• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dan perkembangan bahasa pada anak. Salah satu hal yang dapat dijelaskan dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dan perkembangan bahasa pada anak. Salah satu hal yang dapat dijelaskan dalam"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Studi psikolinguistik dapat menjelaskan hubungan antara landasan biologis dan perkembangan bahasa pada anak. Salah satu hal yang dapat dijelaskan dalam studi psikolinguistik adalah masalah gangguan berbahasa. McCormic dan Schiefelbusch (dalam Sidiarto, 1991:135) mengemukakan faktor-faktor yang menyebabkan gangguan berbahasa ialah sebagai berikut.

1. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berkaitan dengan motorik, misalnya anak dengan Cerebal Pasly.

2. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan defisit sensorif, misalnya anak dengan gangguan pendengaran.

3. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan kerusakan pada susunan syaraf pusat, misalnya afasia.

4. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan disfungsi emosional-sosial yang berat, misalnya psikosis, skisofrenia, dan autis.

5. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan gangguan kognitif, misalnya anak retardasi mental.

(2)

2

Gangguan berbahasa tersebut adalah gangguan berbahasa yang dapat terjadi pada anak tunagrahita. Penelitian ini difokuskan pada pembahasan mengenai gangguan berbahasa yang terjadi pada anak tunagrahita. Tunagrahita merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut anak atau orang yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata atau bisa juga disebut dengan retardasi mental (Smart, 2010:49).

Anak tunagrahita termasuk ke dalam golongan anak yang mengalami gangguan berbahasa. Gangguan berbahasa yang dialami oleh anak tunagrahita tergantung pada tingkatannya. Penelitian mengenai gangguan berbahasa pada anak tunagrahita tingkat ringan dan sedang pernah dilakukan oleh Baihaqqi (2011) dalam tesis yang berjudul “Kompetensi Fonologis Anak Penyandang Retardasi Mental di SLB C Negri 1 dan 2 Yogyakarta”. Adapun ulasan penelitiannya ialah sebagai berikut.

Tingkat Tunagrahita Fonem Kata Ujaran Nomor Data Kemampuan fonologi S1 (tingkat sedang)

/s/ Tas /ta/ 5

Kemampuan fonologi S8 (tingkat ringan)

- - - -

Dari data di atas diindikasikan adanya bentuk-bentuk kesalahan fonologis pada subjek yang mengalami tunagrahita pada tingkat sedang, sedangkan subjek yang mengalami tunagrahita pada tingkat ringan tidak mengalami kesalahan pengucapan pada satu/dua kata. Penelitian tersebut dilakukan pada 10 subjek penelitian. Fokus penelitian dilakukan untuk mengetahui kemampuan fonologisnya.

(3)

3

Selain penelitian tersebut, penelitian lain pernah ditulis oleh Astuti (2012) dalam skripsi berjudul “Pemerolehan Bahasa Studi Kasus Anak Tunagrahita Usia Empat Tahun”. Dalam skripsinya Astuti meneliti pemerolehan bahasa pada anak tunagrahita tingkat sedang. Adapun ulasan skripsinya ialah sebagai berikut.

Makna Ujaran Konteks Keterangan

Mau Makan [ňim ňim]

waktu sarapan, Toni minta

makan Penggelembungan Makna Makanan [ňim ňim]

Menunjukkan makanan, respon atas pertanyaan

"itu apa?"

Data di atas menunjukkan anak tunagrahita melakukan penggelembungan makna dan cenderung mengalami defisit dalam kosakata. Penelitian tersebut dilakukan pada subjek penelitian yang mengalami tunagrahita pada tingkat sedang.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, peneliti memilih melakukan penelitian pada anak tunagrahita tingkat ringan. Berikut ini contoh data kemampuan berbahasa pada subjek penelitian yang mengalami tunagrahita pada tingkat ringan.

Tanggal Tuturan Konteks

6/2/2014 Z : “Mba, ki lho Mba, besok dibeliin pasang bongkar ya!”.

