(Studi Putusan Nomor: 455/Pdt.G/2013/PA.Spg.)
SKRIPSI
Oleh:
SITI HILYATUL UMMAH NIM: C01212055
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Sya’riah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Program Studi Hukum Keluarga Islam
v ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian dokumentasi tentang penetapan dari Pengadilan Agama Sampang mengenai perceraian akibat suami tidak membagi nafkah yang rata antara orang tua dan mertua. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dari pertanyaan tentang bagaimana deskripsi perceraian akibat suami tidak membagi nafkah yang rata antara orang tua dan mertua dalam penetapan hakim Pengadilan Agama Sampang perkara putusan nomor: 455/Pdt.G/2013/PA.Spg. dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap perceraian akibat suami tidak membagi nafkah yang rata antara orang tua dan mertua perkara putusan nomor: 455/Pdt.G/2013/PA.Spg.
Berkaitan dengan permasalahan di atas, penulis dalam penelitian ini mengumpulkan data selama penelitian menggunakan teknik pengumpulan data melalui Dokumentasi dan studi kapustakaan dengan yang terkait. Dokumentasi yang berupa putusan Pengadilan Agama Sampang, selanjutnya dengan menggunakan metode deskriptif analisis verifikatif, dengan pola pikir deduktif dimana mengemukakan dalil-dalil dan teori yang bersifat umum tentang perceraian, nafkah, dan hal-hal yang mengenai tentang perceraian akibat suami tidak membagi nafkah yang rata antara orang tua dan mertua.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat dengan putusan secara verstek dan menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat terhadap Penggugat. Dasar hukum Majelis Hakim memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam memutuskan perkara ini, merujuk pada Pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 19 huruf “f” Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, dan Pasal 116 huruf “f” Kompilasi Hukum Islam. Dan dalam hukum Islam sendiri sudah dijelaskan dalam Surat An Nisa’ ayat 35. Karena yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini adalah seringnya terjadi perselisihan dan pertengkaran (syiqaq) diantara Penggugat dan Tergugat yang disebabkan karena Penggugat merasa tidak pernah diberi nafkah dan Tergugat tidak membagi nafkah yang rata antara orang tua dan mertuanya. Dan adanya pisah rumah sekitar kurang lebih 6 bulan lamanya. Sehingga istri (Penggugat) tidak kuat dengan sikap suami tersebut dan mengajukan gugatan cerainya kepada Pengadilan Agama Sampang.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TRANSLITERASI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 12
C. Rumusan Masalah ... 13
D. Kajian Pustaka ... 13
E. Tujuan Penelitian ... 16
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 16
G. Definisi Operasional ... 17
H. Metode Penelitian ... 18
I. Sistematika Pembahasan ... 20
BAB II NAFKAH DAN PERCERAIAN ... 22
A. Nafkah Dalam Perkawinan ... 22
1. Pengertian Nafkah ... 22
2. Dasar Hukum Nafkah ... 23
3. Bentuk-Bentuk Nafkah ... 25
B. Perceraian ... 28
1. Pengertian Perceraian ... 28
2. Alasan-Alasan Perceraian ... 30
3. Macam-Macam Perceraian ... 32
4. Sebab-Sebab Perceraian ... 33
C. Nafkah Kepada Orang Tua dan Mertua ... 40
1. Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua dan Mertua ... 41
2. Dasar Hukum Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua dan Mertua ... 41
3. Nafkah Terhadap Orang Tua dan Mertua ... 43
BAB III DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SAMPANG NOMOR: 455/Pdt.G/2013/PA. Spg. TENTANG PERCERAIAN AKIBAT SUAMI TIDAK MEMBAGI NAFKAH YAN RATA ANTARA ORANG TUA DAN MERTUA ... 46
A. Kedudukan dan Dasar Hukum Pengadilan Agama Sampang ... 46
1. Gambaran Umum Pengadilan Agama Sampang ... 46
2. Kompetensi Absolut ... 48
3. Kompetensi Relatif ... 49
4. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Sampang ... 50
B. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Sampang Nomor: 455/Pdt.G/2013/PA. Spg. . ... 53
1. Duduk Perkara ... 53
2. Pertimbangan Hukum Hakim ... 60
3. Amar Putusan ... 63
4. Pertimbangan Hakim ... 64
BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SAMPANG NOMOR: 455/Pdt.G/2013/PA. Spg. ... 66
A. Analisis Hukum Terhadap Deskrispi Putusan Nomor: 455/Pdt.G/2013/PA. Spg Mengenai Perceraian Akibat Suami Tidak Membagi Nafkah yang Rata Antara Orang Tua dan Mertua ... 66
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Deskripsi Putusan Nomor: 455/Pdt.G/2013/PA. Spg Mengenai Perceraian Akibat Suami Tidak Membagi Nafkah yang Rata Antara Orang Tua dan Mertua ... 69
BAB V PENUTUP ... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 76 LAMPIRAN ... 78
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERCERAIAN AKIBAT SUAMI
TIDAK MEMBAGI NAFKAH YANG RATA ANTARA ORANG TUA DAN
MERTUA
(Studi Putusan Nomor: 455/Pdt. G/2013/PA. Spg)
A. Latar Belakang Masalah
Islam sudah menerangkan bahwa sesungguhnya jodoh seseorang sudah
ditentukan sejak dia lahir di muka bumi ini. Yang selanjutnya pada saat dewasa pasti
dia akan menemukan seseorang yang dirasa cocok dengannya. Dimana nantinya akan
terjadi pertemuan antara dua anak manusia yang berlainan jenis. Hal tersebut
merupakan hal yang manusiawi, karena semua itu sudah menjadi kodratnya sebagai
manusia. Islam memberikan jalan untuk menyalurkan naluri manusia melalui sebuah
ikatan yang suci, yakni ikatan perkawinan. Dimana perkawinan tidak dapat langsung
dilakukan tanpa adanya rukun dan syarat-syarat yang sudah ditetapkan. Dan tanpa
adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak calon suami dan calon isteri.
Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia
di dunia. Dan juga merupakan suatu akad yang memperbolehkan bergaul antara
seorang laki-laki dan perempuan dan saling tolong menolong di antara keduanya
serta dapat menentukan batas hak dan kewajiban diantara keduanya.1 Dengan
mengetahui hak dan kewajiban suami isteri, diharapkan bagi pasangan suami isteri
dapat saling menyadari tentang pentingnya melaksanakan hak dan kewajiban. Karena
kelanggengan dalam suatu perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat
diharuskan dalam suatu keluarga, sehingga perkawinan itu bukan bersifat sementara
melainkan selamanya sampai maut yang memisahkan. Dengan demikian perkawinan
1 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 13.
1
harus terbentuk dalam keterpaduan antara ketentraman (saki>nah), penuh rasa cinta
(mawaddah), dan kasih sayang (warahmah).2
Hukum perkawinan akan menjadi wajib apabila perkawinan tersebut
dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah (berumah
tangga) serta memiliki nafsu biologis (nafsu syahwat) dan khawatir benar dirinya
akan melakukan perbuatan zina manakala tidak melakukan perkawinan.3 Disebutkan
pula dalam al-Qur’an surat Ar - Ruum ayat 21 tentang tujuan dari perkawinan, yang
berbunyi:
َْﲪَرَو ًةﱠدَﻮﱠﻣ ﻢُﻜَﻨْـﻴَـﺑ َﻞَﻌَﺟَو ﺎَﻬْـﻴَﻟِإ اﻮُﻨُﻜْﺴَﺘﱢﻟ ﺎًﺟاَوْزَأ ْﻢُﻜِﺴُﻔﻧَأ ْﻦﱢﻣ ﻢُﻜَﻟ َﻖَﻠَﺧ ْنَأ ِﻪِﺗﺎَﻳآ ْﻦِﻣَو
ٍمْﻮَﻘﱢﻟ ٍتﺎَﻳ َﻵ َﻚِﻟَذ ِﰲ ﱠنِإ ًﺔ
َنوُﺮﱠﻜَﻔَـﺘَـﻳ
.
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.4
Demikian pula dalam undang-undang perkawinan yang menyebutkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. 5 Oleh karena banyaknya perintah Allah untuk
melangsungkan perkawinan, maka perkawinan itu perbuatan yang disenangi oleh
Allah dan Nabi untuk dilakukan. Tetapi perintah Allah dan Rasul untuk
2 Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 17.
3 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2004), 91.
