• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dan Kinerja Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM LUEP) Studi Kasus: Kabupaten Ngawi Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Dan Kinerja Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM LUEP) Studi Kasus: Kabupaten Ngawi Jawa Timur"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAN KINERJA PROGRAM DANA PENGUATAN

MODAL LEMBAGA USAHA EKONOMI PERDESAAN

(DPM LUEP)

Studi Kasus: Kabupaten Ngawi Jawa Timur

Analysis and Program Performance of DPM LUEP (Capital

Empowerment for Rural Economic Institution):

The Case of Ngawi District, East Java Province

Ashari

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan A. Yani 70 Bogor 16161

ABSTRACT

The extremely decreasing price of paddy needs protection, mainly during the peak harvesting time. The government has launched a strategic program, namely Capital Empowerment for Rural Economic Institution (DPM LUEP) since 2003 in favor of the rural people. One of the crucial objectives of DPM LUEP is to increase the capability of rural economic institution to purchase unhusked/husked rice on the basis of the Government Purchasing Price (HPP). This paper aimed at the eximination of the general performance of DPM LUEP and its role to apply HPP in its purchase activity for price stabilization in East Java Province. Ngawi District was taken as a case to represent East Java. The study shows that the existence of DPM LUEP is well responded by the farmers as well as the local government. The DPM LUEP program has positive impact in terms of marketing process as it will guarantee certain amount of payment to the farmers in addition to a more flexible and simple procedure compared to other schemes. Based on the success indicators of DPM LUEP program, this scheme has been appreciated with good performance by the Agency for Food Security (BKP) of the Ministry of Agriculture. However, this program needs to improve to achieve a more effective of implementation for a stable price at regional level. The average price of unhusked rice at regional level is still below the HPP. Therefore, to increase the effectiviness of DPM LUEP, fund disbursement should be performed in time, just before the peak harvest period and the grace period of DPM should be allow longer than the current one. This is very important to optimize the utilization of such financial support.

Key words: paddy farmer, unhusked rice price, capital empowerment, rural economic, East Java

ABSTRAK

Untuk melindungi petani padi dari anjloknya harga, pemerintah sejak tahun 2003 telah mengimplementasikan Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM LUEP). Salah satu tujuan DPM LUEP yang krusial dalam kaitan dengan peningkatan kesejahteraan petani adalah meningkatkan kemampuan LUEP untuk membeli gabah/beras petani sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Makalah ini bertujuan

(2)

melihat gambaran umum kinerja pelaksanaan DPM LUEP serta peranannya dalam pengamanan HPP di Jawa Timur, dengan studi kasus di Kabupaten Ngawi. Hasil studi menunjukkan keberadaan DPM LUEP mendapat respon cukup baik dari petani, pengusaha LUEP dan pemerintah daerah. Dengan DPM petani memperoleh kemudahan dalam pemasaran seperti pembayaran lebih lancar, lebih fleksibel dan tidak rumit. Berdasarkan indikator keberhasilan yang ditetapkan Badan Ketahanan Pangan, menunjukkan bahwa kegiatan DPM LUEP memiliki kinerja yang cukup baik. Namun demikian, sebagai instrumen kebijakan untuk mempengaruhi harga gabah wilayah, nampaknya masih belum sesuai dengan harapan. Harga gabah secara umum masih cenderung mengikuti harga pasar, sehingga pada masa-masa panen raya, harga rata-rata tingkat wilayah seringkali di bawah HPP. Untuk mengefektifkan pelaksanaan DPM LUEP diupayakan agar pencairan dana dapat dipercepat yaitu menjelang panen raya serta rentang waktu pengembalian dapat lebih lama lagi sehingga pemupukan modal usaha LUEP lebih optimal.

Kata kunci : petani padi, harga gabah, penguatan modal, ekonomi perdesaan, Jawa Timur

PENDAHULUAN

Anjloknya harga gabah ketika panen raya telah menjadi permasalahan klasik yang memerlukan perhatian pemerintah karena menyangkut nasib jutaan petani padi. Dalam upaya stabilisasi harga, pemerintah telah melakukan kegiatan pembelian gabah melalui Perum Bulog. Namun, dengan kemampuan finansial yang terbatas, Perum Bulog hanya mampu melakukan pembelian gabah/beras sekitar 7-8 persen dari total produksi nasional. Dengan demikian masih diperlukan dukungan berupa instrumen program/kegiatan lainnya dalam pembelian gabah sekaligus untuk mengamankan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah c.q. Departemen Pertanian untuk tujuan tersebut adalah dengan melaksanakan program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM LUEP). Program DPM LUEP yang mendapat dukungan dari DPR-RI mulai efektif dijalankan pada tahun 2003.

DPM LUEP merupakan dana talangan tanpa bunga dari APBN, dengan ketentuan dana tersebut harus dikembalikan oleh penerima ke kas negara pada akhir tahun (15 Desember). Dalam konteks pembangunan pertanian di Indonesia, DPM LUEP merupakan perwujudan dari program utama Departemen Pertanian yaitu sebagaimana tertuang dalam Rensta 2005-2009 (Departemen Pertanian, 2005) yaitu: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, (2) Program Pengembangan Agribisnis, dan (3) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Kegiatan DPM LUEP dilaksanakan di sebagian besar propinsi, terutama di propinsi sentra produksi padi. Jumlah propinsi yang mendapatkan DPM selalu meningkat setiap tahun yaitu dari 15 propinsi (2003) menjadi 27 propinsi (2007). Propinsi Jawa Timur sebagai penghasil beras utama nasional, sejak tahun 2003 secara terus menerus mendapatkan alokasi DPM LUEP.

(3)

Tujuan penyelenggaraan kegiatan DPM-LUEP, berdasarkan Buku Pedoman Umum DPM LUEP (BKP, 2006), diarahkan untuk: (1) melakukan pembelian dalam rangka menjaga stabilitas harga gabah/beras yang diterima petani minimal sesuai HPP; (2) mendekatkan petani dan atau kelompok tani terhadap pasar melalui kerjasama dengan LUEP; (3) menumbuhkembangkan dan menggerakkan kelembagaan usaha ekonomi di perdesaan; dan (4) memperkuat posisi daerah dalam ketahanan pangan wilayah.

Salah satu tujuan kegiatan DPM LUEP yang perlu digarisbawahi karena menjadi poin crucial dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani adalah meningkatnya kemampuan LUEP untuk membeli gabah/beras petani sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Padahal dengan keterbatasan dana, DPM LUEP hanya mampu menyerap sebagian kecil dari total produksi padi di suatu wilayah. Namun demikian, pemberian dana talangan ini diharapkan dapat memberikan dampak psikologis yang mampu mempengaruhi pembentukan harga gabah/beras di pasaran serta mendorong stabilisasi harga di tingkat wilayah yang lebih luas.

Makalah ini bertujuan menganalis kinerja pelaksanaan DPM LUEP serta peranannya dalam pengamanan HPP di Jawa Timur. Untuk mengetahui secara detail kinerja DPM LUEP, seperti alokasi anggaran, profil penerima DPM, keragaan pemasaran, persepsi petani di lokasi LUEP serta dampak DPM LUEP terhadap pembentukan harga di tingkat wilayah, akan dikemukakan salah satu contoh kasus yaitu di Kabupaten Ngawi.

GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN DPM LUEP DI JAWA TIMUR

Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu penerima rutin DPM LUEP sejak tahun 2003. Sebagai sentra produksi beras nasional, keberadaan DPM LUEP diharapkan dapat memberi dampak positip bagi semua pihak yang turut serta dalam program tersebut, baik petani, LUEP maupun pemerintah daerah setempat berupa semakin berkembangnya potensi ekonomi wilayah.

