• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rivai (2009) motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rivai (2009) motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Motivasi Kerja 2.1.1. Pengertian Motivasi

Menurut Rivai (2009) motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu. Sementara itu, Gibson et al. (2006) menyatakan, motivasi kerja dapat diartikan sebagai suatu dorongan secara psikologis kepada seseorang yang menentukan arah dari perilaku seseorang, tingkat usaha dan tingkat kegigihan dalam menghadapi suatu masalah. Selanjutnya, Dessler (2011) menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu perbuatan. Individu dalam melakukan suatu kegiatan tertentu bukan saja berbeda dalam kemampuannya, tetapi juga berbeda dalam kemauan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Motivasi menjadi salah satu faktor penting bagaimana organisasi mengorganisir segala potensi yang dimiliki melalui peran sumber daya manusia yang dimilikinya.

2.1.2. Pengukuran Motivasi

Teori motivasi yang sudah dikenal secara umum adalah teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow (Rivai, 2009). Dalam teori motivasi yang disampaikan oleh Abraham Maslow bahwa ada lima kebutuhan setiap diri manusia tersebut, meliputi:

(2)

2

1) Aktualisasi diri; adanya kebutuhan setiap individu untuk menggunakan kemampuan, keterampilan, potensi, berpendapat dengan mengemukakan ide-ide, memberikan penilaian dan kritik terhadap sesuatu.

2) Penghargaan diri; kebutuhan yang mencakup kebutuhan akan harga diri, kebutuhan dihormati dan dihargai orang lain.

3) Kepemilikan Sosial; merupakan kebutuhan rasa memiliki, kebutuhan untuk diterima dalam kelompok, berinteraksi, serta kebutuhan untuk mencintai dan dicintai.

4) Rasa aman; kebutuhan untuk merasakan aman, perlindungan dari ancaman, bahaya, pertentangan dan lingkungan yang dihadapi..

5) Kebutuhan fisiologis; kebutuhan individu yang mencakup kebutuhan makanan dan minuman, kebutuhan materi, dan perlindungan fisik.

Bagaimanapun, konsepsi motivasi kerja dalam penelitian ini lebih relevan mengacu pada teori motivasi dari McClelland. Dalam teorinya, McClelland mengatakan bahwa ada suatu dorongan yang membuat seseorang untuk mencapai prestasinya secara maksimal (dalam Robbins dan Judge, 2007). Dorongan itu berupa kebutuhan akan pencapaian prestasi, kebutuhan akan sosialisasi dan kebutuhan akan suatu kekuasaan atau pengaruh terhadap orang lain. Sesuai dengan hal tersebut, penelitian ini mengikuti indikator-indikator dari William (2010) dalam kajian empirisnya, antara lain: promosi yang adil; promosi berdasar kinerja; bermanfaat bagi karier; dukungan atasan; senang bekerja; kesempatan berkarier; tugas yang menantang; kesadaran di tempat kerja;

(3)

3

puas dengan kondisi kerja; kemampuan atasan berkomunikasi; pemberdayaan pegawai; penghargaan kemampuan; dan kepuasan gaji.

2.2. Budaya Organisasi

2.2.1. Pengertian Budaya dan Budaya Organisasi

Hofstede (2005), mengatakan budaya mencerminkan norma, nilai, dan perilaku masyarakat yang menganut budaya tersebut. Budaya sebagai pemrograman kolektif pikiran, membedakan satu kelompok atau kategori orang-orang dari yang lain. Nilai-nilai budaya memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk kebiasaan dan praktek yang terjadi di dalam sebuah organisasi. Budaya organisasi akan memberikan gambaran umum dan pemahaman terhadap aspek-aspek organisasi sehingga selanjutnya akan menentukan perilaku pegawai di dalam organisasi. Selanjutnya, Schein (2004) menambahkan, budaya terdiri dari tiga elemen utama, antara lain:

1) Artifak (artifacts) adalah hal-hal yang ada bersama untuk menentukan budaya dan mengungkapkan apa sebenarnya budaya itu kepada mereka yang memperhatikan budaya. Contoh: produk, jasa, dan bahkan pola tingkah laku dari anggota sebuah organisasi.

