• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkotaan dan Lingkungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkotaan dan Lingkungan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkotaan dan Lingkungan

Richardson (1978) menyatakan kota merupakan suatu wilayah administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah, kepadatan penduduknya tinggi, sebagian besar wilayahnya merupakan daerah terbangun dengan jalur lalu lintas dan transportasi, merupakan kegiatan perekonomian non–pertanian. Budihardjo dan Hardjohubodjo (1993) menyatakan kota-kota di Indonesia pada umumnya berkembang secara laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan menyeluruh dan terpadu. Kota-kota di Indonesia tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu relatif pendek.

Berkaitan dengan tata guna lahan perkotaan, Almeida et al. (2003) melakukan penelitian mengenai permodelan dinamik tata guna lahan perkotaan berkelanjutan. Eksperimen dilakukan dengan membangun sebuah panduan metodologis untuk pemodelan perubahan tata guna lahan perkotaan melalui metode statistik ”pembobotan bukti”. Variabel-variabel yang menjelaskan dapat bersifat endogen (melekat dalam sistem transformasi tata guna lahan) atau eksogen (di luar sistem). Variabel-variabel endogen berkaitan dengan ciri-ciri lingkungan alam dan buatan manusia maupun berbagai aspek sosial ekonomi dari sebuah kota, seperti legislasi peruntukan dan legislasi perkotaan; prasarana teknik dan sosial; topografi; kawasan lindung/konservasi; pasar real estate; kesempatan kerja; adanya pusat-pusat kegiatan yang terpolarisasi seperti mall, taman-taman tematik, tempat peristirahatan, dan seterusnya. Hasil pemodelan ini menunjukkan bahwa dinamika tata guna lahan memberikan estimasi pada perkembangan perkotaan berkelanjutan.

Djayadiningrat (2001) mengungkapkan bahwa pada abad kedua puluh satu keseimbangan lingkungan hidup buatan mengalami gangguan. Inilah yang dianggap sebagai awal krisis lingkungan akibat manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. Berbagai fenomena terjadi akibat kesalahan yang dilakukan para pengelola kota dalam penataan ruangnya, yang dapat dilihat mulai dari aras (level). Sebagai contoh, buruknya fasilitas transportasi, kurang lancarnya telekomunikasi, serta kurang memadainya air bersih dan prasarana umum lainnya.

(2)

Rahardjo (2003) dalam penelitian mengenai upaya pengendalian lahan di perkotaan mengungkapkan dengan semakin liberalnya ekonomi dan adanya desentralisasi pemerintahan yang berwujud otonomi memberikan kebebasan pada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Sisi negatif dari kebijakan ini dapat berakibat pada terjadinya penurunan mutu lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah kurang baiknya pengelolaan dan penggunaan lahan. Untuk mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan lahan, diperlukan suatu penanganan terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan institusi terkait dengan lahan itu sendiri, baik pemerintah maupun swasta. Salah satu upaya untuk menghilangkan dan mengurangi dampak negatif tersebut adalah melalui manajemen lahan. Kesalahan dalam manajemen lahan dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, dan tanah berubah menjadi marjinal yang tidak dapat ditanami, serta rusaknya ekosistem alam. Kekuatan yang mendorong degradasi lahan tersebut antara lain, cepatnya pertambahan populasi, kebijakan ekonomi yang mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan dipercepat oleh buruknya manajemen pembangunan kota. Khusus bagi daerah perkotaan, terbatasnya pasokan lahan mengakibatkan lahan menjadi mahal sehingga mendorong para investor yang bergerak dalam sektor properti mengkonversi sawah, situ dan lahan pertanian menjadi lahan permukiman.

Permasalahan perkotaan hasil kajian Ionnides dan Rossi-Hausberg (2004) menunjukkan bahwa pertumbuhan perkotaan sebagai salah satu gejala ekonomi berkaitan dengan proses urbanisasi. Kajian ruang kegiatan ekonomi yang diukur dengan populasi, output dan pendapatan, pada umumnya terkonsentrasi. Perpindahan penduduk secara besar – besaran dari pedesaan ke perkotaan telah memicu berbagai pertumbuhan perkotaan di seluruh dunia. Gejala lain adalah kecenderungan hilangnya ruang terbuka hijau akibat kurang jelasnya pengaturan dan pemanfaatan ruang. Dampak yang ditimbulkan sangat menyedihkan, mulai dari ketidaknyamanan penduduk akibat kurangnya sarana dan prasarana lingkungan, kesengsaraan masyarakat akibat banjir, sampai masalah sosial, karena benturan berbagai kepentingan pemanfaatan lahan. Richardson (1978) mengungkapkan di lokasi yang dekat dengan pusat kota, penggunaan lahan yang paling cocok adalah untuk tujuan komersial dan industri ringan. Hal ini

(3)

disebabkan adanya akses besar yang dimiliki oleh lahan terhadap berbagai pelayanan kota, disamping nilai lahannya sendiri.

Degradasi lingkungan tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi degradasi lingkungan yang mengancam perkotaan adalah upaya – upaya penyusunan tata ruang secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Penataan ruang tidak sekedar pengelolaan perubahan lingkungan binaan dan alam saja, melainkan sebagai upaya untuk penyelesaian berbagai benturan kepentingan yang berbeda.

2.2 Penataan Ruang

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lain hidup melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Anonim, 2007a). Untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan perlu dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmonisasikan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruang wilayah.

Dalam proses penataan ruang wilayah harus dipahami terlebih dahulu konsep mengenai wilayah. Ada beberapa pengertian wilayah yang terkait aspek keruangan yang harus dipahami terlebih dahulu. Konsep wilayah dalam proses penataan ruang harus meliputi konsep ruang sebagai ruang wilayah ekonomi, ruang wilayah sosial budaya, ruang wilayah ekologi, dan ruang wilayah politik. Wilayah itu sendiri adalah batasan geografis (definisi yang dibatasi oleh koordinat geografis) yang mempunyai pengertian tertentu sesuai fungsi pengamatan tertentu. Pengertian ini menurut Rustiadi et al. (2004) akan selalu terkait dengan aspek kepentingan sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan maupun pertahanan.

