• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

40

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berdasarkan pengolahan data yang telah dikumpulkan akan menjawab permasalahan dan tujuan pertama dan kedua kajian. Pengolahan data dilakukan melalui dua tahap, yaitu pengolahan koefisien disparitas memakai Indeks Theil dengan formula sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Bab III dan pengolahan data model estimasi dengan menggunakan software Eviews 5. 5.1 Disparitas Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Jawa Barat

Pengukuran disparitas dengan Indeks Theil didekomposisi menjadi inter/antar (between inequality) dan intra/dalam (within inequality), agar tergambarkan tingkat ketidakmerataan dan pola pembagian pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat. Untuk itu sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, kabupaten/kota di Jawa Barat dilakukan pengelompokan, sehingga akan diketahui bagaimana disparitas pendapatan yang terjadi, apakah terjadi antar kelompok atau di dalam kelompok. Semakin kecil nilai Indeks Theil maka kesenjangan semakin rendah dan semakin merata distribusi pendapatan antar kabupaten/kota, dengan nilai nol menunjukan tidak terjadi disparitas. 5.1.1 Kelompok Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Provinsi Jawa Barat

Berdasarkan kelompok Bakorwil Provinsi Jawa Barat dibagi dalam 4 kelompok yaitu: Bakorwil Purwakarta (Pwt), Bakorwil Bogor (Bgr), Bakorwil Priangan (Png), dan Bakorwil Cirebon (Crb). Indeks Theil didekomposisi untuk mendapatkan nilai koefisien antar Bakorwil dan koefisien dalam Bakorwil yang kemudian ditransformasikan dalam persentase. Tabel 6 berikut menyajikan Koefisien Theil Kelompok Bakorwil Provinsi Jawa Barat Tahun 1995-2006. Terlihat bahwa persentase Koefisien Theil antar kelompok Bakorwil terhadap total disparitas di Jawa Barat dari Tahun 1995 hingga 2006 adalah tinggi yaitu berkisar antara 96,2% hingga 97,6% dengan rata-rata 97,1% dari total indeks Theil. Sedangkan sisanya sebesar 2,9% merupakan agregat disparitas dalam 4 kelompok Bakorwil. Hal ini menunjukan bahwa disparitas yang besar justru terjadi antar kelompok Bakorwil, bukan di dalam kelompok Bakorwil. Dari tahun ke tahun indeks kesenjangan antar Bakorwil menunjukan range antara 0,262-0,336. Maknanya adalah bahwa terjadi peningkatan PDRB per kapita tiap tahunnya di masing-masing kabupaten/kota yang bila dikelompokan berdasarkan

(2)

41 kelompok Bakorwil perbedaan pencapaian PDRB per kapita tersebut relatif besar antar Bakorwil.

Tabel 6 Koefisien Theil Kelompok Bakorwil di Jawa Barat Tahun 1995-2006

Tahun Antar Bakorwil Dalam Bakorwil Total

Indeks % Pwk % Bgr % Pgn % Crb % Indeks % 1995 0,262 96,2 0,0004 0,14 0,007 2,41 0,0002 0,08 0,003 1,16 0,272 100 1996 0,280 97,6 0,0004 0,13 0,003 0,94 0,0003 0,12 0,003 1,17 0,287 100 1997 0,280 97,6 0,0003 0,12 0,003 0,92 0,0003 0,10 0,004 1,23 0,287 100 1998 0,280 97,4 0,0001 0,04 0,002 0,78 0,0001 0,04 0,005 1,71 0,288 100 1999 0,282 97,3 0,001 0,33 0,002 0,83 0,0002 0,08 0,005 1,64 0,290 100 2000 0,294 97,6 0,001 0,29 0,001 0,47 0,00002 0,01 0,005 1,62 0,301 100 2001 0,292 97,6 0,001 0,25 0,001 0,50 0,0001 0,04 0,005 1,60 0,299 100 2002 0,321 96,8 0,001 0,21 0,001 0,45 0,004 1,12 0,005 1,44 0,332 100 2003 0,336 96,6 0,001 0,19 0,002 0,45 0,005 1,41 0,005 1,38 0,348 100 2004 0,334 96,5 0,001 0,18 0,001 0,40 0,005 1,50 0,005 1,41 0,346 100 2005 0,332 96,7 0,001 0,16 0,001 0,38 0,005 1,49 0,004 1,23 0,344 100 2006 0,336 96,8 0,001 0,15 0,001 0,38 0,005 1,46 0,004 1,18 0,347 100 Rata-Rata 0,302 97,1 0,001 0,18 0,002 0,74 0,002 0,62 0,004 1,40 0,312 100

Analisis masing-masing kelompok menunjukan bahwa kelompok Bakorwil Cirebon mempunyai rata-rata Indeks Dalam Wilayah tertinggi dibanding tiga kelompok Bakorwil lainnya yaitu sebesar 1,4% dari total indeks Theil. Berikutnya adalah kelompok Bakorwil Bogor yang memberikan kontribusi rata-rata Indeks Dalam Wilayah sebesar 0,74% dari total indeks Theil, kelompok Bakorwil Priangan dengan rata-rata Indeks sebesar 0,62% total Indeks Theil, dan kontribusi Indeks Dalam Wilayah yang terkecil adalah kelompok Bakorwil Purwakarta, yaitu sebesar 0,18% dari total indeks Theil. Kontribusi indeks tersebut mengartikan bahwa bila di bandingkan dengan kelompok Bakorwil Provinsi Jawa Barat maka kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di dalam kelompok Bakorwil Cirebon adalah paling tinggi dan yang terendah adalah kelompok Bakorwil Purwakarta.

Faktor yang membuat kelompok Bakorwil Purwakarta mempunyai tingkat kesenjangan yang rendah adalah karena diuntungkan secara lokasi sebagai penopang Ibukota Jakarta yaitu Kabupaten Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, dan Kota Bekasi. Kebijakan sektor ekonomi pada kelompok ini meliputi hampir semua bidang usaha, antara lain: industri, pariwisata, pertanian, bangunan dan konstruksi, perdagangan, angkutan dan jasa-jasa lainnya. Jalur

(3)

42 transportasi utama menuju Jakarta melalui kabupaten/kota pada kelompok ini. Kegiatan ekonomi di wilayah ini cukup bervariasi sehingga peluang dan kesempatan kerja juga terbuka lebar. Pada kelompok ini terjadi pemusatan kegiatan ekonomi yang tidak hanya terdapat di suatu kabupaten atau kota saja tapi hampir semua kabupaten/kota dengan adanya aglomerasi industri. Sehingga pendapatan masing-masing kabupaten/kota di kelompok ini cukup tinggi dan relatif merata diantara kabupaten/kota sehingga tercipta kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota yang minim.

