• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI KESESUAIAN ANTARA ALAT OPTEC VISION TESTER DENGAN TNO STEREOSCOPIC VISION TEST PADA SKRINING PENGLIHATAN STEREOSKOPIS TUGAS AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI KESESUAIAN ANTARA ALAT OPTEC VISION TESTER DENGAN TNO STEREOSCOPIC VISION TEST PADA SKRINING PENGLIHATAN STEREOSKOPIS TUGAS AKHIR"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

UJI KESESUAIAN ANTARA ALAT

OPTEC VISION TESTER

DENGAN TNO STEREOSCOPIC VISION TEST PADA

SKRINING PENGLIHATAN STEREOSKOPIS

TUGAS AKHIR

DAVID RUDY WIBOWO 1006 826 036

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS KEDOKTERAN OKUPASI

JAKARTA MEI 2013

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

UJI KESESUAIAN ANTARA ALAT

OPTEC VISION TESTER

DENGAN TNO STEREOSCOPIC VISION TEST PADA

SKRINING PENGLIHATAN STEREOSKOPIS

TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

spesialis okupasi

DAVID RUDY WIBOWO 1006 826 036

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS KEDOKTERAN OKUPASI

JAKARTA MEI 2013

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tugas akhir ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Dr. David Rudy Wibowo NPM : 1006 826 036

Tanda tangan :

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Tugas akhir ini diajukan oleh:

Nama : Dr. David Rudy Wibowo

NPM : 1006 826 036

Program Studi : Kedokteran Okupasi

Judul : Uji Kesesuaian antara Alat Optec Vision Tester dengan TNO Stereoscopic Vision Test pada Skrining Penglihatan Stereoskopis

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis Kedokteran Okupasi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi, Fakultas Kedokeran, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : DR. Dr. Astrid Sulistomo, MPH., Sp.Ok ( ... )

Pembimbing II : Dr. Gusti Gede Suardana, Sp.M(K) ( ... )

Penguji I : DR. Dr. Fikry Effendi, MOH., Sp.Ok ( ... )

Penguji II : Dr. Yosephin Sri Sutanti, MS., Sp.Ok ( ... )

KETUA PROGRAM STUDI

DR. Dr. Muchtaruddin Mansyur MS., Sp.Ok, Ph.D ( ... )

Disetujui di : Jakarta Tanggal : 10 Mei 2013

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Penulisan tugas akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk dapat mendapatkan gelar Dokter Spesialis Okupasi (Sp.Ok) pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tugas akhir ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tulisan ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

(1) DR. Dr. Muchtaruddin Mansyur, MS., Sp.Ok, Ph.D, yang telah memberikan ide penulisan tugas akhir ini;

(2) DR. Dr. Astrid Sulistomo, MPH., Sp.Ok dan Dr. Gusti Gede Suardana, Sp.M(K), masing-masing selaku dosen pembimbing bidang Kedokteran Okupasi dan dosen pembimbing bidang Oftalmologi yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tulisan ini;

(3) DR. Dr. Fikry Effendi, MOH., Sp.Ok dan Dr. Yosephin Sri Sutanti, MS., Sp.Ok, selaku dosen penguji yang telah memberikan berbagai saran dan masukan dalam penyempurnaan tugas akhir ini;

(4) Para Pimpinan Perusahaan dan Organisasi, yang telah memberikan ijin pemakaian fasilitas di tempatnya guna kepentingan penulisan tugas akhir ini; (5) Kedua orang tua saya S. Wibowo (alm.) dan Lucy Kristiati, kedua mertua saya

Suhardi Tendeas dan Sandra Dimpudus, isteri saya Juliana Tendeas, S.Ked, dan anak-anak saya Jonathan Albert Wibowo dan Jeremy Alvin Wibowo yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral;

(6) Kedua sahabat seangkatan saya Dr. Markus Halim dan Dr. Mardiansyah Kusuma yang telah memberikan kerja sama yang baik;

(7) Seluruh teman di Kedokteran Okupasi FKUI yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

(6)

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tulisan ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu kesehatan di Indonesia.

Jakarta, Mei 2013

(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Dr. David Rudy Wibowo

NPM : 1006826036

Program Studi : Kedokteran Okupasi Fakultas: : Kedokteran

Jenis Karya : Tugas akhir

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk membeikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Uji Kesesuaian antara Alat Optec Vision Tester dengan TNO Stereoscopic Vision Test pada Skrining Penglihatan Stereoskopis

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan, mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis / pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Jakarta Pada tanggal : 10 Mei 2013

Yang menyatakan,

(8)

ABSTRAK Nama : David Rudy Wibowo

Program Studi : Kedokteran Okupasi

Judul : Uji Kesesuaian antara Alat Optec Vision Tester dengan TNO

Stereoscopic Vision Test pada Skrining Penglihatan Stereoskopis

Latar Belakang. Pemeriksaan penglihatan stereoskopis (3D) sering dilakukan pada penerimaan calon pekerja pada bidang tertentu, misalnya tentara, pilot, dokter bedah, operator crane, dan lain-lain. TNO Stereoscopic Vision Test (Kartu TNO) – instrumen pemeriksaan stereoskopis yang sering digunakan di Indonesia – masih memiliki kelemahan, misalnya waktu pemeriksaan yang cukup lama, sehingga perlu dicari alternatif pemeriksaan untuk skrining pekerja dalam jumlah besar. Di USA, Optec Vision Tester telah digunakan untuk menguji berbagai fungsi penglihatan, termasuk penglihatan stereoskopis. Namun di Indonesia sampai saat ini belum digunakan dan belum diketahui tingkat kesesuaiannya. Tujuan. Mengetahui tingkat kesesuaian dan perbandingan durasi pemeriksaan antara OptecVision Tester dengan pemeriksaan TNO Stereoscopic Vision Test.

Metode. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan analisis kesesuaian menggunakan pengujian Cohen’s Kappa. Semua subyek diperiksa dengan Kartu TNO dan Optec Vision Tester oleh dua pemeriksa yang berbeda. Hasil pemeriksaan (dalam detik busur) dan durasinya dicatat, dan diperoleh sampel sebanyak 341 subyek yang memenuhi syarat. Hasil pemeriksaan vision tester dan Kartu TNO dikatakan normal bila mencapai stereoakuitas 50 dan 60 detik busur, secara berturut-turut.

Hasil. Secara statistik, diperoleh nilai Kappa = 0,625, yang termasuk kategori “fair to good” menurut Fleiss. Median durasi pemeriksaan Kartu TNO dan vision tester secara berturut-turut adalah 96 dan 33 detik, dan berbeda bermakna secara statistik menurut Mann-Whitney U Test.

Kesimpulan. Optec Vision Tester mempunyai nilai kesesuaian tingkat sedang dan durasi pemeriksaan yang lebih singkat bila dibandingkan dengan Kartu TNO. Kata kunci: Optec Vision Tester, Kartu TNO, penglihatan stereoskopis, medical check-up.

(9)

ABSTRACT

Name : David Rudy Wibowo Study Program : Occupational Medicine

Title : The Suitability Between Optec Vision Tester and TNO Stereoscopic Vision Test in Stereoscopic Vision Screening.

Background. Examination of stereoscopic vision (3D) is often performed at medical check up recruitment in certain fields, such as soldiers, pilots, surgeons, crane operators, and others. However, the TNO Stereoscopic Vision Test (TNO Test) – a widely used instrument for stereoscopic vision inspection in Indonesia – still have some weaknesses, one of them is long examination time. So, it is necessary to look for an alternative screening examination for workers in large numbers. In the USA, Optec Vision Tester has been used to test a variety of visual functions, including stereoscopic vision. But to date in Indonesia it has not been used, and the level of suitability is still unknown.

Objectives. To determine the level of suitability and the comparison of the duration between OptecVision Tester and TNO Stereoscopic Vision Test.

Methods. The study design is cross sectional analysis of the suitability test using the Cohen’s Kappa calculation. All subjects examined by the TNO Test and Optec Vision Tester by two different examiners. Examination results (in arc seconds) and durations recorded, and obtained eligible samples of 341 subjects. Normal vision tester and TNO Test results determined when a subject could reach the stereoacuity 50 and 60 arc seconds respectively.

Results. Statistically, the Kappa value is 0,625, which is "fair to good" according to Fleiss. Median duration of TNO Test and vision tester examination respectively are 96 and 33 seconds, and statistically significant according to Mann-Whitney U Test.

Conclusion. Optec Vision Tester has a fair to good suitability level and shorter examination duration if compared to the TNO test.