Saat ngobrol

Tabel 1. Contoh Data Tuturan Subjek Penelitian

Data tersebut menunjukkan subjek tidak mengalami kesalahan fonologis, morfologis, dan sintaksis. Hal ini dimungkinkan karena tunagrahita yang dialami subjek terjadi setelah kelahiran, yakni saat berusia 4,5 tahun sehingga pada usia

(4)

4

sebelum subjek mengalami tunagrahita, subjek telah melewati masa pemerolehan fonem dengan baik. Pada tataran semantik yang diperoleh dari tuturan subjek tersebut menunjukkan bahwa subjek dapat menyusun kalimat secara benar sesuai dengan fungsinya, akan tetapi dalam tuturan tersebut juga menunjukkan subjek memiliki kecenderungan untuk menggunakan istilah kebahasaan yang berbeda dari bahasa anak normal. Sementara pada tataran pragmatis utamanya dalam prinsip kerja sama subjek melakukan penyimpangan maksim relevansi. Adapun bentuk penyimpangan semantis yang dilakukan subjek penelitian ialah sebagai berikut.

Tanggal Tuturan Konteks

4/2/14 Pak A : “Sekarang siapa yang pernah nabung?”

S : “Aku di celengan”

Z : “Pak A, tapi kelek ku kecut “

Saat menanyakan pertanyaan yang terdapat di dalam modul

Tabel 2. Contoh Data Tuturan Subjek Penelitian

Data di atas menunjukkan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penyimpangan pada tataran semantis dan kompetensi pragmatisnya. Pembahasan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik data yang ditemukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan rumusan masalah dalam penelitian ini ialah sebagai berikut.

1.1.1 apa sajakah penyimpangan semantik yang terdapat dalam tuturan subjek penelitian?

(5)

5

1.1.2 bagaimana kompetensi pragmatis subjek penelitian yang meliputi: a. jenis-jenis tindak tutur yang dikuasai subjek penelitian

b. pelaksanaan dan penyimpangan prinsip kerja sama dalam tuturan subjek penelitian.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan tujuan dalam penelitian ini ialah sebagai berikut.

1) mengklasifikasi penyimpangan dalam semantik dalam tuturan subjek penelitian.

2) menjelaskan kompetensi pragmatik subjek penelitian yang meliputi: a. jenis-jenis tindak tutur yang dikuasi subjek penelitian

b. pelaksanaan dan penyimpangan prinsip kerja sama dalam tuturan subjek penelitian.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat praktis dan manfaat teoretis. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan keilmuan di bidang psikolinguistik khususnya gangguan berbahasa pada anak tunagrahita; di bidang semantik, khususnya pergeseran makna, idiom, dan gejala lupa-lupa ingat, di bidang pragmatik, khususnya jenis tindak tutur dan prinsip

(6)

6

kerja sama. Pembahasan mengenai gangguan berbahasa pada anak tunagrahita umumnya menjadi kajian dalam studi psikologi, tetapi pembahasan tersebut hanya dilakukan di bagian permukaan saja.

Secara praktis, penelitian ini diharapakan mampu memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai gangguan berbahasa yang terdapat pada anak tunagrahita tingkat ringan sehingga dapat memberikan contoh model komunikasi yang tepat. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa ilmu linguistik dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berada dalam disiplin ilmu psikolinguitik karena analisisnya mengenai kompetensi berbahasa pada anak tunagrahita. Namun, tidak semua kompetensi linguistik dibahas dalam penelitian ini karena yang dibahas adalah kompetensi semantis dan pragmatis. Dari tinjauan semantis analisis dilakukan berdasarkan penyimpangan semantis yang terdapat dalam tuturan subjek penelitian. Sementara dari tinjauan pragmatis analisis dilakukan berdasarkan kompetensi jenis tindak tutur dan pelaksanaan dan penyimpangan prinsip kerja sama.

Penelitian ini merupakan pengaplikasian ilmu hibrid antara psikolinguistik, semantik, dan pragmatik. Dari pandangan psikolinguistik, penelitian ini berkaitan dengan gangguan berbahasa yang dialami oleh anak tunagrahita tingkat ringan, pandangan semantik, dilihat dari pergeseran makna, idiom, dan gejala lupa-lupa

(7)

7

ingat, sedangkan di bidang pragmatik dilihat dari jenis tindak tutur yang mampu diproduksi subjek penelitian, serta pelaksanaan dan pelanggaran prinsip kerja sama yang digunakan subjek penelitian untuk berkomunikasi.