Kekuatan ekonomi pada kelompok Bakorwil Cirebon terletak di Kota Cirebon dan Kabupaten Indramayu, termasuk juga Kabupaten Cirebon namun dengan jumlah penduduk yang cukup besar maka dalam pendekatan per kapita kabupaten ini tidak menonjol. Mengingat dalam kajian ini tidak memasukan sektor minyak dan gas maka Kabupaten Indramayu juga tidak tampak sebagai Kabupaten yang menonjol. Pada Kelompok ini, kabupaten/kota yang mempunyai kesempatan mengembangkan kegiatan ekonomi adalah di Kabupaten/Kota Cirebon dan Kabupaten Indramayu, karena secara lokasi kabupaten/kota ini merupakan perlintasan Jalur Pantura pulau Jawa sehingga pemusatan kegiatan ekonomi terjadi disini, dibandingkan dengan Kabupaten Majalengka dan Kuningan. Terjadilah perolehan pendapatan yang relatif tidak merata diantara kabupaten/kota pada Bakorwil Cirebon. Hal ini menyebabkan tingginya kesenjangan di dalam kelompok ini dibandingkan dengan kelompok Bakorwil lainnya.

Hal serupa juga terjadi pada kelompok Bakorwil Bogor dan Priangan. Pada Bakorwil Bogor, kekuatan ekonomi dalam arti terjadinya pemusatan kegiatan ekonomi hanya pada Kabupaten dan Kota Bogor, serta Depok. Kegiatan ekonomi Kelompok Bakorwil Priangan tampak dominan di Kabupaten dan Kota Bandung serta Cimahi. Sementara Kabupaten/Kota yang lokasinya berada di selatan Provinsi Jawa Barat seperti: Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar belum dapat menarik dan mengembangkan potensi daerahnya yang secara lokasi memang relatif jauh dari DKI Jakarta dan jalur utama ekonomi pulau Jawa. Kebijakan pengembangan ekonomi pada daerah ini perlu diperluas dengan dukungan pembukaan akses ke daerah tersebut yang terhubung dengan kabupaten/kota pusat kegiatan perekonomian. Kesenjangan

(4)

43 pendapatan antar kabupaten/kota pada kabupaten/kota Bakorwil ini terjadi akibat distribusi pendapatan antar kabupaten/kota yang kurang merata.

Pada teori sebelumnya, disebutkan bahwa kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota lambat-laun akan memudar seiring dengan makin meningkatnya perekonomian terkait dengan proses konvergensi suatu daerah. Gambar 7 memperlihatkan tren kondisi kesenjangan pendapatan dalam kelompok antar kabupaten/kota yang terjadi di Jawa Barat berdasarkan kelompok Bakorwil.

Gambar 7 Tren Indeks Kesenjangan dalam Kelompok Berdasarkan Kelompok Bakorwil Provinsi Jawa Barat Tahun 1995–2006. Gambar menunjukan kecenderungan pola yang semakin menurun pada 3 kelompok Bakorwil, namun penurunan sempat terhenti ketika terjadi guncangan krisis ekonomi pada periode 1997-1999. Tren sebaliknya terjadi pada Kelompok Bakorwil Priangan. Hal ini menunjukan bahwa belum terjadinya proses konvergensi pada Kabupaten Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis; Kota Tasikmalaya, dan Banjar. Dengan pengertian lain adalah bahwa kabupaten/kota tersebut belum mengarah untuk mengejar ketertinggalannya dengan kabupaten/kota lain yang lebih maju, misalnya kabupaten/Kota Bandung atau Kota Cirebon.

Tingginya kondisi kesenjangan antar kelompok Bakorwil dipengaruhi oleh adanya proses industrialisasi yang mendorong pemusatan kegiatan ekonomi yang dipengaruhi oleh ketersediaan modal dan tenaga kerja yang tidak merata, faktor lain adalah adanya aglomerasi di dalam satu kelompok wilayah yang tidak

(5)

44 sama dengan kelompok wilayah lainnya. Bila aglomerasi dapat tumbuh di masing-masing kabupaten/kota dan kelompok maka akan banyak kabupaten/kota yang dapat berperan sebagai pusat pertumbuhan dan menarik kabupaten/kota di sekitarnya (daerah penyangga) menuju pertumbuhan yang lebih tinggi, sehingga mengurangi masalah kesenjangan pendapatan yang tajam antar kabupaten/kota dan antar kelompok.

5.1.2 Kelompok Daerah Kaya dan Miskin Provinsi Jawa Barat

Untuk mempertajam penelitian atas bagaimana disparitas pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat, selain dikelompokan berdasarkan lokasi wilayah, juga dilakukan penelitian berdasarkan kelompok Daerah Kaya dan Miskin. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut:

Tabel 7 Koefisien Theil Kelompok Daerah Kaya-Miskin di Jawa Barat Tahun 1995-2006

Tahun Antar Kaya-Miskin Dalam Kaya-Miskin Total Indeks % Kaya % Miskin % Indeks %

1995 0,261 97,84 0,002 0,84 0,004 1,32 0,266 100 1996 0,279 98,88 0,002 0,71 0,001 0,41 0,282 100 1997 0,279 98,87 0,002 0,74 0,001 0,39 0,282 100 1998 0,280 98,49 0,003 1,20 0,001 0,31 0,284 100 1999 0,281 98,49 0,003 1,19 0,001 0,31 0,285 100 2000 0,300 98,85 0,003 0,90 0,001 0,26 0,304 100 2001 0,300 98,86 0,003 0,88 0,001 0,26 0,303 100 2002 0,337 99,01 0,003 0,77 0,001 0,22 0,340 100 2003 0,354 98,98 0,003 0,73 0,001 0,30 0,358 100 2004 0,354 98,98 0,002 0,69 0,001 0,33 0,358 100 2005 0,353 99,08 0,002 0,59 0,001 0,33 0,357 100 2006 0,356 99,24 0,002 0,43 0,001 0,33 0,359 100 Rata-Rata 0,311 98,80 0,002 0,81 0,001 0,40 0,315 100

