• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN EKONOMI HUTAN RAKYAT Oleh: Dudung Darusman dan Hardjanto 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN EKONOMI HUTAN RAKYAT Oleh: Dudung Darusman dan Hardjanto 1)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN EKONOMI HUTAN RAKYAT Oleh:

Dudung Darusman dan Hardjanto 1)

I. PENDAHULUAN

Hutan rakyat telah sejak puluhan tahun yang lalu diusahakan dan terbukti sangat bermanfaat, tidak hanya bagi pemiliknya, tapi juga masyarakatnya dan lingkungannya. Sekalipun demikian pada awalnya keberadaan dan peran hutan rakyat kurang “dilirik” oleh para birokrat, peneliti maupun ilmuwan pada umumnya, hingga adanya temuan hasil penelitian IPB pada tahun 1976 dan UGM pada tahun 1977 tentang konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar di Jawa yang ternyata sebagian besar disediakan oleh hutan rakyat.

Sejak saat itu muncul keyakinan bahwa hutan rakyat menyimpan potensi yang sangat berarti dalam percaturan pengelolaan hutan nasional. Hal tersebut antara lain ditunjukkan oleh dimasukkannya hitungan potensi hasil hutan rakyat dalam penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu. Keyakinan tersebut semakin bertambah sejak disadarinya terjadi penurunan potensi hutan negara secara pasti, baik yang berasal dari hutan alam maupun tanaman. Pemahaman dan keyakinan itu sepatutnya disukuri yang diwujudkan dalam bentuk perhatian dan langkah tindak yang mengarah kepada peningkatan kinerja usaha hutan rakyat, yang selama ini telah diusahakan oleh masyarakat secara swakarsa, swadaya dan swadana.

Perhatian pemerintah memang telah sejak lama dilakukan, misalnya melalui gerakan “gandrung tatangkalan” di Jawa Barat, sampai dengan proyek- proyek penghijauan sejak tahun 1976. Namun demikian sayangnya disamping keberhasilan yang dicapai dalam penghijauan, ternyata masih banyak kegagalan yang ditemui. Dengan kata lain besarnya perhatian pemerintah ternyata belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat petani hutan rakyat.

Dalam skala nasional, statistik yang menyangkut hutan rakyat, baik luasan, jenis dan jumlah produksi, harga-harga dan sebagainya masih bersifat seadanya. Salah satu laporan muthakir yaitu tentang potensi hutan rakyat nasional per propinsi adalah hasil kerjasama antara Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan ________________

(2)

dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik pada tahun 2004. Sementara itu data sejenis dalam statistik Kabupaten/Kota tidak selalu tersedia.

Hutan rakyat di Jawa mempunyai karakteristik yang berbeda baik dari segi budidaya maupun status kepemilikannya dibandingkan dengan di luar Jawa. Budidaya dan manajemen pengelolaan hutan rakyat di Jawa relatif lebih intensif dan lebih baik dibandingkan dengan luar Jawa. Disamping itu juga status kepemilikan lahan dengan tata-batas yang lebih jelas serta luas lahan yang sangat sempit dan kondisi-kondisi lain seperti pasar, informasi dan aksessibilitas yang relatif lebih baik.

Namun demikian, sayangnya kayu sebagai hasil hutan rakyat masih menempati posisi kurang penting sebagai komponen pendapatan rumah tangga petani. Kayu masih lebih banyak sebagai tabungan saja dan belum menjadi prioritas usaha, karena daurnya dirasakan sangat lama dibandingkan tanaman pertanian lainnya. Pohon umumnya ditanam sebagai pelindung atau pada ruang-ruang sisa dari komoditi lain seperti pada batas-batas lahan, pematang sawah, lahan-lahan maarjinal dan sebagian dengan budidaya monokultur (Hardjanto dalam Suharjito,2000).

