• Tidak ada hasil yang ditemukan

VARIASI SOMAKLONAL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER KERAGAMAN GENETIK UNTUK PERBAIKAN SIFAT TANAMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VARIASI SOMAKLONAL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER KERAGAMAN GENETIK UNTUK PERBAIKAN SIFAT TANAMAN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

VARIASI SOMAKLONAL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER KERAGAMAN

GENETIK UNTUK PERBAIKAN SIFAT TANAMAN

[SOMACLONAL VARIATION AS A SOURCE OF GENETIC VARIABILITY

FOR THE IMPROVEMENT OF PLANT CHARACTERISTICS]

Ahmad Riduan

Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361

Abstract

Somaclonal variation is a tool used by plant breeders in their breeding program especially in vitro plant breeding. Major factors affecting the variation within progenies regenerated from tissue culture are: 1) organ growth stage, 2) plant genotype, 3) growth regulators, and 4) explant source. New varieties have been developed through somaclonal variation, but a number variants can not be chosen due to a number of factors: 1) all variants are negative, 2) positive properties turn into negative, 3) resulted variation is not novelties, or 4) resulted variation is not stable upon selfing or crossing. Somaclonal variation is found to be cheaper compared to other methods of genetic modification. Today this technique is widely used and needs no specific procedure. Somaclonal variation is more successful to be applied on plants with limited and/or narrow genetic base because this technique may provide genetic variability in short time.

Key words: plant breeding, tissue culture, in vitro culture, plant genetic improvement.

PENDAHULUAN

Kultur jaringan tanaman merupakan teknologi yang memungkinkan membantu para pemulia tanaman dalam memperbanyak tanaman (Karp, 1995). Teknik ini juga digunakan untuk mening-katkan kecepatan atau efisiensi proses pemuliaan, meningkatkan aksesibilitas terhadap plasma nut-fah, dan mengkreasi variasi baru untuk perbaikan tanaman (Scowcroft et al., 1985). Hal tersebut ter-masuk mikropropagasi, kultur anther (Karp, 1995), seleksi in vitro (Moon et al., 1997), penyelamatan embrio (embryo rescue), variasi somaklonal (Maralappanavar et al., 2000), hibridisasi somatik (Thrope, 1990), dan transformasi (Walden dan Wingender, 1995). Dalam hal ini, variasi somaklo-nal menduduki posisi yang unik, karena keuntung-an dkeuntung-an kerugikeuntung-annya dalam sistem kultur jaringkeuntung-an. Tanaman yang diregenerasikan secara kultur in vitro melalui sel somatik sering berbeda fenotip dengan tanaman awal. Fenomena ini akhirnya di-sebut variasi somaklonal (Larkin, 1987).

Analisis turunan menunjukkan bahwa variasi somaklonal adalah perubahan genetik walaupun perubahan DNA somaklon sampai sekarang masih terus dipelajari. Perubahan variasi genetik merupa-kan komponen yang esensial dalam program pe-muliaan tanaman. Variasi somaklonal digunakan untuk memperoleh tanaman potensial dengan

sifat-sifat yang diinginkan, tetapi variasi ini justru tidak dikehendaki dalam kultur jaringan (sebagai perba-nyakan aseksual) karena dapat meningkatkan variabilitas terutama untuk tanaman transgenik (Utomo et al., 1996).

Sejak tahun 1961 telah dilaporkan adanya ke-tidakstabilan galur yang diregenerasikan dengan kultur jaringan, yang diekspresikan oleh keragam-an morfologi, kariotipe, biokimia, dkeragam-an taraf mole-kuler (Scowcroft, 1984). Basis variasi somaklonal belum sepenuhnya dimengerti dengan baik, meski-pun rearensemen kromosom, aktifitas tronsposon endogenus, perubahan status metilasi DNA, dan mutasi mungkin merupakan faktor-faktor yang berkontribusi (Thrope, 1990). Keragaman genetik eksplan dan keragaman genetik yang terjadi di da-lam kultur jaringan diperkirakan sebagai penyebab variasi somaklonal (Heinze dan Schmidt, 1995). Dengan demikian perubahan genetik tersebut bu-kan disebabbu-kan oleh peristiwa segregasi maupun rekombinasi gen seperti biasa terjadi akibat proses persilangan (crossing). Keragaman pada eksplan disebabkan adanya sel-sel bermuatan maupun ada-nya polisomik dari jaringan tertentu.