Persentase koefisien antara kelompok daerah kaya-miskin terhadap total disparitas Jawa Barat dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2006 adalah relatif tinggi, yaitu berkisar antara 97,84% sampai dengan 99,24% dengan rata-rata 98,80% dari total indeks Theil. Sedangkan sisanya sebesar 1,21% merupakan agregat dalam kelompok daerah kaya dan miskin. Hal ini menunjukan persamaan dengan hasil analisis sebelumnya pada pembagian kelompok berdasarkan Bakorwil dimana disparitas yang tinggi justru terjadi antar kelompok. Ini menunjukan bahwa kesenjangan lebih dominan pada perbedaan tingkat

(6)

45 ekonomi antar kelompok kabupaten/kota, sedangkan kesenjangan yang terjadi di dalam kelompok lebih rendah. Kabupaten/kota yang kaya mempunyai rata-rata koefisien within lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kabupaten/kota miskin yaitu sebesar 0,81% dari total indeks dibandingkan dengan 0,40% dari total indeks. Tren pergerakan kesenjangan dalam kelompok kaya dan miskin dapat dilihat dalam gambar berikut.

Gambar 8 Tren Indeks Kesenjangan dalam Kelompok Berdasarkan

Kelompok Daerah Kaya & Miskin Jawa Barat Tahun 1995–2006. Gambar 8 memperlihatkan kontribusi masing-masing koefisien Dalam Kelompok dari pengelompokan Jawa Barat menjadi kelompok kabupaten/kota kaya dan kelompok kabupaten/kota miskin. Kesenjangan di dalam kelompok kabupaten/kota kaya meningkat pada masa krisis ekonomi dan cenderung turun pada tahun-tahun berikutnya. Pada kelompok kabupaten/kota miskin, awalnya kesenjangan pendapatan tinggi kemudian menurun. Walaupun terjadi fluktuasi, namun cenderung stabil pada tahun-tahun berikutnya.

Tingginya kesenjangan antar kabupaten/kota kaya dengan kabupaten/kota adalah karena peluang ekonomi dan fasilitas infrastruktur yang terdapat di suatu kabupaten/kota kaya telah menarik lebih banyak aktivitas ekonomi. Sehingga, menjadikan kabupaten/kota tersebut lebih berkembang dan mempunyai pendapatan yang tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota yang tergolong memiliki fasilitas infrastruktur dan regulasi yang kurang mendukung. Selain perekonomian yang maju, faktor jumlah penduduk yang terbatas membuat kabupaten/kota menjadi menonjol.

(7)

46 Dari hasil analisis di atas, maka perbedaan pencapaian pembangunan ekonomi tiap-tiap kabupaten/kota di Jawa Barat dapat dikelompokan menjadi empat kuadran berdasarkan PDRB perkapita dan pertumbuhan ekonominya selama 1995-2006. Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata PDRB perkapita sebagai sumbu horizontal, dapat dilakukan pengelompokan yang menurut Kuncoro (2004) adalah sebagai berikut:

(i) Kuadran (I) : PDRB per kapita rendah, tetapi pertumbuhan ekonomi tinggi, disebut kabupaten/kota yang berkembang cepat.

(ii) Kuadran (II) : PDRB per kapita tinggi, dan pertumbuhan ekonomi tinggi, disebut kabupaten/kota yang cepat maju dan cepat tumbuh. (iii) Kuadran (III) : PDRB per kapita tinggi, tetapi pertumbuhan ekonomi rendah,

disebut kabupaten/kota yang maju tapi tertekan.

(iv) Kuadran (IV) : PDRB per kapita rendah, dan pertumbuhan ekonomi rendah, disebut kabupaten/kota yang relatif tertinggal.

Pengelompokan tersebut akan memperlihatkan pola perkembangan perekonomian kabupaten/kota di Jawa Barat. Untuk melihat pergeseran pola perekonomian kabupaten/kota, berikut ini ditampilkan gambar perbandingan pola perekonomian pada awal penelitian yaitu tahun 1997 dan perkembangannya pada tahun 2006.

Gambar 9 Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar berdasarkan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1997.

K

Kaabb//KKoottaa B

(8)

47

Gambar 10 Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar berdasarkan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2006. Dari gambar di atas menunjukan selama proses pembangunan ekonomi terdapat beberapa kabupaten/kota yang mengalami kemajuan, walupun ada yang tetap pada kondisi sebelumnya bahkan adapula yang bergeser menjadi kabupaten/kota yang tertinggal di banding kabupaten/kota lainnya. Secara singkat kabupaten/kota yang mengalami pergeseran ditampilkan dalam tabel berikut.

Tabel 8 Pergeseran Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar (perbandingan Tahun 1997 dengan 2006)

No Kabupaten/Kota 1997 2006

1 Kab Cianjur tertekan tertinggal

2 Kab Bandung maju berkembang

3 Kab Cirebon tertinggal berkembang

4 Kab Majalengka berkembang tertinggal

5 Kab Indramayu tertinggal berkembang

6 Kab Purwakarta tertinggal tertekan

7 Kab Karawang berkembang maju

8 Kota Sukabumi tertekan berkembang

Fakta tersebut menunjukan pencapaian perekonomian antar kabupaten/kota sebagai hasil proses pembangunan terjadi perbedaan. Perbedaan tersebut dilihat dari sudut pandang pencapaian PDRB memperlihatkan adanya kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten/kota, adanya pemekaran wilayah, dan perbedaan kemampuan tiap kabupaten/kota

K Kaabb//KKoottaa B Beerrkkeemmbbaanngg K Kaabb//KKoottaaMMaajjuuddaannTTuummbbuuhh K Kaabb//KKoottaaMMaajjuuttaappiitteerrtteekkaann K Kaabb//KKoottaa r reellaattiifftteerrttiinnggggaall

(9)

48 dalam memaksimalkan sumber daya yang dimiliki sehingga mempengaruhi kontribusi PDRB. Kebijakan pembangunan pemerintah daerah pun turut mempengaruhi kearah mana fokus perekonomian akan dicapai, apakah mengutamakan pertumbuhan melalui peningkatan pendapatan secara terus-menerus atau pemerataan perekonomian bagi masyarakatnya. Salah satu tolok ukurnya dapat dilihat dari alokasi jenis pengeluaran pembangunan pemerintah daerah.

