• Tidak ada hasil yang ditemukan

PCOS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PCOS"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sindrom ovarium polikistik atau polycistic ovarian syndrome (PCOS) merupakan salah satu penyebab ketidaksuburan (infertilitas) karena kegagalan terjadinya proses ovulasi, keluarnya sel telur (ovum) dari indung telur (ovarium). Sindrom ovarium polikistik didefinisikan sebagai kumpulan gejala yang ditandai dengan adanya proses anovulasi (tidak keluarnya ovum) kronis disertai perubahan endokrin (seperti hiperinsulinemia dan hiperandrogenemia). Beberapa komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi pada pengidap sindrom ovarium polikistik meliputi peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2, gangguan toleransi glukosa (resistensi insulin), kadar lipid dalam darah abnormal (dislipidemia), penyakit kardiovaskular, penebalan dinding rahim, dan infertilitas (Lord et al., 2008).

Di Amerika sindrom ovarium polikistik biasanya terjadi pada usia reproduktif (antara 15 sampai 40 tahun) dan angka kejadiannya sekitar 5-10%. Meskipun angka kejadian PCOS dijumpai cukup tinggi pada wanita usia reproduktif, penyebab pastinya hingga kini belum banyak diketahui (Baziad, 2012).

Sindrom ovarium polikistik pertama sekali ditemukan oleh Stein dan Leventhal pada sekitar tahun 1935.Kelainan atau sindrom ini bukanlah sebuah penyakit, melainkan kelompok gejala. Gambaran klinis yang dijumpai pada umumnya berupa amenorea (tidak ada menstruasi/haid), oligomenorea (haid yang sedikit), infertilitas (ketidaksuburan), hirsutisme (tumbuhnya rambut berlebihan), adipositas (kegemukan), dan pembesaran kedua ovarium (DeCherney et al., 2007).

Meskipun penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun terdapat kemajuan dalam bidang endokrinologi, biokimia, dan farmakologi untuk memberikan pengobatan yang menggembirakan, termasuk terapi yang bersifat farmakologi maupun operatif. Mengingat tindakan operatif memberikan angka keberhasilan yang cukup tinggi maka diperlukan suatu pembahasan yang dapat menambah wawasan mengenai Sindroma Ovarium Polikistik.

(2)

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi dan etiologi pada Sindroma Ovarium Polikistik.

2. Untuk mengetahui tanda gejala dan penegakan diagnosis pada Sindroma Ovarium Polikistik.

3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada Sindroma Ovarium Polikistik. 4. Untuk mengetahui komplikasi dan prognosis pada Sindroma Ovarium

Polikistik.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi

(3)

Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) adalah suatu kelainan heterogen berupa anovulasi kronik dan hiperandrogenik yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, di mana semua penyebab sekunder (neoplasma yang mensekresi androgen) telah disingkirkan (William et al., 2007). PCOS bukanlah suatu penyakit namun merupakan suatu kumpulan gejala (POGI, 2006) dengan karakteristik berupa adanya anovulasi persisten dan manifestasi klinis berupa kista multipel pada ovarium, amenore sekunder atau oligomenore dan infertilitas (Norwitzt et al., 2006).

B. Etiologi

Etiologi PCOS masih belum diketahui, dan tidak ada gen atau substansi lingkungan spesifik yang terbukti mengakibatkan terjadinya PCOS (Norwitz et al., 2006), meskipun beberapa penelitian mencoba menghubungkan kejadian PCOS dengan pengaruh genetik melalui aktifitas 5α-reduktase (William et al., 2007).

Menurut POGI (2006) penyebab terbanyak PCOS adalah akibat adanya gangguan hormonal. Gangguan hormonal berupa resistensi insulin, adanya deposit lemak sentral (obesitas) dan Diabetes Mellitus tipe 2 sering dianggap berhubungan dengan kejadian PCOS pada wanita usia subur (William et al., 2007).

