i
EFEKTIVITAS GETAH BATANG SEMU PISANG AMBON(Musa acuminata)
DAN GETAH BATANG SEMU PISANG KEPOK (Musa balbisiana)
PADA PENYEMBUHAN LUKA BAKAR MENCIT(Mus musculus)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Biologi
Oleh: Rike Pangestika NIM : 121434061
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
PERSEMBAHAN
v MOTTO
Aku Hanya Merasa Hidup
Jika dan Hanya Jika
Berkreasi & Berinovasi
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan naskah skripsi ini. Naskah skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Selama penyusunan naskah skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu, memberikan dorongan dan masukan serta motivasi kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu melalui kesempatan ini penulis dengan sepenuh hati ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Catarina Retno Herrani Setyati, M.Biotech. selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar meluangkan waktu, membimbing, memberikan arahan, mendukung dan mengajarkan penulis banyak hal dalam setiap konsultasi bersamanya.
2. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma yang telah menyetujui dan mengesahkan skripsi ini.
3. Drs. Antonius Tri Priantoro, M.For.,Sc. selaku Kepala Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma.
4. Dosen-dosen penguji skripsi yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Dosen-dosen Program Studi Pendidikan Biologi: Pak Tri, Bu Maslichah Asy ari, Bu Ratna, Bu Ika, Rm. Wir, yang selama ini telah membimbing dan selalu memberikan arahan kepada penulis agar tetap belajar dengan tekun dan tidak mudah putus asa. Memberikan penulis banyak ilmu sebagai bekal masa depan penulis.
ix
peminjaman sarana dan prasarana sehingga penulis dapat melakukan penelitian.
7. Pak Agus selaku laboran di Laboratorium Pendidikan Biologi yang selalu menyediakan sarana dan prasarana laboratorium yang diperlukan penulis dalam penelitian ini.
8. Bapak laboran di Laboratorium Imuno Farmasi yang telah meluangkan waktu dalam membantu penulis memperoleh mencit serta berbagi informasi mengenai perawatan mencit dan mendukung penulis agar melakukan penelitian dengan baik.
9. Keluargaku tercinta, ayahku Yuwono MM, ibundaku Yuli Astuti, kakakku Dolly Yudhistira serta adik gantengku Fadhilla Ma arif yang selalu mendukung, mendoakan, memberikan kasih sayang, serta yang telah memenuhi semua kebutuhan rohani dan jasmani penulis sehingga penulis dapat kuliah dan memperoleh gelar sarjana.
10. Teman terbaik selama ini Hisreidi Funome, Emilia Jane, Maya R. Kapu, Theresia Astutiningrum, Maranthy Boy Rante Allo, Rointan Moris Sidabalok, Tresia Jawa, Maria Magdalena Melina, Annasonia Mega Rahmatika, Melly Priana, Adriana, Deska Aliza, Rya, Rinanti Anugraheni, Christine Pamarding U, Aileen Felicia, Gloria Jessica serta Marcela Widya yang telah menemaniku dan membantuku baik saat melaksanakan penelitian di Laboratorium maupun tidak, yang selalu mendoakanku, yang selalu menyemangatiku dan menghiburku. Semoga pertemanan ini akan selalu erat dan teguh selamanya.
11. Teman-teman SMA yaitu Fiqih Amalia, Albert A, Kurni, Galang yang selalu menyemangati, mendoakan, dan menghibur penulis dengan tingkah laku yang unik.
x
13. Teman-teman Pendidikan Biologi angkatan 2012 yang selalu mendukung, memberi semangat dalam setiap langkah yang dilalui bersama selama empat tahun ini.
14. Seseorang yang menyemangati saya selama proses skripsi.
15. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas segala bantuan dan dukungan untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.Berkah Dalem.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan naskah skripsi ini. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkan.
