• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untitled Document

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Untitled Document"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

Karya Ilmiah

KEKUATAN HUKUM DARI SUATU KWITANSI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERJANJIAN UTANG-PIUTANG MENURUT HUKUM PERDATA

(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 183 K/PDT/2010)

Oleh:

Erita W. Sitohang, S.H.,M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini :

Dalam penulisan Karya ilmiah ini, penulis memperoleh bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, dan untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan 2. Ibu kepala perpustakaan Universitas HKBP Nommensen Medan

3. Pihak-pihak tertentu yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam karya ilmiah ini belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan, untuk itulah penulis dengan segala kerendahan hati menerima berbagai kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Akhirnya penulis sangat mengaharapkan bahwa karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk membantu mahasiswa dalam perkuliaahan dan sekaligus dapat digunakan untuk melengkapi persyaratan akademis.

Medan 26 oktober 2011 Penulis

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ... 8

1. Pengertian Perjanjian ... 8

2. Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian... 9

3. Asas-Asas dalam Perjanjian ... 14

4. Akibat Hukum dari Perjanjian ... 18

5. Jenis-Jenis Perjanjian ... 19

B. Tinjauan Umum Tentang Utang Piutang ... 21

1. Pengertian Utang-Piutang ... 21

2. Latar Belakang terjadinya Perjanjian Utang-Piutang... 23

(4)

C. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti... 25

1. Pengertian Alat Bukti ... 25

2. Prinsip Pembuktian ... 27

3. Jenis-Jenis Alat Bukti... 33

BAB III PEMBAHASAN A. Kekuatan hukum dari suatu kwitansi sebagai alat bukti dalam perjanjian utang-piutang... 40

B. Upaya hukum yang dilakukan oleh berpiutang apabila siberutang tidak mengakui keberadaan suatu kwitansi dalam perjanjian utang-piutang yang dibuat secara lisan ... 51

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ...55

B. Saran... 54

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan setiap harinya selalu

berhadapan dengan segala macam kebutuhan. dan dalam menghadapi kebutuhan ini,

manusia pada umumnya berharap selalu berkeinginan dapat memenuhi seluruhnya

karena pada dasarnya manusia ingin hidup layak dan selalu berkecukupan.

Mengenai kebutuhan manusia yang dimaksud dapat digolongkan tiga macam,

yaitu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. dimana dari ketiga kebutuhan tersebut

kebutuhan primer merupakan kebutuhan yang harus diutamakan pemenuhannya

setiap hari dan manusia tidak mungkin dapat mengelaknya, seperti kebutuhan makan,

minum, pakaian, mandi (perlu air, sikat gigi, odol, handuk) dan ongkos transport.akan

tetapi, manusia pada dasarnya tidak terlepas juga dari pemenuhan kebutuhan

sekunder dan tersier.

Manusia dalam keberadaannya di tengah-tengah masyarakat selalu ingin

mempertahankan hidupnya. Untuk itu, manusia harus berusaha supaya memperoleh

penghasilan yaitu dengan bekerja. akan tetapi,yang sering terjadi dalam kenyataannya

penghasilan yang diperoleh manusia tidak dapat mencukupi kebutuhannya yang

(6)

Seiring berjalannya waktu harga barang-barang selalu mengalami kenaikan.

Akibatnya, kebutuhan yang dikehendaki selalu gagal untuk dapat memenuhi

kebutuhan tersebut. yang sering terjadi adalah manusia sering mengadakan suatu

perikatan yaitu salah satunya mengadakan perjanjian utang-piutang antara:

1. Orang-Perorangan.

2. Manusia dengan badan hukum.

3. Badan hukum dengan badan hukum.

Mengadakan Perjanjian Utang-piutang merupakan salah satu cara bagi

manusia dalam pemenuhan kebutuhan. berbicara tentang Utang-piutang bukan hal

yang asing di tengah-tengah masyarakat dan di telinga semua orang, karena selalu

ada saja timbul permasalahan dalam perjanjian Utang-piutang tersebut. perjanjian

Utang-piutang termasuk ke dalam jenis perjanjian pinjam-meminjam, hal ini

sebagaimana diatur dalam Bab Ketiga Belas Buku Ketiga KUH Perdata. dalam pasal

1754 KUH Perdata yang menyebutkan :

“ Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan

kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena

pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan

sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”

Pada dasarnya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dan asas

(7)

perjanjian dapat dibuat secara lisan atau secara tertulis, hal ini terserah kepada para

pihak untuk menentukan bentuk perjanjian itu sendiri. Oleh karena itu suatu

perjanjian utang-piutang dapat dibuat dengan bebas dalam bentuk lisan atau tertulis

sangat tergantung pada para pihak yang mengadakan perjanjian.

Pada umumnya dalam praktek perjanjian utang-piutang di tengah-tengah

masyarakat apabila nilai utangnya besar dan berhubungan dengan salah satu pihaknya

adalah perusahaan, perjanjian utang-piutang tersebut dibuat dalam bentuk tertulis atau

dibuat suatu akta otentik oleh pejabat umum yang tugasnya membuat akta tersebut

misalnya seorang notaris Sebaliknya apabila nilai utangnya kecil biasanya para pihak

membuat perjanjian hanya secara lisan. perjanjian yang dibuat secara lisan tetap sah

dan mengikat kedua belah pihak,karena harus dilandasi dengan kata sepakat dan

harus dilaksanakan dengan itikad baik.kebanyakan perjanjian secara lisan dilakukan

karena para pihak merasa saling percaya. Menurut bentuknya akta dapat dibagi

menjadi 2 yaitu :

1. Akta Otentik

Dalam Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan bahwa :

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya".

Kemudian dalam Pasal 285 Rbg/ 165 HIR menyebutkan bahwa :

(8)

tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok dalam aktaitu.”

Tujuan dibuatnya surat perjanjian utang-piutang secara otentik yang dibuat

oleh seorang notaris untuk kepentingan para pihak dalam hal sebagai alat bukti

apabila di kemudian hari terjadi sengketa di antara para pihak yang berjanji. karena

menurut hukum akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna pasal

1870 KUHPerdata jo pasal 285 Rbg, secara lahiriah pasal 1875 KUHPerdata, formal

dan materiilnya Pasal 1870, 1871 dan 1875 KUHPerdata. dan tidak lagi memerlukan

alat bukti lain.

2. Akta Dibawah Tangan

Dalam Pasal 1874 KUHPerdata menyebutkan bahwa :

“Akta dibawah tangan adalah Tulisan yang dibuat atau di tandatangani dibawah tangan dan tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang, yang dibuat oleh paling sedikitnya dua pihak.”

Kemudian dalam Pasal 286 RBg menyebutkan bahwa :

“Menyatakan bahwa yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa memakai bantuan seorang pejabat umum.”

Sehelai Kwitansi, faktur tergolong dalam akta di bawah tangan. Suatu akta

akta di bawah tangan kekuatan pembuktiannya akan sangat tergantung pada

kebenaran atas pengakuan atau penyangkalan para pihak atas isi dari akta dan

masing-masing tanda tangannya. Apabila suatu akta di bawah tangan diakui isi dan

tandatangannya oleh masing masing pihak maka kekuatan pembuktiannya hampir

(9)

Yang banyak ditemukan dalam praktik khususnya dalam perjanjian secara

lisan adalah para pihak dalam mengadakan perjanjian utang-piutang hanya

didasarkan suatu kwitansi sebagai bukti adanya perjanjian antara para pihak tanpa

adanya perjanjian tertulis. Kelemahan dalam perjanjian lisan ini adalah apabila

debitur ingkar janji atau bahkan menyangkal tidak pernah membuat perjanjian,atau

juga berbalik menuduh pihak kreditur yang mengada-ada. Sehingga kreditur akan

mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya perjanjian utang-piutang dengan

debitur sehingga kreditur tidak dapat menuntut pengembalian hak piutang tersebut

atau dengan kata lain risiko uang kreditur menjadi hilang.

