• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRISNIP KEHATI-HATIAN PADA TRANSAKSI SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI (STUDI KASSUS PADA BANK X)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRISNIP KEHATI-HATIAN PADA TRANSAKSI SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI (STUDI KASSUS PADA BANK X)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PRISNIP KEHATI-HATIAN PADA TRANSAKSI SURAT KREDIT

BERDOKUMEN DALAM NEGERI (STUDI KASSUS PADA BANK X)

Evi Dita Pratiwi dan Aad Rusyad Nurdin

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

Email: Pratiwi.evidita@gmail.com Aad.usyad@ui.ac.id

Abstrak

Dalam skripsi ini dibahas tentang prinsip kehati-hatian yang pada transaksi SKBDN yang dilakukan oleh Bank X. SKBDN itu sendiri merupakan suatu janji bayar yang diberikan oleh bank penerbit kepada penerima. SKBDN akan digunakan utuk transaksi perdagangan yang memiliki nilai besar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana prinsip kehati-hatian yang diterapkan oleh Bank X pada transaksi SKBDN. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implikasi yang terjadi apabila Bank X melakukan pelanggaran SKBDN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis, yaitu penelitian yang memberikan gambaran dan penjelasan berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah Bank X telah melakukan prinsip kehati-hatian yang diatur di dalam Undang-undang dan Peraturan Bank Indonesia, akan tetapi Bank X melanggar salah satu aturan Bank Indonesia dikarenakan pemohon adalah salah satu nasabah terbesar pada Bank X.

The Implementation of Prudential Banking Principle on Domestic Letter of Credit Transaction (Case Study in Bank X)

Abstract

This minor thesis is about the implementation of prudential principle on Domestic Letter of Credit (SKBDN) in Bank X. A Domestic Letter of Credit is any arrangement of the issuing bank to honor a complying presentation. Domestic Letter of Credit is one of payment method for goods transaction which used for a huge transaction. The purposes of this minor thesis are to know the implementation of prudential principle on Domestic Letter of Credit and to know the implication for party who breaks the regulation. Research method which is used in this study is a qualitative method and the shape of the research is descriptive-analytical, which is empirically gives an overview and explanation based on the analysis conducted in this research. Results from this research are Bank X was followed the regulation and Bank of Indonesia regulations, but Bank X broke on of Bank of Indonesia regulation because the applicant is one of the majority customer.

(2)

Pendahuluan

Perbankan menurut Undang-undang No. 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bank didefinisikan sebagai:

“Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”1

Sebagai lembaga keuangan, bank memiliki peranan penting dalam kegiatan perekonomian suatu negara karena maju atau tidaknya suatu negara dapat dilihat dari fungsi bank yang ada di negara tersebut.2 Untuk mewujudkan keberhasilan kegiatan ekonomi di suatu negara, bank sebagai lembaga keuangan memiliki beberapa kegiatan untuk mencapai hal tersebut, dimana kegiatan bank pada umumnya adalah:3

1. Menghimpun dana (uang) dari masyarakat dalam bentuk simpanan, misalnya: simpanan giro (demand deposit), simpanan tabungan (saving deposit) dan simpanan deposito (time

deposit).4

2. Menyalurkan dana ke masyarakat.

3. Memberikan jasa-jasa lainnya.

Pada kegiatan pemberian jasa-jasa lainnya oleh bank, bank memiliki peranan penting sebagai lembaga yang memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.5 Untuk memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, maka untuk

                                                                                                                         

1 Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

UU No. 10 Tahun 1998, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No. 3790, Ps. 1 angka 2.

2 Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, edisi revisi, cet. 10, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2012), hal. 2. 3 Ibid., hal. 33.

4 Ibid., hal. 4.

5 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia ditinjau menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, dan Undang-undang No. 23 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Inodnesia, serta Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), cet. 7, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 81.

(3)

mendukung hal tersebut, bank mengeluarkan beberapa jasa perbankan, salah satunya adalah

letter of credit dalam transaksi perdagangan dalam negeri dan luar negeri.6

Letter of Credit dalam transaksi perdagangan luar negeri berdasarkan UCP 600 didefinisikan

sebagai “… any arrangement, however named or described, that is irrevocable and thereby

constitutes a definite undertaking of the issuing bank to honour a compling presentation.”7

Letter of credit dalam perdagangan internasional diterbitkan dengan tujuan untuk

memberikan jaminan pembayaran kepada penerima L/C. Dengan adanya jaminan yang diberikan oleh penerbit L/C (yang biasanya bertindak sebagai pembeli barang) kepada penerima (yang biasanya adalah penjual barang) maka L/C sangat disukai oleh pedagang Internasional.8 Adanya janji bayar dari seorang pembeli kepada penjual, sebenarnya telah ada sejak zaman dahulu terutama di zaman perdagangan.9

Di Indonesia, terdapat jaminan pembayaran seperti letter of credit yang diperuntukkan untuk perdagangan dalam negeri, jaminan itu dikenal dengan Letter of Credit Dalam Negeri atau Surat Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN). Dasar hukum operasional dari SKBDN terdapat di dalam Peraturan Bank Indonesia No. 5/6/PBI/2003 jo. PBI No. 10/5/PBI/2008. Di Peraturan Bank Indonesia, SKBDN diartikan sebagai:

….setiap janji tertulis berdasarkan permintaan tertulis Pemohon (Applicant) yang

mengikat Bank Pembuka (Issuing Bank) untuk melakukan pembayaran kepada Penerima atau ordernya, atau mengaksep dan membayar wesel yang ditarik oleh Penerima; memberi kuasa kepada Bank lain untuk melakukan pembayaran kepada Penerima atau ordernya, atau mengaksep dan membayar wesel yang ditarik oleh Penerima; atau memberi kuasa kepada Bank lain untuk menegosiasi wesel yang ditarik oleh Penerima atas penyerahan dokumen, sepanjang persyaratan dan kondisi SKBDN

dipenuhi.”10

                                                                                                                         

6 Ibid., hal. 93.

7 ICC, Uniform Customs and Practice for Documentary Credit, 2007 Revision, ICC Publication No. 600,

article 1.