Dari Buku Pedum Program DPM LUEP (BKP, 2006) tercantum secara jelas tentang manfaat yang ingin dicapai dengan program tersebut. Bagi petani dengan adanya DPM-LUEP diharapkan mendapat manfaat berupa: (1) adanya jaminan pemasaran dan harga bagi gabah/ beras yang dihasilkan (2) diperolehnya pembayaran tunai dari hasil penjualan gabah ke LUEP, dan (3) diterimanya harga gabah atau beras yang lebih tinggi di wilayah LUEP penerima DPM dan sekitarnya dibandingkan harga gabah/beras di wilayah non-LUEP khususnya saat panen raya. Sementara itu bagi LUEP, dengan kegiatan DPM LUEP dapat memperoleh manfaat diantaranya: (1) bertambahnya modal usaha, volume pembelian gabah/beras, dan terbuka peluang untuk peningkatan laba usaha, (2) adanya jaminan pasokan gabah/ beras dari produsen/petani untuk diolah dan

(4)

diperdagangkan, (3) berkembangnya perdagangan antar daerah dan antar pulau oleh LUEP, serta (4) lebih tertibnya sistem administrasi pembelian, penjualan dan pembukuan keuangan yang akhirnya akan mempermudah LUEP melakukan kerja sama dengan perbankan untuk mengakses modal komersial.

Adapun bagi pemerintah daerah, dengan pelaksanaan DPM LUEP dapat memetik manfaat berupa: (1) tata niaga gabah/beras lebih efisien, karena rantai pemasaran menjadi lebih pendek sehingga harga beras menjadi lebih stabil, (2) terjalinnya sinergitas program daerah dalam pemenuhan catu beras bagi PNS, pengadaan bantuan pangan, penyelenggaraan padat karya dan lainnya, serta (3) semakin berkembangnya perekonomian daerah karena adanya peningkatan pendapatan petani dan LUEP serta pendapatan daerah berupa penerimaan pajak.

Beberapa hal terkait dengan keragaan singkat dari pelaksanaan program DPM LUEP di Jawa Timur akan diuraikan pada bahasan berikut.

Alokasi Dan Realisasi Anggaran

Tabel 1 memperlihatkan alokasi anggaran DPM LUEP di Jatim tahun 2003-2006. Dari tabel tersebut nampak bahwa trend alokasi anggaran DPM LUEP Jatim mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, walaupun pernah mengalami penurunan pada tahun 2005. Jumlah alokasi anggaran DPM LUEP tahun 2006 hampir dua kali lipat anggaran tahun 2003. Dari sisi kuantitas gabah yang mampu diserap, dengan dana yang ada memang masih relatif kecil dibandingkan total produksi gabah Jawa Timur atau proporsinya hanya sekitar 2,6 persen. Namun demikian dengan dukungan dana pendamping dari APBD I dan II, pemberian DPM LUEP diharapkan memberikan efek psikologis untuk mengangkat harga gabah di Jawa Timur.

Sementara itu, pada tahun 2007 dana yang tersedia untuk pembelian gabah/beras sebesar Rp 55,235 milyar. Selain komoditas beras, DPM juga dialokasikan untuk pembelian kedelai dan jagung sehingga total dana menjadi Rp 61,735 milyar. Realisasi pencairan DPM LUEP tahun 2007 berjalan relatif lambat, karena di dalam Pedoman Umum (Pedum) dimasukkan Gapoktan sebagai salah satu pihak yang harus dilibatkan/mendapatkan nilai tambah dalam pengelolaan DPM LUEP. Padahal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa Gapoktan tidak bisa dibentuk secara instan dan kualitas gapoktan yang sangat beragam. Dengan kata lain, gapoktan yang ada dianggap masih belum layak diberi tanggung jawab mengelola dana LUEP dengan beberapa alasan, diantaranya: (1) kurang pengalaman dalam bisnis perberasan, (2) belum memiliki jaringan pemasaran, (3) pengelolaan usaha memerlukan penanganan secara totalitas, sementara mengurus gapoktan bukan pekerjaan utama/sambilan serta (4) tanggung jawab pengembangan bisnis yang bersifat kelompok pada umumnya kurang maksimal. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, timbul kekhawatiran jika dipaksakan justru akan mengalami kegagalan seperti macetnya pengembalian.

(5)

Tabel 1. Perkembangan dan Keragaan Kegiatan DPM LUEP Jawa Timur, 2003-2006 2003 2004 2005 2006 Alokasi Dana DPM (Rp juta) 32.725 33.500 19.000 54.450

Realisasi, % 99,8 100 100

Frequensi Pembelian na 5,3 6,4 10,2

Kabupaten, bh na 18 18 23

LUEP, bh na 119 99 186

Petani, org na 7.300 2.341 7.352

LUEP per Kabupaten na 7 6 8

DPM per LUEP na 281,51 191,92 292,74 Tujuan Pemasaran, (%) a. Dolog 53,6 53,5 28,0 0 b. Pasar Umum 46,4 46,5 72,0 100 Pembelian, ton 140.597 74.253 278.037 a. GKP, % 54,5 55,9 51,4 b. GKS, % 21,4 13,9 19,1 c. GKG, % 22,2 21,0 19,4 d. Beras, % 1,9 9,2 10,1

Sumber: Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur (diolah) Keterangan: na = not available

Untuk mengakomodasikan antara ketentuan dalam Pedum dan pertimbangan bisnis, akhirnya ada juga yang mencoba dengan alternatif win-win solution berupa sinergi antara Gapoktan dan LUEP. Caranya adalah dengan menjadikan LUEP sebagai unit usaha dari Gapoktan atau yang ditunjuk sebagai ketua Gapoktan adalah pemilik LUEP, sebagaimana dipraktekkan di Kabupaten Ngawi (Yusdja et al., 2007). Di Sumatera Utara, pada dua tahun terakhir pelibatan gapoktan dalam DPM LUEP mendapat perhatian khusus dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) setempat (Medan Bisnis, 2009). BKP mensyaratkan gapoktan yang mengajukan diri untuk menerima LUEP harus telah memiliki pengalaman dalam bisnis perberasan selama 2 tahun serta memiliki agunan 125 persen dari bantuan yang diterima. Selain itu gapoktan juga harus disurvei dan dilakukan pengawasan. Upaya ini dilakukan untuk menghindari munculnya gapoktan-gapoktan yang

KDQ\D XQWXN ³PHQDQJNDS´ Eantuan modal pemerintah.

Tujuan Pemasaran

Pemasaran gabah/beras peserta DPM LUEP secara umum ditujukan ke Dolog dan pasar umum. Dilihat dari tujuan pemasaran ini, ada perbedaan yang cukup signifikan sebelum dan sesudah tahun 2005. Pada tahun 2002 -2004 karena

(6)

harga penjualan ke Dolog lebih tinggi, beberapa LUEP menjual gabah/beras ke Dolog. Namun pada tahun 2005, terlebih lagi pada tahun 2006 LUEP lebih memilih ke pasar umum dan mengurangi pasokan ke Dolog karena harga pembelian Dolog relatif sama bahkan lebih rendah dari harga pasaran. Sebagai ilustrasi, pada pertengahan tahun 2007 harga beras di tingkat penggilingan mencapai Rp 4100 ± Rp 4200/kg, sementara harga pembelian Dolog hanya Rp 4000/kg (Yusdja et al., 2007).

Selain harga yang kurang kompetitif, penyebab LUEP enggan menjual gabah ke Dolog antara lain karena untuk memasok ke Dolog harus melakukan kontrak dengan persyaratan cukup ketat. Permasalahan lain yang menjadi penyebab enggannya sebagian LUEP adalah: (1) tidak ada kesesuaian antara harga dan kualitas, (2) permasalahan non teknis seperti harus ada uang tip dan tidak transparansi dalam penentuan kualitas, serta (3) pembayaran terkadang mundur dari jadwal.

Untuk mengantisipasi rendahnya daya serap Dolog, akibat kondisi harga yang tidak kondusif, hasil pertemuan tingkat nasional di Jawa Timur antara Bulog dengan Badan Ketahanan Pangan merekomendasikan pemberian subsidi karung dari Bulog sebesar Rp 60/karung. Kebijakan ini dipandang relatif berhasil untuk membuat LUEP agar tetap menjadi kontraktor pengadaan gabah bagi Dolog. Walaupun keuntungan yang didapatkan LUEP dari penjualan beras ke Dolog mungkin sangat minim, dengan subsidi tersebut telah mampu menekan ongkos produksi. LUEP juga masih mendapat tambahan keuntungan dari produk sampingan seperti menir, dedak atau sekam. Terlepas dari segala kekurangan, adanya kepastian dalam pembayaran di Dolog merupakan kelebihan tersendiri sehingga mampu menarik sebagian LUEP untuk tetap memasok ke Dolog. Walaupun dari sisi keuntungan relatif sedikit (Rp 25-Rp50/kg), tetapi dari sisi kepastian pendapatan dipandang relatif lebih aman.