Objek material yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari tuturan subjek penelitian, sedangkan objek formalnya adalah psikolinguistik yang berkaitan dengan gangguan berbahasa, semantik yang berkaitan dengan kemampuan subjek untuk memahami makna, dan pragmatik yang berkaitan dengan jenis dan bentuk tindak tutur yang mampu diproduksi subjek serta penggunaan prinsip kerja sama

Lokasi pengambilan data dilakukan di SLB Negeri 1 Bantul dan rumah subjek. Alasan peneliti memilih SLB Negeri 1 Bantul memperhatikan kemudahan jangkauan terhadap lokasi penelitian tersebut. Selain itu, SLB tersebut merupakan SLB terbesar dan terlengkap di Yogyakarta yang menaungi segala jenis anak berkebutuhan khusus. Peneliti juga melakukan pengambilan data di rumah subjek untuk memperoleh kemelimpahan data. Pengambilan data dilakukan pada 3—7 Februari 2014.

1.6 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai bahasa pada anak tunagrahita pernah dilakukan oleh Lutfi Baihaqi (2011) dalam tesis “Kompetensi Fonologis Anak Penyandang Retardasi Mental di SLB C Negri 1 dan 2 Yogyakarta”. Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa kemampuan menghasilkan fonem pada penyandang retardasi mental, pola

(8)

8

penyimpangan serta letak pemulihannya secara fonologis cukup rendah. Subjek dalam penelitian tersebut tidak dapat mengujarkan lebih dari dua kata dengan pelafalan yang jelas. Bentuk penyimpangan fonologi berupa penghilangan fonem, penghilangan suku kata dan penambahan suku kata. Bentuk penyimpangan yang terjadi pada setiap anak tidak sama dan dapat terjadi secara berulang.

Astuti (2012) dalam skripsi “Pemerolehan Bahasa : Studi Kasus Anak Tunagrahita Usia Empat Tahun” memaparkan bahwa subjek sudah menguasai semua jenis vokal dan sejumlah bunyi konsonan, selain itu subjek melakukan penyimpangan berupa substitusi, penambahan fonem, delesi, reduplikasi, dan penghilangan silabe awal. Subjek penelitian telah menguasai satuan kebahasaan yang berupa kata, frasa, dan kalimat tunggal. Dibandingan dengan pemerolehan bahasa anak normal, penelitian ini menunjukkan bahwa subjek mengalami defisit kebahasaan cukup besar.

Penelitian dalam bahwa bidang pragmatik, khususnya dalam pemerolehan bahasa pada anak pernah dilakukan oleh Prabowo (2009) “Pemerolehan Tindak Tutur anak usia 36 bulan Studi Kasus Brilliant Mahardika Sudarwanto” Probowo memaparkan aneka jenis tindak tutur yang digunakan subjek dalam tuturan dan strategi tindak tutur seperti apa yang digunakan untuk menyusun tuturan tersebut. Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa aspek psikologi anak memengaruhi tindak tutur dan strategi pengujaran yang digunakan oleh anak. Tuturan anak usia 36 bulan masih sangat sederhana. Tentunya hal ini berpengaruh pada strategi pengujaran yang digunakan anak.

(9)

9

Sudartinah (2010) dalam tesisnya “Analisis Pragmatik Terhadap Tuturan Anak Usia Dua Tahun (Studi Kasus Pada Shihab Fatin Alvan” dari penelitian tersebut diketahui bahwa anak usia dua tahun telah menguasai tindak tutur representatif, direktif, ekspresif, dan komisif, akan tetapi kemunculan tindak tutur eskpresif dan komisif masih sangat jarang ditemukan. Tuturan langsung yang mampu diproduksi adalah dengan modus beita, tanya dan perintah sudah dapat dikuasai, sedangkan tuturan tidak langsung dengan modus berita yang bermuatan perintah juga sudah dikuasai tetapi intensitas kemunculannya masih sangat jarang. Bentuk kesederhanaan anak usia dua tahun dapat terlihat dari struktur yang sederhana, gestur, intonasi, pemakaian kata, dan panjang tuturan.

Surani (2012) dalam skripsi “Bahasa Pengasuhan Dalam Bahasa Indonesia Kajian Psikopragmatik” bahwa orang dewasa menggunakan berbagai jenis tindak tutur ketika berkomunikasi dengan anak-anak, tetapi sengaja menghindari tindak tutur yang sulit dipahami agar komunikasi dapat dipahami. Dalam penelitian tersebut juga dikemukakan bahwa orang dewasa juga menerapkan prinsip kerja sama yang didasarkan pada pengetahuan psikolinguistik dan pragmatik. hal ini dilakukan agar komunikasi orang dewasa dengan anak-anak dapat terjalin dengan baik.