Key words: Optec Vision Tester, TNO Test, stereoscopic vision, medical check-up.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar belakang ... 1 1.2 Identifikasi Masalah ... 3 1.3 Pertanyaan Penelitian ... 3 1.4 Tujuan Penelitian ... 3 1.4.1 Tujuan umum ... 3 1.4.2 Tujuan khusus ... 3 1.5 Manfaat Penelitian ... 4 1.5.1 Untuk Pekerja... 4 1.5.2 Untuk Profesi ... 4 1.5.3 Untuk Peneliti ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Fisiologi Penglihatan Manusia ... 5

2.2 Persepsi Kedalaman ... 6

2.2.1 Persepsi Kedalaman Monokuler ... 7

2.2.2 Persepsi Kedalaman Binokuler ... 10

2.2.3 Syarat-syarat Timbulnya Penglihatan Stereoskopis ... 13

2.3 Penilaian Penglihatan Stereoskopis ... 15

2.4 Gangguan Penglihatan Stereoskopis Dalam Populasi ... 16

2.4.1 Gangguan Penglihatan Binokuler dan Stereopsis ... 17

2.4.1.1 Ambliopia... 18

2.4.1.2 Strabismus ... 18

2.5 Pengujian Yang Digunakan Untuk Mengukur Stereopsis ... 19

2.6 Kartu TNO ... 23

2.7 Optec Vision Tester ... 27

2.7.1 Prinsip Kerja Alat Vision Tester ... 30

2.7.2 Cara Menggunakan Optec Vision Tester Untuk Menguji Penglihatan Stereoskopis ... 31

2.8 Uji Skrining ... 33

2.9 Uji Kesesuaian ... 34

2.10 Kerangka Teori ... 37

(11)

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Desain ... 39

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

3.3 Populasi dan Sampel ... 39

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 39

3.5 Besar Sampel ... 40

3.6 Kriteria Penilaian ... 40

3.7 Jenis Data ... 41

3.8 Variabel Penelitian ... 41

3.9 Alat Yang Digunakan Pada Waktu Pemeriksaan Stereoskopis ... 42

3.10 Prosedur Pemeriksaan Stereoskopis Pada Waktu Menjalankan Pemeriksaan Berkala ... 42

3.11 Cara Kerja Penelitian ... 44

3.12 Analisis Data ... 45

3.13 Alur Kerja ... 46

3.14 Definisi Operasional ... 47

3.15 Etika Penelitian ... 49

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 50

4.1 Karakteristik Subyek Penelitian ... 51

4.2 Perbandingan Hasil Pemeriksaan Kartu TNO Dengan Vision Tester ... 51

4.3 Hasil Uji Kesesuaian Alat Vision Tester terhadap Kartu TNO ... 53

4.4 Perbandingan Durasi Pemeriksaan Kartu TNO Dengan Vision Tester ... 53

4.5 Proporsi Kelainan Penglihatan Stereoskopis ... 55

BAB 5 PEMBAHASAN ... 56

5.1 Keterbatasan Penelitian ... 56

5.2 Karakteristik Subyek Penelitian ... 56

5.3 Hasil Uji Kesesuaian Alat Vision Tester Terhadap Kartu TNO ... 57

5.4 Perbandingan Durasi Pemeriksaan Kartu TNO Dengan Vision Tester ... 59

5.5 Proporsi Kelainan Penglihatan Stereoskopis ... 59

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

6.1 Kesimpulan ... 60

6.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Konsep Penglihatan Stereoskopis ... 6

Gambar 2.2. Ukuran Relatif. ... 8

Gambar 2.3. Interposisi. ... 8

Gambar 2.4. Perspektif Linier. ... 9

Gambar 2.5. Perspektif Aerial. ... 9

Gambar 2.6. Efek Pencahayaan dan Bayangan ... 10

Gambar 2.7. Perbedaan Tipis Bayangan Yang Jatuh ke Retina Menyebabkan Disparitas ... 13

Gambar 2.8. (A) Lingkaran Vieth-Müller. (B) Disparitas Binokuler dan Persepsi Kedalaman stereoskopis ... 14

Gambar 2.9. Area Fusional Panum ... 14

Gambar 2.10. Hubungan Antara Stereoakuitas dan Persepsi Kedalaman 3D ... 15

Gambar 2.11. Titmus Fly Stereotest ... 21

Gambar 2.12. Frisby Stereotest ... 23

Gambar 2.13. Randot Stereotest ... 23

Gambar 2.14. Lang II Stereotest ... 23

Gambar 2.15. Kartu TNO... 24

Gambar 2.16. Contoh Petunjuk Kartu V-VII Bagi Pemeriksa Uji TNO ... 26

Gambar 2.17. Optec Vision Tester ... 27

Gambar 2.18. Tampilan Slide Uji Stereoskopis Dengan Optec Vision Tester .... 29

Gambar 2.19. Prinsip Kerja Alat Vision Tester ... 30

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Jarak Stereothreshold Maksimum Untuk Stereoakuitas Berbeda

(PD=64 mm) ... 16

Tabel 2.2. Jarak Stereopsis Terjauh Untuk Jarak Pupil Yang Berbeda, Bila stereoakuitas = 80 detik busur ... 16

Tabel 2.3. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Stereoskopis Dengan Optec Vision Tester ... 33

Tabel 2.4. Tabel 2x2 ... 35

Tabel 3.1. Variabel-variabel Yang Digunakan Dalam Penelitian ... 42

Tabel 3.2. Tabel 2x2 ... 45

Tabel 4.1. Karakteristik Subyek Penelitian ... 51

Tabel 4.2. Perbandingan Hasil Pemeriksaan Kartu TNO dan Vision Tester ... 52

Tabel 4.3. Kesesuaian Antara Hasil Pemeriksaan Kartu TNO Dengan Vision Tester. ... 52

(14)

DAFTAR SINGKATAN

3D : Tiga Dimensi

BPS : Biro Pusat Statistik D : Distance

D3 : Diploma III

MCU : Medical Check-up

N. : Nervus (saraf) PD : Pupillary distance

PPDS Okupasi : Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Okupasi

SD : Sekolah Dasar

SDM : Sumber Daya Manusia

SIM : Surat Ijin Mengemudi

S1 : Strata I

S2 : Strata II

S3 : Strata III

SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SPSS : Statistical Package for Social Sciences

TNO : Toegepast Natuurwetenschappelijk Onderzoek U.S. military : United States military

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pada saat ini di Indonesia, dengan bertambahnya kemajuan dan meningkatnya produktivitas perusahaan, kebutuhan perusahaan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di tempat kerjanya masing-masing makin meningkat. Agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, efisien, dan aman, diperlukan pekerja yang memiliki tingkat kesehatan yang baik dan salah satu syaratnya adalah memiliki fungsi penglihatan yang baik.

Fungsi penglihatan untuk sebagian besar pekerjaan, perlu dilakukan penilaian sebelum melakukan pekerjaan dan secara periodik. Tujuannya adalah untuk menilai apakah fungsi penglihatan memenuhi persyaratan untuk suatu pekerjaan, maupun untuk mendeteksi dini adanya gangguan penglihatan akibat pekerjaan.

Selama ini, telah lama dilakukan skrining mata secara ketat terhadap para calon pekerja. Skrining mata secara ketat dilakukan pada jenis pekerjaan yang tidak hanya berdampak kepada kinerja dan produktivitas individu, akan tetapi berdampak pula pada keselamatan masyarakat umum, seperti: calon petugas kepolisian, pemadam kebakaran, satuan anti teroris, petugas menara pengawas di bandara, pilot, masinis, dan nahkoda. Sedangkan pada jenis pekerjaan yang tidak melibatkan keselamatan masyarakat umum, kemampuan visual yang baik juga dipersyaratkan demi mencapai tingkat produktivitas yang maksimal, misalnya pekerjaan di industri perakitan dan sektor manufaktur lainnya membutuhkan penglihatan stereoskopis yang baik, demikian juga dengan tentara, pilot, arsitek, dokter bedah, dokter gigi, operator forklift dan crane. (1)

Salah satu pemeriksaan yang penting dilakukan secara periodik, adalah pemeriksaan daya penglihatan bagi pekerja atau calon pekerja. Aspek penglihatan yang penting dinilai adalah tajam penglihatan, kemampuan membedakan warna

(16)

dan penglihatan stereoskopis. Selama ini ketiga aspek penglihatan masing-masing dilakukan dengan menggunakan alat yang berbeda dengan SDM yang terlatih.

Oleh karena kemampuan penglihatan stereoskopis calon pekerja cukup penting pada beberapa jenis pekerjaan, di beberapa tempat kerja ada yang mensyaratkan hasil pemeriksaan stereoskopis yang baik.

Saat ini, untuk pengujian stereoskopis digunakan alat synoptophore dan TNO

Stereoscopic Vision Test (Kartu TNO). Synoptophore memiliki beberapa kelemahan, yaitu selain alatnya mahal dan tidak portable, alat tersebut hanya dapat menilai penglihatan stereoskopis secara kualitatif saja. Sebaliknya Kartu TNO memiliki keunggulan selain bersifat portable, relatif terjangkau, dan dapat menilai penglihatan stereoskopis secara kuantitatif. Oleh karena itu Kartu TNO lebih banyak dipakai di klinik sebagai suatu instrumen skrining sekaligus diagnostik untuk mengukur kemampuan penglihatan stereoskopis. Hanya saja pemeriksaan dengan Kartu TNO selain memerlukan pencahayaan ruangan yang cukup terang, waktu pemeriksaannya pun relatif cukup lama. (2)

Berbeda dengan pelayanan di klinik, pemeriksaan berkala di perusahaan, dilakukan sekaligus untuk banyak pekerja dan bersamaan dengan berbagai jenis pelayanan kesehatan lainnya. Oleh karena itu diperlukan suatu alat, yang selain

portable, tidak tergantung pencahayaan ruangan, dan bisa melakukan pemeriksaan berbagai fungsi penglihatan sekaligus, dengan waktu singkat dan tingkat akurasi tinggi.

