• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIPERLUKAN, KEMENANGAN SIMBOLIS (1).doc 34KB Jun 13 2011 06:28:03 AM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DIPERLUKAN, KEMENANGAN SIMBOLIS (1).doc 34KB Jun 13 2011 06:28:03 AM"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

DIPERLUKAN, KEMENANGAN SIMBOLIS (1) Mustofa W Hasyim

KETIKA Dr Abdus Salam dari Pakistan memenangkan hadiah Nobel untuk ilmu fisika, dunia Islam lega. Sebab itu jelas merupakan kemenangan simbolis, yang menandai kemungkinan direbutnya supremasi ilmu pengetahuan yang menjadi salah satu lambang kebudayaan oleh komunitas Muslim. Setelah pada sekitar abad ke-13 supremasi ilmu pengetahuan yang semula dipegang oleh komunitas Muslim pelan-pelan direbut oleh komunitas Kristen (Barat) maka selama sekitar tujuh abad komunitas Muslim dunia menderita semacam rendah diri, menderita kekalahan mental dan kekalahan simbolis. Berbagai upaya untuk merebut supremasi ilmu pengetahuan sepertinya gagal, karena terhalang oleh tradisi, terhadang oleh berbagai tembok-tembok pemikiran yang dibangunnya sendiri, juga dihadang oleh kekuatan Barat. Konsolidasi budaya yang dilakukan oleh komunitas Muslim selalu digerogoti dari dua sisi, dari dalam dan dari luar. Sebagian dari komunitas Muslim pun ada yang kemudian menghibur diri dengan melakukan apologi historis. Toh kalau hari itu mereka kalah, kan dulu mereka pernah menang. Bukan melakukan pemulihan historis dengan mengatakan, memang dulu kami pernah menang dan memang sekarang kalah, tapi di masa depan kami akan memulihkan kemenangan tersebut.

Prestasi-prestasi intelektual di masa silam, yang mekar sejak abad ke-6 sampai pasca Perang Salib di abad ke-12 hanya difungsikan sebagai anggur yang memabukkan, difungsikan sebagai candu pelipur lara, bukan difungsikan sebagai amunisi untuk meledakkan semangat memburu prestasi baru yang lebih signifikan. Sementara itu komunitas Barat yang kemudian berubah diri, melakukan transformasi diri menjadi kekuatan penentu sejarah dalam wujud sebagai kekuatan imperialis, kolonialis, kapitalis dan hegemonis dunia kemudian bergerak ke seluruh negeri Muslim dengan semangat pesta. Mereka membagi-bagi negeri Muslim itu seperti membagi kue yang terhidang empuk berkepul-kepul asapnya di meja menyebar aroma kelezatan, kemudian menyedot kekayaannya untuk dibawa ke tanah asal sebagai timbunan capital dan timbunan aset yang sampai hari ini masih luar biasa jumlahnya dalam bentuk benda-benda mulia, surat berharga, dana-dana yang siap cair dan berbagai kekayaan informasi yang nyaris tak terhingga harganya. Dengan berbagai kekayaan yang dirampok dari negeri jajahan itu komunitas Barat mampu terus-menerus memelihara dan memegang berbagai supremasi (politik, militer, ekonomi dan budaya). Mereka secara sistematis selalu membukukan kemenangan di berbagai pihak itu lewat berbagai cara. Kemenangan simbolis demi kemenangan simbolis di dunia politik, militer, ekonomi dan budaya mereka bentuk, kemudian mereka sebarkan untuk menguasai ingatan kolektif seluruh penghuni bumi lewat dua cara. Lewat karya dan lewat propaganda. Dengan karya-karya besar, termasuk karya ilmu pengetahuan, filsafat dan teknologi mereka melancarkan propaganda bahwa hanya merekalah manusia dan komunitas yang berbudaya, sementara manusia dan komunitas lain mereka beri stigma sebagai yang masih biadab yang layak ditaklukkan, dihajar, dihina, diperas, dan dihabisi masa silam, masa kini dan masa depannya. Dalam berbagai ‘karya ilmiah’ yang kemudian banyak dikutip, komunitas Barat melakukan upaya menghabisi masa silam komunitas Muslim dengan mengatakan bahwa pelopor ilmu pengetahuan adalah mereka, komunitas Muslim tidak ada sumbangan apa-apa. Maka kalau kita membaca sejarah ilmu pengetahuan banyak yang lucu, karena masa-masa keemasan komunitas Islam dalam berilmu pengetahuan tidak disebut. Padahal masa keemasan itu berlangsung selama tujuh abad. Mereka mencatat bagaimana pada zaman kuno dunia mendapat pencerahan karena adanya kebudayaan Yunani, kemudian melompat ke zaman modern dengan berbagai prestasi ilmu pengetahuannya. Ada tujuh abad peristiwa ilmu pengetahuan yang mereka gelapkan. Ini mirip dengan yang terjadi di Jawa, dimana ada pemikir kebudayaan yang menggambarkan sejarah kebudayaan di Jawa, dari Majapahit, lalu melompat ke Mataram, seolah-olah kerajaan Demak dan Pajang tidak pernah ada.

