BAB II BAB II
TINJAUAN TEORITIS TINJAUAN TEORITIS
2.1
2.1 Populasi RentanPopulasi Rentan
Populasi berasal dari bahasa latin yaitu populous (rakyat, berarti Populasi berasal dari bahasa latin yaitu populous (rakyat, berarti penduduk).
penduduk). Jadi, Jadi, populasi populasi adalah adalah Kumpulan Kumpulan individu individu sejenis sejenis yang yang hiduphidup pada suatu daerah dan waktu tertentu.
pada suatu daerah dan waktu tertentu.
Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan
peraturan perundang-undangan, perundang-undangan, seperti seperti tercantum tercantum dalam dalam Pasal Pasal 5 5 ayat ayat (3)(3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan
perlakuan dan dan perlindungan perlindungan lebih lebih berkenaan berkenaan dengan dengan kekhususannya.kekhususannya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut
menurut Human Human Rights Rights ReferenceReference disebutkan, bahwa yang tergolong ke disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:
dalam Kelompok Rentan adalah: a.
a. Refugees Refugees (pengungsi)(pengungsi) b.
b. Internally Displaced Persons (IDPs) Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)(orang orang yang terlantar) c.
c. National Minoritie National Minoritie (kelompok minoritas)(kelompok minoritas) d.
d. Migrant Workers Migrant Workers (pekerja migran )(pekerja migran ) e.
e. Indigenous Indigenous PeoplesPeoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat(orang pribumi/penduduk asli dari tempat pemukimannya)
pemukimannya) f.
f. ChildrenChildren (anak)(anak) g.
g. WomenWomen (wanita)(wanita)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku
berlaku umum umum bagi bagi suatu suatu masyarakat masyarakat yang yang berperadaban. berperadaban. Jadi Jadi kelompokkelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan
perlindungan dari dari pemerintah pemerintah karena karena kondisi kondisi sosial sosial yang yang sedang sedang merekamereka hadapi.
2.2 Tunawisma/ Gelandangan/ Terlantar a. Definisi
Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki tempat tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur. Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga.
Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan masyarakat seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa dari mereka menjadi tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan sistem pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang.
b. Faktor Penyebab Munculnya Tunawisma 1) Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa seseorang menjadi gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal yang layak, serta menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya dalam garis kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik dengan pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma untuk tetap bertahan hidup.Selain itu anak dari keluarga miskin menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan karena kondisi kemiskinan yang menyebabkan mereka kerap kali kurang terlindung. 2) Rendah Tingginya Pendidikan
Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap
persaingan didunia kerja. Seseorang dengan pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak. Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk
memperoleh pekerjaan yang layak. 3) Keluarga
Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang lebih daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga yang tidak harmonis atau anak dengan keluarga broken home membuat mereka merasa kurang perhatian,kemyamanan
dan ketenangan sehingga mereka cenderung mencari kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari orang lain.
4) Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka untuk bertahan hidup.
5) Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi tunawisma untuk dapat bertahan hidup. Menurut Kolle (Riskawati dan Syani, 2012) kondisi kesejahteraan seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya seperti kesehatan. 6) Rendahnya Keterampilan
Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan seseorang dapat memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali salah satunya melalui pendidikan serta membutuhkan modal pendukung untuk dikembangkan. Hal inilah yang menjadi penghambat seseorang dalam mengembangkan ketrampilan yang dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang membuat
seseorang memilih menjadi tunawisma untuk bertahan hidup. Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
7) Masalah Sosial Budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang menjadi gelandangan dan pengemis. Antara lain:
a. Rendahnya harga diri
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan mereka tidak memiliki rasa malu untk meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri bukanlah sesuatu yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tunawisma
yang berusia produktif. b. Sikap pasrah pada nasib
Mereka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakuan perubahan.
c. Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang 8) Faktor Lingkungan
Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari uang untuk
membantu suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan yang sama, terlebih lagi melihat penghasilan yang didapatkan lumayan untuk emmenuhi kebutuhan hidup.