2) Nilai-nilai yang didukung (expoused values) adalah alasan yang diberikan oleh sebuah organisasi untuk mendukung caranya melakukan sesuatu. 3) Asumsi dasar (basic assumption) adalah keyakinan yang dianggap sudah

(4)

4

Schein (2004) memberikan pengertian budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar bersama yang telah dipelajari oleh anggota kelompok selama memecahkan masalah dalam beradaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah bekerja cukup baik untuk dianggap sah dan oleh karena itu untuk diajarkan terus-menerus sebagai cara memandang, berpikir, merasakan dan bertindak yang benar. Selain itu, Robbins (2008) berpendapat bahwa budaya organisasi merupakan suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu atau sistem makna bersama yang dihargai oleh organisasi. Oleh karena itu, pada era globalisasi saat ini organisasi memiliki sebuah konsekuensi tersendiri untuk dapat menyesuaikan budaya organisasi organisasi dengan lingkungannya agar dapat memberikan performa terbaik untuk lingkungan eksternal dan menghasilkan sistem yang baik di dalam lingkungan internalnya.

Budaya organisasi merupakan suatu komponen penting di dalam sebuah organisasi karena merupakan suatu nilai yang akan menentukan perilaku dari seluruh pegawai yang berada di dalam organisasi tersebut dan merupakan suatu komponen yang dapat membedakan antara suatu organisasi dengan organisasi yang lainnya. Budaya organisasi akan memberikan manfaat bagi organisasi apabila seluruh pegawai menjadikannya sebagai pedoman kerja dalam kesehariannya. Semakin melekat budaya organisasi terhadap diri para pegawai, maka dapat dikatakan penerapan budaya organisasi telah berhasil. Oleh karena itu, nilai – nilai budaya organisasi harus dapat diupayakan ditransformasikan kepada seluruh anggota organisasi khususnya kepada para pegawai baru. Hal ini dimaksudkan agar kebiasaan yang sudah

(5)

5

melekat pada pegawai baru dapat menyesuaikan dengan budaya yang telah dibangun oleh organisasi.

2.2.2. Karakteristik Budaya Organisasi

Memahami lebih lanjut mengenai budaya organisasi, dipandang perlu untuk mendeskripsikan seperangkat karakteristik yang dapat mencerminkan budaya dalam sebuah organisasi. Luthans (2006; 198) menyampaikan bahwa budaya organisasi mempunyai sejumlah karakteristik penting, yaitu:

1) Aturan perilaku yang diamati; ketika anggota organisasi berinteraksi satu sama lain, mereka menggunakan bahasa, istilah, dan ritual umum yang berkaitan dengan rasa hormat dan cara berperilaku.

2) Norma; ada standar perilaku, mencakup pedoman mengenai seberapa banyak pekerjaan yang dilakukan, yang dalam banyak organisasi menjadi “jangan melakukan terlalu banyak, jangan terlalu sedikit”.

3) Nilai dominan; organisasi mendukung dan berharap peserta membagikan nilai-nilai utama. Contoh: kualitas produk tinggi, sedikit absen, dan efisiensi tinggi.

4) Filosofi; terdapat kebijakan yang membentuk kepercayaan organisasi mengenai bagaimana pegawai dan atau pelanggan diperlakukan.

5) Aturan; terdapat pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian organisasi. Pendatang baru harus mempelajari teknik dan prosedur yang ada agar diterima sebagai anggota kelompok yang berkembang.

