Karya Ilmiah
KEKUATAN HUKUM DARI SUATU KWITANSI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERJANJIAN UTANG-PIUTANG MENURUT HUKUM PERDATA
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 183 K/PDT/2010)
Oleh:
Erita W. Sitohang, S.H.,M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini :
Dalam penulisan Karya ilmiah ini, penulis memperoleh bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, dan untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan 2. Ibu kepala perpustakaan Universitas HKBP Nommensen Medan
3. Pihak-pihak tertentu yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu
Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam karya ilmiah ini belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan, untuk itulah penulis dengan segala kerendahan hati menerima berbagai kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Akhirnya penulis sangat mengaharapkan bahwa karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk membantu mahasiswa dalam perkuliaahan dan sekaligus dapat digunakan untuk melengkapi persyaratan akademis.
Medan 26 oktober 2011 Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ... 8
1. Pengertian Perjanjian ... 8
2. Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian... 9
3. Asas-Asas dalam Perjanjian ... 14
4. Akibat Hukum dari Perjanjian ... 18
5. Jenis-Jenis Perjanjian ... 19
B. Tinjauan Umum Tentang Utang Piutang ... 21
1. Pengertian Utang-Piutang ... 21
2. Latar Belakang terjadinya Perjanjian Utang-Piutang... 23
C. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti... 25
1. Pengertian Alat Bukti ... 25
2. Prinsip Pembuktian ... 27
3. Jenis-Jenis Alat Bukti... 33
BAB III PEMBAHASAN A. Kekuatan hukum dari suatu kwitansi sebagai alat bukti dalam perjanjian utang-piutang... 40
B. Upaya hukum yang dilakukan oleh berpiutang apabila siberutang tidak mengakui keberadaan suatu kwitansi dalam perjanjian utang-piutang yang dibuat secara lisan ... 51
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ...55
B. Saran... 54
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan setiap harinya selalu
berhadapan dengan segala macam kebutuhan. dan dalam menghadapi kebutuhan ini,
manusia pada umumnya berharap selalu berkeinginan dapat memenuhi seluruhnya
karena pada dasarnya manusia ingin hidup layak dan selalu berkecukupan.
Mengenai kebutuhan manusia yang dimaksud dapat digolongkan tiga macam,
yaitu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. dimana dari ketiga kebutuhan tersebut
kebutuhan primer merupakan kebutuhan yang harus diutamakan pemenuhannya
setiap hari dan manusia tidak mungkin dapat mengelaknya, seperti kebutuhan makan,
minum, pakaian, mandi (perlu air, sikat gigi, odol, handuk) dan ongkos transport.akan
tetapi, manusia pada dasarnya tidak terlepas juga dari pemenuhan kebutuhan
sekunder dan tersier.
Manusia dalam keberadaannya di tengah-tengah masyarakat selalu ingin
mempertahankan hidupnya. Untuk itu, manusia harus berusaha supaya memperoleh
penghasilan yaitu dengan bekerja. akan tetapi,yang sering terjadi dalam kenyataannya
penghasilan yang diperoleh manusia tidak dapat mencukupi kebutuhannya yang
Seiring berjalannya waktu harga barang-barang selalu mengalami kenaikan.
Akibatnya, kebutuhan yang dikehendaki selalu gagal untuk dapat memenuhi
kebutuhan tersebut. yang sering terjadi adalah manusia sering mengadakan suatu
perikatan yaitu salah satunya mengadakan perjanjian utang-piutang antara:
1. Orang-Perorangan.
2. Manusia dengan badan hukum.
3. Badan hukum dengan badan hukum.
Mengadakan Perjanjian Utang-piutang merupakan salah satu cara bagi
manusia dalam pemenuhan kebutuhan. berbicara tentang Utang-piutang bukan hal
yang asing di tengah-tengah masyarakat dan di telinga semua orang, karena selalu
ada saja timbul permasalahan dalam perjanjian Utang-piutang tersebut. perjanjian
Utang-piutang termasuk ke dalam jenis perjanjian pinjam-meminjam, hal ini
sebagaimana diatur dalam Bab Ketiga Belas Buku Ketiga KUH Perdata. dalam pasal
1754 KUH Perdata yang menyebutkan :
“ Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”
Pada dasarnya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dan asas
perjanjian dapat dibuat secara lisan atau secara tertulis, hal ini terserah kepada para
pihak untuk menentukan bentuk perjanjian itu sendiri. Oleh karena itu suatu
perjanjian utang-piutang dapat dibuat dengan bebas dalam bentuk lisan atau tertulis
sangat tergantung pada para pihak yang mengadakan perjanjian.
Pada umumnya dalam praktek perjanjian utang-piutang di tengah-tengah
masyarakat apabila nilai utangnya besar dan berhubungan dengan salah satu pihaknya
adalah perusahaan, perjanjian utang-piutang tersebut dibuat dalam bentuk tertulis atau
dibuat suatu akta otentik oleh pejabat umum yang tugasnya membuat akta tersebut
misalnya seorang notaris Sebaliknya apabila nilai utangnya kecil biasanya para pihak
membuat perjanjian hanya secara lisan. perjanjian yang dibuat secara lisan tetap sah
dan mengikat kedua belah pihak,karena harus dilandasi dengan kata sepakat dan
harus dilaksanakan dengan itikad baik.kebanyakan perjanjian secara lisan dilakukan
karena para pihak merasa saling percaya. Menurut bentuknya akta dapat dibagi
menjadi 2 yaitu :
1. Akta Otentik
Dalam Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan bahwa :
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya".
Kemudian dalam Pasal 285 Rbg/ 165 HIR menyebutkan bahwa :
tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok dalam aktaitu.”
Tujuan dibuatnya surat perjanjian utang-piutang secara otentik yang dibuat
oleh seorang notaris untuk kepentingan para pihak dalam hal sebagai alat bukti
apabila di kemudian hari terjadi sengketa di antara para pihak yang berjanji. karena
menurut hukum akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna pasal
1870 KUHPerdata jo pasal 285 Rbg, secara lahiriah pasal 1875 KUHPerdata, formal
dan materiilnya Pasal 1870, 1871 dan 1875 KUHPerdata. dan tidak lagi memerlukan
alat bukti lain.
2. Akta Dibawah Tangan
Dalam Pasal 1874 KUHPerdata menyebutkan bahwa :
“Akta dibawah tangan adalah Tulisan yang dibuat atau di tandatangani dibawah tangan dan tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang, yang dibuat oleh paling sedikitnya dua pihak.”
Kemudian dalam Pasal 286 RBg menyebutkan bahwa :
“Menyatakan bahwa yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa memakai bantuan seorang pejabat umum.”
Sehelai Kwitansi, faktur tergolong dalam akta di bawah tangan. Suatu akta
akta di bawah tangan kekuatan pembuktiannya akan sangat tergantung pada
kebenaran atas pengakuan atau penyangkalan para pihak atas isi dari akta dan
masing-masing tanda tangannya. Apabila suatu akta di bawah tangan diakui isi dan
tandatangannya oleh masing masing pihak maka kekuatan pembuktiannya hampir
Yang banyak ditemukan dalam praktik khususnya dalam perjanjian secara
lisan adalah para pihak dalam mengadakan perjanjian utang-piutang hanya
didasarkan suatu kwitansi sebagai bukti adanya perjanjian antara para pihak tanpa
adanya perjanjian tertulis. Kelemahan dalam perjanjian lisan ini adalah apabila
debitur ingkar janji atau bahkan menyangkal tidak pernah membuat perjanjian,atau
juga berbalik menuduh pihak kreditur yang mengada-ada. Sehingga kreditur akan
mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya perjanjian utang-piutang dengan
debitur sehingga kreditur tidak dapat menuntut pengembalian hak piutang tersebut
atau dengan kata lain risiko uang kreditur menjadi hilang.