Penelitian terkait kemampuan bahasa pada tunagrahita di bidang psikologi yaitu, penelitian Rahayu (2001) dalam tesis yang berjudul “Hubungan Motivasi Ekstrinsik dengan Penguasaan Tugas-Tugas Perkembangan di Sekolah pada Siswa Tunagrahita mampu didik (SLTPLB)“ mengemukakan korelasi komponen-komponen

(10)

10

motivasi ekstrinsik terhadap penguasaan tugas-tugas perkembangan. Dalam penelitian tersebut terdapat fakta adanya hubungan negatif antara motivasi ekstrinsik dan penguasaan tugas-tugas perkembangan di sekolah. Semakin rendah motivasi ekstrinsik, semakin tinggi penguasaan tugas-tugas perkembangan. Jadi, ada hubungan negatif yang signfikan antara motivasi ekstrinsik (mudah, bantuan, pernyataan) dan penguasaan keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum. Semakin rendah motivasi ekstrinsik, semakin tinggi penguasaan tugas tersebut.

Purwanto (2005) dalam tesis “Efektivitas Bimbingan Kesadaran Fonemik dengan Metode Analisis untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan Anak Tunagrahita” meneliti kemampuan membaca yang dimiliki oleh pada anak tunagrahita yang dilakukan di SLB Kartini Temanggung. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hanya 40 dari 225 anak tunagrahita yang memiliki kemampuan membaca. Hal ini terjadi karena metode klasikal yang digunakan untuk mengajar membaca kurang maksimal.

Berdasarkan sejumlah penelitian yang telah diuraikan pada penjelasan tersebut, penelitian mengenai kemampuan berbahasa pada anak tunagrahita masih perlu diteliti agar dapat dikembangkan.

1.7 Landasan Teori 1.7.1 Ihwal Tunagrahita

(11)

11

Tunagrahita bukan sebuah penyakit, melainkan sebuah keadaan seseorang yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata sehingga memiliki keterbatasan dalam integrasi sosial dan pergaulan. Perbedaan yang paling mendasar anak normal dengan anak tunagrahita terletak pada tingkat kecerdasan. Anak tunagrahita pada umumnya memiliki tingkat kecerdasan atau IQ yang berada di bawah rata-rata. Biasanya tingkat intelegensi anak yang mengalami tunagrahita di bawah 70 Smart (2010:50)

1.7.1.1 Tingkat Tunagrahita

Kemampuan anak tunagrahita dibedakan berdasarkan tingkat kecerdasan yang dimiliki. Berikut ini klasifikasi tunagrahita menurut Smart (2010:50—51).

1) Ringan (moron atau debil)

Anak tunagrahita tingkat ringan memiliki tingkat kecerdasan atau IQ antara 50 sampai 70. Pada umumnya anak tunagrahita tingkat ringan mengalami kesulitan dalam belajar dan lebih sering tinggal kelas

2) Sedang (imbisil)

Anak tunagrahita tingkat sedang memiliki tingkat kecerdasan atau IQ antara 35 sampai 50. Kebanyakan anak tunagrahita tingkat sedang mengalami kerusakan otak dan yang menyebabkan anak mengalami keterlambatan keterampilan verbal dan sosial.

(12)

12

Anak tunagrahita tingkat sedang berat memiliki tingkat kecerdasan atau IQ antara 20 sampai 35. Anak tunagrahita pada tingkat ini mengalami abnormalitas fisik bawaan dan kontrol sensori motor yang terbatas.

4) Berat (severe)

Anak tunagrahita berat memiliki IQ sangat rendah, yaitu di bawah 19. Banyak anak yang pada tingkat ini mengalami cacat fisik dan kerusakan syaraf serta tidak jarang pula hingga meninggal.

1.7.1.2 Karakteristik Anak Tunagrahita

Anak tunagrahita mengalami masalah hampir dalam semua fungsi kehidupan. Smart (2010:49) mengemukakan karakteristik yang dimiliki anak tunagrahita adalah sebagai berikut.

1) Keterbatasan Intelegensi

Kemampuan belajar anak sangat kurang, terutama yang bersifat abstrak, seperti membaca dan menulis serta belajar dan berhitung sangat terbatas. Anak tidak mengerti apa yang sedang dipelajari atau anak cenderung belajar dengan membeo.

2) Keterbatasan Sosial

Anak tunagrahita mengalami hambatan dalam mengurus dirinya sendiri dalam kehidupan masyarakat sehingga anak membutuhkan bantuan anak memiliki

(13)

13

ketergantungan yang besar kepada orangtua, yaitu selalu harus dibimbing dan diawasi.

