• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Hak-Hak Pekerja Berdasarkan Uu No 13 Tahun a. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Hak-Hak Pekerja Berdasarkan Uu No 13 Tahun a. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hak-Hak Pekerja Berdasarkan Uu No 13 Tahun 2003

a. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha (Dalam pasal 6);

b. Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja (Dalam pasal 11);

c. Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja (Dalam pasal 18 ayat 1);

d. Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi (Dalam pasal 23);

e. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri (Dalam pasal 31);

f. Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi (Dalam pasal 32 ayat 1)

(2)

g. Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum.

h. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 (Dalam pasal 76 ayat 4);

i. Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja (Dalam pasal 77 ayat 1);

j. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur (Dalam pasal 78 ayat (2);

k. Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh (Dalam pasal 79 ayat 1);

l. Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya (Dalam pasal 80);

m. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan (Dalam pasal 82);

(3)

Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan;

n. Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh (Dalam pasal 84);

o. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :

• keselamatan dan kesehatan kerja;

• moral dan kesusilaan; dan

• perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Dalam pasal 86).

p. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan (Dalam pasal 87 ayat 1);

q. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Dalam pasal 88 ayat 1);

r. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud (dalam Pasal 89);

s. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja (Dalam pasal 99 ayat 1);

(4)

t. Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan (Dalam pasal 100 ayat 1);

u. Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan (Dalam pasal 101 ayat 1);

v. Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh (Dalam pasal 104 ayat 1);

w. Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh (Dalam pasal 114);

x. Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan (Dalam pasal 137).

2.1. Konsep Kelas

Menurut Marx, riwayat dari setiap anggota masyarakat adalah sejarah pertentangan kelas. Tesis ini merupakan kalimat pembuka dari Manifesto Komunis

yang dikarangnya bersama Engels. Akan tetapi, Marx tidak pernah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan istilah “kelas”. Seakan-akan arti kata itu sudah jelas dengan sendirinya (Suseno, 1999:111). Sekalipun begitu, tidak tertutup kemungkinan untuk merekonstruksi suatu definisi dari tulisan-tulisannya dengan cara mencermati

(5)

kelompok mana yang secara eksplisit tidak dia golongkan ke dalam kelas-kelas dan fungsi teori kelasnya dalam konteks teorinya secara luas. Secara khusus, pandangannya bahwa kelas-kelas merupakan unit-unit fundamental dalam konflik sosial menghendaki suatu definisi yang mampu merumuskan kelas-kelas kecil yang pasti dan yang tidak arbitrer.

Seringkali, keanggotaan kelas didefinisikan berdasarkan kepemilikan atau tiadanya kepemilikan atas sarana-sarana produksi tertentu. Bagi Marx, definisi ini bukanlah inti pembahasannya, sekalipun ia sudah pasti merupakan bagian penting dari analisisnya secara keseluruhan (Elster, 2000:172). Kelas-kelas tidak dapat didefinisikan dengan cara memberikan titik-titik potongan secara arbitrer dalam suatu skala kontinum: kelas-kelas itu memiliki keberadaan yang riil sebagai kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan yang terorganisir.

Sebaliknya, kelas tidak dapat direduksi ke dalam oposisi dikotomis antara kelompok kaya dan kelompok miskin atau golongan penindas dan golongan tertindas. Yang tidak boleh dilupakan dalam pendekatan Marx adalah bahwa jumlah kelas, sekalipun kecil, pasti lebih banyak dan lebih kompleks daripada pemilihan dua kelas di atas yang terkesan menyederhanakan realitas karena bila tidak, maka tidak ada ruang bagi aliansi kelas yang memainkan suatu peranan penting dalam teorinya mengenai perjuangan kelas. Dengan demikian, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kelas yang dimaksudkan oleh Karl Marx merupakan sebuah kelompok sosial yang memiliki kepentingan ekonomi, sosial, dan politik bersama, dan pada saat yang

(6)

bersamaan berhadapan dengan kepentingan ekonomi, sosial, dan politik kelompok lain.

2.2 Kesadaran Kelas

2.2.1 Kelas Atas dan Kelas Bawah

Menurut Karl Marx, pelaku-pelaku utama dalam perubahan sosial bukanlah individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Ia memberitahukan kepada kita secara mendetail bahwa kelas-kelas itu tidak dibedakan berdasarkan pendapatan yang mereka hasilkan. Sekalipun anggota-anggota dari kelas yang berbeda secara khas akan mendapatkan penghasilan yang tidak sama, mereka tidak harus dimasukkan ke dalam kelas-kelas yang berbeda, dan sekalipun mereka bisa dimasukkan ke dalam kelas-kelas tersendiri, penggolongan itu tidak mesti dipahami bahwa mereka termasuk dalam kelas-kelas yang berbeda. Marx juga menolak gagasan bahwa kelas-kelas dapat dibedakan berdasarkan pekerjaan dari anggota-anggotanya yaitu dengan melihat hakikat spesifik kerja yang mereka lakukan. Konteks kerja, bukan kerja itu sendiri, merupakan parameter suatu kelas. Dengan kata lain, pemilikan pribadi atas alat-alat produksi menjadi dasar utama pembagian masyarakat dalam kelas sehingga dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai.