Perkembangan pengusahaan hutan rakyat masih stagnan diakibatkan karena posisi hutan rakyat masih menjadi pilihan budidaya pada lahan marjinal. Di samping itu, pengusahaan hutan rakyat ini tidak disebut sebagai bagian dari pengusahaan hutan karena tidak sesuai dengan definisi dan pengertian tentang hutan rakyat itu sendiri. Dalam UU No 41 tahun 1999, hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Ini berarti bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang telah dibebani hak milik, yang konsekuensi logisnya adalah bahwa hutan rakyat diusahakan tidak pada tanah negara. Dari pengertian tersebut telah mengabaikan kapasitas pelaku pengusahaan hutan rakyat tetapi lebih menekankan pada kepemilikan lahan.

Sebagai contoh, pengusahaan hutan damar mata kucing (Shorea javanica) di Krui Lampung Barat dari segi kepemilikan lahan menjadi bias, apakah termasuk pengusahaan hutan rakyat atau tidak. Jika mengikuti pengertian bahwa hutan rakyat adalah hutan yang diusahakan pada lahan milik, maka pengusahaan hutan damar mata kucing di Krui tersebut tidak termasuk hutan rakyat, karena sebagian besar dilakukan di atas tanah yang diklaim sebagai tanah negara di satu sisi, tetapi di sisi lain karena pengusahaan hutan damar mata kucing ini telah dilakukan sejak lama dan telah dilakukan turun-temurun, masyarakat Krui telah menganggap tanah tersebut merupakan tanah adat atau marga.

(3)

Kalau dilihat dari pelaku pengusahaan hutannya, maka pengusahaan hutan damar mata kucing ini benar-benar merupakan usaha hutan rakyat yang dilakukan oleh klan-klan keluarga dalam masyarakat Krui, dan telah pula menjadi adat masyarakat setempat.

Kemudian dalam Permenhut No. P 26/Menhut-II/2005, secara tegas pengertian hutan hak dinyatakan identik atau sama dengan hutan rakyat, dan merupakan lahan milik atau memiliki sertifikat ijin penggunaan lahan. Dari pengertian ini jelas yang dijadikan pijakan untuk menentukan hutan rakyat adalah masih pada kepemilikan lahan belum pada kapasitas pelaku pengusahaan hutan. Ini jelas akan menimbulkan ambiguitas pengusahaan hutan rakyat. Dalam hal status lahannya, selain hak milik harus segera direalisasikan hak guna usaha dan hak pakai lahan.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka menentukan arah penelitian kedepan tentang hutan rakyat, baik bagi para peneliti, khususnya dalam lingkup Litbang Dephut. Sudah barangtentu tulisan ini jauh dari pretensi untuk memberikan arah penelitian secara lengkap/komprehensif tentang hutan rakyat. Tulisan ini memuat gambaran tentang: a) potensi hutan rakyat di Jawa dan Luar Jawa, b) peran ekonomi hutan rakyat, c) permasalahan pengusahaan hutan rakyat, dan d) tantangan penelitian ke depan.

II. POTENSI HUTAN RAKYAT

Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar, baik dari segi populasi pohon maupun jumlah rumah yangga yang mengusahakannya, yang ternyata mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Perkiraan potensi dan luas hutan rakyat yang dihimpun dari kantor-kantor dinas yang menangani kehutanan di seluruh Indonesia mencapai 39.416.557 m3 dengan luas 1.568.415,64 ha, sedangkan data potensi hutan rakyat berdasarkan sensus pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat mencapai 39.564.003 m3 dengan luas 1.560.229 ha. Jumlah pohon yang ada mencapai 226.080.019, dengan jumlah pohon siap tebang sebanyak 78.485.993 batang (Anonim, 2004).

