• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Secara morfologi perairan Indonesia Timur terdiri atas pulau-pulau dengan bentuk busur lengkung, palung dengan kedalaman lebih dari 5000 meter, gunung api bawah laut (sub-marine volcano) dan dipisahkan oleh laut dalam (Anonim, 2010). Kondisi yang sangat bervariatif disebabkan salah satunya oleh adanya pertemuan antara 3 lempeng tektonik yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik. Lempeng Indo-Australia bergerak relatif kearah utara menyusup kedalam lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik bergerak dari arah timur laut menuju kearah barat dan menyusup ke Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia (Anonim, 2013). Kondisi ini dapat mempengaruhi arus dan gelombang pasang surut yang memasuki wilayah ini menjadi sangat kompleks dan memiliki karakteristik yang unik.

Kondisi perairan Indonesia Timur yang kompleks belum diimbangi dengan adanya informasi dan penelitian terkait perairan Indonesia Timur. Salah satunya adalah penelitian tentang titik amphidromik diperairan Indonesia Timur. Titik amphidromik adalah titik-titik di permukaan laut yang tidak mengalami pergerakkan secara vertikal dalam sistem penjalaran gelombang, dengan kata lain amplitudo nya sama dengan nol (0) (NOAA, 2000). Garis-garis putih pada Gambar I.1 menunjukkan garis-garis co-phase yang terletak pada wilayah perairan sedangkan garis yang membatasi antar warna pada wilayah perairan disebut garis co-range.

Perbedaan warna pada wilayah perairan menunjukkan perbedaan nilai amplitudo. Garis co-phase memusat pada suatu titik yang mengindikasikan adanya titik amphidromik sedangkan garis co-range akan memutar disekitar titik amphidromik. Salah satu cara untuk mengidentifikasi titik-titik amphidromik pada wilayah perairan adalah dengan melakukan analisis peta co-range dan co-phase pada wilayah perairan tersebut.

(2)

Gambar I. 1. Peta co-range dan co-phase perairan global (sumber : http://sealevel.jpl.nasa.gov)

Dalam proses penggambaran peta co-range dan co-phase diperlukan ekstraksi data komponen pasang surut. Data komponen pasang surut dapat diperoleh salah satunya dari data model pasang surut global. Model pasang surut global TPXO 7.1 merupakan salah satu model pasut global yang dibentuk dari kombinasi data pasang surut konvensional dan satelit altimetri. Resolusi spasial dari model pasang surut global TPXO 7.1 sebesar 0,25o x 0,25o (Fok, 2012). Data pasang surut dari satelit altimetri dan stasiun pasut diasimilasikan dengan menggunakan OTIS (Oregon state university Tidal Inversion Software) kedalam persamaan hidrodinamika (Fok, 2012). Model pasang surut TPXO 7.1 memiliki tingkat akurasi yang baik untuk melakukan analisis pasang surut di sekitar wilayah pesisir pantai. Hal ini dikarenakan model pasang surut TPXO 7.1 menggunakan data pengamatan stasiun pasut yang diasimilasikan dengan data satelit altimetri dan persamaan hidrodinamika.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Robertson dan Field (2008) tentang pemodelan pasang baroklinik dan barotropik perairan Indonesia pada ke-4 komponen harmonik pasang surut (M2, S2, K1, O1) dinyatakan bahwa adanya aliran gelombang pasang surut dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia mengindikasikan adanya formasi yang memusat di Selat Makasar dan Laut Seram.

(3)

Pemusatan gelombang pasang surut pada suatu wilayah perairan dapat menyebabkan terbentuknya titik amphidromik.

Berdasarkan uraian di atas bahwa kondisi perairan Indonesia Timur yang kompleks perlu diimbangi dengan adanya informasi dan penelitian salah satunya tentang titik amphidromik di perairan Indonesia Timur. Model pasang surut global dapat digunakan untuk memperoleh data amplitudo dan fase komponen pasang surut pada seluruh perairan Indonesia Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan titik amphidromik di perairan Indonesia Timur menggunakan model pasang surut global TPXO 7.1.

I.2. Rumusan Masalah

Pemusatan gelombang pasang surut yang terjadi di Selat Makassar dan Laut Seram merupakan indikasi adanya suatu sistem amphidromik pada wilayah tersebut yang akan mengakibatkan terbentuknya titik amphidromik. Untuk mengidentifikasi keberadaan titik amphidromik maka diperlukan adanya peta co-range dan co-phase

pada ke-4 komponen pasang surut (M2, S2, K1, O1) . Sejauh ini fenomena tersebut belum dipastikan secara lebih lanjut sehingga perlu adanya suatu penelitian yang membuktikan kebenaran indikasi tersebut menggunakan metode dan model pasang surut yang berbeda. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun pertanyaan penelitian yaitu dimanakah terbentuk titik amphidromik di perairan Indonesia Timur berdasarkan peta co-range dan co-phase dari ekstraksi data4 komponen utama pasut (M2, S2, K1, O1) menggunakan model pasang surut global TPXO 7.1.

I.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah teridentifikasinya keberadaan titik amphidromik di perairan Indonesia Timur berdasarkan peta co-range dan co-phase pada ke-4 komponen utama pasut (M2, S2, K1, O1) dari ekstraksi data model pasang surut global TPXO 7.1.

(4)

I.4. Manfaat Penelitian

Manfaat mengenai identifikasi titik amphidromik pada perairan Indonesia Timur yaitu sebagai berikut :

1. Untuk keperluan ilmiah, penelitian ini dapat digunakan dalam penentuan kerapatan stasiun pasang surut berdasarkan peta co-range dan co-phase pada ke-4 komponen pasang surut berdasarkan data model pasang surut global TPXO 7.1

2. Dalam kegiatan mitigasi bencana yang berhubungan dengan pergerakkan arus pasang surut, titik amphidromik dapat digunakan untuk menganalisis pola pergerakkan arus pasang surut karena titik amphidromik merupakan pusat pergerakkan arus pasang surut.

I.5. Cakupan Penelitian

Penelitian ini memiliki cakupan yang menjelaskan aspek spasial dan metode yang digunakan, sehingga penelitian ini dapat lebih terarah dan fokus. Cakupan penelitian pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini dibatasi hanya pada perairan Indonesia Timur yang berada pada 1,5666 LU - 8,3555 LS dan 112,9898 BT – 132,2393 BT. Perairan Indonesia Timur meliputi wilayah perairan Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, Laut Seram dan Laut Maluku.