C. Epidemiologi

Penelitian tentang prevalensi PCOS masih terbatas. Di Amerika Serikat prevalensinya berkisar 4-6%. Menurut Leventhal sindroma ini terjadi 1% - 3 % dari semua wanita steril, 3%-7% wanita yang mempunyai pengalaman ovarium polikistik serta 15-25% wanita usia reproduksi akan mengalami siklus yang tidak berovulasi. Sebanyak 75% dari siklus yang tidak berovulasi itu berkembang menjadi anovulasi kronis dalam bentuk Ovarium polikistik (OPK). Telah ditemukan bahwa 80% dari kelainan ovarium polikistik ini secara klinis tampil sebagai Penyakit Ovarium Polikistik (POPK). Pada 5-10% wanita usia reproduksi, Penyakit Ovarium polikistik ini akan bergejala lengkap sebagai Sindroma Ovarium polikistik (SOPK) (Fauser, 2012).

(4)

Faktor Resiko PCOS yaitu (Pernoll, 2011) : 1. Riwayat PCOS dalam keluarga

Bila dalam satu keluarga terdapat penderita PCOS maka kemungkinan terjadinya PCOS adalah 50%. PCOS dapat diturunkan dari pihak bapak atau ibu kepada anaknya.

2. Riwayat keluarga dengan diabetes diperkirakan juga akan meningkatkan resiko terjadinya PCOS oleh karena ada hubungan yang sangat kuat antara kejadian diabetes dan PCOS.

3. Resistensi insulin

Resistensi insulin menyebabkan kenaikan kadar gula darah dan diabetes. Lebih dari 40% penderita SOPK menunjukkan adanya resistensi insulin, dan lebih dari 10% diantaranya akan menderita diabetes melitus tipe 2 saat berusia sekitar 40 tahun. Kadar insulinyang tinggi seperti ini dapat meningkatkan kadar hormon pria sehingga keluhan SOPK menjadi semakin parah. Gangguan akibat dari resistensi insulin mengacu pada metabolisme glukosa. Kompensasi akibat adanya hiperinsulinemia adalah peningkatan kerja insulin dan menyebabkan efek-efek yang berlebihan pada organ lain termasuk stimulasi sekresiandrogen ovarium oleh sel-sel adrenal. Insulin juga dapat menurunkan produksi sexhormone-binding globulin (SHBG) di liver.

4. Obesitas

Pada wanita pasca menopause, kebanyakan estrogen berasal dari perubahan androstenedion menjadi estron pada jaringan lemak. Kecepatan perubahan ini 15-20 kali lebih besar pada wanita gemuk. Oleh karena itu, estrogen dalam darah wanitagemuk diketahui lebih tinggi. Kadar estrogen yang tinggi diyakini dapat meningkatkan resiko polikistik ovarium.

5. Menstruasi terlalu dini (Menarche)

Wanita yang mulai menstruasi pada usia di bawah usia 12 tahun memiliki resiko yanglebih tinggi karena adanya peningkatan waktu paparan dinding rahim terhadapestrogen.

6. Tingkat kesuburan.

7. Hipotoroid atau hormon yang tidak seimbang. 8. Terapi tamosifen pada kanker mammae. E. Tanda dan gejala

(5)

1. Hirsutisme (tumbuhnya rambut tubuh yang berlebihan), contohnya : kumis

2. Akne / jerawat 3. Obesitas/kegemukan

4. Oligomenore (menstruasi yang jarang) 5. Amenore (tidak menstruasi)

6. Infertilitas.

F. Penegakan diagnosis 1. Anamnesis

Anamnesis harus difokuskan pada pola menstruasi, kehamilan sebelumnya (jika ada), obat-obatan yang sedang dikonsumsi, konsumsi merokok, konsumsi alkohol, pola makan, dan riwayat anggota keluarga dengan diabetes atau penyakit kardiovaskular. Ketidakteraturan menstruasi (80%) terjadi segera setelah menarke, termasuk amenore sekunder dan atau oligomenore (Norwitz et al.,2006).

Pada 75% penderita PCOS mengalami infertilitas akibat anovulasi kronik, dan beberapa ditemukan memiliki gejala sisa pada jangka panjang. Gejala sisa pada penderita PCOS dapat berupa penyakit kardiovaskular dan dislipidemia; intoleransi glukosa atau diabetes mellitus yang tidak tergantung insulin (DM tipe 2); hiperplasia endometrium atau adenokarsinoma akibat pajanan estrogen kronik pada uterus (Norwitz et al., 2006).