9) Letak Geografis
Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan membuat masyarakat harus meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain. Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota lebih memperburuk keadaan. Tidak adanya
potensi yang alam sedia untuk diolah membuat masyarakat tersebut semakin masuk dalam garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi gelandangan. Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan hidupnya sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta
10) Lemahnya penangan masalah gelandangan dan pengemis
Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh pemerintah hanya setengah hati. Selama ini penanganan yang telah nyata dilakukan adalah razia, rehabilitasi dalam panti sosial, kemudian setelah itu dipulangkan ketempat asalnya. Pada kenyataannnnya, penanganan ini tidak menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu saat mereka akan kembali lagi menjadi gelandangan dan pengemis. pada proses penanganan hal yang dilakukan adalah setelah dirazia mereka dibawa kepanti sosial untuk mendapat binaan, bagi yang sakit dan yang berusia renta akan tetap tinggal di panti sosial sedangkan yang lainnya akan dipulangkan. Proses ini dirasakan terlalu mudah dan enak bagi gelandangan dan pengemis sehingga ia tidak perlu takut apabila terjaring razia lagi. hal inilah yang membuat mereka terus mengulang kegiatan yang sama yakni menjadi gelandangan dan pengemis.
c. Faktor Perilaku Dan Psikososial Yang Menyebabkan Masalah Kesehatan Pada Tunawisma
1) Kemiskinan, antara lain mengakibatkan:
a) Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
b) Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak layak
c) Tidak mendapatkan pelayanan yang baik 2) Gender
Adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi sosial mempengaruhi tingkat kesehatan, dan karena peran
jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
3) Pendidikan yang rendah
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap
sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh pula terhadap pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang memadai seseorang dapat mencari liang, merawat diri sendiri, dan ikut serta dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan masyarakat.
4) Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan yang menganggap kalau belum menikah di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut kepada suaminya. Ini berarti wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi pada saat persalinan. Di samping itu resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20 tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik
dalam ekonomi dan pengambilan keputusan. 5) Seks bebas
Dari perilaku seksual usia dini Anak jalanan perempuan, yang mulai seks bebas yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahun dan ada yang melakukan dengan saudaranya sendiri. Hal ini
menyebabkan anak jalanan rentan terhadap penyakit kelamin misalnya HIV atau AIDS.
6) Penggunaan Drugs
Anak jalanan perempuan rela melakukan hal apapun ( merampas, mencuri, membeli, hubungan seks) yang penting bisa mendapatkan uang untuk membeli minuman keras, pil dan zat aditif lainnya. Mereka menggunakan itu karena ingin menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan. (P. Agus. A., 2015) 7) Eksploitasi Seksual
Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan sangat rentan terhadap eksploitasi khususnya eksploitasi seksual seperti pelecehan, penganiyaan secara seksual, pemerkosaan, penjerumusan anak dalam prostitusi dan adanya indikasi perdagangan
anak keluar daerah khususnya Riau dan Batam.
d. Masalah Kesehatan Pada Tunawisma 1. Gangguan Fisik Akut
Pada umumnya tunawisma akan mengalami gangguan fisik akut seperti:
No Gangguan fisik akut Gangguan fisik kronik
1. ISPA (infeks sistem pernfasan atas) Kecanduan alkohol dan zat lain 2. Trauma-cedera ringan hingga berat Hipertensi
3. Penyakit kulit Gangguan pencernaan
4. TBC Gangguan sistem saraf tepi
5. Terserng kutu dan tungau Masalah gigi 6. Gizi buruk/ kekurangan gizi Diabetes melitus
7. - HIV/AIDS
2. Masalah Kesehatan pada Tunawisma Anak-Anak
Selain masalah kesehatan fisik, masalah lain juga banyak timbul seperti :
1) Kegelisahan
3) Masalah bahasa dan berbicara 4) Penyakit pernafasan atas dan asma 5) Infeksi telinga
6) Gangguan pencernaan/mata 7) Trauma
8) Terserang kutu rambut
3. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan 1) Perawatan pre-natal yang kurang baik
2) Kurang nutrisi
3) Komplikasi kehamilan 4. Masalah kesehatan mental
1) Skizofrenia
2) Gangguan bipolar 3) Depresi
4) Gangguan kecemasan dan kepribadian antisosial 5) Kepribadian yang kacau
e. Peran Perawat Di Area Homeless (Tunawisma) 1) Perawat sebagai pemberi perawatan
Para tunawisma biasanya banyak mengalami kurang perhatian dari orang tua dan lingkungan. Alhasil banyak masalah yang terjadi pada tunawisma baik dari segi kesehatan fisik, psikologis dan sosial. Peran perawat disini adalah memberikan asuhan keperawatan kepada mereka yang mengalami masalah kesehatan secara holistik atau menyeluruh.
