BAB I BAB I
PENDAHULUAN PENDAHULUAN
1.1
1.1 Latar Latar BelakangBelakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Insidens menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di anak. Insidens menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode. Dari semua (10 juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Episode batuk-pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008). ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Bulletin WHO 2008). ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%).
Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%).
Pneumonia adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibanding dengan Pneumonia adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibanding dengan gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena Pneumonia (1 Balita/20 detik) dari 9 juta total kematian balita. 2 juta balita meninggal karena Pneumonia (1 Balita/20 detik) dari 9 juta total kematian balita. Diantara 5 kematian balita, satu di antaranya disebabkan oleh pneumonia. Bahkan karena Diantara 5 kematian balita, satu di antaranya disebabkan oleh pneumonia. Bahkan karena
besarnya
besarnya kematian
kematian pneumonia
pneumonia ini,
ini, pneumonia
pneumonia disebut
disebut sebagai
sebagai “pandemi
“pandemi yang
yang terlupakan”
terlupakan”
atau “
atau “
the forgotten pandemicthe forgotten pandemic”. Namun, tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini,
”. Namun, tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini,
sehingga pneumonia disebut juga pembunuh balita yang terlupakan atsehingga pneumonia disebut juga pembunuh balita yang terlupakan at
au “
au “
the forgotten killer the forgotten killer of childrenof children
” (Unicef/WHO 2006, WPD 2011). Di negara berkembang 60% kasus pneumonia
” (Unicef/WHO 2006, WPD 2011). Di negara berkembang 60% kasus pneumonia
disebabkan oleh bakteri, menurut hasil Riskesdas 2007 proporsi kematian balita karena disebabkan oleh bakteri, menurut hasil Riskesdas 2007 proporsi kematian balita karena pneumonia menempatipneumonia menempati urutan urutan kedua (13,2%) kedua (13,2%) setelah setelah diare. diare. Sedangkan Sedangkan SKRT 2004 SKRT 2004 proporsiproporsi kematian balita karena pneumonia menempati urutan pertama sementara di negara maju kematian balita karena pneumonia menempati urutan pertama sementara di negara maju umumnya disebabkan virus.
umumnya disebabkan virus.
Berdasarkan bukti bahwa faktor risiko pneumonia adalah kurangnya pemberian ASI Berdasarkan bukti bahwa faktor risiko pneumonia adalah kurangnya pemberian ASI eksklusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruangan (
eksklusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruangan (indoor air pollutionindoor air pollution), BBLR, kepadatan), BBLR, kepadatan penduduk
penduduk dan dan kurangnya kurangnya imunisasi imunisasi campak. campak. Kematian Kematian balita balita karena karena pneumonia pneumonia mencakupmencakup 19% dari seluruh kematian balita dimana sekitar 70% terjadi di Sub Sahara Afrika dan Asia 19% dari seluruh kematian balita dimana sekitar 70% terjadi di Sub Sahara Afrika dan Asia Tenggara. Walaupun data yang tersedia terbatas, studi terkini masih menunjukkan Tenggara. Walaupun data yang tersedia terbatas, studi terkini masih menunjukkan
Streptococcus
Streptococcus pneumonia pneumonia,, Haemophilus influenza Haemophilus influenza dandan Respiratory Syncytial Virus Respiratory Syncytial Virus sebagaisebagai penyebab utama
penyebab utama pneumonia pada anak (Rudan et al B pneumonia pada anak (Rudan et al Bulletin WHO 2008).ulletin WHO 2008).
Pengendalian ISPA di Indonesia dimulai pada tahun 1984, bersamaan dengan Pengendalian ISPA di Indonesia dimulai pada tahun 1984, bersamaan dengan diawalinya pengendalian ISPA di tingkat global oleh WHO. Dalam perjalanannya, diawalinya pengendalian ISPA di tingkat global oleh WHO. Dalam perjalanannya, pengendalian ISPA telah mengalami beberapa perkembang
pengendalian ISPA telah mengalami beberapa perkembangan:an: 1.
1. Pra-implementasi telah dilaksanakan 2 kali lokakarya ISPA Nasional, yaitu tahunPra-implementasi telah dilaksanakan 2 kali lokakarya ISPA Nasional, yaitu tahun 1984 dan 1988.
1984 dan 1988. 2.
2. Lokakarya ISPA Nasional 1984, menghasilkan pengembangan sistem danLokakarya ISPA Nasional 1984, menghasilkan pengembangan sistem dan mengklasifikasikan penyakit ISPA menjadi ISPA ringan, sedang dan berat.
mengklasifikasikan penyakit ISPA menjadi ISPA ringan, sedang dan berat. 3.
3. Lokakarya ISPA Nasional 1988, disosialisasikan pola baru tatalaksana kasus ISPALokakarya ISPA Nasional 1988, disosialisasikan pola baru tatalaksana kasus ISPA dengan tiga klasifikasi: pneumonia, pneumonia berat
dengan tiga klasifikasi: pneumonia, pneumonia berat dan batuk bukan pneumonia.dan batuk bukan pneumonia. 4.
4. Lokakarya Nasional III 1990 di Cimacan disepakati menerapkan pola baruLokakarya Nasional III 1990 di Cimacan disepakati menerapkan pola baru tatalaksana kasus ISPA di Indonesia dengan memfokuskan kegiatan pengendalian tatalaksana kasus ISPA di Indonesia dengan memfokuskan kegiatan pengendalian pneumonia Balita.
pneumonia Balita. 5.
5. Tahun 1997, WHO memperkenalkanTahun 1997, WHO memperkenalkan Integrated Integrated Management Management of of Childhood Childhood IllnessIllness (IMCI) atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai model pendekatan (IMCI) atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai model pendekatan tatalaksana kasus terpadu untuk berbagai penyakit anak, yaitu: pneumonia, diare, tatalaksana kasus terpadu untuk berbagai penyakit anak, yaitu: pneumonia, diare, DBD, malaria, campak, gizi kurang dan kecacingan. Pada daerah yang telah DBD, malaria, campak, gizi kurang dan kecacingan. Pada daerah yang telah melaksanakan MTBS, tatalaksana pneumonia diintegrasikan dalam pendekatan melaksanakan MTBS, tatalaksana pneumonia diintegrasikan dalam pendekatan MTBS.
MTBS. 6.
6. Dalam pertemuan Review Pengendalian ISPA di Bekasi, 2005 di kalangan akademisiDalam pertemuan Review Pengendalian ISPA di Bekasi, 2005 di kalangan akademisi mulai diperkenalkan istilah Infeksi Respiratorik Akut (IRA) sebagai padanan istilah mulai diperkenalkan istilah Infeksi Respiratorik Akut (IRA) sebagai padanan istilah bahasa
bahasa InggrisInggris acute respiratory infectionacute respiratory infection (ARI). Pada dasarnya ISPA sama dengan (ARI). Pada dasarnya ISPA sama dengan IRA.
IRA. 7.
7. Tahun 2007 telah dilaksanakan Seminar Perkembangan ISPA yang dihadiri olehTahun 2007 telah dilaksanakan Seminar Perkembangan ISPA yang dihadiri oleh Ikatan Dokter Ahli Anak Indonesia (IDAI) dan Dokter Spesialis Anak dari 14 Ikatan Dokter Ahli Anak Indonesia (IDAI) dan Dokter Spesialis Anak dari 14 Fakultas Kedokteran di Indonesia untuk merevisi pedoman tatalaksana pneumonia Fakultas Kedokteran di Indonesia untuk merevisi pedoman tatalaksana pneumonia Balita sesuai dengan perkembangan terbaru khususnya perubahan pemberian Balita sesuai dengan perkembangan terbaru khususnya perubahan pemberian antibiotika dari 5 hari menjadi 3 hari pengobatan.
antibiotika dari 5 hari menjadi 3 hari pengobatan. 8.
8. Review Review terhadap pedoman ini juga telah dilaksanakan pada tahun 2011 namun tidak terhadap pedoman ini juga telah dilaksanakan pada tahun 2011 namun tidak mengalami perubahan substansi.