8 Ramlan Ginting, Letter of Credit: Tinjuan Aspek Hukum dan Bisnis, (Jakarta: Trisakti, 2007), hal. 39. 9 Sweet dan Maxwell, Law of Bank Payments, edisi ke-4, (England & Wales: Thomson Reuters, 2010),

hal. 751

10 Bank Indonesia Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No. 5/6/PBI/2003 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri, PBI No. No. 10/5/PBI/2008, LN No. 31DInt/UKMI Tahun 2008, TLN No. 4819 DInt/UKMI Ps. 1 angka 1.

(4)

Hubungan hukum utama yang terdapat dalam suatu pembukaan SKBDN secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:11

a. Hubungan hukum antara pembeli (pemohon) dan penjual (penerima) berdasarkan kontrak penjualan;

b. Hubungan hukum antara pemohon dan bank penerbit berdasarkan permintaan penerbitan SKBDN sebagai kontrak;

c. Hubungan hukum antara bank penerbit dan penerima berdasarkan SKBDN sebagai kontrak;

d. Hubungan hukum antara bank penerbit dan bank penerus berdasarkan kontrak keagenan; e. Hubungan hukum antara bank penerus dan penerima berdasarkan kontrak pembayaran

SKBDN.

Masing-masing hubungan hukum di atas adalah terpisah satu sama lain karena pihak-pihaknya berbeda dan para pihak memiliki hak dan kewajiban yang berbeda pula.

Meskipun hubungan hukum yang ada pada transaksi SKBDN berbeda satu dengan lainnya, tetapi bank yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan dana ke masyarakat, harus berhati-hati dalam memilih transaksi SKBDN mana yang akan disetujui oleh bank. Sikap hati-hati yang harus diterapkan bank baik dalam pemberian kredit atau pemberian fasilitas lainnya seperti SKBDN dikenal dengan prinsip kehati-hatian (Prudential Banking Principle).

Prinsip kehati-hatian harus diterapkan dalam kegiatan perbankan Indonesia, hal tersebut telah diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyebutkan bahwa “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.”12

Menurut Undang-undang No. 24 Tahun 1999, tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, prinsip kehati-hatian didefinisikan sebagai:

                                                                                                                         

11 Ramlan Ginting, Op.Cit., hal. 34.

12 Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Op.Cit., ps. 2.

(5)

“… salah satu upaya untuk meminimalkan risiko usaha dalam pengelolaan bank, baik melalui ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maupun ketentuan intern Bank

yang bersangkutan.”13

Transaksi dalam SKBDN yang disebutkan sebelumnya, merupakan salah satu kegiatan bank dimana bank akan memberikan jasa yang berupa penerbitan SKBDN yang dimohonkan oleh pemohon SKBDN. Pada umumnya transaksi SKBDN hanya digunakan dalam transaksi barang. Dalam PBI No. 5/6/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/5/PBI/2008 disebutkan bahwa “SKBDN hanya dilakukan untuk transaksi perdagangan barang. Dalam hal transaksi perdagangan barang tersebut terkait dengan perdagangan jasa yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, nilai barang harus lebih besar dari nilai jasa.”14

Pada praktiknya terdapat salah satu bank yang beroperasi di Indonesia yang pernah meneruskan SKBDN untuk transaksi jasa (selanjutnya disebut Bank X). Sebagai bank penerus, ia berkewajiban untuk meneruskan SKBDN yang ia terima kepada penerima. Setelah Bank X mengetahui bahwa penerima adalah salah satu nasabah utama yang bonafid dan sering melakukan transaksi di Bank X, Bank X setuju untuk meneruskan SKBDN yang telah dikeluarkan oleh bank penerbit(selanjutnya disebut Bank Y). Padahal, telah diketahui bahwa berdasarkan PBI No. 5/6/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/5/PBI/2008 SKBDN hanya diperuntukan untuk perdagangan barang.

Pada permasalahan ini, pemohon mengajukan permohonan kepada Bank Y untuk menerbitkan SKBDN dengan tujuan memberikan jaminan pembayaran kepada penerima, karena penerima telah melakukan jasa penimbunan dan pemadatan tanah. Dalam hal ini pemohon memiliki sebuah proyek untuk membuat jalan atau bangunan, dimana pemohon telah memiliki sebidang tanah dan semua bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat jalan atau bangunan. Sebelum pembuatan jalan/bangunan pemilik proyek (dalam hal ini adalah A) harus meratakan tanah yang ada terlebih dahulu. Untuk meratakan tanah, A membutuhkan bantuan pihak lain karena A tidak memiliki peralatan dan tenaga yang memadai untuk meratakan tanah. Oleh sebab itu, A meminta bantuan B untuk melakukan penimbunan dan pemadatan tanah. Pihak B pun bersedia untuk melakukan jasa penimbunan dan pemadatan tanah yang diminta oleh A, akan tetapi sebagai kontraktor, B ingin mendapatkan jaminan

                                                                                                                         

13 Indonesia, Undang-undang tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU No. 24 Tahun

1999, LN No. 67 Tahun 1999, TLN No. 3844, penjelasan Ps. 4 (1)

14 Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No. 5/6/PBI/2003 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri, Op.Cit., ps. 2 ayat (3).

