• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. memiliki kejelasan nilai-nilai, tujuan, dan sasaran organisasi. Manusia sebagai unsur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. memiliki kejelasan nilai-nilai, tujuan, dan sasaran organisasi. Manusia sebagai unsur"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dipboye, Smith, dan Howell (1994) menyatakan bahwa sumber daya manusia memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan dalam organisasi dengan memiliki kejelasan nilai-nilai, tujuan, dan sasaran organisasi. Manusia sebagai unsur terpenting dalam organisasi mempunyai kemampuan untuk mengolah semua faktor dalam organisasi agar dapat mencapai visi dan misi organisasi. Unsur manusia dalam organisasi sebagai subjek kajian disiplin ilmu Psikologi Industri Organisasi tidak bisa diperlakukan dan disejajarkan dengan unsur-unsur lain dalam organisasi. Hal ini dikarenakan manusia merupakan makhluk yang kompleks karena berkaitan dengan perilaku, pikiran dan emosi masing-masing pegawai.

Kinerja di satu sisi merupakan aspek yang sangat penting untuk dibahas sehingga banyak perusahaan atau organisasi baik yang bersifat profit maupun nirlaba menempatkan kinerja sebagai persyaratan kerja yang diutamakan. Kinerja sebagai bentuk perilaku yang dilakukan oleh pegawai (Campbell, 1990b; Murphy, 1989; Motowidlo, Borman & Schmit, 1997). Kinerja merupakan aspek yang sangat penting bagi kelangsungan organisasi karena kinerja yang tinggi oleh pegawai dapat meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Kinerja yang tinggi oleh pegawai tentu dapat membantu pencapaian tujuan-tujuan organisasi yang sudah ditentukan sebelumnya. Kinerja yang tinggi ditunjukkan dengan kemampuan dalam melaksanakan tugas yang di atas rata-rata, adanya hubungan interpersonal yang baik antara pegawai, perilaku merusak dan perilaku merugikan organisasi yang jarang dilakukan oleh pegawai (Murphy, 1989)

(2)

Setiap organisasi menghendaki adanya pegawai yang mempunyai tingkat kinerja tinggi. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi kinerja seorang pegawai, aspek-aspek tersebut dibagi menjadi aspek internal dan aspek ekternal (Cascio, 2003). Faktor internal seperti kemampuan individu, motivasi, karakteristik individu, perilaku kewargaan organisasi (Spector, 2012), serta makna kerja (Wrzesniewski, Mccauley, Rozin, & Schwartz, 1997; Jones & George, 2007; Hackman & Oldham, 1980). Jewell & Siegall (1998) menjelaskan bahwa adanya kesempatan, kemampuan serta motivasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja, selain itu terdapat beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap tingkat kinerja seseorang. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas hambatan yang berasal dari organisasi dan kondisi lingkungan (Spector, 2012), kepuasan kerja dan sistem kompensasi (Robbins, 2004). Penerapan sistem kompensasi yang adil menyebabkan pegawai tersebut cenderung akan memiliki kinerja yang tinggi, pada kepuasan kerja ditandai dengan tingkat kesukaan pegawai terhadap pekerjaanya dan bekerja secara maksimal sehingga otomatis kinerjanya menjadi meningkat.

Kondisi tenaga kerja saat ini telah mengalami perubahan. Tenaga kerja dahulu memberikan loyalitas, kepercayaan dan komitmen yang dapat ditukarkan dengan keamanan kerja (job security), pelatihan, promosi dan dukungan dari atasan. Adapun saat ini terdapat perubahan dimana tenaga kerja dituntut untuk bekerja dalam waktu kerja yang lama dengan resiko dan tanggung jawab yang besar dan diharuskan bersikap fleksibel dengan perubahan dan ambiguitas. Bentuk situasi ini mengarahkan pada terbentuknya hubungan transaksional dimana tenaga kerja mengharapkan gaji yang tinggi, pembayaran berdasarkan kinerja dan hanya sebuah “pekerjaan” (Herriot & Pemberton, 1995). Hubungan transaksional antara tenaga kerja dengan organisasi telah memicu munculnya tingkat komitmen dan kepercayaan yang rendah antara kedua pihak (Cartwright & Holmes, 2006). Fenomena ini sudah terjadi di Indonesia. Fenomena ini muncul dalam bentuk

