• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berguna sebagai zat pengelupas atau peeling agent. Peeling atau pengelupas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berguna sebagai zat pengelupas atau peeling agent. Peeling atau pengelupas"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asam glikolat dengan rumus kimia C2H4O3 dan bobot molekul 76,05 g/moL berguna sebagai zat pengelupas atau peeling agent. Peeling atau pengelupas merupakan tindakan pengelupasan sebagian kulit ari (epidermis) (Dwikarya, 2006). Fungsinya sebagai peeling agent diklasifikasikan ke dalam tingkatan superficial atau dangkal dimana target kulitnya berada pada lapisan stratum korneum dengan konsentrasi 10,00%-30,00% (Grover & Reddu, 2003). Senyawa ini bekerja dengan cara menipiskan stratum korneum dan mendorong terjadinya pengelupasan pada lapisan epidermis (Kataoka dkk., 2001). Konsentrasi awal yang digunakan dimulai dari yang paling rendah yaitu 10,00% untuk menghindari adanya efek samping berupa kerusakan jaringan akibat penggunaan asam glikolat (Tosti dkk., 2006).

Asam glikolat sebagai peeling agent dibentuk dalam sediaan gel karena gel memberikan efek dingin. Efek dingin dari sediaan gel dapat mengurangi rasa sakit seperti tertusuk-tusuk, tersengat dan rasa terbakar yang timbul ketika peeling dilakukan (Boateng dkk., 2008). Penguapan air yang lambat dari sediaan gel dapat mencegah kulit menjadi kering akibat aktivitas peeling yang dilakukan berkali-kali (Ekarini, 2002). Sediaan gel ketika diaplikasikan pada permukaan kulit akan membentuk lapisan film yang mudah dicuci sehingga dapat hilang dengan mudah dan tidak meninggalkan bekas (Yanhendri & Yenny, 2012). Keuntungan lain dari

(2)

bentuk sediaan gel menurut Voigt (1984), ialah kemampuan penyebarannya baik di kulit, tidak menutup maupun menyumbat pori kulit, dapat dipakai di bagian tubuh yang berambut dan pelepasan obatnya baik.

Dalam pembuatan gel, pemilihan basis akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan aktivitas gel yang dihasilkan karena basis memungkinkan bahan aktif tetap stabil dan mudah dilepaskan ketika diaplikasikan pada kulit. Gelling agent untuk kebutuhan farmasi dan sediaan kosmetik harus bersifat inert, aman dan tidak reaktif dengan komponen lain (Dwiastuti, 2010).

HPMC sebagai gelling agent dapat menghasilkan gel yang netral, jernih, tidak berwarna, dan memiliki viskositas yang stabil pada penyimpanan jangka panjang (Rowe dkk., 2009). HPMC merupakan dasar gel semi-sintetik turunan selulosa yang tahan terhadap fenol, stabil pada rentang pH relatif luas yaitu 3 hingga 11, dan memberikan kekuatan film yang baik bila mengering pada kulit serta memiliki resistensi yang baik terhadap serangan mikroba (Maryawati, 2008). Karakteristik gel dapat dipengaruhi oleh proporsi dan konsentrasi bahan. Gelling agent dan humektan merupakan bahan yang dapat mempengaruhi kualitas dan sifat fisik (Dwiastuti, 2010). Propilen glikol yang berfungsi sebagai humektan dapat mempertahankan kandungan air dalam sediaan sehingga sifat fisik dan stabilitas sediaan selama penyimpanan dapat dipertahankan (Weller, 2009). Selain itu, propilen glikol dapat menahan lembab, memungkinkan kelembutan dan daya sebar yang tinggi dari sediaan, dan melindungi gel dari kemungkinan pengeringan (Voigt, 1984).

(3)

Optimasi formula gel menggunakan metode Simplex Lattice Design diperlukan untuk mendapatkan formula dengan kombinasi optimum dari berbagai variasi kadar HPMC dan propilen glikol sehingga menghasilkan sifat dan stabilitas fisik yang baik dan sesuai harapan (Bolton & Bon, 2004). Keuntungan dari metode ini adalah praktis dan cepat karena bukan merupakan penentuan formula dengan coba-coba (trial and error) (Armstrong & James, 1996).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaruh kombinasi HPMC dan propilen glikol terhadap sifat fisik gel asam glikolat?

2. Berapakah perbandingan konsentrasi HPMC dan propilen glikol yang dapat menghasilkan gel asam glikolat dengan sifat fisik optimum menggunakan metode Simplex Lattice Design melalui proses optimasi?

3. Bagaimanakah stabilitas fisik yang dihasilkan formula optimum gel asam glikolat dengan kombinasi HPMC dan propilen glikol selama 4 minggu penyimpanan?

C. Pentingnya Penelitian Dilakukan

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam kemajuan teknologi mengenai formulasi sediaan gel dengan sifat fisik yang baik sehingga membantu peningkatan kenyamanan bagi pemakainya. Penelitian ini juga berguna untuk pengembangan optimasi dan formulasi gel asam glikolat sebagai

(4)

zat pengelupas sehingga nantinya didapatkan formula dengan efikasi maksimal dan efek samping minimal.

D. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh kombinasi HPMC dan propilen glikol terhadap sifat fisik gel asam glikolat.

2. Mengetahui perbandingan konsentrasi HPMC dan propilen glikol yang menghasilkan formula optimum dalam sediaan gel asam glikolat menggunakan metode Simplex Lattice Design.

3. Mengetahui stabilitas fisik formula optimum gel asam glikolat dengan metode Simplex Lattice Design selama 4 minggu penyimpanan.

E. Tinjauan Pustaka

1. Kulit

(5)

a. Uraian kulit

Kulit merupakan alat tubuh yang berfungsi membungkus dan melindungi tubuh dari lingkungan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta mencerminkan kesehatan (Wasitaatmaja, 2007).

b. Struktur kulit

Lapisan pada kulit tersusun oleh tiga lapisan utama (Djuanda, 2007): 1) Lapisan Epidermis

a) Stratum korneum (lapisan tanduk) merupakan lapisan kulit yang paling luar, terdiri atas sel mati yang berbentuk gepeng, tidak berinti, dan protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat tanduk). b) Stratum lusidum merupakan lapisan gepeng tanpa inti dengan

protoplasma yang berubah menjadi protein (eleidin).

c) Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan dua atau tiga lapis sel gepeng dengan sitoplasma yang kasar, terdiri atas keratohialin, dan terdapat inti di antaranya.

d) Stratum spinosum (malphigi) terdiri dari lapis sel bentuk poligonal dengan ukuran berbeda-beda. Spinosum banyak mengandung glikogen.

e) Stratum basale terdiri atas sel bentuk kubus, tersusun vertikal yang berbaris seperti palisade, merupakan lapisan epidermis paling bawah.

(6)

2) Lapisan dermis

Lapisan dermis berada di bawah lapisan epidermis, lebih tebal, terdiri dari lapisan elastik dan fibrosa dengan elemen seluler dan folikel rambut.

a) Pars papilare, terdiri dari ujung saraf dan pembuluh darah, bagiannya menonjol ke epidermis.

b) Pars retikulare, terdiri atas serabut penunjang, seperti serabut kolagen, elastin dan retikulin.

c) Lapisan subkutis

Lapisan subkutis terdiri dari jaringan ikatan longgar berisi sel lemak di dalamnya dan merupakan kelanjutan dari dermis.

c. Fungsi biologis kulit

1) Fungsi proteksi, kulit menjaga tubuh dari gangguan fisis dan mekanis. 2) Fungsi absorpsi, kulit lebih mudah menyerap cairan yang mudah

menguap dan cairan yang larut lemak daripada air.

3) Fungsi ekskresi, kelenjar kulit mengeluarkan sisa metabolisme, seperti NaCl, urea, asam urat dan ammonia.

4) Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.

5) Fungsi pengaturan tubuh, yakni dengan mengeluarkan keringat dan mengerutkan otot pembuluh darah.

6) Fungsi pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit terletak di lapisan basal).

(7)

7) Fungsi keratinisasi, kulit memberi perlindungan terhadap infeksi. 8) Fungsi pembentuk vitamin D, mengubah dihidroksi kolesterol dengan

bantuan sinar matahari. d. Absorbsi obat melalui kulit

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi bahan obat dari sediaannya ke dalam kulit (Voigt, 1984):

1) Sifat kulit, yaitu kondisi kulit, jenis kulit dan perlakuan kulit.

2) Sifat dan pengaruh obat, yaitu konsentrasi, kelarutan dalam basis, ukuran molekul, daya difusi, kecepatan pelarutan, daya disosiasi, distribusi antara fase basis, situasi distribusi antara sediaan dan kulit. 3) Sifat dan pengaruh sediaan obat, yaitu sifat pembawa (hidrofil, lipofil,

jenis emulsi), dan teknik pembuatan.

2. Kosmetik

Kosmetik oleh FDA dideskripsikan sebagai bahan atau campuran bahan dimaksudkan untuk digosok, dituangkan, ditaburkan atau disemprotkan pada, atau dimasukkan ke dalam, atau diaplikasikan pada tubuh manusia atau bagian daripadanya untuk membersihkan, mempercantik, meningkatkan daya tarik atau mengubah penampilan dan bahan atau campuran bahan ditujukan untuk penggunaan sebagai komponen apapun sebagai bahan hanya saja ketentuan diatas tidak termasuk untuk sabun (Estrin, 1984).

Definisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 445/MenKes/Permenkes/1998 adalah sebagai berikut: kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis,

(8)

rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit (Tranggono & Latifah, 2007).

Sub Bagian Kosmetika Medik Bagian SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta membagi kosmetika atas:

a. Kosmetika pemeliharaan dan perawatan, yang terdiri atas: kosmetika pembersih (cleansing), kosmetika pelembab (moisturizing), kosmetika pelindung (protecting) dan kosmetika penipis (thinning)

b. Kosmetika rias/dekoratif yang terdiri atas: kosmetika rias kulit terutama wajah, kosmetika rias rambut, kosmetika rias kuku, kosmetika rias bibir, kosmetika rias mata.

c. Kosmetika pewangi/ parfum yang termasuk dalam golongan ini: deodorant dan antiperspirant, after shave lotion, dan parfum (Wasitaatmadja, 1997).

