bukan komoditi pertanian guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Termasuk pula penggunaan lain seperti lahan terbuka. 8. Sungai Tempat mengalirnya air yang bersifat alamiah Sumber : SNI 29-6728.3 - 2002

(12)

5.2.1. Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan 2007

Penggunaan lahan di Kota Sukabumi baik pada tahun 2002 dan tahun 2007 didominasi oleh penggunaan lahan sawah, pemukiman dan RTH Non-Pertanian diikuti oleh penggunaan lahan tegalan, infrastruktur kota, kolam ikan air tawar, sungai dan peternakan. Persentasi penggunaan lahan tahun 2002 dan 2007 di Kota Sukabumi ditampilkan pada Tabel 22 sedangkan keluaran hasil berupa peta penggunaan lahan tahun 2002 dan peta penggunaan lahan tahun 2007 ditampilkan pada Gambar 11 dan 12.

Tabel 22. Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan Tahun 2007 di Kota Sukabumi Penggunaan Lahan Tahun 2002 Tahun 2007 Perubahan

Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas

(Ha) % Infrastruktur Kota 208.3 4.3 221.0 4.5 12.7 0.3 Pemukiman 1,238.1 25.2 1,282.5 26.2 44.4 0.9 Sawah 1,723.1 35.1 1,698.2 34.6 -24.8 -0.5

Tegalan 468.5 9.6 458.9 9.4 -9.7 -0.2

Kolam Ikan Air Tawar 137.1 2.8 137.0 2.8 -0.0 0.0

Peternakan 26.4 0.5 27.3 0.6 1.0 0.0

RTH Non-Pertanian 1,058.0 21.6 1,034.5 21.1 -23.5 -0.5

Sungai 45.4 0.9 45.4 0.9 0.0 0.0

Jumlah 4,904.9 100.0 4,904.9 100.0 0.0 0.0 Sumber : Hasil Analisis (2012)

(13)

52 G am ba r 11. P et a P engg una an L aha n T ahun 2002 K ot a S uka bum i

(14)

G am ba r 12. P et a P enggu na an L aha n T ahun 2007 K ot a S uka bum i

(15)

Dominasi penggunaan lahan sawah di Kota Sukabumi disebabkan masih luasnya areal sawah terutama di 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum, dan Kecamatan Lembursitu yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Baros dan merupakan hasil penggabungan dari Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan Perda Nomor 15 Tahun 2000 tanggal 27 September 2000, Kecamatan Baros dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Lembur Situ, Kecamatan Baros dan Kecamatan Cibeureum, yang diistilahkan dengan Kota Baru dan memiliki ciri utama pertanian dengan luas lahan sawah 1.170,39 ha (tahun 2002) berkurang menjadi 1.151,18 ha (tahun 2007). Perubahan penggunaan lahan yang paling banyak mengalami pengurangan luas adalah sawah (24.83 ha), RTH Non-Pertanian(23.48 ha), tegalan (9.69 ha) dan kolam ikan air tawar (0.04 ha). Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan luas terbanyak adalah pemukiman (44.40 ha) dan infrastruktur kota (12.66 ha).

Penambahan luas penggunaan lahan pemukiman terbanyak berasal dari penggunaan lahan sawah, RTH Non-Pertanian dan tegalan dengan luas lahan yang terkonversi masing-masing sebanyak 21.3 ha, 17.1 ha dan 6.3 ha. Penambahan luas penggunaan lahan infrastruktur kota juga terbanyak berasal dari penggunaan lahan sawah, RTH Non-Pertanian dan tegalan dengan luas lahan yang terkonversi masing-masing sebanyak 4.0 ha, 3.9 ha dan 3.6 ha. Perubahan penggunaan lahan dari satu penggunaan lahan ke penggunaan lahan lainnya di Kota Sukabumi secara lengkap ditampilkan pada Tabel 23.

(16)

Tabel 23. Luas Perubahan Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi Tahun 2002-2007 dalam Hektar (ha)

LUAS PENGGUNAAN LAHAN TAHUN 2007 (ha)

Infrastruktur Kota Tegalan Kolam Ikan Air Tawar Pemukiman Peterna-kan RTH

Non-Pertanian Sawah Sungai Jumlah

L U A S P E N G G U NA AN L AH AN T A H U N 2 0 0 2 ( ha ) Infrastruktur Kota 208.3 - - - 221.0 Tegalan 3.6 456.2 0.3 6.3 0.8 0.1 1.2 - 458.8

Kolam Ikan Air Tawar 0.2 0.0 135.9 0.6 - - 0.3 - 137.0

Pemukiman 0.9 - - 1,237.2 - - - - 1,282.5 Peternakan - 0.1 - - 26.3 - - - 27.3 RTH Non-Pertanian 3.9 0.7 0.5 17.1 0.3 1,034.4 1.1 - 1,034.5 Sawah 4.0 1.8 0.3 21.2 - - 1,695.7 - 1,698.2 Sungai - - - 45.4 45.4 Jumlah 208.3 468.5 137.1 1,238.1 26.4 1,058.0 1,723.1 45.4 4,904.9 Sumber : Hasil Analisis (2012)

(17)

Apabila dicermati, jenis penggunaan lahan yang mengalami pengurangan luas adalah penggunaan lahan sawah, RTH Non Pertanian dan tegalan sedangkan jenis penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas adalah pemukiman, infrastruktur kota dan peternakan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Budiyanto (2011) yaitu fenomena dikorbankannya suatu pemanfaatan lahan untuk pemanfaatan lain ditimbulkan oleh sifat lahan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan yang sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan kebudayaan manusia. Rustiadi dan Wafda (2007) juga mengemukakan bahwa proses alih fungsi lahan pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang.

Berdasarkan hasil analisis jumlah penduduk Kota Sukabumi tahun 2004-2009, rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kota Sukabumi adalah 1.78. LPP di Kecamatan Gunungpuyuh dan di 3 (tiga) kecamatan hasil pemekaran (Kota Baru) berada di atas rata-rata LPP Kota Sukabumi yaitu 3.83 di Kecamatan Cibeureum, 2.84 di Kecamatan Baros, 2.72 di Kecamatan Gunungpuyuh dan 2.26 di Kecamatan Lembursitu. Nilai tersebut menujukkan bahwa pertambahan penduduk di keempat kecamatan tersebut relatif tinggi sehingga secara otomatis meningkatkan kebutuhan lahan untuk pemukiman. Laju Pertumbuhan Penduduk di 3 (tiga) kecamatan lainnya yaitu 0.68 di Kecamatan Cikole, 0.73 di Kecamatan Citamiang dan 1.27 di Kecamatan Warudoyong relatif lebih kecil dari LPP Kota Sukabumi karena ketiga kecamatan tersebut merupakan kawasan padat penduduk sehingga memiliki pertumbuhan jumlah penduduk lebih sedikit.