6) Iklim organisasi; merupakan keseluruhan perasaan yang disampaikan dengan pengaturan yang bersifat fisik, cara peserta berinteraksi, dan cara

(6)

6

anggota organisasi berhubungan dengan pelanggan dan individu dari luar. Pada sisi lainnya, Robbins dan Judge (2007; 252) mengemukakan 10 (sepuluh) karakteristik primer berikut yang bersama-sama menangkap hakikat budaya organisasi, antara lain:

1) Inisiatif individual. Definisi inisiatif individual adalah tingkat tanggung jawab (responsibility), kebebasan (freedom) atau independensi (independent) yang dimiliki setiap individu dalam berpendapat. Pimpinan sebaiknya menghargai inisiatif individu dalam suatu organisasi selama ide dan inisiatif tersebut berguna dalam memajukan dan mengembangkan organisasi.

2) Toleransi Terhadap risiko. Sebuah budaya organisasi yang baik adalah sebuah budaya yang memberikan toleransi terhadap anggota atau para pegawai dalam bertindak inovatif dan agresif dalam mengembangkan dan memajukan organisasi atau perusahaan serta mendorong untuk berani dalam mengambil risiko terhadap apa yang akan dilakukannya.

3) Pengarahan. Pengarahan dimaksudkan sejauh mana suatu organisasi dapat membuat dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan. Sasaran dan harapan tersebut haruslah secara jelas tercantum visi, misi dan tujuan organisasi (pengertian visi misi).

4) Integrasi. Integrasi adalah kemampuan suatu organisasi dalam memberikan dorongan terhadap unit unit atau satuan dalam organisasi atau perusahaan untuk bekerja dengan terpimpin atau terkoordinasi.

5) Dukungan manajamen. Dukungan manajemen dalam budaya organisasi adalah tentang kemampuan tingkat manajer dalam sebuah organisasi atau

(7)

7

perusahaan dalam berkomunikasi Dengan adanya dukungan manajemen yang komunikatif, sebuah perusahaan atau organisasi dapat berjalan dengan mulus. 6) Kontrol. Kontrol adalah peraturan atau norma yang digunakan dalam suatu

organisasi. Oleh karena itu diperlukan sejumlah peraturan yang berfungsi sebagai pengawas dan pengendali perilaku pegawai dalam suatu organisasi. 7) Identitas. Identitas adalah kemampuan seluruh karyawan dalam suatu

organisasi dalam mengidentifikasikan dirinya sebagai suatu kesatuan dalam perusahaan dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu.

8) Sistem Imbalan. Sistem imbalan dapat memberikan boost atau dorongan terhadap prestasi kerja dan memberikan peningkatan dalam perilaku inovatif dan kerja maksimal sesuai keahlian dan kemampuan yang dimiliki karyawan atau anggota dalam organisasi.

9) Toleransi terhadap Konflik. Dalam budaya organisasi, perbedaan pendapat yang memunculkan konflik sering terjadi dalam sebuah organisasi. Toleransi terhadap konflik harus dimediasi oleh pimpinan sehingga terjadi kritik membangun dan tidak saling menyerang.

10) Pola komunikasi. Pola komunikasi organisasi sering dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Pola yang terlalu ketat akan menghambat perkembangan organisasi karena tidak adanya hubungan emosional yang kental terhadap bawahan dan atasan dalam organisasi.

Ditinjau dari peranannya, budaya organisasi memiliki peranan yang penting dalam organisasi karena melalui budaya organisasi sebuah organisasi akan memiliki satu kesatuan sistem makna yang akan mempengaruhi setiap

(8)

8

pegawai dalam bekerja. Keberhasilan sebuah organisasi dalam membentuk sebuah budaya organisasi yang kuat dan sesuai dengan dinamika perubahan tentunya akan memberikan dampak positif dalam kekuatan internal organisasi, selanjutnya akan menunjang peningkatan efektivitas organisasi.

Sebuah budaya dikatakan baik dan efektif jika dapat memperkuat misi, tujuan, dan strategi organisasi (Luthans, 2006). Budaya organisasi yang baik juga akan meningkatkan kerjasama tim di dalam organisasi, sehingga mampu menjadi perekat yang mengikat pegawai secara bersama-sama. Beberapa kajian empiris mengenai budaya organisasi menghasilkan berbagai bentuk ataupun tipe budaya organisasi. Robbins dan Judge (2007) mengidentifikasi tiga jenis atau bentuk budaya organisasi, yaitu budaya birokrasi, inovatif, dan mendukung (bureaucratic, supportive and innovative).