Streptococcus
Streptococcus pneumonia pneumonia,, Haemophilus influenza Haemophilus influenza dandan Respiratory Syncytial Virus Respiratory Syncytial Virus sebagaisebagai penyebab utama
penyebab utama pneumonia pada anak (Rudan et al B pneumonia pada anak (Rudan et al Bulletin WHO 2008).ulletin WHO 2008).
Pengendalian ISPA di Indonesia dimulai pada tahun 1984, bersamaan dengan Pengendalian ISPA di Indonesia dimulai pada tahun 1984, bersamaan dengan diawalinya pengendalian ISPA di tingkat global oleh WHO. Dalam perjalanannya, diawalinya pengendalian ISPA di tingkat global oleh WHO. Dalam perjalanannya, pengendalian ISPA telah mengalami beberapa perkembang
pengendalian ISPA telah mengalami beberapa perkembangan:an: 1.
1. Pra-implementasi telah dilaksanakan 2 kali lokakarya ISPA Nasional, yaitu tahunPra-implementasi telah dilaksanakan 2 kali lokakarya ISPA Nasional, yaitu tahun 1984 dan 1988.
1984 dan 1988. 2.
2. Lokakarya ISPA Nasional 1984, menghasilkan pengembangan sistem danLokakarya ISPA Nasional 1984, menghasilkan pengembangan sistem dan mengklasifikasikan penyakit ISPA menjadi ISPA ringan, sedang dan berat.
mengklasifikasikan penyakit ISPA menjadi ISPA ringan, sedang dan berat. 3.
3. Lokakarya ISPA Nasional 1988, disosialisasikan pola baru tatalaksana kasus ISPALokakarya ISPA Nasional 1988, disosialisasikan pola baru tatalaksana kasus ISPA dengan tiga klasifikasi: pneumonia, pneumonia berat
dengan tiga klasifikasi: pneumonia, pneumonia berat dan batuk bukan pneumonia.dan batuk bukan pneumonia. 4.
4. Lokakarya Nasional III 1990 di Cimacan disepakati menerapkan pola baruLokakarya Nasional III 1990 di Cimacan disepakati menerapkan pola baru tatalaksana kasus ISPA di Indonesia dengan memfokuskan kegiatan pengendalian tatalaksana kasus ISPA di Indonesia dengan memfokuskan kegiatan pengendalian pneumonia Balita.
pneumonia Balita. 5.
5. Tahun 1997, WHO memperkenalkanTahun 1997, WHO memperkenalkan Integrated Integrated Management Management of of Childhood Childhood IllnessIllness (IMCI) atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai model pendekatan (IMCI) atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai model pendekatan tatalaksana kasus terpadu untuk berbagai penyakit anak, yaitu: pneumonia, diare, tatalaksana kasus terpadu untuk berbagai penyakit anak, yaitu: pneumonia, diare, DBD, malaria, campak, gizi kurang dan kecacingan. Pada daerah yang telah DBD, malaria, campak, gizi kurang dan kecacingan. Pada daerah yang telah melaksanakan MTBS, tatalaksana pneumonia diintegrasikan dalam pendekatan melaksanakan MTBS, tatalaksana pneumonia diintegrasikan dalam pendekatan MTBS.
MTBS. 6.
6. Dalam pertemuan Review Pengendalian ISPA di Bekasi, 2005 di kalangan akademisiDalam pertemuan Review Pengendalian ISPA di Bekasi, 2005 di kalangan akademisi mulai diperkenalkan istilah Infeksi Respiratorik Akut (IRA) sebagai padanan istilah mulai diperkenalkan istilah Infeksi Respiratorik Akut (IRA) sebagai padanan istilah bahasa
bahasa InggrisInggris acute respiratory infectionacute respiratory infection (ARI). Pada dasarnya ISPA sama dengan (ARI). Pada dasarnya ISPA sama dengan IRA.
IRA. 7.
7. Tahun 2007 telah dilaksanakan Seminar Perkembangan ISPA yang dihadiri olehTahun 2007 telah dilaksanakan Seminar Perkembangan ISPA yang dihadiri oleh Ikatan Dokter Ahli Anak Indonesia (IDAI) dan Dokter Spesialis Anak dari 14 Ikatan Dokter Ahli Anak Indonesia (IDAI) dan Dokter Spesialis Anak dari 14 Fakultas Kedokteran di Indonesia untuk merevisi pedoman tatalaksana pneumonia Fakultas Kedokteran di Indonesia untuk merevisi pedoman tatalaksana pneumonia Balita sesuai dengan perkembangan terbaru khususnya perubahan pemberian Balita sesuai dengan perkembangan terbaru khususnya perubahan pemberian antibiotika dari 5 hari menjadi 3 hari pengobatan.
antibiotika dari 5 hari menjadi 3 hari pengobatan. 8.
8. Review Review terhadap pedoman ini juga telah dilaksanakan pada tahun 2011 namun tidak terhadap pedoman ini juga telah dilaksanakan pada tahun 2011 namun tidak mengalami perubahan substansi.
Peningkatan pelaksanaan pengendalian ISPA perlu didukung dengan peningkatan Peningkatan pelaksanaan pengendalian ISPA perlu didukung dengan peningkatan sumber daya termasuk dana. Semua sumber dana pendukung program yang tersedia baik sumber daya termasuk dana. Semua sumber dana pendukung program yang tersedia baik APBN, APBD dan dana kerjasama harus di manfaatkan sebaik-baiknya untuk mencapai APBN, APBD dan dana kerjasama harus di manfaatkan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan program dan target yang telah ditentukan.Sejalan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tujuan program dan target yang telah ditentukan.Sejalan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah maka daerah otonomi harus mempunyai kemampuan menentukan skala Pusat dan Daerah maka daerah otonomi harus mempunyai kemampuan menentukan skala prioritas pembangunan
prioritas pembangunan di daerahndi daerahnya masing-masing ya masing-masing sesuai sesuai dengan kebutuhan sdengan kebutuhan setempat seretempat sertata memperhatikan komitmen nasional dan global. Disamping itu sesuai dengan Peraturan memperhatikan komitmen nasional dan global. Disamping itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) menyatakan bahwa kabupaten/kota wajib menyelenggarakan Pelayanan Minimal (SPM) menyatakan bahwa kabupaten/kota wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai SPM yang telah ditetapkan, salah satunya adalah pn
pelayanan kesehatan sesuai SPM yang telah ditetapkan, salah satunya adalah pneumonia.eumonia. Dalam melaksanakan Pembangunan Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten Dalam melaksanakan Pembangunan Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten mempunyai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di tingkat kecamatan yang dinamakan Pusat mempunyai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di tingkat kecamatan yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Dalam rangka mencapai kecamatan sehat menuju Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Dalam rangka mencapai kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia sehat 2016 pemerintah telah menyelenggarakan berbagai upaya terwujudnya Indonesia sehat 2016 pemerintah telah menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan secara menyeluruh, berjenjang dan terpadu, salah satunya memanfaatkan Pusat kesehatan secara menyeluruh, berjenjang dan terpadu, salah satunya memanfaatkan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di berbagai daerah sebagai pusat pelayanan kesehatan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di berbagai daerah sebagai pusat pelayanan kesehatan terdepan dan sebagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama yang bertanggung jawab terdepan dan sebagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama yang bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat diwilayah menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat diwilayah kerjanya.
kerjanya.33
Target Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang bulan tahun 2015 memiliki target 70% Target Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang bulan tahun 2015 memiliki target 70% untuk pencapaian cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai untuk pencapaian cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai standar), sedangkan pencapaian di puskesmas Muntilan 1 masih 17,74%. Angka tersebut standar), sedangkan pencapaian di puskesmas Muntilan 1 masih 17,74%. Angka tersebut masih jauh dari target yang diharapkan.
masih jauh dari target yang diharapkan.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mencari tahu faktor
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mencari tahu faktor
–
–
faktor faktor yang melatarbelakangi cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai yang melatarbelakangi cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai standar) di Puskesmas Muntilan 1 periode Januaristandar) di Puskesmas Muntilan 1 periode Januari
–
–
Juni 2017 di Dusun Jambeyan, Desa Juni 2017 di Dusun Jambeyan, Desa Menayu, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Maka dari itu penulis memilih judul Menayu, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Maka dari itu penulis memilih judul laporanlaporan
““
Rencana Peningkatan Cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditanganiRencana Peningkatan Cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai standar) di Puskesmas Muntilan 1 Periode Januari - Juni 20171.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan data yang dimiliki Puskesmas Muntilan 1 dari bulan Januari sampai Juni 2017 hanya ditemukan 9 pasien balita dengan diagnosis pneumonia, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa penyebab cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai standar) masih rendah?