(3)

tingginya tingkat demo buruh seperti demo buruh pada 21 Januari 2012 sebagai bentuk kekecewaan mengenai kesepakatan upah (Artharini, 2012), fenomena adanya kutu loncat yang dianggap tidak memiliki kesetiaan terhadap perusahaan karena sering berganti perusahaan, karena didorong oleh kebutuhan untuk mencari tantangan yang lebih besar (portalhr.com, 2006), gaji yang lebih besar (portalhr.com, 2010), atau jabatan yang lebih tinggi. Selain perilaku yang ditunjukkan buruh, terdapat salah satu karakteristik lain yang sering sekali menurunkan kinerja seseorang ketika bekerja salah satunya membuang-buang waktu, hal ini cukup nampak dalam keseharian pegawai negeri sipil di Indonesia.

Berbagai pendekatan yang dilakukan oleh organisasi dalam mempertahankan kinerja seorang pegawai dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan makna dalam bekerja. Frankl (1984), seorang neurolog dan psikiatri, menyatakan bahwa pencarian makna merupakan motivasi utama dalam hidup seorang manusia. Pernyataan tersebut menjelaskan mengenai pentingnya makna dalam kehidupan manusia. Munculnya makna dalam diri manusia mampu: memberikan tujuan dalam kehidupan manusia (Frankl, 1992; Baumeister, 1987), menyediakan nilai dan standar dalam menyikapi perilaku individual (Baumeister, 1987), memberikan kemampuan mengontrol peristiwa dalam kehidupan mereka (Thompson & Janigian, 1988; Baumeister, 1987) dan memberikan harga diri dalam diri manusia (Frankl, 1992; Baumeister, 1987). Disamping memiliki makna dalam kehidupan, makna juga memberikan tata tertib (order) dan tujuan (purpose), sehingga individu dalam menjalani kehidupan yang makin kompleks ini individu dapat mencari makna untuk mengetahui eksistensi dirinya (Reker & Wong, 1988).

Kehidupan kerja (work-life) memiliki makna yang lebih spesifik yaitu makna kerja (Wrzesniewski dkk., 1997); Jones & George, 2007; Hackman & Oldham, 1980). Manfaat memiliki makna dalam bekerja tentu saja dapat bermanfaat dalam meningkatkan kinerja. Konsep makna kerja mulai marak dibicarakan dalam era moderenisasi ini karena terjadi

(4)

perubahan-perubahan pada diri pegawai dibandingkan dua puluh tahun yang lalu. Konsep makna kerja menjelaskan bagaimana seseorang menempatkan pekerjaan dalam tingkatan kepentingan tertentu dan tingkat kelekatan antara diri pegawai dengan pekerjaanya. Ruiz-Quintanilla dan Wilpert (1991) menjelaskan bahwa bekerja dan makna kerja merupakan komponen yang sangat penting dan fundamental dalam kehidupan individu, dan bekerja merupakan inti dari kehidupan kontemporer manusia (National Alliance of Mental Illness, 1999).

Bekerja merupakan bagian penting dari kehidupan manusia (Rapaport & Bailyn, 1998). Penelitian yang dilakukan dengan subjek masyarakat kota Hong Kong menemukan bahwa bekerja menempati peringkat pertama sebagai kegiatan yang penting dalam kehidupan individu, dan pada beberapa negara lainnya bekerja menempati peringkat kedua setelah keluarga (Kuchinke, Ardichvili, Borchert, & Rozanski, 2009; Westwood & Lok, 2003; Kuchinke dkk, 2011). Bekerja pada saat ini sudah sangat berpengaruh pada individu mulai dari kebutuhan finansial, relasi rekan kerja dalam organisasi, kegiatan santai, kesehatan, bekerja sebagai sumber harga diri hingga bekerja sebagai sumber kebahagiaan dalam hidup (King, 2011; Wrzesniewski dkk., 1997). Di sisi lain kondisi seseorang yang tidak bekerja tentu saja berpengaruh pada pemenuhuhan kebutuhan finansial, identitas pribadi dan kesempatan berkontribusi bagi masyarakat (National Alliance of Mental Illness, 1999). Kondisi tidak bekerja yang terlalu lama berpengaruh pada kesempatan untuk bekerja kembali. Hal tersebut dipengaruhi oleh kecenderungan hilangnya ilmu yang dimiliki seseorang untuk bekerja dan keterikatan terhadap informasi yang membantu individu untuk mencari kerja (Hornstein & Lubik, 2010)

Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap makna kerja. Makna kerja yang ternyata berpengaruh terhadap berbagai aspek dalam berbagai diri pegawai seperti kepuasan kerja (Anoraga, 1992, Wrzesniewski dkk., 1997), komitmen organisasi

(5)

(Anoraga, 1992), stress (Anoraga, 1992, Elangovan, Pinder, & McLean, 2010; Locke & Taylor, 1990), motivasi (Anoraga, 1992, Hackman & Oldham, 1980, Roberson, 1990), kehadiran kerja (Wrzesniewski dkk., 1997), perilaku kerja (Berg, Wrzesniewski & Dutton, 2010; Bunderson & Thompson, 2009; Wrzesniewski & Dutton, 2001), keterikatan kerja (May, Gilson, & Harter, 2004), identifikasi diri terhadap organisasi (Pratt, Rockmann, & Kaufmann, 2006), perkembangan karir (Dik & Duffy, 2009; Dobrow, 2006), pemenuhan kebutuhan pribadi (Kahn, 2007) hasil kerja (Kuchinke dkk, 2008; Kuchinke dkk, 2010) dan kinerja individu (Hackman & Oldham, 1980; Wrzesniewski, 2003).

Makna kerja memiliki pengaruh terhadap kinerja individu. Wrzesniewski dkk. (1997) menemukan bahwa makna kerja calling ternyata berpengaruh pada tingkat kehadiran, yang merupakan salah satu indikator penilaian dalam kinerja. Peneliti menggunakan makna kerja model orientasi kerja yang diajukan oleh Wrzesniewski (1999) dan Wrzesniewski dkk. (1997) yang terdiri atas tiga aspek yaitu:

1. Pertama, orientasi akan keuntungan ekonomi. Pekerjaan dilihat sebagai sebuah sarana untuk mencapai suatu tujuan (seperti untuk kesenangan atau menafkahi keluarga) dan ketika tidak mendapatkan gaji akan berhenti. Individu dengan orientasi ini menganggap bekerja hanya sebagai sebuah pekerjaan atau disebut orientasi kerja job; 2. Kedua, orientasi akan peningkatan jabatan atau karir. Individu melihat pekerjaan

sebagai sebuah tahap bertingkat atau pencapaian dilihat dari gaji yang tinggi, status atau kedudukan di tempat kerja dan tanggung jawab yang lebih besar. Kepuasan kerja dilihat dari adanya peningkatan gaji atau jabatan yang berkesinambungan. Individu yang melihat pekerjaan sebagai sebuah karir akan senantiasa mendedikasikan waktu, kemampuan dan usahanya untuk bekerja sepanjang waktu demi pencapaian karir dengan berfokus pada prestise dan kekuasaan yang lebih tinggi dan diasosiasikan

(6)

denga kenaikan gaji. Individu dengan orientasi kerja ini termasuk dalam orientasi kerja career.

3. Ketiga, individu dengan orientasi kerja ini tidak bekerja demi keuntungan ekonomis maupun peningkatan karir, namun demi pekerjaan itu sendiri. Individu merasakan motivasi untuk bekerja berasal dari dalam diri dan individu dengan orientasi kerja ini merasa bahagia dengan pekerjaan yang ia lakukan. Individu dengan orientasi kerja ini termasuk dalam orientasi kerja calling, yaitu individu merasa bekerja karena panggilan hidup.