Kwitansi adalah selembar kertas yang berfungsi sebagai tanda terima dari
suatu transaksi dan juga sebagai surat bukti yang menyatakan bahwa telah terjadi
penyerahan sejumlah uang dari yang disebut sebagai pemberi atau yang menyerahkan
uang kepada yang disebut sebagai penerima dan yang harus menandatangani telah
menerima penyerahan uang itu sebesar yang disebutkan dalam surat itu, lengkap
dengan tanggal penyerahan,tempat serta alasan penyerahan uang itu untuk
memperkuat tanda bukti tersebut ditempelkan materai sebesar yang ditentukan oleh
undang-undang perpajakan.
Penulis mengemukakan ada 2 alasan mengapa para pihak dalam mengadakan
perjanjian utang-piutang sering tidak dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis :
1. Kurangnya akan kemampuan pengetahuan para pihak dalam pembuatan suatu
2. Sikap para pihak yang cenderung mencari enaknya sendiri yang bisa mereka
lakukan dan dianggap gampang dilaksanakan serta menguntungkannya.
Dimana yang menjadi permasalahan hukum dalam perjanjian utang-piutang yang
hanya didasarkan suatu kwitansi sebagai bukti perjanjian, yang sering terjadi adalah
pihak kreditur sebagai pemberi pinjaman mengalami kesulitan dalam hal pembuktian
adanya suatu perjanjian dengan debitur apabila timbulnya suatu sengketa antara para
pihak.
Dengan melihat latar belakang tersebut diatas penulis sangat tertarik untuk
membahas masalah ini dengan mengambil judul “KEKUATANHUKUM DARI SUATU KWITANSI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERJANJIAN
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kekuatan hukum dari suatu kwitansi sebagai alat bukti dalam
perjanjian utang-piutang.
2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh berpiutang apabila
siberutang tidak mengakui keberadaan suatu kwitansi dalam perjanjian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian
Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.
Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang
tersebut yang dinamakan perikatan.
Menurut Subekti “perjanjian” adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.
Menurut Wirjono Prodjodikoro “perjanjian” adalah suatu hubungan hukum
mengenai harta benda antara dua pihak, dimana salah satu pihak berjanji untuk
melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak
menuntut pelaksanaan janji itu.
Dari beberapa pengertian singkat diatas dapat dikatakan unsur-unsur dari
perjanjian antara lain :
2. Antara Sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang).
3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji
tersebut.
4. Dimana hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.
2. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi suatu ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. Mengenai suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Dari ke-empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang, digolongkan ke dalam :
1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif).
2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif).
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para
pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.
Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan
untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan
menurut hukum.
Ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Pasal 1320 KUHPerdata. kesepakatan mengandung pengertian bahwa para
pihak saling menyatakan kehendak masing-masing atau pernyataan pihak yang satu
“cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak lain.Kesepakatan dalam perjanjian
merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian
mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara
melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan dan siapa yang harus melaksanakan.
kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan tertulis maupun
secara tidak tertulis/lisan. kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para
pihak dibentuk oleh dua unsur, yaitu :
1. Penawaran (aanbod;offerte;offer)
Diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian, usul tersebut mencakup “esensialia” yaitu unsur yang mutlak harus ada dalam suatu perjanjian. Penawaran berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut.
2. Penerimaan (aanvarding; acceptatie; acceptance)
Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak yang bersangkutan dalam memberikan kata sepakat sehingga persetujuan yang dilakukan para pihak adalah persetujuan yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Ad.2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai
kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri
sendiri tanpa dapat diganggu gugat. kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
pada umumnya diukur dari standar :
a. Person(pribadi), diukur dari standar usia kedewasaan atau cukup umur.
b. Rechtsperson(badan hukum) diukur dari aspek kewenangan.
Menurut pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “Setiap orang adalah
cakap membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan
tidak cakap.”dalam pasal 1330 KUH Perdata memberikan limitasi orang-orang yang
dinyatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian atau bertindak dalam hukum dalam
pasal tersebut diatas menerangkan tentang orang yang dianggap tidak cakap, yakni :
1. Orang-orang yang belum dewasa, yakni orang yang belum dewasa 21 tahun dan belum menikah karena walaupun belum berusia 21 tahun kalau sudah menikah, maka sudah dianggap cakap.
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, yakni orang yang gila, kalap mata, bahkan dalam hal tertentu juga orang yang boros.
4. Pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu, khusus bagian keempat ini sebenarnya bukan tergolong orang yang tidak cakap, melainkan orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum.
Dalam hal perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tergolong
tidak cakap ini, pembatalan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak
cakap untuk itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini
dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri.Akan tetapi
apabila pihak yang tidak cakap itu menyatakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh
baginya, konsekuensinya segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka
yang tidak cakap adalah hanya dapat dimintakan pembatalannya oleh pihak-pihak
yang merasa dirugikan.
Sedangkan dalam hal subjek hukumnya adalah berupa badan hukum standar
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum tidak menghadapi polemik seperti
person, karena cukup dilihat pada kewenanganya. artinya kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum didasarkan pada kewenangan yang melekat pada pihak
yang mewakilinya. Dengan demikian, untuk mengetahui syarat kecakapan pada
badan hukum harus diukur dari aspek kewenangannya.
Ad. 3. Mengenai suatu hal tertentu.
Adapun yang dimaksud suatu hal atau objek tertentu dalam pasal 1320 KUH
Perdata syarat ke tiga adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang
yang menjadi kewajiban para pihak.pernyataan-pernyataan yang tidak dapat
ditentukan sifat dan luas kewajiban para pihak adalah tidak mengikat (batal demi
hukum). lebih lanjut mengenai hal atau objek tertentu ini diatur dalam pasal 1332,
1333 dan 1334 KUH Perdata, sebagai berikut :
1. Dalam pasal1332 menyebutkan bahwa “hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian.”
2. Pasal 1333 menyebutkan bahwa “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang palingsedikit ditentukan jenisnya.”
3. Pasal 1334 menyebutkan bahwa “Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.”
Syarat ini menjadi penting, terutama apabila terjadi perselisihan diantara
kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban
dari para pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat. dan apabila perjanjian itu
tidak dilaksanakan maka dianggap perjanjian itu batal demi hukum.