(6)

pembayaran atas jasa yang telah ia kerjakan. Mengetahui hal tersebut, A berinisiatif untuk memohonkan penerbitan SKBDN kepada Bank Y. SKBDN yang akan diterbitkan tersebut diperuntukkan untuk pihak B. Bank Y yang menerbitkan SKBDN tersebut selanjutnya meminta bantuan bank lain untuk meneruskan SKBDN yang telah diterbitkannya guna untuk menyampaikan SKBDN kepada penerima.

Bank Y sebagai bank penerbit bersedia untuk menerbitkan SKBDN yang dimohonkan oleh pihak A, padahal SKBDN yang dimohonkan oleh A merupakan SKBDN yang bertujuan untuk pembayaran jasa kepada pihak B.

Bank X yang merupakan bank koresponden dari Bank Y terlibat dalam transaksi SKBDN ini sebagai bank penerus. Sebagai bank penerus, Bank X hanya berkewajiban untuk meneruskan SKBDN yang ia terima dari Bank Y kepada pihak B. Bank X dimungkinkan untuk melakukan negosiasi terhadap SKBDN yang diterbitkan oleh Bank Y karena Bank X mengetahui bahwa Bank Y sebagai penerbit SKBDN merupakan bank yang bonafid, di sisi lain pihak B merupakan nasabah utama Bank X. Dengan negosiasi yang dilakukan oleh Bank X, maka Bank X bersedia untuk melakukan pembayaran kepada pihak B terlebih dahulu, sebelum bank Y melakukan pembayaran, sebesar nilai dokumen yang ditagihkan maksimal sebesar nilai SKBDN.

Pada transaksi SKBDN yang dilakukan oleh bank, Bank Indonesia mewajibkan seluruh bank yang beroperasi di Indonesia harus memberikan laporan bulanan mengenai transaksi SKBDN yang telah dilakukan. Kewajiban memberikan laporan kepada Bank Indonesia telah diatur dalam PBI No. 5/6/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/5/PBI/2008 jo PBI No. 14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum. Dalam aturan dimaksud disebutkan bahwa setiap bank yang melakukan transaksi SKBDN harus memberikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai transaksi SKBDN apa saja yang telah dilakukan oleh bank tersebut setiap bulan.

Bank Y dan Bank X sebagai bank yang terlibat dalam transaksi SKDBN untuk transaksi jasa tentu memberikan laporan bulanan terhadap Bank Indonesia, akan tetapi dikarenakan laporan yang diberikan kepada Bank Indonesia tidak ada rincian mengenai tujuan pemberian SKBDN, maka Bank Indonesia tidak mengetahui jika dalam laporan tersebut terdapat transaksi jasa yang menggunakan fasilitas SKBDN.

(7)

Apabila nasabah lain mengetahui bahwa Bank X turut melakukan pelanggaran terhadap aturan Bank Indonesia karena Bank Y, maka dimungkinkan banyak nasabah yang akan khawatir akan penerapan prinsip kehati-hatian yang diterapkan Bank X karena mereka mengkhawatirkan dana yang telah mereka simpan. Oleh sebab itu, Bank X harus melaksanakan prinsip kehati-hatian untuk meminimalkan risiko-risiko yang dihadapi dalam menjalankan kegiatan perbankan.

Dari penjelasan sebelumnya maka timbullah suatu pertanyaan apakah Bank Y telah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penerbitan SKBDN dan jasa-jasa perbankan apa yang sebaiknya digunakan untuk menjamin pembayaran kontraktor, mengingat SKBDN tidak mengakomodasi jaminan pembayaran untuk kontraktor pada suatu transaksi jasa.

Dari latar belakang yang telah disebutkan, permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian dalam transaksi SKBDN?

2. Bagaimana implikasi hukum terhadap tindakan negosiasi SKBDN dalam transaksi jasa bagi Bank X?

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui penerapan prinsip kehati-hatian pada transaksi yang menggunakan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri apabila dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

2. Mengetahui implikasi hukum yang akan terjadi jika suatu bank konvensional melakukan penerusan terhadap SKBDN pada transaksi jasa.