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita PCOS harus ditujukan pada tanda-tanda hirsutisme (William et al., 2007) yaitu kebotakan, jerawat (akne), klitoromegali (pembesaran klitoris), distribusi rambut pada tubuh (muka, di atas bibir, dada, linea alba) [POGI, 2006], pengecilan payudara, dan tanda-tanda resistensi insulin (obesitas, distribusi lemak sentripetal, akantosis nigrikans). Sedangkan pada pemeriksaan bimanual dapat juga ditemukan ovarium yang membesar (Norwitz et al., 2006).

Hirsutisme (70%) adalah suatu keadaan dimana ditemukan pola pertumbuhan rambut pria (diatas bibir, dagu, dada, punggung) pada seorang wanita. Sedangkan akantosis nigrikans adalah penanda dermatologis akibat resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang ditandai dengan perubahan warna kulit menjadi abu-abu kecoklatan, halus,

(6)

kadang-kadang seperti veruka pada leher, selangkangan dan aksila. Oleh sebab itu, efek-efek ekstrem dari anovulasi kronik hiperandrogenik dari PCOS disebut sebagai Sindrom HAIR-AN (hiperandrogenisme, resistensi insulin, dan akantosis nigrikans) (Norwitz et al., 2006).

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium seperti testosterone (T) atau dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) bermanfaat untuk menunjukkan hiperandrogenisme ovarium. Tumor yang mensekresi androgen pada ovarium atau kelenjar adrenal juga selalu disertai dengan kadar androgen dalam sirkulasi yang meningkat, tetapi tidak terdapat kadar absolut yang bersifat patognomonik untuk suatu tumor atau kadar minimum yang dapat menyingkirkan kemungkinan adanya tumor (Norwitz et al., 2006).

Kadar T yang tinggi selalu berasal dari ovarium (> 1,5 ng/ml), sedangkan kadar DHEAS yang tinggi selalu berasal dari suprarenal (> 5-7ng/ml) [POGI, 2006].

Indikasi pemeriksaan T maupun DHEAS dapat di lihat dari ringan beratnya pertumbuhan rambut. Bila pertumbuhan rambut yang terlihat hanya sedikit saja (ringan), maka kemungkinan besar penyebab tingginya androgen serum adalah akibat gangguan pada ovarium yaitu berupa anovulasi kronik, sedangkan bila terlihat pertumbuhan rambut yang mencolok, maka peningkatan androgen kemungkinan besar berasal dari kelenjar supra renal yang dapat berupa hiperplasia, atau tumor (POGI, 2006).

USG dan atau laparoskopi merupakan alat utama untuk diagnosis PCOS. Dengan USG, hampir 95 % diagnosis dapat dibuat. Pada USG terlihat gambaran seperti roda pedati, atau folikel-folikel kecil berdiameter 7-10 mm. Baik dengan USG, maupun dengan laparoskopi, ke dua, atau salah satu ovarium pasti tampak membesar (POGI, 2006).

Wanita dengan PCOS menunjukkan kadar FSH, PRL (prolaktin), dan E (estrogen) normal, sedangkan LH sedikit meningkat (rasio LH/FSH>3). LH yang tinggi ini akan meningkatkan sintesis T di ovarium, dan membuat stroma ovarium menebal (hipertikosis). Kadar T yang tinggi juga mengakibatkan folikel mengalami atresia (POGI, 2006).

(7)

Menurut William et al. (2007), diagnosis PCOS ditegakkan berdasarkan adanya kritera mayor dan kriteria minor. Diagnosis PCOS ditegakkan berdasarkan dengan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah kriteria minor.

Kriteria mayor meliputi: anovulasi dan hiperandrogenisme baik secara klinis ataupun laboratorium. Dimana keadaan ini tidak ditemukan pada penyakit lain yang juga berhubungan dengan hiperandrogenisme (seperti gangguan adrenal, neoplasma ovarium, dan sindrom cushing) atau anovulasi (gangguan hipo atau hipergonadotropik, hiperprolaktinemia, dan penyakit tiroid) (William et al., 2007).

Sedangkan kriteria minor meliputi: resistensi insulin, onset saat permenarke pada hirsutisme dan obesitas, adanya peningkatan rasio LH dan FSH, dan anovulasi intermiten yang berhubungan dengan hiperandrogenemia (testosterone bebas, DHEAS) (William et al., 2007). G. Patogenesis

Patogenesis SOPK kurang jelas diketahui, namun diduga bahwa defek primer kemungkinan karena adanya resistensi insulin yang menyebabkan hiperinsulinemia (Hardiman, 2008).