(9)

3. Asam glikolat

Gambar 2. Asam glikolat (Anonim, 2005)

Asam glikolat atau hydroxyacetic acid memiliki rumus kimia C2H4O3 dan bobot molekul 76,05 g/moL. Asam glikolat berbentuk kristal, padat, tidak berbau, berwarna putih hingga kekuningan, dan bersifat higroskopik. Asam glikolat mudah larut dalam air dingin, larut dalam metanol, dietil eter dan aseton (Anonim, 2011).

Asam glikolat termasuk dalam golongan alpha-hydroxy acid yang larut dalam alkohol dan berasal dari tanaman tebu. Banyak penelitian menunjukkan bahwa asam glikolat memiliki efek keratolitik. Selain itu, asam glikolat menunjukkan efek antiinflamasi and antioksidan. Asam glikolat bekerja dengan cara menipiskan stratum korneum dan mendorong terjadinya pengelupasan pada lapisan epidermis (Kataoka dkk., 2001).

Salah satu karakteristik utama dari asam glikolat adalah fakta bahwa ia mengurangi kemampuan sel epidermis untuk saling berlekatan, ruang antara sel-sel menjadi terbuka, sehingga memungkinkan penetrasi yang lebih baik dari zat lain diaplikasikan pada kulit (Moy dkk., 2002). Asam glikolat dapat membuang sel-sel kulit mati dimana asam glikolat adalah exfoliant alami dengan cara mengelupaskan sel kulit terluar yang kemudian akan diganti oleh sel kulit baru

(10)

dan membuang sel-sel kulit mati didalamnya, serta dapat melembabkan kulit yang baru mengalami pengelupasan (Bourelly, 2005).

Asam glikolat adalah gugus terkecil dari semua asam yang termasuk dalam asam α-hidroksi. Hal ini menyebabkan asam ini lebih stabil, dan dengan ukuran molekul yang kecil memudahkan untuk berpenetrasi ke dalam kulit (Moy dkk., 2002). Molekul asam glikolat yang kecil memudahkannya untuk berpenetrasi melalui jalur interseluler. Asam glikolat dalam bentuk murni merupakan asam yang relatif lebih lemah bila dibandingkan dengan jenis asam-asam yang lain untuk pengaplikasian dalam sedian kosmetik sebagai peeling agent (Moy dkk., 2002). Menurut Fischer (2009), asam glikolat sebagai superfacial peeling yaitu tindakan pengelupasan secara kimiawi pada lapisan epidermis atas terutama lapisan sel tanduk.

Penggunaan asam glikolat pada kulit manusia bergantung pada kekuatan pH. Para dermatolog menyatakan asam glikolat dengan tingkat pH (tingkat keasaman) 3,5 yang mendekati pH kulit lebih diterima bahkan dengan persentasi yang lebih tinggi (Bentley, 2009). Zat peeling menggunakan asam glikolat terbukti aman ketika digunakan memakai teknik yang benar. Zat ini tidak menimbulkan toksisitas secara sistemik. Asam glikolat dapat dikombinasi dengan zat lain untuk mendapatkan formulasi kosmetik yang lebih baik (Sharad, 2013).

(11)

Menurut peraturan BPOM (2006), berdasarkan potensi risiko efek samping penggunaan AHA (asam glikolat) dalam kosmetik dibatasi dengan kadar maksimum 70,00% dan dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Kelompok 1 (satu), AHA dalam kosmetik dengan kadar sampai dengan 10,00% dengan derajat keasaman (pH) 3,5 atau lebih.

b. Kelompok 2 (dua), AHA dalam kosmetik dengan kadar di atas 10,00% sampai dengan 70,00% dengan derajat keasaman (pH) kurang dari 3,5 dan penggunaannya hanya boleh dilakukan oleh dokter spesialis kulit.

4. Zat pengelupas atau peeling agent

Peeling, dalam penggolongan kosmetik menurut kegunaannya bagi kulit termasuk jenis kosmetik perawatan kulit yaitu kosmetik untuk menipiskan atau mengampelas kulit (peeling, misalnya scrub cream) yang berisi butiran butiran halus yang berfungsi sebagai pengampelas (abrasive) (Tranggono & Latifah, 2007). Peeling atau pengelupas yaitu tindakan pengelupasan sebagian kulit ari (epidermis), merupakan tindakan yang sangat efektif untuk mencegah penyumbatan pori-pori kulit, tetapi mempunyai risiko iritasi berupa kemerahan pada kulit. Tahapan pengelupasannya, kulit menjadi bersisik, kemudian warnanya menjadi merah muda, dan akhirnya mengilat. Pengelupasan dapat terjadi melalui berbagai cara sebagai berikut yaitu fisio mekanik, kimiawi, bedah listrik dan bedah laser (Dwikarya, 2006).