Tinjauan Teoritis

Prinsip kehati-hatian (prudent principle) adalah suatu prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya.15 Prinsip kehati-hatian merupakan prinsip yang harus ditaati oleh bank dalam menjalankan usahanya. Dasar

                                                                                                                         

15 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

(8)

hukum yang mengatur bahwa prinsip kehati-hatian harus dijalankan oleh bank ada pada pasal 2 Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang berbunyi “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.”16 Selain itu prinsip kehati-hatian juga diatur di dalamUndang-undang No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Dalam pasal 4 ayat (1) UU Lalu Lintas Devisa disebutkan bahwa

Salah satu upaya untuk meminimalkan risiko usaha dalam pengelolaan bank, baik melalui

ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maupun ketentuan intern bank yang

bersangkutan.”17

Pada pasal 29 ayat (2) Undang-undang Perbankan, bank yang beroperasi di Indonesia wajib untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan usahanya.18 Prinsip kehati-hatian harus dijunjung tinggi oleh bank karena tugas utama bank adalah menghimpun dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat, sehingga bank harus berhati-hati dalam mengelola uang nasabahnya.19 Selain itu undang-undang perbankan juga mengatur bahwa prinsip

kehati-hatian harus diterapkan oleh bank dalam melakukan kegiatan penyaluran kredit. Pengaturan tersebut diatur di dalam pasal 29 ayat (3) undang-undang perbankan, yang berbunyi:

Dalam memberikan Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan

melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.”

Dalam menjalankan prinsip kehati-hatian pada kegiatannya memberikan kredit, bank harus menganut salah satu prinsip pemberian kredit yaitu prinsip 5C, prinsip 7P, atau Prinsip Studi Kelayakan. Pada prinsip 5C bank harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:20

                                                                                                                         

16 Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, op.cit., ps. 2.

17 Indonesia, Undang-undang tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Op.Cit., Penjelasan

ps. 4 ayat (1).

18 Hermansyah, Op.Cit., hal. 7.

19 Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, Op.Cit., hal. 4.

(9)

1. Character

Character merupakan sifat tau watak seseorang yang mana dalam pembahasan ini

adalah nasabah. Dalam prinsip kehati-hatian, bank akan meneliti bagaimana sifat dari nasabahnya, selain itu bank juga akan meneliti bagaimana latar belakang pekerjaan, cara hidup, gaya hidup, keadaan keluarga, hobi, dan sosial nasabahnya. Dari penilaian karakteristik ini, bank akan mengetahui seberapa besar kemauan nasabahnya untuk melunasi pinjaman-pinjaman yang ia miliki di bank.

2. Capacity

Prinsip 5C yan kedua adalah capacity yang tujuannya adalah mengetahui kemampuan calon nasabah untuk membayar hutang-hutang yang ia miliki apabila ia menjadi peminjam di suatu bank. bank akan melihat kemampuan nasabah berdasarkan kemampuannya mengelola bisnis dan mencari laba. Semakin banyak sumber pendapatan yang di dapat, maka semakin tinggi kemampuannya untuk membayar.

3. Capital

Capital adalah prinsip yang digunakan untuk mengetahui sumber-sumber

pembiayaan yang dimiliki nasabah terhadap usaha yang akan dibiayai oleh bank.

4. Collateral

Collateral adalah jaminan yang akan diberikan oleh nasabah apabila ia menjadi

peminjam dari suatu bank. Tugas bank dalam prinsip collateral ini adalah meneliti keabsahan dari jaminan yang diberikan oleh nasabah tersebut.

5. Condition

Condition adalah salah satu prinisp yang harus dilihat oleh pihak bank, apakah

kondisi perekonomian Indonesia untuk usaha yang akan dilakukan oleh nasaba peminjam akan baik di masa yang akan datang karena apabila kondisi dimasa datang tidak membaik, maka bank akan mengalami kerugian jika memberikan suatu kredit kepada calon debiturnya

Untuk menjalankan prinsip kehati-hatian yang diamanahkan oleh pasal 2 Undang-undang Perbankan, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral mengeluarkan beberapa peraturan mengenai prinsip kehati-hatian yang harus dipatuhi oleh bank21 dimana peraturan – peraturan

tersebut adalah:

                                                                                                                         

(10)

1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (SK Dir BI) No. 27/162/KEP/DIR tertanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan bagi Bank Umum.

2. Peraturan Bank Indonesia No. 5/6/PBI/2003 sebagai mana telah diubah dengan Peratauran Bank Indonesia No. 10/5/PBI/2008 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri

3. Peraturan Bank Indonesia No. 7/3/PBI/2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 8/13/PBI/2006 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.

4. Peraturan Bank Indonesia No. 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum.

5. Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah

6. Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 8/14/PBI/2006 tentang prinsip Good Corporate Governance

7. Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 seabgaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Inodonesia No. 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum

8. Peraturan Bank Indonesia No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.22 Jenis tipologi yang digunakan adalah deskriptif analisis. Jenis data yang

digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan. Adapun jenis bahan hukum yang dipergunakan adalah:

1. Bahan hukum primer yaitu merupakan bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat. Terdiri dari:

a. Norma atau kaedah dasar yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 b. Peraturan dasar:

1) Batang tubuh Undang-undang Dasar 1945                                                                                                                          

22 Sri Mamudji, et.al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum

(11)

c. Peraturan perundang-undangan:

Dalam penulisan ini akan dipergunakan berbagai peraturan perundang-undangan diantaranya seperti:

1) Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;

2) Undang-undang No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar;

3) Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

4) Undang-undang No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia

d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan seperti peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia terkait dengan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri, seperti:

1) PBI No. 5/6/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/5/PBI/2008 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri;

2) PBI No. 5/8/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum;

3) PBI No. 7/3/PBI/2005 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/5/PBI/2008 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum;

4) PBI No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan data Pribadi Nasabah;

5) PBI No. 8/4/PBI/2006 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 8/14/PBI/2006 tentang Good Corporate Governance bagi Bank Umum; 6) PBI No. 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum;

7) PBI No. 11/28/PBI/2009 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 14/127/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum;

8) PBI No. 14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum; 9) PBI No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum; 2. Bahan hukum sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang menjelaskan bahan

(12)

sebelumnya, yang dalam pengutipan atau pengambilan data akan dicantumkan melalui footnote dan/atau daftar pustaka.