2. Apa sajakah alternatif pemecahan masalah yang sesuai dengan penyebab masalah yang ditemukan?
3. Apa rencana kegiatan untuk memecahkan permasalahan tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui, mengidentifikasi, dan menganalisis factor-faktor yang menyebabkan rendahnya cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai standar), menentukan dan merumuskan alternatif pemecahan masalah dan prioritas pemecahan masalah yang sesuai dengan penyebab masalah, serta kegiatan
yang dapat dilakukan untuk pemecahan masalah tersebut di Puskesmas Muntilan 1.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui menganalisis faktor
–
faktor yang menyebabkan rendahnya cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai standar) di Puskesmas Muntilan 1 pada Dusun Jambeyan, Desa Menayu, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang.2. Mengetahui alternative pemecahan masalah yang menyebabkan rendahnya cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai standar) di Puskesmas Muntilan 1, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang.
3. Menentukan prioritas pemecahan masalah yang menyebabkan rendahnya cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai standar) di Puskesmas
Muntilan 1, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang.
4. Menyusun rencana kegiatan (POA) pemecahan masalah terpilih. 5. Membuat suatu kesimpulan dan saran dari hasil analisa yang didapat.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi penulis
a. Melatih kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat. b. Menambah pengetahuan penulis tentang penyakit ISPA Pneumonia.
c. Menambah pengetahuan penulis tentang penyebab dan pemecahan masalah rendahnya cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai standar).
1.4.2 Manfaat bagi puskesmas
a. Sebagai evaluasi kinerja petugas puskesmas sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan meningkatkan cakupan balita dengan pneumoni yang
ditemukan/ditangani (sesuai standar).
b. Membantu puskesmas Muntilan 1 dalam mengidentifikasi penyebab rendahnya penemuan cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai
standar).
c. Membantu puskesmas dalam memberikan alternative penyelesaian terhadap masalah rendahnya cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai standar).
1.4.3 Manfaat bagi masyarakat
a. Pengetahuan masyarakat tentang ISPA bertambah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ISPA dan Pneumonia 2.1.1 Definisi ISPA
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, yang meliputi saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu atau lebih bagian dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran nafas bagian atas) hingga jaringan di dalam paru-paru (saluran bagian bawah).(3)
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni
‘
infeksi’
,‘
saluran pernafasan’
, dan‘
akut’
, dimana pengertiannya adalah sebagai berikut: 1) InfeksiAdalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2) Saluran pernafasan
Yang dimaksud dengan saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli, termasuk adneksanya yaitu sinus, rongga telinga tengah, dan pleura.
3) Akut
Adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut.(4)
2.1.2 Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru (alveoli) yang disebabkan terutama oleh bakteri dan merupakan penyakit saluran pernafasan akut yang sering menyebabkan kematian. Penyebab p neumonia adalah infeksi bakteri, virus maupun jamur. Pneumonia mengakibatkan jaringan paru mengalami peradangan. Pada penderita pneumonia, alveoli terisi nanah dan cairan menyebabkan kesulitan penyerapan oksigen sehingga terjadi kesulitan bernafas. Anak dengan pneumonia menyebabkan kemampuan paru mengembang berkurang sehingga tubuh bereaksi dengan bernafas cepat agar tidak terjadi hipoksia. Apabila pneumonia bertambah parah, paru akan menjadi kaku dan timbul tarikan dinding bawah ke dalam. Anak dengan pneumonia dapat meninggal karena hipoksia dan sepsis.
Akibatnya kemampuan paru untuk menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen membuat sel sel tidak bisa bekerja.(5,6)
2.1.3 Hubungan ISPA dan Pneumonia
ISPA yang berlanjut dapat menjadi pneumonia dimana sering terjadi pada balita terutama apabila mengalami gizi kurang atau gizi buruk dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak higienis.(3)
2.1.4 Klasifikasi ISPA dan Pneumonia
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek
seperti rinitis, faringitis, tonsilitis, dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada Balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin. Semua radang telinga akut harus mendapat antibiotik. (7)
Klasifikasi berdasarkan frekuensi nafas, tarikan dinding dada bagian bawah, bunyi nafas ( stridor ):
a) Pneumonia
Batuk, demam lebih dari 380C disertai sesak nafas. Frekuensi nafas lebih dari
40 x / menit, ada tarikan dinding dada bagian bawah. Pada auskultasi didapati bunyi stridor pada paru.(8)
b) Non Pneumonia
Bila bayi dan Balita batuk, demam 380C tidak disertai nafas cepat lebih dari 40 x
/ menit, tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada bunyi stridor pada paru.(8)
Tabel 1. Frekuensi Nafas Sesuai Umur
No Umur Nafas Normal Nafas Cepat (
tachypnoe
)1 0
–
2 bulan 30–
50 x / menit 60 x / menit 2 2–
12 bulan 25–
40 x / menit 50 x / menit 3 1–
5 tahun 20–
30 x / menit 40 / menit Sumber: Pedoman Perhitungan Frekuensi Nafas (8)Program P2ISPA mengklasifikasi penderita keadaan ke dalam 2 kelompok usia: dibawah 2 bulan (Pneumonia berat dan bukan Pneumonia). Usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun menjadi pneumonia berat dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, pneumonia dan bukan pneumonia.
Tabel 2. Klasifikasi ISPA menurut kelompok umur (7) Kelompok
Umur Kriteria Gejala Klinis
2 bulan
–
<5 tahunBatuk bukan pneumonia Tidak ada napas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah
Pneumonia Adanya nafas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam Pneumonia berat Adanya tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam
< 2 bulan
Bukan pneumonia
Tidak ada napas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat
Pneumonia berat Adanya napas cepat dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat Sumber: Ditjen P2PL, Depkes RI. 2007. Bimbingan Keterampilan Tatalaksana Pneumonia Balita
2.1.5 Gambaran Klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia anak
−
balita berkisar antara ringan sampai sedang hingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil berupa penyakit berat mengancam kehidupan dan perlu rawat-inap. Secara umum gambaran klinis pneumonia diklasifikasi menjadi 2 kelompok. Pertama, gejala umum misalnya demam, sakit kepala, maleise, nafsu makan kurang, gejala gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare. Kedua, gejala respiratorik seperti batuk, napas cepat (tachypnoe/ fast breathing ), napas sesak (retraksi dada/chest indrawing ), napas cuping hidung , air hunger dan sianosis. Hipoksia merupakan tanda klinis pneumonia berat. Anak pneumonia dengan hipoksemia 5 kali lebih sering meninggal dibandingkan dengan pneumonia tanpa hipoksemia. Pada foto thorak menunjukkan infiltrasi melebar.(8)2.1.6 Cara Penularan Penyakit Pneumonia
Pada umumnya pneumonia termasuk kedalam penyakit menular yang ditularkan melalui udara. Sumber penularan adalah penderita pneumonia yang menyebarkan kuman ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk droplet . Inhalasi merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab pneumonia kedalam saluran pernapasan
yaitu bersama udara yang dihirup, di samping itu terdapat juga cara penularan langsung yaitu melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin dan berbicara kepada orang di sekitar penderita, transmisi langsung dapat juga melalui ciuman, memegang dan menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita (Azwar, 2002). (7)
2.1.7 Sumber dan Penyebab Terjadinya Pneumonia
Sebagian besar penyebab pneumonia adalah mikroorganisme (virus, bakteri dan sebagian kecil oleh penyebab lain hidrokarbon (minyak tanah, bensin, atau sejenisnya) dan masuknya makanan, minuman, susu, isi lambung kedalam saluran pernafasan. Berbagai penyebab pneumonia tersebut dikelompokkan berdasarkan
golongan umur, berat ringannya penyakit dan penyakit yang menyertainya. (5) Penyebab Pneumonia adalah sebagai berikut : (6,8)
1) Mikroorganisme
Mikroorganisme paling sering sebagai penyebab pneumonia adalah virus, terutama Respiratory Synsial Virus (RSV) yang mencapai 40%. Golongan bakteri yang ikut berperan terutama Streptococcus pneumonia dan Haemofillus influenza type B (HIB). Awalnya mikroorganisme masuk ke dalam percikan ludah (droplet ) kemudian terjadi penyebaran mikroorganisme dari saluran nafas bagian atas jaringan (parenkim paru) dan sebagian lagi karena penyebaran melalui aliran darah.