Ad. 4. Suatu sebab yang halal
Subekti menyatakan bahwa “sebab” adalah isi perjanjian itu sendiri, dengan
demikian kausa merupakan prestasi dan kontra prestasi yang saling dipertukarkan
oleh para pihak. Mengenai sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 hingga pasal
1337 KUH Perdata. Pasal 1335 menyebutkan bahwa : “Suatu perjanjian tanpa sebab,
atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah
mempunyai kekuatan.” Pasal 1337 menyebutkan bahwa : “Suatu sebab adalah
kesusilaan baik atau ketertiban umum.” berdasarkan kedua pasal tersebut, suatu
kontrak tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (batal), apabila kontrak
tersebut :
1. Tidak mempunyai kausa atau kausanya palsu.
2. Kausanya bertentangan dengan Undang-Undang.
3. Kausanya bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Sehubungan dengan keempat syarat dalam pasal 1320 KUH Perdata tersebut
diatas terdapat penjelasan lebih lanjut terkait dengan konsekuensi tidak dipenuhinya
masing-masing syarat yang dimaksud :
1. “noneksistensi” apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul kontrak 2. Syarat kesepakatan dan kecakapan (unsur subjektif)
Karena berkenaan dengan diri orang atau subjek yang membuat kontrak,maka apabila kontrak itu lahir karena cacad kehendak atau cacad ketidakcakapan maka akan berakibat kontrak tersebut dapat dibatalkan.
3 Syarat objek tertentu dan kausa yang diperbolehkan (Unsur Objektif)
Apabila kontrak itu lahir karena tidak terpenuhi syarat objek tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan maka akan berakibat kontrak batal demi hukum.
3. Asas-Asas dalam Perjanjian
Asas hukum merupakan sumber bagi sistem hukum yang memberi inspirasi
mengenai nilai-nilai etis, moral, dan sosial masyarakat. dengan demikian asas sebagai
landasan norma menjadi alat uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma
hukum tersebut pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang
menjiwainya.Niewenhuis mengatakan bahwa “asas-asas hukum itu berfungsi sebagai
“chek and balance”. dalam Buku III KUH Perdata dikenal asas penting dalam
hukum perjanjian yaitu :
1. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di
dalam hukum kontrak karena mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam
hubungan kontraktual para pihak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya
merupakan perwujudan dari kehendak bebas berkontrak bagi para pihak.
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1320 ayat (4)
KUH Perdata, yang berbunyi “Suatu sebab yang tidak terlarang.” para pihak yang
membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan
membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja,
selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu
yang terlarang. Seperti yang tertuang dalam pasal 1337 KUH Perdata “ suatu
sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk :
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian, bentuk suatu perjanjian, yaitu
tertulis atau lisan.
2. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme merupakan “roh” dari suatu perjanjian. Asas
konsensualisme sebagaimana terdapat dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata
yang menyebutkan “ kesepakatan kedua belah pihak “ dimana menurut asas ini
perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat yaitu persesuaian
kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. dengan demikian
Asas konsensualitas menunjukan Bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang
dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat, dan karenanya
telah melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam perjanjian tersebut,
setelah para pihak tersebut mencapai kesepakatan atauconsensus.
3. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang (Pacta Sunt Servanda)
Asas pacta sunt servanda atau disebut dengan asas kepastian hukum. Asas ini
berhubungan dengan akibat perjanjian. asas pacta sunt servanda adalah asas
bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.mereka tidak
boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.“
4. Asas itikad baik
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata
berbunyi “ Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas
itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan pihak
debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.itikad baik adalah
bersifat dinamis. Artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus
berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. asas itikad baik juga dibedakan
dalam sifatnya yang nisbi (relatif-subjektif) dan mutlak (absolut-objektif). Pada
itikad baik yang nisbi (relatif-subjektif), orang memperhatikan sikap dan tingkah
laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik yang absolut-objektif atau hal yang
sesuai dengan akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran objektif untuk menilai
keadaan sekitar perbuatan hukumnya (penilaian tidak memihak menurut
norma-norma yang objektif). Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi dua
macam, yaitu :
a. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik disini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah terpenuhi.
sebagaimana diatur dalam pasal 1338 (3) KUH Perdata bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya.
5. Asas Kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan
saja. Asas ini diatur dalam ketentuan pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata.
Pasal 1315 berbunyi “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas
nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”.
Pada umumnya seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan
dirinya sendiri.Pasal 1340 berbunyi “perjanjian hanya berlaku antar pihak yang
membuatnya.”dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu
perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu,
subjek hukum pribadi, hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.
4. Akibat Hukum dari Perjanjian
Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian
yang dibuat hanya berlaku di antara para pihak yang membuatnya. Ini berarti
bahwa setiap perjanjian, hanya membawa akibat berlakunya ketentuan pasal 1131
KUH Perdata bagi para pihak yang terlibat atau yang membuat perjanjian
tersebut. jadi,apa yang menjadi kewajiban atau prestasi yang harus
dilaksanakanoleh debitor dalam perjanjian hanya merupakan dan menjadi
Suatu akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana
hakmerupakansuatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan
beban.Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah
diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. jadi
perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. perjanjian yang telah
dibuat secara sah mengikat pihak-pihak.
Perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu (Pasal 1338 ayat (2)KUHPerdata), perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata) Perjanjian tidak hanya mengikat
untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.
5. Jenis- Jenis Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu :
1. Perjanjian menurut sumbernya :
a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan
b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik
c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara
2. Perjanjian menurut namanya :
a. Perjanjian Khusus/bernama/nominaat
Perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUHPerdata, contoh perjanjian yang terdapat dalam Buku III Bab V-XVIII KUHPerdata, antara lain : Perjanjian jual-beli,tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam-meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang dan perdamaian.
b. Perjanjian umum/tidak bernama/innominaat
Perjanjian yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat karena asas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat KUHPerdata diundangkan.contohnya : kontrak production sharing,joint venture, kontrak karya, kontrak konstruksi, leasing, sewa-beli, franchise, technical assistancedan lain sebagainya.
3. Perjanjian menurut bentuknya :
a. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan saja, pasal 1320 KUHPerdata denagn adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam perjanjian lisan adalah :
1. Perjanjian Konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan
2. Perjanjianriil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan barangnya.
b. Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan kontrak. Kontrak ini dibagi kedalam dua bentuk :
1. Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang memuat tentang adanya peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar adanya hak atau perikatan dan mengikat bagi pembuatnya ataupun bagi pihak ketiga.
2. Akta dibawah tangan adalah akta yang pembuatanya dilaksanakan sendiri oleh para atau tidak ada campur tangan dari pejabat.
a. Perjanjian liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya, pembebasan hutang (pasal 1438 KUHPerdata).
b. Perjanjian pembuktian, yaitu perjajian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku dianatara mereka.
c. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (pasal 1774 KUHPerdata)
d. Perjanjian publik, adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu bertindak sebagai penguasa (pemerintah).
5. Perjanjian menurut sifatnya :
a. Perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang utama
b. Perjanjianaccessoir adalah perjanjian tambahan yang mengikuti perjanjian utama
c. Perjanjianobligatoir adalah perjanjian yang hanya (baru) meletakkan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak dan belum memindahkan hak milik
d. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu kepada pihak lain, misalnya peralihan hak milik.
B. Tinjauan Umum Tentang Utang-Piutang 1. Pengertian Utang-Piutang
Pinjam-meminjam berasal dari Istilah“ verbruik-lening”yang mana perkataan
‘verbuik’ berasal dari bahasa ”verbruiken” yang berarti menghabiskan. perjanjian
Utang-piutang uang termasuk ke dalam jenis perjanjian pinjam-meminjam, hal ini
sebagaimana diatur dalam Bab Ketiga Belas Buku Ketiga KUH Perdata.