3. Bahan hukum tersier yaitu merupakan bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer atau sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan sebagainya yang dalam pengutipan atau pengambilan data akan dicantumkan melalui footnote dan/atau daftar pustaka.

Alat pengumpulan data yang digunakan oleh penulis berupa studi dokumen dan wawancara.23 Studi dokumen dilakukan dengan menelaah berbagai bahan kepustakaan seperti buku, jurnal ilmiah, norma dasar, undang-undang yang terkait dengan penelitian.24 Sedangkan wawancara dilakukan kepada informan dari Bank X yang bekerja pada bagian divisi hukum.

Hasil Penelitian

SKBDN merupakan suatu metode pembayaran yang diperuntukkan untuk perdagangan barang. Akan tetapi dalam hal ini, ada suatu bank (yang selanjutnya disebut Bank Y) yang berani untuk menerbitkan SKBDN untuk transaksi jasa. Sebagai pemohon (yang selanjutnya disebut A), ia melakukan permohonan penerbitan SKBDN untuk menjamin pembayaran kepada penerima (yang selanjutnya disebut B) karena A dan B telah sepakat untuk melakukan kerjasama dalam pemberian jasa pembuatan semen.

Pada transaksi SKBDN tentu diperlukan bank lain yang kedudukannya sebagai bank penerus, dalam hal ini bank penerus adadalah Bank X. Awalnya Bank X hanya berkedudukan sebagai bank penerus, akan tetapi karena suatu hal, Bank X menyetujui untuk melakukan negosiasi terhadap SKBDN yang telah dikeluarkan oleh Bank Y. Menurut informan dari Bank X, ssebelum melakukan negosiasi, Bank X telah melakukan prinsip 5C terhadap pihak A. Dari prinsip 5C tersebut, Bank X mengetahui bahwa pihak A dan Bank Y merupakan pihak-pihak yang bonafid.

                                                                                                                         

23Ibid.

(13)

Pembahasan

Bank X yang merupakan Bank Umum Konvensional di Indonesia, dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya memiliki beberapa risiko, diantaranya: risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko kepatuhan, risiko hukum, risiko reputasi dan risiko stratejik.25 Untuk meminimalkan risiko-risiko tersebut, Bank X harus menerapkan prinsip kehati-hatian.26 Prinsip kehati-hatian (prudent principle) diartikan sebagai prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya.27 Prinsip kehati-hatian wajib dilaksanakan oleh Bank X dengan cara tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia maupun ketentuan internal Bank X.28

Apabila dilihat dari kasus posisi dalam transaksi SKBDN untuk transaksi jasa yang dilakukan Bank X, maka analisis penulis berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam transaksi SKBDN mengenai penerusan dan negosiasi yang dilakukan oleh Bank X adalah sebagai berikut:

SKBDN yang diterbitkan oleh Bank Y (issuing bank) merupakan SKBDN yang bertujuan untuk pembayaran transaksi jasa. Berdasarkan pasal 2 PBI No. 5/6/PBI/2003 sebagiamana telah diubah dengan PBI No. 10/5/PBI/2008 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri, disebutkan bahwa:

SKBDN hanya dilakukan untuk transaksi perdagangan barang; Dalam hal ini

transaksi perdagangan barang tersebut terkait dengan transaksi jasa yang tidak dapat

dipisahkan satu sama lain, nilai barang harus lebih besar dari nilai jasa.”29

Dari pasal diatas diketahui bahwa SKBDN hanya digunakan untuk perdagangan barang. Para pihak yang ingin menggunakan SKBDN untuk transaksi jasa hanya diperbolehkan apabila pemberian jasa tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan nilai barang haruslah lebih besar                                                                                                                          

25 Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, Op.Cit., ps. 7

26 Indonesia, Undang-undang No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Op.Cit., penjelasan ps. 4 ayat (1).

27 Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 18.

28 Indonesia, Undang-undang No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Op.Cit., penjelasan ps. 4 ayat (1).

29 Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No. 5/6/PBI/2003 tentng Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri, Op.Cit., ps. 2

(14)

dibandingkan nilai jasa, seperti jasa pembelian dan pemasangan AC (Air Conditioner). Pada kasus posisi diatas disebutkan bahwa penerbitan SKBDN ditujukan untuk membayar jasa penimbunan dan pemadatan tanah

Penimbunan tanah apabila diartikan secara gramatika diartikan sebagai proses, cara, dan perbuatan menimbun.30 Sehingga penimbunan tanah dapat diartikan sebagai proses, cara, dan atau perbuatan untuk menimbun tanah dengan tujuan tertentu. Sedangkan pengertian dari pemadatan tanah adalah upaya untuk mengatur kembali susunan butiran tanah, agar menjadi lebih rapat sehingga tanah akan lebih padat.”31

Berdasarkan pengertian dari penimbunan dan pemadatan tanah diatas, maka Bank Y telah salah memilih instrument pembayaran yaitu dengan menerbitkan SKBDN yang dimohonkan penerbitannya oleh pihak A (applicant). Bank Y menerbitkan SKBDN untuk transaksi jasa sehingga ia melanggar pasal 2 PBI No. 5/6/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/5/PBI/2008.