2. Model pasang surut yang akan digunakan adalah model pasang surut global TPXO 7.1 yang terdiri dari 4 file yaitu Model_tpxo7.1, grid_tpxo7.1, u_tpxo7.1, h_tpxo7.1.

3. Proses ekstraksi data komponen pasang surut menggunakan Tidal Model Driver

yang dijalankan pada perangkat lunak Matlab untuk mendapatkan nilai amplitudo dan fase.

4. Interval titik-titik pengamatan yang digunakan sebesar ± 3,5 km ( 0o 1‟ 52,5”. Hal ini bertujuan untuk memperapat data amplitudo dan fase titik pengamatan agar dihasilkan garis co-phase dan co-range yang baik.

5. Proses penggambaran peta co-range menggunakan metode interpolasi

triangulated irregular network yang memperhitungkan nilai jarak antar titik dalam menentukan nilai titik interpolasi dan peta co-phase menggunakan metode

(5)

interpolasi natural neighbour yang memperhitungkan nilai bobot dari luas diagram voronoi dalam menentukan nilai titik interpolasi melalui perangkat lunak ArcGIS.

6. Data masukkan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah data amplitudo dan fase hasil ekstraksi pada 4 komponen pasut (M2, S2, K1, O1) dari model pasang surut global TPXO 7.1.

7. Data keluaran yang akan dihasilkan dari penelitian ini adalah peta co-phase, peta

co-range dan koordinat titik amphidromik perairan Indonesia Timur. I.6. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang sejenis diantaranya penelitian tentang pembuatan peta co-range dan co-phase di perairan Pulau Jawa untuk analisis kerapatan stasiun pasut menggunakan model pasut global TPXO 7.1 oleh Paradipta (2013). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kontur peta co-phase di bagian Utara Pulau Jawa lebih rapat bila dibandingkan dengan di bagian Selatan Jawa dengan terdapat titik amphidromik di Utara Jakarta. Nilai co-range di bagian Utara Pulau Jawa berkisar 0,1 meter sampai 0,6 meter sedangkan di bagian Selatan Pulau Jawa berkisar 0,2 meter sampai 0,7 meter. Penelitian yang dilakukan oleh Aviantoni (2014) menjelaskan tentang pembuatan peta co-range dan co-phase diperairan Pulau Sumatera untuk analisis kerapatan stasiun pasut menggunakan model pasut global TPXO 7.1. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kontur peta co-phase di bagian Utara, Timur dan Selatan Pulau Sumatera lebih rapat bila dibandingkan dengan bagian Barat. Nilai amplitudo di perairan Pulau Sumatera berkisar antara 0,1 meter hingga 1,5 meter dengan nilai tertinggi terdapat pada bagian Timur Pulau Sumatera.

Menurut Robertson dan Field (2008), gelombang pasang surut memasuki wilayah perairan indonesia dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Hal ini didasarkan pada model pasang baroklinik dan barotropik menggunakan persamaan sederhana dan regional ocean model system pada ke 4 komponen pasang surut (M2, S2, K1, O1). Gelombang pasang surut membentuk suatu formasi gelombang yang berputar pada wilayah perairan Selat Makassar dan Laut Seram.

Menurut Aziz (2006), gelombang air laut mengalami proses refraksi, difraksi dan refleksi. Dalam proses refraksi, difraksi dan refleksi sangat dipengaruhi oleh

(6)

kedalaman dari perairan dan juga kondisi dari pulau-pulau disekitar perairan. Refraksi diakibatkan oleh adanya perubahan kecepatan gelombang arus laut. Perubahan kecepatan terjadi saat gelombang arus laut yang memasuki perairan dangkal akan mengalami pembelokan. Difraksi diakibatkan oleh gelombang arus laut yang membentur suatu penghalang yang berupa karang atau bangunan dilaut sehingga tinggi gelombang akan berkurang dan semakin lama gelombang akan hilang seiring dengan tinggi gelombang yang semakin rendah. Refleksi diakibatkan oleh suatu gelombang arus laut yang memasuki perairan semi tertutup (teluk) sehingga gelombang datang akan dipantulkan kembali ke laut kemudian akan terbentuk gelombang berdiri (standing waves). Bentuk perairan Indonesia Timur yang semi tertutup menyebabkan gelombang air laut ini akan dibelokkan (refraksi) kemudian gelombang menabrak suatu pulau dan dipantulkan kembali kelaut (refleksi).

Umam (2013) menjelaskan tentang keakuratan data yang dihasilkan oleh model pasang surut global TPXO 7.1 untuk pemodelan pasang surut diperairan laut jawa. Data yang dibandingkan adalah data elevasi dan komponen pasang surut perairan laut jawa hasil pemodelan model pasut TPXO 7.1 dengan data elevasi pasang surut dari International Oceanography Comission (IOC) dan data komponen pasang surut dari Dinas Hidro-Oseanografi (DISHIDROS). Untuk pembandingan elevasi pasang surut antara hasil pemodelan dengan IOC menghasilkan nilai simpangan baku sebesar 0,105 m (10,5 cm) dan pembandingan komponen pasang surut antara hasil pemodelan dengan data DISHIDROS menghasilkan nilai simpangan baku sebesar 4,067 cm.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah lokasi, jarak antar titik pengamatan, komponen pasang surut dan model pasang surut yang digunakan. Lokasi penelitian adalah wilayah perairan Indonesia Timur yang berada pada 1,5666 LU - 8,3555 LS dan 112,9898 BT – 132,2393 BT. Jarak antar titik pengamatan pada penelitian ini sejauh 0o 1‟ 52,5” atau 3,5 km. Penelitian ini menggunakan data amplitudo dan fase komponen pasang surut M2, S2, K1, O1 hasil ekstraksi dari model pasang surut global TPXO 7.1. Data amplitudo dan fase hasil ekstraksi diolah menggunakan perangkat lunak ArcGIS untuk menghasilkan peta co-range dan co-phase.

(7)

I.7. Landasan Teori I.7.1. Kondisi Umum Perairan Indonesia Timur

Perairan Indonesia Timur merupakan perairan jeluk (deep water) yang memiliki satu arus utama yaitu Arus Lintas Indonesia. Arus Lintas Indonesia (Arlindo) mengalir dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia melewati perairan Indonesia Timur. Penyebab terjadinya aliran ini adalah perpindahan sejumlah massa air dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia karena adanya perbedaan ketinggian permukaan air laut. Permukaan bagian tropik Lautan Pasifik Barat lebih tinggi dari pada Lautan Hindia bagian timur, sehingga terjadi gradien ketinggian yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia (Hasanudin, 1998). Arus yang mengalir dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia melewati perairan Indonesia Timur akan mengalami proses refleksi yang disebabkan oleh bentuk perairan Indonesia Timur.