(4)

Secara umum beberapa pengertian wilayah ini dapat dikelompokkan sebagai berikut (Rustiadi et al. 2004): (1) ruang wilayah ekologis adalah deliniasi fungsi kesatuan ekosistem berbagai kehidupan alam dan buatan yang membentuk pola ruang ekotipe dan struktur hubungan yang hirarkis antar ekotipe, misalnya daerah aliran sungai (DAS) dengan sub DAS-nya, wilayah hutan tropis dengan struktur bagian hutan tropisnya, (2) ruang wilayah ekonomi adalah deliniasi wilayah yang berorientasi menggambarkan maksud fungsi ekonomi, seperti wilayah konsumsi, perdagangan, serta aliran barang dan jasa, (3) ruang wilayah sosial budaya adalah deliniasi wilayah yang terkait dengan budaya adat dan berbagai perilaku masyarakatnya, misalnya wilayah adat/ marga, suku, maupun wilayah pengaruh kerajaan, (4) wilayah politik, yaitu deliniasi wilayah yang terkait dengan batasan administrasi, yaitu batasan ruang kewenangan kepala pemerintahan yang mengatur dan mengelola berbagai sumberdaya alam dan pemanfaatannya untuk kepentingan pengembangan wilayah yang akan diatur dan yang menjadi kewenangan politik selaku penguasa wilayah. Dalam konteks pemanfaatan ruang, pemahaman terhadap konsep ruang wilayah yang disusun berdasarkan kluster ini menjadi penting untuk dapat secara rinci dan mudah menetapkan variabel-variabel dominan yang mempengaruhi dalam proses pengembangan wilayah.

Penataan ruang adalah suatu proses yang melibatkan berbagai komponen kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan buatan yang saling berkaitan secara sistem. Faktor pendukung kegiatan utama proses penataan ruang perkotaan saling berkaitan dan mempengaruhi secara terus menerus membentuk sistem yang dinamis. Rustiadi et al. (2004) mengatakan bahwa perlu ada koordinasi yang sifatnya lintas wilayah yang baik di era otonomi ini dan penyesuaian dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan rencana tata ruang. Pernyataan ini memberikan gambaran perlu ada kebijakan atau langkah penyesuaian terlebih dahulu untuk dapat melaksanakan rencana tata ruang yang telah disusun. Kebijakan untuk melaksanakan suatu rencana tata ruang harus disusun dalam suatu langkah dengan urutan prioritasnya.

Di beberapa negara, kebijakan pemanfaatan ruang dibuat melalui penyusunan serangkaian langkah kebijakan untuk mengoperasionalkan rencana tata ruang. Rencana tata ruang sebagai acuan makro, sedangkan langkah

(5)

operasionalisasinya sering disebut sebagai kebijakan strategis pembangunan (master plan) atau rencana induk pembangunan yang berisi langkah kebijakan strategis sektor yang mengacu pada rencana tata ruang. Beberapa negara seperti Australia, Kanada, Amerika, dan Jepang telah menerapkan prinsip pengaturan ruang wilayah dengan membuat kebijakan-kebijakan operasional masing-masing sektor yang mengacu pada rencana tata ruang dan ini sering disebut dengan perencanaan penataan ruang strategis (strategic spatial planning) (Djunaedi, 2001).

Perencanaan kebijakan dan strategi dalam penataan ruang lebih untuk menunjukkan sebuah alat untuk dapat mengoperasionalkan rencana tata ruang. Pertimbangan perlunya arahan kebijakan dan strategi dalam operasionalisasi rencana tata ruang antara lain: adanya persoalan koordinasi kebijakan publik khususnya dengan pemerintah lokal, mencari cara bagaimana membuat wilayah perkotaan lebih ekonomis dan kompetitif dengan mengembangkan asset base-nya, perlu menetapkan bentuk kebutuhan ruang sumberdaya alam yang optimal untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, serta bagaimana mengatasi ketidakseimbangan distribusi akses penduduk lokal untuk berhubungan dengan wilayah perkotaan. Untuk itu Healy (2004) menetapkan kriteria dalam kebijakan strategisnya, yaitu (1) skala pengelolaan, (2) skala posisi kota dan wilayahnya, (3) regionalisasi, (4) kelayakan material dan identitas, (5) konsep pengembangannya, (6) bentuk-bentuk representasi hubungan integrasi fungsional.

Dalam penyusunan rencana strategis keruangan kota, Djunaedi (2001) telah melakukan penelitian di Kanada, Amerika, Australia, dan Zimbabwe, serta penerapannya di Indonesia. Studi tersebut menguraikan konsep pentingnya membuat kebijakan dan strategi dengan membuat: visi, misi, isu strategi, dan strategi (makro atau kebijakan) yang dapat dijabarkan dalam rencana tata ruang. Ada 2 konsep dari hasil kajian ini yaitu (1) kebijakan dan strategi disusun bersamaan dalam satu proses untuk dijabarkan dan masuk dalam rencana tata ruang kota, (2) disusun terlebih dahulu rencana strategis yang berisi visi, misi, isu strategis dan kebijakannya, setelah itu baru disusun rencana tata ruang kotanya. Kedua konsep strategi tersebut dibuat dengan menggunakan model SWOT dan selanjutnya rencana tata ruang tersebut diharapkan dapat dioperasionalkan oleh

(6)

eksekutif (Dinas, Bappeda). Persoalannya adalah pada langkah membuat rencana tindak untuk mengoperasionalkan rencana tata ruang sebagai strategi lanjutan yang perlu disusun (Djakapermana dan Djumantri, 2002).

Di Indonesia, pada awal tahun 90-an telah dimulai diperkenalkan alat untuk mengoperasionalkan rencana tata ruang (kota) dalam bentuk rencana induk sistem (RIS) sebagai bagian dari konsep rencana tata ruang kota yang dinamis oleh Ditjen Cipta Karya – Departemen Pekerjaan Umum (Djakapermana dan Djumantri, 2002). RIS diperlukan dengan pertimbangan rencana tata ruang seringkali sulit diimplementasikan secara langsung oleh para manajer pembangunan kota. RIS ini adalah sebagai alat kebijakan bagi pengambil keputusan/ manajer kota (walikota) untuk menjabarkan rencana tata ruang dalam langkah-langkah rencana tindaknya. Dalam hal ini RIS hanya mengatur arahan operasionalisasi pembangunan prasarana perkotaan saja dan analisisnya tidak holistik serta tidak mempertimbangkan faktor dominan pembangunan perkotaan secara keseluruhan.