Dalam Pasal 1754 KUH Perdata yang menyebutkan :“ Pinjam-meminjam adalah
jumblah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat
bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari
macam dan keadaan yang sama pula.”
Gatot Supramono memberikan defenisi Utang-piutang adalah “ Perjanjian antara
pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dan objek yang diperjanjikan pada
umumnya adalah uang, dimana kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang
memberikan pinjaman, sedangkan pihak yang lain menerima pinjaman uang. Dan
uang yang dipinjam akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
yang diperjanjikan“.
Kriansidoarjo“ Hutang Piutang ” adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak
milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari
sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp.
1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu
juta juga. Jadi hutangPiutangadalah menyerahkan sesuatu kepadaorang lain dengan
perjanjian akan mengembalikan dengan jumlah yang sama. dalam perjanjian
utang-piutang barang yang diserahkan untuk dipinjam itu menjadi miliknya si peminjam,
sedangkan pihak yang meminjamkan memperoleh suatu hak penuntutan (piutang)
terhadap si peminjam untuk mengembalikan sejumlah barang yang sama jumlah dan
Objek perjanjian pinjam-meminjam dalam pasal 1754 KUH Perdata tersebut
berupa barang-barang yang habis karena pemakaian seperti : Buah-buahan, minyak
tanah,pupuk dll. Uang dapat merupakan objek perjanjian utang-piutang karena
termasuk barang yang habis karena pemakaian. karena uang berfungsi sebagai alat
tukar atau akan habis apabila dibelanjakan. Oleh karena itu, sangat jelas
utang-piutang termasuk perjanjian pinjam-meminjam.
2 Latar Belakang Terjadinya Perjanjian Utang-Piutang
Perjanjian utang-piutang dapat terjadi karena dilatarbelakangi sejarah. Pada
pokoknya terjadinya perjanjian utang-piutang ada dua macam, yaitu karena murni
perjanjian utang-piutang dan karena dilatarbelakangi perjanjian lain.
a. Karena Murni Perjanjian Utang-piutang.
Perjanjian utang-piutang yang dimaksud disini, tidak ada latar belakang persoalan lain, dan perjanjian itu dibuat hanya semata-mata untuk melakukan utang-piutang. misalnya, seorang pedagang kekurangan modal untuk meningkatkan usahanya, lalu pergi ke bank untuk meminjam kredit.disinidapat dilihat bahwa terjadinya perjanjian karena murni kepentingan utang-piutang.
b. Karena dilatarbelakangi perjanjian lain.
Lain halnya dengan perjanjian utang-piutang yang satu ini, terjadinya perjanjian tersebut karena sebelumnya telah terjadi perjanjian lain. Perjanjian sebelumnya dengan perjanjian berikutnya yaitu perjanjian utang-piutang kedudukannya berdiri sendiri. Perjanjian sebelumnya telah selesai dilaksanakan.
antara perjanjian jual-beli dengan perjanjian utang-piutang sama-sama perjanjian pokok, dan masing masing berdiri sendiri, dimana perjanjian jual-beli sudah selesai baru timbul perjanjian utang-piutang.
3. Hak dan Kewajiban Para Pihak.
Dalam perjanjian yang bertimbal balik seperti perjanjian utang-piutang ini,
hak dan kewajiban kreditur bertimbal balik dengan hak dan kewajiban debitur. Hak
kreditur disatu pihak, merupakan kewajiban debitur di lain pihak. Begitu pula
sebaliknya, kewajiban kreditur merupakan hak debitur.
1. Kewajiban Kreditur
Perjanjian utang-piutang sebagaimana diatur dalam KUH Perdata
kewajiban-kewajiban kreditur tidak banyak diatur, pada pokoknya kreditur wajib
menyerahkan uang yang dipinjamkan kepada debitur setelah terjadinya
perjanjian.
Selanjutnya, Pasal 1759 hingga Pasal 1761 KUH Perdata, menentukan:
a. Uang yang telah diserahkan kepada debitur sebagai pinjaman. Sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam perjanjian tidak dapat diminta kembali oleh kreditur.
b. Apabila dalam perjanjian utang-piutang tidak ditentukan jangka waktu, dan kreditur menuntut pengembalian utang, caranya dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan, dan berdasarkan Pasal 1760 KUH Perdata hakim diberi kewenangan untuk menetapkan jangka waktu pengembalian utang, dengan mempertimbangkan keadaan debitur serta memberi kelonggaran kepadanya untuk membayar utang.
2. Kewajiban Debitur
Kewajiban debitur dalam perjanjian utang-piutang sebenarnya tidak banyak, pada
pokoknya mengembalikan utang dalam jumblah yang sama, disertai dengan
pembayaran bunga yang telah diperjanjikan, dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, Pasal 1763 KUH Perdata. pembayaran utang tergantung
perjanjiannya, ada yang diperjanjikan pembayaranya cukup sekali langsung lunas,
biasanya apabila jika utangnya tidak begitu besar nilainya. Dan ada pula jika
utangnya dalam jumlah besar seperti kreditbank, pada umumya pembayaran utang
dilakukan debitur secara mengangsur tiap bulan selama waktu yang telah
diperjanjikan disertai dengan bunganya.
C. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti 1. Pengertian Alat Bukti
Dalam suatu perkara perdata atau dari keseluruhan tahap persidangan dalam
penyeleksian perkara perdata, pembuktian memegang peranan yang sangat
penting.Dikatakan demikian karena dalam tahap pembuktian inilah para pihak yang
bersengketa diberikan kesempatan untuk mengemukakan kebenaran dari dalil-dalil
yang dikemukakannya. Sehingga berdasarkan pembuktian inilah hakim atau majelis
hakim akan dapat menentukan mengenai ada atau tidaknya suatu peristiwa atau
benar, adil, atau dengan kata lain putusan hakim yang tepat dan adil baru dapat
ditentukan setelah melalui tahap pembuktian dalam persidangan penyelesaian perkara
perdata di pengadilan, Sehubungan dengan hukum pembuktian, maka untuk
keperluan suatu pembuktian, diperlukan alat bukti.
Alat bukti (bewijsmiddel) adalah bermacam-macam bentuk dan jenis, yang
mampu memberi keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di
pengadilan. Alat bukti mana diajukan para pihak untuk membenarkan dalil gugat atau
dalil bantahan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan yang diberikan alat bukti
itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktianya.
untuk memberikan gambaran yang jelas, dalam ketentuan pasal 163 HIR berbunyi :
“Barang siapa mengatakan ia mempunyai suatu hak, atau mengatakan suatu
perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau membantah hak orang lain, maka orang
itu haruslah membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu.“
Dalam pasal 163 HIR terdapat asas “ siapa yang mendalilkan sesuatu dia harus
membuktikannya. “ Jadi, para pihak yang berperkara dapat membuktikan kebenaran
dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan
jenis atau bentuk alat bukti tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Hukum pembuktian yang berlaku di indonesia sampai saat ini masih berpegang
kepada jenis alat bukti tertentu saja yaitu alat bukti yang ditentukan oleh
sah sebagai alat bukti dan oleh karena itu tidak mempunyai nilai kekuatan
pembuktian untuk menguatkan kebenaran dalil atau bantahan yang dikemukakan.