Yogyakarta, 17 Februari 2017
xi ABSTRAK
EFEKTIVITAS GETAH BATANG SEMU PISANG AMBON (Musa acuminata)DAN GETAH BATANG SEMU PISANG KEPOK(Musa balbisiana)PADA PENYEMBUHAN LUKA BAKAR MENCIT(Mus
musculus) Rike Pangestika Universitas Sanata Dharma
2017
Getah batang semu pisang biasanya digunakan sebagai obat luka bakar oleh masyarakat Toraja. Penelitian Sundari menyatakan bahwa getah pelepah pisang kepok dapat merangsang pembentukan sel-sel baru, pembentukan pembuluh darah baru dan sebagai antiseptik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peranan getah batang semu pisang ambon (Musa acuminata) dan getah batang semupisang kepok (Musa balbisiana) serta mengetahui manakah diantara kedua getah pisang tersebut yang lebih cepat memperkecil panjang luka bakar mencit(Mus musculus).
Penelitian bersifat eksperimental laboratorium. Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu getah batang semu pisang ambon dan kepok. Pengujian sampel dilakukan dengan membuat luka bakar derajat II dalam pada punggung mencit. Setiap sampel dioleskan pada area luka 3x sehari. Data diperoleh dengan mengukur panjang luka menggunakan jangka sorong kemudian dianalisis dengan cara deskriptif.
Hasil rata-rata pengukuran panjang luka getah pisang kepok yakni 9,89 mm sedangkan pisang ambon yakni 12,29 mm. Peranan getah pisang kepok lebih baik karena mencit cepat mengalami pertumbuhan bulu dan perubahan warna luka. Kesimpulan kedua getah pisang memiliki peranan yang baik dalam mempercepat proses penyembuhan luka bakar. Getah batang semu pisang kepok (Musa balbisiana) lebih cepat memperkecil panjang luka bakar dibandingkan pisang ambon(Musa acuminata).
xii ABSTRACT
THE EFFECT OF AMBON BANANA(Musa acuminata)AND KEPOK BANANA(Musa balbisiana)APPARENT STEM LATEX TO HEALING
THE BURNED SKIN OF WHITE MICE(Mus musculus) Rike Pangestika
Universitas Sanata Dharma 2017
Banana tree latex is usually used as a burn treatment by the Toraja people. Sundari research states that banana tree latex kepok can stimulate the formation of new cells, new blood vessel formation and as an antiseptic. This study aims to determine how the role of apparent stem latex ambon banana (Musa acuminata) and stem latex kepok banana (Musa balbisiana) and find out which of these two banana faster burns far longer mice (Mus musculus).
The study is an experimental laboratory. Variations sample of stem latex ambon banana and kepok. Tests were conducted by making the second-degree burns on the backs of mice. Each sample is applied to the wound area 3 times a day. Data obtained by measuring the length of the wound using a caliper and then analyzed in a descriptive way.
The average yield of banana latex wound length measurement kepok namely 9.89 mm while the ambon banana namely 12.29 mm. The role of banana latex kepok better because mice experiencing rapid growth and change color fur wounds. The second conclusion banana latex has a good role in accelerating the healing process of burns. Banana apparent stem latex kepok (Musa balbisiana) faster burns far longer than a ambon banana (Musa acuminata)..