2) Faktor intrinsik
Faktor intrinsik yang dapat meningkatkan risiko kejadian dan risiko kematian akibat pneumonia pada balita adalah:
a. Umur
Umur mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh seseorang. Bayi dan Balita mempunyai mekanisme pertahanan tubuh yang masih lemah dibanding dengan orang dewasa sehingga Balita masuk ke dalam kelompok yang rawan terkena infeksi, misalnya diare, ISPA dan pneumonia.
b. Status gizi
Status gizi sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh. Balita yang mempunyai status gizi baik maka akan mempunyai daya tahan tubuh yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang mempunyai status gizi kurang maupun buruk. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai bagian dari faktor risiko kejadian
pneumonia.(8)
c. Status imunisasi
Cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan pneumonia. Cara yang paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi DPT dan Campak. Pemberian imunisasi Campak dapat mencegah kematian pneumonia sekitar 11%, sedangkan imunisasi DPT dapat mencegah kematian pneumonia sekitar 6%. (8)
d. Jenis kelamin
Di dalam buku pedoman P2 ISPA, disebutkan bahwa anak laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia. Penelitian di Srilanka memperlihatkan bahwa balita berjenis kelamin laki-laki mempunyai risiko 2,19 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Koblinski (1997) bahwa sesungguhnya anak perempuan mempunyai kebutuhan biologis dan pada lingkungan yang optimal mempunyai keuntungan yang diperkirakan sebesar
0,15−
1 kali lebih di atas anak laki laki dalam hal tingkat kematian. (6)e. ASI eksklusif
Kolustrum mengandung zat kekebalan 1017 kali lebih banyak dari susu buatan. Zat kekebalan pada ASI melindungi bayi dari diare, alergi dan infeksi saluran nafas terutama pneumonia. Bayi yang diberi ASI eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapat ASI ekslusif. (8)
f. Defisiensi vitamin A
Pada kasus kekurangan vitamin A, fungsi kekebalan tubuh menurun sehingga mudah terserang infeksi. Lapisan sel yang menutupi trakea dan paru mengalami keratinisasi sehingga mudah dimasuki oleh kuman dan virus yang menyebabkan infeksi saluran nafas terutama pneumonia.(6,8)
g. Berat badan lahir rendah ( BBLR )
Berat badan lahir rendah menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa Balita. Bayi dengan BBLR mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi dengan berat lahir normal terutama pada bulanbulan pertama kelahiran karena pembentukan zat kekebalan kurang
sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi terutama pneumonia dan infeksi saluran pernafasan lainnya.(6)
3) Faktor ektrinsik
Faktor ektrinsik yang dapat meningkatkan risiko kejadian dan risiko kematian akibat pneumonia pada Balita adalah:
A. Kondisi fisik rumah
Kondisi rumah yang ber hubungan dengan kejadian pneumonia:
1. Kelembaban
Kelembaban adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen. Faktorfaktor kelembaban udara meliputi :
a. Keadaan bangunan a) Dinding
Air hujan masuk dan meresap melalui poripori dinding sehingga akan mengakibatkan kelembaban udara dalam ruangan.
b ) Iklim dan Cuaca
Kelembaban udara secara menyeluruh dipengaruhi oleh iklim dan cuaca.
Syaratsyarat kelembaban yang memenuhi standar kesehatan adalah sebagai berikut:
a) Lantai dan dinding harus kering
b) Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%
Keterkaitan antara kelembaban dan penyakit pneumonia adalah saling berpengaruh terhadap kejadian pneumonia. Kelembaban ini sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan etiologi pneumonia yang berupa virus, bakteri dan jamur. Faktor etiologi tersebut dapat tumbuh dengan baik jika kondisi optimal. Penghuni ruangan biasanya akan mudah menderita sakit infeksi saluran nafas karena situasi tersebut. (8) 2. Ventilasi
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis harus cukup. Berdasarkan keputusan menteri Kesehatan No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. Pada penelitian Herman (2002), diketahui bahwa balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak sehat akan memiliki risiko 4,2 kali lebih besar untuk terkena pneumonia
dibandingkan yang tinggal di rumah dengan ventilasi sehat. 3. Kepadatan hunian
Kepadatan hunian adalah banyaknya penghuni yang tinggal di dalam rumah dibandingkan dengan luas ruangan. Berdasarkan keputusan menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan
lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruangan tidur kecuali anak umur dibawah 5 tahun. Foster menjelaskan bahwa kepadatan orang dalam rumah berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita. Herman (2002) juga mendapatkan hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan insidens pneumonia. (8)
4. Polusi Udara
Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya disebabkan oleh polusi di dalam dapur. Asap dari bahan bakar kayu merupakan faktor risiko terhadap kejadian pneumonia pada balita. Polusi udara di dalam rumah juga dapat disebabkan oleh karena asap rokok, kompor gas, alat pemanas ruangan dan juga akibat pembakaran yang tidak sempurna dari kendaraan bermotor. Anak-anak yang lebih sering berada di dapur atau kamar tidur yang berdekatan dengan dapur lebih berisiko untuk mengalami gangguan pernapasan.(8) Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang terpajan asap pembakaran berisiko 1,27 kali lebih besar untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan yang tidak terpajan. Selain itu, balita dengan adanya perokok di dalam rumah berisiko 2,9 kali lebih besar untuk terkena pneumonia.(8,9)
B. Pendidikan ibu
Pendidikan ibu mempunyai pengaruh besar dalam tumbuh kembang bayi dan Balita, karena pada umumnya pola asuh anak di tentukan oleh ibu. Tingginya mortalitas dan morbiditas pneumonia lebih disebabkan oleh kurangnya informasi dan pemahaman yang diperoleh dari seorang ibu.(8) C. Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah
Rendahnya tingkat jangkauan pelayanaan kesehatan sangat mempengaruhi risiko morbiditas dan mortalitas pneumonia, karena akan terlambat memperoleh diagnosa sehingga akan mempengaruhi upaya pertolongan yang dibutuhkan. (8,9)
2.1.8 Bahaya Pneumonia Pada Bayi dan Anak balita
Pneumonia bisa menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita. Pneumonia sering kali dimulai dengan batuk pilek biasa, tetapi karena daya tahan tubuh anak lemah, hygiene sanitasinya rendah dan terlambat mendapatan pertolongan maka resiko kematian akibat pneumonia menjadi meningkat.(3)
2.1.9 Pencegahan dan Penanggulangan Pneumonia 1) Pencegahan penyakit menular pneumonia
Upaya pencegahan penyakit pneumonia meliputi kelengkapan imunisasi, perbaikan gizi anak termasuk promosi ASI, peningkatan kesehatan ibu hamil untuk mencegah BBLR, mengurangi kepadatan hunian rumah, dan memperbaiki ventilasi rumah.(10)
2) Penanggulangan penyakit menular pneumonia
Yang dimaksud dengan penanggulangan penyakit menular adalah upaya untuk menekan penyakit menular di masyarakat serendah mungkin sehingga tidak menjadi gangguan kesehatan bagi masyarakat. Ada tiga kelompok sasaran yaitu:
1. Kelompok sasaran langsung pada sumber penularan pejamu
Sumber penularan pneumonia adalah manusia maka cara yang paling efektif adalah dengan memberikan pengobatan.
2. Sasaran ditujukan pada cara penularan
Penularan penyakit pneumonia dapat berlangsung melalui perantaran udara maupun kontak langsung. Upaya pencegahan melalui kontak langsung biasanya dititikberatkan pada penyuluhan kesehatan. Pencegahan penularan melalui udara dapat dilakukan dengan perbaikan sistem ventilasi serta aliran udara dalam ruangan.