Dalam uraiannya, Marx menyebut dua kelas saja yang paling berpengaruh, yaitu kaum kapitalis atau pemilik modal dan kaum buruh atau mereka yang hidup

(7)

sarana-sarana kerja, sedangkan yang kedua hanya memiliki tenaga kerja mereka sendiri. Dalam sistem produksi kapitalis, dua kelas ini saling berhadapan. Keduanya saling membutuhkan: buruh hanya dapat bekerja apabila pemilik membuka tempat kerja baginya. Majikan hanya beruntung dari pabrik dan mesin-mesin yang dimiliki apabila ada buruh yang mengerjakannya. Tetapi saling ketergantungan ini tidak seimbang. Buruh tidak dapat hidup kalau ia tidak bekerja. Ia tidak dapat bekerja kecuali diberi pekerjaan oleh seorang pemilik. Sebaliknya, meskipun si pemilik tidak mempunyai pendapatan kalau pabriknya tidak berjalan, tetapi ia masih bisa bertahan lama. Ia dapat hidup dari modal yang dikumpulkannya selama pabriknya bekerja atau ia dapat menjual pabriknya. Oleh karena kelas-kelas pekerja tergantung dari sarana agar dapat hidup, kelas-kelas pekerja dapat dikontrol oleh kelas-kelas pemilik. Itu berarti bahwa para pemilik dapat menghisap tenaga kerja para pekerja, jadi mereka hidup dari penghisapan tenaga mereka yang harus bekerja. Kelas-kelas pemilik merupakan kelas-kelas atas dan dan kelas-kelas pekerja merupakan kelas-kelas bawah dalam masyarakat (Suseno, 1994:266). Jadi menurut Marx ciri khas semua pola masyarakat sampai sekarang ialah bahwa masyarakat dibagi ke dalam kelas-kelas atas dan bawah dan bahwa struktur proses ekonomi tersusun sedemikian rupa sehingga yang pertama dapat hidup dari penghisapan tenaga kerja yang kedua.

Dengan demikian, kelas pemilik adalah kelas yang kuat dan para pekerja adalah kelas yang lemah. Para pemilik dapat menetapkan syarat-syarat bagi mereka yang mau bekerja, dan bukan sebaliknya. Kaum buruh yang mati-matian mencari pekerjaan terpaksa menerima upah dan syarat-syarat kerja lain yang disodorkan oleh

(8)

si kapitalis. Marx melihat bahwa inti dari kapitalisme adalah pencapaian keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Pertanyaan dasar yang diajukan Marx di sini adalah cara apa yang dipakai oleh sistem ini untuk memperoleh keuntungan yang dimaksud (Ramly, 2000:151). Dari sini Marx dalam analisisnya sampai pada kesimpulan bahwa keuntungan itu diperoleh lewat pertukaran manusiawi, namun sistem ini dalam mekanisme pertukaran barang dan jasa selalu menguntungkan pemilik modal melalui cara yang tidak lazim, yaitu penghisapan.

Menurut Marx, hubungan antara kelas atas dan kelas bawah merupakan hubungan kekuasaan: yang satu berkuasa atas yang lain. Kekuasaan itu – yang pada hakikatnya berdasarkan kemampuan majikan untuk meniadakan kesempatan buruh untuk bekerja dan memperoleh nafkah – dipakai untuk menindas keinginan kaum buruh untuk menguasai pekerjaan mereka sendiri, untuk dihisap, agar kaum buruh bekerja seluruhnya demi mereka. Karena itu, kelas atas secara hakiki merupakan kelas penindas. Pekerjaan upahan, jadi pekerjaan di mana seseorang menjual tenaga kerjanya demi memperoleh upah, merupakan pekerjaan kaum tertindas: harapan dan hak mereka dirampas. Jadi, dalam hubungan produksi, yang berkuasa adalah para pekerja.

(9)

2.3. Teori Nilai Lebih “Surplus”

Surplus yang dimaksudkan dari sini bukan keuntungan yang berasal dari kenyataan bahwa ada sesuatu yang lebih dari suatu usaha ekonomi dan dapat dipertukarkan dengan komoditi pasar lainnya, tapi pertukaran seperti itu berbeda dari jenis pertukaran yang terjadi dalam sistem pasar impersonal, dimana komoditi ditukar dengan uang, atau uang ditukar dengan komoditi. Perbedaan dalam pertukaran ini terletak dalam distingsi Marx antara “nilai pakai” (use value) dan “nilai tukar”. Pembedaan antara nilai tukar dan nilai pakai dapat dilihat sebagai sesuatu yang rawan, khususnya dalam transaksi yang meliputi jual beli tenaga kerja. Buruh dapat dipandang sebagai sumber kedua nilai tukar dan nilai pakai, sebagai sumber nilai pakai, buruh merupakan sumber kegiatan yang dipakai untuk produksi suatu barang tertentu untuk digunakan. Sebagai sumber nilai tukar, buruh dilihat sebagai masukan umum untuk proses produksi komoditi-komoditi yang dihasilkan tidak untuk kegunaan pribadi buruh itu sendiri ataupun kegunaan majikan, melainkan untuk dijual dalam sistem pasar impersonal yang menggunakan alat tukar yang umum digunakan yaitu uang, nilai keuangannya itu sebenarnya mencerminkan jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksikan komoditi itu.

Seperti yang sudah dilihat, buruh itu sendiri dilihat dalam sistem kapitalis sebagai komoditi yang diperjual-belikan dalam pasar impersonal, seperti komoditi lainnya. Namun, buruh mampu untuk memproduksikan nilai tukar lebih banyak daripada yang diminta untuk mempertahankan nilai tukarnya itu. Artinya seorang pekerja mampu memproduksi jumlah komoditi dengan nilai tukar yang jauh lebih

(10)

besar daripada nilai tukar makanan, pakaian, perumahan dan yang lainnya yang perlu untuk mempertahankan hidup dan untuk memperoleh tenaga kerja yang lebih banyak lagi. Tambahan atau kelebihan dari persyaratan kelangsungan hidup buruh dan pemulihan tenaganya kembali, merupakan “nilai surplus” (nilai lebih); dan pemahamam ini ditangkap dari teori Marx mengenai eksploitasi kapitalis (Jhonson, 1994:155-156).