Secara umum di Provinsi Jawa Barat telah terjadi pemusatan-pemusatan aktivitas ekonomi di beberapa kabupaten/kota sebagaimana hasil analisis indeks theil sebelumnya. Dalam rangka proses konvergensi suatu kabupaten/kota, maka perlu diketahui kabupaten/kota terdekat mana yang mempunyai pendapatan dan pertumbuhan yang tinggi dan relatif stabil dari tahun ke tahun. Untuk itu berdasarkan rata-rata PDRB perkapita dan rata-rata pertumbuhan ekonomi selama 2003-2006 pemetaan kabupaten/kota dapat dikelompokan dalam gambar berikut ini.

Gambar 11 Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar Tahun 2003-2006. Dari gambar 11 kiranya Pemerintah Daerah dapat memetakan langkah untuk dapat menjadi kabupaten/kota pendukung dari kabupaten/kota yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yaitu kabupaten/kota kelompok yang berkembang pesat, cepat maju dan cepat tumbuh. Pada Bakorwil Purwakarta,

Kab Sukabumi K Kaabb//KKoottaa B Beerrkkeemmbbaanngg KKaabb//KKoottaa M Maajjuu&&TTuummbbuuhh K Kaabb//KKoottaaRReellaattiiffTTeerrttiinnggggaall K Kaabb//KKoottaaMMaajjuuTTaappii T Teerrtteekkaann

(10)

49 Kabupaten Purwakarta mempunyai pola ekonomi yang maju tapi tertekan. Kabupaten Purwakarta di kelilingi oleh Kabupaten/Kota yang mempunyai pola ekonomi yang berkembang, cepat maju dan cepat tumbuh seperti Kabupaten dan Kota Bekasi, Kabupaten Karawang, dan Subang. Pemda Kabupaten Purwakarta dapat mengarahkan alternatif proses konvergensi perekonomiannya pada keempat kabupaten/kota tersebut untuk menuju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan dengan terus membuka kesempatan kerja melalui pembukaan investasi baru. Keistimewaan pada kelompok Bakorwil ini adalah hampir semua kabupaten/kota telah mempunyai pendapatan yang tinggi karena lokasinya sebagai penyangga DKI Jakarta. Kabupaten Sukabumi dan Cianjur termasuk daerah yang relatif tertinggal dalam hal pertumbuhan ekonomi dan pendapatannya dibanding dengan Kabupaten/Kota Bogor, Kota Sukabumi, dan Kota Depok yang termasuk dalam kelompok Bakorwil Bogor. Untuk itu kebijakan Pemda dan Bakorwil ini diarahkan menuju Kota Bogor, Sukabumi, Depok, dan Kabupaten Bogor. Pemerintah Daerah yang tergabung dalam Bakorwil Cirebon dan Priangan seyogyanya dapat menjadikan Kota Cirebon dan Kabupaten/Kota Bandung sebagai Barometer dalam rangka mengejar ketertinggalannya. Dimana Kabupaten dan Kota Bandung serta Kota Cirebon mempunyai pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yang tinggi dan menjadi pusat aktivitas perekonomian dalam kedua Bakorwil tersebut.

5.2. Model Estimasi Tingkat Disparitas Pendapatan antar Kabupaten/Kota Terhadap data panel yang telah dikumpulkan, selanjutnya dilakukan pengolahan dan pengujian model regresi data panel. Hasil uji dan pendugaan parameter model regresi data panel adalah keluaran dari software Eviews 5. 5.2.1 Uji Stasioneri Data

Uji ini dilakukan dengan menggunakan uji akar unit guna mengetahui pada derajat ke berapa data yang digunakan stasioner. Penelitian ini menggunakan uji akar-akar unit yang dikembangkan oleh Dickey-Fuller dan Philips Perron (PP) yang dijalankan dengan menggunakan Software Eviews 5. Dalam uji ini apabila nilai hitung mutlak PP lebih kecil daripada nilai kritis mutlak (pada α=10%), maka variabel tersebut tidak stasioner, sebaliknya jika nilai hitung mutlak PP lebih besar daripada nilai kritis mutlak, maka variabel tersebut stasioner. Penentuan stasioner atau tidaknya data dalam pengujian ini dapat juga dilihat dari nilai probabilitasnya, dimana data stasioner pada nilai

(11)

50 probabilitas yang lebih kecil dari 0,10 (10%). Untuk menjadikan data tidak stasioner ke stasioner maka dilakukan diferensi data.

5.2.2 Uji Pemilihan Model, Uji Serentak (uji F), dan Uji Individual (Uji t) Uji pemilihan model menunjukan nilai χ2hitung lebih besar dari χ

2

tabel pada α=10% dan df=4, yaitu 91,29 > 7,78. Sehingga model yang digunakan untuk mengestimasi disparitas pendapatan antar kabupaten/kota dalam kajian ini adalah model fixed effect. Pengujian secara individual dimaksudkan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel inflasi, pengeluaran pembangunan pemerintah daerah, dan investasi swasta berpengaruh secara nyata terhadap variabel kesenjangan pendapatan atau disparitas pendapatan antar kabupaten/kota.

Dari Tabel 8 di bawah ini menunjukan bahwa variabel inflasi dan investasi swasta tidak secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota, dan variabel pengeluaran pembangunan pemerintah secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota, yang ditunjukan oleh thitung yang lebih besar daripada ttabel dan nilai probabilitas yang lebih kecil daripada 0,10. Hal ini memperkuat uji serempak terhadap model regresi yaitu nilai Probabilitas F-Statistic jauh lebih kecil dari 0,10, yang menunjukan bahwa variabel inflasi, pengeluaran pembangunan pemerintah, dan investasi swasta secara bersama-sama mempengaruhi variabel Kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota.