Dukungan Pemerintah Daerah

Upaya pemerintah untuk melindungi petani padi dari anjloknya harga tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat melalui DPM LUEP, tetapi juga didukung oleh pemerintah daerah propinsi dengan APBD dengan Program Lembaga Pembelian Gabah (LPG). Pada dasarnya, persyaratan untuk menerima dana LPG tidak jauh berbeda dengan ketentuan persyaratan DPM LUEP APBN. Penunjukkan penerima Dana LUEP dari APBD I ditentukan oleh kemampuan LUEP, misalnya dalam aspek teknis, pengalaman dalam usaha/pemasaran, serta kinerja perusahaan yang baik.

Dana LPG dengan besaran sekitar Rp 100-800 juta, umumnya diberikan kepada pelaku usaha perberasan skala besar dengan pertimbangan tingkat pengembalian dana lebih terjamin, serta LPG dapat membeli gabah lebih banyak dengan uang pribadi sehingga gabah yang diserap lebih besar. Pemberian dana pada pelaku usaha kecil dikhawatirkan kurang efektif dalam mendukung

(7)

pengamanan HPP. Namun dalam operasionalnya, bisa saja LPG besar membeli gabah/beras milik pengusaha kecil. Pemilihan peserta penerima dana yang tepat merupakan faktor krusial untuk menentukan keberhasilan program. Berpijak dari pengalaman DPM LUEP di Jawa Tengah menunjukkan bahwa kelemahan utama pelaksanaan DPM adalah seleksi yang kurang tepat, pemanfaatan dana yang tidak sesuai ketentuan, serta administrasi dan pelaporan yang tidak tertib (Kompas, 2006).

Untuk pengembalian dana APBD I, sampai TA 2006 memiliki pola yang sama dengan dana APBN, yaitu tanggal 30 Nopember ± 15 Desember. Namun mulai tahun 2007 pola pengembalian dana APBD mengalami perubahan. Adapun ketentuan baru pengembalian dana secara umum adalah dana LPG dikembalikan sebesar 50% pada bulan Desember dan 50% pada bulan Januari sehingga terdapat stok pangan minimal 50% dari nilai pinjaman. Dengan demikian, pemberian pinjaman tidak sekedar untuk penguatan modal tetapi juga untuk mendukung stok pangan. Putaran pembelian gabah oleh LPG ditargetkan minimal 4 x putaran dan jika kurang dari 4 x putaran maka tidak akan mendapat pinjaman lagi pada anggaran selanjutnya. Rata-rata dana LPG ini dapat digunakan hingga 8-10 kali putaran. Berbeda dengan DPM LUEP yang tidak memungut bunga, peserta LPG diwajibkan membayar bunga 3 persen/tahun. Bunga 3 persen tersebut digunakan untuk PAD (1%), administrasi (1%), dan pembinaan pokja LPG (1%).

Pola pengembalian versi LPG ini lebih menguntungkan dan berdampak positip bagi DPM LUEP. Walaupun dikenakan bunga 3 persen, tetapi LUEP akan mendapatkan keuntungan lebih besar dalam penjualan gabah/beras karena harga cenderung meningkat pada bulan Desember-Januari. Tenggang waktu DPM APBN yang hanya 10 bulan dirasakan terlalu pendek, sebagaimana dikeluhkan oleh pelaksana program DPM LUEP di Pemda Sleman (Bernas, 2005). Dengan rentang waktu tersebut dianggap belum optimal dalam membantu peningkatan modal peserta DPM LUEP dan mereka belum mampu melaksanakan kewajiban pengumpulan laporan tepat waktu.

KASUS: PELAKSANAAN DPM LUEP DI KABUPATEN NGAWI

Kondisi Umum

Peran pemerintah dalam membantu petani padi di Ngawi, khususnya dalam pembelian gabah saat panen raya, dipandang sudah cukup memadai. Sebagai ilustrasi, keberadaan dana talangan untuk pembelian gabah untuk LUEP sudah dijalankan sejak tahun 2001 melalui dana APBD I. Selanjutnya pihak Pemda II Kabupaten juga mengucurkan dana APBD II untuk pembelian gabah sejak tahun 2002. Pada tahun 2003, Kabupaten Ngawi juga mendapat dana dari Departemen Pertanian berupa DPM LUEP.

(8)

Kebijakan pemda Kabupaten Ngawi yang sangat concern terhadap sektor pertanian, tidak terlepas dari peran sektor tersebut sebagai andalan utama dalam perekonomian. Sektor pertanian memiliki kontribusi lebih dari 50 persen terhadap PDRB. Peranan subsektor tanaman pangan (terutama padi) sangat menonjol, sehingga berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah banyak untuk mendukung berkembangnya subsektor pangan/komoditas padi.

Jumlah alokasi DPM LUEP yang bersumber dari APBN dan APBD I di Kabupaten Ngawi dari tahun 2003-2006 ditampilkan pada Tabel 2. Khusus untuk tahun 2006, dengan dana Rp 4,5 M diperkirakan dapat menyerap gabah petani kualitas GKG sebanyak 1.764,705 ton. Jika dibandingkan dengan total produksi Kabupaten Ngawi sebesar 604.009 ton, maka DPM LUEP baru menyerap 0,29 persen dari produksi sekali putaran. Pada tahun 2006 DPM dapat diputar 11,46 kali sehingga secara total DPM LUEP bisa menyerap 3,32 persen total produksi gabah Kabupaten Ngawi.

Tabel 2. Jumlah alokasi dana dan jumlah LUEP dari APBN dan APBD I

Tahun Jumlah dana (Rp milyar) Jumlah LUEP (buah)

APBN APBD I APBN APBD I

2003 3,5 2,7 11 7

2004 3,7 3,7 9 9

2005 1,75 3,7 7 10

2006 4,5 3,7 13 9

2007 4,5 3,7 14 10

Sumber: Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Ngawi (berbagai tahun)

Disamping dari dana APBD I, juga disediakan dana penunjang dari APBD II untuk LUEP yang pada tahun 2006 tercatat sebesar Rp 1,8 M untuk 34 LUEP. Pada tahun 2007, alokasi dana untuk LUEP meningkat menjadi Rp 2,6 milyar dengan penerima 37 LUEP. Dana APBD II ini diberikan kepada LUEP yang memiliki skala kecil dan sedang, dengan jumlah dana yang diterima LUEP berkisar antara Rp 25-100 juta. Hal ini berbeda dengan dana DPM LUEP dari APBN/APBD I yang dapat memberikan dana talangan minimal Rp 250 juta.

Pemberian DPM LUEP diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat petani dan pengusaha beras, di antaranya: dapat menahan laju penurunan harga gabah di tingkat petani; pemberdayaan lembaga pembelian gabah/beras; dan menghidupkan perekonomian daerah, khususnya dalam penyerapan tenaga kerja. Pemda Kabupaten Ngawi juga akan membentuk Badan Usaha Milik Petani (BUMP) berbasis padi. Pada tahap awal direncanakan akan dikonsolidasikan penanaman padi seluas 300 hektar. Selain BUMP, di Kabupaten Ngawi juga sedang dirintis pengembangan pertanian organik padi.

(9)

Status Usaha Penerima

Penerima DPM LUEP di Kabupaten Ngawi memiliki status badan usaha yang bervariasi, seperti Usaha Dagang (UD), Perusahaan Penggilingan Padi (PP), CV dan Koperasi. Demikian juga pengalaman peserta DPM LUEP dalam bisnis perberasan cukup bervariasi antara 7-20 tahun. Pengalaman berusaha di perberasan dijadikan salah satu pertimbangan untuk menilai kelayakan mengikuti DPM LUEP ini. LUEP umumnya selain sebagai pedagang juga sekaligus pengolah hasil pertanian (RMU). Kinerja LUEP yang selama ini menerima DPM dianggap cukup bagus sehingga dipercaya kembali untuk mendapatkan dana program pada periode sesudahnya. Hanya saja memang ada LUEP yang sebelumnya mendapat dana dari APBD I, tahun berikutnya mendapat dana APBN atau sebaliknya.