Nakagawara VB, Montgomery RW, dan Wood KJ telah merekomendasikan alat

OptecVision Tester untuk digunakan pada skrining mata pada sertifikasi pilot dan telah disetujui oleh Office of Aerospace Medicine Federal Aviation Administration. (3) Vision tester dapat digunakan sebagai alat skrining untuk berbagai fungsi penglihatan sekaligus dalam satu alat (termasuk penglihatan stereoskopis), dan diklaim mampu melakukan berbagai skrining fungsi penglihatan dalam waktu yang lebih singkat. (4) Diharapkan, alat ini menjadi suatu

(17)

alat skrining yang dapat diandalkan untuk melakukan skrining mata saat medical check-up dan memberikan hasil yang cukup baik.

1.2 Identifikasi Masalah

Vision tester sampai saat ini belum digunakan di Indonesia, khususnya pada pekerja untuk skrining fungsi penglihatan stereoskopis. Sehingga belum diketahui apakah hasil pemeriksaan sesuai dengan hasil pemeriksaan skrining dengan metode pemeriksaan yang selama ini digunakan di Indonesia, yaitu Kartu TNO untuk penglihatan stereoskopis. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian uji kesesuaian antara alat vision tester dan Kartu TNO pada skrining penglihatan stereoskopis terlebih dahulu.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Apakah hasil pemeriksaan skrining penglihatan stereoskopis menggunakan vision tester sesuai dengan hasil pemeriksaan menggunakan TNO Stereoscopic Vision Test (Kartu TNO)?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui apakah alat vision tester dapat digunakan pada skrining penglihatan stereoskopis yang memberikan hasil kurang lebih sama dengan Kartu TNO.

1.4.2 Tujuan khusus

– Mengetahui tingkat kesesuaian hasil pemeriksaan vision tester dengan hasil pemeriksaan TNO Stereoscopic Vision Test (Kartu TNO) untuk penglihatan stereoskopis.

– Membandingkan durasi pemeriksaan menggunakan vision tester dengan durasi pemeriksaan menggunakan Kartu TNO untuk penglihatan stereoskopis.

(18)

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Untuk Pekerja

Para pekerja dapat merasakan kemudahan dan kenyamanan serta memberikan hasil yang memuaskan untuk menguji penglihatan stereoskopis pada waktu pemeriksaan pra-kerja dan berkala, serta pemeriksaan khusus lainnya.

1.5.2 Untuk Profesi

Dengan diketahuinya tingkat kesesuaian dalam menguji penglihatan stereoskopis dengan alat ‘vision tester’, maka alat ini dapat menjadi suatu alternatif pemeriksaan stereoskopis bagi pekerja.

1.5.3 Untuk Peneliti

Penelitian ini merupakan kesempatan bagi peneliti untuk dapat mengetahui dan meningkatkan kemampuan dalam melakukan suatu penelitian, khususnya uji kesesuaian dalam bidang Ilmu Kedokteran Okupasi.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Penglihatan Manusia

Manusia dikaruniai dua buah mata yang berada dalam satu bidang frontal, dan masing-masing berjarak satu sama lain sekitar 58 – 70 mm (rata-rata 64 mm). Mata manusia melihat obyek yang dibiaskan melalui lensa mata, dan bayangan obyek ditangkap oleh retina secara terbalik. Namun demikian, bayangan yang diproses oleh bagian otak yang disebut korteks visual menginterpretasikan sebaliknya, sehingga otak tetap akan menerima bayangan obyek tidak secara terbalik, namun tegak. Perjalanan impuls cahaya atau bayangan yang diterima oleh retina (terutama di fovea) diteruskan melalui jaras visual (saraf optik) ke lobus oksipitalis otak. Dalam perjalanannya, jaras visual dari kedua mata bersilangan di bagian chiasma opticum, sehingga bayangan yang ditangkap oleh retina mata kiri bagian temporal dan retina mata kanan bagian nasal akan diteruskan ke lobus oksipitalis bagian kiri. Demikian juga dengan bayangan yang ditangkap oleh retina mata kanan bagian temporal dan retina mata kiri bagian nasal akan diteruskan ke lobus oksipitalis bagian kanan. Dengan kata lain, saraf dari sisi temporal dari retina masing-masing pergi ke sisi otak yang sesuai (tidak menyeberang), dan saraf dari sisi nasal retina menyeberang untuk mencapai sisi berlawanan dari otak. Korteks visual menggabungkan dua bayangan yang berbeda sudut pandang dengan mencocokkan persamaan dan menyesuaikan perbedaan-perbedaan tipis atau dalam satu bidang penglihatan. Perbedaan-perbedaan-perbedaan tipis antara dua gambar yang ditangkap retina disebut juga dengan istilah disparitas retina horisontal (horizontal retinal disparity). Proses penggabungan dan penyesuaian antara dua gambaran yang diterima otak menyebabkan perbedaan bermakna pada gambar akhir yang dipersepsikan, karena pada akhirnya akan membentuk gambaran tunggal yang berbentuk tiga dimensi di otak. Keunikan inilah yang mendasari kemampuan penglihatan binokuler tunggal pada manusia, dan penglihatan binokuler tunggal yang sempurna akan melahirkan penglihatan stereoskopis (tiga dimensi) yang baik.(5-8) (5,6,7,8)

(20)

Letak mata manusia yang berada dalam satu bidang frontal di bagian depan wajah mendukung untuk terwujudnya penglihatan stereoskopis. Berbeda dengan hewan-hewan lainnya seperti kelinci atau rusa, yang mana mata mereka tidak terletak dalam satu bidang, makhluk primata seperti manusia (dan juga burung hantu) tidak dapat melihat 360 derajat (panoramik), akan tetapi mampu melihat dunia dengan penglihatan stereoskopis atau tiga dimensi (3D) dengan baik. (7)

Gambar 2.1. Konsep Penglihatan Stereoskopis (8)

Sumber: Optometrists Network, diunduh tanggal 1 November 2011 dari:

http://www.vision3d.com/stereo.html.

2.2 Persepsi Kedalaman

Secara umum, persepsi kedalaman dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu persepsi kedalaman monokuler, persepsi kedalaman binokuler, dan persepsi kedalaman stereoskopis. Persepsi kedalaman monokuler adalah kemampuan manusia untuk mempersepsikan kedalaman hanya dengan menggunakan salah satu mata.

(21)

Persepsi kedalaman binokuler adalah kemampuan manusia untuk mempersepsikan kedalaman dengan kedua matanya. Sedangkan persepsi kedalaman stereoskopis (stereoscopic vision atau stereovision) mempunyai arti kemampuan penglihatan seseorang dalam hal membedakan persepsi kedalaman (depth perception) secara tiga dimensi (stereopsis). Stereopsis terjadi sebagai akibat dari pemrosesan rangsangan visual di otak yang berasal dari disparitas binokuler horisontal relatif yang dibentuk dari bayangan dari masing-masing retina. (5) Penelitian oleh Barlow, et al. (1967) membuktikan bahwa stereopsis merupakan fenomena yang terjadi di area korteks serebri. (9)

2.2.1 Persepsi Kedalaman Monokuler

Kemampuan mempersepsikan kedalaman tidak hanya semata-mata bergantung pada penglihatan binokuler. Secara teoritis, mata manusia dapat menilai persepsi kedalaman hanya dengan satu mata saja. Kemampuan ini tergantung pada beberapa petunjuk yang disebut isyarat monokuler (monocular cues). Beberapa isyarat monokuler yang kuat memungkinkan penentuan jarak relatif dan persepsi kedalaman. Isyarat monokuler ini meliputi:

1. Isyarat statik: a. Ukuran relatif b. Interposisi c. Perspektif linear d. Perspektif aerial e. Cahaya dan bayangan 2. Gerakan paralaks monokuler(10)

Ukuran relatif: ukuran gambar yang ditangkap oleh retina memungkinkan kita untuk menentukan jarak berdasarkan pengalaman di masa lalu dan sekarang dan kemiripan dengan benda serupa. Saat benda menjauh, bayangan retina menjadi semakin kecil. Kita menafsirkan keadaan ini sebagai benda yang semakin semakin jauh, bukan benda yang semakin mengecil. Hal ini disebut sebagai konstansi ukuran (size constancy).

(22)

Gambar 2.2. Ukuran Relatif. Bayangan retina akan mobil yang berukuran kecil diartikan sebagai mobil yang berada di kejauhan (10)

Sumber: Webvision, diunduh tanggal 1 November 2011 dari:

http://webvision.med.utah.edu/book/part-viii-gabac-receptors/perception-of-depth/

Interposisi (tumpang tindih): isyarat interposisi terjadi ketika ada obyek yang bertumpang tindih atau saling bertumpuk. Obyek yang ditumpuk dianggap terletak lebih jauh.

Gambar 2.3. Interposisi. Lingkaran biru dipersepsikan lebih dekat karena menumpuk lingkaran merah (10)

Sumber: Webvision, diunduh tanggal 1 November 2011 dari:

http://webvision.med.utah.edu/book/part-viii-gabac-receptors/perception-of-depth/

Perspektif linear: Ketika obyek-obyek dari jarak tertentu yang berjalan paralel menyatu membentuk sudut yang semakin mengecil di horison, hal ini ditafsirkan oleh korteks visual sebagai jarak yang semakin menjauh. Jadi, garis-garis paralel akan terlihat menyatu di kejauhan seiring peningkatan jarak, misalnya jalan raya, jalur kereta api, kabel listrik, dll.