Tabel 9 Hasil Uji Secara Individual (uji t)

Variabel thitung ttabel Prob. Kesimpulan Keterangan Inflasi 0,699 1,72 0,485 terima H0

Tidak Secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan Pengel. Pemb. Pemda 5,75 1,72 0,000 tolak H0 Secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan Investasi Swasta 1,09 1,72 0,276 terima H0

Tidak secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan F-statistic Prob. (F-statistisc) 12,49 0,000 Variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen Keterangan: ttabel = (10% , degree of freedom)

= (10%, n-k) = (10%, 25-4)

(12)

51 5.2.3 Interpretasi Model Regresi

Intepretasi hasil model regresi menggunakan pendekatan fixed effect. Pendekatan Fixed effect adalah suatu teknik yang dapat menunjukan perbedaan konstan/intercep antar kabupaten/kota, meskipun dengan koefisien regresor/slope koefisien yang sama atau tetap. Hasil perhitungan dengan program Eviews memberikan hasil dan penjelasan sebagai berikut:

Tabel 10 Hasil Pendugaan Parameter Model Disparitas

Variabel Bebas Notasi Koefisien Probabilitas

Intercept β0 0,1520 0,0000

Inflasi β1 0,0008 0,4850

Pengel. Pemb. Pemda β2 0,0244 0,0000

Investasi Swasta β3 0,0012 0,2763

F - Statistic

Prob (F-Statistic) ANOVA

12,49 0,000

0,645

(hasil selengkapnya pada halaman lampiran 7)

Sehingga bentuk umum persamaan dari model Kesenjangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Jawa Barat adalah:

Disparitasit=0,152+0,0008inflasiit+0,0244LnPembit+0,0012Lninvestasiit+Dit

Koefisien determinasi (R Square atau R2) mencapai 0,645, menunjukan bahwa sekitar 64,5% variasi disparitas pendapatan dapat dijelaskan oleh variasi inflasi, pengeluaran pembangunan Pemda, dan investasi swasta. Sedangkan, 35,5% variasi disparitas pendapatan yang dapat dijelaskan oleh faktor lain (error term).

Koefisien regresi inflasi, pengeluaran pembangunan pemerintah, dan investasi menunjukan bahwa ketiga variabel bebas atau variabel penjelas tersebut ternyata memiliki hubungan positif dengan disparitas pendapatan antar kabupaten/kota. Dimana, peningkatan dari tiap variabel penjelas tersebut dapat menaikan disparitas pendapatan. Hubungan positif dari masing-masing koefisien tersebut, yaitu: setiap kenaikan 1% inflasi akan menaikan disparitas pendapatan antar kabupaten/kota sebesar 0,0008 dengan asumsi variabel lain ceteris paribus, bila terjadi kenaikan 1% pengeluaran pembangunan pemerintah daerah maka akan menaikan disparitas sebesar 0,0244 diasumsikan variabel lain ceteris paribus, dan kenaikan 1% investasi swasta akan menaikan disparitas pendapatan sebesar 0,0012 dengan asumsi variabel lain ceteris paribus.

(13)

52 Dalam rangka merumuskan startegi dan program yang akan diusulkan berdasarkan hasil-hasil pendalaman terhadap data-data kajian, maka perlu dilihat apakah strategi dan program seyogyanya diimplementasikan oleh setiap kabupaten/kota dengan pendekatan dimensi spasial atau cukup diimplementasikan berdasarkan pengelompokan Bakorwil dan pola perekonomian berdasarkan pengkuadranan sebelumnya. Tabel 11 adalah perbandingan nilai probabilitas hasil perhitungan eviews berdasarkan kelompok wilayah.

Tabel 11 Perbandingan Nilai Probabilitas Pendugaan Parameter Berdasarkan Kelompok Bakorwil dan Pola Perekonomian

Variabel Bebas Kelompok Bakorwil Kelompok Pola Perekonomian

Pwt Bgr Prn Crb Mju Kmb Tkn Tgl

Inflasi 0,0884 0,0165 0,3472 0,0075 0,0089 0,9001 0,2385 0,1520 Pengel. Pemb. 0,2257 0,2608 0,4933 0,6591 0,3480 0,9374 0,7704 0,3115 Investasi Swasta 0,5526 0,2999 0,4035 0,7242 0,1498 0,5804 0,6503 0,9593

(hasil selengkapnya pada halaman lampiran 7)

Dari nilai probabilitas tersebut diketahui bahwa hanya variabel inflasi yang berpengaruh nyata terhadap pengelompokan berdasarkan karakteristik wilayah, itu pun hanya pada Bakorwil Purwakarta, Bogor, Cirebon, dan Kabupaten/Kota Maju. Konsentrasi strategi yang berkaitan dengan inflasi patut mendapat perhatian pada kelompok-kelompok ini. Namun, karena inflasi adalah perubahan tingkat harga yang juga dipengaruhi oleh harga-harga pada masing-masing kabupaten/kota yang antara lain terkait dengan kesediaan pasokan barang dan kebijakan pemerintah daerah, maka hendaknya semua kabupaten/kota bahu-membahu melakukan strategi yang terkait dengan inflasi. Dimensi spasial yang terkait dengan strategi inflasi adalah melihat kedekatan lokasi kabupaten/kota dengan Kantor Bank Indonesia (KBI) yang ada di Jawa Barat, yaitu : KBI Tasikmalaya, KBI Cirebon, dan KBI Bandung.

Dapat ditentukan bahwa setelah dilakukan penelitian terhadap karakteristik wilayah Bakorwil dan pola perekonomian dilihat dari probabilitas variabel bebas kajian, maka tidak terdapat pengaruh spesifik apabila strategi dan program dilakukan secara parsial pada kelompok-kelompok tersebut. Untuk itu analisis yang digunakan dalam rangka perumusan strategi dan program adalah pada hasil uji parameter sebelumnya yang mengarah pada aplikasi strategi dan

(14)

53 program terhadap seluruh kabupaten/kota dengan pendekatan dimensi spasial menuju proses konvergensi agar kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota makin memudar. Masing-masing kabupaten/kota di Jawa Barat dapat mengaplikasikan rumusan startegi dan program melalui upaya koordinasi dan kerja sama dengan kabupaten/kota tetangganya.

5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Perekonomian Regional (Kabupaten/Kota di Jawa Barat)

5.3.1 Inflasi Regional

Tanda positif pada koefisien variabel bebas inflasi hasil regresi menunjukan bahwa terjadi hubungan positif antara harga-harga dengan kondisi ekonomi makro kabupaten/kota yang dalam hal ini terkait erat dengan PDRB kabupaten/kota tersebut . Pada tahun-tahun krisis ekonomi melanda, inflasi yang tinggi memiliki efek negatif bagi perekonomian sebab inflasi tersebut akan mengganggu mobilisasi dana domestik dan tingkat investasi kabupaten/kota. Prospek pembangunan ekonomi kabupaten/Kota di Jawa Barat akan memburuk jika terjadi inflasi yang tinggi dan tidak dikendalikan, sebab akan mengurangi investasi produktif, mengurangi ekspor dan menaikan impor barang sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi. Secara umum rumah tangga dan perusahaan akan memiliki kinerja yang buruk ketika terjadi inflasi yang tinggi dan tidak dapat diprediksi.