Khusus untuk LUEP yang berbentuk koperasi yang sejak tahun 2003 s/d 2006 selalu mendapat DPM LUEP, tahun 2007 tidak mengajukan lagi. Hal ini bukan disebabkan karena kinerja yang jelek, tetapi karena seorang pengurus yang selama ini menangani bisnis gabah telah meninggal dunia dan tidak ada lagi pengurus yang merasa capable bergerak di bisnis beras. Diakui bahwa dalam bisnis beras ini, koperasi memiliki kelemahan, diantaranya: (1) tergantung pada satu figur, sehingga ketika figur tersebut tidak ada lagi, maka kelangsungan bisnis menjadi terhambat, (2) sense of belonging pengurus rendah, sehingga kurang maksimal dalam mengejar profit, (3) khusus bisnis beras, pada tahun-tahun sebelumnya pemasaran lebih fokus pada Dolog sehingga ketika harga Dolog kurang menguntungkan koperasi kesulitan mencari chanel pemasaran karena tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam pemasaran ke non-Dolog, (4) koperasi memiliki diversifikasi usaha sehingga tidak fokus ke beras, dan (5) bisnis sektor riil dengan beban kerja cukup banyak kurang begitu diminati dan cenderung untuk memilih bisnis di sektor keuangan (simpan pinjam).

Sumber Permodalan

Sumber modal yang digunakan LUEP untuk menjalankan usahanya berasal dari 3 sumber, yaitu modal sendiri, perbankan dan DPM LUEP. Namun yang paling dominan hanya dari 2 sumber yaitu dari modal sendiri dan DPM. Pemilik LUEP yang mengajukan pinjaman ke perbankan umumnya adalah mereka yang memiliki usaha lain di luar bisnis beras sehingga membutuhkan ketersediaan dana yang lebih besar.

LUEP yang mendapat DPM sangat terbantu dengan program tersebut. Selain dapat membantu dalam likuiditas dana pembelian, mereka juga mendapatkan keuntungan sehingga ada pemupukan modal usaha (akumulasi modal). Setiap tahun ada penambahan jumlah modal sendiri yang sebagian diperoleh dari keuntungan selama menjadi peserta DPM LUEP. Dengan manfaat yang diperoleh selama menjadi peserta DPM, LUEP berusaha agar pada tahun

(10)

berikutnya kembali mendapatkan dana tersebut. Untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, dilakukan dengan selalu mengembalikan dana secara tepat waktu.

Fenomena yang cukup menarik dari keberadaan lembaga penerima dana LUEP adalah sudah terbentuknya asosiasi pengusaha penerima dana LUEP. Namun untuk sementara asosiasi ini hanya melibatkan pengusaha yang memperoleh dana dari APBN maupun APBD I. Kegiatan yang telah dilakukan selama ini adalah pertemuan bulanan rutin melalui media arisan sebulan sekali sebesar Rp 1 juta per anggota LUEP. Dengan pertemuan rutin ini, mereka bisa

sharing dalam hal: (1) berbagai informasi/informasi bisnis beras; (2) jika terjadi kelambatan pengembalian DPM bisa saling mengingatkan, bahkan bisa dipinjami oleh anggota asosiasi; (3) Jika ada order barang bisa saling membantu dalam pemenuhan barang/modal serta (4) Penerapan tanggung renteng.

Keragaan Pemasaran

Tujuan pemasaran gabah/beras hasil penggilingan peserta DPM LUEP, secara umum dibagi menjadi 2 tujuan yaitu ke Dolog dan Pasar umum. Penjualan ke Dolog dapat berupa gabah (GKG) maupun beras, sementara untuk pasar umum semua berupa beras. LUEP yang memasarkan ke Dolog umumnya sudah pernah menjalin kontrak cukup lama sebagai kontraktor Pengadaan Gabah/beras Dalam Negeri (ADA DN). LUEP yang berbentuk koperasi memiliki segmentasi pasar ke Dolog dan kurang bisa akses terhadap pasar umum. Sementara untuk LUEP non koperasi (perorangan) lebih variatif tujuan pemasarannya (baik ke Dolog maupun umum), tetapi dari persentase lebih banyak ke pasar umum. Pemasaran ke non Dolog adalah para pedagang beras besar di kota-kota kabupaten maupun kios-kios di pasar.

Pertimbangan LUEP untuk memilih tujuan pemasaran adalah didasarkan pada (1) harga yang tertinggi, (2) sistem pembayaran (tunai), (3) penerimaan barang mudah (tidak pernah menolak), serta (4) sudah ada jalinan bisnis yang cukup intensif (langganan). Sementara alasan LUEP untuk menjual dagangan dalam bentuk gabah atau beras sangat tergantung dari permintaan pasar serta ikatan kontrak yang dilakukan. Ikatan kontrak ini umumnya berlaku untuk pemasaran ke Dolog baik berupa gabah maupun beras.

LUEP peserta program DPM di Ngawi umumnya memasarkan berasnya ke pasaran lokal (Ngawi) serta untuk beberapa kota di Jawa Timur seperti Gresik, Sidoarjo, Kediri, Jombang, Surabaya, Mojokerto dan Malang. Di samping itu juga ada yang mengirim ke Jawa Tengah seperti Rembang, Pati, dan Solo. Jumlah beras yang dipasarkan ke luar wilayah lebih besar dibandingkan untuk pemasaran lokal. Umumnya LUEP mengirim sendiri berasnya, walaupun ada juga pedagang mitra LUEP yang mengambil beras ke Ngawi. Jika pedagang mengambil sendiri beras di Ngawi, maka ada selisih harga yaitu lebih murah Rp 50-75/kg sebagai kompensasi biaya transportasi.

(11)

Tujuan pemasaran baik ke Dolog maupun ke pasar umum, masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Pemasaran ke Dolog memiliki kelebihan dalam kepastian harga dan tonase yang dibutuhkan serta adanya kepastian pembayaran. Sementara kelemahannya adalah harga pembelian telah ditetapkan sesuai HPP, sehingga bisa menyebabkan keuntungan terlalu rendah atau bahkan rugi jika harga gabah sudah tinggi. Selain itu daya serap pemasaran ke Dolog juga terbatas (berdasarkan prognosa). Sementara kelebihan pasar umum adalah daya serap yang besar, harga tidak rigid (sesuai mekanisme pasar) dan bisa menyerap semua tingkatan kualitas beras. Hanya saja dalam pembayarannya tidak semua dilakukan secara kontan/tunai, padahal bagi LUEP kelancaran pembayaran merupakan modal utama dalam menjalankan usaha .

Terdapat kecenderungan pergeseran orientasi pemasaran oleh LUEP yaitu dari Dolog ke pasar umum. Sebagai perbandingan, pada awal DPM LUEP (2003) sebagian besar penjualan (54%) ditujukan untuk memenuhi kontrak dengan Dolog, tetapi pada tahun 2006 prosentase pemasaran peserta DPM sebagian besar ditujukan ke pasar umum (97%) (Tabel 2). Penurunan tersebut diakibatkan oleh harga pembelian Dolog seringkali lebih rendah dari harga pasar. Secara khusus pada tahun 2006, harga gabah di pasaran bahkan sudah jauh melebihi HPP, sementara Dolog menerima gabah/beras masih sesuai dengan HPP. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh LUEP sangat tipis, bahkan justru mengalami kerugian jika memaksakan diri memasarkan ke Dolog.

Kondisi yang sangat berbeda terjadi pada waktu sebelum tahun 2005. LUEP lebih memilih memasarkan ke Dolog karena margin keuntungan masih relatif tinggi serta harga di pasaran umum hampir sama dengan harga yang ditawarkan Dolog. Pemasaran ke Dolog yang dilakukan dengan kontrak lebih menjamin kepastian dengan tonase permintaan yang besar sehingga lebih menguntungkan. Disamping itu dari sisi pembayaran, menjual gabah/beras ke Dolog lebih terjamin.