Variasi somaklonal tidak muncul sebagai feno-mena yang sederhana, dan mungkin merefleksikan perbedaan-perbedaan pre-existing cellular genetic atau keragaman yang diinduksi oleh kultur jaring-an (Thrope, 1990). Keragamjaring-an genetik yjaring-ang

(2)

ter-jadi di dalam kultur jaringan disebabkan oleh penggandaan jumlah kromosom (fusi, endomito-sis), perubahan struktur kromosom, perubahan gen dan perubahan sitoplasma (Griffiths et al., 1993). Melalui teknik kultur jaringan ini terdapat dua hal yang berbeda kepentingannya bagi pamuliaan ta-naman yaitu mempertahankan kestabilan genetik dan merangsang keragaman genetik. Kestabilan genetik dapat dicapai dengan mendorong sesingkat mungkin fase pertumbuhan tak berdiferensiasi (fa-se kalus (fa-sel bebas), (fa-sedangkan keragaman genefik dapat dicapai dengan fase tak berdiferensiasi yang relatif panjang (Wattimena dan Mattjik, 1992). Khusus untuk keperluan transformasi genetik, va-riasi somaklonal dihindari selain dengan periode singkat pengkalusan sel bebas, juga dengan meng-gunakan jaringannya semi-organized, misalnya eksplan dan dengan introduksi DNA secara lang-sung ke dalam jaringan meristimatik atau kalus yang dihasilkan dari kultur antera (Walden dan Wingender, 1995)

Variasi somaklonal pada dasarnya terjadi aki-bat peristiwa mutasi, yaitu perubahan suatu karak-ter yang diwariskan yang disebabkan oleh ber-ubahnya pembawa sifat menurun (inherited trait) baik pada tingkat DNA atau gen yang disebut juga mutasi kecil atau mutasi titik, maupun pada tingkat kromosom yang disebut juga mutasi besar. Oleh karena itu, mekanisme kejadiannya hampir sama dengan efek mutagenesis konvensional (radiasi) (Maluszynski et al., 1995), yakni bersifat acak dan keragaman yang dihasilkan nya dapat bermanfaat atau kurang bermanfaat, bahkan mungkin rnerugi-kan.

Dugaan variasi somaklonal ini diketahui dari variasi tanaman yang luas yang dihasilkan dari protoplas dan kultur eksplan kentang, tebu, padi, dan jagung (Karp, 1995). Pada tahun 1983, Ahloo-walia (1985) melaporkan bahwa pada beberapa tanaman terjadi keragaman sifat kuantitatif seperti hasil biji, tinggi tanaman, resistensi, fertilitas po-len, dan kandungan protein. Bentuk-bentuk variasi somaklonal pada tanaman dapat digunakan untuk mengetahui perubahan sifat secara genetik. Feno-mena variasi somaklonal tersebut dapat ditunjuk-kan oleh daun tanaman yang mengalami albino, tanaman menjadi kerdil (pendek), male sterility, perubahan bentuk dan warna daun. batang, bunga. ukuran umbi, ketajaman dan varigasi daun, dan lain-lain (Norton dan Skirvin, 1997; Sinaga, 1998). Dengan demikian, variasi somaklonal adalah se-buah teknik yang dapat digunakan oleh pemulia tanaman. Pertanyaannya adalah di mana teknik ini dapat diaplikasikan dengan lebih efektif dan apa faktor penghambat serta pendukungnya sehingga

dapat berhasil. Lebih lanjut akan dibicarakan peng-gunaan variasi somaklonal terhadap introgresi hi-brid dan untuk seleksi in vitro dari tanaman yang mengekpresikan peningkatan toleransi terhadap cekaman lingkungan.

SEBERAPA JAUH VARIASI SOMAKLONAL SEBAGAI ALAT (TEKNIK) DAPAT

DIANDALKAN?