Inflasi mempengaruhi upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari perbedaan pencapaian pendapatan (PDRB) tiap kabupaten/kota. Pengaruh inflasi yang tidak nyata terhadap kesenjangan pendapatan memperlihatkan peranan inflasi di Jawa Barat yang bergerak lambat, sehingga menjadi stimulator dan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu jika terjadi kenaikan harga-harga maka tidak segera diikuti oleh kenaikan sektor lain seperti upah, sewa, dan lain-lain, sehingga akan menambah keuntungan pada kegiatan usaha. Pertambahan keuntungan akan mendorong investasi yang pada tahap berikutnya akan memberikan tambahan pada upah/sewa dan mewujudkan percepatan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota. Dari telaahan terhadap data inflasi, selama periode 1995-2006 rata-rata inflasi Jabar adalah 12,7% dengan rata-rata laju peningkatan 0,81 per tahun. Kabupaten/kota yang mempunyai rata-rata laju peningkatan inflasi yang tertinggi adalah Kota Banjar 3,75% dan yang terendah adalah Kota Cirebon 0,03%.

(15)

54 Secara lokasi Kota Banjar mempunyai kendala aksesibilitas yang mempengaruhi kemudahan dan ketersediaan pemenuhan kebutuhan, secara dimensi spasial jarak Kota Banjar relatif jauh dengan Kabupaten/Kota pusat aktivitas ekonomi (misalnya: Bandung dan Cirebon). Pemenuhan permintaan atas barang dan jasa sangat mempengaruhi laju inflasi suatu kabupaten/kota. Ketersediaan barang dan jasa didukung oleh adanya sarana infastruktur dan perhubungan yang cukup serta berjalannya proses produksi. Mengingat bahwa inflasi adalah sesuatu yang Mudah berubah-ubah sesuai kondisi maka tetap perlu adanya upaya pengendalian inflasi kabupaten/kota di Jawa Barat agar tetap bergerak lambat.

Dari hasil studi kepustakaan terhadap laporan Bank Indonesia Bandung (2005), peningkatan inflasi yang sangat tajam terjadi pada tahun 1998 sebagai akibat terjadinya krisis ekonomi. Pada tahun 2005 kenaikan inflasi yang cukup tinggi dipengaruhi oleh kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan, sebagai akibat kenaikan harga BBM yang tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selanjutnya, selama tahun 2002-2006 inflasi kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau serta kelompok bahan makanan merupakan tertinggi kedua dan ketiga. Hal tersebut merupakan hal yang wajar karena bahan makanan dan makanan jadi adalah kebutuhan primer masyarakat. Kelompok berikutnya yang merupakan bagian dalam pembentukan inflasi di Jawa Barat secara berurutan adalah kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan, kelompok pendidikan,kelompok sandang, dan kelompok kesehatan. Gambar 12 adalah tren laju inflasi beberapa kabupaten/kota yang mewakili Bakorwil. Terjadi pola yang sama pada tahun 1998 dan 2005.

Sumber: BPS Pusat, diolah.

Gambar 12 Tren laju Inflasi beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 1995-2006. In fl a si ( %)

(16)

55 Salah satu karakteristik utama perkembangan inflasi regional Jawa Barat adalah besarnya faktor musiman, seperti: masa panen raya, tahun ajaran baru, dan hari raya keagamaan. Faktor tersebut mempunyai pengaruh terhadap pergerakan harga. Faktor musiman tersebut adalah:

(i) Periode setelah musim panen raya padi yang menyebabkan pasokan beras meningkat, selalu diikuti dengan penurunan harga beras. Karena tingginya nilai konsumsi beras terhadap total konsumsi masyarakat, maka perkembangan harga sangat sensitif terhadap fluktuasi harga beras. Masa panen raya di Jawa Barat terjadi dua kali dalam setahun, yaitu yang pertama pada sekitar bulan Maret-April (musim panen rendeng), sementara masa panen kedua yang tidak sebesar panen pertama terjadi pada bulan Juli- Agustus (musim panen gadu). Pada kedua periode tersebut terlihat bahwa inflasi kelompok bahan makanan dan inflasi secara umum di Jawa Barat relatif rendah. Namun, jadwal panen tersebut dapat berubah karena perubahan pergantian musim. Contohnya, pada tahun 2003, musim panen rendeng yang seharusnya Februari-Maret 2003 mundur menjadi April-Mei 2003, yang selanjutnya akan mempengaruhi musim tanam selanjutnya (musim tanam gadu).

(ii) Masa tahun ajaran baru, yaitu mulai pertengahan tahun hingga bulan September setiap tahunnya, inflasi kelompok pendidikan mengalami inflasi tertinggi di Jawa Barat. Pada periode tersebut, lembaga-lembaga pendidikan menetapkan tarif baru sehingga mendorong terjadinya inflasi kelompok pendidikan. Di samping itu, tahun ajaran baru juga mendorong inflasi kelompok sandang, karena meningkatnya permintaan terhadap pakaian seragam sekolah.

(iii) Faktor musiman yang paling besar pengaruhnya terhadap inflasi adalah hari raya keagamaan, khususnya hari raya Idul Fitri, natal, dan tahun baru. Laju inflasi menunjukkan peningkatan signifikan pada masa menjelang Idul Fitri (Bulan Ramadhan) hingga sekitar sebulan setelahnya, karena kenaikan harga terjadi pada berbagai komoditas, terutama pada kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi, dan kelompok sandang.

(iv) Faktor musiman lainnya yang cukup besar terhadap inflasi di Jawa Barat, di samping hari raya adalah musim liburan, khususnya liburan sekolah. Karena lokasi geografis Jawa Barat yang berdekatan dengan Jakarta dan merupakan daerah perlintasan dari wilayah Jawa bagian timur menuju Jakarta, masa

(17)

56 liburan mendorong tingkat kunjungan wisatawan domestik ke Jawa Barat, khususnya Kota Bandung (paling besar dalam pembentukan inflasi di Jawa Barat). Tujuan kunjungan sebagian besar wisatawan tersebut adalah wisata kuliner (berbelanja makanan) dan fashion (berbelanja di factory outlet) serta wisata alam. Hal tersebut meningkatkan permintaan semu (semu, karena banyak didorong oleh permintaan masyarakat luar Bandung) terhadap beberapa jenis barang dan jasa, seperti makanan jadi, sandang, dan jasa transportasi.