(23)

Gambar 2.4. Perspektif Linier. Garis paralel seperti jalur kereta api menyatu dengan meningkatnya jarak (10)

Sumber: Webvision, diunduh tanggal 1 November 2011 dari:

http://webvision.med.utah.edu/book/part-viii-gabac-receptors/perception-of-depth/

Perspektif aerial: Warna relatif obyek memberi kita beberapa petunjuk akan jarak mereka. Karena hamburan cahaya biru di atmosfer menciptakan "dinding" cahaya biru, obyek yang lebih jauh akan tampak lebih biru. Jadi inilah sebabnya mengapa gunung di kejauhan terlihat biru. Kontras obyek juga memberikan petunjuk akan jarak benda-benda. Ketika hamburan cahaya mengaburkan garis luar obyek, maka obyek dianggap berada di kejauhan. Pegunungan dianggap lebih dekat ketika cuaca sedang terang.

Gambar 2.5. Perspektif Aerial. Pegunungan di kejauhan tampak lebih biru (10)

Sumber: Webvision, diunduh tanggal 1 November 2011 dari:

http://webvision.med.utah.edu/book/part-viii-gabac-receptors/perception-of-depth/

Cahaya dan bayangan: Efek pencahayaan dan bayangan dapat memberikan informasi tentang dimensi obyek dan kedalaman. Karena sistem visual kita

(24)

mengasumsikan cahaya datang dari atas, persepsi yang sama sekali berbeda diperoleh jika gambar tersebut dilihat terbalik.

Gambar 2.6. Efek Pencahayaan dan Bayangan Memberikan Informasi Tentang Kedalaman (10)

Sumber: Webvision, diunduh tanggal 1 November 2011 dari:

http://webvision.med.utah.edu/book/part-viii-gabac-receptors/perception-of-depth/

Gerakan Paralaks Monokuler (Monocular Movement Parallax): Berbeda dengan kelima isyarat statik yang telah disebutkan di atas, gerakan paralaks dapat menjadi suatu isyarat monokuler apabila seseorang menggerak-gerakkan mata atau kepalanya. Ketika kepala digerakkan dari sisi ke sisi, obyek pada jarak yang berbeda bergerak dengan kecepatan relatif yang berbeda. Benda akan terlihat lebih dekat bilamana bergerak "melawan" arah gerakan kepala dan akan terlihat lebih jauh apabila bergerak "searah" arah gerakan kepala. Sebagai contoh: jika kita menggeser kepala kita ke sebelah kiri sejauh 1 inci, maka obyek yang berjarak 1 inci dari depan mata (kanan) kita akan terlihat bergeser jauh ke arah kanan. Namun bila kita memusatkan perhatian pada obyek yang berjarak 100 meter, maka obyek seakan-akan bergerak mengikuti pergeseran kepala kita. (10,11)

2.2.2 Persepsi Kedalaman Binokuler

Telah disebutkan bahwa mata manusia mampu mempersepsikan kedalaman hanya dengan satu mata saja. Akan tetapi persepsi kedalaman yang jauh lebih baik hanya dapat terjadi apabila kita menggunakan koordinasi kedua bola mata yang aktif secara bersamaan. Ini juga ditunjang dengan posisi kedua bola mata yang sedemikian rupa menghadap ke arah frontal, sehingga retina menangkap bayangan yang berbeda tipis, dan diolah oleh korteks visual menjadi satu bayangan utuh

(25)

yang dinamakan penglihatan binokuler tunggal. Hal inilah yang disebut isyarat binokuler (binocular cues), yaitu menggunakan kedua mata untuk mempersepsikan kedalaman. (10)

Isyarat binokuler yang dimiliki seseorang tergantung kepada aspek okulomotor kedua bola mata, yaitu kemampuan akomodasi dan vergensi. Aspek okulomotor bola mata diatur oleh saraf kranialis ketiga, yaitu N. Oculomotorius, yang mempersarafi otot-otot bola mata, konstriksi pupil, dan otot-otot siliaris. Aspek okulomotor merupakan syarat terpenting untuk dapat mempersepsikan kedalaman, sebab tanpa akomodasi dan vergensi yang baik, seseorang tidak akan mungkin dapat mempersepsikan kedalaman yang baik pula. (9)

Akomodasi adalah kemampuan lensa mata untuk mengubah bentuknya agar dapat memfokuskan pandangan dengan jelas pada obyek yang berbeda-beda jaraknya. Kemampuan ini diatur oleh otot-otot siliaris yang menarik ulur lensa mata, sehingga lensa mata dapat memipih atau mencembung sesuai kebutuhan. Ketika memfokuskan pandangan pada obyek yang lebih dekat, otot-otot siliaris berkontraksi, kemudian mendorong lensa mata ke arah depan, sehingga lensa mata menjadi lebih cembung, dan titik fokus menjadi lebih pendek, supaya fokus penglihatan tetap jatuh pada retina. Kemampuan akomodasi lensa mata dalam menentukan persepsi kedalaman hanya terbatas pada jarak sekitar 2 meter. Kemampuan akomodasi lensa mata semakin berkurang seiring bertambahnya usia, sehingga di usia 60 tahun ke atas kemampuan akomodasi seseorang umumnya sangat terbatas dalam menentukan persepsi kedalaman. (5)

Vergensi adalah kemampuan bola mata untuk bergerak secara simultan supaya dapat memusatkan perhatiannya pada obyek penglihatan yang dituju. Kedua bola mata dapat bergerak searah dalam bidang horisontal, atau dapat bergerak ke arah dalam (konvergensi). Kemampuan konvergensi bola mata dalam menentukan persepsi kedalaman hanya berguna pada jarak kurang dari 6 meter. Di luar jarak 6 meter, sudut konvergensi yang dibentuk oleh kedua bola mata dianggap nol, sehingga posisi mata menjadi “lurus ke depan”. Penelitian dari Westheimer dan

(26)

Mitchell (1969) menunjukkan bahwa kemampuan latensi (jeda waktu antara dari penerimaan impuls visual sampai pada pergerakan) dari vergensi bola mata sekitar 150 milidetik. (5,9)

Fusi (fusion) adalah penyatuan kortikal obyek visual menjadi sebuah persepsi tunggal yang dimungkinkan oleh stimulasi simultan dari daerah retina yang sesuai. Bayangan retina untuk dapat menyatu, harus serupa dalam ukuran, bentuk, dan kejelasan. Proses ini terjadi untuk memungkinkan penglihatan binokuler tunggal, dan terjadi ketika obyek yang terlihat oleh kedua mata adalah sama. Bila obyek yang dlihat kedua retina ternyata berbeda, terjadi supresi, superimposisi atau persaingan retina (binocular “retinal” rivalry), yang berdampak pada timbulnya diplopia fisiologis. (9,12)

Fusi secara artifisial dibagi menjadi fusi sensorik, fusi motorik, dan stereopsis. Fusi sensorik didasarkan pada bawaan hubungan topografi antara retina dan korteks visual, di mana proyeksi bayangan yang ditangkap retina pada suatu sisi, berhubungan dengan lokus kortikal pada sisi yang sama. Fusi motorik adalah hasil dari gerakan vergensi yang menyebabkan bayangan yang mirip yang ditangkap oleh kedua retina dapat dipertahankan sebagai penglihatan tunggal. Sebagai akibatnya, kedua bola mata akan dipaksa untuk melakukan konvergensi untuk mempertahankan penglihatan tunggal. Fusi motorik dapat dianggap sebagai mekanisme mata untuk menghindari diplopia fisiologis. (12)

Stereopsis tidak seharusnya dianggap sebagai bentuk fusi sederhana. Stereopsis terjadi ketika disparitas retina terlalu besar untuk memungkinkan superimposisi sederhana, akan tetapi disparitas tersebut tidak cukup besar untuk menimbulkan diplopia. Oleh karena itu stereopsis, berada di antara fusi sensorik (dan motorik sederhana) dan diplopia fisiologis. (12)

Stereopsis adalah sensasi tiga dimensi (3D) terhadap persepsi kedalaman yang terutama disebabkan oleh disparitas retina secara horisontal. Stereopsis dan persepsi kedalaman tidak dapat dianggap identik, sebab isyarat monokuler dapat

(27)

pula berkontribusi terhadap persepsi kedalaman. Stereopsis merupakan pengembangan lebih lanjut dari persepsi kedalaman binokuler. Ini adalah bentuk tertinggi dari penglihatan mata, dan hal itu menambah kualitas baru fungsi penglihatan. Stereopsis tidak dapat terjadi secara monokuler, dan kemampuan penglihatan stereoskopis yang baik hanya dapat dicapai apabila fungsi dasar penglihatan dalam keadaan yang nyaris sempurna. Namun pada jarak lebih jauh dari 20 kaki, kita bergantung hampir sepenuhnya pada isyarat monokuler untuk persepsi kedalaman. (10,12)

2.2.3 Syarat-syarat Timbulnya Penglihatan Stereoskopis

Penglihatan stereoskopis dalam keadaan normal hanya dapat terjadi apabila terpenuhi syarat-syarat berikut: (1) Adanya disparitas retina yang menyebabkan stereopsis, (2) Terdapat lebih dari satu obyek yang dapat ditangkap oleh retina yang mempunyai jarak tertentu dan terletak dalam suatu daerah yang dinamakan “area fusional Panum”. (10)