Pertanyaan ini dapat dibagi menjadi tiga perta-nyaan: 1) apakah kultur in vitro selalu meningkat-kan variasi?, 2) apakah variasi yang berguna selalu berubah (recovered)?, dan 3) apakah variasi soma-klonal dapat dimanfaatkan untuk semua spesies tanaman?

Apakah kultur in vitro selalu meningkatkan variasi?

Tidak selalu dapat dikatakan bahwa kultur in vitro akan meningkatkan variasi. Kanyataannya, sejumlah faktor dapat diidentifikasi apakah berpe-ngaruh atau tidak terhadap variasi yang dihasilkan dan seberapa banyak variasi yang dihasilkan. Fak-tor-faktor tersebut adalah: 1) tingkat pertumbuhan awal organ meristematik, 2) konstitusi genetik ma-terial awal, 3) zat pengatur tumbuh di dalam medi-um kultur, dan 4) smedi-umber jaringan atau eksplan (Karp, 1995).

Tingkat pertumbuhan awal organ meristema-tik. Pertumbuhan di dalam kultur dapat terjadi dari meristem yang sudah dibentuk atau dari bentuk yang tidak teratur sebagai kalus yang dihasilkan, dari embriogenesis somatik atau organogenesis. Tingkat pertumbuhan awal organ merupakan ele-men kunci dalam variasi somaklonal, diduga bah-wa dalam pertumbuhan yang tidak teratur, terjadi penahanan (pengurangan) pembatasan yang ber-tindak untuk mengeleminasi variasi genetik dalam meristem normal atau karena adanya mekanisme induksi ketidakstabilan genetik. Di pihak lain, se-makin besar tingkat pertumbuhan organ dan sema-kin lama waktu yang digunakan tumbuh di media, maka semakin besar perubahan yang terjadi seba-gai hasil variasi somaklonal.

Konstitusi genetik material awal. Banyak bukti mengindikasikan bahwa variasi somaklonal ter-gantung pada genotipe tanaman darimana eksplan berasal. Pada tahun 1982, McCoy telah meneliti pengaruh faktor genetik eksplan pada dua kultivar oat, dimana salah satu kultivar memberikan fre-kuensi keragaman jumlah kromosom yang lebih tinggi dibanding dengan kultivar lainnya (Larkin, 1987). Genotipe merupakan faktor penting di

(3)

da-lam menimbulkan variasi somaklonal, karena ge-notipe dapat mempengaruhi frekuensi regenerasi dan frekuensi variasi somaklonal yang terjadi (Karp, 1995). Elemen genotipik merupakan aspek penting untuk identifikasi, karena pemulia tanam-an ytanam-ang menggunaktanam-an variasi somaklonal sebagai alat dalam galur atau kultivar tertentu dan untuk mengetahui apakah genotipe sebagai penentu va-riabilitas.

Ploidi material awal merupakan salah satu fak-tor variasi somaklona1, Shepard et al. sebagaima-na diacu oleh Sutjahjo (1994), mencatat terjadinya frekuensi keragaman genotipe yang tinggi dari kul-tivar kentang Russet Burbank. Diperoleh ketidak-stabilan kromosom pada regeneran yang poliploid dibandingkan dengan diploid atau haploid. Sun et al. sebagaimana diacu oleh Sutjahjo (1994), mem-bandingkan besarnya frekuensi ploidi tanaman re-generasi in vitro dari 18 varietas padi. Ditemukan adanya multiploidi pada varietas indica sedangkan pada varietas japonika tidak ditemukan. Menurut Karp (1995), Mutasi gen akan mempunyai ekspresi yang lebih baik pada tanaman haploid dan diploid. Beberapa genom dapat lebih tidak stabil diban-ding tanaman yang lainnya. Perbandiban-dingan suspensi sel diploid, tetraploid, hexaploid gandum memper-lihatkan bahwa sel yang diploid lebih stabil dan yang heksaploid paling rendah kestabilannya (Winfield et al., 1993). Selanjutnya genom yang membawa elemen loncat (transposable elements) diperkirakan lebih tidak stabil dalam kultur diban-ding yang tidak membawa elemen tersebut. Bukti tentang perubahan aktivitas transposon sebagai ha-sil kultur jaringan telah dilaporkan oleh Peschke et al. (1991), tetapi tidak semua perubahan yang ter-jadi pada kultur jaringan tanaman (yang mempu-nyai transposon) dicirikan oleh perpindahan trans-poson (Williams et al., 1991).