4 Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah: Mujamma’ Al Malik Fadh Li Thiba’ At Al
Mush-haf, 1418 H), 644.
5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
melangsungkan perkawinan itu tidaklah berlaku secara mutlak tanpa adanya
persyaratan dan rukun-rukun yang harus dipenuhi.6
Adapun rukun dan syarat yang merupakan unsur penting dalam perkawinan.
Mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan itu, sebagai orang muslim tentu saja
harus mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam melaksanakan
suatu perkawinan. Perkawinan juga merupakan suatu pokok yang utama untuk
mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan. Dimana untuk terwujudnya tujuan
tersebut sangat tergantung erat pada hubungan antara suami dan isteri.7
Ketika seorang laki-laki sudah mengikat hubungan dengan seorang
perempuan dengan suatu janji perkawinan, maka pada saat itu juga telah jatuh
tanggung jawab yang diemban oleh seorang suami sebagai kepala rumah tangga.
Ketika akad nikah telah diucapkan oleh seorang suami, pada saat itu juga wajib bagi
suami dan isteri untuk memenuhi hak dan kewajiban di dalam sebuah perkawinan.
Dimana dalam sebuah keluarga, suami wajib melindungi dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan isteri
wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya, karena suami adalah
kepala keluarga dan tugas isteri adalah sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga.8
Serta juga wajib membimbing, melindungi, dan memberikan pendidikan agama
kepada isterinya dan memberikan kesempatan juga untuk belajar pengetahuan yang
berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.9
Nafkah merupakan salah satu hal yang terpenting dalam kehidupan berumah
tangga. Dimana seorang suami mempunyai kewajiban memberikan nafkah terhadap
6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonseia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006),
44.
7 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Al-Gensido, 1994), 399.
8 Bambang Sugono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 1.
9 Kompilasi Hukum Islam, pasal 80 ayat 3
isterinya dalam segala kondisi baik saat isteri dalam keadaan masih kecil, miskin
atau kaya, sampai meskipun isterinya mempunyai cacat fisik. Karena jika nafkah
tidak diberikan oleh suami kepada isteri dan anaknya, maka suami bisa dikatakan
lalai dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai suami. Akan tetapi, Jika suami
sudah melaksanakan kewajibannya dengan memberikan nafkah kepada keluarganya,
maka dia telah menuntaskan masalah pertentangan dan perbedaan yang terjadi antara
suami isteri. Seperti yang dijelaskan pula dalam QS. Ath-Thalaaq ayat: 7 tentang
kewajiban suami menafkahi isteri, yang berbunyi:
ْﻔَـﻧ ُﻪﱠﻠﻟا ُﻒﱢﻠَﻜُﻳ َﻻ ُﻪﱠﻠﻟا ُﻩﺎَﺗآ ﺎﱠِﳑ ْﻖِﻔﻨُﻴْﻠَـﻓ ُﻪُﻗْزِر ِﻪْﻴَﻠَﻋ َرِﺪُﻗ ﻦَﻣَو ِﻪِﺘَﻌَﺳ ﻦﱢﻣ ٍﺔَﻌَﺳ وُذ ْﻖِﻔﻨُﻴِﻟ
ﱠﻻِإ ﺎًﺴ
ُﻪﱠﻠﻟا ُﻞَﻌْﺠَﻴَﺳ ﺎَﻫﺎَﺗآ ﺎَﻣ
اًﺮْﺴُﻳ ٍﺮْﺴُﻋ َﺪْﻌَـﺑ
.
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.10
Mengenai menafkahi orang tua dan mertua. Dijelaskan pula dalam QS.
Al-Israa’ ayat 23, yang berbunyi:
ﻰَﻀَﻗَو
ﺎًﻧﺎَﺴْﺣِإ ِﻦْﻳَﺪِﻟاَﻮْﻟﺎِﺑَو ُﻩﺎﱠﻳِإ ﱠﻻِإ ْاوُﺪُﺒْﻌَـﺗ ﱠﻻَأ َﻚﱡﺑَر
.
Artinya : “Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu dan bapakmu dengan sebaik-baiknya”.11
Dan juga dijelaskan pula dalam QS. An-Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi:
ﺎًﻧﺎَﺴْﺣِإ ِﻦْﻳَﺪِﻟاَﻮْﻟﺎِﺑَو ﺎًﺌْﻴَﺷ ِﻪِﺑ ْاﻮُﻛِﺮْﺸُﺗ َﻻَو َﻪّﻠﻟا ْاوُﺪُﺒْﻋاَو
.
10 Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, 946.
11Ibid., 427.
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu dan bapakmu”.12
Kedua ayat tersebut adalah sebuah perintah dari Allah agar tidak
menyekutukan-Nya dan perintah ini langsung diikuti perintah berbuat baik terhadap
kedua orang tua. Dan dari bentuk berbuat baik tersebut adalah memberikan nafkah
kepada keduanya dengan melihat kondisi dari suami tersebut.
Walaupun pada dasarnya dalam melaksanakan perkawinan itu telah terdapat
kesepakatan/komitmen diantara suami isteri untuk selama-lamanya. Namun, tidak
sedikit pasangan suami isteri yang akhirnya harus memilih berpisah alias bercerai.
Dimana faktor ketidakcocokan dalam sejumlah hal, berbeda persepsi serta pandangan
hidup, paling tidak menjadi beberapa penyebab terjadinya perceraian.13
Oleh sebab itu, Islam tidak mengikat mati perkawinan tetapi tidak pula
mempermudah perceraian. 14 Maksudnya adalah Islam membenarkan dan
mengizinkan perceraian, akan tetapi apabila rumah tangga tersebut sudah tidak dapat
dipertahankan, dan bila mempertahankannya akan berakibat menimbulkan
penderitaan berkepanjangan bagi kedua belah pihak dan akan melampaui
ketentuan-ketentuan Allah, maka ikatan itu harus dikorbankan.15
Tetapi, hal ini sesungguhnya sangat dibenci oleh Allah, sebagaimana dalam
hadist nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, yang berbunyi:
ِﻦْﺑِا ِﻦَﻋ
َﺮَﻤُﻋ
ﺎَﻤُﻬْـﻨَﻋ ُﻪﱠﻠﻟَا َﻲِﺿَر
َلﺎَﻗ
:
ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ِﻪﱠﻠﻟَا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻗ
)
َﻼَْﳊَا ُﺾَﻐْـﺑَأ
ﻪﱠﻠﻟَا َﺪْﻨِﻋ ِل
ُق َﻼﱠﻄﻟَا
(
َدُواَد ﻮُﺑَأ ُﻩاَوَر
,
ْﻪَﺟﺎَﻣ ُﻦْﺑاَو
,
ُﻢِﻛﺎَْﳊَا ُﻪَﺤﱠﺤَﺻَو
,
ُﻪَﻟﺎَﺳْرِإ ٍِﰎﺎَﺣ ﻮُﺑَأ َﺢﱠﺟَرَو
.
Artinya: Ibnu Umar RA menceritakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “sesuatu yang halal, tetapi dibenci Allah ialah Talak”.16
12Ibid., 123.
13 Muhammad Syarifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2014), 6.
14 Djamiel Latief, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), 29.
15 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam…, 15.
16 Kahar Mansyur, Bulughul Maram 2, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 90.
Undang-undang perkawinan membedakan antara perceraian atas kehendak
suami dan dengan perceraian atas kehendak isteri. Perceraian atas kehendak suami
disebut cerai talak dan perceraian atas kehendak isteri disebut dengan cerai gugat.17
Perceraian dalam Islam memang diperbolehkan akan tetapi harus dengan
alasan-alasan sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik talak;
h. Peralihan agama atau murtad yan`g menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.18
17 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1988), 202.
18 Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116
Dalam masyarakat, terdapat kasus isteri yang mengajukan gugatan perceraian
karena suami dianggap tidak dapat membagi nafkah yang rata kepada orang tua dan
mertuanya. Dengan Penggugat (Isteri) yang berumur 27 tahun, agama Islam,
pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Kabupaten Sampang, dan Tergugat
(Suami), agama Islam, berumur 28 tahun, pekerjaan tukang service mesin cuci,
bertempat tinggal di Propinsi Kalimantan Timur. Dimana pasangan suami isteri ini
telah menikah sejak 21 Agustus 2007, yang telah dikaruniai 1 orang anak yang sudah
berumur 4 tahun. Pasangan suami isteri ini sempat tinggal dirumah orang tua isteri
(Penggugat) selama kurang lebih 1 tahun saat setelah melangsungkan perkawinan.