Kwitansi adalah selembar kertas yang berfungsi sebagai tanda terima dari

suatu transaksi dan juga sebagai surat bukti yang menyatakan bahwa telah terjadi

penyerahan sejumlah uang dari yang disebut sebagai pemberi atau yang menyerahkan

uang kepada yang disebut sebagai penerima dan yang harus menandatangani telah

menerima penyerahan uang itu sebesar yang disebutkan dalam surat itu, lengkap

dengan tanggal penyerahan,tempat serta alasan penyerahan uang itu untuk

memperkuat tanda bukti tersebut ditempelkan materai sebesar yang ditentukan oleh

undang-undang perpajakan.

Penulis mengemukakan ada 2 alasan mengapa para pihak dalam mengadakan

perjanjian utang-piutang sering tidak dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis :

1. Kurangnya akan kemampuan pengetahuan para pihak dalam pembuatan suatu

(10)

2. Sikap para pihak yang cenderung mencari enaknya sendiri yang bisa mereka

lakukan dan dianggap gampang dilaksanakan serta menguntungkannya.

Dimana yang menjadi permasalahan hukum dalam perjanjian utang-piutang yang

hanya didasarkan suatu kwitansi sebagai bukti perjanjian, yang sering terjadi adalah

pihak kreditur sebagai pemberi pinjaman mengalami kesulitan dalam hal pembuktian

adanya suatu perjanjian dengan debitur apabila timbulnya suatu sengketa antara para

pihak.

Dengan melihat latar belakang tersebut diatas penulis sangat tertarik untuk

membahas masalah ini dengan mengambil judul “KEKUATANHUKUM DARI SUATU KWITANSI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERJANJIAN

(11)

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kekuatan hukum dari suatu kwitansi sebagai alat bukti dalam

perjanjian utang-piutang.

2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh berpiutang apabila

siberutang tidak mengakui keberadaan suatu kwitansi dalam perjanjian

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.

Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji

kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal.dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang

tersebut yang dinamakan perikatan.

Menurut Subekti “perjanjian” adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji

pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal.

Menurut Wirjono Prodjodikoro “perjanjian” adalah suatu hubungan hukum

mengenai harta benda antara dua pihak, dimana salah satu pihak berjanji untuk

melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak

menuntut pelaksanaan janji itu.

Dari beberapa pengertian singkat diatas dapat dikatakan unsur-unsur dari

perjanjian antara lain :

(13)

2. Antara Sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang).

3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji

tersebut.

4. Dimana hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

2. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi suatu ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

3. Mengenai suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Dari ke-empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang

berkembang, digolongkan ke dalam :

1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif).

2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif).

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para

pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.

Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan

(14)

untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan

menurut hukum.

Ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Pasal 1320 KUHPerdata. kesepakatan mengandung pengertian bahwa para

pihak saling menyatakan kehendak masing-masing atau pernyataan pihak yang satu

“cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak lain.Kesepakatan dalam perjanjian

merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian

mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara

melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan dan siapa yang harus melaksanakan.

kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan tertulis maupun

secara tidak tertulis/lisan. kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para

pihak dibentuk oleh dua unsur, yaitu :

1. Penawaran (aanbod;offerte;offer)

Diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian, usul tersebut mencakup “esensialia” yaitu unsur yang mutlak harus ada dalam suatu perjanjian. Penawaran berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut.

2. Penerimaan (aanvarding; acceptatie; acceptance)

(15)

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak yang bersangkutan dalam memberikan kata sepakat sehingga persetujuan yang dilakukan para pihak adalah persetujuan yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Ad.2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai

kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri

sendiri tanpa dapat diganggu gugat. kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum

pada umumnya diukur dari standar :

a. Person(pribadi), diukur dari standar usia kedewasaan atau cukup umur.

b. Rechtsperson(badan hukum) diukur dari aspek kewenangan.

Menurut pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “Setiap orang adalah

cakap membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan

tidak cakap.”dalam pasal 1330 KUH Perdata memberikan limitasi orang-orang yang

dinyatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian atau bertindak dalam hukum dalam

pasal tersebut diatas menerangkan tentang orang yang dianggap tidak cakap, yakni :

1. Orang-orang yang belum dewasa, yakni orang yang belum dewasa 21 tahun dan belum menikah karena walaupun belum berusia 21 tahun kalau sudah menikah, maka sudah dianggap cakap.

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, yakni orang yang gila, kalap mata, bahkan dalam hal tertentu juga orang yang boros.

(16)

4. Pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu, khusus bagian keempat ini sebenarnya bukan tergolong orang yang tidak cakap, melainkan orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum.

Dalam hal perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tergolong

tidak cakap ini, pembatalan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak

cakap untuk itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini

dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri.Akan tetapi

apabila pihak yang tidak cakap itu menyatakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh

baginya, konsekuensinya segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka

yang tidak cakap adalah hanya dapat dimintakan pembatalannya oleh pihak-pihak

yang merasa dirugikan.

Sedangkan dalam hal subjek hukumnya adalah berupa badan hukum standar

kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum tidak menghadapi polemik seperti

person, karena cukup dilihat pada kewenanganya. artinya kecakapan untuk

melakukan perbuatan hukum didasarkan pada kewenangan yang melekat pada pihak

yang mewakilinya. Dengan demikian, untuk mengetahui syarat kecakapan pada

badan hukum harus diukur dari aspek kewenangannya.

Ad. 3. Mengenai suatu hal tertentu.

Adapun yang dimaksud suatu hal atau objek tertentu dalam pasal 1320 KUH

Perdata syarat ke tiga adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang

(17)

yang menjadi kewajiban para pihak.pernyataan-pernyataan yang tidak dapat

ditentukan sifat dan luas kewajiban para pihak adalah tidak mengikat (batal demi

hukum). lebih lanjut mengenai hal atau objek tertentu ini diatur dalam pasal 1332,

1333 dan 1334 KUH Perdata, sebagai berikut :

1. Dalam pasal1332 menyebutkan bahwa “hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian.”

2. Pasal 1333 menyebutkan bahwa “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang palingsedikit ditentukan jenisnya.”

3. Pasal 1334 menyebutkan bahwa “Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.”

Syarat ini menjadi penting, terutama apabila terjadi perselisihan diantara

kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban

dari para pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat. dan apabila perjanjian itu

tidak dilaksanakan maka dianggap perjanjian itu batal demi hukum.

Ad. 4. Suatu sebab yang halal

Subekti menyatakan bahwa “sebab” adalah isi perjanjian itu sendiri, dengan

demikian kausa merupakan prestasi dan kontra prestasi yang saling dipertukarkan

oleh para pihak. Mengenai sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 hingga pasal

1337 KUH Perdata. Pasal 1335 menyebutkan bahwa : “Suatu perjanjian tanpa sebab,

atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah

mempunyai kekuatan.” Pasal 1337 menyebutkan bahwa : “Suatu sebab adalah

(18)

kesusilaan baik atau ketertiban umum.” berdasarkan kedua pasal tersebut, suatu

kontrak tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (batal), apabila kontrak

tersebut :

1. Tidak mempunyai kausa atau kausanya palsu.

2. Kausanya bertentangan dengan Undang-Undang.

3. Kausanya bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Sehubungan dengan keempat syarat dalam pasal 1320 KUH Perdata tersebut

diatas terdapat penjelasan lebih lanjut terkait dengan konsekuensi tidak dipenuhinya

masing-masing syarat yang dimaksud :

1. “noneksistensi” apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul kontrak 2. Syarat kesepakatan dan kecakapan (unsur subjektif)

Karena berkenaan dengan diri orang atau subjek yang membuat kontrak,maka apabila kontrak itu lahir karena cacad kehendak atau cacad ketidakcakapan maka akan berakibat kontrak tersebut dapat dibatalkan.