2. Prinsip Pembuktian
Yang dimaksud prinsip pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian.
Semua hak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip
dimaksud adalah :
1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran formil.
Dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim
adalah cukup kebenaran formil dari diri dan sanubari hakim, tidak dituntut
keyakinan. Dalam proses peradilan perdata peran seorang hakim bersifat pasif
hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang
diajukan penggugat dan terggugat untuk mencari dan menemukan kebenaran
formil itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan
oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung, sedangkan yang
ditemukan di luar persidangan atau out of court, tidak dapat dijadikan hakim
sebagai dasar penilaian. Selain itu bukti yang diajukan di persidangan harus
mampu membuktikan fakta konkret yang langsung berkaitan dengan materi
pokok perkara yang disengketakan, sedangkan bukti yang hanya mengandung
fakta abstrak, tidak bernilai sebagai alat bukti untuk membuktikan kebenaran
Dalam hal ini hakim dituntut aktif dalam hal menyaring dan menyingkirkan
bukti-bukti yang diajukan para pihak yang dianggap tidak relevan terhadap
perkara sesuai dengan kewenangannya menentukan pendapat dan kesimpulan
yang akan diambilnya. Oleh karena itu kalau hakim mengetahui fakta atau bukti
yang diajukan tidak benar, maka hakim dapat menolaknya sebagai dasar penilaian
pembuktian.
2 Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara
Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak
memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara.
Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang
didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai, karena
dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum yang
terjadi antara para pihak. Begitu juga sebaliknya, kalau penggugat membenarkan
dan mengakui dalil bantahan yang diajukan tergugat, berarti sudah dapat
dipastikan dan dibuktikan gugatan yang diajukan penggugat sama sekali tidak
benar. Meskipun hakim mengetahui dan yakin pengakuan itu bohong atau
berlawanan dengan kebenaran maka hakim harus menerima pengakuan itu
sebagai fakta dan kebenaran.
Baik dalam Perkara pidana atau perkara perdata, pembuktian suatu perkara tidak
bersifat logis. Hukum pembuktian dalam perkara tidak selogis pembuktian ilmu
pasti oleh karena itu hakim tidak boleh menuntut pembuktian yang logis dan pasti
dari para pihak yang berperkara sebagaimana halnya pembuktian berdasarkan
ilmu pasti. apalagi menuntut pembuktian kebenaran yang absolut karena dianggap
penerapan yang keliru. Karena proses pembuktian menurut hukum dalam suatu
perkara, selalu terkandung ketidakpastian atau adanya keraguan.Bukti-bukti yang
harus disampaikan bukan berisi fakta yang logis, absolut dan pasti tetapi cukup
fakta yang mengandung kebenaran yang diterima akal sehat (common sense)
artinya, kebenaran fakta yang dikemukakan selaras dengan kebenaran menurut
kesadaran masyarakat.
4 Fakta-Fakta yang tidak perlu dibuktikan
Tidak semua fakta mesti dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada kejadian
atas peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuaidengan
yang didalilkan atau fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang
disangkal pihak lawan pada sisi lain. hal-hal yang tidak perlu dibuktikan dalam
pemeriksaan perkara perdata :
a. Hukum positif tidak perlu dibuktikan
b. Fakta yang diketahui umum tidak dibuktikan
c. Fakta yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan
5 Bukti Lawan (Tegenbewijs)
Salah satu prinsip umum pembuktian, memberi hak kepada pihak lawan
mengajukan bukti lawan. dalam teori dan praktik, bukti lawan selalu dikaitkan
dengan pihak tergugat. Oleh karena itu bukti lawan selalu diartikan bahwa Bukti
yang diajukan tergugat untuk kepentingan pembelaanya terhadap dalil dan fakta
yang diajukan penggugat berarti merupakan bukti penyangkalan atau bukti
balasan terhadap pembuktian yang diajukan penggugat. Jadi pengajuan bukti
lawan merupakan upaya yang dilakukan salah satu pihak untuk membantah dan
melumpuhkan pembuktian pihak lawan dan upaya itu, merupakan hak yang
diberikan undang-undang kepada pihak tergugat, sebagaimana yang disebut
dalam pasal 1918 KUH Perdata, dengan syarat asal hal itu diajukan dalam
persidangan pengadilan.
6 Persetujuan Pembuktian
Para pihak dapat membuat kesepakatan tentang alat bukti maupun kekuatan
pembuktian yang dapat diajukan dalam penyelesaian sengketa yang timbul dari
perjanjian. Dalam teori penulisan dikenal istilah“ bewiis overeenkoms ”yakni
perjanjian untuk mengatur pembuktian, para pihak dapat menyepakati fotokopi,
email, atau data elektronik (electronik data) sebagai alat bukti. Bahkan
dibenarkan menyepakati perubahan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada
3 Jenis-Jenis Alat Bukti
Sehubungan dengan hukum pembuktian, maka untuk keperluansuatu
pembuktian, diperlukan alat bukti. Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara
perdata pasal 164 HIR dan Menurut ketentuan Pasal 1866 KUH Perdata menyatakan
bahwa alat bukti meliputi :
1. Bukti tulisan
2. Bukti dengan saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
Ditinjau dari sifatnya alat bukti yang disebut dalam pasal 1866 KUH Perdata dan
pasal 164 HIR dapat diklasifikasikan atas 2 macam alat bukti langsung dan alat bukti
tidak langsung :
1. Alat bukti langsung (direct evindence)
Disebut alat bukti langsung, karena diajukan secara fisik oleh pihak yang
berkepentingan di depan persidangan. Alat buktinya diajukan dan ditampilkan dalam
proses pemeriksaan secara fisik. yang tergolong alat bukti langsung adalah:
a. Alat bukti tertulis
Alat bukti tulisan ditempatkan dalam urutan pertama hal ini sesuai dengan
penting. Tulisan merupakan sesuatu yang memuat tanda yang dapatdibaca dan
yang menyatakan suatu buah pikiran.Tulisan dapat berupaakta dan tulisan yang
bukan akta.Akta adalah tulisan yang khususdibuat untuk dijadikan bukti atas hal
yang disebut didalamnya,sedangkan tulisan yang bukan akta adalah tulisan yang
tidak bersifatdemikian.
Surat adalah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan untukmenyampaikan buah
pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai alatbukti. dari pengertian
surattersebut, maka diartikan bahwasegala sesuatu yang tidak memuat
tanda-tanda bacaan, ataumengandung tanda-tanda bacaan tetapi tidak mengandung buah
pikiran,bukanlah termasuk dalam pengertian alat bukti surat. Surat sebagai alat
bukti yang utama dalam hukum acara perdatadapat digolongkan dalam dua
golongan yaitu :
1. Akta Otentik
Dalam Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan bahwa :
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.