2.4. Teori Dahrendorf tentang Kekuasaan

Ralf Dahrendorf menggunakan teori perjuangan kelas Marxian untuk membangun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat industri kontemporer. Baginya, kelas tidak berarti pemilikan sarana-sarana produksi (seperti yang dilakukan oleh Marx) tetapi lebih merupakan pemilikan kekuasaan, yang mencakup hak absah untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam masyarakat modern, baik dalam perekonomian kapitalis maupun komunis, dalam pemerintahan bebas dan totaliter, berada di seputar pengendalian kekuasaan.

Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang menyangkut atasan dengan bawahan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas. Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan diantara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dalam tingkat dominasi kekuasaan itu dapat dan selalu sangat besar. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas social (dalam perkumpulan khusus) yaitu, mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan.

(11)

Perjuangan kelas yang dibahas olehnya lebih berdasarkan kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi (Poloma, 1994:135).

Dahrendorf berpendapat bahwa di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu. Kepentingan yang dimaksudkan dia mungkin bersifat manifes (disadari) atau laten (kepentingan potensial), kepentingan laten adalah tingkah laku potensil yang telah ditentukan oleh seseorang karena dia menduduki peranan tertentu, tetapi masih belum disadari. Menurut perumusannya pertentangan kelas harus dilihat sebagai “kelompok-kelompok pertentangan yang berasal dari struktur kekuasaan asosiasi-asosiasi yang terkoordinir secara pasti”. Kelompok-kelompok itu ditetapkan sebagai kelompok kepentingan yang akan terlibat dalam pertentangan dan akan menimbulkan perubahan struktur sosial, pertentangan antara buruh dan manajemen yang merupakan permasalahan utama bagi Marx, misalnya, akan terlembaga lewat serikat-serikat buruh (Poloma, 1994:136-137).

Dahrendorf berpendapat bahwa kekayaan, status ekonomi, dan status sosial walau bukan determinan kelas, ia mengatakan seperti berikut:” semakin rendah antara korelasi kedudukan kekuasaan dan aspek-aspek status sosial ekonomi lainnya semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan sebaliknya (Poloma, 1994:139)

Dahrendorf mempunyai gagasan bahwa berbagai posisi didalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas (kekuasaan) yang berbeda. Hanya saja kekuatan otoritas itu tidak terletak didalam diri individu masyarakat melainkan dalam posisi. Ia tak hanya tertarik pada struktur posisi, tapi juga pada konflik antara berbagai struktur

(12)

posisi itu: “sumber struktur konflik harus dicari didalam tatanan peranan sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan”. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi, mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan, artinya mereka berkuasa karena harapan dari orang yang berada disekitar mereka bukan karena ciri-ciri psikologis mereka sendiri.

Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat asosiasi karena hanya ada dua kelompok konflik yang dapat terbentuk didalam setiap asosiasi, kelompok yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang mempunyai kepentingan tertentu. Disini dihadapkan pada konsep teori konflik Dahrendorf yakni kepentingan, kelompok yang berada di atas dan yang berada dibawah didefinisikan berdasarkan kepentingan bersama (Ritzer, 2004:154-155)

2.5 Serikat Buruh di Indonesia Pasca Kemerdekaan

Pada tanggal 17 Agustus l945 Sukarno-Hatta yang masih ragu-ragu berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kevakuman kekuasaan. Kevakuman kekuasaan tersebut disebabkan kekalahan Jepang dalam PD II, sementara pasukan sekutu belum datang. Momentum kekosongan kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi dapat dibacakan berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun l945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang Indonesia.

(13)

Revolusi pembebasan nasional tahun l945 ternyata gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebabkan karena kekuatan rakyat yang diorganisir oleh kaum radikal kerakyatan gagal mengambil kepemimpinan dalam perjuangan pembebasan nasional. Revolusi Agustus 1945 memang berhasil mengusir imperialis fasis Jepang dan menghalau imperialisme Belanda yang berusaha untuk kembali menjajah.

Namun, sebelum kekuatan-kekuatan rakyat mampu dikonsolidasikan oleh kaum radikal guna membentuk pemerintahan koalisi nasional, Amerika telah mengambil inisiatif untuk menggagalkannya dengan memperalat kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia. Amerika Serikat dengan dukungan beberapa sekutunya di Indonesia lalu membuat skenario teror putih dengan menghancurkan kaum radikal dan frontnya. Suksesnya skenario Amerika Serikat untuk menjalankan red drive proposal (proposal politik untuk melenyapkan kekuatan-kekuatan rakyat) sebenarnya juga merupakan produk tidak adanya unity of command antara kekuatan-kekuatan rakyat yang ada di dalam negeri dengan yang di luar negeri. Hal ini masih ditambah lagi dengan ketidak mampuan kaum radikal dalam mengarahkan sasaran perjuangannya ke arah kaum demokrat-liberal/borjuasi dan Imperialis, setelah kaum fasis dikalahkan pada PD II

Dengan peristiwa tersebut, situasi revolusioner mencapai anti klimaksnya. Hal ini hanya melicinkan jalan menuju persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar) pada 2 November, 1949. Dengan adanya persetujuan KMB, imperialisme Belanda memperoleh konsesi di lapangan ekonomi, politik, militer dan kebudayaan. Revolusi

(14)

Agustus ’45 yang adalah berwatak revolusi borjuis demokratik, hanya berhasil sebagai revolusi pembebasan nasional (yakni berhasil mendirikan Republik Indonesia), namun gagal mendirikan pemerintahan kerakyatan.