Walaupun hutan rakyat mempunyai potensi dan peranan yang cukup besar, namun hutan rakyat di Jawa pada umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan minimal sesuai dengan definisi hutan, dimana minimal harus 0,25 hektar. Hal tersebut disebabkan karena rata-rata pemilikan lahan di Jawa sangat sempit. Dengan sempitnya

(4)

pemilikan lahan setiap keluarga, ini mendorong kepada pemiliknya untuk memanfaatkan seoptimal mungkin. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada umumnya pemilik berusaha memanfaatkan lahan dengan membudidayakan tanaman- tanaman yang bernilai tinggi, cepat menghasilkan. Karena hamparan hutan rakyat yang kompak dengan luasan cukup biasanya ditemui pada petani yang memiliki lahan di atas rata-rata, pada lahan marginal serta pada lahan terlantar (Hardjanto, 2000).

Potensi hutan rakyat tersebut secara nyata telah dapat merangsang tumbuhnya aktivitas lanjutan seperti usaha-usaha yang termasuk dalam backward dan forward linkages. Besarnya potensi hutan rakyat tersebut bukan berarti masalah produksi hasil hutan rakyat dapat diabaikan, namun masih menyisakan banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Permasalahan tersebut harus dipecahkan melalui penelitian, baik melalui penelitian dasar maupun terapan.

III. PERAN EKONOMI HUTAN RAKYAT

Pengusahaan hutan rakyat adalah suatu usaha yang meliputi kegiatan: produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan kelembagaan. Dari cakupan pengusahaan hutan rakyat tersebut dapat diketahui bahwa stakeholder dalam usaha hutan rakyat ini cukup banyak, antara lain pemilik lahan, petani penggarap, buruh tani, pekerja kasar, sampai dengan pedagang dan industri serta pemerintah daerah. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat tersebut, wajar jika usaha hutan rakyat memberikan kontribusi pendapatan kepada lebih banyak stakeholdernya.

Sebagaimana diketahui bahwa hutan rakyat sampai saat ini diusahakan oleh masyarakat di pedesaan, sehingga kontribusi manfaat hutan rakyat akan berdampak pada perekonomian desa. Manfaat ekonomi hutan rakyat secara langsung dapat dirasakan masing-masing rumah tangga para pelakunya dan secara tidak langsung berpengaruh pada perekonomian desa. Ekonomi pedesaan yang dimaksud disini lebih diartikan sebagai ekonomi yang berlaku di wilayah pedesaan.

Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% pendapatan total yang mereka terima. Hal ini disebabkan karena pengusahaan hutan rakyat masih merupakan jenis usaha sambilan. Usaha hutan rakyat pada umumnya dilakukan oleh keluarga petani kecil biasanya subsisten yang merupakan ciri umum petani Indonesia.

(5)

Golongan petani subsisten tersebut menurut Scott (1976) memiliki kebiasaan mendahulukan selamat artinya apa yang diusahakan prioritas pertama adalah untuk mencukupi kebutuhan konsumsi sendiri, yang biasa disebut dengan etika subsisten.

Luasnya cakupan penguasaan hutan memberikan sebaran kontribusi ekonomi yang juga cukup luas di masyarakat desa. Pada sub sistem produksi dan pengolahan, hutan rakyat juga memberikan kontribusi pendapatan terhadap orang-orang di luar pemilik hutan rakyat, misalnya buruh tani atau tenaga kerja lainnya. Ini dapat terlihat jelas pada hutan-hutan rakyat yang dikelola secara intensif maupun secara sambilan, dimana pengusahaan hutan rakyat ini mampu menyerap tenaga kerja di desa tersebut.

Untuk aktivitas pemasaran hasil, pengusahaan rakyat memberikan kontribusi pendapatan terhadap para pelaku dalam sistem distribusi. Dapat dipahami bahwa jika pengusahaan hutan dilakukan secara sambilan (input teknologi dan manajemen yang rendah) hanya memiliki manfaat langsung ekonomi kepada pemilik lahan dan tengkulak, sehingga belum nampak adanya kontribusi pendapatan terhadap pihak lain.