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian... 4
D. Manfaat Penelitian... 5
BAB II. DASAR TEORI ... 6
A. Pisang... 6
B. Luka Bakar... 12
C. Mencit(Mus musculus)... 20
D. Penelitian yang Relevan ... 22
E. Kerangka Berpikir... 23
F. Hipotesis... 26
BAB III. METODE PENELITIAN... 27
A. Jenis Penelitian... 27
B. Variabel Penelitian ... 27
C. Batasan Penelitian ... 28
D. Alat dan Bahan... 28
E. Cara Kerja... 29
F. Analisis Data... 34
G. Pemanfaatan dalam Pendidikan ... 34
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
A. Pengecilan Panjang Luka Bakar... 35
B. Perubahan Warna Luka Bakar... 45
C. Pertumbuhan Bulu Mencit(Mus musculus)... 47
D. Kendala dan Keterbatasan Penelitian ... 51
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 53
A. Kesimpulan ... 53
B. Saran... 53
BAB VI. IMPLEMENTASI PENELITIAN UNTUK PEMBELAJARAN... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 57
xiv
DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Tanaman pisang(Musa paradisiaca) ... 7
Gambar 2.2. Getah pisang ... 9
Gambar 2.3. Luka bakar ... 12
Gambar 2.4 Mencit(Mus musculus) ... 21
Gambar 2.5. Bagan kerangka berpikir ... 25
Gambar 3.1. Tahap-tahap penelitian 33 Gambar 4.1. Rata-rata panjang luka bakar mencit(Mus musculus) 35 Gambar 4.2. Jaringan Granular ... 43
Gambar 4.3. Kondisi Bulu Mencit(Mus musculus) . 43 Gambar 4.4. Kondisi Warna Luka Mencit(Mus musculus)... 46
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Silabus .... 59
Lampiran 2 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran . . 63
Lampiran 3 : Lembar Kerja Siswa ... 74
Lampiran 4 : Instrumen Penilaian Siswa . 77
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Luka merupakan rusaknya komponen atau satuan jaringan, yang
menyebabkan substansi jaringan rusak atau hilang. Ketika luka timbul,
beberapa efek akan muncul yaitu hilangnya seluruh atau sebagian fungsi
organ, respon stres simpatis, pendarahan, koagulasi, infeksi bakteri dan
kematian sel (Umar dalam Sundari, 2015). Berdasarkan penyebabnya, luka
dibagi menjadi: luka insisi (incised wounds), luka memar (contusion
wound), luka lecet (abraded wound), luka tusuk (punctured wound), luka
gores (lacerated wound), luka tembus (penetrating wound) dan luka bakar
(combustio) (Perdana, 2013). Beberapa jenis luka tersebut dapat diobati
dengan metode pengobatan secara modern dan tradisional contohnya luka
bakar. Pengobatan secara modern pada umumnya menggunakan teknologi
modern dalam proses pembuatan obat. Pada pengobatan secara tradisional
cenderung menggunakan bahan-bahan alami yang di sekitar kita baik yang
diperoleh dari tanaman maupun hewan.
Pengobatan secara tradisional memiliki keterbatasan yakni jenis-jenis
luka yang dapat ditangani, lamanya proses penyembuhan dan informasi
mengenai kandungan kimia yang terdapat pada bahan-bahan yang
digunakan. Sebagai contoh, luka memar (contusion wound) dapat diobati
proses penyembuhannya berbeda. Beberapa jenis luka seperti luka lecet
(abraded wound), luka gores (lacerated wound), dan luka bakar (combustio)
dapat pula ditangani dengan pengobatan secara tradisional. Pengobatan
secara tradisional yang menggunakan bahan-bahan dari lingkungan sekitar
memiliki beberapa keuntungan, antara lain tidak adanya efek samping yang
ditimbulkan seperti obat kimiawi (Perdana, 2013). Sebagai contoh
penutupan luka gores dengan daun sirih atau daun binahong. Begitu pula
penanganan pada luka bakar dengan luas luka yang kecil dapat ditangani
dengan mengoleskan getah batang semu pisang. Pada masyarakat Sulawesi
khususnya Toraja saat mengalami luka sayat, masyarakat memakai cara
tradisional sebagai pertolongan pertama yaitu dengan menggunakan getah
pisang dengan cara melilitkan remasan batang semu pisang yang
mengandung getah pada bagian yang terkena luka.