Zat pengelupas sebaiknya diinisiasi mulai konsentrasi rendah hingga konsentrasi tinggi jika ingin mendapatkan efikasi yang maksimal dengan efek samping minimal. Zat pengelupas diklasifikasikan dalam tiga tingkatan yaitu

(12)

superficial atau dangkal, medium-depth atau menengah dan depth atau dalam. Pada tingkat superficial atau dangkal, target kulitnya adalah dari lapisan stratum korneum hingga papiler. Mereka termasuk asam glikolat, asam salisilat, larutan jessner, tretinoin, dan TCA dalam konsentrasi 10,00%– 30,00%. Tingkat medium depth menembus ke atas retikular dermis dan termasuk TCA (35,00%- 50,00%) kombinasi asam glikolat 70,00% / TCA 35,00%, larutan jessner / TCA 35,00% dan fenol 88,00%. Zat pengelupas pada tingkat depth atau dalam memanfaatkan formula Baker-Gordon dan menembus hingga midretikular dermis (Tosti dkk., 2006).

5. Gel

a. Definisi

Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu dispers yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel dkk.,1989). b. Klasifikasi gel

Gel menurut Sulaiman & Kuswahyuning (2008), dapat dibedakan menjadi beberapa golongan sebagai berikut:

1) Berdasarkan jumlah fasenya

Gel dibedakan menjadi gel fase tunggal dan gel fase ganda. 2) Berdasarkan karakteristik cairan yang ada di dalam gel

Gel dibedakan menjadi gel hidrofobik dan gel hidrofilik. Basis gel hidrofobik (oleogel) umumnya mengandung paraffin cair dan polietilen atau minyak lemak dengan bahan pembentuk gel koloidal

(13)

silica atau alumunium. Basis gel hidrofilik (hidrogel) umumnya terdiri dari air, gliserol, atau propilen glikol dengan bahan pembentuk gel seperti tragakan, starch dan turunan selulosa.

3) Berdasarkan bahan pembentuk gel

Gel dibedakan menjadi gel anorganik dan gel organik. Gel anorganik biasanya berupa gel fase ganda. Gel organik biasanya berupa gel fase tunggal dan mengandung polimer sintetik maupun alami sebagai bahan pembentuk gel.

c. Gelling agent (bahan pembentuk gel)

Dalam pembuatan gel, pemilihan gelling agent berpengaruh terhadap sifat fisik dan aktivitas gel yang dihasilkan. Agar gel yang dihasilkan memiliki sifat fisik yang baik, terdapat ketentuan yang harus dipenuhi oleh suatu gelling agent. Ketentuannya sebagai berikut (Kaur & Guleri, 2013): 1) Idealnya, gelling agent untuk sediaan farmasi atau kosmetik harus

bersifat inert, aman, dan tidak reaktif dengan komponen lain dalam suatu formula.

2) Gelling agent yang termasuk dalam formula harus menghasilkan suatu sediaan yang memiliki masa yang kompak selama penyimpanan namun dapat dengan mudah berubah konsistensinya ketika diberikan suatu gaya atau tekanan yang berasal dari pengemasnya seperti: tekanan untuk mengeluarkan sediaan dari dalam tube.

(14)

3) Gelling agent harus memiliki kompatibilitas yang sesuai dengan senyawa antimikroba yang ditambahkan untuk mencegah serangan mikroba.

4) Gelling agent untuk penggunaan sediaan topikal harus menghasilkan sediaan gel dengan daya lekat yang baik.

d. Keuntungan sediaan gel menurut Voigt (1984), sebagai berikut: 1) Pelepasan obat yang baik

2) Tidak menyumbat pori-pori kulit 3) Tidak melapisi kulit dengan kedap

4) Dapat menimbulkan efek dingin akibat lambatnya penguapan air sehingga menutupi rasa sakit

5) Memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut 6) Memiliki kemudahan saat dicuci dengan air

7) Memiliki kemampuan menyebar yang baik pada kulit e. Kontrol kualitas

Kontrol kualitas sediaan gel yang harus diuji antara lain meliputi pengamatan organoleptis, pengukuran viskositas, pengukuran terhadap daya sebar, dan daya lekat sediaan (Herdiana, 2007). Pengujian organoleptis dilakukan dengan mengamati perubahan-perubahan konsistensi, warna, bau dan homogenitas sediaan gel selama waktu penyimpanan. Pengamatan juga dilakukan terhadap pH dan viskositas. Sediaan gel dinyatakan stabil bila tidak terdapat perubahan yang signifikan pada pH atau viskositas selama waktu penyimpanan dan pada parameter

(15)

yang diamati (Abdassah dkk., 2009). Kontrol kualitas sediaan gel (Herdiana, 2007) antara lain:

1) Pengamatan organoleptis

Pengamatan ini meliputi perubahan warna, bau/aroma, dan tekstur. 2) Pengukuran viskositas

Pengukuran viskositas bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kekentalan sedian gel yang mempengaruhi daya sebar dan daya lekat gel ketika digunakan pada kulit. Semakin tinggi viskositas, maka akan semakin tinggi tahanannya (Sinko, 2006).