Pembangunan perumahan di wilayah Kota Lama yang memiliki LPP lebih rendah dari LPP Kota Sukabumi dan merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan lebih tinggi (Hirarki I dan Hirarki II) merupakan salah satu bentuk konsekuensi dari adanya keinginan masyarakat untuk mendapatkan kemudahan pencapaian terhadap fasilitas. Wilayah Kota Baru memiliki LPP lebih rendah dari LPP Kota Sukabumi dan merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan rendah (Hirarki III) sehingga pembangunan pemukiman dan infrastruktur kota sebagai fasilitas yang mendukung aktivitas masyarakat cukup banyak terjadi. Selain itu, luas areal non terbangun (berasal dari lahan pertanian) masih cukup

(18)

luas sehingga masih memungkinkan dilakukannya pembangunan fisik. Pembangunan perumahan di wilayah Kota Baru mayoritas merupakan pembangunan kompleks perumahan baru atau dalam bentuk kavling-kavling perumahan yang tentunya dari sisi luasan membutuhkan luas lahan yang relatif tinggi. Kebijakan pengembangan pusat pelayanan di wilayah Kota Baru dengan dibangunnya jalan lingkar selatan dapat menstimulan perkembangan wilayah tersebut sekaligus mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan terutama dari lahan pertanian dan RTH Non-Pertanian menjadi lahan terbangun yaitu infrastruktur kota dan pemukiman. Pembangunan jalan lingkar selatan telah mengakuisisi lahan sawah dan telah meningkatkan harga lahan di sekitar jalan lingkar selatan tersebut sehingga perubahan penggunaan lahan di sekitarnya pun cukup tinggi.

Berdasarkan hasil cek lapang yang telah dilakukan, perubahan penggunaan lahan yang banyak terjadi pada kurun tahun 2007-2012 adalah perubahan penggunaan lahan sawah, RTH Non-Pertanian, dan tegalan menjadi pemukiman dan infrastruktur kota (jalan lingkar selatan). Titik koordinat lokasi pengecekan lapang dan peta hasil pengecekan lapang terlampir pada Lampiran 11 dan 12. Perubahan penggunaan lahan pertanian (sawah) menjadi lahan terbangun (pemukiman dan infrastruktur kota) juga terkait dengan nilai land rent sebagaimana dinyatakan Rustiadi et al. (2009) bahwa alih fungsi lahan di suatu lokasi mengarah pada penggunaan lahan dengan land rent tertinggi dan konversi berlangsung searah dan bersifat tidak dapat balik. Menurut Rustiadi dan Wafda (2007), nilai land rent untuk penggunaan pertanian adalah 1 : 500 terhadap sektor industri, 1 : 622 terhadap perumahan, dan 1 : 14 terhadap pariwisata sehingga konversi lahan pertanian ke bentuk lain tidak dapat dihindarkan.

5.2.2. Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan

Pemusatan perubahan penggunaan lahan merupakan lokasi terjadinya konsentrasi perubahan penggunaan lahan sedangkan pergeseran penggunaan lahan menunjukkan terjadinya pengurangan atau penambahan luas penggunaan lahan. Identifikasi pemusatan perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan metode analisis Location Quotient (LQ) dimana nilai LQ >1

(19)

menjelaskan lokasi yang menjadi konsentrasi aktivitas perubahan penggunaan lahan tertentu. Pergeseran penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan metode Shift-share Analysis (SSA) dimana komponen yang digunakan adalah komponen proportional shift (untuk menjelaskan pergeseran perubahan penggunaan lahan secara agregat di Kota Sukabumi) dan komponen differential shift (untuk menjelaskan pergeseran perubahan penggunaan lahan di sub wilayah). Hasil analisis LQ maupun analisis SSA yang dilakukan memiliki tujuan untuk menjelaskan perubahan masing-masing penggunaan lahan pada tahun 2002 dan tahun 2007 (Tabel 22) dikarenakan matriks transformasi hanya menjelaskan luas perubahan suatu penggunaan lahan menjadi penggunaan lahan lainnya tanpa menjelaskan dimana lokasi terjadinya perubahan tersebut.

Berdasarkan hasil analisis SSA, nilai proportional shift penggunaan lahan di Kota Sukabumi selama kurun waktu 2002-2007 ditampilkan pada Tabel 24.

Tabel 24. Nilai Proportional Shift Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi dalam Kurun Waktu 2002-2007

No. Jenis Penggunaan Lahan Nilai Proportional Shift 1 Infrastruktur Kota 0.061

2 Pemukiman 0.036

3 Sawah -0.014

4 Tegalan -0.021

5 Kolam Ikan Air Tawar 0.000

6 Peternakan 0.037

7 RTH Non-Pertanian -0.022

8 Sungai 0.000

Sumber : Hasil Analisis (2012)

Berdasarkan nilai pada komponen proportional shift, penggunaan lahan yang mengalami pergeseran secara agregat di Kota Sukabumi berupa penambahan luas adalah infrastruktur kota, pemukiman dan peternakan sedangkan yang mengalami pergeseran berupa pengurangan luas adalah tegalan, RTH Non-Pertanian dan sawah. Hasil pada komponen proportional shift akan dijadikan sebagai dasar dalam analisis pemusatan dan pergeseran perubahan penggunaan lahan.

(20)

Pemusatan dan pergeseran penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan metode analisis LQ dan SSA (komponen differential shift). Kelurahan yang menjadi lokasi pemusatan perubahan penggunaan lahan memiliki nilai LQ>1 sedangkan pergeseran penggunaan lahan memiliki nilai DS negatif (-) untuk laju pengurangan luas atau nilai DS positif (+) laju penambahan luas. Secara spasial dapat dilihat pula pola pemusatan yang terjadi yaitu :

1. Pola Menyebar apabila area (polygon) yang mengalami perubahan di lokasi pemusatan perubahan penggunaan lahan bersifat tidak konsentris atau mengumpul di salah satu bagian lokasi, dan

2. Pola Terpusat apabila area (polygon) yang mengalami perubahan di lokasi pemusatan perubahan penggunaan lahan bersifat konsentris atau mengumpul di salah satu bagian lokasi.

Lokasi pemusatan dan pergeseran perubahan penggunaan lahan ditampilkan pada Tabel 25 sedangkan hasil analisis LQ dan DS secara lengkap ditampilkan pada Lampiran 13.

Tabel 25. Lokasi Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi

No Penggunaan Lahan Kelurahan Lokasi Pemusatan Pola Pemusatan

Pengurangan Luas

1 Tegalan Baros, Cikole, Cikondang, Dayeuhluhur, Gedongpanjang, Nanggeleng, Selabatu,

Sindangpalay, Situmekar, Sudajaya Hilir,

Warudoyong

Tersebar

2 RTH Non-Pertanian

Gunungparang, Karamat, Kebonjati, Limusnunggal, Selabatu, Sriwedari, Subangjaya, Tipar

Terpusat 3 Sawah Babakan, Benteng, Cibeureum Hilir, Citamiang,

Cipanengah, Nyomplong

Terpusat

Penambahan Luas

4 Infrastruktur Kota Baros, Benteng, Cikondang, Cikundul, Cipanengah, Gedongpanjang, Karangtengah, Sudajaya Hilir,

Sukakarya.

Tersebar

5 Pemukiman Babakan, Cibeureum Hilir, Limusnunggal,

Nanggeleng, Sindangpalay, Subangjaya

Terpusat

6 Peternakan Situmekar Terpusat

(21)

Lokasi yang menjadi pemusatan perubahan dan pengurangan luas lahan tegalan sekaligus merupakan lokasi pemusatan perubahan dan penambahan luas infrastruktur kota adalah Kelurahan Baros, Kelurahan Cikondang dan Kelurahan Gedongpanjang dengan pemusatan perubahan yang terjadi memiliki pola tersebar. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi adalah lahan tegalan menjadi infrastruktur kota. Pembangunan infrastruktur kota di Kelurahan Cikondang dan Kelurahan Gedongpanjang (wilayah Hirarki II) serta Kelurahan Baros (wilayah Hirarki II) adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan salah satu bentuk dari upaya peningkatan perkembangan wilayah di ketiga kelurahan tersebut. Secara spasial, pemusatan perubahan penggunaan lahan tegalan ditampilkan pada Gambar 13 sedangkan pemusatan perubahan penggunaan lahan menjadi infrastruktur kota ditampilkan pada Gambar 14.