Gambar I. 2. Fisiografi perairan Indonesia Timur akibat proses tektonik

(8)

Tatanan geologi kelautan Indonesia merupakan bagian yang sangat unik dalam tatanan kelautan dunia karena berada pada pertemuan 3 lempeng besar yaitu Lempeng Samudera Pasifik, Lempeng Benua Ausralia-Lempeng Samudera Hindia dan Lempeng Benua Asia (Lubis, dkk., 2009). Ketiga lempeng ini memiliki kekuatan pergeseran yang cukup besar sehingga pada wilayah pertemuan ini akan terakumulasi energi yang cukup besar. Akumulasi energi ini suatu saat akan menimbulkan gempa bumi apabila lapisan batuan pada lempeng tersebut tidak kuat menahan energi tersebut.

Bentuk dari perairan Indonesia Timur adalah perairan semi tertutup dengan memiliki topografi dasar laut yang bervariasi dan kedalaman perairan yang dalam (Anonim, 2010). Berdasarkan karakteristik geologi dan kedudukan fisiografi regional, wilayah laut indonesia dibagi menjadi 2 zona yaitu zona dalam dan zona luar. Zona dalam dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu bagian barat, tengah dan timur. Bagian barat zona dalam ditempati oleh paparan sunda dengan kedalaman dasar laut maksimum 200 meter disekitar Laut Jawa. Bagian tengah zona dalam merupakan zona transisi dari sistem laut dalam bagian barat dan bagian timur dengan kedalaman lebih dari 3000 meter disekitar Laut Bali, Laut Flores dan Selat Makassar. Bagian timur zona dalam adalah zona sistem laut banda yang merupakan cekungan tepian dengan ciri-ciri memiliki kedalaman laut mencapai lebih dari 6000 meter disekitar Laut Banda, Laut Seram dan Laut Maluku. Zona luar ditempati oleh Samudera Hindia, Laut Pasifik, Laut Timor, Laut Arafuru Laut filipina Barat, Laut Sulawesi dan Laut Cina Selatan (Lubis, dkk., 2009). Pada perairan Indonesia Timur terdapat 5 wilayah perairan besar yaitu Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, Laut Maluku dan Laut Seram. Jika diklasifikasikan kedalam sistem zona berdasarkan karakteristik geologi dan kedudukan fisiografi regional maka perairan Indonesia Timur termasuk kedalam zona dalam bagian tengah (Laut Flores dan Selat Makassar) dan zona dalam bagian barat (Laut Banda, Laut Seram dan Laut Maluku).

I.7.2. Pasang Surut Laut

I.7.2.1. Pasang surut laut. Pasang surut laut adalah pergerakkan naik dan turun permukaan air laut secara periodik yang disebabkan karena adanya gaya tarik benda-benda luar angkasa (De jong, dkk., 2010). Posisi air laut yang naik disebut air

(9)

pasang sedangkan posisi air laut yang turun disebut air surut, kedua fenomena ini terjadi secara bergantian sesuai dengan periode waktu tertentu. Suatu wilayah mengalami pasang dan surut dalam waktu yang berbeda, periode rata-rata fenomena pasang dan surut sekitar 12,5 jam tergantung dari posisi geografis suatu wilayah dipermukaan bumi (Wright, dkk., 1999).

I.7.2.2. Gaya pembangkit pasang surut. Fenomena pasang surut terjadi dikarenakan adanya interaksi antara bumi dengan benda-benda langit seperti bulan dan matahari. Pada abad ke-17 Sir Isaac Newton mengemukakan teori tentang pasang surut setimbang yang menyatakan bahwa pada sistem benda dengan massa m1 dan m2 akan terjadi interaksi gaya tarik menarik sebesar F diantara keduanya yang besarnya sebanding dengan perkalian massanya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya :

... (I.1) dalam hal ini,

F : gaya gravitasi

G : konstanta gravitasi ( 6.6725985 . 10-10 m3kg-1s-2)

m1 : massa benda pertama

m2 : massa benda kedua

r : jarak antara titik pusat massa benda pertama dengan titik pusat massa benda kedua

Teori ini juga menjelaskan bahwa gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar jika dibandingkan dengan gaya tarik matahari terhadap bumi, hal ini disebabkan karena jarak antara titik pusat massa bulan ke titik pusat massa bumi lebih pendek jika dibandingkan dengan jarak titik pusat massa matahari ke titik pusat massa bumi. Pasang surut yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi dapat terjadi karena adanya gaya pembangkit pasang surut. Gaya pembangkit pasang surut ini dibagi menjadi 2 yaitu gaya gravitasi dan gaya sentrifugal. Gaya gravitasi akan menyebabkan benda akan terus berada disekitar pusat gravitasi dan arahnya menuju ke dalam (arah pusat gravitasi) sedangkan gaya sentrifugal akan membuat benda saling menjauhi dan arahnya keluar (berlawanan gaya gravitasi).

(10)

Gambar I. 3. Arah gaya sentrifugal dan gaya gravitasi bulan yang bekerja di permukaan bumi (sumber : Wright, dkk., 1999)

Pada Gambar I.3 arah panah berwarna biru menunjukkan gaya gravitasional yang disebabkan oleh gaya tarik bulan, arah panah merah menunjukkan gaya sentrifugal dan arah panah berwarna ungu menunjukkan gaya pembangkit pasang surut. Pada permukaan bumi terdapat 2 sisi permukaan bumi yaitu satu sisi yang menghadap ke bulan (titik G) dan satu sisi tidak menghadap ke bulan (titik A). Pada titik G gaya gravitasi yang disebabkan oleh gaya tarik bulan akan lebih besar jika dibandingkan dengan gaya sentrifugal nya (FgG > FsG) sehingga benda yang ada pada titik G akan cenderung menjauhi bumi ke arah bulan. Sedangkan pada titik A gaya gravitasi yang disebabkan bulan lebih kecil jika dibandingkan dengan gaya sentrifugal nya (FgA < FsA) sehingga benda yang berada pada titik A cenderung akan menjauhi bumi pada arah menjauhi bulan. Gaya gravitasi dan gaya sentrifugal pada titik yang sama di permukaan bumi akan saling berlawanan sehingga kedua gaya ini akan membentuk suatu resultan gaya yang disebut dengan gaya pembangkit pasang surut (Wright, dkk., 1999). Gaya sentrifugal yang bekerja pada semua titik yang berada di permukaan bumi sama dengan gaya sentrifugal yang bekerja di pusat massa bumi sedangkan gaya gravitasi nya berbeda tergantung posisi nya terhadap

(11)

bulan sehingga untuk menghitung gaya pembangkit pasang surut pada suatu titik maka dapat dilakukan dengan mengurangi gaya gravitasi dengan gaya sentrifugal nya (Wright, dkk., 1999).