Faktor disparitas retina sangat penting untuk menimbulkan persepsi kedalaman secara stereopsis, karena stereopsis hanya dapat dihasilkan dari fusi dua bayangan yang mengalami disparitas. Bahkan pada tahun 1841, Dove mendemonstrasikan bahwa dengan menggunakan alat yang disebut stereoscope, faktor okulomotor sesungguhnya tidak diperlukan untuk mendapatkan kesan stereopsis. Hal ini diperkuat oleh Julesz (1964) yang menggunakan stereogram titik-acak untuk membuktikan bahwa faktor disparitas retina adalah petunjuk atau isyarat terpenting bagi timbulnya stereopsis. (9,10)

Gambar 2.7. Perbedaan Tipis Bayangan Yang Jatuh ke Retina Menyebabkan Disparitas (13)

Sumber: Heeger D. Perception lecture notes: depth, size and shape, diunduh tanggal 4 November

(28)

Area fusional Panum adalah wilayah penglihatan stereoskopis. Jika seseorang memfokuskan pandangan di satu titik (titik fiksasi), benda-benda yang berada dalam area fusional Panum dapat terlihat mata sebagai tiga dimensi. Sedangkan benda-benda yang berada di luar area fusional Panum akan terlihat berbayang (diplopia fisiologis). Dengan menggunakan metode tertentu untuk menentukan horopter, area Panum dapat ditentukan. Horopter atau Vieth-Müller Circle (VMO) adalah suatu lingkaran imajiner di mana obyek-obyek yang berada pada lingkaran tersebut dipersepsikan mempunyai jarak pandang yang sama. Konsekuensinya, benda yang berada di luar lingkaran horopter, akan terlihat lebih jauh, sedangkan benda yang berada di dalam lingkaran, akan terlihat lebih dekat. (5,10)

Gambar 2.8. (A) Lingkaran Vieth-Müller.(B)Disparitas Binokuler dan Persepsi Kedalaman stereoskopis (5)Sumber: Adler’s physiology of the eye, 10th ed., 2003, hal. 486

Gambar 2.9. Area Fusional Panum Terletak Antara Batas Luar dan Dalam Wilayah Penglihatan Binokuler Tunggal (10)

Sumber: Webvision, diunduh tanggal 1 November 2011 dari:

(29)

2.3 Penilaian Penglihatan Stereoskopis

Kemampuan penglihatan stereoskopis tiap-tiap orang tidaklah sama. Ukuran ketajaman penglihatan stereoskopis disebut stereoakuitas (stereoacuity). Penilaian stereoakuitas dalam klinis menggunakan satuan detik busur (second of arc atau

arc second). Satu detik busur sama dengan 1/3600 derajat busur. Hasil perolehan nilai stereoakuitas sangat tergantung pada jenis instrumen yang digunakan untuk pemeriksaan stereoskopis, dan umumnya diperoleh pada kisaran antara 30-40 detik busur. (5,14) Hubungan antara stereoakuitas dengan persepsi kedalaman stereoskopis maksimum dapat diterangkan melalui gambar 2.10.

Gambar 2.10. Hubungan Antara Stereoakuitas dan Persepsi Kedalaman 3D (15)

Sumber: Vision Science III, diunduh pada tanggal 3 November 2011 dari

http://arapaho.nsuok.edu/~salmonto/vs3_materials/Lecture14.pdf.

Gambar di atas adalah sebuah pengukuran sederhana untuk menilai batas persepsi kedalaman stereoskopis maksimum (stereothreshold). Pada gambar di atas, jika sudut ‘a’ adalah nilai stereoakuitas yang sudah diketahui dari pemeriksaan stereoskopis, dan jarak antar pupil (pupillary distance = ‘PD’) diketahui, maka dengan rumus di bawah ini, kita dapat menghitung stereothreshold seseorang:

Jika PD = 0,064 m dan sudut ‘a’ adalah 20 detik busur (9,696 × 10-5 radian), maka jarak ‘D’ sama dengan 660 meter. Tabel di bawah ini menunjukkan jarak

(30)

Tabel 2.1. Jarak Stereothreshold Maksimum Untuk Stereoakuitas Berbeda (PD=64 mm) (15) Stereoakuitas

(detik busur) Radian

Stereothreshold (meter) 2 9,696 ×106 6600 10 4,848 ×105 1320 20 9,696 ×105 660 40 1,939 ×104 330 80 3,879 ×104 165

Sumber: Vision Science III, diunduh pada tanggal 3 November 2011 dari

http://arapaho.nsuok.edu/~salmonto/vs3_materials/Lecture14.pdf.

Dari Tabel 2.1, dapat diketahui bahwa seseorang yang mempunyai stereoakuitas sebesar 20 detik busur tidak mungkin menilai posisi relatif benda-benda yang berada lebih dari 700 meter darinya.

Tabel 2.2. Jarak Stereopsis Terjauh Untuk Jarak Pupil Yang Berbeda, Bila stereoakuitas = 80 detik busur (15)

Jarak pupil (mm) Jarak maksimum (meter) 56 134 60 155 64 165 68 175

Sumber: Vision Science III, diunduh pada tanggal 3 November 2011 dari

http://arapaho.nsuok.edu/~salmonto/vs3_materials/Lecture14.pdf.

Tabel di atas menunjukkan bahwa stereothreshold maksimum juga dipengaruhi oleh jarak antar kedua pupil. Semakin jauh jarak antar kedua pupil, maka jarak terjauh yang dapat dilihat seseorang secara stereoskopis juga bertambah secara signifikan.

2.4 Gangguan Penglihatan Stereoskopis Dalam Populasi

Penelitian bersama oleh Zaroff, Knutelska, dan Frumkes (2003) mengungkapkan bahwa pada kelompok usia produktif, ditemukan bahwa prevalensi gangguan penglihatan stereoskopis kira-kira mencapai 11 persen dalam populasi. (16)

(31)

Gangguan penglihatan stereoskopis dikatakan juga dipengaruhi oleh faktor usia, terutama usia di atas 40 tahun. (17) Gangguan penglihatan stereoskopis juga banyak dialami oleh penderita gangguan tajam penglihatan yang tidak dapat terkoreksi maksimal (visus lebih buruk dari 20/20 atau 6/6), dan gangguan akomodasi. Selain itu, pada orang yang mengalami gangguan strabismus, kemampuan penglihatan stereoskopisnya juga terganggu. Dikatakan juga bahwa perbedaan jenis kelamin dan tingkat pendidikan tidak mempengaruhi variasi stereoakuitas dalam populasi. (9,16)

Orang yang mengalami gangguan penglihatan stereoskopis umumnya tidak dapat mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan kemampuan stereoskopis yang prima. Gangguan yang paling nyata dirasakan pada orang-orang tersebut adalah saat menonton tayangan film tiga dimensi (3D). Mereka tidak akan dapat menikmati tayangan tersebut, sebaliknya mereka akan mengalami sakit kepala, mual muntah, motion sickness, bahkan disorientasi. Hal seperti ini dialami oleh orang-orang yang mempunyai kelainan penglihatan binokuler. Secara umum, terjadi penurunan kualitas hidup pada orang-orang yang mengalami gangguan penglihatan stereoskopis, misalnya penurunan kemampuan bermain tenis, memasukkan benang ke dalam jarum, menjahit atau merajut. (18,19)

Pada orang-orang yang tidak mengalami ambliopia, strabismus, atau gangguan penglihatan binokuler lainnya, stereoakuitas dapat dikembangkan lebih jauh. Penelitian oleh Sowden, Davies, Rose dan Kayne (1996) menunjukkan bahwa pembelajaran secara perseptual dengan melatih indera penglihatan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan stereoskopis atau pajanan berulang dengan stereogram titik-acak dapat melatih seseorang untuk meningkatkan stereoakuitasnya. (9,20)

2.4.1 Gangguan Penglihatan Binokuler dan Stereopsis

Secara statistik, gangguan penglihatan stereoskopis paling banyak disebabkan oleh gangguan penglihatan binokuler, yaitu penderita ambliopia dan strabismus.

(32)

Adanya ambliopia dan/atau strabismus pada seseorang secara dramatis mengurangi kemampuan penglihatan stereoskopis seseorang.