3) Keterbatasan Fungsi Mental Lainnya

Anak tunagrahita memerlukan waktu yang lebih lama ketika beradaptasi dengan lingkungan yang baru dikenalnya

1.7.2 Gangguan Berbahasa

McLean dan Synder (dalam Sunardi dan Sunaryo, 2006:191) menemukan bahwa anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam keterampilan berbahasa, meliputi morfologi, sintaksis, dan semantik. Dalam di bidang semantik anak tunagrahita cenderung kesulitan dalam menggunakan kata benda, sinonim, penggunaan kata sifat, dan dalam pengelompokkan hubungan antara objek dengan ruang, waktu, kualitas, dan kuantitas.

Bernstein dan Tiegerman (dalam Sidiarto, 1991:139) menyatakan bahwa pada diri anak yang terbelakang mental (retardasi mental, tunagrahita) disfungsi otak bersifat difus, sehingga kemampuannya berkurang dalam hampir semua fungsi yang mendasari belajar. Anak-anak ini belajar dengan tempo yang lebih lambat sehingga informasi yang ditangkap juga berkurang. Jadi, bukan hanya perkembangan bicara dan bahasanya yang terlambat, tetapi juga perkembangan lainnya, seperti perkembangan motorik, kognitif, dan sosialnya terlambat.

(14)

14

Menurut Bernstein dan Tigerman (dalam Sidiarto, 1991:139) ciri-ciri gangguan berbahasa yang dialami anak tunagrahita adalah (a) penggunaan kalimat yang lebih pendek dan sederhana, dengan bentuk yang lebih primitif disertai dengan artikulasi, (b) penggunaan arti kata yang lebih konkret, dan (c) penggunaan yang lebih sedikit dari beberapa fungsi semantik, seperti keterangan tempat dan waktu.

1.7.3 Semantik

Semantik adalah cabang ilmu bahasa yang membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan makna satuan lingual, baik kata, frase, maupun kalimat (Wijana, 2009:64). Berikut ini bentuk-bentuk penyimpangan semantik yang dilakukan oleh subjek penelitian adalah sebagai berikut.

1.7.3.1 Perluasan Makna

Bahasa selalu mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena penutur bahasa tersebut melakukan pembaharuan dalam rangka mengikuti perkembangan zaman. Wijana (1995:52) membagi empat perubahan bahasa menjadi empat, yaitu perubahan meluas, perubahan menyempit, perubahan makna membaik, dan perubahan makna memburuk. Dalam memahami makna kata, seseorang anak akan melakukan penggelembungan makna atau penciutan makna. Hal ini disebabkan anak belum memahami suatu konsep makna kebahasaan secara utuh.

(15)

15 1.7.3.2 Kesalahan Idiom

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal (Chaer, 2012:296). Idiom dapat digunakan untuk mengidentifikasikan suatu kata tertentu dengan ciri tertentu tanpa harus menyelaraskan suatu kata tertentu dengan konsep yang dicirikan suatu objek tertentu.

1.7.3.4 Gejala Lupa-Lupa Ingat

Dardjowidjojo (2012:154) gejala lupa-lupa ingat memiliki pola-pola tertentu yang cenderung dilakukan orang. Adapun pola-pola tersebut adalah sebagai berikut.

a. Jumlah suku kata selalu benar. b. Bunyi awal kata itu juga benar.

c. Hasil akhir kekeliruan itu mirip dengan kata yang sebenarnya.

Dalam berkomunikasi seseorang memiliki kemungkinan untuk lupa akan hal yang ingin dikatakannya. Hal ini disebabkan karena suatu konsep yang mirip pada suatu kata sehingga hal tersebut menyebabkan seseorang mengalami kesalahan atau bahkan kegagalan untuk menggunakan kata yang diinginkan.

1.7.3.3 Pengubahan Fonem

Dalam masa belajar membaca seorang anak memiliki kencenderungan untuk mengubah, menukar, bahkan menghilangkan huruf dalam suatu kata. Hal ini merupakan suatu gejala bahasa yang dialami dalam proses pembelajaran. Gejala

(16)

16

bahasa merupakan masalah kebahasaan yang berkaitan dengan bentuk kata. Gejala bahasa berhubungan dengan proses penambahan, penghilangan, pertukaran, dan pengubahan fonem pada sebuah kata (Wijana,1995:27).