Dalam perspektif holistik, penyusunan kebijakan dalam operasionalisasi rencana tata ruang harus difokuskan pada tiga hal (Bastian, 2001), yaitu (1) struktur, proses dan kesempatan, (2) aspek alokasi ruang dan hirarkinya, (3) aspek kompleksitas dari berbagai faktor perbedaan dari suatu lansekap.

2.3

Perumahan dan Permukiman

Berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan perdesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian plus prasarana dan sarana lingkungan (Anonim, 1992).

Permukiman merupakan wadah kehidupan manusia, bukan hanya menyangkut aspek fisik dan teknis saja, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, dan budaya dari penghuninya. Permukiman tidak hanya menyangkut tempat hunian, tetapi juga tempat kerja, berbelanja, bersantai, dan wahana untuk bepergian (Budihardjo, 1983). Oleh karenanya permukiman tidak dapat dipisahkan dari

(7)

kehidupan manusia itu sendiri. Pada tahun 1988 badan dunia PBB, Habitat, mencetuskan strategi global permukiman sampai tahun 2000, yaitu Atap bagi Semua (Shelter for All).

Doxiadis (1971) menyatakan, permukiman mempunyai lima faktor, yaitu : alam, manusia, masyarakat, rumah dan jaringan prasarana. Hal ini menjelaskan urutan proses pembentukan permukiman. Selanjutnya konsep pembentukan permukiman tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga komponen utama, yaitu alam (tanah, air, udara), lindungan (shells) dan jaringan (networks), sedangkan isinya adalah manusia. Alam merupakan faktor dasar, dan di alam itulah dibangun rumah dan fasilitasnya untuk tempat tinggal manusia serta melakukan kegiatan. Jaringan seperti jalan dan utilitas, merupakan faktor yang memfasilitasi hubungan antar sesama manusia, yang berarti terjadi interaksi antara manusia sebagai penghuni dengan lingkungan sebagai huniannya.

Kebijakan perumahan dan permukiman Indonesia tahun 2000 – 2020 antara lain adalah lokasi perumahan dikembangkan dengan memperhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan, tersedianya fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan (Anonim, 1999).

Kuswara (2004) dalam kajiannya mengungkapkan bahwa perumahan dan permukiman merupakan tempat aktivitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan budidaya. Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan ketersediaan sumberdaya pendukung serta keterpaduannya dengan aktivitas lain. Dalam kenyataannya hal tersebut sering terabaikan, sehingga tidak berfungsi secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan kota. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan perencanaan dan perancangan, serta pembangunan perumahan yang kontributif terhadap tujuan penataan ruang.

Dari pengertian-pengertian dasar tersebut, tampak bahwa batasan aspek perumahan dan permukiman terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang. Lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

(8)

Permasalahan perumahan saat ini menurut Kirmanto (2005) antara lain adalah (i) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat, (ii) ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan dan perumahan, (iii) konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan, (iv) masalah lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam, dan (v) komunitas lokal tersisih, dimana orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu.

Tantangan perkembangan pembangunan perumahan dan permukiman yang akan datang antara lain adalah: (i) urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk berupaya agar pertumbuhan lebih merata, (ii) perkembangan tak terkendali di daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh, (iii) marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global; dan (iv) kegagalan kebijakan dan implementasi penentuan lokasi perumahan.

Kesesuaian lokasi kawasan permukiman dapat didasarkan pada persyaratan umum lokasi perumahan dan permukiman yang dikeluarkan Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2005. Lokasi kawasan harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah setempat atau dokumen perencanaan tata ruang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) setempat, atau memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

1. Tidak berada pada kawasan lindung;

2. Bebas dari pencemaran air, udara, dan gangguan suara atau gangguan lainnya, baik yang ditimbulkan sumberdaya buatan manusia maupun sumberdaya alam seperti banjir, tanah longsor dan tsunami;

3. Ketinggian lahan kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut (MDPL);

4. Kemiringan lahan tidak melebihi 15 % dengan ketentuan : (i) tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan bermorfologi datar-landai dengan kemiringan 0-8 %, (ii) diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15 %;

5. Pada kota-kota yang mempunyai bandar udara, tidak mengganggu jalur penerbangan pesawat;

6. Kondisi sarana dan prasarana memadai;

(9)

2.4

Metropolitan

Metropolitan didefinisikan sebagai suatu pusat permukiman yang besar yang terdiri dari satu kota besar dan beberapa kawasan yang berada di sekitarnya dengan satu atau lebih kota besar melayani sebagai titik hubung (hub) dengan kota-kota sekitarnya tersebut (Ditjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, 2006). Suatu kawasan metropolitan merupakan aglomerasi dari beberapa kawasan permukiman, tidak harus kawasan permukiman bersifat kota, namun secara keseluruhan membentuk suatu kesatuan dalam aktivitas bersifat kota dan bermuara pada pusat yang dapat dilihat dari aliran tenaga kerja dan aktivitas komersial. Secara umum, kawasan metropolitan dapat didefinisikan sebagai ”satu kawasan dengan konsentrasi penduduk yang besar, dengan kesatuan ekonomi dan sosial yang terpadu dan mencirikan aktivitas kota.” Pada tahap awal, kota-kota yang berdekatan atau secara administratif bersebelahan, membentuk konurbasi, yaitu suatu kawasan tempat bergabungnya beberapa kota. Fenomena ini sering disebut Metropolitan (Doxiadis, 1971). Kota atau kawasan metropolitan merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu permukiman perkotaan yang berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan jumlah penduduk dan luas wilayah yang sangat besar dengan karakteristik dan persoalan yang spesifik. NUDS (1985) menetapkan bahwa sebuah metropolitan berpenduduk minimal satu juta jiwa.

Ciri-ciri metropolitan dapat dilihat dari aspek kependudukan dan aspek lain. Jumlah penduduk yang besar merupakan salah satu karakteristik suatu metropolis. Ciri lain adalah aktivitas sosial ekonomi yang menunjukkan adanya spesialisasi fungsi. Biasanya merupakan industri-industri (manufaktur) dan jasa. Integrasi antara kawasan permukiman dan tempat kerja adalah persoalan nyata di metropolitan saat ini dan merupakan karakter khas metropolitan. Karakter lain adalah kemudahan mobilitas yang menurut Angotti (1993) terlihat dalam 3 bentuk mobilitas: pekerjaan, perumahan dan perjalanan.