...(I.2) Persamaan I.2 dapat diuraikan menjadi :

...(I.3) persamaan I.3 dapat disederhanakan menjadi :

...(I.4) apabila dibandingkan antara nilai r dan a maka nilai a akan jauh lebih kecil daripada nilai r sehingga tidak akan berpengaruh secara signifikan pada persamaan I.4. Oleh karena itu nilai a dapat dihilangkan dan persamaan I.4 menjadi :

...(I.5) Persamaan 1.5 dapat disederhanakan menjadi :

...(I.6) dalam hal ini,

: gaya gravitasi yang bekerja pada titik G : gaya sentrifugal yang bekerja pada titik G

: gaya pembangkit pasang surut yang bekerja pada titik G : konstanta gravitasi ( 6.6725985 . 10-10 m3kg-1s-2)

m1 : massa benda bumi

m2 : massa benda bulan

r : jarak antara titik pusat massa bumi dengan titik pusat massa bulan

(12)

Berdasarkan geometrik posisi bulan-bumi-matahari menyebabkan 2 fenomena pasang surut yaitu pasang purnama (spring tide) dan pasang perbani (neap tide) (De Jong, dkk., 2010). Pasang purnama adalah fenomena pasang surut yang terjadi ketika bulan, bumi dan matahari berada pada satu garis lurus yang menyebabkan adanya akumulasi gaya tarik matahari dan bulan terhadap bumi. Pada kondisi ini ketinggian permukaan air yang menghadap bulan dan matahari akan mengalami pasang maksimum.

Gambar I. 4. Geometrik sistem bumi-bulan-matahari pada fenomena pasang purnama (dimodifikasi dari De Jong, dkk., 2010)

Pasang perbani adalah fenomena pasang surut yang terjadi saat kedudukan matahari tegak lurus dengan sumbu bumi dan bulan. Pada kondisi ini permukaan air laut yang mengahadap ke bulan akan mengalami pasang maksimum sedangkan permukaan air laut yang menghadap ke matahari akan mengalami pasang minimum.

Matahari Bulan baru Bulan purnama Pasang maksimum Pasang minimum Bumi

(13)

Gambar I. 5. Geometrik sistem bumi-bulan-matahari pada fenomena pasang perbani (dimodifikasi dari De Jong, dkk., 2010)

I.7.2.3. Komponen pasang surut. Pasang surut merupakan penjumlahan dari komponen-komponen pasang surut yang diakibatkan oleh adanya gaya tarik dari bulan, matahari dan benda langit lainnya terhadap bumi. Bulan, matahari dan benda langit lainya memiliki periode masing-masing dalam melakukan pergerakan disistem tata surya. Karena pergerakkan benda langit yang paling dominan adalah bulan dan matahari maka komponen pasang surut banyak dipengaruhi oleh pergerakkan bulan dan matahari. Dibawah ini adalah komponen pasang surut yang dibagi menjadi komponen pasang surut semi-diurnal, diurnal, dan periode panjang.

Matahari

Kuarter pertama Kuater ketiga Pasang maksimum

Pasang minimum Bumi

(14)

Tabel I. 1. Tabel Komponen Pasang Surut

(sumber : Wright, dkk., 1999)

I.7.2.4. Jenis pasang surut. Di suatu wilayah perairan dapat terjadi pasang surut sebanyak satu kali atau dua kali tergantung dari bentukan garis pantai dan karateristik dari wilayah perairan. Menurut De Jong dkk (2010) jenis pasang surut disuatu wilayah perairan dapat dikategorikan kedalam 4 jenis antara lain:

1. Semi Diurnal Tide (pasang surut harian ganda)

Pada tipe pasang surut ini terjadi peristiwa dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan ketinggian muka air yang hampir sama dengan periode pasang surut terjadi selama 24 jam 50 menit. Di perairan indonesia tipe pasang ini terjadi di wilayah perairan selat Malaka sampai ke Laut Andaman.

2. Diurnal Tide (pasang surut harian tunggal)

Pada tipe pasang surut ini terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut dengan periode pasang surut selama 12 jam 24 menit. Di perairan Indonesia tipe pasang ini terjadi di wilayah perairan selat Karimata.

3. Mixed mainly Semi-Diurnal Tide (pasang surut campuran condong ke harian ganda)

Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut. Pada pasang tipe ini ketinggian permukaan air saat pasang dan periode yang berbeda. Di perairan indonesia tipe pasang ini terjadi di perairan Indonesia Timur.

Komponen pasang surut Simbol Periode (jam) Semi-diurnal

Principal lunar M2 12.42

Principal solar S2 12.00

Larger lunar ecliptic N2 12.66

Luni-solar K2 11.97 Diurnal Luni-solar K1 23.93 Principal lunar O1 25.82 Principal solar P1 24.07 Longer periode Lunar fortnightly Mf 327.86 Lunar monthly Mm 661.30

(15)

4. Mixed mainly Diurnal Tide (pasang surut campuran condong ke harian tunggal)

Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut dengan ketinggian permukaan air dan periode yang sangat berbeda. Tipe pasang surut ini terjadi di wilayah pantai selatan Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat. Menurut De Jong dkk (2010), penentuan jenis pasang surut dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Formzahl seperti pada persamaan di bawah ini.

... (I.7) dalam hal ini,

: bilangan Formzahl

K1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari.