Luka bakar merupakan kerusakan dan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan oleh kontak kulit dengan sumber yang bersuhu lebih tinggi dari
suhu normal kulit yang dapat dirasakan misalnya; api, air panas, bahan
kimia, listrik, dan radiasi atau suhu yang sangat rendah seperti daerah kutub
(Moenadjat dalam Sucidayanan dkk., 2014). Berdasarkan penyebabnya, luka
bakar dibagi menjadi: luka bakar suhu tinggi (thermal burn), luka bakar
bahan kimia (chemical burn), luka bakar sengatan listrik (electrical burn),
dan luka bakar radiasi (radiasi injury) (Moenadjat dalam Isrofah, 2013).
Sundari (2015) melakukan penelitian tentang pemanfaatan getah
sebagai antibiotik, pembentukan pembuluh darah baru, penyingkat fase
peradangan, pencegah infeksi dan pembentuk jaringan ikat kolagen.
Penelitian Balqis dkk. (2014) yang berjudul “Gambaran Histopatologis
Penyembuhan Luka Bakar Menggunakan Daun Kedondong (Spondias dulcis
F.) Dan Minyak Kelapa pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)”. Penelitian
ini digunakan sebagai dasar untuk membuat luka bakar derajat II dalam pada
mencit (Mus musculus).
Berdasarkan latar belakang di atas, pemilihan pisang dalam
penelitian ini dipilih dengan alasan yaitu persebaran tanaman pisang yang
luas di Indonesia, banyaknya jenis pisang dan banyaknya penelitian yang
sudah dilakukan mengenai kandungan senyawa kimia pada pisang. Getah
pisang mengandung senyawa kimia saponin, tanin, lektin dan flavonoid
yang memiliki kemampuan dalam penyembuhan luka seperti luka bakar.
Maka peneliti ingin membandingkan metode pengobatan luka bakar secara
tradisional dengan getah batang semu pisang ambon (Musa acuminata) dan
getah batang semu pisang kepok (Musa balbisiana) dalam proses
penyembuhan luka bakar pada mencit (Mus musculus). Penelitian ini
berbeda dari penelitian sebelumnya yang hanya menggunakan satu jenis
pisang. Pada penelitian ini digunakan jenis luka bakar derajat II dalam yang
berbeda dari penelitian sebelumnya yang menggunakan luka sayat.
Penelitian ini membandingkan dua jenis pisang yaitu pisang kepok dan
ambon. Dengan demikian, penelitian ini diberi judul: Efektivitas getah
kepok (Musa balbisiana) pada penyembuhan luka bakar mencit (Mus
musculus).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peranan getah batang semu pisang ambon (Musa acuminata)
dangetah batang semu pisang kepok (Musa balbisiana) terhadap proses
penyembuhan luka bakar pada mencit (Mus musculus) ?
2. Manakah antara getah batang semu pisang ambon (Musa acuminata) dan
getah batang semu pisang kepok (Musa balbisiana) yang lebih cepat
dalam memperkecil panjang luka bakar pada mencit (Mus musculus) ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui peranan getah batang semu pisang ambon (Musa
acuminata) dan getah batang semu pisang kepok (Musa balbisiana)
dalam proses penyembuhan luka bakar pada mencit (Mus musculus).
2. Mengetahui antara getah batang semu pisang ambon (Musa acuminata)
dan getah batang semu pisang kepok (Musa balbisiana) yang lebih cepat
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
a) Peneliti dapat memperdalam pengetahuannya mengenai manfaat
tumbuhan bagi pengobatan khususnya manfaat getah batang semu
pisang bagi penyembuhan luka bakar.
b) Peneliti dapat memperluas pengetahuannya mengenai alternatif
pengobatan luka bakar yang mudah diperoleh dan efisien
c) Peneliti dapat memperdalam pengetahuannya mengenai kandungan
fitokimia pada getah batang semu pisang terutama pisang kepok
(Musa balbisiana) dan pisang ambon (Musa acuminate).