2.4.1.1 Ambliopia

Ambliopia atau mata malas adalah suatu kondisi di mana terjadi pengurangan visus pada mata tanpa disertai adanya kelainan organik. Dengan kata lain, secara fisik mata tampak normal, akan tetapi visus mata berkurang dan tidak dapat dikoreksi. Kelainan ini biasanya terjadi unilateral, sehingga penderita cenderung mempunyai penglihatan monokuler. Penyebab ambliopia adalah perbedaan refraksi antara kedua mata (anisometric amblyopia), kedudukan bola mata yang tidak seimbang (strabismic amblyopia), katarak kongenital, atau ketidakseimbangan okulomotor (misalnya nistagmus). (21,22)

2.4.1.2 Strabismus

Strabismus atau mata juling adalah suatu kondisi di mana mata tidak selaras dalam hal kesegarisan satu sama lain. Ini biasanya diakibatkan oleh kurangnya koordinasi antara otot-otot bola mata, menyebabkan terhalangnya tatapan masing-masing mata ke titik yang sama dalam satu ruangan dan mengganggu penglihatan binokuler, sehingga memberikan efek negatif pada persepsi kedalaman. Kelainan pada strabismus dapat terjadi sebagai akibat dari gangguan otak dalam mengkoordinasikan gerakan mata, kelemahan otot yang menggerakkan bola mata, atau gangguan arah pergerakan mata. Jika posisi sumbu mata menyilang konvergen ke arah tengah, maka kondisi ini disebut esotropia atau strabismus konvergen. Jika posisi sumbu mata menyilang ke arah luar, keadaan ini disebut eksotropia atau strabismus divergen. Masalah yang sering dialami oleh penderita strabismus adalah penglihatan ganda atau diplopia, karena penderita strabismus merasa kesulitan memusatkan penglihatannya menjadi penglihatan binokuler tunggal. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa penderita strabismus memiliki masalah dalam menentukan persepsi kedalaman stereoskopis.

Salah satu cara mudah untuk mendeteksi adanya strabismus adalah dengan melakukan Tes Hirschberg. Pemeriksa menyorotkan sebuah senter ke arah tengah

(33)

wajah subyek. Secara refleks, subyek yang normal akan mencoba melihat ke arah sinar. Kemudian pemeriksa melihat jatuhnya bayangan lampu senter di kedua kornea mata subyek, dan membandingkan posisi jatuhnya bayangan lampu senter. Pada subyek yang normal, jatuhnya bayangan lampu senter akan terletak di posisi kuadran yang sama. (23)

2.5 Pengujian Yang Digunakan Untuk Mengukur Stereopsis

Kemampuan mempersepsikan kedalaman secara tepat oleh penglihatan binokuler adalah tingkatan tertinggi yang dimiliki seorang individu dalam hal aspek visual. Seseorang akan memiliki penglihatan stereoskopis yang prima apabila telah memenuhi berbagai persyaratan, seperti tidak adanya gangguan penglihatan binokuler dan gangguan visus yang berat. Sedikit saja syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka penglihatan stereoskopis atau stereopsis akan terganggu. Karena begitu ketatnya persyaratan untuk penglihatan stereoskopis yang baik, beberapa ahli menganggap bahwa adanya gangguan penglihatan stereoskopis merupakan salah satu tanda awal dari gangguan sistem penglihatan. Hasil pemeriksaan stereoskopis yang memberikan hasil baik biasanya menyingkirkan diagnosis gangguan refraksi yang tidak terkoreksi, ambliopia, dan strabismus. Oleh karena itu, sudah selayaknya pemeriksaan stereoskopis untuk mengukur stereopsis dapat dipertimbangkan sebagai suatu komponen dari rangkaian skrining mata. (24)

Proses stereopsis dapat dibagi menjadi dua sub kategori, lokal dan global. Stereopsis lokal sangat bergantung pada penglihatan sentral oleh fovea, dan pengujian stereopsis lokal hanya melibatkan lapang pandang dan sudut pandang yang kecil, yaitu, subyek diminta melihat pada sasaran pandang yang kecil dan jauh. Stereopsis lokal digunakan untuk mengevaluasi perbedaan jarak dua stimuli horisontal atau lebih yang terletak pada jarak tertentu. Oleh karena itu stereopsis lokal sering disebut juga stereopsis jauh. Pengujian stereopsis global mempunyai sifat-sifat yang berlawanan dengan pengujian stereopsis lokal, yaitu sasaran pandang yang cukup besar dan dekat, misalnya pada berbagai stereogram titik-acak dan beberapa vectographic stereogram. Stereopsis global sering disebut juga stereopsis dekat. Proses stereopsis global melibatkan pemrosesan saraf pusat

(34)

yang lebih luas dan melibatkan hampir seluruh bagian retina. Pada pengujian stereopsis global, proses evaluasi dan korelasi dari titik-titik korespondensi (corresponding points) dan titik-titik yang berbeda (disparate points) memerlukan jatuhnya bayangan di daerah retina yang cukup besar. (10)

Dalam klinis, ada dua kelompok uji/tes yang digunakan untuk mengukur stereopsis, yaitu stereotes kontur (contour stereotest) dan stereotes titik-acak (random-dot stereotest). Disebut stereotes kontur karena subyek disajikan suatu bentuk gambar dua dimensi yang konturnya dapat terlihat secara tiga dimensi hanya dengan menggunakan teknik atau alat khusus (misalnya kacamata filter). Stereotes kontur umumnya hanya menguji kualitas stereopsis lokal, sedangkan stereotes titik-acak dapat menguji stereopsis global, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. (10)

Menurut penelitian Wong, et al. (2002), hasil pengukuran stereoakuitas menurut stereotes kontur dan stereotes titik acak tidak berbeda secara bermakna, asalkan sama-sama menggunakan instrumen yang sejenis, misalnya stereogram. (25) Sehingga dapat dikatakan bahwa pengukuran stereopsis jauh dan stereopsis dekat memberikan hasil yang tidak jauh berbeda, pada pengujian dengan dua jenis stereogram.

Sebuah contoh dari stereotes kontur yang banyak digunakan di Amerika Serikat adalah Titmus Fly Stereotest, atau Stereogram Titmus.Dalam pengujian tersebut, disparitas horisontal disajikan melalui teknik vectographic (cetakan gambar stereoskopis yang hanya dapat dilihat dengan kacamata 3D dengan lensa terpolarisasi). (26) Sebenarnya Stereogram Titmus mempunyai tiga komponen, yaitu gambar lalat raksasa, gambar-gambar hewan, dan cincin Wirt. Cincin Wirt terdiri dari empat buah lingkaran yang tersusun sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah gambar wajik, dan total gambaran wajik tersebut berjumlah sembilan buah. Ketika diuji dari jarak 40 cm, gambar lalat memiliki disparitas sebesar 3.600 detik busur, disparitas dari berbagai gambar hewan sebesar 400-100

(35)

detik busur dan disparitas dari berbagai cincin Wirt sebesar 800-40 detik busur. (10)

Gambar 2.11. Titmus Fly Stereotest (10)

Sumber: Webvision, diunduh tanggal 1 November 2011 dari:

http://webvision.med.utah.edu/book/part-viii-gabac-receptors/perception-of-depth/

Stereogram titik-acak pertama kali dikembangkan oleh Julesz (1960) (27) dengan tujuan untuk mengeliminasi isyarat monokuler, yang dikatakan masih mempengaruhi stereopsis lokal. Subyek yang hendak diuji disajikan satu atau dua buah bidang datar berbentuk kotak yang berisi titik-titik yang tersusun secara acak. Pada beberapa pengujian, titik-titik ini disusun secara acak oleh program komputer. Subyek hanya dapat melihat obyek tiga dimensi secara stereoskopis hanya dengan menggunakan kedua matanya secara simultan, dan tidak dapat melihat obyek yang ditunjukkan hanya dengan satu mata saja. Obyek yang terlihat secara stereoskopis terlihat seolah-olah mengambang di atas bidang datar. Karena tidak mempunyai kontur, maka persepsi kedalaman stereoskopis pada pengujian ini hanya dapat terjadi oleh karena faktor stereopsis. (10,24)

Contoh stereotes titik-acak yang banyak digunakan di Amerika Serikat adalah

Frisby Stereotest, Randot Stereotest, Random-dot E Stereotest dan Lang Stereotest. Pada Stereotes Frisby digunakan kedalaman nyata untuk menentukan stereoakuitas. Di sini digunakan tiga buah lempengan plastik dengan ketebalan yang berbeda, di mana pada masing-masing lempengan terdapat empat gambar bujur sangkar yang dicat di salah satu sisi lempengan tersebut. Dalam salah satu

(36)

Subyek diminta untuk mengidentifikasi adanya “lubang” atau lingkaran yang mencuat “keluar”. Howard dan Rogers (1995) berpendapat bahwa, meskipun stereotes Frisby mudah digunakan, namun masih terdapat bias yang dapat membuat rancu pengujian stereopsis, karena faktor vergensi, akomodasi, paralaks, dan perspektif dapat pula berperan, sehingga berpotensi mengacaukan hasil pemeriksaan. (9) Baik Uji Randot dan Random-dot E menggunakan filter terpolarisasi silang berupa kacamata. Disparitas juga dibuat secara vectographic.