Angotti (1993) membedakan metropolis di dunia menjadi tiga jenis, yaitu metropolitan di Amerika (US metropolis), metropolitan yang tidak mandiri (Dependent metropolis); dan metropolitan di Uni Soviet (Soviet metropolis). Pembagian ini lebih didasarkan pada pendekatan ekonomi politik. Metropolitan di

(10)

Amerika (dan juga Eropa) adalah cerminan ekonomi kapitalis, sedangkan metropolitan di bekas Uni Soviet adalah gambaran dari ekonomi sosialis, sementara Dependent Metropolis adalah gambaran dari ekonomi campuran (mixed economy). Metropolitan di Amerika mencerminkan inequality dan mobility; Dependent Metropolis menunjukkan adanya development dan inequality, sementara metropolitan di Uni Soviet menunjukkan integrasi sosial dan struktur politik yang lebih terbatas dan mobilitas yang rendah.

Tumbuhnya titik-titik pertumbuhan baru berupa kota-kota baru merupakan salah satu tahap dalam perkembangan suatu metropolitan. Seiring dengan munculnya sub-sub pusat baru yang menawarkan berbagai kelengkapan fasilitas dan utilitas, terjadi arus migrasi penduduk ke tempat tumbuhnya kota-kota baru tersebut yang umumnya berada di daerah pinggiran (suburban).

2.5

Ekosistem DAS

Ekosistem adalah satuan kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas mahluk hidup (dari berbagai jenis) dengan berbagai benda mati yang berinteraksi membentuk suatu sistem. Menurut pengertian, suatu sistem terdiri atas komponen-komponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan (Soemarwoto, 2004). Ekosistem dicirikan dengan berlangsungnya pertukaran materi dan transformasi energi yang sepenuhnya berlangsung di antara berbagai komponen dalam sistem itu sendiri atau dengan sistem lain di luarnya. Dengan demikian, dalam suatu ekosistem tidak ada satu komponenpun yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai keterkaitan dengan komponen lain, baik langsung maupun tidak langsung. Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktifitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan sehingga mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Untuk itu ekosistem harus dilihat secara holistik, yaitu dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen kunci penyusun ekosistem serta menelaah interaksi antar komponen-komponen tersebut. Pendekatan holistik dilakukan agar pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dapat dilakukan secara efisien dan efektif, syarat yang diperlukan bagi

(11)

terwujudnya pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan yang berkelanjutan (Djayadiningrat, 2001).

Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem. Ekosistem DAS terdiri atas empat komponen utama, yaitu desa, sawah/ladang, sungai, dan hutan (Asdak, 2010). Komponen-komponen yang menyusun DAS berbeda tergantung pada keadaan daerah setempat. Misalnya, di DAS tengah terdapat komponen lain seperti perkebunan. Gambar 2 menunjukkan bahwa oleh adanya hubungan timbal balik antar komponen ekosistem DAS, maka apabila terjadi perubahan pada salah satu komponen lingkungan, ia akan mempengaruhi komponen-komponen yang lain dan pada gilirannya akan mempengaruhi keseluruhan sistem ekologi di daerah tersebut. Sebagai contoh meningkatnya erosi dan tanah longsor di daerah hulu karena pengusahaan lahan dengan cara-cara yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi tanah akan meningkatkan muatan sedimen di daerah hilir. Perambahan hutan dalam skala besar yang menyebabkan hilangnya seresah dan humus yang dapat menyerap air hujan akan mempengaruhi perilaku aliran sungai dimana pada musim hujan debit air meningkat tajam sementara pada musim kemarau debit air sangat rendah. Dengan demikian, resiko banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau meningkat.

DAS merupakan salah satu aspek penting berkaitan dengan terjadinya banjir di satu kota. DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan atau mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan (PP no.26/2008). Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/ atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2,000 km2. Batas DAS adalah punggung perbukitan yang membagi satu DAS dengan DAS lainnya. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. Sebuah DAS bisa berada pada

(12)

lebih dari satu wilayah administrasi. Sebuah DAS yang menjadi bagian dari DAS yang lebih besar dinamakan sub DAS. DAS dapat dibagi ke dalam tiga wilayah yaitu bagian hulu, tengah dan hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah konservasi, kemiringan lereng yang besar, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan, daerah dengan kemiringan lereng kecil, pada beberapa tempat merupakan daerah genangan, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau. Daerah tengah DAS merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofifik DAS yang berbeda tersebut di atas.

Gambar 2 Komponen-komponen ekosistem DAS hulu Sumber : Asdak (2010)

Pemahaman prinsip-prinsip hidrologi DAS dalam pemanfaatan dan pencagaran DAS penting untuk pemangku kepentingan terkait DAS. Hidrologi mempelajari air dalam segala bentuknya (cairan, gas, padat) pada, dalam, dan di atas permukaan tanah. Sementara, hidrologi DAS adalah cabang dari hidrologi yang mempelajari pengaruh pengelolaan vegetasi dan lahan di daerah tangkapan air bagian hulu tehadap daur air, termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas

Desa Sawah

Hutan

Sungai Tumbuhan

Tanah Manusia Hewan

Air

(13)

air, banjir, dan iklim di daerah hulu dan hilir. Pemahaman proses-proses hidrologi menjadi penting dalam perencanaan konservasi tanah dan air, sebagai kegiatan utama dalam pengelolaan DAS, untuk menentukan: (1) perilaku hujan terkait terjadinya erosi dan sedimentasi, (2) hubungan curah hujan dan aliran permukaan (runoff), (3) debit puncak (peakflow) untuk keperluan merancang bangunan-bangunan banjir, (4) hubungan karakteristik suatu DAS dengan debit puncak yang terjadi di daerah tersebut. Terkait dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik dan terkait erat dengan unsur utamanya, yaitu tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng (Asdak, 2010). Diantara faktor-faktor yang berperan dalam menentukan sistem hidrologi tersebut, faktor tataguna lahan dan kemiringan dan panjang lereng dapat direkayasa oleh manusia. Dengan demikian, dalam merencanakan pengeloloaan DAS, faktor perubahan tataguna lahan serta pengaturan kemiringan dan panjang lereng menjadi salah satu fokus aktivitas perencanaan pengelolaan DAS.