Tabel 2. Tujuan pemasaran peserta DPM LUEP 2003 dan 2006

Tahun Tujuan dan nilai penjualan (Rp)

Dolog Non Dolog

2003 11.691.981.812 (53,58%) 10.129.373.600 (46,42%) 2006 1.368.000.000 (2,58%) 51.634.735.000(97,42%) Sumber: Kantor Penyuluhan dan Katahanan Pangan Kabupaten Ngawi (2004;2007)

Pengetahuan dan Tanggapan Petani terhadap LUEP

Sebagian petani, terutama anggota klomtan yang tidak aktif, tidak mengetahui maksud dan tujuan DPM LUEP. Petani yang mengetahui keberadaan

(12)

DPM umumnya adalah mereka yang selama ini aktif menjadi pengurus kelompok atau yang menjabat sebagai pamong desa. Pengetahuan petani terhadap LUEP berasal dari 4 sumber yaitu (i) ketua kelompok tani, (ii) sesama petani, (iii) aparat pemerintah: penyuluh dan staf Dinas Pertanian serta (iv) pedagang/pemilik penggilingan padi. Informasi DPM LUEP diperoleh dari Dinas Pertanian/ penyuluh, bahkan untuk petani sekaligus pamong juga membantu LUEP untuk mengajukan dana talangan tersebut. Pengetahuan terhadap LUEP bervariasi antar petani satu dan lainnya. Bahkan ada juga ketua kelompok yang kurang tahu tentang DPM LUEP ini. Sebagian petani saja yang mengetahui jika di desanya ada pedagang/RMU yang mendapat DPM. Walaupun demikian, petani di wilayah tersebut telah menjual gabahnya ke peserta LUEP.

Tanggapan petani/kelompok tani secara keseluruhan menyatakan sangat setuju dan mendukung pelaksanaan program DPM LUEP. Jika maksud dan tujuan DPM LUEP sesuai dengan yang direncanakan, petani merasa terbantu karena (1) ada jaminan pemasaran, (2) harga pembelian sesuai HPP, dan (3) pembayaran dilakukan dengan kontan, (4) LUEP bisa menjadi mitra usaha petani dalam penyediaan modal (saprodi).

Dalam berbagai hal, LUEP memiliki kelebihan dibandingkan pelaku usaha perberasan lainnya (non LUEP/Dolog) antara lain: (1) menyediakan fasilitas transportasi ke sawah/rumah petani (2) pembayaran cash, (3) kuantitas pembelian tidak ditentukan, (4) lokasi dekat dengan tempat tinggal petani, dan (5) dapat memberi pinjaman untuk pembelian saprodi dengan pembayaran setelah panen. Perbandingan sistem pembelian gabah/beras antara penerima DPM dengan non-DPM LUEP dan Dolog disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Karakteristik dan Sistem Pembelian oleh LUEP, Non-LUEP dan Dolog

Uraian LUEP Non-LUEP Dolog

Pembayaran tunai (langsung) tunai/tempo Tunai/pakai cheque Biaya transportasi dalam jumlah tertentu

ditanggung LUEP Dalam jumlah tertentu ditanggung pembeli Ditanggung penjual Jenis barang gabah/beras gabah/beras Gabah (GKG) Pinjaman modal ke

petani

ada Ada Tidak ada

Lokasi dengan petani

Relatif dekat Relatif dekat Relatif jauh Ikatan

penjual-pembeli

Fleksibel (kontrak/bebas)

Tidak ada kontrak Harga pembelian Sesuai harga pasar Sesuai harga pasar Sesuai HPP Jumlah pembelian Relatif tidak terbatas Terbatas (kurang

modal)

Terbatas (prognosa)

(13)

Indikator Keberhasilan DPM LUEP

Sebagaimana diketahui Badan Ketahanan Pangan (BKP, 2006) telah menetapkan beberapa indikator kinerja dalam Buku Pedoman Umum (Pedum) untuk mengukur keberhasilan kegiatan DPM LUEP. Beberapa indikator tersebut adalah menyangkut aspek input, output, outcome, benefit dan dampak. Indikator input berisi jumlah LUEP yang ditetapkan berserta alokasinya dan jumlah klomtan per LUEP. Sementara indikator Output melihat jumlah DPM yang dicairkan tepat waktu, pemanfaatan oleh LUEP, rata-rata harga gabah yang dibeli LUEP, jumlah DPM yang dikembalikan. Indikator outcome terdiri atas berapa harga yang diterima petani dan bertambahnya modal usaha LUEP. Adapun indikator benefit terkait pada seberapa besar penyerapan surplus gabah/beras di wilayah LUEP serta stabilitas harga dan terkendali. Sedangkan indikator dampak tercermin dari meningkatnya pendapatan petani di wilayah LUEP.

Untuk kasus Kabupaten Ngawi, evaluasi yang dilakukan oleh Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian terhadap pelaksanaan DPM LUEP disajikan pada bahasan berikut.

Indikator Output

Selama pelaksanaan program pembelian gabah (sebagai contoh kasus tahun 2006) sampai dengan tanggal 10 Nopember, dari total dana APBN yang dialokasikan pada LUEP sebesar Rp 4,5 milyar , atau setara dengan 2.600 ton GKP telah mampu dibelikan gabah sebanyak 8.600 ton GKP dan 19.300 GKS senilai Rp 51,5 M lebih. Hal ini berarti dana tersebut telah berputar sebesar 11,6 kali putaran atau telah jauh berada di atas target indikator output sebesar 2 kali putaran. Demikian juga untuk dana yang bersumber dari APBD I sebesar Rp 3,7 M telah berhasil diputar hingga 13 kali putaran. Sementara untuk dana APBD II sebesar Rp 1,8 M dapat digunakan untuk membeli gabah hingga 4 kali putaran. Indikator Outcome

Harga yang diterima petani di daerah lokasi sasaran semakin baik dan lembaga usaha ekonomi perdesaan semakin berkembang. Petani di sekitar LUEP telah menerima harga gabah di atas HPP pemerintah yaitu di atas Rp 1.900/kg GKP. Demikian juga untuk jenis GKG yang sudah berada di atas HPP Rp 2.250/kg. Pada tingkat makro, yaitu harga gabah di Kabupaten Ngawi, kejadian insiden anjlok harga sudah semakin dapat dikurangi dari tahun ke tahun.

Di samping itu, program DPM LUEP juga mampu menggerakkan/ memajukan roda perekonomian perdesaan dengan menghidupkan kembali peran lembaga-lembaga perekonomian dan meningkatkan kepedulian terhadap kelompok tani. Dengan adanya kegiatan pembelian gabah ini secara keseluruhan di Jawa Timur terjadi pengembangan modal yang mampu dikumpulkan oleh lembaga-lembaga tersebut.

(14)

Indikator Benefit

Sejak dilaksanakan program BPM LUEP telah mempengaruhi sentimen pasar sehingga harga gabah pada saat panen raya tidak jatuh di bawah harga HPP. Hal ini dapat terlihat dengan tidak terjadinya fluktuasi harga gabah yang merugikan petani dan agribisnis beras semakin berkembang. Perkembangan agribisnis ini terlihat dari semakin besar volume gabah yang diserap LUEP serta semakin cepat perputaran uang untuk usaha perdagangan beras. Di samping itu program ini juga dapat mengukuhkan kepercayaan petani terhadap lembaga-lembaga perekonomian perdesaan yang selama ini belum mampu melayani kebutuhan petani dalam menampung hasil panen milik petani secara optimal.

Indikator Dampak

Program pembelian gabah/beras ini juga memberikan dampak positip bagi peningkatan pendapatan petani sendiri berupa perubahan peningkatan harga jual gabah kering panen. Disamping itu petani yang selama ini selalu dihutang pembayaran gabahnya, dengan adanya program ini dapat menerima pembayaran secara tunai, sehingga dapat segera digunakan untuk menjalankan usaha tani berikutnya.