1.7.4 Pragmatik

Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam berkomunikasi. Jadi, makna yang dikaji dalam ilmu pragmatik adalah makna yang terikat konteks (context dependent) atau dengan kata lain mengkaji maksud penutur (Wijana, 1995: 2).

1.7.4.1 Jenis Tindak Tutur

Searle (Rohmadi, 2004: 34) mengklasifikasikan jenis dan bentuk tindak tutur menjadi lima, yaitu tindak tutur representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.

1) Tindak tutur representatif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya. Tindak tutur jenis ini juga disebut dengan tindak tutur asertif, misalnya menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan, memberikan kesaksian, menyebutkan, dan berspekulasi,

2) Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan sesuai apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tindak

(17)

17

tutur direktif disebut juga dengan tindak tutur impositif, misalnya meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah, mendesak, memohon, menantang dan memberi aba-aba,

3) Tindak tutur ekspresif disebut juga dengan tindak tutur evaluatif. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu, misalnya mengucapkan terima kasih, mengeluh, mengucapkan selamat, menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik.

4) Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya berjanji, bersumpah, atau mengancam,

5) Tindak tutur deklaratif merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya utuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Misalnya mengesankan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan, mengangkat, mengampuni, dan memaafkan.

1.7.4.2 Prinsip Kerja Sama

Searle dalam (Rohmadi, 2013:20—21) mengemukakan bahwa terdapat empat prinsip kerja sama dalam berkomunikasi, yakni :

1) maksim kualitas (maxim of quality) ialah aturan pertuturan yang menuntut setiap peserta tutur untuk berkata benar,

(18)

18

2) maksim kuantitas (maxim of quantity), ialah aturan pertuturan yang menuntut setiap penutur untuk memberikan kontribusi secukupnya sesuai dengan yang diminta,

3) maksim relevansi (maxim of relevance) ialah aturan pertuturan yang menuntut adanya relevansi dalam tuturan antara pembicaraan dengan masalah yang sedang dibicarakan,

4) maksim pelaksanaan (maxim of manner) ialah aturan pertuturan yang mengharuskan peserta tutur untuk memberikan kontribusi tuturan yang runtut, tidak ambigu, tidak taksa, dan tidak berlebihan.

1.8 Subjek Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan studi kasus sehingga masalah yang dibahas dalam penelitian ini hanya masalah khusus yang dialami oleh subjek penelitian saja. Penjelasan mengenai subjek penelitian akan dijelaskan sebagai berikut.

1.8.1 Kondisi Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah Z.W.S. usia 8 tahun. Pada awal masa bersekolah, subjek bersekolah di sekolah umum, tetapi selama bersekolah di sekolah umum subjek mulai menunjukkan gejala-gejala perkembangan akademis dan sosial yang

(19)

19

agak terhambat. Subjek tidak suka bergaul dengan teman sebaya, justru lebih suka bergaul dengan orangtua dari teman-temannya. Subjek kurang memiliki kesadaran akademis, misalnya saat guru memberikan perintah untuk mengumpulkan tugas setelah selesai dikerjakan, subjek justru mengumpulkannya sebelum selesai dikerjakan. Hal itu menyebabkan subjek dipindahkan ke SLB.

Masalah akademik dan sosial yang dialami subjek disebabkan kejang-kejang pada saat subjek berusia 4,5 tahun berdampak pada berkurangnya fungsi otak anak sehingga perkembangan kemampuan otak anak terhambat. Faktor penyebab tunagrahita yang dialami subjek termasuk faktor yang terjadi setelah kelahiran atau dikenal dengan istilah post-natal.

1.8.2 Lingkungan Berbahasa Subjek Penelitian

Dalam kehidupan sehari-hari subjek menggunakan bahasa Indonesia dan sedikit bahasa Jawa. Ibu Subjek asli Jogja dan Ayahnya berasal dari Sumatra. Faktor perbedaan latar belakang orang tuanya ini memungkinkan subjek menguasai dua bahasa, yaitu Indonesia dan Jawa. Hal ini disebabkan Ayah subjek yang berasal dari Sumatra tidak menggunakan bahasa Batak, melainkan menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu terjadi karena dalam berkomunikasi karena kondisi kultural tempat ia tinggal tidak mendukungnya untuk menggunakan bahasa daerah lain selain bahasa Jawa.