3. Sasaran ditujukan pada pejamu potensial
Peningkatan kekebalan khusus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi dasar sebagai bagian dari program pembangunan kesehatan yang ternyata cukup berhasil dalam usaha meningkatkan derajat kesehatan serta menurunkan angka kematian bayi dan balita. Saat ini vaksinasi yang dapat mencegah pneumonia pada bayi dan balita yang diterapkan di Indonesia sebagai program imunisasi dasar baru DPT dan Campak saja.
Penanggulangan penyakit pneumonia menjadi fokus kegiatan utama program P2 ISPA. Program ini mengupayakan agar istilah pneumonia lebih dikenal di masyarakat sehingga memudahkan kegiatan penyuluhan dan penyebaran informasi tentang penanggulangan pneumonia. (7,11)
2.2 Program P2ISPA
Program P2ISPA adalah suatu program pemberantasan penyakit menular yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat infeksi saluran pernapasan akut, terutama pneumonia (infeksi paru akut) pada usia dibawah lima tahun.
Program P2ISPA dikembangkan dengan mengacu pada konsep menajemen terpadu pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan berbasis wilayah. Konsep terpadu meliputi penanganan pada sumber penyakit, faktor risiko lingkungan, faktor risiko perilaku dan kejadian penyakit dengan memperhatikan kondisi lokal.
Tugas pemberantasan penyakit ISPA merupakan tanggung jawab bersama. Kepala Puskesmas bertanggung jawab bagi keberhasilan pemberantasan di wilayah kerjanya.
Dokter puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut :
• Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai dengan dana atau sarana dan
tenaga yang tersedia.
• Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan standar kasus
-kasus ISPA kepada perawat atau paramedis.•
Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus-kasus pneumonia berat / penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh perawat / paramedis dan merujuknya ke rumah sakit bila dianggap perlu.• Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa dirujuk ke
rumah sakit.• Bersama dengan staf puskesmas memberikan penyuluhan kepada ibu
-ibu yang mempunyai anak balita perihal pengenalan tanda-tanda penyakit pneumonia serta tindakan penunjang di rumah,• Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang d
iberi wewenang mengobati penderita penyakit ISPA,• Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat memberikan
penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyakit ISPA,
•
Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi keberhasilan pemberantasan penyakit ISPA.•
Mendeteksi hambatan yang ada serta menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan pelaporan serta pencapaian target.Paramedis Puskesmas Puskesmas pembantu mempunyai tugas sebagai berikut:
• Melakukan penatalaksanaan
standar kasus-kasus ISPA sesuai petunjuk yang ada.• Melakukan konsultasi kepada dokter Puskesmas untuk kasus
-kasus ISPA tertentu seperti pneumonia berat, penderita dengan wheezing dan stridor .• Bersama dokter atau dibawah
petunjuk dokter melatih kader.•
Memberi penyuluhan terutama kepada ibu-ibu.• Melakukan tugas
-tugas lain yang diberikan oleh pimpinan Puskesmas sehubungan dengan pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA.Kader kesehatan mempunyai tugas sebagai berikut:
• Dilatih untuk
bisa membedakan kasus pneumonia (pneumonia berat dan pneumonia tidak berat) dari kasus-kasus bukan pneumonia.• Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk pilek biasa (bukan
pneumonia) serta penyakit pneumonia kepada ibu-ibu serta perihal tindakan yang perlu dilakukan oleh ibu yang anaknya menderita penyakit
• Merujuk kasus pneumonia berat ke Puskesmas /
rumah sakit terdekat.• Mencatat kasus yang ditolong dan dirujuk
(6)2.3 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam bahasa Inggris yaitu Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu manajemen melalui pendekatan terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit yang datang di pelayanan kesehatan, baik mengenai beberapa klasifikasi penyakit, status gizi, status imunisasi maupun penanganan balita sakit tersebut dan konseling yang diberikan (Surjono et al, ; Wijaya, 2009; Depkes RI, 2008). Materi MTBS terdiri dari langkah penilaian, klasifikasi penyakit, identifikasi tindakan, pengobatan, konseling, perawatan di rumah dan kapan kembali untuk tindak lanjut. MTBS bukan merupakan
suatu program kesehatan tetapi suatu pendekatan/cara menatalaksana balita sakit. Sasaran MTBS adalah anak umur 0-5 tahun dan dibagi menjadi dua kelompok sasaran yaitu kelompok usia 1 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2008). Kegiatan MTBS merupakan upaya yang ditujukan untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar seperti puskesmas. World Health Organization (WHO) telah mengakui bahwa pendekatan MTBS sangat cocok diterapkan negara-negara berkembang dalam upaya menurunkan kematian, kesakitan dan kecacatan pada bayi dan balita. MTBS telah digunakan di lebih dari 100 negara dan terbukti dapat:
1. Menurunkan angka kematian balita,
2. Memperbaiki status gizi,
3. Meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan,
4. Memperbaiki kinerja petugas kesehatan,
5. Memperbaiki kualitas pelayanan dengan biaya lebih murah.
Materi MTBS terdiri dari langkah penilaian, klasifikasi penyakit, identifikasi tindakan, pengobatan, konseling, perawatan di rumah dan kapan kembali. Bagan penilaian anak sakit terdiri dari petunjuk langkah untuk mencari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi dalam MTBS merupakan suatu keputusan penilaian untuk penggolongan derajat keparahan penyakit. Klasifikasi bukan merupakan diagnosis penyakit yang spesifik. Setiap klasifikasi penyakit mempunyai nilai suatu tindakan sesuai dengan klasifikasi tersebut. Tiap klasifikasi mempunyai warna dasar, yaitu merah (penanganan segera atau perlu dirujuk), kuning (pengobatan spesifik di pelayanan kesehatan), dan hijau (perawatan di rumah) sesuai dengan urutan
keparahan penyakit (Depkes RI, 2008; Surjono, et al, 1998). Tiap klasifikasi menentukan karakteristik pengelolaan balita sakit. Bagan pengobatan terdiri dari petunjuk cara komunikasi yang baik dan efektif dengan ibu untuk memberikan obat dan dosis pemberian obat, baik yang harus diberikan di klinik maupun obat yang harus diteruskan di rumah. Alur konseling merupakan nasihat perawatan termasuk pemberian makan dan cairan di rumah dan nasihat kapan harus kembali segera
Gambar 1. Alur Bagan Pendekatan MTBS
Kegiatan MTBS memiliki 3 komponen khas yang menguntungkan, yaitu:
Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita
sakit (selain dokter, petugas kesehatan non-dokter dapat pula memeriksa dan menangani pasien apabila sudah dilatih);
Memperbaiki sistem kesehatan (perwujudan terintegrasinya banyak program
kesehatan dalam 1 kali pemeriksaan MTBS);
Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan
upaya pencarian pertolongan kasus balita sakit (meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan).
Berikut ini gambaran singkat penanganan balita sakit memakai pendekatan MTBS. Seorang balita sakit dapat ditangani dengan pendekatan MTBS oleh petugas kesehatan yang telah dilatih. Petugas memakai tool yang disebut Algoritma MTBS untuk melakukan penilaian/pemeriksaan dengan cara: menanyakan kepada orang tua/wali, apa saja keluhan-keluhan/masalah anak kemudian memeriksa dengan cara 'lihat dan dengar' atau 'lihat dan raba'. Setelah itu petugas akan mengklasifikasikan semua gejala berdasarkan hasil tanya-jawab dan pemeriksaan. Berdasarkan hasil klasifikasi, petugas akan menentukan jenis tindakan/pengobatan, misalnya anak dengan klasifikasi pneumonia berat atau penyakit sangat berat akan dirujuk ke dokter puskesmas, anak yang imunisasinya belum lengkap akan dilengkapi, anak dengan
masalah gizi akan dirujuk ke ruang konsultasi gizi, dst.
Di bawah ini adalah gambaran pendekatan MTBS yang sistematis dan terintegrasi tentang hal-hal yang diperiksa pada pemeriksaan. Ketika anak sakit datang ke ruang pemeriksaan, petugas kesehatan akan menanyakan kepada orang tua/wali secara berurutan, dimulai dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum seperti:
Apakah anak bisa minum/menyusu?
Apakah anak selalu memuntahkan semuanya? Apakah anak menderita kejang?