Perjuangan mencapai kemerdekaan melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat, termasuk gerakan buruh. Pada tanggal 15 September 1945 sejumlah tokoh gerakan buruh berkumpul di Jakarta untuk membicarakan peranan kaum buruh dalam perjuangan kemerdekaan dan menentukan landasan bagi gerakan buruh. Pada pertemuan tersebut para wakil gerakan buruh sepakat mendirikan sebuah organisasi yang mewakili seluruh serikat buruh yang ada. Organisasi itu diberi nama Barisan Boeroeh Indonesia (BBI). Pilihan nama ‘barisan’ tersebut harus diletakkan pada konteks zamannya, yaitu ketika orang-orang Indonesia masih terlibat dalam perang kemerdekaan sampai tahun 1949. Dalam konferensi tersebut, BBI juga menuntut Komite Nasional Indonesia untuk memberi pengakuan terhadap organisasi tersebut. Karena sulitnya komunikasi dengan wilayah lain, maka gerakan buruh di luar Jawa mendirikan organisasi mereka masing-masing. Di Sumatera misalnya pada bulan Oktober 1945 telah berdiri Persatoean Pegawai Negara Repoeblik Indonesia (PPNRI). Komite Nasional Indonesia sementara itu juga menyerukan kepada perwakilan-perwakilan di daerah untuk mendukung pembentukan serikat-serikat buruh. Dalam perjuangan fisik, kaum buruh bergabung dalam Lasjkar Boeroeh Indonesia (LBI) yang dengan cepat didirikan di berbagai kota. Pada awalnya belum ada koordinasi yang jelas, sampai pada sebuah konferensi di Blitar pada bulan

(15)

ini juga ditetapkan sebagai badan yang secara organisasi terlepas dari BBI dan tidak memiliki hubungan apa-apa. Di kalangan buruh perempuan, didirikan Barisan Boeroeh Wanita yang diketuai oleh SK Trimurti. Kegiatannya ditujukan untuk memberi pendidikan dan kesadaran pada kaum buruh perempuan, tentang perlunya persatuan. Pada tanggal 1 Mei 1946 (Perayaan Hari Buruh), BBW telah berhasil mengumpulkan calon pemimpin buruh perempuan untuk dilatih selama dua bulan.

BBI mendapat dukungan kuat dari Menteri Sosial RI yang pertama, Mr. Iwa Kusumasumantri. Pada bulan November 1945, BBI mengadakan kongres pertama yang dihadiri bukan hanya oleh aktivis-aktivis BBI dan cabang-cabangnya, tapi juga dari aktivis-aktivis gerakan buruh yang tersebar di Sumatera dan pulau-pulaunya. Sjamsju Harja Udaja, seorang pemimpin BBI, mengajukan rancangan untuk mengubah BBI menjadi partai politik. Rancangan ini mengundang perdebatan di antara para tokoh. Sebagian bertujuan untuk membangun BBI sebagai suatu federasi buruh yang kuat, bebas dari partai-partai politik dan siap menggunakan pengaruhnya terhadap setiap pemerintahan bila perlu. Golongan lainnya, di bawah pimpinan Sjamsju Harja Udaja berusaha untuk menjadikan BBI sebuah partai politik yang menjadi alat politik dari gerakan buruh. Akhirnya mereka sepakat untuk mendirikan partai, tanpa harus membubarkan BBI. Partai Boeroeh Indonesia (PBI) muncul sebagai hasil kongres tersebut, dengan Sjamsju Harja Udaja sebagai ketua. Para aktivis yang tidak setuju dengan pembubaran BBI, terus menjalankan kegiatan organisasi ini. Cabang-cabang yang ada diperkuat, dan sangat berpengaruh pada gerakan buruh selanjutnya. Cabang Jakarta misalnya, dipimpin oleh Njono yang pada

(16)

dekade 1950-an menjadi Sekjen SOBSI. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah bulan Januari 1946 PBI semakin menganggap diri sebagai partai oposisi dan oleh pemerintah diperlakukan seperti yang mereka kehendaki. Dalam kegiatannya, PBI menyebarkan gagasan sindikalis; instalasi industri yang diambil-alih oleh buruh harus tetap dipegang oleh buruh, dan bukan oleh pemerintah. Perusahaan harus dijalankan kembali oleh buruh-buruhnya. Sikap bertentangan ditunjukkan oleh Partai Sosialis yang menguasai kabinet (Sjahrir) dan akibatnya PBI tidak mendapat sambutan luas sebagaimana mereka harapkan sebelumnya. Kelas buruh (industri) pada masa itu masih merupakan bagian kecil saja dari penduduk dan belum terorganisir secara politik, sehingga terlalu kecil untuk menjadi basis politik yang benar-benar kuat.

Pada periode-periode 1945-47 sejumlah serikat buruh kembali dibentuk, seperti Serikat Boeroeh Goela (SBG), Serikat Boeroeh Kereta api (SBKA), Serikat Boeroeh Perkeboenan Repoeblik Indonesia (Sarbupri), Serikat Boeroeh Kementrian Perboeroehan (SB Kemperbu), Serikat Boeroeh Daerah Autonom (SEBDA), Serikat Sekerjdja Kementrian Dalam Negeri (SSKDN), Serikat Boeroeh Kementrian Penerangan (SB Kempen), dan sebagainya. Banyak di antara pemimpin serikat-serikat buruh ini menjadi tokoh gerakan buruh pada masa sebelumnya, dan juga ikut dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan sekian banyak serikat buruh seperti ini, kembali muncul keperluan mendirikan sebuah federasi serikat buruh. Mengenai pembentukan federasi serikat buruh ini muncul perbedaan pendapat, sehingga pada

(17)