(22)

Gambar 14. Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan Menjadi Infrastruktur Kota

Lokasi yang menjadi pemusatan pengurangan luas lahan sawah dan RTH Non-Pertanian sekaligus merupakan lokasi pemusatan perubahan dan penambahan luas pemukiman adalah Kelurahan Babakan, Kelurahan Cibeureum Hilir, Kelurahan Limusnunggal dan Kelurahan Subangjaya dengan pemusatan perubahan yang terjadi memiliki pola terpusat. Pembangunan pemukiman di Kelurahan Limusnunggal dan Kelurahan Subangjaya (wilayah Hirarki II) menunjukkan adanya kecenderungan dari masyarakat untuk mendekati pusat pelayanan sedangkan pembangunan pemukiman di Kelurahan Babakan dan Kelurahan Cibeureum Hilir (wilayah Hirarki III) lebih diakibatkan karena masih tingginya area non terbangun berupa lahan pertanian dengan pola pembangunan pemukiman mendekati jaringan jalan. Secara spasial, perubahan penggunaan lahan sawah, RTH Non-Pertanian dan pemukiman ditampilkan masing-masing pada Gambar 15, 16 dan 17.

(23)

Gambar 15. Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan Sawah

Gambar 16. Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan RTH Non-Pertanian

(24)

Gambar 17. Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan Menjadi Pemukiman

Lokasi yang menjadi pemusatan pengurangan luas lahan tegalan sekaligus merupakan lokasi pemusatan penambahan luas peternakan adalah Kelurahan Situmekar dengan pola memusat. Secara spasial pemusatan perubahan penggunaan lahan peternakan ditampilkan pada Gambar 18.

(25)

Gambar 18. Pemusatan dan Pergeseran Perubahan Penggunaan Lahan Peternakan

Berdasarkan hasil analisis LQ dan nilai DS pada Tabel 24, pemusatan pengurangan luas terjadi pada areal non-terbangun (sawah, tegalan dan RTH Non-Pertanian) sedangkan pemusatan penambahan luas mayoritas terjadi pada areal terbangun (pemukiman dan infrastruktur). Apabila dikaitkan dengan hasil analisis Skalogram, pemusatan perubahan penggunaan lahan dari areal non terbangun yang diiringi pemusatan penambahan luas areal terbangun terjadi pada wilayah Hirarki II dan Hirarki III. Jumlah desa terbanyak yang menjadi pemusatan perubahan terdapat di wilayah Hirarki III sebagaimana tertera pada Tabel 26.

Tabel 26. Jumlah Desa Tiap Hirarki pada Masing-masing Tipe Perubahan Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi

Tipe Perubahan Jumlah Desa

Hirarki I Hirarki II Hirarki III Pengurangan luas areal non-terbangun 4 8 12

Penambahan luas areal terbangun 6 10

(26)

Pembangunan pemukiman di wilayah Hirarki II terjadi sebagai hasil adanya dorongan dari masyarakat untuk tinggal mendekati pusat pelayanan (Hirarki I) dan sebagai akibatnya infrastruktur pun dibangun mengikuti pertumbuhan penduduk yang ada di wilayah tersebut. Pemusatan perubahan yang banyak terjadi di wilayah Hirarki III terjadi dikarenakan karakteristik utama wilayah Hirarki III adalah pertanian sehingga masih memiliki areal non terbangun berupa lahan pertanian yang masih luas sehingga dari sisi luasan areal masih sangat memungkinkan dibangun fasilitas pemukiman dan infrastruktur lain. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) di wilayah Hirarki III yang secara relatif lebih tinggi dari LPP Kota Sukabumi (3.83 di Kecamatan Cibeureum, 2.84 di Kecamatan Baros, 2.72 di Kecamatan Gunungpuyuh dan 2.26 di Kecamatan Lembursitu) telah meningkatkan kebutuhan fasilitas berupa pemukiman dan infrastruktur pendukung lainnya. Selain hal tersebut, adanya strategi penataan bipolar dengan membangun pusat pelayanan baru di bagian selatan Kota Sukabumi untuk mendorong perkembangan wilayah Kota Baru juga telah meningkatkan perubahan penggunaan lahan dari areal non terbangun menjadi areal terbangun. Nama desa tiap hirarki pada masing-masing tipe perubahan penggunaan lahan di Kota Sukabumi secara lengkap terdapat pada Lampiran 14.

5.3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan

Dalam penelitian ini, metode analisis Kuantifikasi Hayashi tipe II digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan.

Identifikasi faktor-faktor penyebab perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) variabel penjelas yaitu :

1) faktor aksesibilitas (terdiri dari 3 (tiga) kategori yaitu jarak ke pusat kota, jarak ke jalan arteri, jarak ke jalan kolektor),

2) faktor fisik lahan (kemiringan lereng yang terdiri dari 5 (lima) kategori yaitu 0 - 2 %, 2 - 15 %, 15 - 25%, 25 - 40% dan > 40 %) , dan

3) faktor perkembangan wilayah (terdiri dari 3 (tiga) kategori yaitu Hirarki I, Hirarki II, dan Hirarki III)

(27)

Analisis dilakukan terhadap 6 (enam) tipe penggunaan lahan (tegalan, kolam ikan air tawar, pemukiman, peternakan, RTH Non-Pertanian dan sawah) kecuali 2 (dua) tipe penggunaan lahan lainnya (infrastruktur kota dan sungai) tidak mengalami perubahan penggunaan lahan. Faktor yang berpengaruh nyata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan memiliki nilai korelasi parsial yang lebih tinggi dibandingkan dengan batas r kritis-nya. Skor kategori untuk variabel-variabel dalam model terangkum dalam axis. Informasi yang dapat diperoleh dari bagian ini adalah frekuensi dan skor untuk setiap variabel, baik variabel tujuan maupun variabel penjelas.

5.3.1. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan Sawah

Berdasarkan hasil analisis, faktor aksesibilitas (axis 1 dan axis 2), faktor fisik (axis 1) dan faktor tingkat perkembangan wilayah (axis 2) merupakan variabel yang nyata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan ruang sawah karena memiliki nilai korelasi partial yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan nilai batas r-kritis-nya pada selang kepercayaan 99 % (0.01) yaitu 0.210.

Pada axis 1, jarak ke jalan arteri (skor kategori = 0.76) dan kemiringan lereng 0-2 % (skor kategori = 0.18) berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan sawah menjadi penggunaan lain yaitu infrastruktur kota (skor kategori = 0.53), pemukiman (skor kategori = 0.48) dan tegalan (skor kategori = 0.43). Pada axis 2, jarak ke jalan kolektor (skor kategori = -0.53) dan wilayah Hirarki I (skor kategori = 2.25) berperan menaikkan peluang perubahan penggunaan lahan sawah menjadi penggunaan lain yaitu kolam ikan air tawar (skor kategori = 0.74) dan pemukiman (skor kategori = 0.24) .

Nilai skor kategori hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sawah secara lengkap tertera pada Lampiran 15 sedangkan nilai skor kategori dari variabel-variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan sawah tertera pada Tabel 27.