Sedangkan pada pengusahaan hutan rakyat yang dilakukan secara intensif, diperkirakan mampu memberikan manfaat ekonomi terhadap pihak-pihak penyedia input yang lebih luas. Dengan demikian peran pengusahaan hutan rakyat dalam perekenomian desa, minimal mampu memberikan kontribusi pendapatan rumah tangga pelaku hutan rakyat (secara mikro), yang pada gilirannya memberikan kontribusi terhadap pendapatan desa.

Selain peran dalam memberikan kontribusi pendapatan, pengusahaan hutan rakyat juga mampu memberikan lapangan pekerjaan terhadap tenaga kerja produktif juga mampu menstimulir usaha ekonomi produktif lainnya sebagai produksi lanjutan dari pengusahaan hutan rakyat, bahkan hutan rakyat juga terbukti mampu meminimalisir dampak krisis moneter.

Untuk meningkatkan peran hutan rakyat dalam perekonomian desa maka perlu adanya intensifikasi pengelolaan hutan rakyat, sehingga hutan rakyat lebih mampu melebarkan spektrum perannya dalam meningkatkan perekonomian khususnya di pedesaan sebagai basis usaha hutan rakyat. Makin intensifnya pengusahaan hutan rakyat secara umum akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memberikan kontribusi pendapatan yang lebih luas, karena para pelaku yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat makin banyak. Dengan terjadinya peningkatan pendapatan dari masing-masing

(6)

individu yang terlibat dalam pengusahaan hutan maka secara tidak langsung, usaha hutan rakyat ini akan ikut mendongkrak perekonomian pedesaan.

Pengusahaan hutan rakyat dalam perekonomian pedesaan memegang peranan penting baik bagi petani pemilik lahan hutan rakyat maupun untuk tumbuhnya industri pengolahan kayu rakyat. Meskipun demikian, sampai saat ini masih banyak diterapkan apa yang disebut “daur butuh”, yakni umur pohon yang dipanen ditentukan oleh kebutuhan pendapatan. Di masa mendatang sistem pemanenan seperti ini diharapkan akan berubah menjadi sistem pemanenan yang terencana karena semakin meningkatnya permintaan dari industri-industri pengolahan kayu yang berada dekat di daerah sekitar hutan rakyat, seperti industri penggergajian dan industri meubel. Permintaan kayu rakyat dirasakan semakin meningkat sejak pemerintah memberlakukan moratorium atau jeda balak. Dengan adanya kebijakan tersebut maka pasokan kayu dari hutan negara ke industri pengolahan kayu juga semakin berkurang. Dalam kondisi seperti ini, hutan rakyat muncul menjadi salah satu alternatif sumber pasokan bahan baku kayu.

Menurut Hardjanto (2003) permintaan kayu rakyat terdiri dari tiga macam yaitu: a) permintaan pasar lokal, b) industri menengah yang produknya untuk scope yang lebih luas dan berorientasi ekspor, dan c) industri besar padat modal. Pada industri menengah alat-alat yang digunakan relatif lebih sederhana, serta kwalita dan randemen kayu olahan yang dihasilkan masih rendah. Selain itu masih belum ada standarisasi produk, sehingga terkadang kurang memenuhi atau sesuai dengan permintaan pasar.

IV. PERMASALAHAN PENGUSAHAAN HUTAN RAKYAT

Permasalahan hutan rakyat yang muncul sampai saat ini meliputi empat aspek yaitu: a) produksi, b) pengolahan, c) pemasaran dan d) kelembagaan. Aspek produksi, khususnya tentang struktur tegakan dan potensi produksi, penelitian Hardjanto (2003) menemukan bahwa disatu sisi struktur tegakan kayu rakyat menunjukkan struktur hutan normal, namun disisi lain ternyata pohon-pohon yang dijual mengalami penurunan kelas diameter. Hal ini berarti akan mengancam kelestarian tegakan hutan rakyat, dan sekaligus berarti mengancam pula kelestarian usahanya.