3) Pengamatan daya lekat gel

Pengamatan daya lekat gel ini untuk mengetahui kemampuan sediaan gel dapat bertahan pada permukaan kulit. Tidak terdapat persyaratan khusus mengenai daya lekat sediaan semipadat. Semakin besar kemampuan gel untuk melekat, maka akan semakin baik penghantaran obatnya.

4) Pengamatan daya sebar gel

Pengamatan daya sebar bertujuan untuk melihat kemampuan sediaan gel menyebar pada permukaan kulit sehingga dapat mengetahui penyebaran zat aktif yang dikandung gel di kulit. Hal ini berkaitan dengan viskositas. Penurunan viskositas menyebabkan daya sebar meningkat karena sediaan lebih mudah mengalir.

(16)

5) Pengamatan uji pH gel

Uji pH bertujuan untuk melihat apakah sediaan yang dibuat mempunyai nilai pH yang sesuai dan bisa diterima oleh kulit. Gel yang tidak sesuai dengan pH kulit akan mengakibatkan iritasi pada kulit. Nilai pH normal pada kulit manusia berkisar antara 4,5-6,5 (Draclos & Lauren, 2006). Pengamatan pH dilakukan segera setelah sediaan selesai dibuat.

f. Stabilitas fisik gel

Tujuan dari uji stabilitas adalah untuk menyediakan suatu bukti bahwa produk akan tetap bersifat acceptable selama produk berada di pasaran hingga sampai ke tangan konsumen (Bajaj dkk., 2012). Uji stabilitas fisik dilakukan untuk mengetahui terjadinya perubahan fisik dan untuk menjamin formula gel memiliki sifat yang sama setelah sediaan dibuat dan masih memenuhi kriteria selama penyimpanan pada yang disimpan serta selama masa penyimpanan yang diperlukan (Kuncari dkk., 2014).

Termasuk dalam kategori uji stabilitas pada sediaan topikal yaitu salep, krim, lotion, pasta dan gel. Sediaan topikal harus dievaluasi dari segi penampilan, warna, homogenitas, bau, pH, konsistensi, viskositas, daya sebar, daya lekat, distribusi ukuran partikel, dan batas mikroba. Uji stabilitas menurut FDA (2013), umumnya harus dilakukan di bawah kondisi penyimpanan yang ditunjukkan pada tabel I.

(17)

Tabel I. Kondisi penyimpanan pada uji stabilitas

Study storage Kondisi Penyimpanan

Long term (untuk produk dalam pengemas primer semi-permeable to water)

30oC ± 2oC/75% RH ± 5% RH Long term (untuk produk dalam

pengemas primer impermeable to water) 30oC ± 2oC /RH (tidak dipersyaratkan) Accelerated 40oC ± 2oC/75% RH ± 5% RH Stress testing 40 o C ± 2oC/75% RH ± 5% RH atau pada kondisi yang lebih kritis

Parameter kestabilan gel (Mangngisengi, 2013) sebagai berikut: 1) Organoleptis

Pengamatan gel dilakukan dengan mengamati penampakan visual, warna dan bau. Pengaruh suhu terhadap gel dapat menyebabkan terjadinya perubahan visual, warna dan bau.

2) Homogenitas

Gel yang stabil harus dapat mempertahankan homogenitasnya selama masa penyimpanan. Gel harus dapat memperlihatkan susunan yang homogen atau tidak adanya pemisahan fase, baik terpisahnya fase cairan sebagai sinersis atau berpisahnya padatan sebagai partikel yang bersedimentasi.

3) Pengukuran pH

Pengukuran pH sediaan gel merupakan pemeriksaan yang penting. Banyaknya reaksi yang bergantung pada nilai pH, antara lain keefektifan pengawet, degradasi dari bahan, kelarutan dan stabilitas.

(18)

4) Daya sebar

Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui penghantaran obat yang bergantung pada daya sebar. Faktor yang mempengaruhi daya sebar seperti kecepatan pengantaran yang bergantung pada viskositas sediaan, kecepatan penguapan pelarut, dan kecepatan peningkatan viskositas karena penguapan.

5) Viskositas

Gel menunjukkan perubahan viskositas yang berbeda pada temperatur yang berbeda-beda, karena viskositas gel sangat dipengaruhi oleh suhu. Gel merupakan hasil interaksi dari partikel-partikel dengan cairan pelarut. Saat tekanan meningkat, struktur yang dihasilkan dari interaksi tersebut rusak dan terbentuk struktur yang baru kembali. Adanya tekanan yang cukup, ikatan akan dipecahkan dan struktur berubah dan terjadilah aliran viskositas. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi perlu dilakukan pengukuran viskositas.

6) Pengamatan daya lekat gel

Pengamatan daya lekat gel ini untuk mengetahui kemampuan sediaan gel dapat bertahan pada permukaan kulit. Perubahan viskositas yang berbeda pada temperatur yang berbeda berpengaruh pada daya lekat sediaan.