Kemudian mereka memutuskan untuk pindah ke Kalimantan di daerah Kutai
Timur selama kurang lebih 4 tahun 8 bulan di sebuah rumah kontrakan. Semula
kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat ini harmonis, rukun, dan bahagia.
Namun sejak bulan April 2013 keadaan rumah tangga pasangan ini mulai goyah dan
sering terjadi pertengkaran diantara keduanya. Dikarenakan suami (Tergugat) tidak
membagi uang nafkah yang rata antara orang tua si isteri (Penggugat) dan mertua si
isteri (orang tua suami/Tergugat). Dan juga suami (Tergugat) memaksa isteri untuk
mengambil gajinya yang sudah terlambat 10 hari saat isterinya bekerja sebagai
karyawan di 2 tempat yakni di rumah makan sate dan pabrik tempe pada saat mereka
berada di Kutai.
Karena permasalahan tersebut, pasangan ini bertengkar dan suami
berkata-kata kasar kepada isteri. Dan suami sering pulang dalam keadaan mabuk ketika
mereka habis bertengkar. Akibat dari pertengkaran tersebut, antara suami dan isteri
ini telah pisah tempat tinggal selama kurang labih 3 bulan sampai isteri (Penggugat)
mengajukan gugatan di Pengadilan Agama Sampang. Selama berpisah selama 3
bulan tersebut antara Penggugat dan Tergugat ini sudah tidak melakukan hubungan
layaknya suami isteri lagi. Sehingga dengan melihat keadaan rumah tangga yang
seperti ini , penggugat sudah tidak sanggp lagi untuk berkumpul serumah dengan
tergugat dengan jalan terbaiknya yaitu bercerai.
Pada hari sidang yang sudah ditetapkan, Penggugat (Isteri) hadir sendiri,
sedangkan Tergugat (Suami) tidak hadir dan juga tidak mengutus wakil/kuasanya
yang sah. Sehingga dengan ketidakhadiran tergugat tersebut mejelis hakim
menyatakan proses mediasi tidak dapat dilaksanakan. Penggugat mengajukan dua
orang saksi. Saksi pertama adalah sebagai ayah kandung Penggugat. Saksi kedua
adalah sebagai ibu kandung Penggugat. Kedua saksi tersebut sama-sama
menerangkan bahwa setelah menikah penggugat dan tergugat bertempat tinggal di
kediaman oraang tua Penggugat kemudian pindah merantau ke Kalimantan. Namun
sejak 6 bulan sebelumnya penggugat pulang kerumah saksi sendiri dan sejak saat itu
Penggugat dan Tergugat pisah tempat tinggal tidak ada komunikasi dan tidak saling
mempedulikan lagi. Perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat
disebabkan karena masalah Tergugat tidak pernah memberi nafkah kepada
Penggugat dan tergugat tidak dapat membagi rata nafkah antara orang tua dan
mertua Penggugat. Saksi sudah berusaha merukunkan tetapi tidak berhasil.
Dikarenakan Tergugat tidak hadir dalam persidangan maka Hakim berpendapat
bahwa Tergugat telah membenarkan pernyataan Penggugat.
Dalam hal ini, mertua memang harus tetap dihormati sebagaimana
menghormati orang tua sendiri. Walaupun kedudukan dari mertua adalah dibawah
orang tua sendiri. Namun, tetap tidak boleh meremehkan dengan menyatakan tidak
ada kewajiban taat kepada mertua. Seperti dalam putusan nomor:
455/Pdt.G/2013/PA Spg yang berada di kota Sampang, Madura.
Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa seorang isteri mengajukan
peceraian kepada suaminya di Pengadilan Agama Sampang. Dikarenakan suaminya
dianggap tidak dapat membagi uang nafkah yang rata antara orang tua dan
mertuanya. Dan juga isteri merasa bahwa dirinya tidak pernah diberi nafkah oleh
suaminya tersebut. Sehingga dengan adanya permasalahan tersebut, suami sering
berkata-kata kasar dan suami juga sering sekali pulang dengan kondisi mabuk.
Sehingga isteri mengajukan gugatan ke suami untuk menjatuhkan talak satu ba’in
sughra kepada dirinya.
Dalam perkara nomor: 455/Pdt.G/2013/PA Spg tersebut, ada beberapa hal
yang menarik untuk diteliti oleh penulis mengenai pembagian nafkah yang tidak rata
antara orang tua dan mertua. Maka dengan alasan-alasan tersebut menjadi pokok
permasalahan. Oleh karena itu untuk mempermudah dan memahami masalah
tersebut, dirumuskan pula judul guna menggambarkan pokok permasalahan yang
akan dibahas nantinya, yaitu “Analisis Hukum Islam Terhadap Perceraian Akibat
Suami Tidak Membagi Nafkah Yang Rata Antara Orang Tua Dan Mertua (Studi
Putusan Nomor: 455/Pdt.G/2013/PA. Spg)”
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa masalah dalam
penelitian ini. Kemudian masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
1. Pembagian nafkah antara Orang tua dan mertua yang tidak merata.
2. Isteri merasa tidak pernah dinafkahi oleh suami.
3. Sering terjadi pertengkaran yang berujung pada kekerasan.
4. Suami sering mabukan-mabukan.
5. Suami sering berkata-kata kasar pada isteri.
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalah
sebagai berikut:
1. Deskripsi putusan Pengadilan Agama Sampang nomor: 455/Pdt.G/2013/PA. Spg
tentang pembagian nafkah yang tidak rata antara orang tua dan mertua.
2. Analisis hukum Islam terhadap pembagian nafkah yang tidak rata antara orang
tua dan mertua.
C. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang
akan dibahas dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana dasar hukum pertimbangan hakim terhadap perceraian akibat suami
tidak membagi nafkah yang rata antara orang tua dan mertua (Studi putusan
nomor: 455/Pdt.G/2013/PA Spg.) ?
2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap perceraian akibat suami tidak
membagi nafkah yang rata antara orang tua dan mertua (Studi putusan nomor:
455/Pdt.G/2013/PA Spg.) ?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan
gambaran hubungan topik yang akan diteliti oleh penyusun dengan penelitian sejenis
yang mungkin pernah dilakukan oleh peneliti lain yang sebelumnya, sehingga
diharapkan tidak ada pengulangan judul bahkan materi penelitian secara mutlak.
Dari berbagai karya-karya ilmiah atau skripsi mengenai pembagian nafkah
kepada orang tua dan mertua, terdapat beberapa karya yang sudah penyusun
temukan, antara lain:
1. Skripsi Ayu Sandra Pratama, yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Putusan
Hakim Atas Penambahan Nafkah Anak Setiap Pergantian Tahun (Studi kasus
putusan nomor: 5667/Pdt.G/2013/PA. Kab. Malang)”, penulis menjelaskan
tentang penambahan nafkah anak setiap tahun berdasarkan asas kemaslahatan
dengan menyesuaikan kemampuan dari bapaknya.19
2. Skripsi Anis Rosida, yang berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Penolakan
Hakim Atas Gugatan Nafkah Madiyah Dalam Putusan Nomor:
1606/Pdt.G/2013/PA Bangil”, penulis menjelaskan tentang penolakan hakim atas
gugatan nafkah madiyah dikarenakan isteri dinyatakan telah nusyuz dengan
adanya ketidaktaatan isteri sebelum resmi menjadi isteri saat terjadi proses
pemenuhan persyaratan perkawinan.20
3. Skripsi Luma’ Sa’di Ghufron, yang berjudul “Analisis Yuridis Tentang Putusan
Hakim Nomor: 2781/Pdt.G/2012/PA.Tbn Tentang Penolakan Permohonan
Nafkah Anak Oleh Isteri Yang Dicerai Talak”, penulis menjelaskan tentang
penolakan majelis hakim mengenai angka nominal nafkah yang diajukan oleh
isteri dalam perkara permohonan nafkah anak.21
4. Skripsi Hulaifatul Hamimah, yang berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap
Putusan PA Malang Tentang Cerai Gugat Karena Tuntutan Nafkah (Studi kasus
19Ayu Sandra Pratama, “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Hakim Atas Penambahan Nafkah Anak Setiap
Pergantian Tahun (Studi Kasus Putusan nomor: 5667/Pdt.G/2013/PA. Kab. Mlg)” (Skripsi--UIN Sunan Ampel, 2014, Surabaya).