Menurut Sulasdi, dalam Anna (2001), DAS mempunyai potensi seimbang yang ditunjukkan oleh daya guna sungai antara lain untuk kebutuhan air baku, pertanian, energi dan lain-lain akan tetapi mampu mengakibatkan banjir, pembawa sedimentasi, serta pembawa limbah (polutan dari industri, pertanian, pemukiman dan lain-lain ). Oleh karena itu, upaya pengelolaan DAS ditujukan untuk memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak negatifnya. Kawasan hulu sungai mempunyai peran penting yaitu selain sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri dan pemukiman juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan (Supriadi dalam Anna, 2001)

2.6

Pendekatan pembangunan ekologis

Istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal dan logos yang berarti ilmu/ telaah. Jadi ekologi berarti ilmu tentang rumah (tempat tinggal) mahluk hidup. Haeckel (1969) mendefinisikan ekologi sebagai ilmu tentang hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungan biotik dan abiotik. Fenomena hubungan antara mahluk hidup dan lingkungan dapat dijelaskan dengan beberapa sudut pandang pendekatan yaitu deskriptif, fungsional, dan evolusi (Krebs, 2001). Pendekatan deskriptif

(14)

merupakan pendekatan yang mencoba menjelaskan ekologi dengan menekankan faktor alamiah (kebiasaan, perilaku, dan interaksi-interaksi antar organisme) dan dikaitkan dengan kumpulan vegetasi yang ada di bumi. Pendekatan fungsional (pendekatan proximate) berusaha menjelaskan ekologi dengan penekanan pada dinamika dan hubungan sebab akibat untuk mengidentifikasi permasalahan umum yang biasa terdapat pada ekosistem yang berbeda. Di sisi lain, pendekatan evolusi (pendekatan ultimate) menjelaskan organisme dan hubungan timbal baliknya sebagai produk sejarah evolusi.

Ada beberapa bidang ilmu yang terkait erat dengan ekologi, yaitu ilmu lingkungan, biologi konservasi, dan manajemen sumber daya hayati. Ilmu lingkungan adalah kajian mengenai pengaruh ekologis aktivitas manusia terhadap lingkungan. Ekologi lebih fokus pada fenomena alamiah dari organisme, termasuk manusia sebagai bagian integral dari alam. Di sisi lain, kajian ilmu lingkungan lebih luas karena melibatkan ilmu-ilmu lain seperti geologi, klimatologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan sebagainya. Ilmu lingkungan merupakan kajian ”deep ecology” (Krebs, 2001) dari suatu gerakan masyarakat yang memiliki agenda utama perubahan sosial politik yang mengarah pada usaha meminimalisasi pengaruh manusia terhadap lingkungan.

Pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sadar dan melembaga dalam mewujudkan model masyarakat yang lebih baik dalam citra bangsa atau ”a conscious and institutionalized attempt at societal development” (Misra, 1981). Citra atau image masyarakat yang ingin diwujudkan bersifat culture-specific dan time-spesific, berbeda dari satu kultur atau negara ke kultur atau negara yang lain, dari satu waktu ke waktu yang lain, dipengaruhi oleh pengalaman historis dan konteks pembangunan. Karena pembangunan berkaitan dengan nilai, maka pembangunan seringkali bersifat transcendental, suatu gejala meta-disiplin, atau bahkan suatu ideologi. Karenanya para perumus kebijakan pembangunan selalu dihadapkan pada pilihan nilai dengan dilema-dilema dan tantangan mulai dari jenjang filsafat sampai pada derivasinya pada tingkat strategi, program atau proyek. Dilema aktual yang dihadapi oleh negara-negara yang sedang membangun, yaitu antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Paradigma pertumbuhan atau paradigma ekonomi nampaknya masih tetap

(15)

menjadi paradigma yang dominan di banyak negara. Paradigma ini memandang pembangunan nasional sebagai identik dengan pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan nasional adalah mencapai pertumbuhan yang setinggi-tingginya. Paradigma ini sangat berorientasi pada produksi, fokus utamanya adalah pada growth-generating sectors. Mekanisme pasar menjadi tumpuan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi.

Ada berbagai pandangan menyikapi masalah ini mulai yang pesimis yang mengantisipasi kehancuran planet bumi sebagai suatu sistem dalam abad mendatang kalau pembangunan mengalami over shooting dan karenanya mengusulkan pengendalian growth-generator yang ada pada diri manusia sendiri. Pandangan yang bersifat optimis yang melihat daya adaptasi manusia yang tumbuh secara eksponensial akan dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Pandangan yang pragmatis melihat pertumbuhan sebagai suatu keharusan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan karenanya yang harus dilakukan adalah mendorong pertumbuhan batas (growth of limits) melalui teknologi dan mengintegrasikan environmental cost dalam memperhitungkan biaya pertumbuhan.

2.7

Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi peluang bagi generasi mendatang untuk mendapatkan kesempatan hidup (Djayadiningrat, 2001). Tujuan pembangunan berkelanjutan secara ideal menurut Djayadiningrat (2001) membutuhkan pencapaian terhadap hal-hal sebagai berikut (i) keberkelanjutan ekologis, (ii) keberkelanjutan ekonomi, (iii) keberkelanjutan sosial budaya, (iv) keberkelanjutan politik, dan (v) keberkelanjutan pertahanan keamanan.

Menciptakan lingkungan perkotaan berkelanjutan sangat krusial karena aktivitas perkotaan berkontribusi terhadap permasalahan lingkungan dan memegang peranan penting dalam perbaikan kesejahteraan manusia dengan memfasilitasi pembangunan sosial, kultural dan ekonomi (Urban and Regional Development Institute, URDI, 2002). International Labour Organization (ILO) mengemukakan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan adalah membuat

(16)

semua anggota masyarakat mendapatkan semua elemen – elemen kunci bagi kehidupan, seperti pangan, sandang, permukiman, perawatan kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja.