EFEKTIVITAS DPM-LUEP DALAM MENGAMANKAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP)

Sebagaimana diketahui bahwa tujuan utama pelaksanaan DPM LUEP adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui instrumen pengamanan harga gabah di tingkat petani sehingga sesuai HPP. Perhitungan besaran HPP sudah dilakukan melalui kajian yang mendalam, sehingga jika dilakukan secara efektif sudah dapat memberikan pendapatan yang layak bagi petani. Selama pelaksanaan DPM LUEP yaitu tahun 2003-2006, pemerintah telah menetapkan 3 kali HPP yang dituangkan dalam bentuk Instruksi Presiden. Pada tahun 2007 pemerintah juga mengeluarkan Inpres No 3/2007 tentang Perberasan yang kembali menetapkan HPP baru yang berlaku per 1 April 2007 sebagai perubahan dari Inpres 13/2005. Secara rinci HPP yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 2003-2006 disajikan pada Tabel 3.

Pelaksanaan DPM LUEP diharapkan selain mampu mengangkat harga gabah petani di wilayah sekitar LUEP (petani/klomtan mitra) juga dapat memberikan dampak positip ke wilayah lain yang masih belum mendapat program DPM LUEP. Jika kondisi harga di wilayah non-DPM LUEP juga ikut terangkat sehingga tidak dijumpai harga gabah yang anjlok, maka dapat dikatakan program DPM sudah berjalan secara efektif. Efektifitas DPM perlu menjadi pertimbangan penting mengingat dana DPM yang terbatas sehingga diharapkan dengan dana

(15)

tersebut akan memberikan dampak positip dan cukup luas bagi pembentukan harga wilayah.

Tabel 3. Daftar Inpres terkait HPP untuk musim panen tahun 2003-2006

Inpres Harga (Rp/kg) Berlaku

TMT

GKP GKS GKG Beras

No 9/2002 1.230* 1.500* 1.7251) 2.7901) 1-1-2003

No 2/2005 1.330 - 1.740 2.7902) 2-3-2005

No 13/2005 1.730 - 2.250 3.550 1-1-2006 * SKB Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Kepala Bulog tahun 2003 tentang Harga

Pembelian Gabah oleh KontraktorADA-DN dari Petani/Kelompok Tani

1) Harga di gudang Bulog; 2) Harga di penggilingan

Perkembangan Harga Gabah di Tingkat Kabupaten

Perkembangan harga beberapa jenis gabah yang terjadi di Ngawi selama tahun 2003-2006 ditampilkan pada Tabel 4. Data tersebut bersifat makro dari semua kecamatan baik yang mendapat DPM maupun yang belum tersentuh program tersebut. Dengan mengamati data harga yang terjadi pada kurun waktu tersebut, terlihat masih terdapat kesenjangan harga yang cukup besar antara HPP dengan harga yang diterima petani di Ngawi, terutama pada tahun 2003 dan 2004. Namun demikian dari waktu ke waktu, kesenjangan harga semakin mengecil. Pada tahun 2005, terlihat bahwa harga gabah petani mulai terangkat. Walaupun harga rata-rata setahun masih di bawah HPP, tetapi pada bulan-bulan pertengahan sampai akhir harga yang diterima sudah mendekati atau telah sesuai dan bahkan sudah di atas HPP. Pada tahun 2006 pergerakan harga gabah petani semakin menunjukkan ke arah yang lebih baik. Harga rata-rata GKP selama tahun 2006 sudah mendekati HPP pemerintah dan di bulan-bulan akhir sudah melampaui HPP.

Dengan membandingkan kondisi petani di sekitar LUEP penerima DPM, dimana harga yang diterima sudah sesuai dengan HPP, maka diduga terjadinya kesenjangan di tingkat wilayah makro (kabupaten) tersebut disebabkan oleh: (1) sampling harga kemungkinan banyak di daerah non LUEP, (2) khusus tahun 2003-2004, penetapan HPP tersebut umumnya di tingkat penggilingan/gudang Dolog dan bukan di tingkat petani sehingga memungkinkan terjadi kesenjangan harga yang cukup besar, karena perlu ongkos transpor untuk mengangkut ke penggilingan, (3) Penyerapan LUEP masih sangat kecil dibandingkan produksi gabah kabupaten Ngawi, dan (4) kualitas gabah masih di bawah ketentuan yang ditetapkan.

(16)
(17)

Dari beberapa faktor penyebab belum efektifnya DPM mempengaruhi harga regional, faktor daya serap LUEP yang terbatas terhadap produksi wilayah serta kualitas gabah yang rendah diduga menjadi penyebab utama. Relatif kecilnya daya serap LUEP setidaknya dapat dilihat dari persentase peserta DPM LUEP yang kurang dari 10 persen dari total LUEP. Namun faktor tidak kalah penting yang diduga menjadi penyebab masih rendahnya harga gabah (rata-rata) adalah kualitas gabah yang belum mencapai standar mutu yang ditetapkan. Dari Tabel 4. terlihat jelas bahwa kejadian harga rendah selalu terjadi pada bulan Februari-April, yaitu saat panen raya sekaligus terjadi musim hujan. Pada bulan-bulan tersebut umumnya petani tidak dapat menjemur padi secara optimal akibat intensitas hujan yang tinggi, bahkan di beberapa desa seringkali terjadi banjir.

Di samping faktor-faktor tersebut, karakteristik dari struktur pasar gabah/beras juga memiliki kontribusi cukup besar terhadap insiden harga di bawah HPP. Pihak LUEP mengalami asimetri pada pasar gabah/beras terkait perbedaan karakter sisi pembelian dan penjualan. LUEP, dalam pembelian dihadapkan pada ketentuan untuk membeli gabah sesuai HPP. Namun ketika menjual gabah/beras dihadapkan struktur pasar yang bersaing dan tidak ada ketentuan mengenai Harga Penjualan. Akibat ketidaksimetrisan ini, sebagai pelaku usaha yang juga berorientasi profit, LUEP akhirnya berperilaku layaknya pengusaha lainnya. LUEP secara terpaksa maupun sadar akhirnya mengikuti irama hukum pasar sehingga membeli barang sesuai dengan harga yang berlaku pasar dan tidak terikat pada HPP. Apalagi pada saat itu, dana DPM belum dapat dicairkan. Kondisi ini, umumnya terjadi ketika waktu panen raya yang bersamaan dengan musim hujan.

Untuk mengantisipasi/mencegah terjadinya insiden harga di bawah HPP ada beberapa langkah yang bisa ditempuh, diantaranya: (a) pemerintah perlu membantu petani dalam penanganan pasca panen terutama pembangunan fasilitas alat pengering (drier) atau lantai jemur dan gudang yang memadai, (b) pencairan dana program DPM LUEP bisa dipercepat untuk mengantisipasi panen raya, dan (c) membuat sebuah mekanisme pemasaran (misalnya: kemitraan, pasar khusus) yang memungkinkan LUEP tetap dapat membeli gabah sesuai HPP, tetapi masih mendapat untung ketika melakukan penjualan.

Indeks Dampak DPM LUEP

Departemen Pertanian telah membuat indikator untuk menilai keberhasilan DPM LUEP diantaranya adalah indikator input, output, outcome, benefit dan dampak. Untuk melihat seberapa besar manfaat DPM, ada alternatif indikator yang dapat digunakan sebagaimana dikemukakan Yusdja et al. (2007). Indikator alternatif tersebut diantaranya adalah Indeks Harga Petani (IHP) serta Rasio manfaat DPM.

IHP dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diterima petani (RHP) baik dari pedagang peserta DPM LUEP maupun non-DPM dibagi dengan harga yang

(18)

ditentukan oleh pemerintah sebagai harga rujukan atau yang dikenal dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Untuk mendapatkan nilai IHP dapat dihitung dengan rumus pada persamaan (1). DPM dianggap berhasil atau efektif jika nilai IHP > 100

IHP =

x

100

%

HPP

RHP

(1)

RHP = Rata-rata harga gabah yang diterima petani (Rp) Harga gabah yang diterima petani adalah harga rata-rata gabah yang dijual petani baik kepada LUEP, kepada pedagang, atau pihak lain yang dihitung berdasarkan Pendapatan Total Penjualan Gabah dibagi dengan Total Volume Gabah.