Lingkungan kultur (zat pengatur tumbuh di medium kultur). Menurut Karp (1995), banyak bukti menunjukkan bahwa variasi somaklonal di-pengaruhi oleh pemilihan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh di dalam media. Kemungkinan zat pengatur tumbuh tersebut bertindak seperti mu-tagen. Konsentrasi garam-garam nutrien yang ting-gi seperti kalsium dan EDTA pada media kultur tampaknya meningkatkan ketidaknormalan kromo-som pada kultur sel. Selanjutnya, konsentrasi su-krosa yang tinggi (10 atau 20 sampai 30 g L-1) da-pat menginduksi poliploidisasi sel kalus yang di-hasilkan dari lini dihaploid dan tetraploid. Auksin sintetik, 2,4-D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid) mampu meningkatkan mutasi sistem stamen pada Tradescantia dan erat kaitannya dengan keragam-an tkeragam-anamkeragam-an regenerasi pada Hordeum (Dolezel keragam-and

Novak, 1984). Demikian pula penggunaan 2,4-D dan NAA dalam media kultur kentang juga me-ningkatkan frekuensi tanaman abnormal (Shepard et al. sebagaimana diacu oleh Sutjahjo, 1994). Bayliss (1980), menyatakan bahwa kondisi kultur dengan media yang mengandung auksin kuat dapat mengimbas proses dedifirensiasi, sehingga kromo-som menjadi tidak stabil dan mengganggu siklus mitosis serta replikasi DNA. Ketidakstabilan ini diduga karena benang-benang (spindle) kromosom tidak normal sehingga terjadi keragaman kromo-som dalam jenis tanaman yang sama (Peloquin, 1981).

Zat pengstur tumbuh mempengaruhi variasi so-maklonal selama fase kultur melalui efeknya pada pembelahan sel (Bayliss, 1980; Gould, 1984), ting-kat pertumbuhan yang tidak beraturan (fase peng-kalusan) (Karp, 1995), dan proliferasi selektif sel spesifik (Ghosh dan Gadgil, 1979). Dalam hal ini terdapat hubungan yang erat antara keberadaan zat pengatur tumbuh dengan lamanya periode kultur, yaitu fase kalus (Ahloowalia, 1985).

Sumber jaringan atau eksplan (the tissue source). Sumber eksplan merupakan sumber yang sangat penting dalam menginduksi variasi soma-klonal. Karena jaringan yang berbeda dapat me-nimbulkan frekuensi variasi somaklonal. Semakin tua atau semakin khusus suatu jaringan, maka akan semakin besar variasi yang diperoleh dari tanaman yang diregenerasikan. Penggunaan daun, tangkai daun atau batang kentang melalui fase kalus dapat meningkatkan keragaman somaklonal (Scowcroft, 1984). Osifo et al. sebagaimana diacu oleh Karp (1995) pada tanaman Solanum brevidens menda-patkan 70% tanaman yang diregenerasikan dari kotiledon dan 20% dari potongan daun adalah te-traploid. Pada Chrysanthemum, tanaman yang di-regenerasikan dari petal lebih mampu berbunga dan lebih tinggi ketidaknormalannya daripada ta-naman yang dihasilkan dari pedikel (Bush et al. sebagaimana diacu oleh Karp, 1995). Roest dan Sokelman sebagaimana diacu oleh Sutjahjo (1994), menyatakan bahwa eksplan yang berasal dari daun atau bagian daun memberikan keragam-an genetik ykeragam-ang lebih besar daripada eksplkeragam-an dari bagian tanaman lainnya. Sihachakr et al. (1997), melaporkan dari pengujian lapang pendahuluan di Gabon menunjukkan bahwa tanaman ubi rambat (Ipomoea batatas L.) yang berasal dari kultur pro-toplas menghasilkan variabilitas genetik yang be-sar dalam pertumbuhan dan pembentukan umbinya dibandingkan tanaman hasil kultur eksplan.