O1 : amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan

M2 : amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan

S2 : amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Formzahl dapat diketahui tipe pasang surut yang terjadi pada perairan tersebut. Di bawah ini merupakan tipe pasang surut yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok berdasarkan angka bilangan

Formzahl yang dihasilkan dari proses perhitungan : 0 < Nf < 0,25 : Harian Ganda

0,25 < Nf < 1,5 : Campuran condong ke harian ganda 1,5 < Nf < 3 : Campuran condong ke harian tungal Nf > 3 : Harian tunggal

(16)

I.7.2.5. Analisis harmonik komponen pasang surut. Menurut Syathari (2014), analisis harmonik pasang surut adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui sifat dan karateristik dari gelombang pasang surut pada suatu lokasi tertentu melalui hasil pengamatan pasang surut dalam kurun waktu tertentu. Menurut De Jong (2010), proses analisis harmonik komponen pasang surut akan menghasilkan ketinggian permukaan pasang surut akibat adanya gaya pembangkit pasang surut. Proses analisis harmonik pasang surut membutuhkan nilai amplitudo, fase dan kecepatan sudut untuk masing-masing komponen pasang surut. Untuk menghitung ketinggian permukaan air laut pada periode waktu (t) tertentu digunakan persamaan berikut ini (Soeprapto, 1993) :

...(I.8) dalam hal ini,

: tinggi muka air fungsi dari waktu

Ai : amplitudo komponen ke-i : kecepatan sudut komponen ke-i

: fase komponen ke-i

: tinggi muka air rerata

t : waktu

k : jumlah komponen : residu

persamaan I.8 dapat diuraikan menjadi :

...(I.9)

Jika dimisalkan :

= Ardan = Br

Maka persamaan I.9 menjadi :

...(I.10)

dalam hal ini,

(17)

k : jumlah komponen pasang surut t : waktu pengamatan tiap jam I.7.3. Arus dan Gelombang

I.7.3.1. Arus laut. Menurut Azis (2006), arus laut adalah gerakan massa air dari suatu tempat (posisi) ke tempat yang lain. Pergerakkan massa ini disebabkan oleh perbedaan energi yang diterima oleh permukaan bumi. Matahari merupakan sumber energi panas yang dapat menimbulkan terjadinya penguapan air laut sehingga belahan bumi yang terkena matahari akan mengalami penguapan sedangkan belahan bumi yang lain tidak. Penguapan ini akan mengurangi ketinggian dari permukaan air laut sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan ketinggian permukaan air laut. Perbedaan ketinggian permukaan air laut ini akan menyebabkan pergerakkan massa air laut dari suatu tempat ke tempat lain. Sirkulasi arus laut terbagi menjadi 2 yaitu, sirkulasi dipermukaan air laut dan didalam laut yang masing-masing disebabkan oleh 2 hal yaitu, angin dan perbedaan densitas air laut. Angin akan menimbulkan pergerakkan di permukaan air laut sedangkan perbedaan densitas akan menimbulkan pergerakkan di bawah air laut.

Kecepatan arus permukaan diindonesia yang kuat rata rata berada pada posisi lintang 0.250 LU atau sekitar garis khatulistiwa sedangkan arus permukaan yang lemah rata rata berada di perairan yang jauh dari garis khatulistiwa. Hal ini disebabkan karena tekanan udara pada daerah disekitar garis khatulistiwa lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Oleh karena itu semakin tinggi tekanan udara wilayah perairan maka akan membuat kecepatan arus permukaan semakin cepat begitu juga sebaliknya semakin menjauhi garis khatulistiwa maka kecepatan arus permukaan akan semakin lemah (Widyastuti, dkk., 2010).

I.7.3.2. Arus lintas Indonesia (ARLINDO). Menurut Hasanuddin (2009), dalam penelitian tentang arus lintas Indonesia menyatakan bahwa arus lintas Indonesia merupakan aliran sejumlah massa air yang melewati wilayah perairan Indonesia Timur yang berasal dari Samudera Hindia dan Pasifik. Aliran massa air ini merupakan akibat adanya perbedaan ketinggian antara kedua samudera tersebut.

Menurut Wyrtki (1987), perbedaan ketinggian yang terjadi pada waktu monsun timur adalah setinggi 28 cm (tinggi maksimum) dan pada waktu monsun

(18)

barat adalah setinggi kurang dari 10 cm (tinggi minimum). Perbedaan ketinggian tersebut didasarkan pada pengukuran yang dilakukan antara di Davao, Filipina (Pasifik) dan di Darwin, Australia (Hindia). Perbedaan inilah yang menyebabkan terjadi nya gradien tekanan yang menimbulkan perpindahan sejumlah massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia.

Menurut Hasanuddin (2009), ada 2 jenis massa air yang menjadi komponen arus lintas Indonesia yaitu massa air yang berasal dari Pasifik Utara dan massa air Pasifik Selatan. Ada 3 pintu masuk utama massa air dari Samudera Pasifik menuju ke Samudera Hindia melewati perairan Indonesia yaitu :

1. Pintu pertama (Selat Makassar). Massa air dari Samudera Pasifik memasuki Laut Sulawesi kemudian masuk ke perairan indonesia lewat Selat Makassar. Di Selat Makassar massa air ini dibagi menjadi 2 jalur yaitu menuju kearah timur dan menuju kearah selatan. Massa air yang menuju kearah selatan akan menuju Samudera Hindia dengan melewati Selat Lombok sedangkan massa air yang menuju ke timur akan menuju Laut Banda dengan melewati Laut Flores (Hasanuddin, 2009).

2. Pintu kedua (Laut Maluku). Massa air dari Samudera Pasifik memasuki Laut Seram yang berada diantara Pulau Lifamatola dan Pulau Obi kemudian dari Laut Seram massa air ini akan menuju Laut Banda melalui Selat Manipa (Ilahude dan Gordon 1994).

3. Pintu ketiga (Laut Halmahera). Massa air dari Samudera Pasifik memasuki Laut Halmahera kemudian menuju Laut Seram dan Cekungan Aru dan bertemu di Laut Banda (Fieux, dkk., 1995).

Massa air dari ketiga pintu ini akan bertemu dilaut Banda yang kemudian akan dialirkan ke Samudera Hindia melewati 2 jalur yaitu Jalur pertama adalah Selat Ombai – Laut Sawu – Selat Sumba, Selat Sawu, Selat Roti dan Jalur kedua adalah melewati selatan Pulau Timor – melewati celah antara Pulau Roti dengan Benua Australia.

Dengan adanya ARLINDO di Indonesia dan bentuk dari topografi dasar laut yang beragam sehingga akan mempengaruhi aliran massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Menurut Hasanuddin (2009), kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya proses upwelling seperti yang terjadi di bagian barat Laut

(19)

Flores yang disebabkan oleh adanya “sill” yang berada di ujung akhir Selat Makassar dengan kedalaman 550 meter. Kondisi ini akan menyebabkan terhalangnya aliran massa air pada kedalaman lebih dari 550 meter sedangkan aliran massa air pada kedalaman kurang dari 550 meter akan tetap mengalir ke Laut Flores. Aliran massa air pada kedalam kurang dari 550 meter ini seolah-olah akan menyeret massa air pada kedalam lebih dari 550 meter kearah timur (Laut Flores) sehingga akan terjadi kekosongan massa air pada kedalaman kurang dari 550 meter. Kekosongan ini yang kemudian akan diisi oleh massa air bagian bawah yang naik ke atas.