HPP = Harga Pembelian Pemerintah

Sementara itu, Rasio Manfaat DPM adalah besaran yang memperlihatkan jumlah uang penguat (DPM) yang diberikan kepada LUEP dibagi dengan jumlah uang yang diterima LUEP dalam waktu tertentu sebagai akibat perputaran uang penguat tersebut. Secara teknis Rasio Manfaat menjawab pertanyaan apakah penggunaan DPM oleh LUEP memberikan dampak terhadap peningkatan kekayaan LUEP? Rasio DPM diperlihatkan: oleh jumlah (kg) pembelian gabah yang dilakukan oleh LUEP dengan menggunakan DPM dibandingkan dengan jumlah gabah yang dapat dibeli setara nilai DPM yang diterima LUEP. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

Rasio DPM =

JGHPP

JPG

(2)

JPG = Total Volume Gabah yang dibeli oleh LUEP dengan menggunakan DPM, dalam kg.

JGHPP = Nilai DPM yang diterima LUEP, disetarakan jumlah gabah, dalam kg

Kriteria penilaian adalah jika nilai Rasio DPM >1, maka pemanfaatan DPM di anggap cukup berhasil.

Nilai IHP

Perhitungan IHP dapat dilakukan dengan menggunakan data harga di tingkat petani sekitar lokasi LUEP (mitra/nonmitra) maupun data sekunder di tingkat makro wilayah kabupaten. Namun demikian, karena DPM LUEP merupakan bagian instrumen kebijakan, maka kondisi harga gabah di tingkat makro dapat dijadikan indikator seberapa besar pengaruh DPM terhadap pembentukan harga di wilayah yang lebih luas. Dengan menggunakan data harga makro ini sekaligus dapat dilihat tingkat efektivitas pelaksanaan DPM LUEP.

(19)

Hasil perhitungan nilai IHP di Kabupaten Ngawi disajikan pada Tabel 5. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa nilai rata-rata IHP di Kabupaten Ngawi selama tahun 2003-2006 masih kurang dari angka 100, kecuali pada tahun 2005 untuk kualitas GKP. Bahkan jika diperhatikan nilai IHP bulanan untuk tahun 2003-2004, tidak ada satu bulan pun yang menunjukkan nilai IHP di atas 100. Rendahnya IHP pada tahun tersebut terkait erat dengan penetapan HPP yang dalam perhitungan ini mungkin terlalu tinggi. HPP yang dipakai adalah harga yang ditetapkan di tingkat penggilingan, karena pada tahun tersebut tidak ada ketentuan HPP di tingkat petani. Dengan demikian, jika digunakan harga di tingkat petani (sebagai pembagi), maka nilai IHP jelas akan lebih tinggi daripada yang tercantum pada Tabel 5.

Sementara pada tahun 2005-2006, secara umum terlihat telah terjadi peningkatan nilai IHP di Kabupaten Ngawi, walaupun nilai rata-ratanya masih di bawah angka 100. Selama periode tersebut nampak bahwa pada bulan-bulan tertentu (September-Januari) nilai IHP mencapai lebih dari 100. Kondisi ini terjadi karena pada bulan-bulan tersebut merupakan masa di luar panen raya sehingga ketersediaan gabah berkurang. Dengan jumlah permintaan gabah/beras yang relatif stabil sepanjang bulan, maka berdasarkan hukum supply-demand akan mendorong terjadinya peningkatan harga gabah.

Tabel 5. Nilai IHP Kabupaten Ngawi 2003-2006 Tahun dan

jenis gabah

Bulan dan Harga Pembelian (Rp/kg)

Rata-rata

Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agts Sept Okt Nop Des

2003 GKP 98 90 77 85 91 78 85 89 93 91 91 89 88 GKS 87 88 75 81 84 75 79 82 83 85 85 80 82 GKG 88 87 76 80 78 80 76 82 83 81 84 84 82 2004 GKP 87 75 73 77 77 84 89 84 86 85 89 93 83 GKG 83 74 72 73 76 75 74 76 78 84 80 97 78 2005 GKP 103 101 81 - - 97 98 98 120 118 120 120 104 GKG 98 - 78 83 83 85 93 95 116 109 109 111 96 2006 GKP 98 79 79 91 95 92 102 - 116 110 111 113 98 GKG 106 76 77 91 94 95 101 101 106 96 98 107 96

Sumber: Yusdja et al. (2007)

Rasio manfaat DPM

Nilai Rasio Manfaat DPM di Kabupaten Ngawi menunjukkan bahwa kinerja LUEP dalam pemanfaatan dana tersebut dinilai cukup berhasil. Di Kabupaten Ngawi dana penguatan modal berasal dari 3 sumber yaitu APBN, APBD I dan

(20)

APBD II. Rasio DPM nampaknya dipengaruhi juga oleh besaran dana yang dicairkan, artinya semakin besar dana maka rasio DPM juga semakin besar (Tabel 6). Dari Tabel tersebut, nilai DPM yang bersumber dari APBD II dengan jumlah dana relatif kecil hanya mampu diputar sebanyak 4 kali putaran. Sementara untuk dana APBN/APBD I dapat mencapai lebih dari 11 kali putaran. Hal ini dianggap wajar karena peserta DPM LUEP APBN/APBD merupakan pengusaha beras besar sehingga perputaran modal cukup cepat sesuai dengan volume penjualan yang lebih besar.

Tabel 6. Nilai Rasio Manfaat DPM di Kabupaten Ngawi

Tahun

Pencairan dana Pembelian

Rasio DPM Uang (Rp) Setara GKP (kg) Uang (Rp) Setara GKP (kg)

2003 a 3.500.000.000 2.845.528,46 n.a. n.a n.a

2004 a 3.700.000.000 3.008.130,08 n.a n.a n.a

2005 b 3.700.000.000 2.781.954,89 41.626.041.000 31.297.775,19 11,25

2006a 4.500.000.000 2.601.156,10 51.584.615.000 29.817.696,53 11,46

2006b 3.700.000.000 2.138.728,32 47.287.211.000 27.333.647,98 12,78

2006c 1.800.000.000 1.040.462,43 7.528.080.000 4.351.491,33 4,18 Keterangan: Harga GKP 2003-2004 = Rp 1.230; tahun 2005 = Rp 1330; tahun 2006 = Rp 1730 a Dana APBN; b Dana APBD I; c Dana APBD II; n.a = not available

PENUTUP

Kegiatan DPM LUEP mendapat respon positip dari petani, pemilik LUEP dan pemerintah daerah. DPM LUEP mampu memberikan rasa aman lebih besar jika dibandingkan lembaga pembelian gabah lainnya seperti Bulog yang juga membeli gabah petani dengan HPP. LUEP memiliki beberapa kelebihan diantaranya: secara psikologis pemilik LUEP telah saling kenal dengan petani, penjualan gabah lebih mudah dan tidak terlalu terikat dengan mutu gabah, tidak birokratif, pembayaran langsung, dan lokasi penjualan gabah lebih dekat.

Berdasarkan indikator keberhasilan yang disusun Badan Ketahanan Pangan, kegiatan DPM LUEP telah menunjukkan kinerja yang cukup baik. Namun demikian, jika dikaitkan dengan upaya untuk mempengaruhi harga gabah regional, nampaknya masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Harga gabah secara umum masih cenderung mengikuti harga pasar, dengan kata lain pengaruh hukum ekonomi (Supply dan Demand) masih sangat kuat sehingga pada masa-masa panen raya (umumnya di bulan-bulan saat MH) harga rata-rata tingkat wilayah seringkali di bawah HPP.