(28)

Tabel 27. Variabel-variabel yang Berpengaruh Nyata Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Sawah (Axis 1 dan Axis 2)

Variabel Kategori Axis 1 Axis 2 Skor Kategori Korelasi Parsial Skor Kategori Korelasi Parsial Aksesibilitas (X1)

Jarak ke Pusat Kota 0.72 0.545 0.24 0.257

Jarak ke Jalan Arteri 0.76 -0.85 Jarak ke Jalan Kolektor -0.61 0.53

Fisik (X2) 0 – 2 % 0.18 0.378 -0.14 0.057 2 – 15 % 0.15 0.13 15 – 25 % -1.20 0.11 25 – 40 % -1.29 0.25 > 40 % -1.29 0.25 Tingkat Perkembangan Wilayah (X3) Hirarki I 0.03 0.171 2.25 0.357 Hirarki II -0.23 -1.08 Hirarki III 0.16 0.57 Perubahan Penggunaan Lahan (Y)

Sawah – Infrastruktur Kota 0.56 -0.93

Sawah – Tegalan 0.43 -0.13

Sawah – Kolam Ikan Air Tawar 0.00 0.74

Sawah – Pemukiman 0.48 0.24

Sawah – Sawah -1.08 -0.05

Eta Square 0.508 0.151

Batas r-kritis 0.210

Sumber : Hasil Analisis (2012)

5.3.2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan Tegalan

Berdasarkan uji-t dengan tingkat kepercayaan 99 % (0.01) diperoleh nilai 0.215 menjadi batas kritis nilai korelasi parsial. Hasil analisis berdasarkan nilai batas kritis tersebut, variabel yang nyata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan tegalan adalah aksesibilitas pada axis 1 dan tingkat perkembangan wilayah pada axis 2.

Jarak ke pusat kota (skor kategori = 1.23) pada axis 1 berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan tegalan menjadi peternakan (skor kategori = 0.74), pemukiman (skor kategori = 0.56) dan infrastruktur kota (skor kategori = 0.32). Wilayah Hirarki I (skor kategori = 2.69) pada axis 2 berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan tegalan menjadi pemukiman (skor kategori = 0.18).

Nilai skor kategori hasil analisis Hayashi 2 terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan tegalan secara lengkap tertera pada Lampiran 16 sedangkan nilai skor kategori dari variabel-variabel yang secara

(29)

nyata berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan tegalan tertera pada Tabel 28.

Tabel 28. Variabel-variabel yang Berpengaruh Nyata Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Tegalan (Axis 1 dan Axis 2)

Variabel Kategori Axis 1 Axis 2 Skor Kategori Korelasi Parsial Skor Kategori Korelasi Parsial Aksesibilitas (X1)

Jarak ke Pusat Kota 1.23 0.639 -1.74 0.160 Jarak ke Jalan Arteri 1.20 0.16

Jarak ke Jalan Kolektor -0.76 0.24

Fisik (X2) 0 - 2 % 0.25 0.206 0.38 0.153 2 - 15 % -0.13 -0.04 15 - 25 % -0.48 -1.45 Tingkat Perkembangan Wilayah (X3) Hirarki I -0.03 0.117 2.69 0.225 Hirarki II 0.28 -1.29 Hirarki III -0.07 0.10 Perubahan Penggunaan Lahan (Y)

Tegalan - Infrastruktur Kota 0.32 -0.05 Tegalan - Kolam Ikan Air

Tawar -0.62 -0.77 Tegalan - Pemukiman 0.56 0.18 Tegalan - Peternakan 0.74 -0.61 Tegalan - Tegalan -0.82 0.09 Eta Square 0.430 0.079 Batas r-kritis 0.215

Sumber : Hasil Analisis (2012)

5.3.3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan Kolam Ikan Air Tawar

Nilai 0.225 menjadi batas kritis nilai korelasi parsial berdasarkan hasil uji-t dengan uji-tingkauji-t kepercayaan 99 % (0.01). Hasil analisis berdasarkan nilai bauji-tas kritis tersebut, variabel yang nyata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan tegalan adalah aksesibilitas baik pada axis 1 maupun axis 2 dan tingkat perkembangan wilayah pada axis 2.

Pada axis 1, jarak ke jalan arteri (skor kategori = -1.91) berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan kolam ikan air tawar menjadi sawah (skor kategori = -0.27), infrastruktur kota (skor kategori = -0.59), pemukiman (skor kategori = -1.56) dan tegalan (skor kategori = -2.26). Pada axis 2, jarak ke jalan kolektor (skor kategori = -0.02) dan wilayah Hirarki II (skor kategori = -0.10) berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan

(30)

lahan kolam ikan air tawar menjadi pemukiman (skor kategori = -0.14), sawah (skor kategori = -0.487) dan infrastruktur kota (skor kategori = -0.70).

Nilai skor kategori hasil analisis Hayashi 2 terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan kolam ikan air tawar secara lengkap tertera pada Lampiran 17 sedangkan nilai skor kategori dari variabel-variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan kolam ikan air tawar tertera pada Tabel 29.

Tabel 29. Variabel-variabel yang Berpengaruh Nyata Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Kolam Ikan Air Tawar (Axis 1 dan Axis 2)

Variabel Kategori Axis 1 Axis 2 Skor Kategori Korelasi Parsial Skor Kategori Korelasi Parsial Aksesibilitas (X1)

Jarak ke Pusat Kota -2.34 0.853 3.73 0.383

Jarak ke Jalan Arteri -1.91 -1.52 Jarak ke Jalan Kolektor 0.51 -0.02

Fisik (X2) 0 - 2 % -0.10 0.181 -0.12 0.120 2 - 15 % 0.13 0.26 15 - 25 % 0.23 -1.45 Tingkat Perkembangan Wilayah (X3) Hirarki I 0.10 0.161 -4.87 0.228 Hirarki II 0.23 -0.10 Hirarki III -0.04 0.11 Perubahan Penggunaan Lahan (Y)

Kolam Ikan Air Tawar - Infrastruktur Kota

-0.59 -0.70

Kolam Ikan Air Tawar - Tegalan

-2.26 4.09

Kolam Ikan Air Tawar - Pemukiman

-1.56 -0.14

Kolam Ikan Air Tawar - Sawah

-0.27 -0.48

Kolam Ikan Air Tawar - Kolam Ikan Air Tawar

0.50 0.04

Eta Square 0.734 0.152

Batas r-kritis 0.225

Sumber : Hasil Analisis (2012)

5.3.4. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan Peternakan

Berdasarkan hasil analisis, variabel yang digunakan tidak dapat menjelaskan secara nyata faktor–faktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan peternakan dikarenakan nilai korelasi partial masing-masing variabel penjelas lebih kecil dari nilai batas r-kritis-nya yaitu 0.338.

(31)

Skor kategori untuk variabel-variabel hasil analisis Hayashi 2 dalam identifikasi faktor penyebab perubahan penggunaan lahan peternakan tertera pada Lampiran 18.

5.3.5. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan RTH Non-Pertanian

Nilai 0.260 menjadi batas kritis nilai korelasi parsial berdasarkan hasil uji-t dengan uji-tingkauji-t kepercayaan 99 % (0.01). Hasil analisis berdasarkan nilai bauji-tas kritis tersebut, variabel yang nyata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan RTH Non-Pertanian adalah aksesibilitas (axis 1), fisik lahan (axis 2) dan tingkat perkembangan wilayah baik pada axis 1 maupun axis 2.