3 Syarat objek tertentu dan kausa yang diperbolehkan (Unsur Objektif)

Apabila kontrak itu lahir karena tidak terpenuhi syarat objek tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan maka akan berakibat kontrak batal demi hukum.

3. Asas-Asas dalam Perjanjian

Asas hukum merupakan sumber bagi sistem hukum yang memberi inspirasi

mengenai nilai-nilai etis, moral, dan sosial masyarakat. dengan demikian asas sebagai

landasan norma menjadi alat uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma

hukum tersebut pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang

menjiwainya.Niewenhuis mengatakan bahwa “asas-asas hukum itu berfungsi sebagai

(19)

“chek and balance. dalam Buku III KUH Perdata dikenal asas penting dalam

hukum perjanjian yaitu :

1. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di

dalam hukum kontrak karena mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam

hubungan kontraktual para pihak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya

merupakan perwujudan dari kehendak bebas berkontrak bagi para pihak.

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1320 ayat (4)

KUH Perdata, yang berbunyi “Suatu sebab yang tidak terlarang.” para pihak yang

membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan

membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja,

selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu

yang terlarang. Seperti yang tertuang dalam pasal 1337 KUH Perdata “ suatu

sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila

berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan

kepada para pihak untuk :

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

(20)

c. Kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian, bentuk suatu perjanjian, yaitu

tertulis atau lisan.

2. Asas konsensualisme

Asas konsensualisme merupakan “roh” dari suatu perjanjian. Asas

konsensualisme sebagaimana terdapat dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata

yang menyebutkan “ kesepakatan kedua belah pihak “ dimana menurut asas ini

perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat yaitu persesuaian

kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. dengan demikian

Asas konsensualitas menunjukan Bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang

dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat, dan karenanya

telah melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam perjanjian tersebut,

setelah para pihak tersebut mencapai kesepakatan atauconsensus.

3. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang (Pacta Sunt Servanda)

Asas pacta sunt servanda atau disebut dengan asas kepastian hukum. Asas ini

berhubungan dengan akibat perjanjian. asas pacta sunt servanda adalah asas

bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat

oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.mereka tidak

boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para

(21)

yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.“

4. Asas itikad baik

Asas itikad baik dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata

berbunyi “ Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas

itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan pihak

debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau

keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.itikad baik adalah

bersifat dinamis. Artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus

berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. asas itikad baik juga dibedakan

dalam sifatnya yang nisbi (relatif-subjektif) dan mutlak (absolut-objektif). Pada

itikad baik yang nisbi (relatif-subjektif), orang memperhatikan sikap dan tingkah

laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik yang absolut-objektif atau hal yang

sesuai dengan akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran objektif untuk menilai

keadaan sekitar perbuatan hukumnya (penilaian tidak memihak menurut

norma-norma yang objektif). Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi dua

macam, yaitu :

a. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik disini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah terpenuhi.

(22)

sebagaimana diatur dalam pasal 1338 (3) KUH Perdata bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya.

5. Asas Kepribadian

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan

melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan

saja. Asas ini diatur dalam ketentuan pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata.

Pasal 1315 berbunyi “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas

nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”.

Pada umumnya seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan

dirinya sendiri.Pasal 1340 berbunyi “perjanjian hanya berlaku antar pihak yang

membuatnya.”dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu

perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu,

subjek hukum pribadi, hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.

4. Akibat Hukum dari Perjanjian

Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian

yang dibuat hanya berlaku di antara para pihak yang membuatnya. Ini berarti

bahwa setiap perjanjian, hanya membawa akibat berlakunya ketentuan pasal 1131

KUH Perdata bagi para pihak yang terlibat atau yang membuat perjanjian

tersebut. jadi,apa yang menjadi kewajiban atau prestasi yang harus

dilaksanakanoleh debitor dalam perjanjian hanya merupakan dan menjadi

(23)

Suatu akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana

hakmerupakansuatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan

beban.Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah

diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. jadi

perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. perjanjian yang telah

dibuat secara sah mengikat pihak-pihak.

Perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.

suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah

pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup

untuk itu (Pasal 1338 ayat (2)KUHPerdata), perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata) Perjanjian tidak hanya mengikat

untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau

undang-undang.

5. Jenis- Jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu :

1. Perjanjian menurut sumbernya :

a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan

b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik

c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara

(24)

2. Perjanjian menurut namanya :

a. Perjanjian Khusus/bernama/nominaat

Perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUHPerdata, contoh perjanjian yang terdapat dalam Buku III Bab V-XVIII KUHPerdata, antara lain : Perjanjian jual-beli,tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam-meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang dan perdamaian.

b. Perjanjian umum/tidak bernama/innominaat

Perjanjian yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat karena asas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat KUHPerdata diundangkan.contohnya : kontrak production sharing,joint venture, kontrak karya, kontrak konstruksi, leasing, sewa-beli, franchise, technical assistancedan lain sebagainya.

3. Perjanjian menurut bentuknya :

a. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan saja, pasal 1320 KUHPerdata denagn adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam perjanjian lisan adalah :

1. Perjanjian Konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan

2. Perjanjianriil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan barangnya.

b. Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan kontrak. Kontrak ini dibagi kedalam dua bentuk :

1. Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang memuat tentang adanya peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar adanya hak atau perikatan dan mengikat bagi pembuatnya ataupun bagi pihak ketiga.

2. Akta dibawah tangan adalah akta yang pembuatanya dilaksanakan sendiri oleh para atau tidak ada campur tangan dari pejabat.

(25)

a. Perjanjian liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya, pembebasan hutang (pasal 1438 KUHPerdata).

b. Perjanjian pembuktian, yaitu perjajian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku dianatara mereka.

c. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (pasal 1774 KUHPerdata)

d. Perjanjian publik, adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu bertindak sebagai penguasa (pemerintah).

5. Perjanjian menurut sifatnya :

a. Perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang utama

b. Perjanjianaccessoir adalah perjanjian tambahan yang mengikuti perjanjian utama

c. Perjanjianobligatoir adalah perjanjian yang hanya (baru) meletakkan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak dan belum memindahkan hak milik

d. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu kepada pihak lain, misalnya peralihan hak milik.

B. Tinjauan Umum Tentang Utang-Piutang 1. Pengertian Utang-Piutang

Pinjam-meminjam berasal dari Istilah verbruik-leningyang mana perkataan

‘verbuik’ berasal dari bahasa ”verbruiken yang berarti menghabiskan. perjanjian

Utang-piutang uang termasuk ke dalam jenis perjanjian pinjam-meminjam, hal ini

sebagaimana diatur dalam Bab Ketiga Belas Buku Ketiga KUH Perdata.

Dalam Pasal 1754 KUH Perdata yang menyebutkan :“ Pinjam-meminjam adalah

(26)

jumblah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat

bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari

macam dan keadaan yang sama pula.”