Karakteristik kota berkelanjutan adalah (i) tata guna lahan terintegrasi dengan rencana transportasi, (ii) ) pola tata guna lahan membantu melindungi sumberdaya air, (iii) kontrol penggunaan lahan untuk setiap orang, (iv) ) kota yang manusiawi, ruang hijau, pasar petani, dan daerah pedestrian, (v) mendukung kota lebih kompak. Perkembangan pada sebuah kota harus aspiratif terhadap kebutuhan dan eksitensi masa depan yang pada prinsipnya termanifestasi dalam kata kunci seperti: efisiensi, intensifikasi, konservasi, revitalisasi di dalam upaya menyelaraskan pembangunan kembali kota terwujud dalam skenario ”Kota Kompak” (Roychansyah, 2006) seperti terlihat dalam Gambar 3.

Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan diartikan sebagai pembangunan perumahan termasuk di dalamnya pembangunan kota berkelanjutan sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Inti pembangunan perumahan berkelanjutan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan (Kirmanto, 2005). Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan dan permukiman akan mendominasi penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang. Untuk itu, perlu dipertimbangkan empat hal utama, yaitu (i) pembangunan yang secara sosial dan kultural bisa diterima dan dipertanggung–jawabkan (socially and culturally suitable and accountable), (ii) pembangunan yang secara politis dapat diterima (politically acceptable), (iii) pembangunan yang layak secara ekonomis (economically feasible), dan (iv) pembangunan yang bisa dipertanggung jawabkan dari segi lingkungan (environmentally sound and sustainable). Hanya dengan jalan mengintegrasikan keempat hal tersebut secara konsisten dan konsekuen, pembangunan perumahan dan permukiman bisa berjalan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Soenarno, 2004).

Untuk mencapai keberkelanjutan perkotaan perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan perkotaan. Pemerintah kota tidak dapat memecahkan permasalahannya sendiri. Peran pemerintah kota semakin lama semakin bergeser ke peran sebagai fasilitator. Intinya, sistem pelaku majemuk akan menggantikan

(17)

sistem pelaku-tunggal yang selama ini didominasi pihak pemerintah. Dimasa depan, akan terdapat titik majemuk kewenangan dan pengaruh, dan tantangannya adalah bagaimana memberdayakan mereka agar dapat bekerja sama. Manfaatnya adalah adanya kepercayaan dan koneksi sosial (modal sosial) yang terus terakumulasi, yang pada gilirannya akan mencapai tiga sasaran yaitu: menjaga agar pemerintah semakin memiliki akuntabilitas dan tidak korupsi; menurunkan sumber konflik, dan memberdayakan para pelaku non-pemerintah (Alexander et al., 2006).

Gambar 3 Tujuan pembangunan berkelanjutan dan implementasinya dalam konteks kota. (Sumber: Roychansyah, 2006)

2.8

Kebijakan Publik

Kebijakan publik menurut Dye (1981) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do). Studi kebijakan publik memiliki tiga manfaat penting, yakni untuk pengembangan ilmu pengetahuan, meningkatkan profesionalisme, dan untuk tujuan politik (Dye, 1981). Dalam studi kebijakan publik terdapat dua pendekatan, yakni: pertama analisis kebijakan (policy analysis), dan kedua kebijakan publik politik (political public policy) (Hughes, 1994). Pada pendekatan

(18)

pertama, studi analisis kebijakan lebih terfokus pada studi pembuatan keputusan (decision making) dan penetapan kebijakan (policy formation) dengan menggunakan model-model statistik dan matematika yang canggih. Sementara pada pendekatan kedua, lebih menekankan pada hasil dan outcome dari kebijakan publik menggunakan metode statistik dengan melihat interaksi politik sebagai faktor penentu dalam berbagai bidang.

Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas intelektual terdiri dari perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan. Aktivitas politis nampak dari kegiatan penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Diagram proses analisis kebijakan publik tertera pada Gambar 4.

Gambar 4 Tahapan Kebijakan Publik

(

Sumber: Dunn1994)

Lingkungan kebijakan akan mempengaruhi pelaku kebijakan untuk meresponnya, yakni dengan memasukkannya ke dalam agenda pemerintah dan selanjutnya melahirkan kebijakan publik untuk memecahkan masalah-masalah yang ada. Hubungan timbal balik antara tiga elemen yang terlibat dalam sebuah proses kebijakan tertera dalam Gambar 5.

Implementasi Kebijakan Perumusan Masalah Evaluasi Kebijakan Rekomendasi Kebijakan Forecasting Penyusunan Agenda Penilaian Kebijakan Adopsi Kebijakan Formulasi Kebijakan Masyarakat

(19)

Gambar 5 Hubungan Tiga Elemen Sistem Kebijakan. (Sumber: Dunn 1994)

Salah satu bagian yang penting dari analisis kebijakan adalah perumusan masalah kebijakan. Suatu masalah dikatakan sebagai masalah privat apabila masalah tersebut dapat diatasi tanpa mempengaruhi orang lain atau pemerintah. Suatu gejala menjadi masalah publik ketika gejala tersebut dirasakan sebagai kesulitan bersama oleh sekelompok masyarakat dan hanya dapat diatasi melalui intervensi pemerintah (Jones, 1991). Menurut Dunn (1994), sifat-sifat masalah publik sangat kompeks dan mempunyai karakteristik antara lain (1) saling bergantung (interdependent) antara berbagai masalah dan mengharuskan analisis kebijakan menggunakan pendekatan holistik dalam memecahkan masalah dan mengetahui akar permasalahannya, (2) subyektifitas, karena merupakan hasil pemikiran dalam konteks lingkungan tertentu, (3) artificial yakni suatu fenomena dianggap sebagai masalah karena adanya keinginan untuk mengubah situasi, (4) dinamis karena solusi terhadap masalah selalu berubah.

Dalam perumusan masalah, dibutuhkan data dan informasi. Data dan informasi tersebut bersifat time series (kurun waktu) atau cross sectional (antar lokasi yang berbeda). Data dan informasi time series membantu memahami perubahan gejala dari waktu ke waktu, sementara data dan informasi cross sectional membantu memberikan gambaran tentang suatu gejala antar lokasi yang berbeda. Beberapa metode untuk merumuskan masalah, adalah (1) analisis batas, yaitu usaha memetakan masalah melalui snowball sampling dari stakeholders, (2) analisis klasifikasi, yaitu mengklasifikasikan masalah kedalam kategori-kategori tertentu, (3) analisis hirarki, untuk menyusun masalah berdasarkan sebab-sebab dari situasi masalah, (4) brainstorming, yakni metode merumuskan masalah

Pelaku

(20)

melalui curah pendapat, (5) analisis perspektif ganda, yaitu metode untuk memperoleh pandangan yang bervariasi dari perspektif yang berbeda.