1) Budaya organisasi birokrasi (beureucratic culture) lebih tepat untuk sebuah organisasi dengan pangsa pasar yag besar, stabil, dan dalam kondisi yang matang. Budaya organisasi ini cenderung hierarkis dan adanya penggolongan atau pembagian ke dalam beberapa departemen, unit, ataupun kelompok kerja dalam satu organisasi. Organisasi dengan budaya organisasi birokrasi memiliki garis pertanggungjawaban dan wewenang yang jelas, sehingga budaya selalu berdasarkan kontrol dan kekuatan. Ciri-ciri utama yang ditampilkan pada organisasi dengan budaya ini adalah berorientasi pada kekuatan, kehati-hatian, mapan, solid, diatur, diperintah, terstruktur, prosedural, dan hierarkis.

(9)

9

2) Perhatian terhadap kerja sama tim dan kesadaran akan sumber daya manusia sebagai aset penting yang harus dihargai oleh organisasi akan lebih ditampilkan pada budaya organisasi mendukung (supportive culture). Pegawai saling menunjukkan keramahan, saling mempercayai, saling mendukung, dan saling tolong menolong seperti sebuah keluarga. Lingkungan kerja yang hangat, terbuka, dan harmonis akan tercipta dalam budaya organisasi ini sehingga akan membuat pegawai memiliki keterikatan terhadap organisasi yang semakin tinggi.

3) Organisasi yang adaptif dan memiliki pangsa pasar yang kompetitif akan lebih memilih budaya organisasi inovatif (innovative culture), karena di sini kebebasan pegawai dalam ikut serta menentukan perubahan organisasi akan lebih besar bila dibandingkan budaya organisasi birokrasi yang segala sesuatu sudah ditentukan oleh atasan dan bersifat prosedural.

Sesuai dengan penjelasan di atas, maka pengukuran variabel budaya organisasi dalam penelitian ini menggunakan indikator-indikator empiris Jaghargh et al. (2012), yang meliputi: keinovasian pegawai; kekhasan cara; kejelasan tujuan organisasi; kejelasan prioritas kerja; independensi kerja;koordinasi antar bagian; koordinasi antar pimpinan bagian; bantuan atasan; dukungan atasan; solusi dari atasan; kepercayaan atasan; kendali kerja; prioritas kerja; kesamaan tujuan; upaya organisasi sukses; pekerjaan memuaskan; imbalan berdasarkan pada kinerja; imbalan sesuai dengan hasil kerja; imbalan berdasarkan pada koneksi; perhatian pimpinan; mudah memecahkan masalah; membantu pegawai lain; dan mudah menghubungi pimpinan.

(10)

10

2.3. Perilaku Kewargaan Organisasional (PKO)

2.3.1. Konsep Perilaku Kewargaan Organisasional (PKO)

Pada era globalisasi saat ini organisasi dituntut untuk dapat melakukan perubahan dari segi eksternal maupun internal agar dapat menyesuaikan diri dengan para pesaingnya. Perilaku-perilaku yang senantiasa ditonjolkan di dalam organisasi saat ini tidak hanya perilaku yang sesuai peranannya saja (in-role) akan tetapi diharapkan dapat lebih memunculkan perilaku extra-role, sehingga kerja sama tim sebagai nilai penting dalam sebuah organisasi dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Disamping itu, dengan adanya perilaku extra-role di antara pegawai, maka efektivitas organisasi akan meningkat. Organisasi ataupun manajer dapat menghemat beberapa sumber daya yang telah dialokasikan sebelumnya apabila perilaku extra-role di antara pegawai berjalan dengan baik. Konsep peran ekstra ini sering distilahkan dengan perilaku kewargaan organisasional (PKO).