Pada saat Bank X memutuskan untuk melakukan penerusan dan selanjutnya menegosiasi dokumen SKBDN, Bank X telah melakukan prinsip kehati-hatian untuk mengurangi risiko kredit yang ada pada transaksi dimaksud. Dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian, Bank X telah melakukan CDD (Customer Due Diligence) dengan menggunakan metode 5C. Pada pelaksanaan CDD, Bank X mengetahui bahwa B

(beneficiary) merupakan nasabah yang tidak pernah masuk Daftar Hitam Nasional (DHN)32

Bank Indonesia, selain itu Bank X juga mengetahui jika B merupakan salah satu nasabah yang memiliki dana simpanan terbesar dan sering melakukan transaksi yang menguntungkan pada Bank X. Dari hasil CDD yang dilakukan oleh Bank X, Bank X pun memutuskan untuk melakukan penerusan dan dapat dilanjutkan dengan negosiasi dokumen SKBDN yang dimohonkan penerbitannya oleh A (applicant) dengan disertai hak regres.

                                                                                                                         

30 Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., hal. 1194 31 Tekno, Loc.Cit.

32 Bank Indonesia, diakses dari http://www.bi.go.id/id/iek/alat-pembayaran/Contents/Default_DHN.aspx

pada hari Minggu, 8 September 2015. Daftar Hitam Nasional (DHN) adalah informasi mengenai identitas pemilik rekening yang melakukan penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro baik melalui kliring maupun loket bank (over the counter). Seseorang akan dimasukan kedalam DHN apabila ia melakukan penarikan cek dan/atau bilyet giro kosong yang berbeda sebanyak 3 (tiga) lembar atau lebih dengan nilai nominal masing-masing Rp.500.000.000 pada bank yang sama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan; atau penarikan cek dan/atau bilyet giro Kosong 1 (satu) lembar dengan nilai nominal Rp.500.000.000,00 atau lebih.

(15)

Berdasarkan pasal 2 UU Perbankan jo. pasal 23 PBI No. 14/27/PBI/2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum menyebutkan bahwa prinsip kehati-hatian yang harus dimiliki perbankan salah satunya adalah dengan menerapkan prinsip CDD kepada nasabahnya. Pada PBI tersebut dikatakan bahwa bank harus memiliki informasi terkait dengan calon nasabahnya. Apabila dihubungkan dengan kasus posisi diatas, Bank X telah memenuhi pasal 23 PBI No. 14/27/PBI/2012 karena sebelum Bank X menyetujui untuk melakukan negosiasi terhadap SKBDN yang dimohonkan oleh B (beneficiary), Bank X telah memiliki informasi mengenai bonafiditas Bank Y dan nasabah B (beneficiary) dan ternyata B merupakan salah satu nasabah yang bonafid berdasarkan 5C, usahanya baik, memiliki dana besar dan transaksinya menguntungkan Bank X.

SKBDN atau yang lebih dikenal dengan domestic letter of credit harus mengikuti aturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit karena SKBDN merupakan transaksi rekening administratif.33 Pada pemberian fasilitas SKBDN,

baik Bank Penerbit, Bank Penegosiasi, dan Bank Pengkonfirmasi harus memperhatikan berapa nilai maksimal SKBDN yang dapat diberikan kepada nasabah. Berdasarkan PBI tentang BMPK, bank hanya boleh memberikan dana kepada pihak terkait dengan bank paling tinggi sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari modal bank.34 Sedangkan untuk pihak tidak terkait, bank hanya boleh memberikan dana paling tinggi sebesar 20% (dua puluh per seratus) dari modal bank.35

Apabila dilihat dari besarnya dana yang diberikan oleh Bank X kepada A (applicant) yang bukan merupakan pihak terkait, maka SKBDN sebesar ±Rp. 1.900.000.000,00 (satu milyar sembilan ratus juta rupiah) ternyata tidak melebihi 20% (dua puluh perseratus) dari modal bank. Sehingga meskipun Bank X melakukan negosiasi terhadap SKBDN untuk transaksi jasa, Bank X tidak melanggar pasal 11 PBI No. 7/3/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI No.8/13/PBI/2006.

Penerusan dan negosiasi yang dilakukan oleh Bank X terhadap SKBDN yang diterbitkan oleh Bank Y merupakan kesalahan yang dilakukan oleh Bank X. Kesalahan

                                                                                                                         

33 Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No.

7/3/PBI/2005 tentangBatas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, Op.Cit., ps. 1 angka 17.

34 Ibid., ps. 4

(16)

tersebut dikarenakan Bank X yang sudah mengetahui penerbitan SKBDN untuk transaksi jasa tidak diperbolehkan, namun tetap meneruskan SKBDN dan melakukan negosiasi terhadap SKBDN jasa yang telah diterbitkan oleh Bank Y. Perbuatan itu, membuat Bank X melanggar pasal 2 PBI No. 5/6/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/5/PBI/2008 tentang SKBDN. Dengan melanggar PBI tentang SKBDN, Bank X dapat terkena risiko kepatuhan, risiko kredit, risiko reputasi, risiko hukum, dan risiko likuiditas.