(20)

20 1.8.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di SLB Negeri 1 Bantul. Alasan peneliti memilih lokasi ini karena keterjangkauan peneliti terhadap lokasi tersebut. Selain itu SLB Negeri 1 Bantul merupakan SLB terbesar dan terlengkap di Yogyakarta. Selama pengambilan data, peneliti juga melakukan pengambilan data di rumah subjek penelitian. Hal ini dilakukan agar pengamatan mengenai gangguan berbahasa yang dialami subjek penelitian dapat dilakukan secara lebih mendalam.

1.9 Metode Penelitian

Ingram (dalam Dardjowidjodjo, 2012: 226) membagi perkembangan studi tentang pemerolehan bahasa menjadi tiga tahap, yaitu periode buku harian, periode sampel besar, dan periode kajian longitudinal. Penelitian ini didesain secara cross-sectional, artinya dilakukan hanya pada satu waktu titik tertentu, yaitu pada 3—7 Februari 2014.

Metode dalam penelitian ini adalah observasional terkontrol karena peralatan yang digunakan sebagai media untuk memancing tuturan subjek telah dipersiapkan sebelumnya Selain itu, peneliti juga mempersiapkan segala bentuk kebutuhan dan menyusun jadwal penelitian. Hal ini dilakukan agar waktu yang digunakan untuk penelitian menjadi lebih efisien.

(21)

21

Data yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan melalui percakapan langsung subjek penelitian dengan temannya, guru, keluarga, dan peneliti. Data bersumber dari kemampuan berbahasa subjek yang tidak dapat dimanipulasi sehingga diperlukan kondisi yang sebenarnya dari subjek penelitian.

Data kebahasaan yang diperoleh dalam penelitian ini didapatkan melalui pertanyaan peneliti terhadap topik pembicaraan yang disenangi subjek. Teknik yang dilakukan untuk memancing subjek bersumber dari modul yang berupa pertanyaan dan gambar, permainan bongkar pasang, dan film kartun anak-anak.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini didapatkan peneliti dengan berkunjung dan bertatap muka secara langsung ke lokasi tempat tinggal subjek penelitian agar peneliti dapat mengetahui fakta-fakta lain mengenai subjek penelitian. Dengan berkunjung dan bertatap muka secara langsung, peneliti diharapkan dapat mempertanggungjawabkan validitas data yang diperoleh.

Selama bertatap muka langsung peneliti mengajukan sejumlah pertanyaan kepada subjek penelitian untuk mengetahui kemampuannya dalam memahami tuturan. Pertanyaan yang diajukan bersumber dari modul yang telah disusun peneliti, tetapi tidak menutup kemungkinan bila tuturan subjek tidak memiliki keterkaitan dengan pertanyaan yang terdapat di dalam modul.

Pengumpulan data dapat pula dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Kesuma, 2007:45). Dalam pengambilan data dengan metode ini peneliti

(22)

22

menggunakan teknik sadap. Penyadapan dilakukan agar subjek dapat memproduksi tuturan yang natural mungkin. Peneliti menyadap penggunaan bahasa subjek penelitian, selain melakukan penyadapan, peneliti juga terlibat aktif dalam pembicaraan dengan subjek penelitian.

Teknik rekam adalah teknik penjaringan data dengan merekam penggunaan bahasa (Kesuma, 2007: 47). Peneliti merekam tuturan subjek dengan menggunakan voicenote Blackberry 9220. Penggunaan voicenote dipilih peneliti karena kepraktisan dan ketersediaan alat rekam.

Setelah melewati serangkaian proses untuk mendapatkan data, tahapan selanjutnya metranskripsikan data. Sebelum mentranskripsikan data peneliti menentukan rekaman yang dapat dijadikan data dan rekaman yang tidak dapat dijadikan data. Hal ini disebabkan oleh situasi yang tidak kondusif selama pengambilan data sehingga banyak rekaman yang tidak terdeteksi.

Peneliti mentranskripsikan data dengan mendengarkan rekaman yang didapatkan selama penelitian, kemudian menyusunnya kata per kata. Selanjutnya peneliti mendengarkan ulang hasil rekaman untuk memastikan hasil rekaman yang ditulis, yang telah direkam sesuai dengan rekaman, Setelah itu, peneliti menyediakan kolom agar keseluruhan data dapat tertata.