Konsep PKO, pertama kali diperkenalkan kurang lebih semenjak tiga dekade yang lalu oleh Dennis Organ pada tahun 1983. Menurut Organ et al, (2006) dalam Podsakoff et al. (1997), PKO merupakan bentuk perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward formal organisasi tetapi secara agregat meningkatkan efektivitas organisasi. Dapat diartikan bahwa pegawai yang memiliki PKO lebih kepada kesadaran ataupun kerelaan pribadi untuk berperilaku sosial dan bekerja melebihi apa yang diharapkan terhadap sesama pegawai maupun terhadap organisasi.

(11)

11

Ahmal dan Aslinda (2014) mengatakan bahwa kebanyakan dari perilaku yang mencerminkan PKO tidak mudah diatur dengan skema insentif individu, karena perilaku seperti itu sering kabur dan sulit untuk mengukurnya. Perbedaan yang mendasar antara perilaku in- role dan extra-role terletak pada hasil yang dipeextra-roleh atau penghargaan. Perilaku in-extra-role biasanya dihubungkan dengan penghargaan dan hukuman (sanksi), sedangkan perilaku extra-role tidak dihubungkan dengan penghargaan yang akan diterima. Oleh karena itu, PKO merupakan perilaku yang berkaitan dengan pilihan pribadi apabila seorang pegawai menunjukkan perilaku tersebut, maka ia akan merasakan kepuasan di dalam dirinya sendiri dan apabila tidak menunjukkan perilaku tersebut tidak akan menyebabkan hukuman dalam organisasi.

PKO adalah salah satu bentuk dari adanya teori pertukaran sosial yang ditandai dengan rasa saling percaya dan timbal balik di antara kedua belah pihak, yaitu pegawai dan organisasi (Soegandhi et al., 2013). Apabila individu merasa diperlakukan oleh organisasi dengan baik, maka mereka akan membalas dan meningkatkan kinerja melebihi permintaan minimum pekerjaannnya dengan membantu yang lain dan organisasi. Sebaliknya jika organisasi memandang para pegawai mereka dalam jangka pendek maka mereka akan membalas dengan hanya melakukan tugasnya saja dan meminimalisasi PKO (Organ et al., 2006).

Menurut Mohant, J. and Rath, (2012) PKO sebagai sebuah peran ekstra mencakup pada 2 (dua) aspek berikut.

(12)

12

1) The individual focus; adalah perilaku seseorang yang membantu individu yang lain seperti membantu rekan kerja mengurangi resiko, menyelesaikan tugas yang berat dan menunjukkan kepada pegawai baru cara melaksanakan tugas.

2) The group focus; adalah perilaku memberikan kontribusi untuk organisasi seperti menyelesaikan tujuan yang penuh arti, mengidentifikasi cara memperbaiki kinerja sebagai anggota tim pemecah masalah.

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan para ahli di atas, perilaku kewargaan organisasional merupakan perilaku penting yang dapat dibangun pada setiap organisasi. Oleh karena itu, maka dapat disimpulkan bahwa:

1) PKO merupakan perilaku extra-role atau perilaku di luar peranan (job description) yang telah ditentukan oleh organisasi, timbul karena adanya sikap prososial dan atas dasar kerelaan pribadi dari pegawai.

2) Organisasi tidak mengatur penghargaan (reward) atau sanksi (punishment) yang akan diberikan kepada pegawai berkaitan dengan PKO, karena pada dasarnya perilaku ini kabur dan sulit diukur. Oleh karena itu, pegawai yang menunjukkan PKO tidak akan mendapat suatu penghargaan dari organisasi, begitu pula sebaliknya pegawai yang tidak menunjukkan PKO tidak akan mendapatkan hukuman dari organisasi. 3) Perilaku yang menunjukkan PKO merupakan umpan balik yang diberikan

pegawai atas perlakuan baik yang diterima dari organisasi. PKO muncul dikarenakan adanya perasaan sebagai bagian dari organisasi dan merasa puas apabila dapat membantu orang lain atau rekan kerja. Begitu pula

(13)

13

apabila organisasi kurang memberikan perhatian terhadap keinginan pegawai, maka PKO akan jarang terlihat.