Konsentrasi insulin dan LH didalam sirkulasi secara umum akan meningkat. Sel theca yang membungkus folikel dan memproduksi androgen yang nantinya akan dikonversi menjadi estrogen didalam ovarium menjadi sangat aktif dan responsif terhadap stimulasi LH. Sel theca akan lebih besar dan akan menghasilkan androgen lebih banyak. Sel-sel theca yang hiperaktif ini akan terhalang maturasinya sehingga akan menyebabkan sel-sel granulosa tidak aktifdan aktifitas aromatisasinya menjadi minimal. Akibat ketidakmatangan folikel-folikel tersebut maka terjadi pembentukan kista-kista dengan diameter antara 2-6mm dan masa aktif folikel akan memanjang, sehingga akan terbentuk folikel-folikel baru sebelum folikel yang lain mati. Folikel-folikel tersebut akan berbentuk seperti kista yang dilapisi oleh sel-sel theca yang hiperplastik yang mengalami liteinasi sebagai respon peningkatan kadar LH (Hardiman, 2008).

(8)

Gambar 2.1 Patomekanisme Sindroma Ovarium Polikistik (David, 2005)

H. Patofisiologi

Sindrom ovarium polikistik (PCOS) merupakan tahap akhir dari suatu “siklus perusak” akibat peristiwa-peristiwa endokrinologis yang dapat diawali dari banyak titik yang berbeda. Masih belum jelas apakah patologi primernya berada di ovarium atau pada hipotalamus, tetapi kerusakan yang mendasar tampaknya adalah karena pengiriman sinyal yang “tidak seharusnya” ke hipotalamus dan hipofisis. Kadar LH yang meningkat (tanda khas PCOS) disebabkan oleh peningkatan produksi estrogen perifer (umpan balik negatif) dan peningkatan sekresi inhibin. Sedangkan kadar FSH yang tertekan

(9)

diakibatkan oleh peningkatan produksi estrogen perifer (umpan balik positif) dan peningkatan sekresi GnRH (Norwitz et a.l, 2006).

PCOS ditandai oleh “keadaan menetap” dari LH yang meningkat secara kronik dan kadar FSH yang tertekan secara kronik, meskipun terdapat peningkatan dan penurunan yang bersifat siklik yang terlihat dalam siklus menstruasi normal. LH yang meningkat menstimulasi stroma ovarium dan sel-sel teka untuk meningkatkan produksi androgen. Androgen dikonversi di perifer melalui aromatisasi menjadi estrogen yang memperparah anovulasi kronik. Sedangkan akibat dari FSH yang tertekan, pertumbuhan folikel baru terus-menerus distimulasi tetapi tidak sampai titik pematangan dan ovulasi penuh (korpus luteum dan korpus albikan jarang terdeteksi). Androgen yang meningkat berperan terhadap pencegahan perkembangan folikel normal dan induksi atresia premature (Norwitz et al., 2006).

Penambahan jaringan adiposa pada pasien yang mengalami obesitas turut berperan terhadap aromatisasi ekstraglandular androgen menjadi estrogen. Sedangkan testosterone dalam sirkulasi meningkat (menyebabkan hirsutisme) karena kadar globulin pengikat hormone seks (sex hormone-binding globulin, SHBG) menurun pada PCOS. Ovarium merupakan lokasi utama overproduksi androgen pada PCOS sedangkan kelenjar adrenal hanya memiliki peran kecil (Norwitz et al., 2006).

(10)

Gambar 2.2 Patofisiologi PCOS (Norwitz et al., 2006)

I. Gambaran histopatologi

Secara makroskopis, ovarium pada wanita dengan PCOS berukuran 2 hingga 5 kali lipat dari ukuran normal (Wood et al., 2008). Pada potongan melintang permukaan ovarium tampak adanya penebalan korteks dan ditemukan kista yang multipel yang secara tipikal dengan diameter kurang dari 1 cm (DeCherney et al., 2007).