2. Bagi Pendidikan
a) Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada Guru untuk
mengaplikasikan penelitian ilmiah khususnya pada materi sistem
ekskresi, KI 3; KD 3.9 dan 4.10 untuk SMA kelas XI.
b) Penelitian ini memberikan pengetahuan mengenai gangguan pada
sistem ekskresi khususnya kulit sehingga siswa dapat dengan
mudah mendalami bagian-bagian kulit berdasarkan hasil diskusi
kelompok.
3. Bagi Masyarakat
a) Memberikan informasi mengenai alternatif penyembuhan luka
bakar dengan bahan yang mudah diperoleh dan efisien
b) Memberikan informasi mengenai manfaat getah batang semu
6 BAB II
DASAR TEORI
A. Pisang
Ahli botani asal Rusia, Nikolai Ivanovich Vavilov, berdasarkan
ekspedisinya menyimpulkan tanaman pisang berasal dari daerah Indo Cina,
Malaysia, Filipina dan Indonesia (Suprapti, 2005). Pisang memiliki beberapa
jenis antara lain Pisang ambon (Musa acuminata), pisang kepok (Musa
balbisiana) dan pisang raja (Musa sapientum). Buah pisang tersusun dalam
tandan dengan kelompok-kelompok yang tersusun menjari disebut sisir.
Hampir semua buah pisang memiliki kulit berwarna kuning ketika matang,
meskipun ada beberapa yang berwarna jingga, merah, ungu, atau bahkan
hampir hitam. Menurut Oputu (2012), buah pisang memiliki banyak manfaat
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, antara lain sebagai bahan pangan
yang mengandung karbohidrat dan mineral, terutama kalium. Pada batang
pisang dimanfaatkan sebagai pakan ternak, campuran pupuk dan beberapa
masyarakat memanfaatkan batang pisang untuk diolah sebagai masakan
sehari-hari.
1. Klasifikasi
Menurut Tjitrosoepomo (2013) pisang dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Class : Monocotyledoneae
Ordo : Musales
Family : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musa sp.
2. Morfologi
Tanaman pisang memiliki morfologi
yang dapat dilihat yaitu akar, batang, buah
dan daun. Akar berpangkal pada umbi
batang. Pada tanaman yang memiliki umbi
batang, pelepah daun akan tumbuh
berimpitan saling melekat. Pelepah daun
yang berlekatan ini terlihat seperti batang.
Struktur seperti ini disebut dengan batang
semu misalnya pada pisang (Musa
paradisiaca) dan jenis-jenis Zingiberaceae
(Rosanti, 2013). Batang pisang sebenarnya terletak dalam tanah berupa
umbi batang. Pada bagian atas umbi batang terdapat bagian yang
menghasilkan daun dan pada suatu saat akan tumbuh bunga pisang
(jantung).
Bagian yang berdiri tegak di dalam tanah dan biasanya dianggap
sebagai batang adalah batang semu. Batang semu ini terbentuk dari batang
Gambar 2.1. Pisang
daun panjang yang saling menelengkup dan menutupi dengan kuat dan
kompak sehingga dapat berdiri tegak seperti batang tanaman. Tinggi
batang semu ini berkisar 3,5-7,5 meter tergantung jenisnya (Oputu, 2012).
Batang pohon pisang ambon memiliki senyawa kimia di antaranya
saponin, antrakuinon, kuinon yang dapat menghilangkan rasa sakit,
merangsang pembentukan sel-sel baru pada kulit (Prasetyo, 2010).
Daun pisang letaknya tersebar, helaian daun berbentuk lanset
memanjang. Pada bagian bawahnya berlilin. Daun ini diperkuat oleh
tangkai daun yang panjangnya antara 30-40 cm. Daun pisang mudah sekali
robek atau terkoyak oleh hembusan angin yang keras karena tidak
mempunyai tulang-tulang pinggir yang menguatkan lembaran daun. Bunga
berkelamin satu, berumah satu dalam tandan (Oputu, 2012).