4) Adanya PKO dapat meningkatkan efektivitas organisasi baik secara kuantitatif maupun kualitatif, karena melalui PKO ini tentunya akan terbentuk kerjasama tim yang semakin kuat di antara pegawai.

2.3.2. Dimensi Perilaku Kewargaan Organisasional (PKO)

Kajian empiris mengenai perilaku kewargaan organisasional atau PKO telah banyak dilakukan, namun demikian masih terdapat adanya penggunaan dimensi PKO yang berbeda pada sebuah kajian empiris. Dalam penelitian ini, dimensi PKO yang digunakan mengikuti penelitian yang dilakukan oleh Organ et al. (2006), antara lain sebagai berikut.

1) Altruism; perilaku pegawai dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik pada tugas organisasi maupun masalah pribadi. Dimensi ini mengarah pada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya. Contoh: bersedia membantu mengerjakan laporan rekan kerja yang tidak dapat masuk kerja karena sakit atau bersedia menggantikan tugas rekan kerja untuk sementara pada jam istirahat.

2) Conscientiousness; Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas pegawai. Dimensi ini menjangkau jauh di atas dan jauh ke depan dari panggilan tugas. Contoh : seorang pegawai bagian cleaning service bersedia untuk membantu pegawai lain yang membutuhkan foto copy dokumen-dokumen yang dibutuhkannya.

(14)

14

3) Sportmanship; perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Dimensi ini akan meningkatkan iklim yang positif diantara pegawai, pegawai akan lebih sopan dan bekerja sama sehingga menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan. Contoh: Apabila terjadi pergantian kepemimpinan organisasi yang baru dan berdampak pada diubahnya sebagian dari kebijakan pemimpin lama yang dirasa kurang sesuai dengan keinginan pegawai saat ini, pegawai berusaha untuk beradaptasi dengan cepat dan tetap memberikan kinerja terbaik tanpa membicarakan sisi negatif pemimpin baru yang justru akan menurunkan kinerja.

4) Courtesy; perilaku individu dengan menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi itu adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain. Contoh : selalu menyapa rekan dan memberikan senyuman kepada rekan kerja merupakan salah satu cara kecil dalam membina hubungan baik dengan sesama rekan kerja. Selain itu, mengadakan pertemuan di luar jam kerja dengan rekan-rekan kerja yang lain untuk refreshing.

5) Civic virtue; Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi. Dimensi ini mengaruh pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni. Contoh: mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau

(15)

15

prosedur-prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi.

Sementara itu, Podsakoff et al. (1997) mengemukakan dimensi tersendiri dalam PKO, meliputi:

1) Helping Behaviour; tindakan membantu sesama atau menghindari peristiwa yang berhubungan dengan permasalahan pekerjaan.

2) Sportmanship; keinginan bertoleransi terhadap kesulitan yang tak terhindarkan serta gangguan-gangguan dalam pekerjaan tanpa mengeluh. 3) Organizational loyalty; melakukan promosi organisasi kepada orang di

luar organisasi, melindungi serta mempertahankan organisasi dari ancaman eksternal, serta tetap berkomitmen kepada organisasi meskipun dalam kondisi yang merugikan sekalipun.

4) Organizational complience; merupakan internalisasi dan penerimaan aturan-aturan, regulasi serta prosedur, meskipun tidak ada yang mengawasi.

5) Individual initiative; merupakan perilaku sukarela atas kreativitas dan inovasi untuk meningkatkan tugas seorang maupun kelangsungan kinerja organisasi dengan ekstra antusiasme dan usaha untuk menyelesaikan pekerjaan seseorang.

6) Civic virtue; merupakan keinginan untuk berpartisipasi secara aktif di dalam organisasi.

7) Self development; merupakan perilaku suka rela pegawai untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, serta kemampuan mereka.