Stereotes Randot menggunakan gambar hewan yang dimodifikasi dan desain cincin dengan latar belakang titik acak untuk menghilangkan isyarat monokuler. Stereotes Lang menggunakan teknik panographic (Fricke dan Siderov, 1997) (26) untuk menyajikan disparitas, sehingga tidak diperlukan adanya kacamata sebagai filter. Subyek diminta untuk mengidentifikasi gambar pada Stereotes Lang. Pada

Lang II Stereotest memiliki bentuk yang dapat terlihat secara monokuler di atasnya. (10)

Semua pengujian memberikan pengukuran stereoakuitas dengan meminta subyek untuk mengidentifikasi target yang memiliki kedalaman stereoskopis yang benar (target yang memiliki disparitas atau perbedaan kontur). Jarak antara subyek dengan instrumen dan jarak antar pupil perlu dipertimbangkan ketika menghitung stereoakuitas. Subyek dengan gangguan penglihatan binokuler atau perbedaan kelainan refraksi pada satu mata, akan mendapatkan hasil buruk pada pengujian mempersepsikan kedalaman. (10)

(37)

Gambar 2.12. Frisby Stereotest (10) Gambar 2.13. Randot Stereotest (10)

Sumber: Webvision, diunduh tanggal 1 November 2011 dari:

http://webvision.med.utah.edu/book/part-viii-gabac-receptors/perception-of-depth/

Gambar 2.14. Lang II Stereotest (10)

Sumber: Webvision, diunduh tanggal 1 November 2011 dari:

http://webvision.med.utah.edu/book/part-viii-gabac-receptors/perception-of-depth/

2.6 Kartu TNO

Instrumen yang bernama lengkap TNO test for stereoscopic vision dikeluarkan pada tahun 1972 oleh Netherlands Organisation for Applied Scientific Research

(Nederlandse Organisatie voor Toegepast Natuurwetenschappelijk Onderzoek), suatu organisasi non profit yang berkantor pusat di Delft, Belanda. (28) Pada dasarnya pengujian ini merupakan jenis stereogram titik-acak yang pernah dikembangkan oleh Julesz (1960) sebelumnya. (2,27,29) Kartu TNO pertama kali digunakan oleh Walraven (1972) untuk menskrining ambliopia pada anak-anak prasekolah. (2,29)

Kartu TNO dirancang terutama untuk menskrining anak usia 2 ½ sampai 5 tahun untuk mendeteksi adanya cacat penglihatan binokuler. Subyek diminta

(38)

mengidentifikasi bentuk-bentuk geometris dasar yang dilihatnya secara stereoskopis, akan tetapi hanya dapat terlihat jika memakai kacamata filter warna merah/hijau dan menggunakan kedua matanya secara bersamaan. Tiga kartu pemeriksaan di awal (kartu I – III) memungkinkan pemeriksa untuk menskrining ada tidaknya penglihatan stereoskopis seseorang. Pengukuran stereopsis yang terlihat pada tiga kartu di awal ini berukuran 2000 detik busur jika dilihat pada jarak pandang 40 cm. Kartu keempat (IV) digunakan untuk mengetahui adanya supresi pada salah satu mata, dengan demikian dapat cepat mengetahui adanya ambliopia. Tiga kartu pemeriksaan berikutnya (kartu V, VI, dan VII) dapat digunakan untuk penentuan stereoakuitas secara kuantitatif, yaitu mulai dari 480 semakin menurun sampai 15 detik busur. Apabila subyek tidak mampu melewati pemeriksaan dengan kartu yang menunjukkan angka 240 detik busur, maka boleh dikatakan bahwa subyek mengalami masalah dengan penglihatan binokulernya. Sama seperti stereogram titik-acak lainnya, subyek tidak dapat mengandalkan isyarat monokuler dalam melewati uji ini. Subyek diharuskan melihat dengan kacamata merah/hijau yang disertakan pada saat pembelian instrumen ini. (30)

Gambar 2.15. Kartu TNO

Sumber: TNO test for stereoscopic vision

Prosedur melakukan pemeriksaan stereoskopis dengan kartu TNO adalah sebagai berikut:

(39)

(2) Tajam penglihatan subyek haruslah dalam kondisi terkoreksi maksimal dan subyek tidak mengalami strabismus.

(3) Jarak pandang antara subyek dengan kartu pemeriksaan sekitar 40 cm (4) Subyek memakai kacamata filter merah/hijau yang disediakan

(5) Subyek diharuskan melihat kartu pemeriksaan dengan kedua matanya (6) Kartu pemeriksaan harus terletak sejajar dengan subyek, tidak boleh

miring ke kiri atau ke kanan

a. Pada kartu I, dengan menggunakan kacamata filter, subyek dapat melihat dua buah gambar kupu-kupu, tetapi salah satunya tersembunyi. Gambar tersebut hanya dapat terlihat dengan menggunakan kedua mata. Subyek diminta untuk menunjuk setiap gambar kupu-kupu yang ia lihat.

b. Pada kartu II, subyek akan melihat empat buah lingkaran yang berbeda ukuran. Dua di antaranya, yang terbesar dan nomor dua terkecil hanya dapat terlihat secara stereoskopis. Subyek diminta mengurutkan ukuran lingkaran, mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar.

c. Pada kartu III, ada empat buah gambar tersembunyi, yaitu lingkaran, segitiga, bujursangkar, dan wajik, yang tersusun di sekitar tanda + (plus) yang dapat terlihat dengan mata telanjang. Di halaman sebelah kiri kartu III, ada contoh keempat gambar yang dapat terlihat tanpa menggunakan kacamata filter. Subyek diminta untuk mencocokkan tempat di mana ia melihat gambar pada kartu dengan contoh yang sesuai di halaman sebelahnya. Untuk mengecek apakah subyek mengerti instruksi dari pemeriksa, mulailah dengan tanda + (plus) terlebih dahulu.

d. Pada kartu IV, dapat diperiksa adanya supresi pada salah satu mata. Pada orang normal, akan terlihat sebuah lingkaran kecil yang diapit oleh dua lingkaran yang lebih besar. Jika subyek hanya dapat melihat dua buah lingkaran, tanyakan mana yang lebih besar, yang kiri atau yang kanan. Posisi lingkaran besar yang terlihat menunjukkan sisi mata manakah yang lebih dominan.

(40)

e. Pada kartu V-VII, subyek akan melihat lingkaran yang sebagian sektornya hilang (gambar 2.17), yang ditampilkan dengan enam tingkat kedalaman yang berbeda (dua lingkaran di setiap tingkat kedalaman). Stereoakuitas yang sesuai berkisar antara 480 sampai 15 detik busur. Jika subyek masih kanak-kanak, alangkah sangat berguna jika menginstruksikan kepadanya untuk menunjuk manakah bagian kue atau pai yang hilang. (30)

Gambar 2.16. Contoh Petunjuk Kartu V-VII Bagi Pemeriksa Uji TNO (30)

Sumber: TNO test for stereoscopic vision

Jika digunakan untuk keperluan skrining ambliopia, kartu V semestinya digunakan sebagai kriteria lolos tidaknya uji TNO. Beberapa studi sebelumnya mengindikasikan bahwa pada tingkatan 240 detik busur, setidaknya 95% penderita ambliopia gagal mengenali bentuk yang ditunjukkan. (2) Jika pemeriksa ingin meningkatkan sensitivitas pengujian terhadap ambliopia, ia dapat menggunakan kriteria lolos tidaknya pengujian pada tingkatan 120 detik busur. (30) Menurut Paralkar, et al. (2001), jika Kartu TNO digunakan untuk skrining penglihatan stereoskopis pada orang normal, maka umumnya dipakai patokan di bawah atau sama dengan 60 detik busur dianggap masih dalam batas normal. (31)

Jika subyek sama sekali tidak dapat melihat gambaran stereoskopis pada pengujian TNO ini, maka dapat dipastikan bahwa ia mengalami gangguan

(41)

penglihatan binokuler maupun monokuler. Untuk itu subyek perlu dirujuk lebih lanjut ke dokter spesialis mata untuk mencari penyebab pasti kelainan tersebut.

2.7 Optec Vision Tester

Optec Vision Tester adalah produk dari Stereo Optical Co., Inc. yang merupakan produsen peralatan vision tester yang terbesar di dunia. Dengan lebih dari 60 tahun layanan terpercaya, perusahaan ini mengkhususkan diri dalam produk uji diagnostik penglihatan bagi para profesional di bidang optik dan kesehatan mata. Stereo Optical telah mengembangkan sederetan instrumen vision tester untuk digunakan dalam bidang oftalmologi, optometri, uji klinis, pediatri, sekolah, industri, kesehatan masyarakat, pelayanan kesehatan primer, lisensi mengemudi, dan militer, khususnya di Amerika Serikat. Optec Vision Tester telah menjadi kepercayaan U.S. military sebagai alat skrining mata pada calon tentara di Amerika Serikat selama kurang lebih 55 tahun. (4)

Optec Vision Tester telah banyak digunakan untuk skrining penglihatan calon pekerja di berbagai organisasi yang berbeda, termasuk industri otomotif, farmasi, dan berbagai perusahaan lainnya di Amerika Serikat. Alat ini dapat menyediakan skrining mata okupasi yang dikatakan lengkap, dengan menggunakan target yang akurat dan mudah dimengerti untuk membantu menentukan penglihatan yang efektif. (4)

(42)

Optec Vision Tester menawarkan pemeriksaan skrining mata yang lebih cepat daripada pemeriksaan konvensional dan dapat disesuaikan menurut kebutuhan. Alat ini dapat melakukan beberapa macam pengujian dalam suatu rangkaian pemeriksaan, dan tidak membutuhkan tenaga seorang dokter untuk mengoperasikannya, melainkan cukup seorang teknisi yang sudah dilatih secara khusus. Subyek diminta untuk melihat ke dalam lensa yang merupakan suatu jendela untuk melihat target uji skrining yang berupa slide-slide pengujian. (4)

Di balik kelebihan yang ditawarkan oleh Optec Vision Tester, terdapat beberapa keterbatasan fungsi alat tersebut, yaitu: (32)

 Sebuah vision tester tidak dapat digunakan untuk penegakan diagnosis kelainan mata, karena fungsinya terbatas hanya untuk skrining.