Kemudian dalam Pasal 285 Rbg/ 165 HIR menyebutkan bahwa :
Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan
seorangpegawai umum, yang dimaksud disiniadalah Hakim, Notaris, Panitera,
Jurusita, Pegawai Catatan Sipil,Camat. Suatu akta yang dibuat oleh pejabat
yang tidakberwenang dan tanpa adanya kemampuan untuk membuatnya
atautidak memenuhi syarat-syarat tertentu, tidak dianggap sebagai aktaotentik
tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. suatu aktaotentik
pada dasarnya mengandung 3 (tiga) macam kekuatanpembuktian, yaitu :
a. Kekuatan pembuktian formil, yang berarti membuktikan antara parapihak bahwa mereka telah menerangkan apa yang ditulis dalam aktatersebut. b. Kekuatan pembuktian materiil, yang berarti membuktikan antarapara
pihak, bahwa benar peristiwa yang tersebut dalam aktatersebut telah terjadi.
c. Kekuatan pembuktian keluar, yang berarti disamping sebagai pembuktian antara mereka juga terdapat pihak ketiga di mana padatanggal, bulan, dan tahun yang tersebut dalam tersebut telahmenghadap kepada pegawai menerangkan apa yang terdapat dalamakta tersebut.
2. Akta Dibawah Tangan.
Dalam Pasal 1874 KUHPerdata menyebutkan bahwa :
“Akta dibawah tangan adalah Tulisan yang dibuat atau di tandatangani dibawah tangan dan tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang, yang dibuat oleh paling sedikitnya dua pihak. ”
Kemudian dalam Pasal 286 RBg menyebutkan bahwa :
“Menyatakan bahwa yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa memakai bantuan seorang pejabat umum.”
Akta di bawah tangan pada dasarnya adalah suatu akta yang dibuat oleh para
pejabat yang berwenang. Jadi dalam suatu akta di bawah tangan, akta tersebut
cukup dibuat oleh para pihak itu sendiri dan kemudian ditandatangani oleh
para pihak tersebut. Tidak ikut serta pejabat yang berwenang inilah yang
merupakan perbedaan pokok antara akta dibawah tangan dengan akta otentik.
b. Alat bukti Saksi
Alat bukti yang berupa kesaksian diatur melalui Pasal 139 hinggaPasal 152 dan
Pasal 168 hingga Pasal 172 HIR serta Pasal 1895 danPasal 1902 hingga Pasal
1912 KUH Perdata. dalam hukum adat dikenal 2 macam saksi, yaitu :
a. Saksi-saksi yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwa yang
terjadi
b. saksi yang ada pada waktu perbuatan hukum itu dilakukan, sengaja telah
diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum tersebut.
Apabila keterangan yang diperoleh saksi berasal dari orang lain,tidak
mendengarkanya atau mengalaminya sendiri, hanya ia dengar dari orang lain
tentang kejadian tersebut atau adanya hal-hal tersebut (Testimonium de auditu)
dapat dipergunakan sebagai sumber persangkaan yaitu dapat digunakan untuk
menyusun atau melengkapi keterangan saksi-saksi yang bisa dipercaya.
Keterangan dari seorang saksi saja, tanpa ada alat bukti laintidak dianggap
pembuktian yang cukup untuk membuktikan atau dianggap terbuktinya sesuatu
testis). dalam suatu kesaksian dari masing-masingsaksi terlepas satu dari yang
lain dan masing-masing berdiri sendiri-sendiri, namun karena bertepatan dan
perhubungannya satusama lain menguatkan suatu peristiwa tertentu, maka
kekuatanpembuktian dari masing-masing kesaksian itu adalah terserah
padapertimbangan hakim.tiap-tiapkesaksian itu harus disertai dengan
alasan-alasan bagaimanadiketahuinya hal-hal yang diterangkan sebagai suatu kesaksian.
dalamhal mempertimbangkan nilai suatu kesaksian, hakim harus
memberikanperhatian khusus pada persamaan isi kesaksian satu dengan yang lain.
Pemeriksaan seorang saksi dimulai dengan pemeriksaanidentitas serta
hubungan antara saksi dengan penggugat atau tergugat(Pasal 144 ayat (2) H.I.R),
setelah itu saksi lalu diwajibkan untukbersumpah atau berjanji sesuai dengan
agama atau kepercayaannya. ada berapa ketentuan yang mengatur orang yang
tidak dapatdidengar sebagai saksi dan dapat menolak serta diminta
untukdibebaskan memberi kesaksian.Orang-orang yang tidak dapat didengar
keterangannya sebagaiberikut :
a. Keluarga sedarah dan semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak
b. istri atau suami salah satu pihak meskipun telah bercerai.
c. anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan pasti apakah mereka telahgenap berusia 15 tahun.
d. Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya terang.
Maksudnya pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik, tetapi yang diperoleh
sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi di persidangan.Yang termasuk
dalam kelompok ini adalah alat bukti persangkaan, pengakuan dan sumpah.
a. Alat bukti Persangkaan
Dewasa ini yang berlaku diIndonesia terhadap persangkaan sebagai alat bukti
diatur dalam Pasal173 H.I.R. serta Pasal 1915-1922 KUHPerdata. dalam H.I.R
tidakditemukan pengertian dari pada persangkaan. Namun berdasarkanketentuan
Pasal 1915KUHPerdata, pengertian persangkaandimaksudkan
kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atauhakim ditariknya dari suatu peristiwa
yang terkenal ke arah suatuperistiwa yang tidak terkenal. kekuatan
pembuktiannya dari persangkaan adalah bebas berarti satu persangkaan saja, tidak
mencukupi batas minimal pembuktian harus memiliki dua persangkaan atau
paling tidak satu persangkaan ditambah dengan satu alat bukti lain. dalam hukum
positif (ius canstitutum) ada 2 macam persangkaan yaitu :
a. Persangkaan menurut Undang-undang
Menurut ketentuan Pasal1916 KUHPerdata,Menurut undang-undang adalah persangkaan yangberdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkanperbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.
b. Persangkaan Menurut Hakim
pembukuan perusahaan, ia ini tidakmemenuhi perintah tersebut, dapat menimbulkan persangkaanhakim, bahwa pembukuan itu tidak beres dan bahwa yangbersangkutan belum memberi pertanggung jawaban. Jugajawaban yang mengelak, jawaban yang tidak tegas, plinplan,memberi persangkaan, bahwa dalil pihak lawan adalahbenar. Setidak-tidaknya dapat dianggap sebagai suatu halyang negatif bagi pihak tersebut”.
b. Alat bukti Pengakuan
Pengakuan sebagai alai bukti selain diatur dalam Pasal 164 HIRjugadijabarkan di
dalam Pasal 174 HIR dan Pasal 176 HIR, sedangkandalam KUH Perdata, selain
diatur pada Pasal 1866 juga dijabarkanpada Pasal 1923 hingga Pasal 1928. pada
dasarnya pengakuan adalah suatu pernyataan tertulismaupun lisan dari salah satu
pihak yang berperkara yang berisikan kebenaran atas dalil-dalil lawan baik
sebagian maupun seluruhnya. atau suatu pernyataan dari salahsatu pihak tentang
kebenaran suatu peristiwa, keadaan atau hal tertentuyang dapat dilakukan di
depan sidang atau di luar sidang. pengakuan ini merupakan bukti cukup,
maksudnya pengakuanmerupakan alat bukti dengan kekuatan pembuktian
menentukan (Pasal1925 KUH Perdata), bukti demikian ini mengikat hakim dan
hakim wajibmenerima pengakuan itu sebagai hal yang benar.