(19)

6. Monografi bahan a. HPMC

HPMC atau hydroxypropyl methylcellulose sering disebut hypromellose tidak berbau, tidak berasa, berwarna putih atau krem putih berserat atau butiran bubuk, larut dalam air dingin, membentuk cairan yang kental, praktis tidak larut dalam kloroform, etanol (95,00%) dan eter. HPMC bila dibandingkan dengan metilselulosa, hypromellose menghasilkan larutan yang lebih jernih, dengan lebih sedikit serat yang tidak larut sehingga lebih disukai dalam formulasi untuk penggunaan tetes mata. Hypromellose digunakan sebagai emulsifier, pensuspensi, dan agen penstabil gel topikal dan salep. HPMC sebagai pelindung koloid, dapat mencegah tetesan dan partikel dari penggabungan atau aglomerasi, sehingga menghambat pembentukan sedimen (Rowe dkk., 2009).

HPMC pada sediaan gel berguna sebagai gelling agent dan untuk mencegah etanol terpisah dari gel ketika terjadi peningkatan water ability. HPMC stabil pada pH 3 hingga 11 dan memiliki resistensi yang baik terhadap serangan mikroba serta memberikan kekuatan film yang baik bila mengering pada kulit (Rowe dkk., 2009). HPMC dapat digunakan sebagai gelling agent pada rentang 2,00% - 6,00% (Septian, 2012).

b. Propilen glikol

Propilen glikol mengandung tidak kurang dari 99,50% C3H8O2. Bahan ini berbentuk cairan kental, jernih, tidak berwarna, rasa khas, praktis tidak berbau, menyerap air pada udara lembab. Propilen glikol dapat bercampur dengan air,

(20)

dengan aseton, dengan kloroform, larut dalam eter dan dalam beberapa minyak esensial, tetapi tidak dapat bercampur dengan minyak lemak (Anonim,1995).

Propilen glikol sering digunakan dalam industri kosmetik dan makanan sebagai zat pembawa untuk emulsifier. Propilen glikol juga telah banyak digunakan sebagai pelarut, ekstraktan, serta pengawet dalam berbagai sediaan parenteral dan nonparenteral. Propilen glikol memiliki sifat inkompatibilitas dengan bahan yang mengoksidasi, contohnya kalium permanganat. Propilen glikol bersifat higroskopis, stabil pada suhu dingin dan wadah tertutup rapat. Pada suhu tinggi dan di tempat terbuka propilen glikol cenderung mengoksidasi, menimbulkan produk seperti propionaldehida, asam laktat, asam piruvat dan asam asetat. Propilen glikol secara umum merupakan pelarut yang lebih baik dari gliserin dan dapat melarutkan bahan, seperti kortikosteroid, fenol, obat-obatan sulfa, barbiturat, vitamin A dan D, alkaloid, dan banyak anestesi lokal (Rowe dkk., 2009). Penggunaan propilen glikol dalam sediaan farmasi dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Penggunaan propilen glikol dalam sediaan farmasi

Penggunaan Bentuk sediaan Konsentrasi %

Humektan Topikal ~15,00 Pengawet Larutan, Semisolid 15,00 - 30,00 Pelarut Aerosol Larutan oral Parenteral Topikal 10,00 - 30,00 10,00 - 25,00 10,00 - 60,00 5,00 - 80,00

(21)

c. Trietanolamin

Trietanolamin memiliki bobot molekul 149,19 g/moL dengan rumus molekul C6H15NO3 dan mengandung tidak kurang dari 99,00% dan tidak lebih dari 107,40% dihitung terhadap zat anhidrat sebagai trietanolamin, N (C2H4OH)3. Trietanolamin merupakan campuran dari trietanolamina, dietanolamina, dan monoetilamina. Bahan ini berupa cairan kental jernih, berwarna kuning hingga kuning pucat, larut dalam etanol, air dan kloroform dan sedikit berbau ammonia (Anonim, 1995). Bahan ini digunakan secara luas pada sediaan topikal, terutama pada pembentukan sediaan emulsi. Trietanolamin memiliki fungsi sebagai emulsifying agent dan alkalizing agent (Rowe dkk., 2009).

d. Metil paraben

Metil paraben mengandung tidak kurang dari 99,00% dan tidak lebih dari 100,50% C8H8O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian metil paraben berupa hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur, putih; tidak berbau atau berbau khas lemah; mempunyai sedikit rasa terbakar. Selain itu, metil paraben sukar larut dalam air, benzen dan karbon tetraklorida, namun mudah larut dalam etanol dan dalam eter (Anonim, 1995).

Metil paraben efektif dalam rentang pH yang luas, memiliki aktivitas sebagai antimikroba spektrum luas. Metil paraben (0,18%) bersama dengan propil paraben (0,02%) sudah digunakan sebagai bahan preservatif dalam sediaan farmasetis (Rowe dkk., 2009).

(22)

e. Akuades

Akuades atau air murni adalah air yang diperoleh dengan cara destilasi, perlakuan menggunakan penukar ion, osmosis balik (reverse osmosis), atau proses lain yang sesuai. Akuades dibuat dari air yang memenuhi persyaratan air minum dan tidak mengandung zat tambahan lain. Air murni berupa cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa dengan kisaran pH antara 5,0-7,0 disimpan dalam wadah tertutup rapat. Akuades berfungsi sebagai pelarut (Anonim, 1995).