Bank X akan terkena risiko kepatuhan pada saat ia melakukan penerusan dan negosiasi terhadap SKBDN jasa karena Bank X mengetahui bahwa SKBDN untuk transaksi jasa dilarang oleh PBI 5/6/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/5/PBI/2008, akan tetapi Bank X justru melakukan penerusan dan negosiasi dengan alasan Bank Penerbit SKBDN sebagai penjamin merupakan bank yang bonafid, dan pihak B (beneficiary) merupakan nasabah utama Bank X, yang sudah dilakukan CDD, memiliki usaha yang bonafid, serta sering melakukan transaksi yang menguntungkan Bank X. Dengan dilakukannya negosiasi, Bank X juga akan menghadapi risiko kredit yang lebih besar bila dibandingkan dengan transaksi SKBDN untuk pembelian barang. Hal itu dikarenakan adanya kemungkinan bahwa pihak A (applicant) tidak mau membayar nilai SKBDN kepada Bank Y karena adanya sengketa terhadap penyerahan jasa, dan dapat meluas menjadi risiko hukum dan reputasi. Apabila nasabah lain mengetahui bahwa Bank X telah melanggar aturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia demi salah satu nasabah utamanya, maka nasabah lain akan mempertanyakan keamanan dari dana yang disimpannya pada Bank X. Jika banyak nasabah tidak mempercayai Bank X dan menarik dana yang mereka miliki, maka Bank X akan terkena risiko likuiditas karena Bank X akan mengalami penarikan dana yang berkesinambungan serta membayar surat-surat berharga yang ditagihkan oleh nasabah. Hal ini bila dimuat di media masa akan menimbulkan risiko reputasi bagi Bank X.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa Bank X sebagai bank pelapor berkewajiban untuk memberikan laporan mengenai transaksi SKBDN yang telah ia lakukan selama satu bulan. Dalam transaksi SKBDN jasa sebenarnya Bank X telah memberikan laporan tersebut kepada Bank Indonesia. Akan tetapi Bank Indonesia tidak mengetahui bahwa Bank X telah melakukan negosiasi terhadap SKBDN jasa. Hal itu disebabkan tidak adanya rincian kolom mengenai tujuan dari transaksi SKBDN. Sehingga laporan mengenai transaksi SKBDN untuk transaksi jasa bercampur dengan SKBDN untuk perdagangan barang.

(17)

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dan pembahasan yang telah sebelumnya, penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Prinsip kehati-hatian sebenarnya telah diterapkan oleh Bank X. Prinsip tersebut diterapkan karena Bank X ingin menghindari risiko-risiko yang ada seperti risiko kepatuhan, risiko kredit, risiko hukum, risiko reputasi, dan risiko likuiditas. Prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh Bank X dengan cara memberitahu mengenai biaya-biaya yang akan dikenakan pada produk Bank X. Jika nasabah telah setuju untuk menggunakan fasilitas SKBDN, Bank X akan melakukan CDD dengan menggunakan metode 5C. Hal tersebut bertujuan agar Bank X meyakini bahwa nasabah yang akan diberikan fasilitas SKBDN merupakan nasabah yang memiliki itikad baik, mampu membayar tagihan SKBDN, serta dana yang digunakan bukanlah dana hasil dari tindakan yang dilarang. Bank X yang telah melakukan CDD akan memberikan fasilitas SKBDN dengan memperhatikan aturan mengenai BMPK.

Akan tetapi pada saat Bank X melakukan penerusan dan negosiasi terhadap SKBDN yang bertujuan untuk transaksi jasa yang diterbitkan oleh bank penerbit, Bank X telah melanggar pasal 2 PBI No. 5/6/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/5/PBI/2008. Pelanggaran tersebut terjadi karena Bank Penerbit merupakan salah satu bank yang bonafid, sedangkan penerima SKBDN adalah nasabah yang bonafid, telah lolos CDD, memiliki simpanan besar dan sering melakukan transaksi yang menguntungkan bagi Bank X. Dengan dilakukannya penerusan dan negosiasi SKBDN oleh Bank X, maka Bank X akan terkena risiko kepatuhan.

Walaupun Bank X telah melakukan pelanggaran dengan cara melakukan negosiasi terhadap SKBDN untuk transaksi jasa, Bank X tetap mematuhi aturan mengenai BMPK, penerapan prinsip CDD, dan penginformasian terhadap nasabah mengenai risiko serta biaya-biaya yang mungkin timbul dalam transaksi SKBDN transaksi jasa.

2. Implikasi yang akan dikenakan kepada Bank X saat ia melakukan transaksi SKBDN untuk transaksi jasa adalah terkenanya risiko kepatuhan, kredit, reputasi, dan likuiditas. Apabila Bank X telah terkena risiko likuiditas maka tingkat kesehatan Bank X akan diturunkan karena Bank X tidak dapat memberikan dana yang diminta oleh nasabahnya. Apabila dalam permasalahan ini Bank X tidak memberikan laporan kepada Bank Indonesia maka berdasarkan PBI No. 5/6/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan

(18)

PBI No. 10/5/PBI/2008 tentang SKBDN dan PBI No. 14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum, Bank X akan dikenakan sanksi administratif berupa pembayaran sanksi sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta limat ratus ribu rupiah) untuk setiap form.