 Tidak semua pemeriksaan skrining mata dapat dilakukan dengan akurat oleh sebuah vision tester, terutama pada kelainan mata ganda, misalnya miopia bersamaan dengan astigmatisme pada seorang subyek dapat memberikan hasil yang berbeda dengan pemeriksaan mata konvensional.

 Harga per unit sebuah vision tester relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga instrumen skrining mata konvensional.

Optec Vision Tester tersedia dalam berbagai paket penjualan, yang masing-masing paket terdiri dari 12 macam slide yang berbeda-beda. Konfigurasi slide dalam masing-masing paket penjualan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Stereo Optical menawarkan beberapa paket slide yang disesuaikan menurut kegunaannya, yaitu paket untuk: (4)

Ophthalmology Optometry Public Health Schools Pediatrics Clinical Trials General Medicine

(43)

Driver Licensing

Industry

Military

Ada pun paket slide yang akan digunakan untuk pengujian dalam penelitian ini adalah paket industry, antara lain adalah: (33)

Slide No. 1 – Far Point Demonstration Highway (Fixation for Peripheral Test)

Slide No. 2 – Far Point Acuity Both Eyes Binocular (20/200-20/13)

Slide No. 3 – Far Point Acuity Right Eye Monocular (20/200-20/13)

Slide No. 4 – Far Point Acuity Left Eye Monocular (20/200-20/13)

Slide No. 5 – Far Point Stereo Depth Perception (400-20 Seconds of Arc)

Slide No. 6 – Far Point Color Perception (Pseudo Ishihara)

Slide No. 7 – Far Point Vertical Phoria (1/2 Diopter Increments)

Slide No. 8 – Far Point Lateral Phoria (1 Diopter Increments)

Slide No. 9 – Near Point Acuity Both Eyes Binocular (20/200-20/13)

Slide No. 10 – Near Point Acuity Right Eye Monocular (20/200-20/13)

Slide No. 11 – Near Point Acuity Left Eye Monocular (20/200-20/13)

Slide No. 12 – Near Point Lateral Phoria (1-1/2 Diopter Increments)

Untuk slide pengujian penglihatan stereoskopis (No. 5), jenis slide yang digunakan mengacu kepada Stereogram Titmus (Bandingkan Gambar 2.18 dengan Gambar 2.11).

Gambar 2.18. Tampilan Slide Uji Stereoskopis Dengan Optec Vision Tester (33)

Sumber : Stereo Optical Co., Inc. Stereo Optical Company vision tester slide package: industrial package.

(44)

2.7.1 Prinsip Kerja Alat Vision Tester

Peralatan vision tester merupakan suatu kesatuan perangkat yang terdiri atas susunan lensa dan cermin yang terpasang pada sebuah casing penutup. Sebuah jendela yang terdiri dari dua pasang lensa okuler kanan dan kiri, masing-masing atas dan bawah, terpasang pada bagian depan vision tester; gunanya supaya subyek dapat melihat obyek yang terpasang dalam alat tersebut. Sepasang jendela di bagian atas untuk penglihatan jauh (FAR), dan sepasang jendela di bagian bawah untuk penglihatan dekat (NEAR). Serangkaian cermin dan lensa tambahan terpasang pada masing-masing sisi kanan dan kiri untuk membelokkan arah cahaya, tujuannya agar obyek disimulasikan terlihat lebih jauh. Tampilan penglihatan jauh (FAR) disimulasikan pada jarak 20 feet atau 6 meter, sedangkan penglihatan dekat (NEAR) disimulasikan pada jarak 16 inch. Prinsip kerja cermin dan lensa tersebut digambarkan pada Gambar 2.19. Sepasang tampilan gambaran obyek dalam sebuah slide, terpasang pada bagian dalam alat vision tester, dan disesuaikan dengan konfigurasi lensa dan cermin yang ada, agar obyek yang berada pada sisi kiri dapat terlihat pada mata kiri, dan obyek yang berada pada sisi kanan dapat terlihat pada mata kanan. (34,35)

Gambar 2.19. Prinsip Kerja Alat Vision Tester (35)

Sumber: US. Patent No. 6,350,032 for Vision Tester

Agar dapat menampilkan obyek secara stereoskopis, slide seperti pada Gambar 2.18 dipresentasikan kepada subyek. Slide di sisi kiri hanya akan terlihat oleh mata kiri, dan slide di sisi kanan hanya akan terlihat oleh mata kanan. Tentunya sepasang slide tersebut tidak benar-benar sama, akan tetapi mengandung sedikit disparitas agar terlihat seolah-olah ada gambaran tiga dimensi.

(45)

Oleh karena yang diuji di sini adalah stereopsis lokal atau stereopsis jauh, maka alat vision tester harus disetel dalam kondisi penglihatan jauh, dengan cara menekan tombol FAR. Dengan serangkaian pembiasan lensa dan pantulan cermin, maka obyek yang sebenarnya dekat, dapat seakan-akan terlihat jauh, seperti digambarkan pada Gambar 2.19.

2.7.2 Cara Menggunakan Optec Vision Tester Untuk Menguji Penglihatan Stereoskopis

A. Persiapan sebelum melakukan pengujian (34)

1. Tempatkan instrumen di atas sebuah meja datar dengan ketinggian yang cukup dan permukaan yang cukup luas agar operator dapat mencatat hasil pemeriksaan dengan leluasa. Pencahayaan ruangan secukupnya saja, namun hindari pencahayaan langsung yang mengenai mata subyek atau lensa pada alat.

2. Pastikan alat telah terhubung dengan sumber listrik, kemudian nyalakan tombol Power Switch.

3. Pemeriksa mengecek kondisi alat dengan melihat ke arah slide, sambil menekan tombol RIGHT EYE dan LEFT EYE ON/OFF bergantian. 4. Periksa semua kondisi slide dalam keadaan baik dengan memutar kenop

mulai dari nomor 1 sampai nomor 12. Periksa semua kondisi slide dalam keadaan FAR (posisi lensa di atas) maupun NEAR (posisi lensa di bawah). Perhatikan bahwa slide yang seharusnya dilihat dalam kondisi FAR akan terlihat terbalik apabila dilihat dalam kondisi NEAR, dan sebaliknya.

5. Atur ketinggian instrumen sesuai dengan kenyamanan subyek. Tekan tombol di bagian bawah instrumen untuk memutar badan instrumen ke atas atau ke bawah.

6. Bersihkan sandaran kepala sebelum mulai digunakan. Alangkah baiknya bila sandaran kepala dibersihkan setiap kali selesai memeriksa satu subyek.

(46)

8. Jika subyek menggunakan kacamata atau lensa kontak sehari-harinya, maka ia dianjurkan tetap memakainya selama pemeriksaan.

9. Pastikan dahi subyek menekan sandaran kepala, dengan demikian mengaktifkan pencahayaan otomatis, dan tanda indikator berwarna hijau yang bertuliskan “READY” menyala.

10. Pemeriksa siap mencatat hasil pemeriksaan di atas lembar pemeriksaan yang sesuai.

Gambar 2.20. Tampilan Remote Control Optec Vision Tester (34)

Sumber : Stereo Optical Co., Inc. Stereo Optical Company vision tester slide package: industrial package.

B. Pemeriksaan dengan Slide No. 5 – Far Point Stereo Depth Perception (36) 1. Putar kenop ke indikator nomor 5.

2. Pastikan tanda lampu penanda “Far” ( ) menyala dengan menekan tombol NEAR/FAR.

3. Pastikan tanda untuk mata kanan dan kiri ( ) menyala dengan menekan tombol RIGHT EYE dan LEFT EYE.

4. Agar dapat dapat menilai persepsi kedalaman, kedua mata harus dapat digunakan secara bersamaan. Jika salah satu mata tidak dapat melihat, maka pengujian ini dilewatkan. Tujuan dari pengujian ini adalah subyek dapat menilai jarak relatif tanpa bantuan isyarat monokuler. Subyek akan melihat sembilan buah gambar yang disusun sedemikian rupa, yang tingkat kesulitannya akan semakin bertambah.

Gambar

Gambar 2.1. Konsep Penglihatan Stereoskopis  (8)
Gambar 2.3. Interposisi. Lingkaran biru dipersepsikan lebih dekat karena menumpuk  lingkaran merah  (10)
Gambar 2.4. Perspektif Linier. Garis paralel seperti jalur kereta api menyatu  dengan meningkatnya jarak  (10)
Gambar 2.6. Efek Pencahayaan dan Bayangan Memberikan Informasi Tentang   Kedalaman  (10)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk RANCANG BANGUN ALAT UKUR KETINGGIAN AIR PADA WADAH BERBASIS ARDUINO UNO MENGGUNAKAN BAZZER DAN SENSOR

RANCANG BANGUN ALAT UKUR KETINGGIAN AIR PADA WADAH BERBASIS ARDUINO UNO MENGGUNAKAN BAZZER DAN SENSOR..

LCD adalah suatu display dari bahan cairan kristal vang pengoperasianma menggunakan sistem dot matnks. LCD yang digunakan adalah LCD Type STN. LCD ini merupakan modul H1602B

Metode yang digunakan dalam perancangan ini adalah menggunakan metode VDI 2221 dengan merancang 4 varian dari alat yang penulis inginkan, kemudian dari beberapa varian tersebut