Ada 2 macam pengakuan yang dikenal dalam hukum acara perdata :
a. Pengakuan di depan persidangan
b. Pengakuan di luar pengadilan
Pengakuan di luar Pengadilan diatur dalam Pasal 175 H.I.R,Pasal 312 R.B.g serta Pasal 1927 - 1928 KUHPerdata. Menurutketentuan Pasal 175 H.I.R, pengakuan lisan di luar pengadilan tidakmempunyai kekuatan pembuktian seperti pengakuran di dalampengadilan. Undang-undang hanya mengenal pengakuan di luarsidang dengan lisan. Namun demikian, Undang-undang juga tidakmelarang dengan tegas pengakuan di luar sidang dengan. tertulis,sehingga dengan demikian dimungkinkan adanya pengakuan diluarsidang dengan tertulis.
Jika ketentuan pasal 1924 dihubungkan dengan pasal 1952 KUHPerdata, hukum
memperkenalkan klasifikasi pengakuan sebagai berikut :
a. Pengakuan murni adalah pengakuan yang berwujud pembenaran yang bersifat totalitas atas semua dalil (posita) dan tuntutan (petitum) atau seluruh dalil serta petitum gugatan diakui. Misalnya A membuatgugatan kepada (B), di depan persidangan ternyata B mengakuiseluruh gugatan A.
b. Pengakuan dengan berkualifikasi atau dikualifikasikan adalah pengakuan atas dalil gugatan yang diikuti dengan syarat.Misalnya Bmendalilkan bahwa telah membeli barang A seharga Rp.30 juta,dan B telah mendalilkan bahwa ia telah membayar kepada si Asebesar Rp.15 juta.
c. Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan yang diikuti pernyataan atau keterangan membebaskan dari tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Misalnya Bmengakui bahwa ia telah membeli barang A dengan harga Rp.30 juga, tetapi B juga menyatakan bahwa ia telah membayarlunas barang si A tersebut.
c. Alat Bukti Sumpah
Sumpah atau janji merupakan pernyataan yang diucapkandengan resmi dan
dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatuyang dianggap suci, bahwa
adalah suatu pernyataan daripihak-pihak untuk mengemukakan sesuatu dengan
sebenar-benarnya.alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 155, 158,177 H.I.R serta
pasal 1929 - 1945 KUHPerdata.
Alat bukti sumpah dibagi menjadi 3 (tiga) jenis :
1. Sumpah Pemutus (Decisoir)
Sumpah pemutus pada hakikatnya dilakukan apabila suatuperkara perdata tidak ada alat bukti lain sama sekali untukmeneguhkan tuntutannya, sehingga salah satu pihak dapatmeminta kepada lawannya untuk bersumpah di muka
pengadilanagar dengan sumpah itu perkara dapat diputuskan.Permintaan sumpah pemutus agar dapatdikabulkan olehmajelis hakim harus bersifat Litis Decisoir(bersifatmemutusperkara).Apabila sumpah itu bersifatLitis Decisoir, makapengabulan itu dilakukan melalui putusan sela. Dan apabila sumpahitu
tidak bersifatLitis Decisoirmaka permintaan sumpah pemutus ituakan ditolak oleh pengadilan.
2. Sumpah Pelengkap (Acessoir)
Sumpah pelengkap ini dilakukan apabila dalam hal ini telahada bukti tetapi
masih belum cukup untuk menyempurnakanpembuktian tersebut. Dalam hal ini, hakim akan membenarkan salahsatu pihak untuk mengangkat sumpah agar perkara dapat diputus.
3. Sumpah Penaksir
BAB IV PEMBAHASAN
A. Kekuatan Hukum dari Suatu Kwitansi sebagai Alat Bukti dalam Perjanjian Utang-Piutang.
I. Kasus Posisi
Dalam Penulisan ini, Penulis mengaitkan permasalahan dalam penelitian tentang
kekuatan hukum dari suatu kwitansi sebagai alat bukti dalam perjanjian utang-piutang
dikaitkan dengan suatu contoh kasus dimana kasus posisinya adalah sebagai berikut :
LITHA DARISE, bertempat tinggal di kelurahan Pamona, kecamatan Pamona utara Kabupaten Poso dalam hal inimemberikan kuasa kepada Yan Patris Binela, SH, Advokatberkantor di Jalan Torulemba Nomor 17 Kelurahan PamonaKecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso berdasarkan suratkuasa khusus tanggal 12 Desember 2008;
Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding;
Melawan:
WINI MEWALO, SP bertempat tinggal di kelurahan Sangele, kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso;
Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding;
Penggugat :
BahwaPenggugat mempunyai seorang teman bernama LITHA DARISE(Tergugat).dalam hubungan pertemanan antara Penggugat dan Tergugatterjalin dengan baik dimana Penggugat telah beberapa kali membantu Tergugatmemberikan pinjaman uang sebagai modal kerja dan selama itu pula hubungantetap terjaga dengan baik;
waktu yaitu pada tanggal 4 Juli 2008 Tergugat telahmenerima pinjaman uang tunai dari Penggugat sebesar Rp.20.000.000,- (duapuluh juta rupiah) dan akan dikembalikan pada tanggal 4 Agustus 2008 sesuaikwitansi tertanggal 4 Juli 2008, kemudian pada tanggal 28 Juli 2008 Tergugattelah meminta lagi tambahan pinjaman uang tunai sebesar Rp.20.000.000,-(dua puluh juta rupiah) dan tambahan pinjaman tersebut diterima oleh Tergugatpada tanggal 28 Juli 2008 sesuai kwitansi tertanggal 28 Juli 2008 dan akandikembalikan pada tanggal 28 Agustus 2008;
Bahwa kemudian pada tanggal 1 Agustus 2008 Tergugat datang lagipada Penggugat untuk meminjamkan uang sebesar Rp.40.000.000,- untuktambahan modal kerja proyek yang digarap oleh Tergugat;
Bahwa mengingat hubungan Penggugat dan Tergugat cukup baik danuntuk menolong sesama teman sehingga Penggugat dengan bersusah payahmencari uang sebesar Rp.40.000.000,- untuk diberikan pada Tergugat sebagaipinjaman tanpa jaminan apa-apa karena saling percaya, lalu dibuatkan kwitansipinjaman sementara senilai Rp.40.000.000,- dan uang pinjaman itu akandikembalikan pada tanggal 01 Oktober 2008;
Bahwa kemudian sehari sebelum waktu jatuh tempo pinjaman tersebutlalu Tergugat datang lagi pada Penggugat untuk meminta tambahan pinjamanuang sebesar Rp.20.000.000,- dengan alasan pekerjaan proyek belum selesaidan apabila tak dapat tambahan pinjaman maka pengembalian uang pinjamantersebut akan terhambat;
Bahwa mengingat hubungan Penggugat dan Tergugat begitu baik danapabila Tergugat tidak mendapat bantuan dana Rp.20.000.000,- maka akanmenghambat pengembalian uang pinjaman yang sudah diterima oleh Tergugattersebut, maka dengan bersusah payah Penggugat berusaha mencari uangpada orang tua Penggugat di Desa Pandayora, dan pada tanggal 01 September2008 Penggugat dan Tergugat pergi ke Desa Pandayora ke rumah orang tuaPenggugat untuk mendapatkan uang Rp.20.000.000,- dan uang tersebutditerima oleh Tergugat dengan perjanjian bahwa semua pinjaman Tergugat padaPenggugat sebesar Rp.20.000.000,- + Rp. 20.000.000,- + Rp.40.000.000,- + Rp.20.000.000,- = Rp.100.000.000,- akan dikembalikan padatanggal 01 Oktober 2008 dan Tergugat akan memberikan pembagian bagi hasildari keuntungan pekerjaan proyek yang digarap oleh Tergugat;