20Anis Rosida, “Analisis Hukum Islam terhadap Penolakan Hakim Atas Gugatan Nafkah Madiyah Dalam
Putusan Nomor: 1606/Pdt.G/2013/PA Bangil” (Skripsi--UIN Sunan Ampel, 2014, Surabaya).
21Luma’ Sa’di Ghufron, “Analisis Yuridis Tentang Putusan Hakim Nomor 2781/Pdt.G/2012/PA Tbn tentang
Penolakan Permohonan Nafkah Anak Oleh Isteri Yang Dicerrai Talak ” (Skripsi--UIN Sunan Ampel, 2014, Surabaya).
Perkara Nomor: 2193/Pdt.G/2012/PA.Mlg)”, penulis menjelaskan tentang hakim
yang tidak membatasi kadar nafkah yang diberikan suami kepada isterinya, akan
tetapi hakim melihat dari kurangnya nafkah atau ketidak puasan isteri dalam
menerima nafkah dari suami.22
5. Skripsi Achmad Habibul Alim Mappiasse, yang berjudul “Hak Anak Atas Nafkah
Terhutang Ayah Dalam Perspektif Fiqh dan Hukum Positif (Studi Putusan MA
No. 608/K/AG/2003)”, penulis menjelaskan tentang kelalaian dari seorang ayah
yang tidak menunaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada anaknya,
sehingga anak tersebut yang diwakili oleh ibu atau walinya dapat meminta
nafkah yang belum terpenuhi melalui pengadilan.23
Namun sepanjang pengetahuan penyusun, belum ada suatu karya ilmiah yang
secara khusus membahas tentang Perceraian akibat pembagian nafkah yang tidak
rata antara orang tua dan mertua. Dimana penelitian ini nantinya akan menjelaskan
bagaimana perceraian bisa terjadi dengan adanya penyebab yang terjadi di dalam
putusan nomor: 455/Pdt.G/2013/PA.Spg. Dengan demikian, maka penelitian yang
akan penyusun bahas dalam skripsi ini masih tergolong baru karena belum ada yang
melakukan kajian penelitian ini.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan perceraian akibat suami tidak membagi nafkah yang rata
antara orang tua dan mertua.
22Hulaifatul Hamimah, “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan PA Malang Tentang Cerai Gugat Karena
Tuntutan Nafkah (Studi Kasus Perkara Nomor: 2193/Pdt.G/2012/PA Mlg)” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, 2013, Surabaya).
23Achmad Habibaul Alim Mappiasse, “Hak Anak Atas Nafkah Terhutang Ayah Dalam Perspektif Fiqh Dan
2. Untuk mengetahui analisis hukum Islam terhadap putusan hakim nomor:
455/Pdt.G/2013/PA Spg. di Pengadilan Agama Sampang yang perceraian akibat
suami tidak membagi nafkah yang rata antara orang tua dan mertua.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah :
1. Secara teoritis, hasil penyusunan skripsi ini diharapkan dapat berguna dan
bermanfaat bagi masyarakat untuk memberikan pengetahuan dan wawasan bagi
perkembangan ilmu di bidang hukum keluarga Islam yang berkaitan dengan
pembagian nafkah kepada orang tua dan mertua.
2. Secara praktis, hasil penyusunan skripsi ini diharapkan dapat dijadikan bahan
pertimbangan para pengkaji hukum Islam dengan studi mengenai pembagian
nafkah antara orang tua dan mertua.
G. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pemahaman terhadap istilah kunci dalam penelitian ini,
maka disini akan dijelaskan maknanya sebagai berikut :
1. Hukum Islam: Segala aturan atau hukum-hukum yang mengatur yang akan
dijadikan pedoman oleh umat Islam. Dimana yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, hadist, kaidah fikih, dan putusan pengadilan.
2. Perceraian: Putusnya suatu ikatan perkawinan yang sah di depan hakim
pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
3. Suami Tidak Membagi Nafkah Yang Rata: Tidak dapat memberikan rezeki atau
nafkah dalam jumlah yang sama antara orang tua dan mertuanya.
4. Orang Tua dan Mertua: Merupakan orang yang sama kedudukannya apabila
sudah menikah dan wajib memberi rezeki kepada mereka saat berkecukupan.
H. Metode Penelitian
1. Data Yang dikumpulkan
Data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Data mengenai isi Putusan Pengadilan Agama Sampang Nomor :
455/Pdt.G/2013/PA Spg.
b. Data tentang hukum Islam mengenai pembagian nafkah suami kepada isteri,
orang tua, dan mertua.
2. Sumber Data
Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan, dilakukan pada
pokok-pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam penyusunan skripsi ini
tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasan. Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yakni:
a. Sumber primer dalam penelitian ini adalah data hasil dokumen yang berisi
tentang berkas perkara putusan nomor: 455/Pdt.G/2013/PA Spg.
b. Sumber sekunder merupakan data yang diperoleh dari berkas perkara buku,
dan karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, seperti:
1. Kahar Mansyur, Bulughul Maram 2.
2. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam.
3. Muhammad Syarifuddin, Hukum Perceraian.
4. Dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ni adalah
dokumentasi. Yang merupakan suatu teknik untuk menghimpun dan
mengumpulkan data tertulis dengan menggunakan konten analisis. Penulis
mengumpulkan data tertulis terkait putusan Pengadilan Agama Sampang
nomor: 455/Pdt.G/2013/PA Spg. Dan kemudian menelaah sumber data
sekunder yang berupa buku maupun literatur lain yang berkaitan dengan
penelitian ini. Yang selanjutnya akan disusun menjadi kerangka pembahasan
yang kemudian dianalisa untuk memperoleh suatu kesimpulan mengenai
pembagian nafkah yang tidak rata antara orang tua dan mertua.
4. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui tahapan-tahapan
sebagai berikut:
1. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh dengan memilih
dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang meliputi kesesuaian,
keselarasan satu dengan yang lain, keaslian, kejelasan serta relevansinya
dengan permasalaahn.
2. Organizing, yaitu proses yang sistematis dalam pengumpulan, pencatatan,
dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian, agar antara paragraf yang satu
dengan paragraf yang lainnya saling berhubungan.
3. Analisis, yaitu rangkuman sejumlah data yang telah diperoleh kemudian
dijabarkan dengan menggunakan fakta-fakta yang sudah ada, sehingga akan
diperoleh suatu kesimpulan.
5. Teknik Analisis Data
Pembahasan penelitian ini merupakan penelitian pustaka, yaitu penelitian
terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Sampang tentang putusan perceraian
akibat pembagian nafkah yang tidak rata antara orang tua dan mertua nomor:
455/Pdt.G/2013/PA Spg.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode deskriptif analisis
verifikatif, yaitu teknik analisa data dengan cara memaparkan atau menjelaskan
data sesuai apa adanya yang dalam penelitian ini adalah pendeskripsian
penyebab perceraian yang kemudian dianalisa dan diverifikasi dalam hukum
Islam.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan ini terdiri dari lima bab. Dimana antara bab yang
satu dengan bab yang lain saling berhubungan. Adapun sistematika penyusunan
skripsi ini adalah sabagai berikut:
Bab Pertama, pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab Kedua, berisi tentang landasan teori yang berisikan pengertian
perceraian, rukun dan syarat-syarat perceraian, dasar hukum perceraian, dan
sebab-sebab perceraian. Dan juga mengenai nafkah yang meliputi pengertian, dasar hukum,
macam-macam, pembagian nafkah dan juga undang-undang yang berlaku.
Bab Ketiga, berisi tentang penjelasan dan pendeskripsian mengenai putusan
Pengadilan Agama Sampang nomor: 455/Pdt.G/2013/PA Spg yang terdiri dari
kompetensi pengadilan Agama Sampang, dan dasar hukum yang digunakan majelis
hukum untuk memutus perkara.
Bab Keempat, berisi tentang penjelasan analisis hukum Islam mengenai
perceraian akibat pembagian nafkah yang tidak rata antara orang tua dan mertua.
Bab Kelima, merupakan bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan hasil
penelitian serta saran terhadap beberapa hal yang meliputi di dalam penelitian ini.
BAB II
NAFKAH DAN PERCERAIAN
A. Nafkah Dalam Perkawinan
1. Pengertian Nafkah
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pengertian nafkah adalah
segala kebutuhan hidup yang meliputi makanan, pakaian, dan lain-lain termasuk
kebutuhan rumah tangga pada umumnya. Dalam bahasa Arab, kata nafkah
memiliki banyak arti sesuai dengan konteks kalimat yang menggunakannya.