Untung sekali ada sejarawan ilmu pengetahuan yang jujur, obyektif dan tidak bersikap

(2)

Persia dan India menjadi ilmu baru yang lebih segar dan mencerahkan, para ilmuwan Muslim pun diakui mampu menciptakan berbagai penemuan cemerlang yang sampai hari ini masih berharga. Dr Abdus Salam mampu mewarisi semangat ilmuwan Muslim pada zaman dimana supremasi ilmu pengetahuan dipegang oleh ilmuwan Muslim. Ia pun dengan ketekunan menggali dan

mengintegrasikan agama dan ilmu, kemudian mampu menghasilkan berbagai penemuan penting yang membawanya mendapat hadiah Nobel. Sayang sekali, kemenangan simbolis yang diperoleh oleh Dr Baiquni dan Dr BJ Habibie di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi belum dijadikan amunisi untuk meledakkan semangat para kaum muda Muslim kita dalam merebut kembali supremasi ilmu pengetahuan. Bahkan banyak melupakan, atau terperengaruh oleh propaganda pihak lain yang secara sistematis mengecilkan peran-peran budaya mereka. (Bersambung)

DIPERLUKAN, KEMENANGAN SIMBOLIS (2-Habis)

Mustofa W Hasyim

Novelis Najib Mahfudz dari Mesir kemudian mendapat giliran menerima hadiah Nobel untuk sastra. Ini menunjukkan penghargaan yang tinggi dari dunia internasional atas kerja kerasnya mencitakan karya sastra yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kemenangan simbolis seperti ini sudah lama ditunggu-tunggu oleh bangsa Mesir, dan seluruh komunitas Muslim seluruh dunia. Mengapa? Sebab tiga puluhan tahun sebelumnya sesungguhnya pernah ada sastrawan Mesir yang dinominasikan akan mendapat Hadiah Nobel, yaitu Taufik El Hakim yang terkenal dengan satir-satirnya. Tapi entah karena apa, Taufik El Hakim kemudian gagal mendapat hadiah Nobel. Padahal karyanya sangat bermutu dan banyak direrjemahkan di Indonesia, sebagaimana karya Najib Mahfudz di kemudian hari.

Mesir memang dikenal sebagai gudang sastrawan, budayawan, sejarawan dan pemikir kebudayaan kaliber dunia. Selain Taufik El Hakim, Najib Mahfudz, masih ada Mahmud Aqqad, Thaha Husein, Mohammad Heikal dan sebagainya. Bahkan pemikir keagamaan kaliber dunia seperti Muhammad Abduh juga lahir di sana, yang kemudian hari banyak mengilhami begitu banyak pemikir dan pendiri gerakan keagamaan dengan berbagai variasi yang sangat banyak. Mulai dari yang sangat relijius dan fundamentalis moderat seperti Hasan Al Banna, sampai para tokoh yang kemudian melahirkan pemikiran yang cukup liberal yang karyanya masih dianggap kontroversial oleh sebagian orang.