Bahwa setelah waktu yang diperjanjikan untuk pengembalian uangpinjaman tersebut yaitu pada tanggal 01 Oktober 2008 telah jatuh tempoternyata Tergugat tidak mengembalikan uang pinjaman (hutang) tersebutkepada Penggugat;
perbuatan Tergugat tersebut pihak Penggugat telah menderita kerugiansebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah);
BahwaPenggugat dengan maksud baik untuk menolong Tergugatsehinggatelah memberikan bantuan pinjaman uang kepada Tergugat dengantanpa jaminan apa-apa dan tanpa mengenakan bunga atas pinjaman uangtersebut, tapi ternyata Tergugat ingkar janji;
Bahwa Penggugat telah berusaha beberapa kali menemui Tergugat untukmeminta pengembalian uang pinjaman (hutang) Rp.100.000.000,- tersebutakan tetapiTergugat tidak menghiraukannya dan bahkan ada etikat buruk dariTergugat untuk tidak mau membayar hutangnya tersebut;
Bahwa akibat perbuatan Tergugat yang ingkar janji (wanprestasi) tersebutmaka Penggugat telah menderita kerugian sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) tunai;
Bahwa walaupun antara Penggugat dengan Tergugat tidak membuatperjanjian jasa bunga pinjaman uang tersebut, akan tetapi karena pihakTergugat telah ingkar janji dan mempunyai etikat buruk dengan tidakmengembalikan uang pinjaman tersebut, maka dalam gugatan ini Penggugatakan memperhitungkan jasa bunga pinjaman uang tersebut sesuai jasa bungapinjaman Bank sebesar 2,5% perbulan, dengan perhitungan sebagai berikut :2,5% x Rp.100.000.000,- = Rp. 2.500.000,- x 5 bulan = Rp. 12.500.000,-yang harus dipenuhi oleh Tergugat sebagai tambahan kerugian yang dideritaoleh Penggugat;
Bahwa karena pinjaman uang (hutang) Tergugat pada Penggugat tidakada jaminan, dan untuk menjamin agar Tergugat segera mengembalikan uangpinjaman (hutang) tersebut pada Penggugat, maka untuk itu Penggugatmemohon agar Pengadilan Negeri Poso segera meletakan sita jaminan(Conservatoir Beslag) atas 1 (satu) buah mobil Tergugat merk Excudo warnahitam No. Polisi : DN. 999 EA;
Bahwa karena perkara ini telah jelas dan terang dimana Tergugat telahmelakukan ingkar janji (wanprestasi) maka Tergugat harus dihukum membayaruang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 100.000,- perhari kepada Penggugatapabila Tergugat lalai menjalankan putusan ini;
Pertimbangan hakim yang menjadi keputusan dalam tiap tingkatnya, menjadi
sumber penelitian oleh penulis guna penyelesaian tulisan ini, Pertimbangan hakim
ditiap tingkatnya pasti berbeda, hal ini yang akan diuraikan oleh penulis dalam bab
ini,antara lain Pertimbangan hakim di Pengadilan Negeri Poso, Pengadilan Tinggi
Sulawesi Tengah Palu, serta Keputusan Mahkamah Agung (M.A.) di tingkat Kasasi.
dalam Pertimbangan hakim di tingkat Pengadilan Negeri Poso, pertimbangan hakim
Pengadilan Negeri Poso, dalam putusan No.45/Pdt.G/2008/ Pengadilan Negri Poso
tanggal 7 april 2009.
Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat/Pembanding putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan olehPengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu dengan putusan No. 33/PDT/2009/ PT.PALU tanggal 18 Agustus 2009, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepadaTergugat/Pembanding pada tanggal 01 Oktober 2009 kemudian terhadapnyaoleh Tergugat/Pembanding (dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan suratkuasa khusus tanggal 12 Desember 2008) diajukan permohonan kasasi secaratertulis pada tanggal 13 Oktober 2009 sebagaimana ternyata dari aktapermohonan kasasi No. 45/Pdt.G/2008/PN.Pso yang dibuat oleh PaniteraPengadilan Negeri Poso, permohonan tersebut diikuti oleh memori kasasi yangmemuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeritersebut pada tanggal 26 Oktober 2009;
Bahwa setelah itu oleh Penggugat / Terbanding yang pada tanggal 27Oktober 2009 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Tergugat/Pembandingdiajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan PengadilanNegeri Poso pada tanggal 03 November 2009;
Dalam Pertimbangan hakim di tingkat Kasasi di Mahkamah Agung pertimbangan hakim Menimbang,bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannyatelah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalamtenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, makaoleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima;
KEBERATAN PERTAMA :
Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti Pengadilan NegeriPoso pada halaman 27 menimbang pertama yang kami kutib "menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian sebagaimana diatas, MajelisHakim berpendapat bahwa dalil jawaban yang telah dikemukakan oleh Tergugatmerupakan dalil jawaban yang tidak ada relevansinyaterhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat...dst". dan pertimbanganmana diambil alih oleh Judex Facti Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah sertamenjadi pertimbangan hukumnya, untuknya kami mengajukan keberatan yakni, Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti tersebut telah mengabaikan hokumpembuktian, mengandung kekeliruan dan kekhilafan, sebab Judex Facti telahlalai dan tidak mempertimbangkan uraian jawaban Tergugat, Pembandingsekarang PEMOHON KASASI tersebut, padahal berdasarkan keterangan saksiWESLINA SAMBA, saksi ANANIUS AWUSI, SH saksi MAXELIN TAEWA dansaksi ERNI MOYAMBO yang menegaskan bahwa bisnis Penggugat/Terbanding sekarang TERMOHON KASASI adalah bisnis pinjam meminjamuang dengan bunga yang berfariasi 10-15% danbisnis pinjam meminjam uang ini telah lama Penggugat /Terbanding sekarangTERMOHON KASASI lakukan.
Bahwa dari rangkaian uraian Pembanding / Tergugat pada jawabangugatan a quo jika dirangkaikan dengan fakta persidangan yang sumbernya dariketerangan saksi WESLINA SAMBA, saksi ANANIUS AWUSI, SH saksiMAXELIN TAEWA dan saksi ERNI MOYAMBO yang menegaskan bahwa bisnisTerbanding/ Penggugat sekarang TERMOHON KASASI adalah bisnis pinjammeminjam uang dengan bunga yang berfariasi 10 - 15 %, maka sudahseharusnya Judex Facti menarik kesimpulan dan selanjutnya memasukkannyadalam pertimbangan hukum pada putusan aquo, menegaskan bahwa perkaraPINJAM MEMINJAM UANG diluar aturan undang -undang PERBANKANadalah TIDAK DIBENARKAN serta MELANGGAR Peraturan Perundang -undangan.Bahwa dengan nyatanya kekeliruan dan kekhilafan pertimbanganhukum Judex Facti dalam putusan a quo, maka putusan a quo patut untukdiperbaiki oleh Yang Mulia MAJELIS HAKIM AGUNG dengan menyatakanbahwa gugatan Terbanding / Penggugat sepatutnya untuk ditolak dan atausetidak - tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.
KEBERATAN KEDUA :