Untuk perbaikan LUEP ke depan agar lebih optimal dalam menjalankan fungsinya perlu dilakukan beberapa hal, diantaranya: Pertama, pencairan DPM hendaknya dapat dipercepat, sehingga saat panen di bulan Januari atau paling

(21)

lambat Februari sudah bisa digunakan untuk membeli gabah petani; Kedua, rentang waktu pengembalian diharapkan lebih dari 1 tahun, misalnya pada bulan Januari/Februari tahun berikutnya sehingga ada insentif tambahan keuntungan bagi LUEP; dan Ketiga, pemerintah terus melakukan upaya untuk menjaga stabilitas harga sehingga kepastian berusaha lebih terjamin.

Pola yang diterapkan oleh Lembaga Pembelian Gabah/LPG (dana APBD I Jatim) pada tahun 2007 yaitu pengembalian pinjaman dilakukan 50 persen pada bulan Desember dan 50 persen sisanya di bulan Januari direspon sangat positip oleh LUEP. Jika memungkinkan untuk DPM LUEP dengan dana APBN bisa menggunakan pola LPG tersebut. LUEP tidak merasa keberatan, jika pada pelaksanaan DPM LUEP dana APBN juga dikenakan bunga 3 persen. Bulan Desember-Januari merupakan saat-saat harga gabah/beras cukup tinggi sehingga pemilik LUEP dapat memperoleh keuntungan. Selain itu dengan pola pengembalian seperti ini, sekaligus dapat dipakai sebagai instrumen manajemen stok untuk menjaga kecukupan pangan wilayah.

Untuk menghemat anggaran pemerintah pola pendanaan LPG bisa dijadikan rujukan nasional. Penetapan bunga 3 persen masih dianggap wajar serta tidak membebani LUEP, karena untuk ukuran sebuah bisnis masih di bawah tingkat suku bunga komersial. Hasil dari penarikan bunga tersebut juga membantu meningkatkan PAD setempat yang pada akhirnya dapat digunakan untuk mengembangkan perekonomian daerah.

Di samping itu, perlu dilakukan upaya dan langkah-langkah yang lebih operasional agar pola DPM LUEP bisa tetap berkelanjutan, meskipun tidak mengandalkan bantuan dana secara penuh kepada pemerintah/kredit tanpa bunga. Dengan kewenangan yang dimiliki, pemerintah bisa menjembatani eks penerima DPM LUEP untuk lebih mudah mengakses kredit program bersubsidi, misalnya Kredit Ketahanan Pangan-Energi (KKP-E) atau dengan skim pembiayaan alternatif seperti Resi Gudang. Tentu saja persyaratan dan ketentuan legal-formal tetap harus dipenuhi oleh eks penerima DPM LUEP.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Ketahanan Pangan. 2006. Pedoman Umum Pelaksanaan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM-LUEP) untuk Pengendalian Harga Gabah/Beras di Tingkat Petani Tahun 2006. Badan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta

Bernas. 2005. DPM Terkendala Tenaga Operasional. -XP¶DW 'HVHPEHU

http://www.bernas.co.id/news/CyberMetro/DIY/2540.htm [20/05/09]

Departemen Pertanian. 2005. Rencana Strategis Pembangunan Pertanian 2005-2009. Departemen Pertanian. Jakarta.

(22)

Departemen Pertanian. 2006. Kegiatan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM LUEP). Departemen Pertanian. Jakarta.

Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian. 2004. Laporan Pelaksanaan Program DPM LUEP Kabupaten Ngawi Tahun 2004. Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Ngawi.

Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian. 2007. Laporan Sementara Pelaksanaan Program DPM LUEP Kabupaten Ngawi Tahun 2007. Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Ngawi.

Kompas. 2006. Ada Kredit Macet LUEP, Sistem Penerimaaannya Harus Diperbaiki.

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0604/28/jateng/34918.htm [20/05/09]

Medan Bisnis. 2009. Gapoktan yang Nakal Tidak Dipilih Lagi dalam Program LUEP. Kolom Agribisnis. http://www.medanbisnisonline.com/2009/01/10/gapoktan-yang-nakal-tidak-dipilih-lagi-dalam-program-luep/ [20/05/09]

Yusdja, Y., Mayrowani, H., Sajuti, R., Ashari, Winarso, B., Waluyo. 2007. Analisis Kinerja Pembangunan Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

(23)

Tabel 4. Perkembangan Harga Gabah Bulanan di Kabupaten Ngawi 2003-2006 Tahun/

jenis gabah

Bulan dan Harga Pembelian (Rp/kg) Rata-rata

Jan Feb Maret Apr Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des

2003 GKP 1.200 1.111,43 941,55 1.050 1.125 965,4 1.050 1.100 1.150 1.121,4 1.116,6 1.100 1.085,95 GKS 1.300 1.321,88 1.122,5 1.220,8 1.260 1.125,2 1.190 1.225 1.250 1.275 1.281,1 1.206 1.232,42 GKG 1.523,07 1.500 1.315 1.383,75 1.349,9 1.383,75 1.316,6 1.407,5 1.436,36 1.400 1.450 1.450 1.409,62 2004 GKP 1.066,66 918,18 896,9 943,75 950 1.037,5 1.092,8 1.033,3 1.062,5 1.050 1.100 1.150 1.023,13 GKS 1.233,3 1.100 1.100 1.075 1.191,6 1.193,7 1.200 1.150 1.175 1.244,4 1.225 1.400 1.190,66 GKG 1.425 1.268,75 1.235,7 1.263,6 1.307,1 1.300 1.275 1.317 1.350 1.450 1.375 1.666,6 1.352,82 2005 GKP 1.268,75 1.245,8 1.075 - - 1.290 1.300 1.300 1.600 1.575 1.600 1.600 1.385,5 GKS 1.475 1.366,6 1.200 1.216,6 1.283,3 1.400 1.400 1.400 1.790 1743,75 1.787,5 1.800 1.488,56 GKG 1.700 - 1.350 1.440 1.437,5 1.487,5 1.612,5 1.660 2.010 1.900 1.900 1.925 1.674,78 2006 GKP 1.687,5 1.364,28 1.360 1.575 1.650 1.600 1.761,54 - 2.000 1.900 1.925 1.950 1.703,03 GKS 1.820,28 - 1.810 1.825 1.940 2.025 2.150 2.180 2.200 2.150 2.200 2.300 2.054,55 GKG 2.394,4 1.700 1.725 2.050 2.122,22 2.131,25 2.262 2.283,33 2.380 2.166,67 2.200 2.400 2.151,28

Gambar

Tabel 1. Perkembangan dan Keragaan Kegiatan DPM LUEP Jawa Timur, 2003-2006
Tabel 2. Jumlah alokasi dana dan jumlah LUEP dari APBN dan APBD I
Tabel  2. Tujuan pemasaran peserta DPM LUEP 2003 dan 2006
Tabel 3. Perbandingan  Karakteristik  dan  Sistem  Pembelian  oleh  LUEP,  Non-LUEP  dan  Dolog
+5

Referensi

Dokumen terkait

sejenisnya dibuktikan dengan surat keterangan bebas narkoba dari Rumah

Tujuan penelitian dan pengembangan untuk mengembangkan model latihan kombinasi dribbling, passing dan shooting untuk peserta ekstrakurikuler bolabasket SMP Negeri 2

Dalam hal ini kenakalan remaja semakin menurun ditandai dengan adanya tanda negatif sehingga dapat diartikan bahwa semakin baik bimbingan sosial yang diberikan oleh orang

Khaled berulangkali menjelaskan bahwa penggantian secara halus dan lebih-lebih jika dilakukan secara kasar, kekuasaan atau otoritas Tuhan (Author) oleh Pembaca

NO JENIS PENGADAA N PERKIRAAN BIAYA (RP,-) LOKASI PEKERJAAN KEGIATAN JENIS BELANJA LELANG / SELEKSI PENUNJUKAN LANGSUNG / PENGADAAN LANGSUNG PEMBELIAN SECARA ELEKTRONIK

Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) pengembangan modul berbasis pendekatan JAS pada materi Gerakan Bumi dan Bulan yang terintegrasi Budaya Jawa dilakukan

pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang memperoleh pembelajaran

I ni bagi saya adalah petanda PAS akan menemui 'ajalnya' setelah terjebak dengan 'pakatan ahzab' bersama dengan Parti Keadilan Rakyat (PKR) dan DAP untuk menjatuhkan Kerajaan