(GASBI) sebagai hasil peleburan BBI. Perubahan nama ini juga terlihat dalam perubahan bentuknya, karena hanya organisasi yang dibentuk berdasarkan lapangan kerja, yang dapat bergabung di dalamnya. Kenyataan ini sulit diterima oleh organisasi buruh vertikal, seperti SB Minjak, SB Postel, Pegadaian, PGRI, Listrik dan lainnya. mereka kemudian membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Vertikal (GSBV) pada bulan Juli 1946. ‘Perpecahan’ ini tak berlangsung lama dan tanggal 29 November 1946 didirikan Sentral Organisasi Boeroeh Indonesia (SOBSI), yang menggantikan kedua federasi sebelumnya. Organisasi ini dipimpin oleh tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Harjono, Asrarudin, Njono dan Surjono. Organisasi ini juga mendapat dukungan dari sejumlah kekuatan politik seperti Partai Sosialis, PBI, Pesindo, PBI, Barisan Tani yang mendukung pemerintahan Sjahrir di masa itu. Dalam azas pendiriannya dinyatakan bahwa SOBSI bukan partai politik, tapi dalam perjuangannya akan bekerjasama dengan partai-partai politik. Dasar organisasi yang dipilih SOBSI adalah demokratis-sentralisme, artinya pengurus sentral dalam melakukan tugas-tugasnya bertanggung jawab pada kongres. Federasi ini dengan cepat mendapat sambutan dari serikat-serikat buruh yang lain. LBI yang semula berdiri sendiri, dimasukkan ke dalam SOBSI juga mendapat perhatian, terlihat dari undangan yang dikirim WFTU untuk menghadiri sidang umum di Praha, Cekoslovakia. Sebagai wakilnya, SOBSI mengirim Setiadjid dan Oei Gie Hwat. Pada masa perang, dengan adanya blokade Belanda, maka hubungan badan sentral dengan cabang-cabangnya tidak berjalan dengan lancar. Perpecahan sesudah Perjanjian Renville tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan pendapat dalam garis politik.

(18)

SOBSI pada dekade 1950-an menjadi federasi serikat buruh terkuat di Indonesia, baik dari segi jumlah maupun aktivitasnya.

Golongan yang tidak setuju dengan pemerintahan Sjahrir, membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Revoloesioner Indonesia (GASBRI). Ketika terjadi Peristiwa Madiun 1948, sejumlah tokoh SOBSI mati ditembak atau ditangkap. Sejumlah tokoh lainnya yang berhasil menyelamatkan diri, terus bergerak, walaupun tidak dapat tampil ke permukaan 16 serikat buruh yang semula bergabung dengan SOBSI memisahkan diri dari federasi tersebut.

Para tokoh yang semula bergabung kembali pada bulan Juli 1949, dan mendirikan Himpunan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (HISSBI), bergabung di bawah Gaboengan Serikat Boeroeh Indonesia (GSBI). HISSBI tidak bertahan lama, dan hilang seiring dengan tampilnya SOBSI ke panggung gerakan buruh Indonesia. Di samping kedua federasi yang besar itu, golongan Islam mendirikan Serikat Boeroeh Islam Indonesia (SBII), tanggal 27 November 1948. Tidak seperti SOBSI, organisasi ini tidak memiliki hubungan yang dekat dengan pemerintah RI. Sementara itu di luar wilayah republik, pada periode 1946-49 terjadi sejumlah perkembangan dalam gerakan buruh. Di Jakarta, didirikan dua buah organisasi buruh yang dikendalikan orang-orang Tionghoa, yaitu Federasi Perkoempoelan Boeroeh Seloeroeh Indonesia (FPBSI), dan Poesat Organisasi Boeroeh (POB). Sementara itu di beberapa kota pulau Sumatra, organisasi buruh bermunculan, begitu pula di Kalimantan. Di Bogor, didirikan Gaboengan Serikat Boeroeh Indonesia (GABSI),

(19)

Indonesia (ISBI). Di Surabaya didirikan Gaboengan Perserikatan Boeroeh Indonesia (GPBI) dan Federasi Boereoh Indonesia (FBI). Di luar Pulau Jawa, sejumlah organisasi berdiri di Balikpapan, Banjarmasin, Makassar (Ujung Pandang), Pare-Pare, Manado dan lainnya.

Begitu banyaknya jumlah organisasi yang tidak jarang mengklaim diri mereka sebagai federasi tentu memiliki alasan tertentu. Perbedaan pendapat mengenai dasar organisasi dan persepsi politik adalah sumber perpecahan yang amat umum. Perpecahan dan penggabungan merupakan pemandangan umum pada masa itu. Kehidupan sosial-politik yang demokratis pada masa pasca-Proklamasi tidak mengizinkan terjadinya tindakan-tindakan sentraisasi yang amat ketat. Semua tindakan yang kelihatan mengarah pada sentralisasi, segera dituding sebagai tindakan yang tidak demokratis dan tidak sejalan dengan perjuangan kepentingan kaum buruh. Walau begitu sulit untuk menilai bahwa masa itu merupakan masa kekacauan, dalam pengertian tidak adanya serikat buruh yang dapat dijadikan pegangan. Pandangan yang melihat gejala tersebut (sampai tahun 1957) sebagai keruntuhan demoksi, sebenarnya telah melandaskan gagasannya pada perkembangan demokrasi yang terjadi di Barat. Pandangan seperti itu tak dapat dibenarkan, karena cenderung mengabaikan pengalaman historis kelas buruh Indonesia.

Buruh yang terlibat dalam organisasi tertentu di tahun 1950-an jumlahnya mencapai antara 3-4 juta orang. Kaum buruh ini bergabung di bawah sekitar 150 serikat buruh nasional, dan ratusan serikat buruh lainnya di tingkat lokal, yang tak memiliki afiliasi di tingkat nasional. Serikat-serikat buruh nasional memiliki jumlah

(20)

anggota yang beragam. Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) misalnya mengklaim anggotanya sebanyak 600.000 orang. Sementara serikat buruh nasional seperti Perhimpunan Ahli Gula Indonesia (PAGI) hanya memiliki 600 anggota. Label ‘nasional’ yang dikenakan dengan begitu tidak menjamin jumlah anggota yang banyak. Di antara ratusan serikat buruh itu, dapat dilihat adanya empat federasi serikat buruh yang cukup besar dan tiga federasi yang lebih kecil, serta sejumlah organisasi lainnya yang juga mengklaim dirinya sebagai federasi. Keempat federasi serikat buruh itu adalah:

Pertama, SOBSI dengan anggota sekitar 60% dari seluruh jumlah buruh yang terorganisir. Federasi ini memiliki organisasi yang baik, dan paling efisien dari segi administrasi. Seperti diketahui, federasi ini dibentuk di tahun 1946 ketika Indonesia sedang berada dalam perang kemerdekaan. Kementerian Perburuhan di tahun 1956 menyatakan federasi ini memiliki 2.661.970 anggota. Organisasi ini memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kembali ke panggung politik pada tahun 1951 di bawah pimpinan Dipa Nusantara Aidit. SOBSI terdiri atas 39 serikat buruh nasional dan sekitar 800 serikat buruh lokal. Di antaranya yang cukup penting adalah SBG, Sarbupri, Sarbuksi (Kehutanan), SBPP (Pelabuhan), SBKA, SBKB (Kendaraan Bermotor), SERBAUD (Angkatan Udara), SB Postel, Perbum (Minyak), SBTI (Tambang), SBIM (Industri Metal), SBRI (Rokok), Sarbufis (Film), SBKP (Kementerian Pertahanan), Kemperbu, SBPU (Pekerjaan Umum), SEBDA, dan SBPI (Percetakan). SOBSI juga memiliki afiliasi dengan World

(21)

Federation of Trade Unions (WFTU). Njono yang menjadi Sekretaris Umum SOBSI juga menjabat sebagai Wakil Presiden WFTU.

Kedua, Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI), yang didirikan pada tanggal 12 Mei 1953 terdiri atas serikat-serikat buruh yang non komunis. Jumlah anggotanya saat pembentukan mencapai 800.000 orang, tapi segera berkurang seiring dengan terjadinya perpecahan di tingkat kepemimpinannya. Serikat buruh yang menjadi pendukung federasi ini adalah PERBUPRI (perkebunan), PBKA (kereta api), SKBM (minyak), SBP (pertambangan), SBKPM (penerbangan), OBPSI (perniagaan). Organisasi ini tak memiliki afiliasi dengan organisasi buruh internasional, dan amat terbatas kegiatannya pada hal-hal yang berhubungan dengan keadilan sosial.

Ketiga, SBII didirikan di bulan November 1948 oleh tokoh-tokoh Partai Islam, Masyumi yang menyadari pentingnya gerakan organisasi buruh sebagai basis pendukung partai. Pada tahun 1956 anggotanya diklaim sebanyak 275.000 orang dari berbagai bidang pekerjaan. Pimpinan SBII ini dipegang oleh Mr. Jusuf Wibisono, anggota Presidium Masyumi dan pernah menjadi Menteri Keuangan. Sesuai dengan nama yang disandang, organisasi ini melandaskan gagasannya pada ajaran-ajaran Quran. SBII ini memiliki afiliasi dengan International Conference of Free trade Unions (ICFTU). Selain itu SBII juga mengadakan kontak dengan gerakan buruh di negara-negara Islam.

Keempat, Kesatuan Buruh Kerakjatan Indonesia (KBKI) didirikan pada tanggal 10 Desember 1952. Organisasi ini semula bernama, Konsentrasi Buruh Kerakjatan Indonesia, dan memiliki hubungan dengan Partai Nasional Indonesia.

(22)

Dalam salah satu pernyataannya tertulis bahwa organisasi ini bekerja bersama PNI dalam mencapai tujuan-tujuannya. Azas yang melandasi organisasi ini adalah Marhaenisme (ajaran Soekarno). Pada tahun 1955 organisasi ini mengklaim memiliki anggota sebanyak 95.000 orang. KBKI ini juga adalah anggota PNI, dan keberhasilan KBKI dalam menggalang kekuatan (di tahun 1958 ditaksir jumlah anggotanya lebih dari setengah juta orang) tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan PNI. Walaupun berhubungan dengan gerakan buruh di luar negeri, dan turut berpartisipasi dalam aktivitas internasional, KBKI tetap memilih tidak bergabung dengan serikat Buruh Internasional (dalam situs

2.6. Gerakan Sosial

Konsep gerakan social dimunculkan tahun 1842 oleh Lorenz von Stein, seorang sarjana Jerman, untuk menggambarkan gerakan sosial proletarian sosialis. Gerakan sosial dikategorikan sebagai gerakan yang dilakukan kelas pekerja atau buruh yang menuntut pembagian kesejahteraan ekonomi yang adil dalam konteks hubungan pekerja dan pemilik modal. Dalam istilah yang lebih strukturalis, gerakan sosial menuntut perubahan sosial yang lebih fundamental tatanan sosial masyarakat yang dianggap timpang dan tidak adil. Dalam perspektif Marxian, gerakan sosial diawali dari adanya proses alienasi dan marginalisasi buruh yang terjadi selama proses industrialisasi. Bagaimana alienasi dan marginalisasi terjadi, dikaitkan dengan proses pemiskinan kerja atau buruh akibat sistem pengupahan yang murah dan

(23)

ekonomi atau komoditas produksi sama seperti bahan-baku yang harus ditekan sekecil mungkin cost nya untuk menghasilkan benefits yang sebesar-besarnya bagi pemilik kapital. Persepsi pemilik modal terhadap pekerja (force ofproduction) adalah identik dengan mesin produksi (means of production) sehingga menempatkan posisi pekerja secara ekonomi, sosial dan politik sebagai pihak yang dapat dieksploitasi secara fisik untuk menghasilkan keuntungan ekonomi yang besar. Posisi pekerja yang secara ekonomi dan sosial sebagai sub-ordinat pemodal ini mengawali terjadi proses alienasi sosial, ekonomi dan politik diri pekerja dari dunia sekitarnya.