7. Stabilitas obat

Tujuan dari pengujian stabilitas obat adalah untuk memberikan bukti tentang mutu suatu obat atau produk obat yang berubah seiring waktu di bawah pengaruh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan dan cahaya, serta untuk menetapkan suatu periode uji ulang untuk bahan obat tersebut atau masa edar untuk produk obat dan kondisi penyimpanan yang direkomendasikan (Watson, 2009).

Stabilitas kimia yaitu mempertahankan keutuhan kimiawi dan potensi zat aktif yang tertera pada etiket dalam batasan spesifikasi. Stabilitas fisika bertujuan untuk mempertahankan sifat fisika awal suatu sediaan meliputi penampilan, kesesuaian, keseragaman, disolusi, disintegrasi, kekerasan, dan kemampuan disuspensikan. Stabilitas mikrobiologi tergambar dari sterilitas atau resistensi terhadap pertumbuhan mikroba dipertahankan sesuai persyaratan yang dinyatakan (Anonim, 2005).

(23)

Ketidakstabilan formulasi obat dapat dideteksi dalam beberapa hal dengan suatu perubahan dalam penampilan fisik, warna, bau, rasa dan tekstur dari formulasi tersebut sedangkan untuk perubahan kimia yang terjadi tidak dapat dibuktikan sendiri dan hanya dapat dipastikan melalui analisis kimia (Ansel dkk.,1989). Stabilitas obat maupun kombinasinya dengan komponen yang lain harus dinilai terlebih dahulu untuk menjamin kualitasnya sampai waktu kadaluarsanya.

Beberapa indikator kualitatif dapat digunakan sebagai indikasi ketidakstabilan seperti terjadi perubahan warna atau intensitas warna, dan perubahan bau. Perubahan fase yang besar kadang dapat terdeteksi secara visual. Perubahan reologi suatu sediaan semipadat juga dapat digunakan sebagai indikasi terjadinya perubahan fisika dan kimia. Pengujian secara fisika meliputi pengujian subjektif yaitu visual, konsistensi, tekstur, distribusi fase, warna, bau, rasa; pengujian kuantitatif yaitu densitas, viskositas, penguapan air dan ukuran partikel (Sulaiman & Kuswahyuning, 2008).

8. SLD atau Simplex Lattice Design

Optimasi merupakan tahapan yang penting dalam studi formulasi suatu sediaan. Optimasi mempermudah para peneliti untuk mendapatkan formula dengan kombinasi yang optimum (Bolton & Bon, 2004).

Ada banyak metode yang dapat digunakan untuk melakukan optimasi suatu formula. Salah satunya dengan menggunakan metode Simplex Lattice Design. SLD termasuk dalam mixture design yang paling sederhana dan sering digunakan. Metode ini digunakan untuk mengetahui proporsi yang tepat dari sebuah formula,

(24)

tidak bergantung pada jumlah melainkan jumlah komponennya (Frank & Todeschini, 1994).

Penerapan dari metode ini dimulai dengan menyiapkan berbagai formulasi berisi berbagai kombinasi dari bahan yang digunakan. Berbagai kombinasi ini nantinya akan digunakan sebagai data eksperimental untuk memprediksi profil respon. Metode ini biasa diplikasikan dalam suatu formula berisi tiga atau lebih campuran yang perlu diinvestigasi (Bolton & Bon, 2004)

Hubungan fungsional antara respon sebagai variabel tergantung dengan komposisi bahan sebagai variabel tergantung dengan komposisi bahan sebagai variabel bebas dinyatakan persamaan (1) sebagai berikut:

Y= A1B1+A2B2+A1.2B1.2………. (1)

Keterangan:

Y : Respon

A1 dan A2 : Koefisien regresi dari B1 dan B2 B1 dan B2 : Fraksi dari setiap komponen

B1.2 :Interaksi fraksi dari setiap komponen (B1 dan B2) A1.2 : Koefisien regresi dari B1.2

Koefisien diketahui dari perhitungan regresi dan Y adalah respon yang diinginkan. Bila nilai B1 ditentukan, maka nilai B2 dapat dihitung.

(25)

Penentuan formula optimum didapatkan dari respon total yang paling besar. Respon total dihitung dengan rumus dalam persamaan (2):

R total = R1+R2+R3 ………. (2)

R1, R2, R3 merupakan respon dari masing masing sifat fisik sediaan. Dari persamaan respon total tersebut akan diperoleh formula yang optimum. Verifikasi dilakukan pada formula yang memiliki respon paling optimum (Armstrong dan James, 1986).

F. Landasan Teori

Asam glikolat sebagai peeling agent diklasifikasikan ke dalam tingkatan superficial atau dangkal dimana target kulitnya berada pada lapisan stratum korneum dengan konsentrasi 10,00%-30,00% (Grover & Reddu, 2003). Asam glikolat sebagai peeling agent dibentuk dalam sediaan gel karena gel memberikan efek dingin (Boateng dkk., 2008), penguapan air yang lambat (Ekarini, 2002) dan mudah dicuci ketika diaplikasikan pada permukaan kulit (Yanhendri & Yenny, 2012).