Faktor lain yang cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan inflasi di Jawa Barat adalah faktor ekspektasi pelaku ekonomi, baik produsen, pedagang, maupun konsumen. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia Bandung bekerja sama dengan ISEI Cabang Bandung, ekspektasi inflasi membentuk 50-75% inflasi di Jawa Barat. Isu/rumor yang berkembang di masyarakat cukup berpengaruh membentuk perilaku atau respon masyarakat terhadap harga. Pengalaman menunjukkan bahwa jika beredar informasi tentang rencana pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM (menaikkan harga BBM) dan gaji pegawai pada beberapa bulan yang akan datang, produsen dan pedagang menaikkan harga barang lebih awal sebelum kebijakan diberlakukan. Sebagai contoh kejadian kenaikan harga jual eceran rokok pada bulan Maret 2006, padahal kenaikan tersebut diresmikan pemerintah baru pada bulan April 2006. Sementara itu, dampak ekspektasi terhadap perilaku konsumen justru menyebabkan terjadinya kenaikan harga. Contohnya pada saat beredarnya isu kelangkaan suatu barang, seperti minyak tanah pada tahun 2007 terkait dengan program konversi minyak tanah ke gas, masyarakat beramai-ramai memborong barang tersebut karena khawatir tidak dapat memperoleh barang tersebut sama sekali pada saatnya nanti. Sehingga pada akhirnya justru perilaku konsumen itu yang menyebabkan terjadinya kelangkaan dan naiknya harga barang.

5.3.2 Pengeluaran Pembangunan Pemerintah

Pengeluaran pembangunan dalam penelitian ini memiliki efek posistif dan secara nyata mempengaruhi tingkat disparitas pendapatan. Pengaruh signifikan tersebut menunjukan bahwa pengeluaran Pemda merupakan pencipta kestabilan dan implementasi instrumen kebijakan fiskal. Pengeluaran pembangunan pemerintah menjadi pendorong pembangunan kabupaten/kota dan mempunyai efek pada peningkatan penanaman modal swasta di kabupaten/kota yang

(18)

57 bersangkutan dan terpenuhinya pasokan kebutuhan pokok masyarakat. Dengan adanya penstabil otomatis maka dapat mengurangi konjungtur perekonomian. Demikian halnya dengan kondisi disparitas pendapatan yang terjadi pada perekonomian antar kabupaten/kota di Jawa Barat, di mana dengan pengeluaran pembangunan akan berpengaruh menciptakan kestabilan melalui kegiatan yang diperuntukkan menciptakan infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti: pembangunan/pemeliharaan jalan, jembatan, rumah sakit, Puskesmas, dan sekolahan, guna memberikan akses dan dukungan peningkatan perekonomian.

Pengeluaran pembangunan pemerintah mempunyai peran yang penting dalam pembangunan perekonomian. Pengeluaran yang tidak efisien tidak akan memperbaiki produktivitas perekonomian suatu kabupaten/kota. Secara persentase rerata proporsi pengeluaran pembangunan pemerintah daerah terhadap PDRB kabupaten/kota di Jawa Barat selama periode 1995-2006 menunjukan angka yang bervariasi dan kontribusi yang relatif masih rendah terhadap PDRB. Gambar 13 memperlihatkan rata-rata proporsi pengeluaran pembangunan pemerintah daerah kabupaten/kota periode 1995-2006. Proporsi pengeluaran tersebut adalah terhadap PDRB masing-masing kabupaten/kota. Terlihat bahwa proporsi pengeluaran pembangunan pemerintah daerah masih relatif kecil, yaitu mempunyai rerata antara 0,22% (Kota Cimahi) sampai dengan 1,75% (Kota Sukabumi) serta rata-rata keseluruhan sebesar 0,78%.

Sumber: Statistika Keuangan Pemda Kab/Kota, BPS.Diolah

Gambar 13 Rata-rata Proporsi Pengeluaran Pembangunan terhadap PDRB Pemda Kab/Kota di Jawa Barat Periode 1995-2006.

(19)

58 Kondisi APBD saat ini menunjukan masih lemahnya komitmen dan kemampuan kabupaten/kota dalam menggerakkan sektor-sektor yang menyentuh kebutuhan dan pengembangan ekonomi rakyat. Belum banyak sumber daya yang dimiliki kabupaten/kota untuk menciptakan program-program yang dapat menggerakkan perekonomian rakyat tanpa menunggu program-program Pemerintah Pusat. Kabupaten/kota di Jawa Barat rata-rata mengalokasikan anggarannya 69% untuk belanja rutin. Dalam belanja rutin dominan digunakan untuk belanja pegawai yang berkaitan dengan upaya pelayanan jasa publik yang tidak secara langsung memberikan pengaruh pada kinerja perekonomian rakyat. Belanja pembangunan menghadapi masalah kurangnya alokasi sehingga belum maksimal mendorong upaya memacu pertumbuhan ekonomi.

Kelompok belanja pembangunan menurut bidang antara tahun 2001-2006, menunjukkan bahwa proporsi alokasi Kabupaten/Kota yang paling menonjol adalah pada bidang suprastruktur, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang bertujuan untuk pembangunan, pengembangan dan bersifat investasi. Bidang suprastruktur terkait dengan ketersediaan peraturan-peraturan yang menjadi pedoman dalam melaksanakan proses pembangunan. Gambar 14 menunjukan rata-rata persentase alokasi belanja pembangunan di Jawa Barat tahun 2001-2006.

Gambar 14 Rata-rata Persentase Belanja Pembangunan Menurut Kelompok Bidang dari Total Alokasi Belanja Pembangunan di Jawa Barat 2001-2006 (%).