Kemudian petugas akan melihat/memeriksa apakah anak tampak letargis/tidak sadar? Setelah itu petugas kesehatan akan menanyakan keluhan utama lain:
Apakah anak menderita batuk atau sukar bernafas? Apakah anak menderita diare?
Apakah anak demam?
Apakah anak mempunyai masalah telinga? Memeriksa status gizi
Memeriksa anemia
Memeriksa status imunisasi Memeriksa pemberian vitamin A
Menilai masalah/keluhan-keluhan lain (Depkes RI, 2008)
Berdasarkan hasil penilaian hal-hal tersebut di atas, petugas akan mengklasifikasi keluhan/penyakit anak, setelah itu melakukan langkah-langkah tindakan/ pengobatan yang telah ditetapkan dalam penilaian/ klasifikasi. Tindakan yang dilakukan antara lain:
Mengajari ibu cara pemberian obat oral di rumah; Mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah;
Menjelaskan kepada ibu tentang aturan-aturan perawatan anak sakit di
rumah, misal aturan penanganan diare di rumah;
Memberikan konseling bagi ibu, misal: anjuran pemberian makanan selama
anak sakit maupun dalam keadaan sehat;
Menasihati ibu kapan harus kembali kepada petugas kesehatan, dan lain-lain.
Selain itu di dalam MTBS terdapat penilaian dan klasifikasi bagi Bayi Muda berusia kurang dari 2 bulan, yang disebut juga Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM). Penilaian dan klasifikasi bayi muda di dalam MTBM terdiri dari:
Menilai dan mengklasifikasikan untuk kemungkinan penyakit sangat berat
atau infeksi bakteri;
Menilai dan mengklasifikasikan diare; Memeriksa dan mengklasifikasikan ikterus;
Memeriksa dan mengklasifikasikan kemungkinan berat badan rendah dan
atau masalah pemberian Air Susu Ibu (ASI). Di sini diuraikan secara terperinci cara mengajari ibu tentang cara meningkatkan produksi ASI, cara menyusui yang baik, mengatasi masalah pemberian ASI secara sistematis dan terperinci, cara merawat tali pusat, menjelaskan kepada ibu tentang jadwal imunisasi pada bayi kurang dari 2 bulan, menasihati ibu cara memberikan cairan tambahan pada waktu bayinya sakit, kapan harus kunjungan ulang, dll;
Memeriksa status penyuntikan vitamin K1 dan imunisasi; Memeriksa masalah dan keluhan lain.
2.4 Pengetahuan dan Perilaku 2.4.1 Pengetahuan
a) Definisi pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari. Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief ). Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian, pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Dalam kamus filsafat, dijelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memilliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya
sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketehui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.9
b) Tingkat pengetahuan
Notoatmodjo mengemukakan yang dicakup dalam domain kognitif yang mempunyai enam tingkatan, pengetahuan mempunyai tingkatan sebagai berikut: 1. Tahu ( Know): Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah
dipelajari, dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Cara kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan dan mengatakan.9
2. Memahami (Comprehension): Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.9
3. Aplikasi ( Application): Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai pengguna hukum-hukum, rumus, metode, prinsip-prinsip dan sebagainya.9
4. Analisis ( Analysis): Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam suatu komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti kata kerja mengelompokkan, menggambarkan,
memisahkan.9
5. Sintesis (Synthesis): Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.9
6. Evaluasi ( Evaluation): Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek tersebut berdasarkan suatu cerita yang sudah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang sudah ada.9
c) Pengukuran pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalamam pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan berikut: 9
2. Tingkat pengetahuan cukup bila skor 60%-75% 3. Tingkat pengetahuan kurang bila skor < 60%
2.4.2 Perilaku
a) Definisi perilaku
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Robert Kwick (1974), perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Menurut ensiklopedia Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua
yaitu:
1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.10
2.5 Siklus Pemecahan Masalah
Gambar 2. Diagram Analisis Masalah
Penentuan Penyebab Masalah Memilih Penyebab Yang Paling Mungkin Menentukan Alternatif Pemecahan Masalah Penetapan Pemecahan Masalah Terpilih Penyusunan Rencana Penerapan Monitoring Dan Evaluasi Identifikasi Masalah
Urutan dalam siklus pemecahan masalah antara lain: 1. Identifikasi / inventarisasi masalah
Menetapkan keadaan spesifik yang diharapkan, yang ingin dicapai, menetapkan indikator tertentu sebagai dasar pengukuran kinerja, misalnya SPM. Kemudian mempelajari keadaan yang terjadi dengan menghitung atau mengukur hasil pencapaian. Yang terakhir membandingkan antara keadaan nyata yang terjadi, dengan
keadaan tertentu yang diinginkan atau indikator tertentu yang sudah ditetapkan.11 2. Penentuan prioritas masalah
Penyusunan peringkat masalah lebih baik dilakukan oleh banyak orang daripada satu orang saja. Beberapa metode yang dapat digunakan antara lain: Hanlon, Delbeq, CARL, Pareto, dll.11
3. Penentuan penyebab masalah
Penentuan penyebab masalah digali berdasarkan data atau kepustakaan dengan curah pendapat. Penentuan penyebab masalah hendaknya jangan menyimpang dari masalah
tersebut. Penentuan penyebab masalah dilakukan dengan menggunakan fishbone. 11 4. Memilih penyebab yang paling mungkin
Penyebab masalah yang paling mungkin harus dipilih dari sebab-sebab yang didukung oleh data atau konfirmasi. 11
5. Menentukan alternatif pemecahan masalah
Seringkali pemecahan masalah dapat dilakukan dengan mudah dari penyebab yang sudah diidentifikasi. Jika penyebab sudah jelas maka dapat langsung pada alternatif pemecahan masalah. 11
6. Penetapan pemecahan masalah terpilih
Setelah alternatif pemecahan masalah ditentukan, maka dilakukan pemilihan pemecahan terpilih.Apabila diketemukan beberapa alternatif maka digunakan Hanlon
kualitatif untuk menentukan/memilih pemecahan terbaik. 11 7. Penyusunan rencana penerapan
Rencana penerapan pemecahan masalah dibuat dalam bentuk POA ( Plan of Action atau Rencana Kegiatan). 11
8. Monitoring dan evaluasi
Ada dua segi pemantauan yaitu apakah kegiatan penerapan pemecahan masalah yang sedang dilaksanakan sudah diterapkan dengan baik dan menyangkut masalah itu sendiri, apakah permasalahan sudah dapat dipecahkan.11
2.6 Analisis Penyebab Masalah
Dalam menganalisis masalah digunakan metode pendekatan sistem untuk mencari kemungkinan penyebab dan menyusun pendekatan-pendekatan masalah, dari pendekatan sistern ini dapat ditelusuri hal-hal yang mungkin menyebabkan munculnya permasalahan rendahnya cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai standar) di Puskesmas Muntilan 1, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Adapun sistern yang diutarakan disini adalah sistern terbuka pelayanan kesehatan yang dijabarkan sebagai berikut11 :
Gambar 3. Analisis Pemecahan Masalah Dengan Pendekatan Sistem
Masalah yang timbul terdapat pada output dimana hasil kegiatan tidak sesuai standar minimal. Hal yang penting pada upaya pemecahan masalah adalah kegiatan dalam rangka pemecahan masalah harus sesuai dengan penyebab masalah tersebut, berdasarkan pendekatan sistern masalah dapat terjadi pada input, lingkungan maupun proses.11
2.7 Penentuan Prioritas Pemecahan Masalah dengan Kriteria Matriks MxIxV/C
Setelah prioritas masalah didapatkan, langkah selnjutnya adalah penentuan prioritas pemecahan masalah dengan kriteria matriks dengan umus seperti di bawah ini11:
Keterangan:
Magnitude (m)
Artinya besarnya penyebab masalah yang dapat diselesaikan, semakin besar atau banyak penyebab masalah dapat diselesaikan maka akan semakin efektif.
M x I x V C
Importancy (i)
Artinya pentingnya penyelesaian masalah, semakin penting cara penyelesaian dalam mengatasi penyebab masalah maka akan semakin efektif.
Vunerability (v)
Artinya sensitifitas cara penyelesaian masalah, semakin sensitive maka akan semakin efektif.