(16)

16

Sesuai dengan penjelasan beberapa dimensi dari PKO oleh Podsakoff et al. (1997) di atas, maka dapat diuraikan indikator-indikator PKO dalam penelitian ini dengan mengikuti kajian empiris Özturk (2010), yaitu: meringankan beban kerja; bekerja jujur; tidak suka mengeluh; menghindari masalah; mengikuti perubahan organisasi; penuh pertimbangan; menghadiri pertemuan informal; ringan tangan; menguatkan citra instansi; tahu informasi; membantu pegawai lain yang tidak hadir; tidak menyalahgunakan hak orang lain; membantu memberikan solusi; fokus perbaikan diri; mencegah terjadi masalah; kehadiran di tempat kerja; temukan kesalahan organisasi; kesadaran diri di tempat kerja; tidak mengambil istirahat ekstra; mematuhi peraturan; membantu pegawai baru; dan paling perhatian. Dimensi – dimensi tersebut akan dipertimbangkan sebagai dimensi untuk mengukur PKO dalam penelitian ini.

2.4. Kinerja Pegawai 2.4.1. Pengertian Kinerja

Kinerja seringkali dipikirkan sebagai pencapaian tugas, dimana istilah tugas sendiri berasal dari pemikiran aktivitas yang dibutuhkan oleh pekerja (Gibson et al., 2006). Menurut Sutrisno (2010), kinerja adalah capaian seseorang dalam fungsi dan perilaku sesuai dengan tugas yang telah dibebankan kepadanya. Setiap harapan mengenai seorang yang harus berperilaku dalam melaksanakan tugas, berarti menunjukkan suatu peran dalam organisasi.

(17)

17

Tsui et al. (1997) menyampaikan, komponen untuk hasil kerja dipilih untuk membedakan tugas-tugas individu. Mengingat bahwa sifat khusus pegawai sangat bervariasi dengan pekerjaan mereka, maka organisasi mengembangkan penilaian generik untuk satu pekerjaan. Enam item berfokus pada kualitas, kuantitas, dan efisiensi pegawai, yang dikembangkan untuk mengukur kinerja tugas dasar. Pada item ini, penilai menunjukkan sejauh mana mereka sepakat kinerja pada pekerjaan inti lebih tinggi dibandingkan dengan individu lain dalam pekerjaan serupa.

2.4.2. Indikator Kinerja Pegawai

Setiap karyawan selalu menghendaki hasil kerja mereka dapat diukur secara adil. Terdapat beberapa indikator penilaian kinerja yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja karyawan. Menurut Sedarmayanthi (2010:263) beberapa indikator yang sering digunakan oleh para peneliti untuk mengukur kinerja karyawan seperti diuraikan berikut ini:

1) Prestasi kerja yaitu keterampilan yang dimiliki karyawan untuk memecahkan masalahnya sendiri dalam penyelesaian tugas.

2) Tanggung jawab yaitu karyawan memiliki rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik.

3) Kejujuran, yaitu penyampaian sesuatu yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

4) Kerjasama, yaitu kemampuan karyawan dalam bekerjasama dengan rekan sekerjanya.

(18)

18

5) Inisiatif, yaitu kemampuan karyawan dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan serta mampu mengambil keputusan dalam keadaan mendesak. 6) Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya waktu penyelesaian pekerjaan dengan

waktu yang ditetapkan sebelumnya.

7) Tingkat kesalahan kerja, yaitu kemampuan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan dengan baik tanpa adanya kesalahan.

8) Kecepatan kerja, yaitu seberapa cepat karyawan mampu menyelesaikan pekerjaan rutin tanpa mengurangi kualitas kerja.

Selanjutnya, Mathis dan Jackson (2012; 221) menyampaikan beberapa indikator terkait dengan kinerja karyawan. Indikator tersebut meliputi beberapa hal yang dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Kualitas kerja. Kualitas merupakan tuntutan bagi perusahaan agar perusahaan dapat bertahan hidup dalam persaingan. Hasil kerja yang ideal menggambarkan kualitas pengelola produk dan layanan dalam perusahaan tersebut.