Dalam perspektif strukturalis, mesinisasi pekerja sebagai mesin produksi tidak sebanding dengan upah yang mereka terima namun mereka tidak mampu meningkatkan posisi tawar ekonomi karena pekerja sudah sedemikian tergantung dengan upah yang rendah guna menjamin eksistensi kehidupan mereka. Upah rendah dan kemiskinan menjadi keseharian pekerja dan mereka menerima marginalisasi sebagai hal yang biasa, sehingga muncul istilah a klassse an sich (class in itself) yaitu suatu bentuk penerimaan atas realitas sosial yang mengarah pada terjadinya proses pemiskinan pekerja sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Konsep yang tepat untuk menggambarkan keadaan demikian adalah kesadaran palsu (false consciousness) yang melingkupi kesadaran pekerja atas realitas sosial dan ekonomi yang eksploitatif. Dalam konteks teori gerakan sosial, pengubahan kesadaran palsu menuju kesadaran yang sebenarnya (class for it self) membutuhkan proses penyadaran politik dan mobilisasi politik melalui pembentukan organisasi pekerja yang kuat. Fungsi utama penyadaran dan mobilisasi politik adalah untuk

(24)

membongkar (unmask) realitas semu (palsu) yang ada dalam konstruksi pemikiran pekerja atas dunia sosial mereka yang tereksplotasi. Fase unmask atas realitas semu (palsu) guna menghasilkan kesadaran yang sebenarnya adalah awal dari terbentuknya suatu gerakan sosial, yang selanjutnya dapat ditahapkan sebagai berikut (Dawson, Gettys 1934) :

1. unrest, (muncul kekacauan, sikap frustrasi, merasakan ketidakadilan)

2. excitement, ( menuju pada sublimasi, keinginan yeng mengebu untuk

bertindak menentang)

3. formalization, (perumusan konsep dan ideologi perjuangan) 4. institutionalization, (pelembagaan / organisasi pergerakan) 5. dissolution (akhir dari tujuan)

Menurut perspektif strukturalis, ide tentang gerakan sosial dihubungkan dengan struktur sosial yang ada seperti adanya ke timpangan dan ketidakadilan serta perasaan alienasi. Adanya faktor yang saling mengaitkan dengan struktur sosial diungkapkan Heberly seperti adanya kaitan dengan:

1. ideologi, keyakinan dan kohesi sosial kelompok

2. faktor kepentingan psikologi sosial, sentimen dan kebencian/ dendam 3. struktur internal gerakan sosial, distribusi kekuasaan dan pengaruh intern 4. strategi gerakan

(25)

Sementara itu, Baldridge menghubungkan gerakan sosial dengan perilaku kolektif yaitu aksi yang dilakukan kelompok terorganisasi untuk memformulasikan adanya perubahan sosial atau memperjuangkan ide-ide perubahan (Baldridge, 1980:509). Dengan aspek perilaku kolektif, maka gerakan sosial dilihat sebagai reaksi psikologi atas situasi lingkungan sosial yang dianggap tidak adil oleh kelompok yang melakukan aksi protes dengan tujuan perubahan sosial. Faktor - faktor sosial yang menjadi sebab gerakan adalah aspek diskrepansi atau kesenjangan antara cita - cita/ harapan yang ingin dicapai dengan kenyataan sosial yang ada. Akumulasi diskrepansi menyebabkan frustrasi sosial dan kekecewaan sosial sehingga menumpuk menjadi bentuk kesadaran massa (kolektif) menentang struktur kekuasaan yang dianggap tidak adil. Selanjutnya ia merumuskan ciri-ciri gerakan sosial yaitu:

1. berorientasi pada kekuasaan, yaitu perjuangan untuk mempengaruhi dan mengontrol sumber - sumber kekuasaan dalam masyarakat

2. berorientasi pada nilai, yaitu adanya sistem nilai dan menyakinkan publik tentang nilai yang diperjuangkan melalui persuasif dan aksi -aksi protes misalnya yang terjadi di USA gerakan kebebasan perempuan dan gerakan penentangan diskriminasi ras

3. adanya ekspresif personal, yaitu penemuan jati diri gerakan melalui figur personal yang kuat dan karismatis serta menjadi sentra ide-ide gerakan

4. resistensi yaitu perlawanan dengan mempromosikan perubahan sosial atau bahkan menentang perubahan yang dipromosikan kelompok lain.

(26)

Gerakan sosial dapat diukur dari sejauhmana daya tahan gerakan dalam menghadapi tekanan-tekanan kelompok luar. Gerakan sosial yang memiliki karakter kuat dalam kepemimpinan, sosialiasasi ide-ide yang mengakar dan strategi merumuskan isu sebagai tema-tema krisis akan mampu bertahan relatif lama. Terkait dengan masalah tersebut suatu gerakan sosial ibarat embrio yang mengalami evolusi dan menghadapi tekanan -tekanan bahkan mendekati kehancuran kalau tidak mampu mengembangkan beberapa tahapan yaitu:

1. pengembangan gerakan;

2. agitasi dan kesadaran ideologi gerakan;

3. adanya ideologi atau keyakinan umum sebagai pemersatu gerakan;

4. kebutuhan adanya kepemimpinan yang sentral sebagai figur pusat gerakan; 5. interpretasi akan situasi sosial yang menyulut gerakan seperti kemiskinan,

ketidakadilan, konflik akut dalam tubuh kekuasaan dan kondisi-kondisi sosial yang dianggap opresi dan diskriminasi rasial.

Sementara itu, dalam kaitan sebagai aksi massa kolektivitas, gerakan sosial berbeda dengan misalnya bentuk-bentuk protes sosial walaupun keduanya merupakan perilaku kolektif massa. Hal ini digambarkan oleh Lofland yang mengindentifkaskan tipe-tipe protes sosial sebagai bentuk aksi massa yang terjadi karena munculnya faktor-faktor krisis dalam kehidupan kelompok sosial. Protes sosial dikaitkan dengan bentuk penyataan pendapat yang disampaikan beramai-ramai yang umumnya berupa pembangkangan, keluhan, keberatan, boikot, pemogokan atau keengganan melakukan

(27)

sesuatu terhadap kekuasaan dan mengeluarkan deklarasi yang menolak gagasan di muka umum (Lofland, 2003:2-3).