Pegawai negeri sipil sebagai landasan dari upaya organisasi yang bersifat milik negara, kadang kala memiliki kinerja yang buruk. Sebagai contoh, Pegawai Negeri Sipil pada pegawai pemerintah daerah yang banyak sekali mendapatkan pemberitaan mengenai kinerjanya yang buruk. Perilaku yang sering dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil seperti keluyuran pada jam kerja, tidak melakukan pekerjaan di waktu yang telah menjadi jam kerja, membolos, dan menggunakan fasilitas serta kendaraan kantor untuk keperluan pribadi. Cara (2013) menulis bahwa ada beberapa Pegawai Negeri Sipil yang mangkir saat hari libur “kejepit” yaitu di hari pertama kerja usai libur Nyepi, maupun maupun Pegawai Negeri Sipil yang mangkir saat terdapat acara yang cukup penting (Miftah, 2013). Bahkan diperlukan kerja sama beberapa instansi dalam melakukan penertiban pada Pegawai Negeri Sipil yang mangkir (Media Kalimantan, 2013). Perilaku-perilaku pegawai negeri sipil inilah yang dapat menurunkan kinerja organisasi dimana para pegawai negeri sipil tersebut bernaung.

Universitas Gadjah Mada sebagai Universitas berstatus Perguruan Tinggi Negeri dan berbentuk Badan Layanan Umum, memiliki pegawai yang berstatus pegawai negeri sipil. Pegawai Universitas Gadjah Mada dituntut untuk memiliki kinerja yang tinggi hal ini didasari oleh sistem penilaian yang berdasarkan kinerja bukan pada senioritas (ugm.ac.id,

(7)

2009). Pegawai Universitas Gadjah Mada juga mendapatkan bantuan beasiswa jika ingin melanjutkan ke jenjang S2 atau S3 (HumasUGM, 2007). Selain jalur pendidikan terdapat jaminan kesehatan yang ditujukan bagi para pegawai Universitas Gadjah Mada (HumasUGM, 2006). Hal ini merupakan upaya Universitas Gadjah Mada dalam mengapresiasi kinerja para pegawainya juga sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan para pegawainya.

Pegawai Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada sebagai sumber daya manusia yang mengurusi berbagai permasalahan di Universitas Gadjah Mada tentu saja membutuhkan orang-orang yang berkinerja tinggi. Namun kadang kala terdapat beberapa perilaku yang menurunkan kinerja pegawai itu sendiri, sehingga diperlukan beberapa faktor dalam diri pegawai Universitas Gadjah Mada yang perlu dikembangkan. Makna kerja merupakan salah satu aspek yang peneliti ajukan dalam penelitian ini. Makna kerja berdasarkan pendapat tokoh yang peneliti rangkum merupakan salah satu faktor internal yang berpengaruh kepada kinerja, namun dalam prosesnya makna kerja dipengaruhi oleh berbagai pihak di dalam organisasi seperti rekan kerja, atasan, serta kelompok dalam organisasi (Rosso, Dekas, & Wrzesniewski, 2010). Pandangan individu mengenai pekerjaannya dapat mempunyai efek positif terhadap kinerja (Jones & George, 2007; Hackman & Oldham, 1980), lingkungan kerja, dan kehidupan individu secara umum (Jones & George, 2007). Pekerjaan yang dikerjakan oleh pegawai ketika pegawai tersebut mengerjakan dengan penuh makna dapat membuat pegawai merasakan merasakan kepuasan, lebih lekat dengan perusahaan dan juga lebih produktif (Ulrich & Ulrich, 2010). Pegawai juga bekerja dengan lebih keras, lebih pintar, dengan penuh kemauan dan juga kreatifitas. Adanya makna kerja membantu pegawai menemukan kepuasan atas pekerjaan yang ia lakukan. Makna kerja juga berpengaruh positif terhadap penilaian kinerja oleh atasan yang ditunjukkan melalui penelitian meta-analisis oleh Diefendorff dkk. (2002).

(8)

Wrzesniewski (2003) menjelaskan bahwa makna kerja yang tinggi disebut dengan calling. Pegawai yang memiliki makna kerja memiliki pengaruh terhadap beberapa aspek psikologis dalam diri pegawai yang berkontribusi terhadap kinerja individu. Individu dengan makna kerja calling memiliki motivasi tinggi dalam meningkatkan hubungannya dengan organisasi (Bal & Kooij, 2011). Hubungan dengan organisasi dengan individu salah satunya ditunjukkan dengan tingkat absen yang rendah (Wrzesniewski dkk., 1997), lebih fokus terhadap kerja dibandingkan menyia-nyiakan waktu (Kuchinke, Kang, & Oh, 2008; Snir & Harpaz, 2002), adanya keinginan tetap bekerja walaupun tidak mendapatkan keuntungan ekonomis (Kuchinke dkk., 2008; Wrzesniewski dkk., 1997). Hubungan lain antara makna kerja dan kinerja juga ditunjukkan oleh Cooper-Hakim & Viswesvaran (2005) yang menyatakan bahwa keterpusatan kerja berpengaruh secara positif terhadap kinerja seseorang.