Kalau kita membaca karya-karya Najib Mahfudz maka dengan mudah kita akan dapat merasakan problem kemanusiaan yang menimpa bangsa Mesir. Bagaimana para manusia baik yang hidup di desa, lebih-lebih yang hidup di kota senantiasa diguncang-guncang oleh perubahan. Sampai-sampai orang kemudian kebingungan memahami dirinya sendiri. Banyak tokoh-tokoh dalam karya Najib Mahfudz merupakan orang-orang yang terengah-engah, kadang tersesat, dalam mencari dirinya sendiri. Meski dalam semua karyanya Najib senantiasa memihak pada nilai-nilai, tak urung banyak juga yang kemudian salah faham ketika membaca karyanya. Sampai-sampai ada yang akan membunuhnya.

Kemenangan simbolis untuk dunia sastra sebagaimana diperoleh oleh Najib Mahfudz ini memang dibutuhkan oleh komunitas Muslim. Sebab ini akan menjadi obat untuk mengembalikan

kepercayaan diri bahwa di zaman ini masih ada orang-orang yang berkualitas dan karyanya diakui dunia. Di masa silam, cukup banyak stok sastrawan, bidayawan dan filsuf Muslim sekaligus yamg melahirkan karya raksasa sampai manusia setiap zaman memerlukan untuk membacanya. Jalaludin Rumi misalnya, yang karyanya mengilhami banyak sastrawan besar berikutnya, termasuk

Mohammad Iqbal kualitasnya tidak diragukan lagi. Bahkan kualitas kemanusiaan dan kualitas spirituaitas dari karya Rumi diakui sampai mampu menembus batas waktu dan ruang, batas-batas etnik, ras, dan agama. Kadar universalitasnya sangat puncak, berkualitas puncak. Demikian juga karya sastra legendaris seperti Seribu Satu Malam dan Kalilah wa Dimnah yang kualitasnya tidak kalah dengan berbagai bacaan sekarang, termasuk Herry Potter yang banyak digemari anak-anak itu. Dalam soal barang gaib, soal sihir menyihir dan soal yang lebih seru lagi maka Seribu Satu Malam jika diolah dan dipersegar dengan bahasa sekarang, tidak kalah dengan berbagai bacaan sekarang itu.

(3)

Rendra, Sutardji, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib dan sebagainya. Hanya untuk di masa datang masih perlu kerja keras lagi bagi bangsa Indonesia dan komunitas Muslim Indonesia untk menghasilkan karya raksasa sehingga kemudian layak diberi penghargaan internasiolnal seperti Hadiah Nobel.

Mungkin banyak yang jengkel dan bertanya-tanya mengapa sejak tulisan pertama hadiah Nobel selalu disebut-sebut sebagai ukuran kemenangan. Memang hadiah itu tidak merupakan ukuran mutlak, tetapi secara relatif, siapa yang mendapat hadiah itu cukup dipandang memiliki karya yang layak diperhitungkan secara internasional. Dan inilah rahasianya ‘kemenangan’ budaya orang Barat. Mereka senantiasa menciptakan berbagai penghargaan dan hadiah (award), untuk berbagai bidang, dan upacara pemberian hadiah itu kemudian sudah seperti ‘ritus budaya’ atau merupakan event yang senantiasa ditunggu-tunggu. Memang, event seperti pemberian award untuk karya film yang sepertinya terhegemoni olen nila-nilai Amerika kemudian mendapat counter dari tempat lain untuk film alternatif. Tetapi tradisi pemberian award ini pada umumnya mampu mendinamisasi semangat budaya masyarakatnya untuk terus selalu menang dalam pertarungan budaha global sekarang ini. Ketika bangsa Iran mampu memenangkan berbagai penghargaan, kita pun

tercengang. Sementara itu di dunia internasional, Indonesia hampir selalu memeroleh iklan buruk, propaganda buruk, dan stigmatisasi yang buruk sebagai bangsa sarang korupsi, kreativitas rendah, kualitas pendidikan rendah, atau (akhir-akhir ini) sarang teroris.