2) Kuantitas kerja. Menggambarkan pemenuhan target yang telah ditetapkan sehingga menunjukkan kemampuan organisasi dalam mengelola sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuannya.

3) Waktu kerja. Menggambarkan waktu kerja yang dianggap paling efisien dan efektif pada semua tingkatan manajemen. Waktu kerja merupakan dasar bagi karyawan menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

4) Kerja sama dengan rekan kerja. Merupakan tuntunan bagi keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Kerja sama yang baik

(19)

19

akan memberikan kepercayaan pada berbagai pihak yang berkepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan.

Kinerja adalah kemampuan kerja yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan oleh seorang karyawan. Kinerja merupakan realitas obyektif yang dapat diketahui dan dapat diobservasi. Penilaian kinerja sebaiknya didasarkan pada model kompetensi yang berfokus pada keahlian yang dibutuhkan oleh karyawan baik di masa kini maupun masa mendatang.

Koopmans et al. (2014), menyatakan bahwa kinerja karyawan yang dinilai juga harus meliputi kinerja tugas (task performance) dan kinerja di luar tugas (non task performance atau contextual performance). Berdasarkan kajian empiris yang dilakukan oleh Koopmans et al. (2014), menyatakan bahwa penilaian terhadap kinerja sumber daya manusia harus berdasarkan kinerja inti tugas yang memfokuskan pada kemampuan keseluruhan individu, perilaku, akurasi, pengetahuan pekerjaan dan kreativitas dalam menjalankan tugas. Selanjutnya, Koopmans et al. (2014) melakukan pengukuran kinerja individu berdasarkan pada kuesioner yang dikembangkan dalam Individual Work Performance Questionnaire (IWPQ) dengan menggunakan beberapa ukuran yang dianggap penting untuk mengukur kinerja setiap individu di tempat kerja. Adapun ukuran-ukuran yang dimaksud adalah kinerja tugas dan kinerja kontekstual yang terdiri dari beberapa indikator meliputi: perencanaan kerja; optimalisasi perencanaan kerja; capaian hasil kerja; menyikapi masalah; melaksanakan pekerjaan dengan baik; tanggung jawab ekstra; inisiatif; suka

(20)

20

tantangan; pengetahuan kerja terkini; ketrampilan kerja terkini; solusi kreatif; memantau tantangan baru; dan partisipasi.

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) II di TK Negeri Kintelan Semarang kurang lebih dilaksanakan selama 8 minggu dari tanggal 27 agustus samapai 20 oktober 2012,

Di samping itu, fokus penting lainnya yang bisa ditujukan pada isu-isu tersebut adalah eksis- tensi konstruksi sosial terhadap tubuh seorang Hester Prynne sebagai

Dengan melihat hal tersebut, adapun tujuan dalam penelitian ini ialah untuk menciptakan kesadaran kolektif masyarakat Toraja di tengah pandemi covid 19 yang

Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang paling kompleks.Tak terkecuali menulis cerpen. Keterampilan menulis cerpen sering dirasa berat bagi siswa karena

2.3.1 Sistem Pengupasan dan Pemisahan Kulit Buah Kopi Kering dengan Biji Kopi Prinsip kerja mesin pengupas kulit buah kopi kering adalah memisahkan kulit dengan biji

Kemitraan pola sub kontrak ini mempunyai keuntungan yang dapat mendorong terciptanya alih teknologi, modal dan keterampilan serta menjamin pemasaran produk kelompok mitra

Pada level teks, peneliti melakukan analisis pada empat teks berita yang menjadi obyek penelitian dengan menggunakan perangkat framing model Pan dan Kosicki yang dikombinasikan

Dan kegiatan ini biasanya merupakan tanggung jawab dari seorang Public Relations dalam suatu perusahaan berkaitan dengan tugasnya dalam membina hubungan yang baik