Gatot Supramono memberikan defenisi Utang-piutang adalah “ Perjanjian antara

pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dan objek yang diperjanjikan pada

umumnya adalah uang, dimana kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang

memberikan pinjaman, sedangkan pihak yang lain menerima pinjaman uang. Dan

uang yang dipinjam akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan

yang diperjanjikan“.

Kriansidoarjo“ Hutang Piutang ” adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak

milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari

sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp.

1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu

juta juga. Jadi hutangPiutangadalah menyerahkan sesuatu kepadaorang lain dengan

perjanjian akan mengembalikan dengan jumlah yang sama. dalam perjanjian

utang-piutang barang yang diserahkan untuk dipinjam itu menjadi miliknya si peminjam,

sedangkan pihak yang meminjamkan memperoleh suatu hak penuntutan (piutang)

terhadap si peminjam untuk mengembalikan sejumlah barang yang sama jumlah dan

(27)

Objek perjanjian pinjam-meminjam dalam pasal 1754 KUH Perdata tersebut

berupa barang-barang yang habis karena pemakaian seperti : Buah-buahan, minyak

tanah,pupuk dll. Uang dapat merupakan objek perjanjian utang-piutang karena

termasuk barang yang habis karena pemakaian. karena uang berfungsi sebagai alat

tukar atau akan habis apabila dibelanjakan. Oleh karena itu, sangat jelas

utang-piutang termasuk perjanjian pinjam-meminjam.

2 Latar Belakang Terjadinya Perjanjian Utang-Piutang

Perjanjian utang-piutang dapat terjadi karena dilatarbelakangi sejarah. Pada

pokoknya terjadinya perjanjian utang-piutang ada dua macam, yaitu karena murni

perjanjian utang-piutang dan karena dilatarbelakangi perjanjian lain.

a. Karena Murni Perjanjian Utang-piutang.

Perjanjian utang-piutang yang dimaksud disini, tidak ada latar belakang persoalan lain, dan perjanjian itu dibuat hanya semata-mata untuk melakukan utang-piutang. misalnya, seorang pedagang kekurangan modal untuk meningkatkan usahanya, lalu pergi ke bank untuk meminjam kredit.disinidapat dilihat bahwa terjadinya perjanjian karena murni kepentingan utang-piutang.

b. Karena dilatarbelakangi perjanjian lain.

Lain halnya dengan perjanjian utang-piutang yang satu ini, terjadinya perjanjian tersebut karena sebelumnya telah terjadi perjanjian lain. Perjanjian sebelumnya dengan perjanjian berikutnya yaitu perjanjian utang-piutang kedudukannya berdiri sendiri. Perjanjian sebelumnya telah selesai dilaksanakan.

(28)

antara perjanjian jual-beli dengan perjanjian utang-piutang sama-sama perjanjian pokok, dan masing masing berdiri sendiri, dimana perjanjian jual-beli sudah selesai baru timbul perjanjian utang-piutang.

3. Hak dan Kewajiban Para Pihak.

Dalam perjanjian yang bertimbal balik seperti perjanjian utang-piutang ini,

hak dan kewajiban kreditur bertimbal balik dengan hak dan kewajiban debitur. Hak

kreditur disatu pihak, merupakan kewajiban debitur di lain pihak. Begitu pula

sebaliknya, kewajiban kreditur merupakan hak debitur.

1. Kewajiban Kreditur

Perjanjian utang-piutang sebagaimana diatur dalam KUH Perdata

kewajiban-kewajiban kreditur tidak banyak diatur, pada pokoknya kreditur wajib

menyerahkan uang yang dipinjamkan kepada debitur setelah terjadinya

perjanjian.

Selanjutnya, Pasal 1759 hingga Pasal 1761 KUH Perdata, menentukan:

a. Uang yang telah diserahkan kepada debitur sebagai pinjaman. Sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam perjanjian tidak dapat diminta kembali oleh kreditur.

b. Apabila dalam perjanjian utang-piutang tidak ditentukan jangka waktu, dan kreditur menuntut pengembalian utang, caranya dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan, dan berdasarkan Pasal 1760 KUH Perdata hakim diberi kewenangan untuk menetapkan jangka waktu pengembalian utang, dengan mempertimbangkan keadaan debitur serta memberi kelonggaran kepadanya untuk membayar utang.

(29)

2. Kewajiban Debitur

Kewajiban debitur dalam perjanjian utang-piutang sebenarnya tidak banyak, pada

pokoknya mengembalikan utang dalam jumblah yang sama, disertai dengan

pembayaran bunga yang telah diperjanjikan, dalam jangka waktu yang telah

ditentukan, Pasal 1763 KUH Perdata. pembayaran utang tergantung

perjanjiannya, ada yang diperjanjikan pembayaranya cukup sekali langsung lunas,

biasanya apabila jika utangnya tidak begitu besar nilainya. Dan ada pula jika

utangnya dalam jumlah besar seperti kreditbank, pada umumya pembayaran utang

dilakukan debitur secara mengangsur tiap bulan selama waktu yang telah

diperjanjikan disertai dengan bunganya.

C. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti 1. Pengertian Alat Bukti

Dalam suatu perkara perdata atau dari keseluruhan tahap persidangan dalam

penyeleksian perkara perdata, pembuktian memegang peranan yang sangat

penting.Dikatakan demikian karena dalam tahap pembuktian inilah para pihak yang

bersengketa diberikan kesempatan untuk mengemukakan kebenaran dari dalil-dalil

yang dikemukakannya. Sehingga berdasarkan pembuktian inilah hakim atau majelis

hakim akan dapat menentukan mengenai ada atau tidaknya suatu peristiwa atau

(30)

benar, adil, atau dengan kata lain putusan hakim yang tepat dan adil baru dapat

ditentukan setelah melalui tahap pembuktian dalam persidangan penyelesaian perkara

perdata di pengadilan, Sehubungan dengan hukum pembuktian, maka untuk

keperluan suatu pembuktian, diperlukan alat bukti.

Alat bukti (bewijsmiddel) adalah bermacam-macam bentuk dan jenis, yang

mampu memberi keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di

pengadilan. Alat bukti mana diajukan para pihak untuk membenarkan dalil gugat atau

dalil bantahan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan yang diberikan alat bukti

itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktianya.

untuk memberikan gambaran yang jelas, dalam ketentuan pasal 163 HIR berbunyi :

“Barang siapa mengatakan ia mempunyai suatu hak, atau mengatakan suatu

perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau membantah hak orang lain, maka orang

itu haruslah membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu.“

Dalam pasal 163 HIR terdapat asas “ siapa yang mendalilkan sesuatu dia harus

membuktikannya. “ Jadi, para pihak yang berperkara dapat membuktikan kebenaran

dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan

jenis atau bentuk alat bukti tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Hukum pembuktian yang berlaku di indonesia sampai saat ini masih berpegang

kepada jenis alat bukti tertentu saja yaitu alat bukti yang ditentukan oleh

(31)

sah sebagai alat bukti dan oleh karena itu tidak mempunyai nilai kekuatan

pembuktian untuk menguatkan kebenaran dalil atau bantahan yang dikemukakan.

2. Prinsip Pembuktian

Yang dimaksud prinsip pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian.

Semua hak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip

dimaksud adalah :

1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran formil.

Dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim

adalah cukup kebenaran formil dari diri dan sanubari hakim, tidak dituntut

keyakinan. Dalam proses peradilan perdata peran seorang hakim bersifat pasif

hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang

diajukan penggugat dan terggugat untuk mencari dan menemukan kebenaran

formil itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan

oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung, sedangkan yang

ditemukan di luar persidangan atau out of court, tidak dapat dijadikan hakim

sebagai dasar penilaian. Selain itu bukti yang diajukan di persidangan harus

mampu membuktikan fakta konkret yang langsung berkaitan dengan materi

pokok perkara yang disengketakan, sedangkan bukti yang hanya mengandung

fakta abstrak, tidak bernilai sebagai alat bukti untuk membuktikan kebenaran

(32)

Dalam hal ini hakim dituntut aktif dalam hal menyaring dan menyingkirkan

bukti-bukti yang diajukan para pihak yang dianggap tidak relevan terhadap

perkara sesuai dengan kewenangannya menentukan pendapat dan kesimpulan

yang akan diambilnya. Oleh karena itu kalau hakim mengetahui fakta atau bukti

yang diajukan tidak benar, maka hakim dapat menolaknya sebagai dasar penilaian

pembuktian.

2 Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara

Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak

memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara.

Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang

didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai, karena

dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum yang

terjadi antara para pihak. Begitu juga sebaliknya, kalau penggugat membenarkan

dan mengakui dalil bantahan yang diajukan tergugat, berarti sudah dapat

dipastikan dan dibuktikan gugatan yang diajukan penggugat sama sekali tidak

benar. Meskipun hakim mengetahui dan yakin pengakuan itu bohong atau

berlawanan dengan kebenaran maka hakim harus menerima pengakuan itu

sebagai fakta dan kebenaran.

(33)

Baik dalam Perkara pidana atau perkara perdata, pembuktian suatu perkara tidak

bersifat logis. Hukum pembuktian dalam perkara tidak selogis pembuktian ilmu

pasti oleh karena itu hakim tidak boleh menuntut pembuktian yang logis dan pasti

dari para pihak yang berperkara sebagaimana halnya pembuktian berdasarkan

ilmu pasti. apalagi menuntut pembuktian kebenaran yang absolut karena dianggap

penerapan yang keliru. Karena proses pembuktian menurut hukum dalam suatu

perkara, selalu terkandung ketidakpastian atau adanya keraguan.Bukti-bukti yang

harus disampaikan bukan berisi fakta yang logis, absolut dan pasti tetapi cukup

fakta yang mengandung kebenaran yang diterima akal sehat (common sense)

artinya, kebenaran fakta yang dikemukakan selaras dengan kebenaran menurut

kesadaran masyarakat.

4 Fakta-Fakta yang tidak perlu dibuktikan

Tidak semua fakta mesti dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada kejadian

atas peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuaidengan

yang didalilkan atau fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang

disangkal pihak lawan pada sisi lain. hal-hal yang tidak perlu dibuktikan dalam

pemeriksaan perkara perdata :

a. Hukum positif tidak perlu dibuktikan

b. Fakta yang diketahui umum tidak dibuktikan

c. Fakta yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan

(34)

5 Bukti Lawan (Tegenbewijs)

Salah satu prinsip umum pembuktian, memberi hak kepada pihak lawan

mengajukan bukti lawan. dalam teori dan praktik, bukti lawan selalu dikaitkan

dengan pihak tergugat. Oleh karena itu bukti lawan selalu diartikan bahwa Bukti

yang diajukan tergugat untuk kepentingan pembelaanya terhadap dalil dan fakta

yang diajukan penggugat berarti merupakan bukti penyangkalan atau bukti

balasan terhadap pembuktian yang diajukan penggugat. Jadi pengajuan bukti

lawan merupakan upaya yang dilakukan salah satu pihak untuk membantah dan

melumpuhkan pembuktian pihak lawan dan upaya itu, merupakan hak yang

diberikan undang-undang kepada pihak tergugat, sebagaimana yang disebut

dalam pasal 1918 KUH Perdata, dengan syarat asal hal itu diajukan dalam

persidangan pengadilan.

6 Persetujuan Pembuktian

Para pihak dapat membuat kesepakatan tentang alat bukti maupun kekuatan

pembuktian yang dapat diajukan dalam penyelesaian sengketa yang timbul dari

perjanjian. Dalam teori penulisan dikenal istilah“ bewiis overeenkoms ”yakni

perjanjian untuk mengatur pembuktian, para pihak dapat menyepakati fotokopi,

email, atau data elektronik (electronik data) sebagai alat bukti. Bahkan

dibenarkan menyepakati perubahan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada

(35)

3 Jenis-Jenis Alat Bukti

Sehubungan dengan hukum pembuktian, maka untuk keperluansuatu

pembuktian, diperlukan alat bukti. Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara

perdata pasal 164 HIR dan Menurut ketentuan Pasal 1866 KUH Perdata menyatakan

bahwa alat bukti meliputi :

1. Bukti tulisan

2. Bukti dengan saksi

3. Persangkaan

4. Pengakuan

5. Sumpah

Ditinjau dari sifatnya alat bukti yang disebut dalam pasal 1866 KUH Perdata dan

pasal 164 HIR dapat diklasifikasikan atas 2 macam alat bukti langsung dan alat bukti

tidak langsung :

1. Alat bukti langsung (direct evindence)

Disebut alat bukti langsung, karena diajukan secara fisik oleh pihak yang

berkepentingan di depan persidangan. Alat buktinya diajukan dan ditampilkan dalam

proses pemeriksaan secara fisik. yang tergolong alat bukti langsung adalah:

a. Alat bukti tertulis

Alat bukti tulisan ditempatkan dalam urutan pertama hal ini sesuai dengan

(36)

penting. Tulisan merupakan sesuatu yang memuat tanda yang dapatdibaca dan

yang menyatakan suatu buah pikiran.Tulisan dapat berupaakta dan tulisan yang

bukan akta.Akta adalah tulisan yang khususdibuat untuk dijadikan bukti atas hal

yang disebut didalamnya,sedangkan tulisan yang bukan akta adalah tulisan yang

tidak bersifatdemikian.

Surat adalah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan untukmenyampaikan buah

pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai alatbukti. dari pengertian

surattersebut, maka diartikan bahwasegala sesuatu yang tidak memuat

tanda-tanda bacaan, ataumengandung tanda-tanda bacaan tetapi tidak mengandung buah

pikiran,bukanlah termasuk dalam pengertian alat bukti surat. Surat sebagai alat

bukti yang utama dalam hukum acara perdatadapat digolongkan dalam dua

golongan yaitu :

1. Akta Otentik

Dalam Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan bahwa :

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.

Kemudian dalam Pasal 285 Rbg/ 165 HIR menyebutkan bahwa :

(37)

Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan

seorangpegawai umum, yang dimaksud disiniadalah Hakim, Notaris, Panitera,

Jurusita, Pegawai Catatan Sipil,Camat. Suatu akta yang dibuat oleh pejabat

yang tidakberwenang dan tanpa adanya kemampuan untuk membuatnya

atautidak memenuhi syarat-syarat tertentu, tidak dianggap sebagai aktaotentik

tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. suatu aktaotentik

pada dasarnya mengandung 3 (tiga) macam kekuatanpembuktian, yaitu :

a. Kekuatan pembuktian formil, yang berarti membuktikan antara parapihak bahwa mereka telah menerangkan apa yang ditulis dalam aktatersebut. b. Kekuatan pembuktian materiil, yang berarti membuktikan antarapara

pihak, bahwa benar peristiwa yang tersebut dalam aktatersebut telah terjadi.

c. Kekuatan pembuktian keluar, yang berarti disamping sebagai pembuktian antara mereka juga terdapat pihak ketiga di mana padatanggal, bulan, dan tahun yang tersebut dalam tersebut telahmenghadap kepada pegawai menerangkan apa yang terdapat dalamakta tersebut.