Skor untuk (magnitude, importancy dan vunerability): 1. Sangat kurang efektif
2. Kurang efektif 3. Cukup efektif 4. Efektif 5. Sangat efektif Cost (c) Artinya biaya. Skor untuk (cost):
1. Bila biaya atau sumber daya yang digunakan semakin kecil. 2. Bila biaya atau sumber daya yang digunakan kurang besar 3. Bila biaya atau sumber daya yang digunakan cukup besar 4. Bila biaya atau sumber daya yang digunakan besar
Bila biaya atau sumber daya yang digunakan semakin atau sangat besar.
2.8 Pembuatan Plan of Action dan Gantt Chart
Setelah melakukan penentuan pemecahan masalah maka selanjutnya dilakukan pembuatan plan of action serta Gantt Chart, hal ini bertujuan untuk menentukan perncanaan
BAB III
ANALISIS MASALAH
Tabel 3. Data SPM Puskesmas Muntilan 1 Periode Januari - J uni 2017
P2 ISPA Target dinkes Kab. Magelang 2015 Sasaran 1 tahun Sasaran bulan berjalan
Hasil % Cakupan Pencapaian
Cakupan balita dengan pneumonia yang ditemukan/ditangani (sesuai standar) 70% 147 74 9 12,23% 17,47%
Hasil cakupan balita dengan pneumonia yang ditemukan/ditangani (sesuai standar) di Puskesmas Muntilan 1, Kabupaten Magelang
Besar sasaran = 5,12% x 10% x jumlah penduduk = 5,12% x 10% x 28.744
= 147
Dalam perhitungan hasil pencapaian cakupan balita dengan pneumonia yang ditemukan/ditangani (sesuai standar) di Puskesmas Muntilan 1, maka perlu ditentukan terlebih dahulu persentase cakupannya dengan rumus:
Cakupan% = Hasil Kegiatan x 100 %
Sasaran Berjalan
= Hasil Kegiatan ( Januari
–
Juni 2017) x 100 % Sasaran Berjalan= 9 x 100 % 74
= 12,23%
= 12,23%
Kemudian setelah didapatkan cakupan (%) dihitung persentase pencapaian Kemudian setelah didapatkan cakupan (%) dihitung persentase pencapaian indikator kinerja tersebut dengan menggunakan rumus:
indikator kinerja tersebut dengan menggunakan rumus: Pencapaian
Pencapaian = = Cakupan Cakupan (%) (%) x x 100%100% Target Target = 12,23% x 100% = 12,23% x 100% 70% 70% = 17,47% = 17,47%
Dari hasil perhitungan pencapaian program P2 ISPA cakupan balita dengan Dari hasil perhitungan pencapaian program P2 ISPA cakupan balita dengan pneumonia
pneumonia yang yang ditemukan/ditangani ditemukan/ditangani (sesuai (sesuai standar) standar) periode periode JanuariJanuari
–
–
Juni 2017 Juni 2017 didapatkan hasil sebesar 17,47%. Hasil tersebut belum memenuhi target Dinas Kesehatan didapatkan hasil sebesar 17,47%. Hasil tersebut belum memenuhi target Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang sebesar 70%. Kurangnya pencapaian tersebut merupakan suatu Kabupaten Magelang sebesar 70%. Kurangnya pencapaian tersebut merupakan suatu masalah yang harus dicari penyebab dan upaya penyelesaiannya.masalah yang harus dicari penyebab dan upaya penyelesaiannya. Tabel 4. Jumlah IS
Tabel 4. Jumlah ISPA di PA di Desa Wilayah Kerja Puskesmas Muntilan Desa Wilayah Kerja Puskesmas Muntilan 1 Januari1 Januari
–
–
Juni 2017 Juni 2017 No.No. Desa Desa ISPA Pneumonia ISPA Pneumonia ISPA non-Pneumonia ISPA non-Pneumonia Jumlah BalitaJumlah Balita
1 1 ADIKARTO ADIKARTO - - 52 52 246246 2 2 TANJUNG TANJUNG - - 48 48 160160 3 3 SOKORINI SOKORINI 1 1 153 153 369369 4 4 SRIWEDARI SRIWEDARI 1 1 112 112 266266 5 5 NGAWEN NGAWEN 1 1 106 106 283283 6 6 CONGKRANG CONGKRANG 2 2 56 56 240240 7 7 MENAYU MENAYU 2 2 34 34 218218 8 8 KEJI KEJI 2 2 86 86 490490
27 27 BAB IV BAB IV KERANGKA TEORI KERANGKA TEORI 4.1
4.1 Kerangka Kerangka TeoriTeori
Gambar 4. Kerangka Teori Gambar 4. Kerangka Teori INPUT
INPUT Man : Man :
Koordinator program P2ISPA Koordinator program P2ISPA Dokter, perawat, bidan Dokter, perawat, bidan Money :
Money : Dana Operasional Dana Operasional Puskesmas
Puskesmas Method :
Method : Pasien balita dibawa ke Pasien balita dibawa ke ruangan MTBS dan akan diperiksa ruangan MTBS dan akan diperiksa oleh bidan
oleh bidan
Terdapatnya SOP mengenai Terdapatnya SOP mengenai pneumonia
pneumonia Material :
Material : ruang Manajemen ruang Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan Balai Pengobatan Umum serta 59 Balai Pengobatan Umum serta 59 Posyandu yang tersebar di 8 desa Posyandu yang tersebar di 8 desa Machine :
Machine : stetoskop, termometer, stetoskop, termometer, ARI
ARI (Acute Respiratoryt Infection)(Acute Respiratoryt Infection) Timer, media promosi (poster, Timer, media promosi (poster, brosur)
brosur)
PROSES PROSES P1 :
P1 : Perencanaan dan penjadwalan Perencanaan dan penjadwalan pemeriksaan di MTBS puskesmas dan pemeriksaan di MTBS puskesmas dan posyandu, perencanaan penyuluhan posyandu, perencanaan penyuluhan
P2 :
P2 : Pelaksanaan program P2ISPA di Pelaksanaan program P2ISPA di MTBS dan di Balai Pengobatan Umum MTBS dan di Balai Pengobatan Umum sesuai SOP
sesuai SOP
Pelaksanaan posyandu dengan Pelaksanaan posyandu dengan koordinasi perangkat dusun dan kader koordinasi perangkat dusun dan kader Pelaksanaan penyuluhan
Pelaksanaan penyuluhan P3 :
P3 : Pencatatan dan pelaporan kasus Pencatatan dan pelaporan kasus neumonia oleh koordinator P2ISPA neumonia oleh koordinator P2ISPA
CAKUPAN BALITA CAKUPAN BALITA DENGAN DENGAN PNEUMONIA YANG PNEUMONIA YANG DITEMUKAN DITEMUKAN LINGKUNGAN LINGKUNGAN
Pengetahuan masyarakat tentang penyakit pneumonia Pengetahuan masyarakat tentang penyakit pneumonia
Perilaku berobat masyarakat untuk pergi ke pelayanan Perilaku berobat masyarakat untuk pergi ke pelayanan kesehatan
kesehatan
4.2
4.2 Kerangka Kerangka PenelitianPenelitian
Faktor dokter, perawat: tingkat Faktor dokter, perawat: tingkat kepatuhan terhadap SOP
kepatuhan terhadap SOP
Faktor lingkungan : Pengetahuan Faktor lingkungan : Pengetahuan pasien ISPA Pneumonia dan pasien ISPA Pneumonia dan perilaku tentang batuk
perilaku tentang batuk
Faktor koordinator ISPA, kader Faktor koordinator ISPA, kader desa, dan bidan desa: perencanaan, desa, dan bidan desa: perencanaan, penemuan, pencatatan dan pelaporan penemuan, pencatatan dan pelaporan
Cakupan balita dengan Cakupan balita dengan
pneumonia yang pneumonia yang ditemukan/ditangani (sesuai ditemukan/ditangani (sesuai standar) standar)
4.2
4.2 Kerangka Kerangka PenelitianPenelitian
Gambar 5. Kerangka Konsep Gambar 5. Kerangka Konsep Faktor dokter, perawat: tingkat
Faktor dokter, perawat: tingkat kepatuhan terhadap SOP
kepatuhan terhadap SOP
Faktor lingkungan : Pengetahuan Faktor lingkungan : Pengetahuan pasien ISPA Pneumonia dan pasien ISPA Pneumonia dan perilaku tentang batuk
perilaku tentang batuk
Faktor koordinator ISPA, kader Faktor koordinator ISPA, kader desa, dan bidan desa: perencanaan, desa, dan bidan desa: perencanaan, penemuan, pencatatan dan pelaporan penemuan, pencatatan dan pelaporan
Cakupan balita dengan Cakupan balita dengan
pneumonia yang pneumonia yang ditemukan/ditangani (sesuai ditemukan/ditangani (sesuai standar) standar)
BAB V
METODE PENELITIAN
5.1 Jenis Data yang Diambil
Pengumpulan data dilakukan pada Januari - Juni 2017. Jenis data yang diambil adalah:
a. Data primer diperoleh pertama melalui daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disusun sebelumnya sesuai tujuan survei yang dilakukan. Kemudian pertanyaan tersebut ditujukan kepada 12 responden yang mempunyai balita di Desa Menayu, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Data primer juga diambil dari hasil wawancara terhadap Kepala Desa, Bidan Desa dan Kader Desa. Kedua, data diambil dari tingkat kepatuhan dokter, petugas MTBS dalam SOP, dan petugas di PKD.