Seperti kata Anfaqaa – Yunfiquu – Infaqaa yang artinya adalah pengeluaran atau
pembelanjaan.1 Maksudnya disini adalah pengeluaran atau pembelanjaan dalam
hal untuk mencukupi isteri dan anak-anak dari suami yang menafkahi yang
meliputi sandang, pangan, dan papan.
Dengan arti yang umum, nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan
yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah, dan
sebagainya.2 Maksud dari nafkah isteri adalah suatu kewajiban suami terhadap
isterinya memberi nafkah, dalam hal menyediakan segala keperluan isteri seperti
makanan, pakaian, tempat tinggal, mencarikan pembantu dan obat-obatan,
apabila suaminya kaya.3 Dengan demikian nafkah merupakan pemberian yang
wajib dilakukan suami untuk isteri dalam masa perkawinan yang sah.
Banyaknya nafkah yang harus dipenuhi oleh suami adalah hanya sekedar
mencukupi keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan
dari seorang suami itu sendiri. Sebagian para ulama fiqh bersepakat bahwa
1 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), 1548. 2 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam…, 421.
3 Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 144 22
nafkah minimal yang harus dikeluarkan adalah yang dapat memenuhi kebutuhan pokok, yakni makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Sedangkan ahli fiqh yang
lain berpendapat bahwa kebutuhan pokok hanyalah pangan saja.
Yang termasuk dalam pengertian nafkah menurut yang disepakati oleh para
ulama adalah belanja untuk keperluan makan yang mencakup Sembilan bahan
pokok, pakaian dan perumahan atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut
dengan sandang, pangan, dan papan.4
2. Dasar Hukum Nafkah
Memberikan nafkah kepada isteri adalah kewajiban suami yang meliputi
semua macam belanja yang tentunya harus dikeluarkan untuk memenuhi
kebutuhan dan keperluan hidup isteri dan anak-anaknya. Nafkah merupakan
kewajiban yang harus ditunaikan suami kepada isterinya yang sesuai dengan
dasar hukum yang berdasarkan nash-nash Al-Qur’an, dan Hadist Nabi. Adapun
landasan atas wajibnya memberi nafkah sebagaimana:
a) Al-Qur’an
Surat Al – Baqarah ayat 233, yang berbunyi:
ﻰَﻠَﻋَو َﺔَﻋﺎَﺿﱠﺮﻟا ﱠﻢِﺘُﻳ ْنَأ َداَرَأ ْﻦَﻤِﻟ ِْﲔَﻠِﻣﺎَﻛ ِْﲔَﻟْﻮَﺣ ﱠﻦُﻫَد َﻻْوَأ َﻦْﻌِﺿْﺮُـﻳ ُتاَﺪِﻟاَﻮْﻟاَو
ﱠﻦُﻬُـﻗْزِر ُﻪَﻟ ِدﻮُﻟْﻮَﻤْﻟا
ُﻪَﻟ ٌدﻮُﻟْﻮَﻣ َﻻَو ﺎَﻫِﺪَﻟَﻮِﺑ ٌةَﺪِﻟاَو ﱠرﺎَﻀُﺗ َﻻ ﺎَﻬَﻌْﺳُو ﱠﻻِإ ٌﺲْﻔَـﻧ ُﻒﱠﻠَﻜُﺗ َﻻ ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ﱠﻦُﻬُـﺗَﻮْﺴِﻛَو
ِﻩِﺪَﻟَﻮِﺑ
َﺗَو ﺎَﻤُﻬْـﻨِﻣ ٍضاَﺮَـﺗ ْﻦَﻋ ًﻻﺎَﺼِﻓ اَداَرَأ ْنِﺈَﻓ َﻚِﻟَٰذ ُﻞْﺜِﻣ ِثِراَﻮْﻟا ﻰَﻠَﻋَو
ُْﰎْدَرَأ ْنِإَو ﺎَﻤِﻬْﻴَﻠَﻋ َحﺎَﻨُﺟ َﻼَﻓ ٍرُوﺎَﺸ
ْﻢُﺘْﻤﱠﻠَﺳ اَذِإ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ َحﺎَﻨُﺟ َﻼَﻓ ْﻢُﻛَد َﻻْوَأ اﻮُﻌِﺿْﺮَـﺘْﺴَﺗ ْنَأ
ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ْﻢُﺘْﻴَـﺗآ ﺎَﻣ
ﱠنَأ اﻮُﻤَﻠْﻋاَو َﻪﱠﻠﻟا اﻮُﻘﱠـﺗاَو
َﻪﱠﻠﻟا
َنﻮُﻠَﻤْﻌَـﺗﺎَِﲟ
ٌﲑِﺼَﺑ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
4 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos, 1997), 155.
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.5
Maksud dari ayat ini adalah bahwa kewajiban suami untuk memberikan
nafkah kepada isteri dengan cara yang ma’ruf. Maksudnya adalah jumlah
nafkah yang diberikan berbeda menurut zaman, tempat dan keadaan
manusianya, serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi suami. Dan juga
seorang suami wajib menanggung segala kebutuhan makan isteri yang sedang
menyusui anaknya sekalipun telah diceraikan oleh suaminya.
Surat at-Thalaq ayat 7, yang berbunyi:
ُﻪﱠﻠﻟا ُﻒﱢﻠَﻜُﻳ َﻻ ُﻪﱠﻠﻟا ُﻩﺎَﺗآ ﺎﱠِﳑ ْﻖِﻔﻨُﻴْﻠَـﻓ ُﻪُﻗْزِر ِﻪْﻴَﻠَﻋ َرِﺪُﻗ ﻦَﻣَو ِﻪِﺘَﻌَﺳ ﻦﱢﻣ ٍﺔَﻌَﺳ وُذ ْﻖِﻔﻨُﻴِﻟ
اًﺮْﺴُﻳ ٍﺮْﺴُﻋ َﺪْﻌَـﺑ ُﻪﱠﻠﻟا ُﻞَﻌْﺠَﻴَﺳ ﺎَﻫﺎَﺗآ ﺎَﻣ ﱠﻻِإ ﺎًﺴْﻔَـﻧ
Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”6
Mengenai kewajiban suami memberikan nafkah kepada isteri, dijelaskan
pula dalam Hadist Nabi, antara lain :
5 Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., 57. 6Ibid, 946.