Ramulu (1986), menyatakan bahwa bagian ta-naman kentang yang berbeda mempunyai tingkat ploidi yang berbeda pula. Perbedaan tersebut

(4)

ter-jadi karena enderoduplikasi pada beberapa bagian tanaman sehingga menghasilkan polisomatik. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi mu-tasi pada tanaman kentang yang diregenerasikan tanpa mutagen dari eksplan tangkai dan daun men-capai sekitar 12,3% sampai 50,3% (Van Harten et al., 1981).

Selain keempat faktor di atas, faktor kelima yang juga penting dalam induksi variasi somaklo-nal adalah lamanya dalam kultur in vitro. Telah diyakini secara luas bahwa masa kultur in vitro yang lama dapat menyebabkan jumlah kromosom beragam. Selanjutnya Bayliss (1980), menyatakan bahwa semakin lama periode kultur akan menye-babkan frekuensi aberasi kromosom akan semakin meningkat. Meningkatnya abnormalitas kromosom tersebut karena tidak terorganisasinya pertumbuh-an kalus. Mc Coy et al., (1982), melaporkan bah-wa tanaman Avena sativa mengalami peningkatan frekuensi tanaman yang abnormal sitogenetik se-cara dramatis dengan bertambahnya periode kul-tur, karena terjadi pematahan kromosom, kehilang-an kromosom, perubahkehilang-an dalam kromosom, dkehilang-an aneuploidi. Korelasi antara lamanya kultur in vitro dan akumulasi perubahan kromosom pertama kali ditemukan pada Daucus carota (Smith dan Street sebagaimana diacu oleh Sutjahjo, 1994), di mana kultur sel berisi banyak sel-sel abnormal dan dapat beregenerasi menjadi tanaman.

Fukui (1983) memonitor terjadinya mutasi ganda pada tanaman regenerasi asal kultur kalus dari padi. Mutasi yang terjadi tidak bersamaan selama dalam kultur dari galur kalus tunggal. Barbier and Dulieu (1983) menyatakan bahwa kebanyakan perubahan genetik terjadi pada periode mitosis pertama dalam kultur dan beberapa perubahan genetik meningkat sejalan dengan lamanya dalam kultur.

Apakah variasi yang berguna selalu berubah (recovered)?

Dari percobaan lapang ekstensif yang dilaku-kan terhadap somaklon hasil regeneran dapat dike-tahui bahwa perubahan sifat-sifat agronomi yang terjadi merupakan hasil dari kultur in vitro. Namun tidak semua varian-varian yang dihasilkan diselek-si untuk tujuan pemuliaan tanaman dengan salah satu atau kombinasi alasan-alasan berikut: 1) va-riasi yang didapatkan ke arah yang salah (negatif) (Baillie et al., 1992), 2) perubahan positif yang terjadi tetapi diikuti sifat negatif (Qureshi et al., 1992), 3) tidak semua sifat yang didapatkan bersi-fat unik (noveltis) (Vuylsteke dan Swennen, 1990), dan 4) tidak semua perubahan genetik bersifat sta-bil atau perubahan genetik dan fenotip yang

unpredictable (Seman dan Lepoivre, 1990), per-ubahan yang terjadi dapat bersifat non heritable atau epigenetic atau heritable tetapi dapat berubah kembali ke sifat awal (reversible change) (Karp, 1995). Mutasi gen atau kromosom yang terjadi ka-rena, misalnya amplifikasi dan transposisi dapat bersifat tidak stabil. Harus diakui hal ini menjadi "batu sandungan" dalam penggunaan variasi soma-klonal untuk perbaikan sifat tanaman. Untuk mengimbanginya Karp (1989) sebagaimana diacu oleh Seman and Lepoivre (1990), menyarankan dengan laju variabilitas yang sangat tinggi, pe-ngembangan teknik kultur yang sesuai, dan peng-gunaan metode seleksi yang sesuai untuk mengu-rangi material yang tidak dikehendaki atau dengan penggunaan metode seleksi awal.