2. Akta Dibawah Tangan.

Dalam Pasal 1874 KUHPerdata menyebutkan bahwa :

“Akta dibawah tangan adalah Tulisan yang dibuat atau di tandatangani dibawah tangan dan tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang, yang dibuat oleh paling sedikitnya dua pihak. ”

Kemudian dalam Pasal 286 RBg menyebutkan bahwa :

“Menyatakan bahwa yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa memakai bantuan seorang pejabat umum.”

Akta di bawah tangan pada dasarnya adalah suatu akta yang dibuat oleh para

(38)

pejabat yang berwenang. Jadi dalam suatu akta di bawah tangan, akta tersebut

cukup dibuat oleh para pihak itu sendiri dan kemudian ditandatangani oleh

para pihak tersebut. Tidak ikut serta pejabat yang berwenang inilah yang

merupakan perbedaan pokok antara akta dibawah tangan dengan akta otentik.

b. Alat bukti Saksi

Alat bukti yang berupa kesaksian diatur melalui Pasal 139 hinggaPasal 152 dan

Pasal 168 hingga Pasal 172 HIR serta Pasal 1895 danPasal 1902 hingga Pasal

1912 KUH Perdata. dalam hukum adat dikenal 2 macam saksi, yaitu :

a. Saksi-saksi yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwa yang

terjadi

b. saksi yang ada pada waktu perbuatan hukum itu dilakukan, sengaja telah

diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum tersebut.

Apabila keterangan yang diperoleh saksi berasal dari orang lain,tidak

mendengarkanya atau mengalaminya sendiri, hanya ia dengar dari orang lain

tentang kejadian tersebut atau adanya hal-hal tersebut (Testimonium de auditu)

dapat dipergunakan sebagai sumber persangkaan yaitu dapat digunakan untuk

menyusun atau melengkapi keterangan saksi-saksi yang bisa dipercaya.

Keterangan dari seorang saksi saja, tanpa ada alat bukti laintidak dianggap

pembuktian yang cukup untuk membuktikan atau dianggap terbuktinya sesuatu

(39)

testis). dalam suatu kesaksian dari masing-masingsaksi terlepas satu dari yang

lain dan masing-masing berdiri sendiri-sendiri, namun karena bertepatan dan

perhubungannya satusama lain menguatkan suatu peristiwa tertentu, maka

kekuatanpembuktian dari masing-masing kesaksian itu adalah terserah

padapertimbangan hakim.tiap-tiapkesaksian itu harus disertai dengan

alasan-alasan bagaimanadiketahuinya hal-hal yang diterangkan sebagai suatu kesaksian.

dalamhal mempertimbangkan nilai suatu kesaksian, hakim harus

memberikanperhatian khusus pada persamaan isi kesaksian satu dengan yang lain.

Pemeriksaan seorang saksi dimulai dengan pemeriksaanidentitas serta

hubungan antara saksi dengan penggugat atau tergugat(Pasal 144 ayat (2) H.I.R),

setelah itu saksi lalu diwajibkan untukbersumpah atau berjanji sesuai dengan

agama atau kepercayaannya. ada berapa ketentuan yang mengatur orang yang

tidak dapatdidengar sebagai saksi dan dapat menolak serta diminta

untukdibebaskan memberi kesaksian.Orang-orang yang tidak dapat didengar

keterangannya sebagaiberikut :

a. Keluarga sedarah dan semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak

b. istri atau suami salah satu pihak meskipun telah bercerai.

c. anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan pasti apakah mereka telahgenap berusia 15 tahun.

d. Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya terang.

(40)

Maksudnya pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik, tetapi yang diperoleh

sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi di persidangan.Yang termasuk

dalam kelompok ini adalah alat bukti persangkaan, pengakuan dan sumpah.

a. Alat bukti Persangkaan

Dewasa ini yang berlaku diIndonesia terhadap persangkaan sebagai alat bukti

diatur dalam Pasal173 H.I.R. serta Pasal 1915-1922 KUHPerdata. dalam H.I.R

tidakditemukan pengertian dari pada persangkaan. Namun berdasarkanketentuan

Pasal 1915KUHPerdata, pengertian persangkaandimaksudkan

kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atauhakim ditariknya dari suatu peristiwa

yang terkenal ke arah suatuperistiwa yang tidak terkenal. kekuatan

pembuktiannya dari persangkaan adalah bebas berarti satu persangkaan saja, tidak

mencukupi batas minimal pembuktian harus memiliki dua persangkaan atau

paling tidak satu persangkaan ditambah dengan satu alat bukti lain. dalam hukum

positif (ius canstitutum) ada 2 macam persangkaan yaitu :

a. Persangkaan menurut Undang-undang

Menurut ketentuan Pasal1916 KUHPerdata,Menurut undang-undang adalah persangkaan yangberdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkanperbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.

b. Persangkaan Menurut Hakim

(41)

pembukuan perusahaan, ia ini tidakmemenuhi perintah tersebut, dapat menimbulkan persangkaanhakim, bahwa pembukuan itu tidak beres dan bahwa yangbersangkutan belum memberi pertanggung jawaban. Jugajawaban yang mengelak, jawaban yang tidak tegas, plinplan,memberi persangkaan, bahwa dalil pihak lawan adalahbenar. Setidak-tidaknya dapat dianggap sebagai suatu halyang negatif bagi pihak tersebut”.

b. Alat bukti Pengakuan

Pengakuan sebagai alai bukti selain diatur dalam Pasal 164 HIRjugadijabarkan di

dalam Pasal 174 HIR dan Pasal 176 HIR, sedangkandalam KUH Perdata, selain

diatur pada Pasal 1866 juga dijabarkanpada Pasal 1923 hingga Pasal 1928. pada

dasarnya pengakuan adalah suatu pernyataan tertulismaupun lisan dari salah satu

pihak yang berperkara yang berisikan kebenaran atas dalil-dalil lawan baik

sebagian maupun seluruhnya. atau suatu pernyataan dari salahsatu pihak tentang

kebenaran suatu peristiwa, keadaan atau hal tertentuyang dapat dilakukan di

depan sidang atau di luar sidang. pengakuan ini merupakan bukti cukup,

maksudnya pengakuanmerupakan alat bukti dengan kekuatan pembuktian

menentukan (Pasal1925 KUH Perdata), bukti demikian ini mengikat hakim dan

hakim wajibmenerima pengakuan itu sebagai hal yang benar.

Ada 2 macam pengakuan yang dikenal dalam hukum acara perdata :

a. Pengakuan di depan persidangan

(42)

b. Pengakuan di luar pengadilan

Pengakuan di luar Pengadilan diatur dalam Pasal 175 H.I.R,Pasal 312 R.B.g serta Pasal 1927 - 1928 KUHPerdata. Menurutketentuan Pasal 175 H.I.R, pengakuan lisan di luar pengadilan tidakmempunyai kekuatan pembuktian seperti pengakuran di dalampengadilan. Undang-undang hanya mengenal pengakuan di luarsidang dengan lisan. Namun demikian, Undang-undang juga tidakmelarang dengan tegas pengakuan di luar sidang dengan. tertulis,sehingga dengan demikian dimungkinkan adanya pengakuan diluarsidang dengan tertulis.