2) Perawat sebagai pendidik
Salah satu faktor penyebab dari tunawisma adalah rendahnya pendidikan mereka yang membuat mereka menjadi miskin. Oleh karena itu, perawat menjelaskan kepada mereka informasi seputar kesehatan dan menanamkan gaya hidup sehat. Diharapkan para tunawisma tersebut dapat merubah perilaku mereka untuk mencapai tingkat kesehatan yang maksimal.
Perawat memonitoring perubahan-perubahan yang terjadi pada tunawisma. Bentuk monitoring dapat berupa observasi, kunjungan rumah, pertemuan atau pengumpulan data.
4) Perawat sebagai panutan (role model)
Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang kesehatan kepada masyarakat tunawisma tatacara hidup sehat yang dapat ditiru dan dicontoh oleh mereka.
5) Perawat sebagai komunikator
Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran perawat yang lain. Perawat memberikan perawatan yang efektif, memberikan pembuatan keputusan antara individu dan keluarga, memberikan perlindungan bagi para tunawisma dari ancaman terhadap kesehatan dan kehidupannya. Semua itu dilakukan dengan komunikasi yang jelas agar kualitas kehidupan mereka terpenuhi. 6) Perawat sebagai rehabilitator
Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi maksimal setelah sakit, kecelakaan atau kejadian yang menimbulkan ketidakberdayaan lainnya. Seringkali tunawisma mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah kehidupan mereka dan perawat membantu mereka untuk beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.
f. Level Pencegahan Homeless (Tunawisma) 1) Pencegahan Primer
Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga tunawisma agar tetap berada di rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu:
a) Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya bantuan publik, mengetahui tersedianya dana, dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan bagi tunawisma yang
membutuhkan. b) Bantuan hukum
Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar tidak terjadinya pengusiran.
c) Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada tunawisma.
d) Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk membayar rumah dan kebutuhan dasar.
2) Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala kebutuhan serta pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma sulit mengakses khususnya system pelayanan kesehatan karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap, sehingga dengan tujuan mengeluarkan populasi tersebut dari kondisi tersebut dan mengatasi dampak yang timbul akibat menjadi tunawisma. Langkah untuk pencegahan sekunder ialah :
a) Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan menimbulkan persoalan umum bagi populasi tunawisma adalah mereka menjalani medikasi dan regimen terapi.
b) Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah
c) Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan ditempat penampungan agar tunawisma tetap mendapatkan asupan makanan
sesuai yang ada di tempat penampungan tersebut.
d) Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk mengompensasi defisit nutrisi
e) Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu melakukan usaha terbaik untuk mengikuti program terapi
f) Mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat para tunawisma agar tetap mendapatkan pelayanan kesehatan
Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi (Budiarto,2003). Langkah pencegahan tersier pada tunawisma antara lain:
a) Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial kepada para PMKS. Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting guna menumbuhkan rasa percaya diri serta spiritualitas para gelandangan dan pengemis. Karena pada dasarnya mereka memiliki semangat dan rasa percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya. Selain itu mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar, hanya saja belum memiliki penyaluran atau sarana penghantar dalam memanfaatkan potensi-potensi tersebut. Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis (gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat memprihatinkan, ada yang memasang muka memelas ada juga yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam therapy ini, dalam therapy individu dilakukan pengecekan terhadap semua gelandangan dan pengemis (gepeng) satu persatu secara psikis.
b) Bimbingan kesehatan
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan, terlebih dahulu para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) diberikan fasilitas penanganan kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan bagi mereka yang sedang sakit. Kemudian kegiatan bimbingan kesehatan dimulai dengan penyadaran tentang pentingnya kesehatan badan atau jasmani. Mulai dari hal kecil seperti pentingnya mandi, gosok gigi dan memakai pakaian bersih. Melihat selama ini kehidupan di jalanan yang sangat keras dan serba tidak sehat, para gelandangan dan pengemis (gepeng) tentu masih merasa kesulitan untuk menerapkan gaya hidup sehat sehingga apa yang diperoleh dalam bimbingan kesehatan tidak diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan mereka.