b. Data sekunder diperoleh dari laporan Standar Pelayanan Minimal yang ada di petugas koordinator ISPA Puskesmas Muntilan 1.
5.2 Batasan Judul
Pada wilayah Puskesmas Muntilan 1 periode Januari
–
Juni 2017 didapatkan cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai standar) di kecamatan Muntilan sebanyak 9 pasien dengan cakupan 12,23% dari target yang seharusnya 70% sehingga didapatkan pencapaian 17,74%. Oleh karena itu, penulis memilih judul “Rencana
Peningkatan Cakupan Balita dengan Pneumoni yang Ditemukan/Ditangani (sesuai standar) di Puskesmas Muntilan 1, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang” mempunyai batasan
pengertian judul sebagai berikut :a. Rencana
Kerangka sesuatu yang akan dikerjakan. b. Peningkatan
Usaha memajukan suatu rencana. c. Cakupan
Cakupan adalah merupakan suatu total hasil kegiatan yang dilakukan perbulan yang kemudian dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan.
d. Pasien ISPA Pneumonia
Pasien ISPA Pneumonia adalah pasien yang telah didiagnosa penyakit pneumonia. e. Puskesmas Muntilan 1
Puskesman Muntilan 1 adalah puskesmas di kecamatan Muntilan di Kabupaten Magelang.
f. Kabupaten Magelang
Kabupaten Magelang adalah salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah.
g. Evaluasi
Evaluasi adalah proses penilaian yang sistematis mencakup pemberian nilai, atribut, apresiasi, dan pengenalan permasalahan serta pemberian solusi-solusi atas permasalahan yang ditemukan.
h. Manajemen
Manajeman adalah penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran.
i. Program
Program adalah rancangan mengenai asas serta usaha yang akan dijalankan. j. Periode Januari
–
Juni 2017Periode Januari
–
Juni 2017 adalah periode waktu yang digunakan untuk melakukan evaluasi mengenai cakupan balita dengan pneumonia yang ditemukan/ditangani (sesuai standar).5.3 Definisi Operasional
1. Penemuan penderita pneumonia balita adalah balita dengan pneumonia yang ditemukan dan diberikan tatalaksana sesuai standar di sarana kesehatan di satu wilayah dalam waktu satu tahun.
2. Pneumonia pada balita ditangani adalah penemuan dan tatalaksana penderita pneumonia yang mendapat antibiotic sesuai standar atau pneumonia berat dirujuk
ke RS di satu wilayah pada kurun waktu tertentu.
3. Program P2 ISPA adalah salah satu program yang ada di Puskesmas tentang Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang dibagi dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan bukan pneumonia.
4. Standard Operating Procedures (SOP) adalah serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan administrasi serta bagaimana, kapan harus dilakukan, dimana dan oleh tenaga kesehatan Puskesmas
Muntilan 1 dalam penjaringan balita ISPA Pneumonia dan non-pneumonia.
5. Tingkat kepatuhan terhadap SOP adalah perilaku tenaga kesehatan dalam menjalankan SOP yang ada. Tingkat kepatuhan tenaga kesehatan terhadap SOP diukur dengan menggunakan ceklist terhadap SOP, dianggap tingkat kepatuhan baik apabila > 80%.
Tingkat Kepatuhan
=
Ʃ Ya
x100%Ʃ Ya + Ʃ Tidak
Tingkat kepatuhan yang baik adalah >80%.
6. Sasaran adalah perkiraan kasus pneumonia pada Balita di Puskesmas Muntilan 1 (5,12% x 10% x jumlah penduduk).
7. Cakupan adalah presentase hasil perbandingan antara jumlah Balita dengan pneumonia yang ditemukan atau ditangani sesuai standar dengan jumlah perkiraan kasus pneumonia pada balita di Puskesmas Tempuran Kabupaten Magelang (5,12% x 10% x jumlah penduduk).
8. Pencapaian adalah cakupan dibandingkan dengan target dinkes dikalikan 100 persen.
9. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Menurut Notoadmojo (2003) kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat dikategorikan sebagai berikut
- Tingkat pengetahuan baik bila skor 75-100 % - Tingkat pengetahuan cukup bila skor 60-75 % - Tingkat pengetahuan kurang bila skor <60 %
10. Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan atau sikap, tidak saja badan atau ucapan, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.
5.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup pengkajian yang dilakukan meliputi :
a. Lingkup lokasi : Wilayah kerja Puskesmas Muntilan 1, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang
b. Lingkup waktu : Januari
–
Juni 2017c. Lingkup sasaran : Perkiraan kasus pneumonia pada Balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas Muntilan 1, Kabupaten Magelang.
d. Lingkup metode : Pengamatan, wawancara, kuesioner dan pencatatan.
e. Lingkup materi :Evaluasi Cakupan Balita dengan Pneumoni yang Ditemukan/Ditangani (sesuai standar) di Wilayah Puskesmas Muntilan 1, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang.
5.5 Batasan Masalah
Batasan masalah ditujukan untuk mempermudah pemahaman agar lebih terarah, jelas dan tidak menyimpang dari permasalahan yang ada. Maka dalam hal ini hanya dibatasi mengenai tinjauan belum tercapainya target cakupan balita dengan pneumoni yang ditemukan/ditangani (sesuai standar) di Desa Menayu, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang periode Januari
–
Juni 2017.
5.6 Kriteria Inklusi
Dokter, perawat, dan bidan yang ada di MTBS dan Balai Pengobatan Umum di
Puskesmas Muntilan 1.
Ibu yang mempunyai Balita yang menderita ISPA selama 5 bulan terakhir yang
bertempat tinggal di Dusun Jambeyan, Desa Menayu, yang bersedia diwawancarai.
5.7 Kriteria Eksklusi
Ibu yang mempunyai balita yang pernah menderita ISPA di luar jangka waktu
5 bulan terakhir, yang bertempat tinggal di Dusun Jambeyan, Desa Menayu.
Ibu yang mempunyai balita yang menderita ISPA selama 5 bulan terakhir yang
bertempat tinggal di dusun Jambeyan, desa Menayu, yang tidak bersedia diwawancarai.
BAB VI
HASIL PENELITIAN
6.1 Keadaan Geografi dan Lingkungan 6.1.1 Keadaan Geografi
a. Batas-batas Wilayah Puskesmas Muntilan I adalah : Utara : Wilayah Kerja Puskesmas Muntilan II
Selatan : Kecamatan Borobudur dan Kab Kulon Progo Barat : Kecamatan Mungkid
Timur : Kecamatan Salam dan Kecamatan Ngluwar
b. Luas Wilayah Kerja
Wilayah kerja Puskesmas Rawat Jalan Muntilan I secara administratif terdiri dari 8 desa dari keseluruhan 14 desa yang ada di Kecamatan Muntilan dengan luas wilayah kerja Puskesmas Muntilan I adalah seluas 14,41 km2