Aspek pengolahan yang dimaksud disini adalah semua jenis tindakan/perlakuan yang merubah bahan baku (kayu bulat) menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi. Masalah terbesar saat ini pada aspek pengolahan adalah masalah jumlah dan

(7)

kontinuitas sediaan bahan baku. Sementara itu permasalahan pada aspek pemasaran meliputi beberapa hal antara lain yaitu: sistem distribusi, struktur pasar (market structure), penentuan harga, perilaku pasar (market conduct) dan keragaan pasar (market performance). Kelembagaan yang mendukung pada setiap sub sistem juga masih perlu disempurnakan agar kinerja usaha hutan rakyat secara keseluruhan menjadi lebih baik.

IV. TANTANGAN PENELITIAN KE DEPAN

Dalam struktur sistem usaha, pihak petani berada dalam posisi “termiskinkan”, dimana nasibnya ditentukan oleh pelaku lain. Dengan demikian sudah seharusnya tujuan utama dalam strategi dan program pengembangan usahan kayu rakyat adalah pemberdayaan dan peningkatan pendapatan petani, mewujudkan kelestarian usaha dan kelestarian sumberdaya kayu rakyat. Untuk itu secara umum diperlukan kebijakan dan program operasional dalam bidang: pemasaran, subsidi, pemanfaatan lahan (terlantar, negara), peningkatan teknologi, permodalan, perencanaan sumberdaya (hutan) secara terpadu dalam setiap kabupaten dan atau antar kabupaten.

Disamping itu perlu dilakukan revisi terhadap kebijakan yang sedang dan akan berlaku yang pada akhirnya memberatkan petani, seperti pajak dan retribusi yang tidak tepat, rencana pengenaan semacam provisi sumberdaya hutan (PSDH) terhadap kayu rakyat dan sebagainya.

Dari uraian tersebut di atas, secara ringkas permasalahan pengelolaan hutan rakyat masih sangat banyak. Permasalahan tersebut terdapat pada keempat sub sistemnya yaitu sub sistem produksi, pengolahan, pemasaran dan kelembagaan. Oleh karenanya tugas-tugas penelitian masih sangat terbuka lebar pada setiap sub sistem tersebut. Namun demikian jika prioritas penelitian harus dilakukan, maka sebaiknya diletakkan pada penelitian yang terfokus untuk mewujudkan kelestarian hutan rakyat dan kelestarian usahanya dengan mengedepankan peningkatan manfaat yang diterima oleh petani pemiliknya.

Sebagai resume/ringkasan tentang permasalahan, arah kebijakan dan strategi perbaikannya dari hutan rakyat, dapat dikemukakan pada matriks berikut.

(8)

Matriks Aspek Permasalahan, Arah dan Strategi Perbaikan, serta Penelitian dan Pengembangan Hutan Rakyat yang Diperlukan

Aspek Masalah Arah dan Strategi

Perbaikan Pengembangan Penelitian& 1. Produksi Ketersediaan lahan Akses/hak guna

terhadap lahan negara Bentuk-bentuk hak guna dan tenurial yang adil dan aman.

Rentabilitas rendah Pengayaan tanaman dengan sistim

agroforestri, baik oleh jenis kayu maupun non kayu.

Jenis dan silvikultur pengayaan dalam sistim agroforestri.

Peran terhadap pendapatan

masih rendah 2. Pemanenan

dan pemasaran Panen masih diserahkan ke pihak luar petani Petani/kelompok petani harus mampu panen. Appropriate technolo-gies secara local.

Struktur pasar

monopsonistik-lokal Struktur pasar kompetitif terbuka Pendidikan& latihan. Kelompok pemasar. Market information system. Mendorong pelaku-pelaku industri baru.

3. Industri

pengolahan Masih terbatas pada industri primer Perlu dikembangkan industri. Sekunder/tersier.

Industri sekunder/tersier yang sesuai (teknologi, ekonomi dan manajemen usaha).

Dukungan investasi

UKM. Pendidikan& latihan 4. Kelembagaan Masih ada peraturan yang

menghambat. Aturan pelaksanaan hak guna lahan negara untuk hutan rakyat.

Bentuk-bentuk hak guna dan tenurial yang adil dan aman.