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1 bulan sekali, dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta peraturan di jalan raya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan raya, karena keberadaan mereka di jalanan sangat mengganggu keamanan serta ketertiban lalu lintas. Dalam proses bimbingan ketertiban ini biasanya pihak dinas sosial mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian setempat. Menurut pengamatan peneliti pada saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi para gelandangan dan pengemis (gepeng) terlihat sangat antusias. Mungkin mereka takut berhadapan dengan polisi, karena pada dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng) dijalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap dan kemudian
dipenjarakan.
d) Bimbingan keagamaan
Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial, guna untuk menguatkan kembali spiritualitas para gelandangan dan pengemis.
g. Perspektif
H omeless
Atau Gelandangan Di Indonesia1. UUD 1945
Undang - Undang Dasar 1945 adalah Landasan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para pendiri negeri ini telah merumuskannya, sejak Bangsa Indonesia Merdeka dari jajahan para kolonialisme. UUD 1945 adalah sebagai hukum dasar tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945 telah di amandemen empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang telah menghasilkan rumusan Undang - Undang Dasar yang jauh lebih kokoh menjamin hak konstitusional warga negara dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, di Indonesia masih banyak terdapat gelandangan, pengemis, masyarakat dalam keadaan fakir, miskin dan terlantar. Dalam UUD 1945 Pasal 34
Ayat 1 berbunyi “Fakir Miskin dan anak - anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.
2. Program atau kebijakan pemerintah tentang penanggulangan
homeless atau gelandangan di I ndonesia
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980, gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, karena
itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan. Penanggulangan tersebut bertujuan untuk memberikan rehabilitasi kepada gelandangan dan/atau pengemis agar mereka mampu mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai seorang warna negara Republik Indonesia.Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 1, 5 dan 6, ada beberapa usaha untuk menanggulangi gelandangan adalah sebagai berikut :
1) Usaha preventif
Adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan sehingga akan tercegah terjadinya :
a. Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya
b. Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu
ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya
c. Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.
Dalam hal ini, usaha yang di maksud adalah dengan : a) Penyuluhan dan bimbingan sosial
b) Pembinaan sosial c) Bantuan sosial
d) Perluasan kesempatan kerja e) Pemukiman lokal
f) Peningkatan derajat kesehatan 2) Usaha represif
Adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga maupun bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat. Usaha represif yang di lakukan sesuai PP No. 31 Tahun1980 Pasal 9 adalah razia, penampungan sementara untuk di seleksi, dan pelimpahan. Dalam pasal 12 disebutkan bahwa setelah gelandangan di seleksi, tindakan selanjutnya terdiri
dari :
a. Dilepaskan dengan syarat
b. Dimasukkan dalam panti sosial
c. Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya
d. Diserahkan ke pengadilan e. Diberikan pelayanan kesehatan 3) Usaha Rehabilitatif
Adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 7 di jelaskan bahwa pelaksanaan penanggulangan gelandangan di atur lebih lanjut oleh Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Wulandari, Sri. Dkk. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Agregat Dalam Komunitas Populasi Rentan : Penyakit Mental, Kecacatan, Dan Populasi
Terlantar Di akses tanggal 5 Desember 2018
Darmawan, Lili. Dkk. 2017. Penyakit Mental, Kecacatan Dan Populasi Terlantar Di akses tanggal 5 Desember 2018
Iman B, Aisiyah. Dkk. 2017. Askep Pada Agregat Dalam Komunitas Populasi Rentan (Penyakit Mental, Kecacatan, Dan Populasi Terlantar) Di akses