Pada axis 1, jarak ke jalan kolektor (skor kategori = 1.19) dan wilayah Hirarki III (skor kategori = 0.26) berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan RTH Non-Pertanian menjadi pemukiman (skor kategori = 0.54). Pada axis 2, kemiringan lereng 2-15 % (skor kategori = -0.59) dan wilayah Hirarki II (skor kategori = -0.81) berperan menaikkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan RTH Non-Pertanian menjadi pemukiman (skor kategori = -0.04), infrastruktur kota (skor kategori = -0.30) dan sawah (skor kategori = -0.41).

Nilai skor kategori hasil analisis Hayashi 2 terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan RTH Non-Pertanian secara lengkap tertera pada Lampiran 19, sedangkan nilai skor kategori dari variabel-variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan Hutan Kota/Penggunaan Lain tertera pada Tabel 30.

(32)

Tabel 30. Variabel-variabel yang Berpengaruh Nyata Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan RTH Non-Pertanian (Axis 1 dan 2)

Variabel Kategori Axis 1 Axis 2 Skor Kategori Korelasi Parsial Skor Kategori Korelasi Parsial Aksesibilitas (X1)

Jarak ke Pusat Kota -0.94 0.761 1.70 0.242 Jarak ke Jalan Arteri -0.64 0.06

Jarak ke Jalan Kolektor 1.19 -0.38

Fisik (X2) 0 - 2 % -0.11 0.176 0.34 0.264 2 - 15 % 0.08 -0.59 15 - 25 % 0.35 0.99 Tingkat Perkembangan Wilayah (X3) Hirarki I -0.08 0.361 0.56 0.326 Hirarki II -0.35 -0.81 Hirarki III 0.26 0.54 Perubahan Penggunaan Lahan (Y) RTH Non-Pertanian– Infrastrukt. Kota -0.61 -0.30 RTH Non-Pertanian- Tegalan -0.41 0.90 RTH Non-Pertanian- Pemukiman 0.54 -0.04 RTH Non-Pertanian- Sawah -0.77 -0.41 RTH Pertanian- RTH Non-Pertanian 1.36 -0.11 Eta Square 0.638 0.215 Batas r-kritis 0.260

Sumber : Hasil Analisis (2012)

5.3.6. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan Pemukiman

Berdasarkan uji-t dengan tingkat kepercayaan 99 % (0.01) diperoleh nilai 0.313 mejadi batas kritis nilai korelasi parsial. Hasil analisis berdasarkan nilai batas kritis tersebut, variabel yang nyata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan pemukiman adalah aksesibilitas pada axis 1.

Pada axis 1, jarak ke jalan arteri (skor kategori = -0.07) berperan menaikkan peluang perubahan penggunaan lahan pemukiman menjadi penggunaan lain yaitu infrastruktur kota (skor kategori = -0.69).

Nilai skor kategori hasil analisis Hayashi 2 terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan pemukiman secara lengkap tertera pada Lampiran 20 sedangkan nilai skor kategori dari variabel-variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan pemukiman tertera pada Tabel 31.

(33)

Tabel 31. Variabel-variabel yang Berpengaruh Nyata Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Pemukiman (Axis 1)

Variabel Kategori Axis 1

Skor Kategori Korelasi Parsial Aksesibilitas (X1) Jarak ke Pusat Kota -0.58 0.89

Jarak ke Jalan Arteri -0.07 Jarak ke Jalan Kolektor 0.14

Fisik (X2) 0 - 2 % 0.00 0.14 2 - 15 % 0.00 15 - 25 % 0.00 25 - 40 % 0.00 Tingkat Perkembangan Wilayah (X3) Hirarki I -1.19 -0.56 Hirarki II 1.09 Hirarki III -0.41 Perubahan Penggunaan Lahan (Y) Pemukiman - Infrastruktur Kota -0.69 Pemukiman - Pemukiman 0.29 Eta Square 0.599 Batas r-kritis 0.313

Sumber : Hasil Analisis (2012)

Berdasarkan hasil dari analisis Hayashi Kuantifikasi II, seluruh kategori pada faktor aksesibilitas yaitu jarak ke pusat kota, jarak ke jalan arteri dan jarak ke jalan kolektor memiliki pengaruh yang nyata dalam menyebabkan perubahan penggunaan lahan menjadi infrastruktur kota dan pemukiman. Infrastruktur kota merupakan fasilitas (fisik maupun sosial) pelayanan bagi masyarakat sehingga banyak dibangun di wilayah yang dekat dengan pusat kota dan jaringan jalan untuk memudahkan masyarakat mengaksesnya. Infrastruktur kota juga banyak dibangun di wilayah Hirarki II yang merupakan hinterland dari wilayah Hirarki I serta merupakan penunjang pelayanan bagi masyarakat di wilayah Hirarki III sehingga tercipta keseimbangan pembangunan antar wilayah mengingat jumlah fasilitas di wilayah Hirarki III lebih sedikit. Pembangunan jalan lingkar selatan serta Terminal Tipe A sebagai stimulan terciptanya perkembangan wilayah selatan Kota Sukabumi yang merupakan wilayah Hirarki III juga telah meningkatkan perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi pemukiman dan kawasan komersial berupa pertokoan dan rumah makan. Hal ini mendorong terbentuknya pusat pelayanan baru di wilayah Kota Baru.

Pembangunan pemukiman juga memiliki kecenderungan terjadi pada wilayah yang dekat dengan pusat kota dengan aksesibilitas baik sehingga mudah diakses. Semakin tinggi tingkat perkembangan wilayah dapat ditunjukkan dengan

(34)

aktivitas masyarakat beragam sehingga preferensi masyarakat untuk tinggal di wilayah hirarki I dan hirarki II lebih tinggi karena memiliki kedekatan dengan tempat aktivitas (bekerja). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pembangunan pemukiman di Kota Sukabumi menuju ke arah pusat-pusat pelayanan. Selain itu, pembangunan pemukiman juga banyak terjadi di wilayah hirarki III mengingat dikarenakan luas lahan non terbangun relatif masih tinggi yang berasal dari sawah, tegalan serta RTH Non-Pertanian. Secara garis besar, pembangunan fisik di Kota Sukabumi baik infrastruktur maupun pemukiman terdiri dari 2 (dua) tipe perkembangan, yaitu :

1. Perkembangan Intensif, merupakan konsekuensi dari intensifikasi kawasan terbangun di bagian pusat kota yang dicirikan oleh meningkatnya intensitas penggunaan lahan untuk kawasan terbangun di pusat kota, dan

2. Perkembangan Penetrasi, merupakan perkembangan spontan dengan

perkembangan kawasan mengikuti jaringan jalan yang ada.

Perubahan penggunaan lahan pertanian yang terjadi di dekat akses jalan dan pusat kota dapat pula diakibatkan karena adanya nilai ekonomi lahan yang meningkat sehingga pemilik lahan pertanian cenderung menjual lahannya untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan pendapatan yang diperoleh dari usaha tani per musim. Adapun perubahan yang terjadi antara sawah-tegalan-kolam ikan air tawar diakibatkan pula oleh adanya pergiliran usaha tani pada musim kemarau terutama untuk komoditas padi yang Indeks Pertanaman-nya (IP) < 300. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dari Tanaman Pangan Lahan Basah (TPLB) ke Tanaman Pangan Lahan Kering (TPLK) merupakan satu fenomena yang diijinkan dan tidak melanggar undang-undang namun disinyalir bahwa kondisi ini merupakan salah satu transisi sebelum dilakukan perubahan penggunaan lahan ke lahan terbangun, karena adanya pengendalian alihguna dari TPLB langsung ke lahan terbangun. Tumbuhnya lahan kering pada dasarnya hanya merupakan tahapan dari proses spekulasi yang bertujuan akhir mengubah alihguna dari sawah ke lahan terbangun agar tidak dinyatakan melanggar undang-undang (Trisasongko et al., 2009).