I.7.3.3. Transformasi gelombang. Gelombang diperairan dalam yang memasuki perairan dangkal atau pantai akan mengalami perubahan kecepatan. Perubahan kecepatan ini akan berakibat pada perubahan gelombang yang akan menimbulkan terjadinya transformasi gelombang (Wright, dkk., 1999). Transformasi gelombang dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :

a. Refraksi.

Refraksi dapat terjadi ketika gelombang mengalami pembelokan dari arah penjalaran gelombang sehingga membuat „muka gelombang‟ sejajar garis pantai. Semakin mendekati pantai atau perairan dangkal maka muka gelombang akan semakin sejajar dengan garis pantai.

(20)

Pada Gambar I.6 S1 dan S2 adalah garis puncak gelombang (muka gelombang). d1 dan d2 adalah garis kontur dasar laut yang memiliki perbedaan ketinggian. Pada Gambar diatas d2 lebih tinggi dari d1 dikarenakan d2 lebih dekat dengan garis pantai (shoreline). Wave ray adalah arah penjalaran gelombang dimana wave ray ini akan berpotongan dengan garis puncak gelombang sehingga akan menimbulkan adanya wave crest (titik A dan B).

Gelombang bergerak dari perairan menuju ke pantai dengan kecepatan tertentu karena semakin mendekati pantai kemudian gelombang akan memasuki perairan yang dangkal (garis d1). Pada titik A bagian gelombang yang memasuki perairan dangkal akan mengalami penjalaran dengan kecepatan yang lebih lambat dari pada bagian gelombang yang masih berada diperairan dalam (titik B). Perubahan kecepatan akan membuat garis puncak gelombang (S1 dan S2) akan membelok dan berusaha sejajar dengan garis pantai. Ketika bagian gelombang pada titik A dan B sudah memasuki perairan dengkal (garis d1) maka garis S1 perlahan-lahan akan membelok menjadi garis S2. Kemudian gelombang akan memasuki perairan yang lebih dangkal (garis d2) maka garis S2 perlahan-lahan akan membelok sehingga semakin mendekati garis pantai garis S2 akan semakin sejajar dengan garis pantai (Dauhan, dkk., 2013).

b. Difraksi.

(21)

Difraksi dapat terjadi ketika gelombang yang membentur suatu obyek sehingga menyebabkan tinggi gelombang menjadi berkurang. Hal ini akan menyebabkan terjadi nya perpindahan energi sepanjang puncak gelombang ke arah tinggi gelombang yang lebih kecil. Perpindahan energi ini menyebabkan pada bagian gelombang ini akan memiliki energi yang cukup besar sehingga akan mendorong gelombang untuk berbelok. Pembelokan gelombang ini terjadi disekitar ujung rintangan dan membelokkan gelombang kearah bagian perairan yang terlindungi dibelakang rintangan (Triatmodjo, 1999) .

c. Refleksi.

Gelombang mengalami refleksi karena gelombang memasuki perairan yang sempit sehingga gelombang yang datang akan dipantulkan kembali kearah laut sehingga menghasilkan gelombang pantul yang disebut gelombang berdiri (standing waves).

Gambar I. 8. Refleksi gelombang air laut

(sumber : http://www.clemson.edu/ces/phoenix/labs/224/standwave/)

Pada Gambar I.8 terdapat gelombang pancar (incident wave), gelombang pantul (reflected wave), dan titik simpul (node). Pada perambatannya gelombang pancar dan gelombang pantul melewati titik yang sama. Titik ini merupakan titik persilangan antara dua gelombang yang disebut titik amphidromik. Hal ini terjadi karena titik simpul tidak mengalami pergerakkan secara vertikal dalam sistem penjalaran gelombang.

(22)

I.7.4. Titik Amphidromik

Kombinasi bentuk geometri basin didasar laut dan efek yang ditimbulkan oleh gaya coriolis menyebabkan terbentuk gelombang pasang surut yang bergerak memutar pada suatu wilayah perairan yang disebut sistem amphidromik (Wright, dkk., 1999). Gelombang pasang surut memasuki suatu wilayah perairan semi tertutup kemudian akan dibelokkan oleh gaya coriolis sehingga menyebabkan gelombang akan bergerak memutar pada wilayah tersebut (De Jong, dkk., 2010). Gelombang pasang surut bergerak memutari suatu titik dipermukaan air laut yang disebut titik amphidromik. Titik amphidromik adalah titik-titik dipermukaan laut yang tidak mengalami pergerakkan secara vertikal dalam sistem penjalaran gelombang. Pada titik amphidromik nilai amplitudo gelombang pasang surut adalah nol dan akan semakin bertambah jika semakin menjauh dari titik amphidromik (NOAA, 2000).

Gambar I. 9. Sistem amphidromik perairan global pada konstanta pasang surut M2 (sumber : Wright, dkk., 1999)

Pada Gambar I.9 garis yang berwarna merah adalah garis co-phase dan garis yang berwarna biru adalah garis co-range. Garis co-range adalah garis yang menghubungkan titik-titik yang memiliki nilai amplitudo yang sama dan akan berpotongan dengan garis co-phase (NOAA, 2000). Garis co-phase adalah garis yang menghubungkan titik-titik yang memiliki fase yang sama dan seolah-olah akan

(23)

memancar keluar dari titik amphidromik (NOAA, 2000). Nilai amplitudo dituliskan dengan satuan meter sedangkan nilai fase dituliskan dalam satuan derajat. Pada garis

co-phase terdapat angka 1 sampai 11 yang menujukkan jam dari garis co-phase

sedangkan pada garis co-range terdapat angka yang menunjukkan nilai dari amplitudo.

Pada perairan global didunia sistem amphidromik memiliki 2 arah rotasi gelombang pasang surut yaitu rotasi yang searah dengan jarum jam dan berlawanan dengan jarum jam yang disebabkan oleh adanya gaya coriolis. Perbedaan arah rotasi gelombang pasang surut ini didasarkan pada letak wilayah dipermukaan bumi, rotasi gelombang pasang surut yang searah jarum jam terjadi dibelahan bumi bagian selatan sedangkan rotasi yang berlawanan dengan arah jarum jam terjadi dibelahan bumi bagian utara (Wright, dkk., 1999). Untuk dapat mengetahui bagaimana arah dari rotasi gelombang pasang surut maka dapat dilihat pada urutan garis co-phase yang menunjukkan urutan jam terjadi nya gelombang. Gelombang pasang surut akan bergerak dari angka urutan yang kecil ke angka yang lebih besar.