3. Prinsip kehati-hatian sebenarnya telah diterapkan oleh Bank X. Prinsip tersebut diterapkan karena Bank X ingin menghindari risiko-risiko yang ada seperti risiko kepatuhan, risiko kredit, risiko hukum, risiko reputasi, risiko kepatuhan, dan risiko likuiditas. Prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh Bank X dengan cara memberitahu mengenai biaya-biaya yang akan dikenakan pada produk Bank X. Jika nasabah telah setuju untuk menggunakan fasilitas SKBDN, Bank X akan melakukan CDD dengan menggunakan metode 5C. Hal tersebut bertujuan agar Bank X meyakini bahwa nasabah yang akan diberikan fasilitas SKBDN merupakan nasabah yang memiliki itikad baik, mampu membayar tagihan SKBDN, serta dana yang digunakan bukanlah dana hasil dari tindakan yang dilarang. Bank X yang telah melakukan CDD akan memberikan fasilitas SKBDN dengan memperhatikan aturan mengenai BMPK.

Akan tetapi pada saat Bank X melakukan penerusan dan negosiasi terhadap SKBDN yang bertujuan untuk transaksi jasa yang diterbitkan oleh bank penerbit, Bank X telah melanggar pasal 2 PBI No. 5/6/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/5/PBI/2008. Pelanggaran tersebut terjadi karena Bank Penerbit merupakan salah satu bank yang bonafid, sedangkan penerima SKBDN adalah nasabah yang bonafid, telah lolos CDD, memiliki simpanan besar dan sering melakukan transaksi yang menguntungkan bagi Bank X. Dengan dilakukannya penerusan dan negosiasi SKBDN oleh Bank X, maka Bank X akan terkena risiko kepatuhan.

Walaupun Bank X telah melakukan pelanggaran dengan cara melakukan negosiasi terhadap SKBDN untuk transaksi jasa, Bank X tetap mematuhi aturan mengenai BMPK, penerapan prinsip CDD, dan penginformasian terhadap nasabah mengenai risiko serta biaya-biaya yang mungkin timbul dalam transaksi SKBDN transaksi jasa.

(19)

Saran

Berdasarkan penjelasan, analisis, dan kesimpulan yang telah dibuat sebelumnya, penulis memberikan saran:

1. Untuk menjamin pembayaran nasabah dalam transaksi jasa, maka lebih baik digunakan produk Guarantee yang digunakan untuk tujuan pembayaran (Direct Pay), yaitu dengan menggunakan Bank Garansi/Standby Letter of Credit (SBLC)/Demand Guarantee jenis

Direct Pay. Hal ini karena produk Guarantee tidak dilarang untuk dipergunakan untuk

menjamin pembayaran transaksi jasa. Untuk itu Bank pelaksana harus senantiasa memberikan sosialisasi yang memadai terhadap nasabahnya terutama yang memerlukan instrument pembayaran untuk transaksi jasa.

2. Dibuatnya suatu aturan oleh Bank Indonesia yang mengatur mengenai standarisasi format, jenis dokumen apa saja, dan peraturan apa saja yang akan digunakan untuk transaksi SKBDN khususnya jasa. Dimana hal ini dapat terwujud apabila Bank Indonesia merevisi PBI tentang SKBDN dengan mengacu kepada UCP yang terbaru

(20)

Daftar Referensi

Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia

No. 5/6/PBI/2003 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri, PBI No. No.

10/5/PBI/2008.

, Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia

No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit, PBI No. 8/13/PBI/2006,

LN No. 70 DPNP Tahun 2006, TLN No. 4639.

ICC, Uniform Customs and Practice for Documentary Credit, 2007 Revision, ICC Publication No. 600

Indonesia, Undang-undang tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. UU No. 24 Tahun 1999. LN No. 67 Tahun 1999. TLN No. 3844.

, Undang-undang tentang Perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992

tentang Perbankan, UU No. 10 Tahun 1998, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No. 3790.

Ginting, Ramlan. Letter of Credit: Tinjuan Aspek Hukum dan Bisnis, (Jakarta: Trisakti, 2007).

Hermasnyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia ditinjau menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, dan Undang-undang No. 23 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Inodnesia, serta Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan (OJK), cet. 7, (Jakarta: Kencana, 2011).

Kasmir, Manajemen Perbankan. cet. 10, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011

. Dasar-dasar Perbankan, edisi revisi. cet. 10. (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2012).

Mamudji, Sri. Et.al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005).

Sweet dan Maxwell. Law of Bank Payments, edisi ke-4, (England & Wales: Thomson Reuters, 2010),

Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001).

Referensi

Dokumen terkait

Strategi pemasaran adalah strategi yang disatukan, luas, terintegrasi dan komperehensif yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan dari perusahaan dapat. dicapai melalui

23 tahun 1992 tentang kesehatan, obat tradisional adalah bahan atau ramuan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan atau campuran dari bahan tersebut yang

Mengapa tidak semua pasien tahu berkas apa saja yang harus dibawa. Karena belum ada pengumuman berkas apa saja yang

Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya

Masyarakat Tionghoa di Banda Aceh mengunakan bahasa tionghoa dalam keseharian mereka ketika mereka berkomunikasi dengan sesama etnis tionghoa, untuk meningkatkan

bahwa memenuhi ketentuan Pasal 185 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

CPD individually and collaboratively, as a matter of fact, have always been available. The scheme suggested that at least teachers conduct self-development activities, write

Tujuan pembuatan laporan akhir ini antara lain sebagai persyaratan wajib untuk mendapatkan kelulusan pada jurusan Teknik Elektro Program Studi Teknik Telekomunikasi Politeknik