Jika ketentuan pasal 1924 dihubungkan dengan pasal 1952 KUHPerdata, hukum

memperkenalkan klasifikasi pengakuan sebagai berikut :

a. Pengakuan murni adalah pengakuan yang berwujud pembenaran yang bersifat totalitas atas semua dalil (posita) dan tuntutan (petitum) atau seluruh dalil serta petitum gugatan diakui. Misalnya A membuatgugatan kepada (B), di depan persidangan ternyata B mengakuiseluruh gugatan A.

b. Pengakuan dengan berkualifikasi atau dikualifikasikan adalah pengakuan atas dalil gugatan yang diikuti dengan syarat.Misalnya Bmendalilkan bahwa telah membeli barang A seharga Rp.30 juta,dan B telah mendalilkan bahwa ia telah membayar kepada si Asebesar Rp.15 juta.

c. Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan yang diikuti pernyataan atau keterangan membebaskan dari tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Misalnya Bmengakui bahwa ia telah membeli barang A dengan harga Rp.30 juga, tetapi B juga menyatakan bahwa ia telah membayarlunas barang si A tersebut.

c. Alat Bukti Sumpah

Sumpah atau janji merupakan pernyataan yang diucapkandengan resmi dan

dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatuyang dianggap suci, bahwa

(43)

adalah suatu pernyataan daripihak-pihak untuk mengemukakan sesuatu dengan

sebenar-benarnya.alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 155, 158,177 H.I.R serta

pasal 1929 - 1945 KUHPerdata.

Alat bukti sumpah dibagi menjadi 3 (tiga) jenis :

1. Sumpah Pemutus (Decisoir)

Sumpah pemutus pada hakikatnya dilakukan apabila suatuperkara perdata tidak ada alat bukti lain sama sekali untukmeneguhkan tuntutannya, sehingga salah satu pihak dapatmeminta kepada lawannya untuk bersumpah di muka

pengadilanagar dengan sumpah itu perkara dapat diputuskan.Permintaan sumpah pemutus agar dapatdikabulkan olehmajelis hakim harus bersifat Litis Decisoir(bersifatmemutusperkara).Apabila sumpah itu bersifatLitis Decisoir, makapengabulan itu dilakukan melalui putusan sela. Dan apabila sumpahitu

tidak bersifatLitis Decisoirmaka permintaan sumpah pemutus ituakan ditolak oleh pengadilan.

2. Sumpah Pelengkap (Acessoir)

Sumpah pelengkap ini dilakukan apabila dalam hal ini telahada bukti tetapi

masih belum cukup untuk menyempurnakanpembuktian tersebut. Dalam hal ini, hakim akan membenarkan salahsatu pihak untuk mengangkat sumpah agar perkara dapat diputus.

3. Sumpah Penaksir

(44)

BAB IV PEMBAHASAN

A. Kekuatan Hukum dari Suatu Kwitansi sebagai Alat Bukti dalam Perjanjian Utang-Piutang.

I. Kasus Posisi

Dalam Penulisan ini, Penulis mengaitkan permasalahan dalam penelitian tentang

kekuatan hukum dari suatu kwitansi sebagai alat bukti dalam perjanjian utang-piutang

dikaitkan dengan suatu contoh kasus dimana kasus posisinya adalah sebagai berikut :

LITHA DARISE, bertempat tinggal di kelurahan Pamona, kecamatan Pamona utara Kabupaten Poso dalam hal inimemberikan kuasa kepada Yan Patris Binela, SH, Advokatberkantor di Jalan Torulemba Nomor 17 Kelurahan PamonaKecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso berdasarkan suratkuasa khusus tanggal 12 Desember 2008;

Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding;

Melawan:

WINI MEWALO, SP bertempat tinggal di kelurahan Sangele, kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso;

Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding;

Penggugat :

BahwaPenggugat mempunyai seorang teman bernama LITHA DARISE(Tergugat).dalam hubungan pertemanan antara Penggugat dan Tergugatterjalin dengan baik dimana Penggugat telah beberapa kali membantu Tergugatmemberikan pinjaman uang sebagai modal kerja dan selama itu pula hubungantetap terjaga dengan baik;

(45)

waktu yaitu pada tanggal 4 Juli 2008 Tergugat telahmenerima pinjaman uang tunai dari Penggugat sebesar Rp.20.000.000,- (duapuluh juta rupiah) dan akan dikembalikan pada tanggal 4 Agustus 2008 sesuaikwitansi tertanggal 4 Juli 2008, kemudian pada tanggal 28 Juli 2008 Tergugattelah meminta lagi tambahan pinjaman uang tunai sebesar Rp.20.000.000,-(dua puluh juta rupiah) dan tambahan pinjaman tersebut diterima oleh Tergugatpada tanggal 28 Juli 2008 sesuai kwitansi tertanggal 28 Juli 2008 dan akandikembalikan pada tanggal 28 Agustus 2008;

Bahwa kemudian pada tanggal 1 Agustus 2008 Tergugat datang lagipada Penggugat untuk meminjamkan uang sebesar Rp.40.000.000,- untuktambahan modal kerja proyek yang digarap oleh Tergugat;

Bahwa mengingat hubungan Penggugat dan Tergugat cukup baik danuntuk menolong sesama teman sehingga Penggugat dengan bersusah payahmencari uang sebesar Rp.40.000.000,- untuk diberikan pada Tergugat sebagaipinjaman tanpa jaminan apa-apa karena saling percaya, lalu dibuatkan kwitansipinjaman sementara senilai Rp.40.000.000,- dan uang pinjaman itu akandikembalikan pada tanggal 01 Oktober 2008;

Bahwa kemudian sehari sebelum waktu jatuh tempo pinjaman tersebutlalu Tergugat datang lagi pada Penggugat untuk meminta tambahan pinjamanuang sebesar Rp.20.000.000,- dengan alasan pekerjaan proyek belum selesaidan apabila tak dapat tambahan pinjaman maka pengembalian uang pinjamantersebut akan terhambat;

Bahwa mengingat hubungan Penggugat dan Tergugat begitu baik danapabila Tergugat tidak mendapat bantuan dana Rp.20.000.000,- maka akanmenghambat pengembalian uang pinjaman yang sudah diterima oleh Tergugattersebut, maka dengan bersusah payah Penggugat berusaha mencari uangpada orang tua Penggugat di Desa Pandayora, dan pada tanggal 01 September2008 Penggugat dan Tergugat pergi ke Desa Pandayora ke rumah orang tuaPenggugat untuk mendapatkan uang Rp.20.000.000,- dan uang tersebutditerima oleh Tergugat dengan perjanjian bahwa semua pinjaman Tergugat padaPenggugat sebesar Rp.20.000.000,- + Rp. 20.000.000,- + Rp.40.000.000,- + Rp.20.000.000,- = Rp.100.000.000,- akan dikembalikan padatanggal 01 Oktober 2008 dan Tergugat akan memberikan pembagian bagi hasildari keuntungan pekerjaan proyek yang digarap oleh Tergugat;

Bahwa setelah waktu yang diperjanjikan untuk pengembalian uangpinjaman tersebut yaitu pada tanggal 01 Oktober 2008 telah jatuh tempoternyata Tergugat tidak mengembalikan uang pinjaman (hutang) tersebutkepada Penggugat;

(46)

perbuatan Tergugat tersebut pihak Penggugat telah menderita kerugiansebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah);

BahwaPenggugat dengan maksud baik untuk menolong Tergugatsehinggatelah memberikan bantuan pinjaman uang kepada Tergugat dengantanpa jaminan apa-apa dan tanpa mengenakan bunga atas pinjaman uangtersebut, tapi ternyata Tergugat ingkar janji;

Bahwa Penggugat telah berusaha beberapa kali menemui Tergugat untukmeminta pengembalian uang pinjaman (hutang) Rp.100.000.000,- tersebutakan tetapiTergugat tidak menghiraukannya dan bahkan ada etikat buruk dariTergugat untuk tidak mau membayar hutangnya tersebut;