َﺔَﻳِوﺎَﻌُﻣ ِﻦْﺑ ِﻢﻴِﻜَﺣ ْﻦَﻋ ﱡﻲِﻠِﻫﺎَﺒْﻟا َﺔَﻋَﺰَـﻗ ﻮُﺑَأ ﺎَﻧَﺮَـﺒْﺧَأ ٌدﺎﱠَﲪ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ َﻞﻴِﻌَْﲰِإ ُﻦْﺑ ﻰَﺳﻮُﻣ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
ﱢيِْﲑَﺸُﻘْﻟا
َﺗَو َﺖْﻤِﻌَﻃ اَذِإ ﺎَﻬَﻤِﻌْﻄُﺗ ْنَأ َلﺎَﻗ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﺎَﻧِﺪَﺣَأ ِﺔَﺟْوَز ﱡﻖَﺣ ﺎَﻣ ِﻪﱠﻠﻟا َلﻮُﺳَر ﺎَﻳ ُﺖْﻠُـﻗ َلﺎَﻗ ِﻪﻴِﺑَأ ْﻦَﻋ
ﺎَﻫَﻮُﺴْﻜ
ْﻟا ِﰲ ﱠﻻِإ ْﺮُﺠْﻬَـﺗ َﻻَو ْﺢﱢﺒَﻘُـﺗ َﻻَو َﻪْﺟَﻮْﻟا ْبِﺮْﻀَﺗ َﻻَو َﺖْﺒَﺴَﺘْﻛا ْوَأ َﺖْﻴَﺴَﺘْﻛا اَذِإ
َﻻَو دُواَد ﻮُﺑَأ َلﺎَﻗ ِﺖْﻴَـﺒ
ُﻪﱠﻠﻟا ِﻚَﺤﱠﺒَـﻗ َلﻮُﻘَـﺗ ْنَأ ْﺢﱢﺒَﻘُـﺗ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Musa bin ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah mengabarkan kepada kami Abu Qaza’al al Bahali, dari Hakim bin Mu’awiyah Al Qusyairi dari ayahnya, ia berkata: aku katakan, wahai Rasulullah, apakah hak isteri adalah seorang diantara kami atasnya? Beliau berkata: “Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan kau menjelek-menjelekkannya (dengan perkataan atau cacian) dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah”. Abu daud berkata: dan janganlah engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian) dengan menyatakan: semoga Allah memburukkan wajahmu.”(HR. Abu Daud No. 1830)7
Dalam hadist nabi yang lain menjelaskan pula :
ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠَﺻ ِﻪﱠﻠﻟا ِلﻮُﺳَر ﻰَﻠَﻋ َنﺎَﻴْﻔُﺳ ِﰊَأ ُةَأَﺮْﻣا َﺔَﺒْﺘُﻋ ُﺖْﻨِﺑ ٌﺪْﻨِﻫ ْﺖَﻠَﺧَد ْﺖَﻟﺎَﻗ َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ ْﻦَﻋ
َﻢﱠﻠَﺳَو
ِﻪﱠﻠﻟا َلﻮُﺳَر ﺎَﻳ ْﺖَﻟﺎَﻘَـﻓ
ﺎَﻣ ﱠﻻِإ ﱠِﲏَﺑ ﻲِﻔْﻜَﻳَو ِﲏﻴِﻔْﻜَﻳ ﺎَﻣ ِﺔَﻘَﻔﱠـﻨﻟا ْﻦِﻣ ِﲏﻴِﻄْﻌُـﻳ َﻻ ٌﺢﻴِﺤَﺷ ٌﻞُﺟَر َنﺎَﻴْﻔُﺳ ﺎَﺑَأ ﱠنِإ
ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠَﺻ ِﻪﱠﻠﻟا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻘَـﻓ ٍحﺎَﻨُﺟ ْﻦِﻣ َﻚِﻟَذ ِﰲ ﱠﻲَﻠَﻋ ْﻞَﻬَـﻓ ِﻪِﻤْﻠِﻋ ِْﲑَﻐِﺑ ِﻪِﻟﺎَﻣ ْﻦِﻣ ُتْﺬَﺧَأ
َﻢﱠﻠَﺳَو
يِﺬُﺧ
ِﻚﻴِﻨَﺑ ﻲِﻔْﻜَﻳَو ِﻚﻴِﻔْﻜَﻳ ﺎَﻣ ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ِﻪِﻟﺎَﻣ ْﻦِﻣ
Artinya : “Aisyah menceritakan bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku, sehingga aku mesti mengambil (nafkah)-Nya tanpa sepengetahuannya.” Rasulullah menjawab, “Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang makruf”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadist tersebut menjelaskan bahwa apabila seorang suami tidak
memberikan nafkah secara mencukupi padahal suami tersebut mampu. Maka
Rasulullah memperbolehkan untuk mengambilnya nafkah tersebut (walaupun)
7 Kahar Mansyur, Bulughul Maram 2..., 142.
tanpa sepengetahuan dari suaminya. Karena nafkah adalah hak bagi isteri dan anak-anaknya.
Dalam penelitian ini, tidak hanya nafkah suami kepada isteri yang
dipermasalahkan melainkan nafkah atau uang kiriman suami terhadap orang tua
dan mertuanya. Pada dasarnya memberikan nafkah kepada keluarga adalah wajib,
apalagi kepada isteri dan anak. Seorang anak atau suami wajib memberikan
nafkahnya kepada orang tua ketika dengan syarat: a. orang tua yang miskin, b.
orang tua yang tidak sehat akalnya.8
Dalam perkawinan, seorang mertua merupakan orang yang harus tetap
dihormati sebagaimana menghormati orang tuanya sendiri. Walaupun memang
kedudukannya tentu dibawah orang tua sendiri. Sehingga sebagai seorang suami
tetap tidak boleh meremehkan dengan menyatakan tidak ada kewajiban taat
kepada mertua. Jadi bisa dikatakan antara orang tua dan mertua adalah sama.
Artinya adalah sama-sama tetap harus dihormati dan memberikan sedikit rezeki
yang didapat suami kepada mereka. Tetapi tetap harus melihat segala
kemampuan dan kondisi keuangan dari suami itu sendiri. Kewajiban anak
laki-laki dalam memberikan perhatiannya pada orang tuanya, meskipun anak lelaki-laki itu
sudah menikah adalah jelas.
3. Bentuk-bentuk Nafkah
a. Nafkah yang diwajibkan kepada manusia untuk dirinya, apabila dia mampu
dia pasti memberikan nafkah kepada yang lainnya.
8 Abdul Fatah Idris, Kifayatul Akhyar Terjemahan Ringkas Fiqh Islam Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990),
252.
b. Nafkah yang diwajibkan kepada manusia untuk kebutuhan orang lain. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pernikahan, kekerabatan, dan
kepemilikan.
B. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian menurut fiqh di Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI, disebutkan perceraian merupakan
salah satu akibat putusnya perkawinan, yang mengucapkan ikrar talak harus di
depan sidang. Dalam pasal 114 KHI menjelaskan bahwa perceraian bagi umat
Islam dapat terjadi karena adanya permohonan talak dari pihak suami atau yang
biasa disebut cerai talak ataupun berdasarkan gugatan dari pihak isteri atau yang
biasa disebut dengan cerai gugat.9
Menurut ahli fiqh perceraian disebut juga dengan talak atau furqah, talak
yang yang artinya melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan furqah artinya
bercerai yaitu lawan dari berkumpul.10 Dalam istilah syara’, talak adalah
melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan perkawinan.11
Dari beberapa pengertian yang penulis sebutkan diatas, dapat disimpulkan
bahwa perceraian adalah putusnya suatu ikatan perkawinan antara suami dan
isteri yang dilakukan atas kehendak dari suami dan isteri atau adanya putusan
dari pengadilan.
Ketika seseorang memutuskan untuk melakukan perkawinan dengan adanya
ijab qabul, maka tujuan utama dari perkawinan tersebut adalah mewujudkan
9 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Libety, 1982), 32. 10Ibid, 103.
11 Slamet abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 9.
keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah. Akan tetapi, tidak semua perkawinan memberikan kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangganya.
Banyak juga pasangan suami isteri yang lebih memilih untuk bercerai karena
alasan-alasan yang kadang memang hanya sepele.
Perceraian sendiri adalah terlarang, karena itu cerai tanpa sebab yang wajar
adalah haram. Dengan ‘illah tertentu, hukumnya dapat berubah menjadi halal.
Sungguh pun dengan ‘illah tertentu itu, hukum cerai dapat menjadi halal, tetapi
tetaplah perceraian itu sesuatu yang halal tetapi yang dibenci oleh Allah.
Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, yaitu :
َﺮَﻤُﻋ ِﻦْﺑِا ِﻦَﻋ
ﺎَﻤُﻬْـﻨَﻋ ُﻪﱠﻠﻟَا َﻲِﺿَر
َلﺎَﻗ
:
ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ِﻪﱠﻠﻟَا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻗ
)
َﻼَْﳊَا ُﺾَﻐْـﺑَأ
ﻪﱠﻠﻟَا َﺪْﻨِﻋ ِل
ُق َﻼﱠﻄﻟَا
(
َدُواَد ﻮُﺑَأ ُﻩاَوَر
,
ْﻪَﺟﺎَﻣ ُﻦْﺑاَو
,
ُﻢِﻛﺎَْﳊَا ُﻪَﺤﱠﺤَﺻَو
,
ُﻪَﻟﺎَﺳْرِإ ٍِﰎﺎَﺣ ﻮُﺑَأ َﺢﱠﺟَرَو
.
Artinya : Ibnu Umar RA menceritakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesuatu yang halal, tetapi dibenci oleh Allah ialah talak”.12
Dalam hadist tersebut menjelaskan bahwa walaupun perceraian itu
diperbolehkan oleh agama, namun pelaksanaannya harus tetap berdasarkan suatu
alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh suami dan
isteri. Apabila memang usaha-usaha yang sudah ditempuh sebelumnya tidak
dapat mengembalikan keutuhan rumah tangga tersebut.