I.7.5. Model Pasang Surut Global TPXO 7.1

Model Pasut Global TPXO 7.1 adalah model pasang surut yang menggunakan teknik asimilasi dalam melakukan penggabungan informasi data pasang surut. Teknik asimilasi pada model pasang surut merupakan penggabungan antara data hasil pengamatan permukaan air laut menggunakan satelit altimetri (TOPEX/Poseidon) dan pengukuran pasang surut langsung pada stasiun pengamatan pasut. Resolusi spasial dari model pasang surut global TPXO 7.1 sebesar 0,25o x 0,25o (Fok, 2012). TOPEX/Poseidon dapat melakukan pengukuran ketinggian permukaan air laut secara periodik dengan interval waktu 10 hari dan tingkat akurasi hingga 2-3 cm dengan mengabaikan kecepatan cahaya. Pengukuran satelit altimetri dengan jarak antar ground track di ekuator bumi sejauh 315 km atau lebar bujur 3o .Pengukuran ketinggian permukaan air laut yang dilakukan oleh satelit altimetri dilakukan dengan interval waktu 10 hari sedangkan perubahan ketinggian permukaan air laut terjadi setiap saat sehingga pengukuran dengan satelit ini tidak menggambarkan ketinggian permukaan air laut secara teliti. (Rosmorduc, dkk., 2011). Oleh karena itu diperlukan adanya data hasil pengukuran di stasiun pasut yang

(24)

diukur setiap saat, hal ini bertujuan untuk mengisi kekurangan data pengukuran satelit altimetri yang diukur selama 10 hari sekali. Data pasang surut dari satelit altimetri dan stasiun pasut diasimilasikan dengan menggunakan OTIS (Oregon state university Tidal Inversion Software) kedalam persamaan hidrodinamika (Fok, 2012).

Model Pasut Global TPXO 7.1 ini dikembangkan pada tahun 2003 oleh Oregon State University (OSU), Amerika Serikat. Model pasut ini dapat dijalankan dengan menggunakan perangkat lunak tidal model driver sehingga dapat digunakan untuk mengekstrak komponen harmonik pasang surut dan juga memprediksi pasang surutu di permukaan laut dari model pasut. Model pasang surut global TPXO 7.1 memiliki 4 files yaitu model_tpxo7.1, h_tpxo7.1, u_tpxo7.1 dan grid_tpxo7.1. File

model_tpxo7.1 merupakan file dalam bentuk ASCII sedangkan h_tpxo7.1, u_tpxo7.1

dan grid_tpxo7.1 merupakan file dalam bentuk biner. Pada file h_tpxo7.1 berisikan tentang koefisien grid untuk data tinggi gelombang, file u_tpxo7.1 berisikan data kecepatan pada gelombang dan file grid_tpxo7.1 berisikan tentang data grid batimetry (Padman, 2005).

Tidal Model Driver (TMD) adalah perangkat lunak yang dapat digunakan untuk melakukan pemodelan pasang surut laut dengan melakukan ekstraksi data komponen harmonik dan ramalan ketinggian pasang surut dengan menggunakan model pasang surut (Padman, 2005). TMD merupakan perangkat lunak yang terdiri dari 2 komponen yaitu:

1. tampilan grafis yang berisi tampilan untuk menjelajah serta menentukan medan pasang surut.

(25)

Gambar I.10 merupakan tampilan dari Tidal Model Driver setelah dijalankan di program Matlab. Komponen pasang surut yang dapat diekstrak adalah M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1, Q1, M1, Mm, dan M4. Untuk melakukan proses ekstraksi data komponen pasang surut dapat dilakukan menginputkan satu per satu titik pengamatan atau memasukkan sejumlah koordinat titik-titik pengamatan kedalam notepad lalu menginputkan nya kedalam TMD. Nilai variable yang dapat diekstrak antara lain “u” (east velocity/kecepatan arah x), “v” (north velocity/kecepatan arah y), “z” (elevation), “Ell”(tidal ellipse/ellipse pasang surut), “U”(east transport), “V”(north transport).

2. tampilan script untuk mengakses daerah pasang surut dan memprediksi pasang surut. Dalam prediksi pasang surut diperlukan script untuk menjalankan program prediksi pasang surut. Beberapa script memiliki fungsi sebagai berikut :

a. tmd_exerciser.m, kegunaan dari fungsi ini adalah untuk mendemonstasikan bagaimana caranya untuk menampilkan tampilan utama TMD sehingga dapat digunakan fungsi operasi lainnya.

b. get_bathy.m, kegunaan dari fungsi ini adalah untuk memanggil kembali nilai lintang, bujur dan kedalaman perairan pada model yang sedang dijalankan.

c. extract_hc.m, kegunaan dari fungsi ini adalah untuk mengekstraks komponen harmonik pasang surut pada suatu lokasi yang telah ditentukan. d. tide_pred.m, kegunaan dari fungsi ini adalah untuk membuat prediksi dari

variabel pasang surut pada lokasi yang telah ditentukan sebelumnya. Pada fungsi ini juga dimungkinkan untuk memilih komponen harmonik pasang surut yang akan diekstrak dan prediksi ini dibuat berdasarkan koreksi nodal. e. ellipse.m, kegunaan dari fungsi ini adalah untuk menghitung parameter

ellipse pasang surut (setengah sumbu panjang, setengah sumbu pendek dan fase ellipse)

(26)

I.7.6. Interpolasi

Interpolasi adalah suatu metode yang digunakan untuk membuat titik-titik baru berdasarkan sejumlah data titik-titik yang telah diketahui nilai elevasi nya. Tujuan pembuatan titik-titik baru adalah untuk mengetahui nilai pada suatu lokasi yang memiliki kekurangan sampel data titik-titik. Titik-titik baru dan titik-titik yang telah diketahui nilai elevasinya dikombinasikan untuk membuat suatu model permukaan. Model permukaan yang dihasilkan dapat bermacam-macam model permukaan tergantung nilai apa yang digunakan untuk menginterpolasi. Apabila nilai ketinggian permukaan tanah maka model yang dihasilkan adalah model permukaan bumi tetapi apabila nilai ketinggian air laut maka model yang dihasilkan adalah model permukaan laut.