Reaksi protes sosial terhadap keadaan yang dipersepsikan sebagai krisis oleh kelompok protes lebih spontan dan tidak terstruktur sebagaimana sebuah gerakan sosial. Namun demikian, sebuah aksi protes sosial dapat berubah menjadi bentuk aksi gerakan sosial manakala terdapat kondisi-kondisi objektif seperti kondisi makro politik berubah tidak menguntungkan kelompok protes, adanya struktur organsiasi yang permanen (grassroot) serta ideologi gerakan (Lofland, 2003:27).

Menurutnya, ada beberapa varian gerakan protes:

1. crowd dengan emosi dominan pada aspek kecemasan, ketakutan, panik, teror, dan perasaan terancam;

2. mass dengan emosi dominan pada ekspresi kerusuhan kolektif, frustrasi

mendalam, ketidakberdayaan, terdapatnya perasaan kepuasan emosi (( ekstasi)

yang meluap-luap, menuju pada kerusuhan (riot) dan hysteria;

3. public dengan emosi pada pemahaman sentimen umum yang relatif sama;

4. social movement dengan emosi dominan pada tuntutan perubahan yang

didahului pemahaman kolektif akan situasi politik yang tidak normal, krisis, ke mandegan yang merusak tatanan kelompok protes atau gerakan.

(28)

2.7Definisi Konsep

1. PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.

2. Hotel adalah suatu usaha yang menggunakan suatu bangunan atau bagian dari bangunan daripadanya yang khusus disediakan, dimana setiap orang dapat menginap dan makan serta memperoleh pelayanan dan fasilitas lainnya dengan pembayaran (mempunyai restoran yang berada di bawah manajemen hotel tersebut).

3. Buruh (Pekerja) adalah orang yang bekerja di bawah perintah orang lain, dengan menerima upah karena dia melakukan pekerjaan di tempat ia bekerja. 4. Buruh Tetap adalah pekerja yang terikat dalam hubungan kerja dengan

pengusaha, yang tidak didasarkan atas jangka waktu tertentu atau selesainya pekerjaan tertentu .

5. Pengusaha adalah seseorang yang dengan bebas mempekerjakan orang lain dengan memberi upah untuk bekerja pada perusahaannya.

6. Gerakan Buruh adalah gerakan atau perjuangan yang dilakukan secara kolektif (bersama-sama) oleh kaum buruh untuk memenuhi kepentingan sosial-ekonomi dan politiknya atau mempertahankan hak-hak dasarnya. Perjuangan kaum buruh bermuara pada persoalan: upah, waktu kerja, syarat kerja, dan kebebasan berserikat.

(29)

7. Serikat Pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkakan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

8. Diskriminasi adalah bentuk tindakan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana tindakan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi ditempat kerja dapat terjadi dalam berbagai macam bentuk:

a. Dari struktur upah,

b. Cara penerimaan karyawan,

c. Strategi yang diterapkan dalam kenaikan jabatan, atau d. Kondisi kerja secara umum yang bersifat diskriminatif.

9. Diskriminasi di tempat kerja berarti mencegah seseorang memenuhi aspirasi profesional dan pribadinya tanpa mengindahkan prestasi yang dimilikinya. 10. Upah terbagi menjadi :

a. Upah Pokok adalah imbalan dasar yang dibayarkan kepada buruh menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

b. Tunjangan tetap adalah pembayaran teratur berkaitan dengan pekerjaan diberikan secara tetap untuk pekerjaan dan keluarganya serta dibayarkan

(30)

dalam satuan waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok, seperti tunjangan isteri, anak perumahan kematian dan tunjangan lainnya.

11. Tunjangan tidak tetap, yaitu suatu pembayaran yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pekerjaan yang tidak tetap untuk buruh dan keluarganya secara tidak tetap untuk pekerjaan dan keluarganya serta dibayarkan dalam satuan waktu yang tidak sama dengan pembayaran upah pokok dan tunjangan tetap.

12. Uang Pesangon adalah pembayaran dalam bentuk uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang jumlahnya disesuaikan dengan masa kerja pekerja.

13. Hak – hak buruh yang di PHK ((Pemutusan Hubungan Kerja) adalah Uang Pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang ganti rugi.

Referensi

Dokumen terkait

takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian

Dari hasil penelitian terhadap 37 responden, menunjukkan bahwa pengetahuan perawat tentang peran perawat UGD yang baik sejumlah 54%, sedangkan yang bersikap

Pengaruh Konflik Kerja Dan Kecerdasan Emosional Terhadap Produktivitas Karyawan Pt Bikasoga Bandung (Studi Kasus Pada Divisi Gedung Pertemuan Dan Sarana Olahraga) Oleh :

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul EVALUASI PELAKSANAAN TRAINING

Dari nilai chi kuadrat hitung yang lebih besar dari chi kuadrat tabel dapat disimpulkan bahwa pendidikan seorang wajib pajak penghasilan orang pribadi terutama di

Maka berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diuraikan oleh penulis diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa PT Imaji Media dapat melakukan tindak pidana dan

Dengan demikian, yang menjadi permasalahan adalah apakah kebijakan konversi TKI non-formal ke formal ini sudah sesuai dengan perspektif hukum ekonomi pancasila dan

Untuk mengatasi kesulitan-kesulit- an menerjemahkan teks, perhatian yang cukup harus diberikan pada teori mener- jemahkan yang memang merupakan kajian yang sangat tua (Nababan,