Apakah variasi somaklonal dapat dimanfaat-kan untuk semua spesies tanaman?

Dapat dikatakan bahwa variasi somaklonal te-lah berhasil memperbaiki sifat produksi beberapa tanaman seperti tomat, tebu, seledri, jagung, padi, dan sorgum Tetapi juga harus dikatakan tentang ketidaksuksesan beberapa percobaan dengan pen-dekatan ini, misalnya pada tanaman gandum, ja-gung, dan barley meskipun diusahakan dengan skala yang besar dan ekstensif (Maralappanavar et al., 2000).

Pada evaluasi dengan menggunakan variasi so-maklonal sebagai alat pemuliaan untuk memper-baiki kopi, Sondahl and Bragin (1991), menyim-pulkan bahwa variasi sornaklonal adalah metode yang terbaik untuk memperpendek program pemu-liaan kopi, sejak terbukti adanya akses untuk men-dapatkan mutan baru dengan genotipe hasil tinggi disertai umur yang lebih genjah. Dari berbagai li-teratur yang ada, dapat disimpulkan variasi soma-klonal akan lebih berhasil jika dilakukan pada ta-naman dengan sistem genetik terbatas dan atau yang berdasarkan genetik dalam arti sempit. Untuk tanaman hias, eksploitasi variabilitas dengan menggunakan teknik in vitro sudah merupakan pekerjaan rutin program pemuliaan tanaman hias komersial. Hal ini bertolak belakang dengan ta-naman-tanaman serealia seperti barley dan jagung di mana pendekatan variasi somaklonal belum ber-hasil dilakukan pada beberapa kasus (Baillie et al., 1992).

Maskipun hasil (regeneran) dari variasi soma-klonal tidak dapat diprediksi, beberapa kelebihan-nya dibandingkan dengan alat (teknik) lainkelebihan-nya adalah: 1) lebih murah dibandingkan dengan pen-dekatan bioteknologi dengan hibridisasi somatik dan transformasi genetik, 2) sistem kultur jaringan dapat menggunakan lebih banyak spesies tanaman

(5)

daripada manipulasi dengan hibridisasi somatik dan transformasi genetik, 3) tidak perlu identifikasi sifat (trait) berdasarkan sifat genetik dibanding de-ngan transformasi yang memerlukan identifikasi genetik untuk isolasi dan kloning gen dimaksud, dan 4) dilaporkan varian-varian noveltis telah ba-nyak dihasilkan di antara somaklon yang dihasil-kan variasi somaklonal. Bukti genetik dan sitoge-netik mengindikasikan bahwa frekuensi dan dis-tribusi terjadinya rekombinasi genetik dapat di-ubah dengan jalan lintas melatui kultur jaringan (Duncan dan Widholm, 1990; Karp, 1995).

KESIMPULAN

Variasi somaklonal dapat digunakan oleh para pemulia tanaman dalam rangka perbaikan sifat ta-naman. Alat (teknik) ini bukan alat yang teliti teta-pi dalam penggunaannya dilakukan dengan kontrol minimal. Pendekatan ini menawarkan secara cepat dan lebih mudah diakses untuk mendapatkan sum-ber keragaman genetik yang dapat digunakan pada program-program pemuliaan tanaman. Variasi so-maklonal merupakan pilihan yang sangat mungkin untuk digunakan sebagai alat perbaikan tanaman dengan sistem genetik terbatas dan atau berdasar-kan sifat genetik sempit (narrow genetic bases).

DAFTAR PUSTAKA

Ahloowalia, B. S. 185. Limitations to The Use of Somaclonal Variation in Crop Improvement, pp. 14-27. Dalam J. Semal [ed.]. Somaclonal Variation and Crop Improvement. Martinus Nijhoff Publication, USA.

Ahloowalia, B. S. 1985. Limitations to The Use of Somaclonal Variation in Crop Improvement, pp. 14-27. Dalam J. Semal [ed.]. Somaclonal Variation and Crop Improvement. Martinus Nijhoff Publication, USA.