Faktor fisik yaitu kemiringan lereng 0-2 % (topografi datar) juga mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sawah menjadi infrastruktur kota

(35)

dan pemukiman sedangkan kemiringan lereng 2-5% (topografi bergelombang) mempengaruhi perubahan penggunaan lahan RTH Non-Pertanian menjadi infrastruktur kota, pemukiman dan sawah. Pada daerah dengan topografi datar hingga bergelombang, kemudahan membangun bangunan lebih tinggi karena tidak perlu pengolahan seperti metode cut and fill untuk meratakan tanah.

5.4. Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi pada Berbagai Kelas

Kemampuan Lahan dan Menurut Rencana Pola Ruang 2011-2031

Berdasarkan hasil evaluasi kemampuan lahan, lahan di Kota Sukabumi terdiri dari kelas kemampuan lahan kelas III, kelas IV dan kelas VI. Sedangkan dari analisis tumpang tindih antara peta penggunaan lahan dan peta kemampuan lahan, diperoleh penggunaan lahan pada masing-masing kelas kemampuan lahan (Tabel 32).

Tabel 32. Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi pada Berbagai Kelas Kemampuan Lahan

Kelas Penggunaan Lahan Kelas Kemampuan Lahan (ha) Luas Kelas III Kelas IV Kelas VI (Ha)

Infrastruktur Kota 198.3 0.7 0.1 199.1

Tegalan 443 13.5 2.4 458.8

Kolam Ikan Air Tawar 135.7 1.1 0.2 137

Pemukiman 1,275.90 5.6 1 1,282.50 Peternakan 27.3 - - 27.3 RTH Non-Pertanian 980.5 58.4 17.5 1,056.40 Sawah 1,693.80 3.7 0.8 1,698.20 Sungai 43.1 1.2 1.1 45.4 Luas (ha) 4,797.60 84.1 23.2 4,904.90

Sumber : Hasil Analisis (2012)

Secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan lahan di Kota Sukabumi masih sesuai dengan kondisi kemampuan lahan. Lahan pada kelas kemampuan lahan III dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka margasatwa (Arsyad, 2010). Penggunaan lahan terbanyak di Kelas III adalah Sawah (1,693.79 ha), RTH Non-Pertanian (980.49 ha) dan

(36)

tegalan (442.97 ha). Secara relatif, lahan Kelas III dapat dikatakan lebih produktif dibandingkan dengan kelas kemampuan lahan lainnya. Meskipun penggunaan lahan terbangun pada kelas III cukup tinggi yaitu pemukiman (1,275.88 ha), hal ini tidak dapat dihindarkan karena luas lahan Kelas III mencapai 97.8 % dari luas total wilayah Kota Sukabumi. Demikian pula pada lahan-lahan kelas IV dan kelas VI, penggunaan lahan terbanyak adalah RTH Non-Pertanian. Lahan Kelas IV memiliki hambatan lebih besar dari Kelas III dan pilihan tanaman lebih terbatas sehingga jika digunakan untuk pertanian tanaman semusim diperlukan tindakan pengelolaan yang hati-hati. Tanah kelas IV dapat digunakan untuk tanaman rumput, hutan produksi, padang penggembalaan, hutan lindung atau cagar alam. Kelas VI memiliki hambatan berat sehingga tidak dapat digunakan untuk pertanian (Arsyad, 2010). Penggunaan lahan RTH Non-Pertanian pada kelas IV dan kelas VI dinilai paling tepat mengingat kondisi lahan pada kelas-kelas kemampuan lahan tersebut memiliki kemiringan lereng bervariasi mulai 25 % hingga > 40% serta kepekaan terhadap erosi yang tinggi sehingga penggunaan lahan dapat memberikan fungsi konservasi.

Perbandingan yang dilakukan antara penggunaan lahan aktual dengan kriteria teknis penggunaan lahan untuk masing-masing kelas kemampuan lahan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kecocokan antara penggunaan lahan aktual dengan kriteria teknis pada masing-masing kelas kemampuan lahan. Berdasarkan hasil analisis, penggunaan lahan aktual yang masih sesuai dengan kelas kemampuan lahan adalah penggunaan lahan di kelas III. Faktor penghambat terberat pada kelas III ini adalah kemiringan lereng 15%. Kesesuaian penggunaan lahan pertanian dan bangunan juga memiliki paramater kesesuaian kemiringan lereng tidak lebih dari 15% sehingga semua penggunaan lahan pada Kelas III dapat dikatakan cocok (sesuai dengan kriteria teknis). Lahan kelas IV dan VI memiliki faktor penghambat terberat berupa kemiringan lereng >15% (kelas IV) hingga >40% (Kelas VI). Dengan demikian penggunaan lahan aktual pada kelas IV dan kelas VI dikatakan tidak cocok karena tidak sesuai antara parameter kesesuaian penggunaan lahan pertanian dan bangunan dengan faktor penghambat yang ada pada kelas IV dan kelas VI. Perbandingan antara penggunaan lahan

(37)

aktual dengan kriteria teknis untuk setiap kelas penggunaan lahan tercantum pada Tabel 33.

Tabel 33. Kecocokan Antara Penggunaan Lahan Aktual dengan Kriteria Teknis Masing-masing Kelas Kemampuan Lahan

Kelas Penggunaan Lahan

Kelas III Kelas IV Kelas VI

Luas (ha)

Kecoco-kan dengan Kriteria

Teknis Luas (ha)

Kecoco-kan dengan Kriteria

Teknis Luas (ha)

Kecoco-kan dengan Kriteria Teknis Infrastruktur Kota 198.3 Cocok 0.7 Tidak 0.1 Tidak Pemukiman 1275.9 Cocok 5.6 Tidak 1.1 Tidak Sawah 1693.8 Cocok 3.7 Tidak 0.8 Tidak Tegalan 443 Cocok 13.5 Tidak 2.4 Tidak Kolam Ikan Air Tawar 135.7 Cocok 1.1 Tidak 0.2 Tidak

Peternakan 27.3 Cocok - Tidak - -

RTH Non-Pertanian 980.5 Cocok 58.4 Cocok 17.5 Cocok Sumber : Hasil Analisis (2012)

Selain analisis kecocokan antara penggunaan lahan aktual dengan kriteria teknis masing-masing penggunaan lahan, dilakukan pula analisis kecocokan antara persepsi masyarakat mengenai alokasi penggunaan lahan di setiap kelas kemampuan lahan dengan kriteria teknis penggunaan lahan pada masing-masing kelas kemampuan lahan. Persepsi masyarakat yang diperoleh dianalisis menggunakan metode AHP sehingga diperoleh bobot persepsi masyarakat mengenai alokasi penggunaan lahan untuk setiap kelas penggunaan lahan. Bobot persepsi masyarakat inilah yang akan dibandingkan dengan kriteria teknis penggunaan lahan pada masing-masing kelas penggunaan lahan. Meskipun terdapat banyak faktor yang menentukan penggunaan lahan di suatu wilayah namun persepsi masyarakat sedikit banyak dapat mempengaruhi keputusan penggunaan lahan.