Keseluruhan data yang sudah ditranskripsikan merupakan populasi. Populasi dalam penelitian ini terdiri dari 108 tuturan yang diperoleh dari tuturan subjek dengan

(23)

23

temannya, subjek dengan guru, subjek dengan keluarganya, dan subjek dengan peneliti. Selanjutnya, peneliti menentukan sampel sejumlah 70 yang dianggap paling mewakili dari keseluruhan tuturan. Penentuan sampel dilakukan setelah keseluruhan rekaman yang dijadikan data telah selesai ditranskripsikan dan telah di cek ulang kevalidannya.

1.9.2 Analisis Data

Analisis data dilakukan setelah data selesai diklasifikasi berdasarkan karakteristik data yang diperoleh. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan. Pemilihan metode padan dalam penelitian ini disesuaikan dengan data yang diperoleh dalam penelitian ini.

Jenis metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode padan referensial dilakukan untuk menganalisis penyimpangan semantis, sedangkan metode padan pragmatis dilakukan untuk menganalisis kompetensi pragmatisnya.

Teknik metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pilah unsur penentu. Teknik pilah unsur penentu adalah teknik analisis data dengan cara memilah-milah satuan kebahasaan yang dianalisis dengan alat penentu yang berupa daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto dalam Kesuma, 2007:53).

(24)

24 1.9.3 Penyajian Hasil Analisis

Penyajian hasil analisis dilakukan secara informal. Data tuturan disajikan dengan menambahkan tanggal pengambilan data dan konteks tuturan. Sementara itu, analisis penelitian ini disajikan secara deskriptif menggunakan kata-kata biasa namun dengan tingkat keterbacaan tinggi. Setelah itu, peneliti menyusun kesimpulan dari pembahasan terhadap data yang ditemukan.

1.10 Sistematika Penyajian

Skripsi yang berjudul ”Kompetensi Berbahasa Pada Anak Tunagrahita Tingkat Ringan” disajikan dalam lima bab. Bab I berisi tentang pendahuluan, yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, subjek penelitian, metode penelitian dan sistematika penyajian.

Bab II mendeskripsikan penyimpangan pada tataran semantik, Bab III mengklasifikasikan jenis tindak tutur subjek penelitian, Bab IV mengklasifikasikan prinsip pelaksanaan dan penyimpangan prinsip kerja sama dalam tuturan subjek penelitian, Bab V berisi penutup, kesimpulan, dan saran untuk penelitian selanjutnya.

Dalam analisis data, peneliti membuat penomoran secara urut mulai dari nomor satu hingga nomor terakhir. Data yang muncul pada setiap bab dimulai lagi dari nomor satu hingga nomor terakhir. Apabila data yang telah digunakan pada bab sebelumnya muncul ada bab berikutnya data diberi nomor sesuai dengan urutan

(25)

25

kemunculan data berdasarkan urutan abjad. Terakhir, penomoran data yang digunakan dalam data yang dilampirkan dimulai dari urutan nomor satu pada bab bagian awal hingga selesai pada bab bagian akhir.

Gambar

Tabel 1. Contoh Data Tuturan Subjek Penelitian
Tabel 2. Contoh Data Tuturan Subjek Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pada anak tunagrahita atau lemah pikir diartikan sebagai proses perkembangan individu yang mengalami keterlambatan dalam bidang intelegensi dan tingkah laku sosial, merupakan

Bila mempelajari atau meneliti bahasa, tentu tidak terlepas dari mempelajari atau meneliti linguistik bahasa seperti fonologi, semantik, sintaksis, sosiolinguistik dan lain-lain

Di depan ように dapat diletakkan verba aktivitas yang tidak berhubungan dengan keinginan manusia seperti なる, できる, atau verba –れる yang menunjukkan

Sikap dan perlakuan yang didapatkan kaum pria homoseksual tersebut membuat mereka mengalami ketakutan atau tidak berani mengungkapkan diri mengenai masalah yang

Kata-kata tersebut diharapkan dapat menyebutkan tentang aktivitas yang berhubungan dengan pakaian dan jenis pakaian yang ada pada masa Pu Sindok. Kemudian dicari

Kesimpulan yang diperoleh yakni suatu gambaran tentang teknologi pemintalan benang yang pernah berlangsung pada masa Kerajaan Majapahit yang mencakup jenis kumparan

Tataran ekslusi, melihat apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dari pemberitaan dan strategi wacana apa yang dipakai dalam melakukan hal

Siswa yang memiliki Self Regulation-Akademik rendah akan menunjukkan inisiatif belajar yang rendah, motivasi belajarnya lebih bertujuan untuk menyenangkan orang lain, dalam hal ini