Baillie, A. M. R., B. G. Rosnagel dan K. K. Kartha. 1992. Field evaluation of barley (Hordeum vulgare

L.) genotypes derived from tissue culture. Canadian Journal of Plant Science 72: 725-733.

Barbier, M. dan H. L. Dulieu. 1983. Genetic changes observed in tobacco (Nicotiana tabacum) plants regenerated from cotyledon by in vitro culture.

Annual Amelior. Plant 30: 321-344.

Bayliss, M. W. 1980. Chromosomal variation in plant tissue culture. International Review of Cytology (Supplement) IA: 113-143.

Duncan, D. R. dan J. M. Widholm. 1990. Techniques for selecting mutans from plant tissue cultures. Plant Cell and Tissue Culture 6: 443-453.

Fukui, K. 1983. Sequential occurance of mutations in a growing rice callus. Theoretical and Applied Genetics 65: 225-230.

Ghosh, A. dan V. N. Gadgil. 1979. Shift in ploidy level of callus tissue: a function of growth substances.

Indian Journal of Experimental Biology 17: 562-564.

Gould, A. R. 1984. Control of the cell cycle in cultured plant cells. Critical Review of Plant Science 1: 315-344.

Griffiths, A. J., F. Suzuki, J. H. Miller dan R. C. Lewontin. 1993. An Introduction to Genetic Analysis (Fifth Edition). W.H. Freeman and Co, New York.

Heinze, B. dan J. Schmidt. 1995. Monitoring genetic fidelity vs somaclonal variation in Norwey Spruce (Picea abies) somatic embryogenesis by RAPD analysis. Euphytica 85: 341-345.

Karp, A. 1995. Somaclonal variation as a tool for crop improvement. Euphytica 85: 295-302.

Larkin, P. J. 1987. Somaclonal variation: history, method and meaning. lowa State Journal of Research 61: 393-4343.

Maluszynski, M., B. S. Ahloowalia dan B. Sigurbjornsson. 1995. Application of in vivo and in vitro mutation technique for crop improvement.

Euphytica 85: 301-331.

Maralappanavar, M. S., M. S. Kuruvinashefti dan C. C. Harti. 2000. Regeneration, establishment and evaluation of somaclones in Sorghum bicolor (L.) Moench. Euphytica 115: 173-180.

McCoy, T. J., R. L. Phillips dan H. W. Rines. 1982. Cytogenetic analysis of plant regenerated from oat (Avena sativa) tissue cultures: high frequency of partial chromosome loss. Canadian Journal of Genetic Cytology 24: 37-50.

Moon, D. H., L. M. M. Oftoboni, A. P. Souza, S. T. Silbov, M. Gaspar dan P. Arruda. 1997. Somaclonal-variation-induced aluminum-sensitive mutant from an aluminum-inbreed maize tolerant line. Plant Cell Reports 16.

Norton, M. A. dan R. M. Skirvin. 1997. Somaclonal variation among ex vitro 'Thornless Evergreen' trailing blackberries: the morphological status of selected clones after seven years of field growth.

Journal of American Society for Horticultural Science 122: 152-157.

Peloquin, S. J. 1981. Manipulation of Chromosome and Cytoplasmic, pp. 117-150. Dalam J. F. Kenneth [ed.]. Plant Breeding. Iowa University Press, Ames. Peschke, V. M., R. L. Phillips dan B. G. Gengenbach.

1991. Genetic and molecular analysis of tissue cufture-derived AG element. Theoretical and Applied Genetics 82: 121-129.

Qureshi, J. A., P. Huci dan K. K. Kartha. 1992. Is somaclonal variation a riable tool for spring wheat improvement? Euphytica 60: 221-228.

(6)

Ramulu, K. S. 1986. Origin and Nature of Somaclonal Variation in Potato, pp. 188-201. Dalam J. Semal [ed.]. Somaclonal Variation and Crop Improvement. Martinus Nijhoff Publishing, USA.

Scowcroft, W. R. 1984. Genetic Variability in Tissue Culture Impact on Germplasm Conservation and Utilization. IBPGR, Rome.