Pada lahan kelas III dan kelas IV, bobot terbesar persepsi masyarakat dalam alokasi penggunaan lahan adalah pengunaan untuk lahan sawah. Persepsi masyarakat mengenai alokasi penggunaan lahan di kelas VI, bobot terbesar adalah pada penggunaan lahan infrastruktur kota dan pemukiman. Hal ini didasari pemikiran masyarakat bahwa lahan kelas III memiliki produktivitas untuk

(38)

pertanian lebih tinggi dibandingkan kelas VI tanpa mempertimbangkan faktor fisik seperti kemiringan lereng. Hanya terdapat 1 (satu) tipe penggunaan lahan saja yang memiliki kecocokan antara persepsi masyarakat dengan kriteria teknis kelas kemampuan lahan yaitu tipe penggunaan lahan RTH Non-Pertanian. Hal ini dikarenakan vegetasi berupa pepohonan dapat memberikan fungsi konservasi pada lahan-lahan dengan kemiringan lereng curam sehingga mengurangi resiko bahaya longsor. Perbandingan antara bobot persepsi masyarakat mengenai alokasi penggunaan lahan dengan kriteria teknis untuk setiap kelas penggunaan lahan ditampilkan pada Tabel 34.

Tabel 34. Kecocokan Antara Persepsi Masyarakat Mengenai Alokasi Penggunaan Lahan dengan Kriteria Teknis Kelas Kemampuan Lahan

Kelas Penggunaan

Lahan

Kelas III Kelas IV Kelas VI Bobot Persepsi Masyarakat Kecoco-kan Dengan Kriteria Teknis Bobot Persepsi Masyara-kat Kecoco-kan Dengan Kriteria Teknis Bobot Persepsi Masyara-kat Kecoco-kan Dengan Kriteria Teknis Infrastruktur

Kota 0.128 Cocok 0.137 Tidak 0.201 Tidak Pemukiman 0.124 Cocok 0.131 Tidak 0.200 Tidak Sawah 0.187 Cocok 0.120 Tidak 0.073 Tidak Tegalan 0.154 Cocok 0.159 Tidak 0.096 Tidak Kolam Ikan Air

Tawar 0.138 Cocok 0.166 Tidak 0.141 Tidak Peternakan 0.108 Cocok 0.126 Tidak 0.098 Tidak RTH

Non-Pertanian 0.160 Cocok 0.160 Cocok 0.191 Cocok Sumber : Hasil Analisis (2012)

Perkembangan penggunaan lahan serta kecenderungan perubahannya dapat diketahui dengan melakukan tumpang tindih peta penggunaan lahan tahun 2007 dengan peta rencana pola ruang Kota Sukabumi tahun 2011-2031. Hasil tabulasi silang luas penggunaan lahan tahun 2007 dan luas penggunaan lahan pada rencana pola ruang tahun 2011-2031 dapat dilihat pada Tabel 35.

(39)

Tabel 35. Perkembangan Penggunaan Lahan Berdasarkan Rencana Pola Ruang Tahun 2011-2031 NO. PENGGUNAAN LAHAN LUAS TAHUN 2007 LUAS TAHUN 2031 KETERANGAN KECENDERUNGAN PENINGKATAN LUAS

1 Infrastruktur Kota 199.2 1,320.1 industri, jalan, jalan kereta api, kesehatan, pariwisata,

pemerintahan/perkantoran, pendidikan, perdagangan dan jasa, pergudangan dan Secapa POLRI.

2 Pemukiman 1,282.5 2,661.3 KECENDERUNGAN PENURUNAN LUAS

1 Pertanian 2,321.4 375.2 sawah, tegalan, perikanan air tawar dan peternakan 2 RTH

Non-Pertanian

1,056.4 485.2 Sumber : Hasil Analisis (2012)

Secara umum dapat dilihat terdapat kecenderungan peningkatan penggunaan lahan infrastruktur kota dan pemukiman (Tabel 33). Dari rencana pola ruang, dapat terjadi peningkatan luas lahan infrastruktur kota dari 199.15 ha menjadi 1.320,13 ha hingga tahun 2031 yang terdiri dari penggunaan lahan industri, jalan, jalan kereta api, kesehatan, pariwisata, pemerintahan/perkantoran, pendidikan, perdagangan dan jasa, pergudangan dan Secapa POLRI. Penggunaan lahan pemukiman dapat mengalami peningkatan luas dari 1.282,48 ha menjadi 2.661,26 ha hingga tahun 2031 yang terbagi ke dalam pemukiman, pemukiman kepadatan rendah, pemukiman kepadatan sedang, pemukiman kepadatan tinggi dan rencana pemukiman. Kecenderungan peningkatan luas penggunaan lahan infrastruktur kota dan pemukiman diiringi oleh kecenderungan penurunan luas penggunaan lahan pertanian secara umum (sawah, tegalan, perikanan air tawar dan peternakan) dan RTH Non-Pertanian. Hingga tahun 2031, luas penggunaan lahan pertanian secara umum dapat mengalami penurunan dari 2.321,43 ha menjadi 375.18 ha sedangkan luas penggunaan lahan RTH Non-Pertanian dapat mengalami penurunan dari 1.056,37 ha menjadi 485.15 ha (sekitar 10 % dari luas wilayah Kota Sukabumi).

Terjadinya peningkatan luas penggunaan lahan infrastruktur kota dan pemukiman sejatinya tidak dapat dihindari sebagai akibat dilakukannya kegiatan

(40)

pembangunan dan pengembangan wilayah yang memberikan pengaruh terhadap aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Namun demikian pengendalian dalam implementasi dari rencana pola ruang yang telah disusun sangat diperlukan agar tidak menjadi pertumbuhan kota yang tidak terkendali (urban sprawl). Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan mempertahankan keberadaan RTH sesuai amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa dalam perencanaan tata ruang wilayah kota harus menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) dengan proporsi 30% dari luas wilayah kota, yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat.

5.5. Arahan Strategi Kebijakan Penggunaan Lahan di Kota Sukabumi

Analisis SWOT digunakan untuk menyusun strategi kebijakan penggunaan lahan di Kota Sukabumi. Untuk menyusun strategi tersebut perlu dilakukan analisis yang mendalam untuk menentukan faktor eksternal dan faktor internal sehingga dapat teridentifikasi kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threats) yang terkait dalam penggunaan lahan di Kota Sukabumi.

5.5.1. Identifikasi Faktor-faktor Strategis A. Identifikasi Faktor Strategis Internal

Faktor internal merupakan faktor yang ada di Kota Sukabumi yang mempengaruhi penggunaan lahan, terdiri dari kekuatan dan kelemahan. Faktor internal yang teridentifikasi adalah sebagai berikut :

a) Kekuatan, adalah faktor yang dapat mendukung strategi kebijakan penggunaan lahan di Kota Sukabumi

1. Letak Geografis, 2. Letak Strategis,

3. Kondisi biofisik wilayah Kota Sukabumi, 4. Kondisi lingkungan hidup Kota Sukabumi, 5. Infrastruktur Kota Sukabumi,

6. Peran para pemangku kepentingan, dan 7. Ketersediaan lahan

(41)

b) Kelemahan, adalah faktor yang dapat menjadi kendala dalam menyusun strategi kebijakan penggunaan lahan di Kota Sukabumi

1. Belum optimalnya pemanfaatan lahan di Kota Sukabumi 2. Pertambahan jumlah penduduk

3. Strategi penataan ruang 4. Koordinasi lintas sektoral

B. Identifikasi Faktor Strategis Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang ada di Kota Sukabumi yang mempengaruhi penggunaan lahan, terdiri dari peluang dan ancaman. Faktor eksternal yang teridentifikasi adalah sebagai berikut :

a) Peluang, adalah faktor dari luar yang dapat dimanfaatkan dalam mendukung strategi kebijakan penggunaan lahan di Kota Sukabumi

1. Kebijakan pemerintah 2. Penegakan hukum 3. Penghargaan dan sanksi

b) Ancaman, adalah faktor dari luar yang dapat mengancam keberhasilan strategi kebijakan penggunaan lahan di Kota Sukabumi

1. Nilai ekonomi lahan

2. Persaingan pemanfaatan lahan 3. Komitmen pelaku usaha 4. Status kepemilikan lahan 5. Perubahan pemanfaatan lahan

5.5.2. Evaluasi Faktor-faktor Strategis A. Evaluasi Faktor Internal

Evaluasi faktor internal merupakan perhitungan bobot dan rating faktor strategis internal berdasarkan hasil kuisioner untuk menentukan faktor-faktor strategis internal dalam strategi kebijakan penggunaan lahan di Kota Sukabumi. Tabel 36 menunjukkan hasil matriks evaluasi faktor internal.