2. Alasan-alasan Perceraian
Dalam KHI pasal 116, alasan-alasan perceraian dapat terjadi karena:
a. Salah satu berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
12 Kahar Mansyur, Bulughul Maram 2..., 90.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik talak;
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga;
Sedangkan alasan-alasan perceraian dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, adalah sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
3. Macam-macam Perceraian
Dalam tata cara beracara di Pengadilan Agama, maka bentuk perceraian
dibagi menjadi dua bagian, antara lain:
1) Permohonan Talak (Cerai Talak)
Dalam pasal 129 dan 130 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan
bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya
harus mengajukan permohonan terlebih dahulu. Baik lisan maupun
tertulis kepada Pengadilan Agama yang berada di wilayah tempat tinggal
isteri yang disertai dengan alasan-alasan serta meminta agar diadakan
sidang untuk keperluan itu. Dalam hal ini, Pengadilan Agama dapat
mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, apabila ditolak
pemohon dapat menggunakan upaya hukum banding dan kasasi.
2) Cerai Gugat
Cerai gugat merupakan suatu gugatan yang diajukan oleh isteri terhadap
suami kepada Pengadilan Agama dengan alasan-alasan tertentu.
Perceraian atas dasar cerai gugat ini terjadi karena adanya suatu putusan
pengadilan.13 Adapun beberapa prosedur cerai gugat yang sudah diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang tertera pada pasal 20
13 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam..., 188.
sampai pasal 36 jo. Dan pasal 73 sampai pasal 83 Undang-undang No. 7 Tahun 1989.
4. Sebab-sebab Perceraian
Ada beberapa sebab yang dapat memutuskan suatu ikatan hubungan
perkawinan menurut hukum Islam, antara lain:
1. Khulu’
Merupakan pemutusan hubungan perkawinan yang atas dasar
persetujuan dari kedua belah pihak. Dan persetujuan tersebut merupakan
keistimewaan dalam hukum Islam sendiri, karena sebelum Islam masuk
dahulu para isteri dalam prakteknya tidak mempunyai alasan apapun untuk
minta diceraikan oleh suaminya.
Penjelasan tentang diperbolehkannya khulu’ diatur dalam Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah ayat 229, yang berbunyi :
ﱠﻄﻟا
ﱠﻦُﻫﻮُﻤُﺘْﻴَـﺗآ ﺎﱠِﳑ ْاوُﺬُﺧْﺄَﺗ نَأ ْﻢُﻜَﻟ ﱡﻞَِﳛ َﻻَو ٍنﺎَﺴْﺣِﺈِﺑ ٌﺢﻳِﺮْﺴَﺗ ْوَأ ٍفوُﺮْﻌَِﲟ ٌكﺎَﺴْﻣِﺈَﻓ ِنﺎَﺗﱠﺮَﻣ ُقَﻼ
ﺎًﺌْﻴَﺷ
ِﻬْﻴَﻠَﻋ َحﺎَﻨُﺟ َﻼَﻓ ِﻪّﻠﻟا َدوُﺪُﺣ ﺎَﻤﻴِﻘُﻳ ﱠﻻَأ ْﻢُﺘْﻔِﺧ ْنِﺈَﻓ ِﻪّﻠﻟا َدوُﺪُﺣ ﺎَﻤﻴِﻘُﻳ ﱠﻻَأ ﺎَﻓﺎََﳜ نَأ ﱠﻻِإ
ْتَﺪَﺘْـﻓا ﺎَﻤﻴِﻓ ﺎَﻤ
َنﻮُﻤِﻟﺎﱠﻈﻟا ُﻢُﻫ َﻚِﺌـَﻟْوُﺄَﻓ ِﻪّﻠﻟا َدوُﺪُﺣ ﱠﺪَﻌَـﺘَـﻳ ﻦَﻣَو ﺎَﻫوُﺪَﺘْﻌَـﺗ َﻼَﻓ ِﻪّﻠﻟا ُدوُﺪُﺣ َﻚْﻠِﺗ ِﻪِﺑ
Artinya : “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh dirujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dosanya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.14
2. Syiqaq
14 Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, 55.
Syiqaq adalah keadaan yang membuat antara suami dan isteri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran. Sehingga menjadi dua pihak yang
tidak dapat dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.15
Dalam firman Allah Swt Surat An-Nisa’ ayat 35 yang berbunyi:
َﻮُـﻳ ﺎًﺣَﻼْﺻِإ اَﺪﻳِﺮُﻳ نِإ ﺎَﻬِﻠْﻫَأ ْﻦﱢﻣ ﺎًﻤَﻜَﺣَو ِﻪِﻠْﻫَأ ْﻦﱢﻣ ﺎًﻤَﻜَﺣ ْاﻮُﺜَﻌْـﺑﺎَﻓ ﺎَﻤِﻬِﻨْﻴَـﺑ َقﺎَﻘِﺷ ْﻢُﺘْﻔِﺧ ْنِإَو
ُﻪّﻠﻟا ِﻖﱢﻓ
اًﲑِﺒَﺧ ﺎًﻤﻴِﻠَﻋ َنﺎَﻛ َﻪّﻠﻟا ﱠنِإ ﺎَﻤُﻬَـﻨْـﻴَـﺑ
Artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.16
3. Fasakh
Fasakh merupakan pembatalan ikatan perkawinan yang dilakukan oleh
Pengadilan Agama yang berdasarkan adanya tuntutan dari isteri atau suami
yang telah dibenarkan oleh Pengadilan Agama. Dimana dalam pelaksanaan
putusnya hubungan perkawinan itu ada salah satu pihak yang merasa tertipu
yang akhirnya salah satu pihak yang merasa tertipu tersebut mengajukan
permintaan perceraian kepada Hakim Pengadilan Agama.17
4. Taklik Talak
Taklik talak adalah talak yang digantungkan pada suatu hal yang
mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang lebih dulu
dijanjikan.18 Taklik talak juga dijelaskan dalam KHI pasal 1 (huruf e). Taklik
talak juga dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 128, yang
berbunyi :
15 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), 241. 16 Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, 123.
17 Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 137.
18 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 227.
ﺎًﺤْﻠُﺻ ﺎَﻤُﻬَـﻨْـﻴَـﺑ ﺎَﺤِﻠْﺼُﻳ نَأ ﺎَﻤِﻬْﻴَﻠَﻋ َحْﺎَﻨُﺟ َﻼَﻓ ﺎًﺿاَﺮْﻋِإ ْوَأ اًزﻮُﺸُﻧ ﺎَﻬِﻠْﻌَـﺑ ﻦِﻣ ْﺖَﻓﺎَﺧ ٌةَأَﺮْﻣا ِنِإَو
ﱠﺢﱡﺸﻟا ُﺲُﻔﻧَﻷا ِتَﺮِﻀْﺣُأَو ٌﺮْـﻴَﺧ ُﺢْﻠﱡﺼﻟاَو
اًﲑِﺒَﺧ َنﻮُﻠَﻤْﻌَـﺗ ﺎَِﲟ َنﺎَﻛ َﻪّﻠﻟا ﱠنِﺈَﻓ ْاﻮُﻘﱠـﺘَـﺗَو ْاﻮُﻨِﺴُْﲢ نِإَو
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.19
5. Nusyuz
Nusyuz merupakan kedurhakaan isteri terhadap suami dalam hal
menjalankan apa yang sudah diwajibkan oleh Allah. Karena kewajiban isteri
haruslah dilakukan terhadap suaminya. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada
pasal 84 disebutkan bahwa ada beberapa hal yang menjelaksan isteri dianggap
nusyuz, yakni antara lain:
1. Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan
alasan yang sah;
2. Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut
pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk
kepentingan anknya;
3. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah
isteri nusyuz;
4. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus
didasarkan atas bukti yang sah;
19 Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, 143.