Scowcroft, W. R., S. A. Ryan, R. I. S. Brettel dan P. J. Larkin. 1985. Somaclonal Variation in Crop improvement, p. 99-109. In Biotechnology in International Agricultural Research (Proceedings). International Rice Research Institute, Manila. Seman, J. dan P. Lepoivre. 1990. Application of Tissue

Culture Variability to Crop Improvement, pp. 301-315. Dalam S. S. Bhojwani [ed.]. Plant Tissue Culture: Applications and Limitations. Elsevier Science Publisher, Amsterdam.

Sihachakr, D., R. Haircour, J. M. C. Alves, I. Umboh, O. Nzoghe, A. Servaes dan G. Ducreux. 1997. Plant regeneration in sweet potato (Ipomoea batatas L., Convolvulaceae). Euphytica 96: 143-152.

Sinaga, S. 1998. Somaclonal Variation among Tissue Culture-Derived Planting Material of Peanut (Arachys hypogaea L.,) cv. Gajah. Magister Sains Thesis. Bogor University of Agricuclture, Bogor. Sondahl, M. R. dan A. Bragin. 1991. Somaclonal

Variation as A Breeding Tool for Coffee Improvement. ASIC, San Francisco.

Sutjahjo, S. H. 1994. Induksi Keragaman Somaklon ke Arah Ketenggangan terhadap Keracunan Aluminium pada Tanaman Jagung. Disertasi Doktor. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Thrope, T. A. 1990. The Current Status of Plant Tissue Culture, pp. 1-33. Dalam S. S. Bhojwani [ed.]. Plant Tissue Culture: Applications and Limitations. Elsevier Science Publishers, Amsterdam.

Utomo, S. D., A. K. Weissinger dan T. G. lsleib. 1996. High efficiency peanut regeneration using a nonimbibed immature leaflet culture method. Peanut Science 23: 71-75.

Van Harten, A. M., H. Bouter dan C. Broertjes. 1981. In vitro adventitous bud technique for vegetative propagation and mutation breeding of potato (Solanum tuberosum L.). II. Significance for mutation breeding. Euphytica 30: 1-8.

Vuylsteke, D. dan R. Swennen. 1990. Somaclonal variation in African plantain. IITA Research 1: 4-10. Walden, R. dan R. Wingender. 1995. Gene-transfer and

plant-regeneration technique. Tibtech 13: 324-331. Wattimena, A. G. dan N. A. Mattjik. 1992. Pemuliaan

Tanaman Secara In Vitro, pp. 105=168. Dalam A.S. Abidin [ed.]. Bioteknologi Tanaman. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor. Williams, M. E., A. G. Hepburn dan J. M. Windholm.

1991. Somaclonal variation in maize inbred lines is not associated with changes in the number or lacation Ae- homologous sequence. Theoretical and Applied Genetics 81: 272-276.

Winfield, M., M. R. Davey dan A. Karp. 1993. A comparison of chromosome instability in cell supension of diploid, tetraploid, and hexaploid wheats. Heredity 70: 187-194.

Referensi

Dokumen terkait

AJB Bumiputera 1912 jelas … memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia dengan produk-produk finansial yang dikembangkan khusus untuk mereka oleh perusahaan yang dimiliki para

Jika memiliki kekuatan karakter seperti apa atau tingkat kehalusan anyaman yang lebih baik dengan daerah lain, maka kemungkinan hal itu akan menjadi daya tarik

Sebuah layanan terpusat yang membuat bisnis, sekolah, dan institusi dapat memakai berbagai produk Google termasuk Email, Google Documents, Google Kalender, dan Google

Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum Agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan- ketentuan hukum adat sebagai

Penelitian dan pengembangan ini dipilih berawal dari permasalahan yang ditemukan dalam pembelajaran melalui observasi, kuisioner analisis buku teks yang tersedia,

Sisa pengolahan industri pertanian pada jagung akan menghasilkan limbah berupa bonggol jagung yang jumlahnya akan terus bertambah seiring dengan peningkatan

Pada Pada pers persama amaan an (3) (3) yait yaitu u n’= n’= mem memperl perliha ihatkan tkan adan adanya ya gabungan lensa yang terlihat dari f” yang berarti bayangan