Penggunaan HPMC sebagai gelling agent dapat menghasilkan gel yang netral, jernih, tidak berwarna, memiliki viskositas yang stabil pada penyimpanan jangka panjang (Rowe dkk., 2009), stabil pada pH 3 hingga 11, dan memberikan kekuatan film yang baik bila mengering pada kulit serta memiliki resistensi yang baik terhadap serangan mikroba (Maryawati, 2008). Konsentrasi basis gel yang semakin tinggi menyebabkan viskositas dan daya lekat gel semakin tinggi (Garg

(26)

dkk., 2002), namun daya sebar gel menurun akibat tahanan cairan untuk mengalir berkurang (Swastika dkk., 2013). HPMC dapat digunakan sebagai gelling agent pada rentang 2,00% – 6,00% (Septian, 2012).

Karakteristik gel dipengaruhi oleh proporsi dan konsentrasi bahan. Gelling agent dan humektan merupakan bahan yang dapat mempengaruhi sifat fisik gel (Dwiastuti, 2010). Propilen glikol yang berfungsi sebagai humektan dapat mempertahankan kandungan air dalam sediaan sehingga sifat fisik dan stabilitas sediaan selama penyimpanan dapat dipertahankan (Weller, 2009). Selain itu, propilen glikol dapat menahan lembab, memungkinkan kelembutan dan daya sebar yang tinggi dari sediaan, dan melindungi gel dari kemungkinan pengeringan (Voigt, 1984). Propilen glikol berfungsi sebagai humektan pada kadar 15,00% (Rowe dkk., 2009).

Semakin tinggi kadar HPMC, daya lekat dan viskositas meningkat sedangkan semakin tinggi propilen glikol, daya sebar akan semakin meningkat. Kombinasi optimum HPMC dan propilen glikol menghasilkan gel dengan stabilitas fisik yang baik selama 1 bulan penyimpanan pada data pH, daya lekat dan daya sebar (Arumsari, 2015). Menurut penelitian Ulfa (2015), HPMC dan propilen glikol menghasilkan kombinasi optimum dengan sifat fisik berupa viskositas, daya sebar, dan daya lekat yang baik.

Optimasi formula gel menggunakan Simplex Lattice Design diperlukan untuk mendapatkan formula dengan kombinasi optimum dari berbagai variasi kadar HPMC dan propilen glikol sehingga menghasilkan sifat dan stabilitas fisik yang baik sesuai harapan (Bolton & Bon, 2004).

(27)

G. Hipotesis

1. Kombinasi HPMC dan propilen glikol mempengaruhi sifat fisik gel asam glikolat yaitu semakin tinggi konsentrasi HPMC, daya lekat dan viskositas meningkat, semakin tinggi konsentrasi propilen glikol, daya sebar akan semakin meningkat.

2. Kombinasi HPMC pada rentang konsentrasi 2,00% - 6,00% dan propilen glikol pada rentang konsentrasi 13,00% - 17,00% menghasilkan formula gel asam glikolat dengan sifat fisik optimum menggunakan metode Simplex Lattice Design melalui proses optimasi.

3. Formula optimum gel asam glikolat dengan kombinasi HPMC dan propilen glikol memberikan kestabilan fisik yang baik selama 4 minggu penyimpanan.

(28)

Gambar

Gambar 1. Penampang kulit (Grraff dkk., 2001)
Tabel I. Kondisi penyimpanan pada uji stabilitas
Tabel II. Penggunaan propilen glikol dalam sediaan farmasi

Referensi

Dokumen terkait

3) Menggunakan varietas-varietas unggul yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit. 4) Menggunakan pengendalian fisik/mekanik yaitu dengan tenaga manusia. 5)

Berdasarkan data tersebut, semua responden yang menyatakan bahwa pengembangan karir pegawai harus didasarkan pada kompetensi, yaitu sebanyak 158 orang (100%) berpendapat bahwa perlu

Dengan melakukan semua hal tersebut maka para Agen Asuransi akan dapat mencapai hasil yang telah ditetapkan oleh PT Sun Life Financial Indonesia yaitu meningkatkan pendapatan

Kondisi kelapa sawit yang ditanam pada lahan akan memberikan perubahan pada tanah itu sendiri mulai dari bertambahnya ruang pori, terjadi perubahan tekstuPenyebaran perkebunan

Pernikahan akan terjadi bila masing-masing pasangan merasa sudah saling cocok, melengkapi, menghormati, dapat menerima. Meskipun demikian pernikahan tidak semulus seperti yang

Pada dasarnya bahan baku papan partikel berasal dari sisa pengolahan kayu di industri penggegrajian sehingga tidak memerlukan persyaratan bahan baku yang tinggi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim dalam putusan MA Nomor 2571 K/Pdt/2013 jika ditinjau dari segi peraturan

mengurangi beban orang tua dalam memberikan pendidikan terhadap anak mereka dan meningkatkan generasi muda yang lebih baik dan berakhlak mulia. Cita-cita mendirikan