(20)

59 Dari data dalam periode kajian, dalam anggaran pembangunan pemerintah daerah kabupaten/kota terdapat alokasi belanja aparatur pemerintah dan pengawasan rata-rata sebesar 15% dari total belanja pembangunan pemerintah kabupaten/kota. Belanja pembangunan ini berdasarkan penggunaanya adalah untuk membiayai kegiatan administrasi didalam pemerintahan sendiri dan tidak menyentuh kepada belanja yang bersifat penciptaan infrastruktur daerah, penyerapan tenaga kerja (padat karya) dan pengembangan sektor-sektor lapangan usaha. Untuk itu perlu diupayakan agar Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat merealokasi anggaran pembangunan dari bidang di luar pendidikan dan kesehatan ke sektor pembangunan infrastruktur dalam rangka memperbaiki akses bagi masyarakat hingga akhirnya berkontribusi positif meningkatkan pendapatan kabupaten/kota. Realokasi anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur akan menciptakan anggaran yang ‘pro-poor’, salah satunya dapat ditempuh dengan merealokasi belanja aparatur pemerintah dan pengawasan.

5.3.3 Investasi Swasta

Variabel penjelas tingkat investasi swasta mempunyai koefisien regresi yang bertanda positif terhadap tingkat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jabar. Data investasi tahun 1995-2006 pada halaman lampiran 5 menunjukan adanya konsentrasi penanaman modal pada kabupaten/kota tertentu. Kinerja investasi yang terdistribusi dengan baik selayaknya mampu menaikan tingkat pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota, sehingga mengurangi kesenjangan/disparitas pendapatan antar kabupaten/kota. Sejumlah faktor yang sangat berpengaruh terhadap iklim investasi di Kabupaten/Kota di Jawa Barat, yaitu: stabilitas politik dan sosial, stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan, pasar tenaga kerja, dan regulasi, serta masalah good governance yang semuanya memerlukan dukungan pembiayaan pemerintah melalui pos pengeluaran pemerintah dalam APBD.

Dari data investasi kabupaten/kota di Jawa Barat, nampak jelas bahwa kabupaten/kota yang mempunyai kesiapan infrastruktur dan kondisi yang kondusif menjadi minat para investor. Data investasi dalam halaman lampiran 3 menunjukan tingginya nilai investasi swasta di Kabupaten dan Kota Bekasi,

(21)

60 Kabupaten Karawang, Kabupaten Bogor, Kabupaten dan Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta, dan Kota Cirebon. Sehingga terjadi pemusatan kegiatan ekonomi pada Kabupaten dan Kota tersebut dengan kondisi faktor pendukung investasi yang lebih siap dan lebih diuntungkan secara lokasi di banding kabupaten/kota lain di Jawa Barat.

Melihat data penggunaan lahan di Jawa Barat menunjukan bahwa sebagian besar lahan di Jawa Barat digunakan untuk perkebunan campuran dan persawahan. Data tenaga kerja menunjukan bahwa sektor ini menyerap tenaga kerja paling tinggi yaitu sekitar 27%. Nampak bahwa sektor pertanian menjadi dominan di Jawa Barat namun belum dikembangkan bila dilihat dari kontribusinya pada PDRB. Sebagai upaya peningkatan perekonomian kabupaten/kota, dan berjalannya perekonomian rakyat maka investasi selayaknya diarahkan pada sektor ini guna peningkatan produksi, kelancaran distribusi hasil, dan pengawasan harga yang layak ditingkat petani. Tabel 12 adalah penggunaan lahan di Jawa Barat yang didominasi oleh perkebunan campuran dan persawahan.

Tabel 12 Penggunaan Lahan di Jawa Barat Tahun 2006

Guna Lahan Luas (ha) %

Hutan Primer 321.377,68 8,66 Hutan Sekunder 269.885,68 7,27 Kawasan Industri 15.825,21 0,43 Kawasan Pertambangan 3.350,92 0,09 Kebun Campuran 849.294,72 22,89 Tegalan 368.265,51 9,93 Padang Ilalang 128.207,61 3,46 Perkebunan 646.100,43 17,41 Pemukiman 178.329,75 4,81 Sawah 752.130,90 20,27 Semak 53.244,10 1,44 Sungai, Waduk, dll 54.932,48 1,48 Tambak 51.525,09 1,39 Tanah Kosong 17.591,20 0,47 Jumlah 3.710.061,28 100,00

Melihat bahwa estimasi yang dilakukan berdasarkan karakteristik kelompok wilayah Bakorwil tidak memberikan pengaruh yang spesifik maka perumusan strategi dan program terhadap peranan variabel-variabel di atas

(22)

61 mengarah pada proses konvergensi-dimana daerah yang memiliki perekonomian rendah berusaha untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah yang sudah maju-dengan fokus kerjasama antar kabupaten/kota tetangga terdekat berorientasi pada kabupaten/kota yang berkembang, tumbuh, dan maju. Melalui proses pembangunan dalam jangka panjang, maka ketika tercapai tingkat pendapatan yang setara oleh semua kabupaten/kota dengan sendirinya kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota akan memudar.

Gambar

Tabel 6   Koefisien Theil Kelompok Bakorwil di Jawa Barat Tahun 1995-2006
Gambar  7  memperlihatkan  tren  kondisi  kesenjangan  pendapatan  dalam  kelompok  antar  kabupaten/kota  yang  terjadi  di  Jawa  Barat  berdasarkan  kelompok Bakorwil
Tabel 7   Koefisien Theil Kelompok Daerah Kaya-Miskin di Jawa Barat           Tahun 1995-2006
Gambar 8   Tren Indeks Kesenjangan dalam Kelompok Berdasarkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari 10 pegawai PT Oto Multiartha Malang diambil 2 orang pegawai sebagai narasumber untuk menjawab permasalahan yang diteliti dengan teknik Random Sampling yang dianggap

(1) Seksi Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d angka 1 mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan

berlangsungnya ekonomi-politik kawasan dan global; (2) fenomena deglobalisasi merupakan konsekuensi logis dari keterpurukan ekonomi global dan AS pasca- krisis finansial;

Orang coba duduk pada tempat yang agak tinggi sehingga kedua tungkai akan tergantung bebas atau orang coba berbaring terlentang dengan fleksi tungkai pada sendi lutut. Ketuklah

Ukuran yang telah ditetapkan untuk purse seine bertali kerut dengan alat bantu penangkapan ikan (rumpon atau cahaya) dan ikan target tongkol atau cakalang memiliki panjang

Pengabdian masyarakat yang dilakukan di desa Batuyang dengan program “meningkatkan Kesejahteraan Perekonomian Masyarakata Melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE)”

Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah pada analisis struktur umum (general structure), fitur bahasa (linguistic features) dan kesalahan pada aspek gramatika