(42)

Tabel 36. Hasil Perhitungan Evaluasi Faktor Internal

No Faktor Strategis Internal Bobot Rating Total Skor A. Kekuatan

1 Letak Geografis 0.090 3 0.269

2 Posisi Strategis 0.090 3 0.269

3 Kondisi Biofisik Wilayah Kota Sukabumi 0.067 2 0.135 4

Kondisi Lingkungan Hidup Kota

Sukabumi 0.070 2 0.140

5 Infrastruktur Kota Sukabumi 0.100 3 0.299 6 Peran Para Pemangku Kepentingan 0.110 4 0.439

7 Ketersediaan Lahan 0.100 3 0.299

Jumlah 0.626 1.850

B. Kelemahan

1 Belum Optimalnya Pemanfaatan Lahan di Kota Sukabumi

0.072 2 0.145

2 Pertambahan Jumlah Penduduk 0.097 3 0.292

3 Strategi Penataan Ruang 0.105 4 0.419

4 Koordinasi Lintas Sektoral 0.100 3 0.299

Jumlah 0.374 1.155

Jumlah Keseluruhan 1.000 3.005

Sumber : Hasil Analisis (2012)

Berdasarkan hasil evaluasi faktor internal, faktor kekuatan utama dalam arahan strategi kebijakan penggunaan lahan di Kota Sukabumi adalah peran para pemangku kepentingan sedangkan faktor kelemahan utama adalah strategi penataan ruang, yang dapat dilihat dari rating masing-masing faktor yaitu 4 (sangat penting). Peran para pemangku kepentingan (stakeholder) dinilai sangat penting oleh responden dan menjadi kekuatan dengan alasan bahwa latar belakang stakeholder dari berbagai unsur ( pemerintah, swasta dan masyarakat) memiliki kepentingan berbeda. Dengan melibatkan seluruh unsur stakeholder dan mengoptimalkan fungsi masing-masing dalam perencanaan penggunaan lahan yang partisipatif, konflik kepentingan dapat diminimalisir sehingga dapat menunjang terciptanya kebijakan penggunaan lahan yang mendukung pembangunan di Kota Sukabumi yang berkelanjutan. Faktor strategis yang menjadi kelemahan adalah strategi penataan ruang yang telah diterapkan yaitu strategi penataan ruang yang terpusat (konsentris) dimana Kecamatan Cikole menjadi pusat kota yang menyebabkan terjadinya kecenderungan pembangunan

(43)

fisik ke arah pusat kota sehingga penduduk lebih tertarik untuk beraktivitas (tinggal dan bekerja) di sekitar pusat kota untuk mendekati pusat pelayanan. Sebagai akibatnya, kepadatan penduduk di sekitar pusat kota menjadi sangat tinggi dan pemanfaatan ruang di Kota Sukabumi menjadi tidak seimbang.

B. Evaluasi Faktor Eksternal

Evaluasi faktor eksternal merupakan perhitungan bobot dan rating faktor strategis eksternal berdasarkan hasil kuisioner untuk menentukan faktor-faktor strategis eksternal dalam strategi kebijakan penggunaan lahan di Kota Sukabumi. Berdasarkan hasil evaluasi faktor eksternal, faktor peluang utama yang dapat dimanfaatkan dalam arahan strategi kebijakan penggunaan lahan di Kota Sukabumi adalah kebijakan pemerintah, penegakan hukum dan partisipasi masyarakat yang memiliki rating masing-masing adalah 4. Faktor ancaman utama dalam arahan strategi kebijakan penggunaan lahan di Kota Sukabumi adalah nilai ekonomi lahan, komitmen pelaku usaha, status kepemilikan lahan dan perubahan pemanfaatan lahan yang memiliki rating masing-masing adalah 4.

Berdasarkan hasil evaluasi faktor eksternal, faktor utama yang menjadi peluang yang dimanfaatkan dalam kebijakan penggunaan lahan di Kota Sukabumi adalah kebijakan pemerintah dan penegakan hukum. Adanya kebijakan pemerintah yang mengatur penggunaan lahan (diantaranya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan) menjadi dasar dalam perencanaan penggunaan lahan di Kota Sukabumi. Selain itu, dengan penegakan hukum dapat menjadi peluang dalam unsur pengendalian dari implementasi kebijakan penggunaan lahan yang telah disusun.

Faktor eksternal utama yang menjadi ancaman dalam kebijakan penggunaan lahan di Kota Sukabumi adalah nilai ekonomi lahan, komitmen pelaku usaha, status kepemilikan lahan dan perubahan pemanfaatan lahan. Nilai ekonomi lahan ditentukan oleh land rent lahan tersebut sehingga penggunaan lahan dipengaruhi oleh land rent tertinggi. Selain itu, sebagai komoditi yang dapat diperjualbelikan maka status kepemilikan juga mempengaruhi penggunaan lahan sehingga komitmen pelaku usaha juga memiliki peran yang penting. Ketiga faktor

Gambar

Tabel 19. Tingkat Perkembangan Wilayah  Kecamatan Tahun 2003 dan Tahun  2008
Gambar 9. Peta Sebaran Hirarki Kecamatan Kota Sukabumi
Tabel 20. Tingkat Perkembangan Wilayah Desa Tahun 2003 dan Tahun 2008
Gambar  10. Grafik Perbandingan Hirarki Kelurahan Tahun 2003 dan Tahun 2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian Putri (2002) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen untuk mengkonsumsi beras organik adalah harga beras organik, harga beras

sebesar 0,33 &gt; 0,05 dan nilai koefisien korelasi sebesar 0,17 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara gaya belajar siswa perempuan dengan hasil

Pengaturan perjanjian perdagangan internasional selain diatur dalam KUH Perdata, diatur pula dalam Uniform Custom and Practice for Documentary Credit (UCP) yaitu dalam

Uji aktivitas ekstrak dan fraksi insektisida nabati dilakukan dengan metode residu pada daun dan metode kontak terhadap larva instar II C.. Setiap ekstrak/fraksi diuji pada lima

Pada dasarnya, pelanggaran ringan adalah suatu tindakan yang tidak sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku namun masih dapat ditolerir atau dimaklumi oleh orang lain

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor internal dan eksternal yang menentukan keberhasilan dalam peningkatan produktivitas karet di PTPN XII

Maka dari itu, tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui peningkatan kemampuan kognitif dan keterampilan berpikir kritis siswa antara kelas yang menggunakan

Ruang luar bangunan Taman Budaya Raja Ali Haji, yang direncanakan menggunakan material yang juga diadopsi oleh bangunan –bangunan lokal rumah adat melayu Riau. Kayu