Itu semua tidak selalu benar, sebab di samping yang busuk-busik di atas, sesungguhna bangsa Indonesia, termasuk komunitas Muslimnya masih mengandung banyak hal dan potensi yang harum, cemerlang dan layak dikedepankan sebagai bendera kemenangan simbolis untuk dunia budaya. Hanya saja semua ini belum teraktualisasi dengan baik.

Barangkali ada yang potes atau kurang suka kenapa di atas hanya melulu diungkapkan tentang perlunya kemenangan simbolis saja. Mengapa tidak disebut adanya kemenangan substantif misalnya.

Tentu saja kemenangan-kemenangan substantif juga perlu, akan tetapi kemenangan substantif ini mirip dengan kemenangan udara yang memang bermakna dan bermanfaat, tetapi sulit dipegang dan dijadikan pertanda atau patokan sebagai sebuah patokan atau tonggak bahwa kemenangan itu pernah ada. Sedang kemenangan simbolis, apalagi yang terlembagakan sampai ratusan tahun (seperti kemenangan simbolis keperkasaan fisik seperti dalam pesta Olympiade) lebih mudah dijadikan tonggak historis. Memang yang paling bermutu dan kita kehendaki adalah adanya kemenangan simbolis sekaligus kemenangan substantif sebagaimana pernah ditampilkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika menaklukkan Damaskus dan Mesir. Kemenangan militerr beliau (simbolis) dilengkapi dengan kemenangan kemanusiaan (substantif) yang tidak kalah besarnya. Adegan Umar memegang tali kekang keledai, sedang pembantunya yang naik keledai ketika memasuki kota Damaskus itulah kemenangan substantif Umar. Ia telah mengajarkan adanya kesetaraan harkat dan posisi manusia, meski dia itu Khalifah atau pembantunya. Kemenangan seperti ini beberapa abad kemudian diulang oleh Shalahuddin Al Ayyubi, yang ketika

memenangkan Perang Salib, masuk kota Damaskus, kemudian mengampuni musuhnya serta menebarkan kedamaian ke setiap butir-butir udara yang ada di situ. Atau kemenanga Fadlillah Khan ketika berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Atau kemenangan Jenderal Soedirman yang dengan paru-paru separo lebih memilih keluar masuk hutan naik turun gunung ketimbang menyerah dan membiarkan diri ditawan musuh sebagaimana dilakukan oleh para pemimpin yang tubuhnya sehat, gemuk dan suka makan enak itu. Atau kemenangan Pak Kuntowijoyo yang meski masih belum sembuh dan pulih dari sakitnya mampu terus berkarya dan memenangkan cerpen pilihan Kompas sampai tiga kali, sampai akhirnya beliau mengusulkan agar dirinya jangan dimenangkan lagi. Begitulah agaknya.

(4)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Komunikasi konsentrasi

Brucellosis merupakan penyakit yang dapat menular pada manusia. Penyakit ini disebabkan berbagai genus Brucella

Skin and soft tissue, musculoskeletal, respiratory tract infection, bacteremia, infective endocarditis, TSS, SSSS, device-related infection3. Streptococcal

Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Dengan kondisi demikian, sebaiknya anak balita diperkenalkan

Contohnya Di kota Surabaya, yang memiliki universitas yang sangat terkenal dan memiliki agreditasi yang sangat baik, seiring dengan perkembangan zaman kebutuhan manusia

Bab ini akan menguraikan perkembangbiakan tumbuhan, permaianan ( game ) simulasi, edukasi, multimedia, media pembelajaran, algoritma fisher-yates shuffle, analisis

Jadi, secara keseluruhan penerapan desain interior di Restoran Piazza Italia dan Brandi Pizzeria dengan sistem pelayanan dan jenis masakannya apabila dilihat dari