Forecasting atau peramalan terdiri dari (1) proyeksi, (2) prediksi, dan (3) perkiraan. Proyeksi didasarkan pada ekstrapolasi kecenderungan masa lalu, dengan asumsi bahwa masa yang akan datang memiliki pola yang sama dengan masa lalu. Proyeksi dapat menggunakan model matematika dan regresi. Prediksi, yaitu ramalan yang didasarkan pada asumsi teoritik. Misalnya, berdasarkan teori supply dan demand, harga normal akan terjadi pada titik temu antara supply dan demand. Perkiraan, yakni ramalan yang didasarkan pada penilaian para pakar tentang situasi yang akan datang.

Rekomendasi kebijakan adalah proses untuk melakukan pilihan terhadap berbagai alternatif kebijakan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Metode-metode yang dapat digunakan untuk proses seleksi kebijakan antara lain (1) metode perbandingan, semua alternatif kebijakan dievaluasi berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan, kemudian dipilih alternatif yang memperoleh nilai tertinggi, (2) metode memuaskan (satisfying method), pemilihan alternatif dilakukan atas dasar kemampuan alternatif memenuhi semua kriteria yang telah ditetapkan, (3) analisa biaya dan manfaat (cost and benefit analysis), digunakan untuk mengidentifikasi besarnya biaya dan manfaat dari setiap alternatif kebijakan, (4) pohon keputusan (decision tree). Analisis pohon keputusan digunakan dengan menghitung nilai yang diharapkan, yang merupakan hasil dari perkalian antara probabilitas dari setiap alternatif dengan perkiraan hasil.

2.9

Pendekatan Sistem

Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pada dasarnya pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen. Dengan cara ini hendak diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu organisasi atau suatu sistem. Metode ilmiah dapat menghindarkan manajemen mengambil kesimpulan-kesimpulan yang sederhana dan simplisistis searah oleh suatu masalah disebabkan oleh penyebab tunggal.

(21)

Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem.

Perubahan yang bersifat kompleks membuat kita tidak hanya mempelajari sebagian dari perubahan tersebut, tetapi harus mempelajarinya secara menyeluruh, karena keterkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, dalam menangani suatu masalah yang cukup kompleks, kita harus menyelesaikannya tidak hanya pada tempat kejadian tersebut dan waktu tertentu, namun pada skala yang lebih luas, baik secara spasial maupun temporal.

Eriyatno (1999) menjelaskan bahwa pendekatan sistem merupakan metode yang bersifat rasional sampai intuitif sehingga dapat memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa jika kita menggunakan pendekatan sistem, maka persyaratan yang harus dipenuhi bersifat kompleks, yakni interaksi antar elemen-elemennya cukup rumit. Bersifat dinamis, yaitu dua faktor yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan untuk masa yang akan datang. Bersifat probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam membuat kesimpulan maupun rekomendasi. Pada dasarnya pendekatan sistem mempunyai tiga sifat yaitu sibernetik, artinya berorientasi pada tujuan, holistik, yakni cara pandang yang utuh, serta efektif yang artinya lebih mementingkan hasil yang bersifat operasional dan dapat dilaksanakan dari pendalaman teoritis sehingga dapat mencapai keputusan yang efisien. Manetch dan Park (1977) menyatakan bahwa suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi (1) tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, (2) prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil tersentralisasi atau cukup jelas batasannya, dan (3) memungkinkan untuk dilakukan dalam perencanaan jangka panjang.

Sistem adalah gugus atau komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Sistem dapat digolongkan menjadi sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka merupakan sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun output yang dihasilkan tidak memberikan umpan balik terhadap input. Sistem terbuka tidak menyediakan

(22)

sarana koreksi dalam sistem, sehingga perlakuan koreksi membutuhkan faktor dari luar. Diagram sistem terbuka tertera pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram sistem terbuka.

Pada sistem tertutup, output memberikan umpan balik terhadap input. Pada sistem tertutup sarana koreksi berada dalam sistem, sehingga perlakuan koreksi dapat dilakukan secara internal. Diagram sistem tertutup dengan umpan balik tertera pada Gambar 7.

Gambar 7 Diagram sistem tertutup.

2.10

Matrik dan Ringkasan Tinjauan Pustaka

Matrik faktor-faktor penting pengembangan kawasan permukiman tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Matrik faktor-faktor penting pengembangan kawasan permukiman

No Teori Sumber &

Tahun Faktor-faktor penting

1. Perkotaan & lingkungan, metropolitan, tata ruang Doxiadis (1971)

ƒ Aglomerasi, konurbasi, konsentrasi penduduk yg besar, kawasan permukiman, tenaga kerja, aktivitas kota.

Richardson (1978)

ƒ Lokasi dekat pusat kota, komersial, industri ringan, akses, lahan, pelayanan kota, nilai lahan.

Angotti (1993) ƒ Penduduk yang besar, aktivitas sosio-ekonomi, manufaktur dan jasa, mobilitas, ekonomi politik.

Almeida (1998)

ƒ Legislasi, prasarana, topografi, kawasan lindung, pasar real estate, kesempatan kerja, pusat-pusat kegiatan.

Djunaedi (2001)

ƒ Master plan/ Rencana Induk Sistem Rahardjo

(2003)

ƒ Manajemen lahan, populasi, kebijakan ekonomi, manajemen pembangunan.

Input Output

Umpan balik Proses

(23)

No Teori Sumber &

Tahun Faktor-faktor penting

Healy (2004) ƒ Pengelolaan, skala kota/wilayah, regionalisasi, material, pengembangan, fungsional.

Rossi-Hausberg (2004)

ƒ Urbanisasi, ruang kegiatan ekonomi, populasi, output, pendapatan, ruang tebuka hijau.

Rustiadi et al. (2004)

ƒ Sosial, ekonomi, budaya, politik, ekologis, keamanan.

UU 26/2007 ƒ Perencanaan, pemanfaatan, pengendalian pemanfaatan ruang. 2. Perumahan dan Permukiman Doxiadis (1971)

ƒ Alam, manusia, masyarakat, rumah, jaringan prasarana.

Dep. PU

(2005)

ƒ Kawasan, pencemaran, lahan, sarana-prasarana, akses.