Sedangkan secara mikroskopis, korteks superficial ovarium mengalami fibrotik dan hiposelluler, dan mungkin mengandung pembuluh darah prominent (William et al., 2007). Selain itu tampak folikel atretik yang lebih kecil, dimana dijumpai peningkatan jumlah folikel dengan luteinisasi teka interna, dan mungkin juga ditemukan luteinisasi pada sel stroma (DeCherney et al., 2007).

(11)

Gambar 2.3 Gambaran patologi polikistik ovarium sindrom (sumber : DeCherney et al., 2007)

J. Penatalaksanaan 1. Terapi Lama

a. Reseksi baji ovarium (ovarian wedge resection)

Dapat dilakukan secara laparatomi atau laparoskopi. Direkomendasikan oleh Kismer dan Patton terhadap pasien SPOKyang mengalami ovilasipada pemberian clomifen sitrat namun tidak terjadi kehamilan. keduanya menganjurkantindakan reseksi baji dilakukan pada pasien yang tidak mengalami kehamilan setelah 7atau 8 kali siklus pengobatan dengan clomiphene citrat. Pada reseksi baji ovariumdilakukan insisi 2-3 cm pada korteks ovarium yang menebal.Insisi dibuat sesuai dengan alur ovarium, dan dihindari daerah hilus ovarium untukmengjindari terjadinya perdarahan yang banyak. Melalui lubang insisi bagian medulladiangkat dan sebanyak mungkin korteks ovarium dipertahankan (Azziz, 2006).

2. Terapi Baru

Penatalaksanaan pada PCOS diarahkan pada interupsi siklus anovulatorik kronik hiperandrogenik yang terus berlanjut (Jakubowicz et al., 2012). Penurunan berat badan dapat mengurangi sekresi androgen pada wanita obes yang mengalami hirsutisme dengan cara menurunkan aromatisasi estrogen perifer dan menurunkan hiperinsulinemia (Norwitz et al., 2006).

a. Terapi medikamentosa

1) Kontrasepsi oral merupakan pilihan utama tata laksana PCOS jangka panjang dengan cara menurunkan sekresi LH dan FSH

(12)

serta produksi androgen pada ovarium, meningkatkan produksi SHBG di hati, menurunkan kadar DHEA, dan mencegah neoplasia endometrium. Siproteron asetat (standar inggris), spironolakton, atau eflornitin topikal dapat membantu pasien yang mengalami hirsutisme berlebihan.

2) Progestin terlihat dapat menekan LH dan FSH hipofisis serta androgen yang ada dalam sirkulasi, tetapi perdarahan di luar menstruasi sering terjadi.

3) Agen yang mesensitisasi insulin (metformin) menurunkan kadar androgen dalam sirkulasi, memperbaiki kecepatan ovulasi, dan memperbaiki tolerasi glukosa. Meskipun demikian, obat tersebut saat ini belum disetujui untuk digunakan dalam PCOS (Ibanez et al., 2014).

4) Klomifen sitrat secara umum telah menjadi pengobatan lini pertama untuk wanita yang menginginkan kehamilan.

b. Terapi bedah

1) Ovarian drilling, yaitu tindakan pembedahan dengan menggunakan laser atau diatermi. Tindakan ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan terapi medikamentosa untuk infertilitas, namun tidak terlihat memiliki manfaat jangka panjang dalam memperbaiki kelainan metabolik. 2) Pengangkatan rambut secara mekanik (vaporasi laser, elektrolisis (elektrocauter), krim depilatory) seringkali merupakan lini pertama terapi hirsutisme.

K. Komplikasi

Komplikasi utama yang dikhawatirkan pada penderita PCOS adalah terjadinya infertilitas (Bulun et al., 2011). Infertilitas merupakan suatu keadaan dimana pasangan suami istri tidak mampu menghasilkan keturunan meskipun telah melakukan hubungan seksual yang teratur (2-3 kali seminggu) dan tidak menggunakan kontrasepsi (Norwitz et al., 2006). Dengan adanya kelainan metabolik pada penderita PCOS yang berupa resistensi insulin akibat obesitas dapat mengakibatkan terjadinya DM tipe 2, serta penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner atau aterosklerosis (POGI,

(13)

2006), infark miokard (William et al., 2007), dan infertilitas (Bulun et al., 2011).