Orientasi kerja job merupakan “lawan kutub” dari orientasi calling dimana karakteristik antara calling dan job berbanding terbalik (Wrzesniewski dkk., 1997). Perbedaan ini ditunjukkan ditunjukkan dengan rendahnya hubungan antara individu dengan organisasi seperti tingkat membolos yang tinggi (Wrzesniewski dkk., 1997), lebih mementingkan kegiatan diluar waktu kerja atau lebih fokus pada kegiatan bersenang-senang (Wrzesniewski dkk., 1997), dan lebih mementingkan keuntungan ekonomis dibandingkan keuntungan lainnya (Wrzesniewski dkk., 1997). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa orientasi kerja job merupakan makna kerja yang rendah.

Orientasi kerja career merupakan konsep yang lahir dari pandangan pada invidivi yang menganggap organisasi adalah “tangga” yang harus didaki. Karakteristik individu dengan orientasi kerja career menunjukkan motivasi yang tinggi terhadap peningkatan jabatan (Wrzesniewski dkk., 1997). Individu dengan orientasi career menunjukkan bahwa peningkatan jabatan dalam dirinya sangat penting karena berhubungan dengan harga diri

(9)

(Bellah dkk., dalam Wrzesniewski dkk., 1997), munculnya harapan (Lopper, 2007) dan kebahagiaan (May dkk., 2004; Seligman , 2002) yang lebih tinggi pada individu. Individu dengan orientasi kerja career menunjukkan motivasi yang tinggi dalam bekerja karena mempunyai pandangan bahwa jika mereka bekerja dengan baik, mereka akan mendapat imbalan berupa kenaikan jabatan atau peningkatan gaji (Wrzesniewski dkk., 1997).

Berdasarkan pendapat dan penelitian dari beberapa pendapat tokoh di atas memberikan sebuah gambaran tentang hubungan makna kerja dengan kinerja pegawai negeri sipil. Makna kerja yang dimiliki oleh pegawai ternyata memiliki hubungan dengan kinerja yang dapat dilihat pada perilaku kerja pegawai.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengkaji hubungan empiris antara makna kerja dan kinerja individu. Diharapkan penelitian ini mampu menjelaskan hubungan korelasi antara makna kerja dan kinerja.

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan ilmu bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya Psikologi Industri Organisasi dan Psikologi Positif.

b. Penelitian ini diharapkan menambah referensi kajian untuk pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya tentang makna kerja di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan saran dan evaluasi kepada pemimpin organisasi untuk dapat memperhatikan makna kerja pegawai di dalam organisasi.

Referensi

Dokumen terkait

Kesultanan Aceh yang pernah dikenal sampai keluar negeri. Peninggalan berupa bangunan Cagar Budaya ini berada di sekitar lingkungan siswa. Salah satu peninggalan Sultan

Konfigurasi I dilakukan untuk memprediksi parameter yang dapat diukur langsung di lapangan (in site) seperti DO, pH dan suhu hal ini dilakukan apabila kita

Pada tahun 2013, Pusdiklatwas BPKP menyelenggarakan diklat ‘Management of Training’ dengan peserta seluruh pejabat structural Pusdiklatwas BPKP dan satu pejabat struktural

Dari beberapa bahan galian tersebut, terdapat beberapa bahan galian yang memiliki potensi yang cukup besar dan prospek yang baik apabila dapat dimanfaatkan dan dikembangkan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap instrumen penilaian kemampuan studentpreneur aspek kognitif, afektif, dan psikomotor di SMK Negeri 6 yogyakarta

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

Gubal gaharu terbentuk akibat infeksi jamur patogen pada tanaman gaharu. Setelah dilakukan isolasi jamur pada gubal gaharu dan batang tanaman gaharu yang terinfeksi