I.7.7.1. Interpolasi triangulated irregular network. Triangulated irregular network

merupakan suatu permukaan terain yang terdiri dari banyak segitiga (Lee, 1991). Interpolasi triangulated irregular network merupakan salah satu metode interpolasi yang menggunakan jaringan segitiga untuk menghubungkan antara titik satu dengan yang lainnya. Titik-titik yang dihubungkan adalah titik-titik yang memiliki nilai elevasi serta koordinat x dan y. Hasil dari proses interpolasi ini adalah terbentuknya model permukaan berdasarkan data titik-titik yang memiliki nilai elevasi. Pada umumnya model TIN (Triangulated Irregular Network) untuk membuat garis kontur. Algoritma dalam membangun jaring segitiga adalah (Ma, dkk., 2011) :

1. Menentukan satu titik yang yang akan digunakan sebagai titik awal.

2. Menentukan titik kedua yang posisinya terdekat dengan titik awal. Membuat garis yang menghubungkan kedua titik tersebut. Garis ini disebut sebagai garis baseline segitiga.

3. Menentukan titik ketiga yang posisinya terdekat dengan garis baseline. Membuat garis yang menghubungkan antara titik awal dan titik kedua dengan titik ketiga sehingga terbentuk 3 garis baseline.

4. Ketiga garis baseline digunakan sebagai acuan untuk membuat garis-garis

(27)

I.7.7.2. Interpolasi natural neighbor. Interpolasi natural neighbor merupakan metode interpolasi yang bersifat lokal dimana dalam proses menentukan nilai suatu titik menggunakan nilai titik-titik sampel yang berada disekitar titik yang ingin diinterpolasi. Hasil interpolasi ini menghasilkan nilai yang mirip dengan nilai titik-titik sampel yang digunakan sebagai nilai masukkan. Setiap titik-titik pada metode ini adalah titik yang dihubungkan dengan diagram voronoi (Thiessen Polygon). Metode ini menghubungkan titik-titik masukkan satu dengan yang lainnya dan membentuk segitiga (triangulation). Setelah titik-titik masukkan dihubungkan kemudian membangun diagram voronoi (thiessen polygon) untuk semua titik-titik masukkan yang digunakan dalam proses interpolasi (Pasaribu dan Haryani, 2012).

a b

Gambar I. 11. Gambar diagram voronoi (Thiessen Polygon) (a) sebelum ditambahkan titik sampel x (b) setelah ditambahkan titik sample x

(sumber : dimodifikasi dari Ledoux. dan Gold, 2005).

Pada Gambar I.11 (a) titik p1, p2, p3, p4, p5, p6 adalah titik-titik masukkan yang akan digunakan dalam proses interpolasi. Titik x pada Gambar I.11 (b) adalah titik sampel yang akan dihitung nilai elevasi nya. Garis yang berwarna merah adalah diagram voronoi (Thiessen Polygon). Bentuk dari diagram voronoi pada Gambar I.11 (a) berubah menjadi seperti Gambar I.11 (b) dikarenakan adanya penambahan titik x. Konsep perhitungan elevasi titik sampel pada metode ini adalah dengan mengkalikan nilai bobot masing-masing wilayah diagram voronoi dengan nilai elevasi titik

(28)

masukkan nya (p1, p2, p3, p4, p5, p6). Rumus untuk menghitung nilai bobot ( ) pada wilayah diagram voronoi sebagai berikut ( Ledoux dan Gold, 2005):

...(I.11) Dalam hal ini, adalah nilai bobot pada area diagram voronoi titik titik p i, adalah luas area diagram voronoi dari titik p ke-i sebelum titik sample x ditambahkan, adalah luas area diagram voronoi dari titik p ke-i setelah titik sample x ditambahkan. Setelah nilai bobot didapatkan kemudian untuk menghitung nilai elevasi dari titik sampel (x) menggunakan rumus sebagai berikut ( Ledoux dan Gold, 2005):

∑ ...(I.12) Dalam hal ini, adalah nilai elevasi pada titik i yang akan digunakan untuk interpolasi.

I.8. Hipotesis

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Robertson dan Field (2008) tentang pasang baroklinik dan barotropik diperairan Indonesia pada ke-4 komponen pasut (M2, S2, K1, O1) diindikasikan adanya pemusatan arus di Selat Makassar dan Laut Seram. Oleh karena itu hipotesis awal (Ho) pada penelitian ini adalah terdapat titik amphidromik yang terbentuk diperairan Selat Makassar dan Laut Seram berdasarkan gambaran peta co-range dan co-phase pada ke-4 komponen pasang surut.

Gambar

Gambar I. 1. Peta co-range dan co-phase perairan global   (sumber : http://sealevel.jpl.nasa.gov)
Gambar I. 3. Arah gaya sentrifugal dan gaya gravitasi bulan yang bekerja di  permukaan bumi (sumber : Wright, dkk., 1999)
Gambar I. 4. Geometrik sistem bumi-bulan-matahari pada fenomena pasang purnama  (dimodifikasi dari De Jong, dkk., 2010)
Gambar I. 5. Geometrik sistem bumi-bulan-matahari pada fenomena pasang perbani  (dimodifikasi dari De Jong, dkk., 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jarak antara sensor tersebut dihitung dengan cara mengalikan setengah waktu yang digunakan oleh sinyal ultrasonik dalam perjalanannya dari rangkaian Tx

RM Pelaksanaan Sesuai SPO Tanda Tangan &amp; Nama Jelas Karu/CI/ Ketua Tim YA TIDAK 1 2 3 4 5.. No Tanggal Inisial Pasien

pemeliharaan, penggantian komponen aset tetap serta perbaikan aset tetap yang biayanya relatif kecil. Aset tetap mempunyai batas waktu pemakaian dan apabila perusahaan

Penghargaan Yang Diperoleh Penghargaan Nihil Kecelakaan dari Menteri Pekerjaan Umum dan Transmigrasi untuk Proyek 1 Park di tahun 2012 Penghargaan Nihil Kecelakaan dari

Kajian ini dilakukan terhadap artikel yang dimuat pada Jurnal Media Peternakan yang diterbitkan oleh Fakultas Peternakan IPB terbitan selama 10 tahun terakhir yaitu dari tahun

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji pengaruh bahan penyalut maltodekstrin yang digunakan pada mikroenkapsulasi probiotik bakteri asam laktat (BAL) dengan

Jika dilihat besarnya perubahan di tahun 2016, kenaikan NTN tertinggi terjadi pada bulan Februari sebesar 1,85 persen karena indeks harga yang diterima nelayan pada bulan yang sama