Belum cukup peraturan

yang mendukung. Aturan yang memudahkan pemanenan dan angkutan kayu rakyat.

Prosedur pemenenan dan pengangkutan yang aman secara hukum.

5. Sumberdaya

manusia Tingkat pendidikan dan ekonomi yang relatif rendah untuk usaha jangka panjang seperti hutan rakyat

Penyuluhan, pendidikan

dan latihan. Paket/modul penyuluhan dan diklat yang sesuai.

Perlu lapangan kerja atau sumber pendapatan lainnya

Jenis-jenis lapangan kerja lain yang sesuai dan terkait dgn hutan rakyat

(backward & forward linkages).

(9)

V. PENUTUP

Peningkatan kinerja usaha hutan rakyat tidak dapat hanya ditempuh melalui salah satu sub sistemnya, karenanya cakupan penelitian senantiasa terletak pada keempat sub sistem tersebut, namun demikian prioritas penelitian juga perlu dibuat agar penelitian tersebut menjadi lebih berdayaguna dan berhasilguna. Penelitian terapan lebih diperlukan dalam konteks hutan rakyat ini dibanding penelitian dasar, sementara itu penelitian yang melibatkan dunia industri menjadi kebutuhan mendesak agar permasalahan-permasalahan yang ada dalam tiga sub sistem (produksi, pengolahan dan pemasaran) sekaligus dapat terpecahkan. Penelitian yang bersumber dari pesan-pesan dalam TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam seperti mengkaji semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam (hutan rakyat), menata kembali dan menyelesaikan konflik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkeadilan perlu mendapat perhatian yang cukup. Hal ini penting untuk mewujudkan sub sistem kelembagaan pengelolaan hutan rakyat yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2003. Kerjasama antara Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Darusman, D. dkk. 2001. Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB dan The Ford Foundation. Bogor.

Hardjanto. 2000. Beberapa Ciri Pengusahaan Hutan Rakyat di Jawa. Dalam Suharjito (penyunting). Hutan Rakyat di Jawa Perannya dalam Perekonomian Desa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM) hlm. 7-11. Bogor.

________ . 2001. Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter Terhadap Usaha Kehutanan Masyarakat : Kayu Jati dan Sengon di Jawa. Resiliensi Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

________ . 2003. Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat Di Pulau Jawa. Disertai. (Tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

(10)

Scott, J.C. 1976. Moral Ekonomi Petani. Pengolahan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Terjemahan Hasan Basari. LP3ES. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

mencerminkan bahwa suatu perusahaan memiliki komitmen untuk memperbaiki kinerja perusahaan, sehingga dapat meningkatkan penawaran harga saham di pasar semakin tinggi

Pembangunan manusia Indonesia di bidang kesehatan dapat terlaksana dengan baik jika Indonesia bisa mewujudkan target sustainable development goals (SDG’s) seperti

Sistem distribusi merupakan bagian dari sumber listrik yang menghubungkan daya listrik untuk fasilitas konsumen. Pada suatu sistem distribusi tenaga listrik,

Institusi paling utama yang ber- tanggung jawab langsung dalam bidang pelestarian cagar budaya di Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau adalah (1) BP3 Batusangkar,

Model pembelajaran dalam proses belajar mengajar yang digunakan adalah model pembelajaran Mind Map untuk meningkatkan hasil belajar Bahasa Inggris pada pokok bahasan

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas rendah (I, II, dan III) SDN Rejosopinggir 1 Tembelang, Jombang dengan jumlah siswa dari kelas I sebanyak 20 siswa, kelas II

Pendapat senada juga disampaikan oleh kepala sekolah dan bapak Jemi Karter staf sarana dan prasarana SD Negeri 02 Kota Bengkulu yang menyatakan bahwa sekolah melibatkan semua

Kompetensi yang ingin dicapai : Siswa mampu memilih Jurusan di Perguruan Tinggi yang sesuai dengan bakat dan minat.. Menyiapkan siswa