Mengenai tentang nusyuz, dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 34, yang berbunyi:
ﺎَﻓ ْﻢِِﳍاَﻮْﻣَأ ْﻦِﻣ ْاﻮُﻘَﻔﻧَأ ﺎَِﲟَو ٍﺾْﻌَـﺑ ﻰَﻠَﻋ ْﻢُﻬَﻀْﻌَـﺑ ُﻪّﻠﻟا َﻞﱠﻀَﻓ ﺎَِﲟ ءﺎَﺴﱢﻨﻟا ﻰَﻠَﻋ َنﻮُﻣاﱠﻮَـﻗ ُلﺎَﺟﱢﺮﻟا
ُتﺎَِﳊﺎﱠﺼﻟ
ﱠﻦُﻫوُﺮُﺠْﻫاَو ﱠﻦُﻫﻮُﻈِﻌَﻓ ﱠﻦُﻫَزﻮُﺸُﻧ َنﻮُﻓﺎََﲣ ِﰐﱠﻼﻟاَو ُﻪّﻠﻟا َﻆِﻔَﺣ ﺎَِﲟ ِﺐْﻴَﻐْﻠﱢﻟ ٌتﺎَﻈِﻓﺎَﺣ ٌتﺎَﺘِﻧﺎَﻗ
ِﰲ
اًﲑِﺒَﻛ ﺎﻴِﻠَﻋ َنﺎَﻛ َﻪّﻠﻟا ﱠنِإ ًﻼﻴِﺒَﺳ ﱠﻦِﻬْﻴَﻠَﻋ ْاﻮُﻐْـﺒَـﺗ َﻼَﻓ ْﻢُﻜَﻨْﻌَﻃَأ ْنِﺈَﻓ ﱠﻦُﻫﻮُﺑِﺮْﺿاَو ِﻊِﺟﺎَﻀَﻤْﻟا
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpim bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Mahaa Besar”.20
6. Ila’
Ila’ adalah suatu bentuk putusnya suatu hubungan perkawinan, dimana
suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya. Apabila sumpah tersebut
telah diucapkan, maka telah terjadi ila’. Dan dalam keadaan tersebut suami
diberikan waktu selama 4 bulan untuk memikirkan dua pilihan yang mendasar
sebagai alternatif bagi suami untuk rujuk dengan isteri atau mentalak
isterinya tersebut.21
7. Zhihar
Zhihar mempunyai arti yang hampir sama dengan ila’. Akan tetapi
makna dari arti kedua kata istilah tersebut pastilah berbeda. Zhihar adalah
seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya baginya sama dengan
20Ibid, 123.
21 Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian…, 148-149.
punggung ibunya. Ketentuan dan penjelasan mengenai zhihar diatur dalam Al-Qur’an Surat Al-Mujaadilah ayat 2-4, yang berbunyi:
َو ْﻢُﻬَـﻧْﺪَﻟَو ﻲِﺋ ﱠﻼﻟا ﱠﻻِإ ْﻢُﻬُـﺗﺎَﻬﱠﻣُأ ْنِإ ْﻢِِﺎَﻬﱠﻣُأ ﱠﻦُﻫ ﺎﱠﻣ ﻢِﻬِﺋﺎَﺴﱢﻧ ﻦﱢﻣ ﻢُﻜﻨِﻣ َنوُﺮِﻫﺎَﻈُﻳ َﻦﻳِﺬﱠﻟا
َنﻮُﻟﻮُﻘَـﻴَﻟ ْﻢُﻬﱠـﻧِإ
ﻮُﻔَﻏ ﱞﻮُﻔَﻌَﻟ َﻪﱠﻠﻟا ﱠنِإَو اًروُزَو ِلْﻮَﻘْﻟا َﻦﱢﻣ اًﺮَﻜﻨُﻣ
ٌر
ِﻟَذ ﺎﱠﺳﺎَﻤَﺘَـﻳ نَأ ِﻞْﺒَـﻗ ﻦﱢﻣ ٍﺔَﺒَـﻗَر ُﺮﻳِﺮْﺤَﺘَـﻓ اﻮُﻟﺎَﻗ ﺎَﻤِﻟ َنوُدﻮُﻌَـﻳ ﱠُﰒ ْﻢِﻬِﺋﺎَﺴﱢﻧ ﻦِﻣ َنوُﺮِﻫﺎَﻈُﻳ َﻦﻳِﺬﱠﻟاَو
ْﻢُﻜ
ٌﲑِﺒَﺧ َنﻮُﻠَﻤْﻌَـﺗ ﺎَِﲟ ُﻪﱠﻠﻟاَو ِﻪِﺑ َنﻮُﻈَﻋﻮُﺗ
َﲔﱢﺘِﺳ ُمﺎَﻌْﻃِﺈَﻓ ْﻊِﻄَﺘْﺴَﻳ ْﱠﱂ ﻦَﻤَﻓ ﺎﱠﺳﺎَﻤَﺘَـﻳ نَأ ِﻞْﺒَـﻗ ﻦِﻣ ِْﲔَﻌِﺑﺎَﺘَﺘُﻣ ِﻦْﻳَﺮْﻬَﺷ ُمﺎَﻴِﺼَﻓ ْﺪَِﳚ ْﱠﱂ ﻦَﻤَﻓ
ﺎًﻨﻴِﻜْﺴِﻣ
ٌﻢﻴِﻟَأ ٌباَﺬَﻋ َﻦﻳِﺮِﻓﺎَﻜْﻠِﻟَو ِﻪﱠﻠﻟا ُدوُﺪُﺣ َﻚْﻠِﺗَو ِﻪِﻟﻮُﺳَرَو ِﻪﱠﻠﻟﺎِﺑ اﻮُﻨِﻣْﺆُـﺘِﻟ َﻚِﻟَذ
Artinya: “(2) Orang-orang yang menzhihar isterinya diantara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf Lagi Maha Pengampun. (3) Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (4) Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih”.22
8. Li’an
Arti kata li’an adalah sumpah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya
terdapat pernyataan bersedia menerima laknat dari Tuhan.23 Li’an dapat
terjadi apabila ada tuduhan isteri berzina. Dan diterangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam pada pasal 125 yang berbunyi: “Li’an menyebabkan putusnya
perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya”. Dalam firman Allah
22 Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, 908-909.
23 Azhar Ahmad Basri, Hukum Perkawinan Islam, (Joyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1980), 79.
Swt mengenai Li’an, dijelaskan dalam Al-Qur;an Surat An-Nur: ayat 8-9, yang bunyinya:
َﲔِﺑِذﺎَﻜْﻟا َﻦِﻤَﻟ ُﻪﱠﻧِإ ِﻪﱠﻠﻟﺎِﺑ ٍتاَدﺎَﻬَﺷ َﻊَﺑْرَأ َﺪَﻬْﺸَﺗ ْنَأ َباَﺬَﻌْﻟا ﺎَﻬْـﻨَﻋ
ﺎَﻬْـﻴَﻠَﻋ ِﻪﱠﻠﻟا َﺐَﻀَﻏ ﱠنَأ َﺔَﺴِﻣﺎَْﳋاَو
َﲔِﻗِدﺎﱠﺼﻟا َﻦِﻣ َنﺎَﻛ نِإ
Artinya : “ (8) Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah. Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. (9) Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar”.24
9. Murtad
Murtad merupakan sebab dari putusnya suatu hubungan perkawinan.
Yang disebabkan karena salah seorang dari suami atau isteri keluar dari
agama Islam atau murtad. Dalam ayat 221 Surat Al-Baqarah dijelaskan
bahwa adanya larangan menikah antara laki-laki dengan perempuan maupun
sebaliknya perempuan dengan laki-laki yang tidak beragama Islam. Yang
penjelsannya berbunyi sebagai berikut:
ﻮُﺤِﻜﻨَﺗ َﻻَو
ْاﻮُﺤِﻜﻨُﺗ َﻻَو ْﻢُﻜْﺘَﺒَﺠْﻋَأ ْﻮَﻟَو ٍﺔَﻛِﺮْﺸﱡﻣ ﻦﱢﻣ ٌﺮْـﻴَﺧ ٌﺔَﻨِﻣْﺆﱡﻣ ٌﺔَﻣَﻷَو ﱠﻦِﻣْﺆُـﻳ ﱠﱴَﺣ ِتﺎَﻛِﺮْﺸُﻤْﻟا ْا
َﱃِإ َنﻮُﻋْﺪَﻳ َﻚِﺌـَﻟْوُأ ْﻢُﻜَﺒَﺠْﻋَأ ْﻮَﻟَو ٍكِﺮْﺸﱡﻣ ﻦﱢﻣ ٌﺮْـﻴَﺧ ٌﻦِﻣْﺆﱡﻣ ٌﺪْﺒَﻌَﻟَو ْاﻮُﻨِﻣْﺆُـﻳ ﱠﱴَﺣ َﲔِﻛِﺮِﺸُﻤْﻟا
َو ِرﺎﱠﻨﻟا
ُﻪّﻠﻟا
َنوُﺮﱠﻛَﺬَﺘَـﻳ ْﻢُﻬﱠﻠَﻌَﻟ ِسﺎﱠﻨﻠِﻟ ِﻪِﺗﺎَﻳآ ُﱢﲔَـﺒُـﻳَو ِﻪِﻧْذِﺈِﺑ ِةَﺮِﻔْﻐَﻤْﻟاَو ِﺔﱠﻨَْﳉا َﱃِإ َﻮُﻋْﺪَﻳ
Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wan