L. Prognosis

Dengan adanya pengobatan yang benar PCOS memiliki prognosis baik dan memungkinkan terjadinya kehamilan. Namun adanya PCOS meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular dan cerebrovaskular dengan adanya hiperandrogenisme dan peningkatan apolipoprotein. Sebanyak 4% pasien dengan PCOS memiliki resiko resistensi insulin sehingga meningkatkan resiko diabetes mellitus tipe 2 dengan konsekuensi komplikasi kardiovaskular. Penderita PCOS juga beresiko mengalami hiperplasia dan karsinoma endometrium (Hardiman et al., 2008).

III. KESIMPULAN

1. Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) adalah suatu kelainan heterogen berupa anovulasi kronik dan hiperandrogenik yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, di mana semua penyebab sekunder (neoplasma yang mensekresi androgen) telah disingkirkan.

2. Etiologi PCOS masih belum jelas, namun diduga berhubungan dengan resistensi insulin, obesitas dan DM tipe 2.

3. PCOS merupakan kumpulan gejala, bukan merupakan suatu penyakit. Diagnosis PCOS ditegakkan berdasarkan dengan minimal dua kriteria mayor yang meliputi: anovulasi kronik, hiperandrogenemia, tanda-tanda klinis dari hiperandrogenisme, dan tidak ada penyebab lain (etiologi lain telah

(14)

disingkirkan). Atau 1 kriteria mayor ditambah kriteria minor yang meliputi: resistensi insulin, onset saat permenarke pada hirsutisme dan obesitas, adanya peningkatan rasio LH dan FSH, dan anovulasi intermiten yang berhubungan dengan hiperandrogenemia (testosterone bebas, DHEAS).

4. Penanganan PCOS meliputi terapi medikamentosa dan penanganan bedah. Terapi medikamentosa meliputi kontrasepsi oral, Progestin, Agen yang mesensitisasi insulin (metformin) dan Klomifen sitrat. Sedangkan penanganan bedah meliputi ovarian drilling dengan menggunakan laser atau diatermi, serta dengan pengangkatan rambut secara mekanik [vaporasi laser, elektrolisis (elektrocauter), krim depilatori].

5. Penderita PCOS beresiko mengalami gangguan kardiovaskular (aterosklerotik), infertilitas dan gangguan metabolic (DM tipe 2).

Gambar

Gambar 2.1 Patomekanisme Sindroma Ovarium Polikistik  (David, 2005)
Gambar 2.2 Patofisiologi PCOS  (Norwitz et al., 2006)
Gambar 2.3 Gambaran patologi polikistik ovarium sindrom  (sumber : DeCherney et al., 2007)

Referensi

Dokumen terkait

Tumor marker yang diterima secara klinis untuk kanker epithelial ovarium adalah CA-125 (Cancer Antigen-125), yang ditemukan meningkat pada hampir semua kasus kanker

Dari penelitian ini didapatkan hubungan antara kadar CA-125 dengan sifat dan tipe sel tumor ovarium, namun ditemukan meningkatnya kadar CA-125 pada tumor ovarium jinak seperti

Pada sindrom Cushing, hipersekresi glukokortikoid sering disertai oleh peningkatan sekresi androgen adrenal sehingga bisa ditemukan gejala dan tanda klinis

kedua ovarium dengan disertai beberapa hal sebagai berikut ini: kapsul robek, tumor terdapat pada permukaan ovarium, sel-sel ganas ditemukan dalam cairan asites

Meskipun ada hasil penelitian yang sama mengatakan bahwa terdapat hubungan antara kadar tumor marker CA-125 dengan jenis tumor ovarium, salah satunya pada penelitian Daoud

Kesimpulan di hepar proses-proses yang meningkat oleh karena kelenjar adrenal adalah perubahan asam amino menjadi glukosa, pembentukan glikogen dan sintesis

Dari penelitian ini didapatkan hubungan antara kadar CA-125 dengan sifat dan tipe sel tumor ovarium, namun ditemukan meningkatnya kadar CA-125 pada tumor ovarium jinak seperti

Peningkatan kadar hormon androgen, anabolik, kortikosteroid, gonadotropin serta ACTH mungkin menjadi faktor penting pada kegiatan kelenjar sebasea. 4,5 Kelenjar sebasea