Bahwa akibat perbuatan Tergugat yang ingkar janji (wanprestasi) tersebutmaka Penggugat telah menderita kerugian sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) tunai;

Bahwa walaupun antara Penggugat dengan Tergugat tidak membuatperjanjian jasa bunga pinjaman uang tersebut, akan tetapi karena pihakTergugat telah ingkar janji dan mempunyai etikat buruk dengan tidakmengembalikan uang pinjaman tersebut, maka dalam gugatan ini Penggugatakan memperhitungkan jasa bunga pinjaman uang tersebut sesuai jasa bungapinjaman Bank sebesar 2,5% perbulan, dengan perhitungan sebagai berikut :2,5% x Rp.100.000.000,- = Rp. 2.500.000,- x 5 bulan = Rp. 12.500.000,-yang harus dipenuhi oleh Tergugat sebagai tambahan kerugian yang dideritaoleh Penggugat;

Bahwa karena pinjaman uang (hutang) Tergugat pada Penggugat tidakada jaminan, dan untuk menjamin agar Tergugat segera mengembalikan uangpinjaman (hutang) tersebut pada Penggugat, maka untuk itu Penggugatmemohon agar Pengadilan Negeri Poso segera meletakan sita jaminan(Conservatoir Beslag) atas 1 (satu) buah mobil Tergugat merk Excudo warnahitam No. Polisi : DN. 999 EA;

Bahwa karena perkara ini telah jelas dan terang dimana Tergugat telahmelakukan ingkar janji (wanprestasi) maka Tergugat harus dihukum membayaruang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 100.000,- perhari kepada Penggugatapabila Tergugat lalai menjalankan putusan ini;

(47)

Pertimbangan hakim yang menjadi keputusan dalam tiap tingkatnya, menjadi

sumber penelitian oleh penulis guna penyelesaian tulisan ini, Pertimbangan hakim

ditiap tingkatnya pasti berbeda, hal ini yang akan diuraikan oleh penulis dalam bab

ini,antara lain Pertimbangan hakim di Pengadilan Negeri Poso, Pengadilan Tinggi

Sulawesi Tengah Palu, serta Keputusan Mahkamah Agung (M.A.) di tingkat Kasasi.

dalam Pertimbangan hakim di tingkat Pengadilan Negeri Poso, pertimbangan hakim

Pengadilan Negeri Poso, dalam putusan No.45/Pdt.G/2008/ Pengadilan Negri Poso

tanggal 7 april 2009.

Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat/Pembanding putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan olehPengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu dengan putusan No. 33/PDT/2009/ PT.PALU tanggal 18 Agustus 2009, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepadaTergugat/Pembanding pada tanggal 01 Oktober 2009 kemudian terhadapnyaoleh Tergugat/Pembanding (dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan suratkuasa khusus tanggal 12 Desember 2008) diajukan permohonan kasasi secaratertulis pada tanggal 13 Oktober 2009 sebagaimana ternyata dari aktapermohonan kasasi No. 45/Pdt.G/2008/PN.Pso yang dibuat oleh PaniteraPengadilan Negeri Poso, permohonan tersebut diikuti oleh memori kasasi yangmemuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeritersebut pada tanggal 26 Oktober 2009;

Bahwa setelah itu oleh Penggugat / Terbanding yang pada tanggal 27Oktober 2009 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Tergugat/Pembandingdiajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan PengadilanNegeri Poso pada tanggal 03 November 2009;

Dalam Pertimbangan hakim di tingkat Kasasi di Mahkamah Agung pertimbangan hakim Menimbang,bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannyatelah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalamtenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, makaoleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima;

(48)

KEBERATAN PERTAMA :

Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti Pengadilan NegeriPoso pada halaman 27 menimbang pertama yang kami kutib "menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian sebagaimana diatas, MajelisHakim berpendapat bahwa dalil jawaban yang telah dikemukakan oleh Tergugatmerupakan dalil jawaban yang tidak ada relevansinyaterhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat...dst". dan pertimbanganmana diambil alih oleh Judex Facti Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah sertamenjadi pertimbangan hukumnya, untuknya kami mengajukan keberatan yakni, Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti tersebut telah mengabaikan hokumpembuktian, mengandung kekeliruan dan kekhilafan, sebab Judex Facti telahlalai dan tidak mempertimbangkan uraian jawaban Tergugat, Pembandingsekarang PEMOHON KASASI tersebut, padahal berdasarkan keterangan saksiWESLINA SAMBA, saksi ANANIUS AWUSI, SH saksi MAXELIN TAEWA dansaksi ERNI MOYAMBO yang menegaskan bahwa bisnis Penggugat/Terbanding sekarang TERMOHON KASASI adalah bisnis pinjam meminjamuang dengan bunga yang berfariasi 10-15% danbisnis pinjam meminjam uang ini telah lama Penggugat /Terbanding sekarangTERMOHON KASASI lakukan.

Bahwa dari rangkaian uraian Pembanding / Tergugat pada jawabangugatan a quo jika dirangkaikan dengan fakta persidangan yang sumbernya dariketerangan saksi WESLINA SAMBA, saksi ANANIUS AWUSI, SH saksiMAXELIN TAEWA dan saksi ERNI MOYAMBO yang menegaskan bahwa bisnisTerbanding/ Penggugat sekarang TERMOHON KASASI adalah bisnis pinjammeminjam uang dengan bunga yang berfariasi 10 - 15 %, maka sudahseharusnya Judex Facti menarik kesimpulan dan selanjutnya memasukkannyadalam pertimbangan hukum pada putusan aquo, menegaskan bahwa perkaraPINJAM MEMINJAM UANG diluar aturan undang -undang PERBANKANadalah TIDAK DIBENARKAN serta MELANGGAR Peraturan Perundang -undangan.Bahwa dengan nyatanya kekeliruan dan kekhilafan pertimbanganhukum Judex Facti dalam putusan a quo, maka putusan a quo patut untukdiperbaiki oleh Yang Mulia MAJELIS HAKIM AGUNG dengan menyatakanbahwa gugatan Terbanding / Penggugat sepatutnya untuk ditolak dan atausetidak - tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.

KEBERATAN KEDUA :

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Opisat ´cemo razliˇcite klase realnih funkcija: konveksne, zvjezdaste, superaditivne i m -konveksne te dokazati neka njihova svojstva i ispitati odnose izmedu klasa

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dalam dua siklus dan telah diketahui hasil serta pembahasannya, maka peneliti dapat menarik kesimpulan

Empat ratus dan lima ratus tahun yang lalu, Machiavelli pernah berkata, “Tidak ada yang lebih sukar untuk dilakukan, lebih membahayakan untuk dilakukan atau lebih tidak pasti

Hasil pengamatan morfologi buah matang, menunjukan bahwa buahklon Panter, Irian, Hibrida, ICS 60, Sulawesi 1 (S1) dan M01 memiliki fenotip yang

Dalam hal ini, pengertian dari corak tersebut adalah suatu corak yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat serta usaha

:ari pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam yang dilakukan terhadap enaah tersebut sangat mendukung bah$a kematiannya disebabkan oleh tenggelam" Hni diperkuat lagi

berkaitan dengan puisi. 3) Siswa dan guru berdiskusi tentang teknik mind mapping tersebut. 4) Siswa dan guru membuat mind mapping dari kata “laut”. 5) Siswa dan guru membuat puisi

Muller (2016, hlm.318) mengatakan antara usaha PAS adalah menukar rentak pendekatannya dengan mengalukan budaya popular ke dalam parti tersebut. Hiburan dan kesenian