Kirmanto (2005)

ƒ Alokasi tanah, pelayanan, lokasi, lingkungan, komunitas.

ƒ Urbanisasi, perkembangan tak terkendali, marjinalisasi pelaku lokal, kegagalan lokasi. 3. Keberlanjutan

lingkungan, pendekatan ekologis unt DAS dan Kota Metropolitan

Djayadinigrat (2001)

ƒ Ekologis, ekonomi, sosial-budaya, politik, keamanan.

Krebs (2001) ƒ Deskriptif, fungsional, evolusi. ƒ Lingkungan, biologi konservasi,

sumberdaya hayati.

Saroso (2002) ƒ Tata guna lahan, transportasi, sumberdaya air, manusiawi, kompak.

URDI (2002) ƒ Sosial, kultural, ekonomi. Soenarno

(2004)

ƒ Sosial-kultural, politik, ekonomis, lingkungan

Dep. PU (2005)

ƒ Kawasan, pencemaran, lahan, sarana-prasarana, akses 4. Pendekatan Sistem untk kebijakan publik Manetch dan Park (1977)

ƒ Tujuan, prosedur, dapat dilaksanakan. Dunn (1994) ƒ Interdependent, subyektifitas, artificial,

dinamis.

ƒ Perumusan masalah, forecasting, rekomendasi, monitoring, evaluasi. ƒ Penyusunan agenda, formulasi, adopsi,

implementasi, penilaian.

ƒ Pelaku, lingkungan, kebijakan publik. Eriyatno

(1999)

ƒ Kompleks, dinamis, probabilistik. ƒ Sibernetik, holistik, efektif. Alexander et

al. (2006)

ƒ Pemerintah, konflik, pelaku non pemerintah

Dari tinjauan pustaka beberapa aspek diatas didapat beberapa poin penting sebagai berikut:

(24)

1. Struktur metropolitan berkembang dipengaruhi oleh perkembangan penduduk dan penyebarannya, kegiatan sosial-ekonomi-politik, infrastruktur, kebijakan lahan, manajemen perkotaan, dan penataan ruang.

2. Kawasan permukiman (di Cisauk) bisa berkelanjutan apabila terjadi kohesi sosial dengan baik, prasarana dan sarana (jalan akses, air minum, persampahan, drainase, sanitasi) yang memadai, pemanfaatan lahan sesuai ketentuan (peruntukan, vegetasi, ruang terbuka hijau), sub DAS (Cisadan) berkelanjutan, dan tersedia lapangan pekerjaan.

3. Permukiman dalam wilayah sub DAS berkontribusi pada keberlanjutan sub DAS tersebut sehingga perlu diperhatikan hal-hal yang dapat mengganggu keberlanjutan sub DAS tersebut seperti pembuangan limbah/sampah yang berdampak terhadap penurunan kualitas air dan penyumbatan yang dapat menyebabkan banjir, aliran permukaan yang besar dan mengandung sedimentasi serta pengambilan air baku berlebih. Karakteristik sub DAS wilayah tengah umumnya terdapat kawasan budi daya yang merupakan daerah pemanfaatan, kemiringan lereng kecil, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh saluran irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian. Kegiatan kawasan permukiman di sub DAS wilayah tengah hendaknya tidak menimbulkan dampak negatif ke wilayah sub DAS hilir seperti pendangkalan karena sedimentasi, kekeringan dan/ atau banjir, kualitas air yang buruk. 4. Pendekatan ekologis dipergunakan apabila dalam pembangunan dalam hal ini

pengembangan kawasan permukiman di Cisauk terindikasi lebih memprioritaskan aspek ekonomi atau pertumbuhan dan kurang memperhatikan keberlanjutan aspek ekologis atau lingkungan.

5. Pendekatan sistem diperlukan untuk menganalisis masalah lingkungan yang kompleks sehingga diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Pendekatan sistem mempunyai tiga sifat yaitu sibernetik, artinya berorientasi pada tujuan, holistik, yakni cara pandang yang utuh, serta efektif yang artinya lebih mementingkan hasil yang bersifat operasional dan dapat dilaksanakan dari pendalaman teoritis sehingga dapat mencapai keputusan yang efisien.

(25)

6. Kawasan permukiman di Cisauk dilalui jaringan transmisi tenaga listrik Sutet (saluran udara tegangan tinggi dengan tegangan nominal >35,000 volt) sehingga terdapat koridor yang aman terhadap kegiatan lain dengan memperhatikan jarak bebas dan aman selebar 64 m yang diukur dari tengah jaringan transmisi tenaga listrik seluas kurang lebih 3.2 km2.

Gambar

Gambar 2 Komponen-komponen ekosistem DAS hulu  Sumber : Asdak (2010)
Gambar 3  Tujuan pembangunan berkelanjutan dan implementasinya dalam  konteks kota.   (Sumber: Roychansyah, 2006)
Gambar 4  Tahapan Kebijakan Publik  ( Sumber: Dunn 1994)
Gambar 5  Hubungan Tiga Elemen Sistem Kebijakan.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara latihan berwudhu dengan kemampuan berwudhu siswa di Pondok

Pada saat di a saat di IIGD pasi GD pasien masih belu en masih belum sadarkan di m sadarkan diri dan did ri dan didapatkan tekanan darah apatkan tekanan darah yan yang g tinggi

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui berat daging dan Indeks Kematangan Gonad (IKG) tiram Crassostrea iredalei yang ditangkap oleh pencari tiram di Desa

Pengukuran sipat datar profil banyak digunakan dalam perencanaan suatu wilayah. Pengukuran ini terbagi menjadi dua macam, yaitu profil memanjang dan profil melintang. Dengan

Hal ini juga telah dibuktikan pengujian hipotesis yang telah dilakukan dan menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang tidak signifikan pada BOPO antara Bank Umum

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase nilai hasil belajar mahasiswa pada mata kuliah CAD kompetensi menggambar 3

Untuk mengetahui pengaruh penurunan luas tutupan lahan bervegtasi dalam menyerap emisi karbon dioksida sepuluh tahun kebelakang di Kota Pontianak, perlu dilakukan

Perkembangan fisik pada masa anak – anak ditandai dengan berkembangnya keterampilan motorik, baik kasar maupun halus. Sekitar usia 3 tahun anak sudah dapat