Bunga tersusun dalam 2 baris melintang. Bunga betina berada di
bawah bunga jantan (jika ada). Benang sari 5 buah pada betina tidak
sempurna, bakal buah persegi, sedang pada bunga jantan tidak ada. Buah
akan tumbuh setelah keluarnya bunga dan akan terbentuk sisir pertama,
kemudian memanjang lagi dan terbentuk sisir kedua, ketiga dan
seterusnya. Jantung pisang perlu dihilangkan sebab sudah tidak
menghasilkan sisir lagi (Oputu, 2012).
3. Getah Pisang
Sekumpulan sel atau sel dalam suatu jaringan, mempunyai bentuk
biasanya disebut sebagai “latices” atau lateks, yang merupakan cairan
yang berwarna putih seperti susu. Saluran getah biasanya disebut sel-sel
atau jaringan lacticifer (lac= susu). Saluran getah terbagi menjadi 2
golongan yaitu: laticiferous vessel (buluh getah) dan laticiferous cells (sel
getah), familia Musaceae termasuk ke dalam golongan buluh getah.
Bagian dalam saluran getah ini terdapat getah atau latices. Zat-zat yang
terkandung dalam cairan getah dapat berupa zat-zat karbohidrat,
asam-asam organik, garam-garam, alkaloid, lemak, tanin, lendir, enzim, damar
dan lain-lain. Pada familia Musaceae dihasilkan tanin (Sutrian, 2011).
Gambar 2.2 A. getah pisang kepok B. getah pisang ambon
Sumber: dokumen pribadi
Warna getah tidak selalu jernih atau seperti susu, tergantung pada
zat yang dikandungnya sehingga dapat berwarna coklat, merah muda
ataupun kekuning-kuningan. Getah ini akan segera mengalir keluar dari
saluran getah apabila saluran getah terluka. Hal ini dikarenakan sel-sel
saluran getah itu terisi oleh cairan getahnya dan bersifat turgescent
(Sutrian, 2011).
Fungsi getah bagi tanaman itu sendiri belum dapat diketahui
dengan pasti, getah pada tanaman memiliki beberapa manfaat seperti: obat
luka bakar (getah pisang, getah pepaya dll), obat luka sayatan (getah
pisang, getah pepaya, getah pohon jarak dll), bahan dasar pembuatan karet
(getah pohon karet), bahan dasar pembuatan minyak urut (getah pohon
jarak), bahan dasar gula (getah pohon aren) serta bahan pelarut
mengencerkan cat minyak (getah pohon pinus).
4. Manfaat dan Kandungan Kimia Batang Pisang
Batang semu pisang memiliki beberapa manfaat, antara lain: dapat
digunakan sebagai tali, pupuk dan pakan ternak sementara ares (empulur
pisang) digunakan sebagai obat luka, penawar racun, bisa ular, pupuk dan
pakan ternak (Suprapti, 2005). Getah pisang mengandung beberapa jenis
fitokimia yaitu saponin, antrakuinon, dan kuinon yang dapat berfungsi
sebagai antibiotik dan penghilang rasa sakit. Selain itu, di dalam getah
pisang juga terdapat kandungan lektin yang berfungsi untuk menstimulasi
pertumbuhan sel kulit. Kandungan-kandungan tersebut dapat membunuh
bakteri agar tidak dapat masuk pada bagian tubuh kita yang sedang
mengalami luka (Budi dalam Surahman Agus dkk., 2009).
Saponin terdapat dalam getah batang pisang dalam jumlah yang
lebih banyak dibandingkan flavonoid dan tannin. Saponin diketahui
mempunyai efek anti mikroba, menghambat pertanaman jamur dan
luka, senyawa ini berperan dalam meningkatkan pembentukan pembuluh
darah baru (angiogenesis) pada luka sehingga suplai oksigen dan nutrisi
menjadi lebih optimal. Selain itu, saponin juga berfungsi sebagai antibiotik
sehingga dapat mengurangi resiko luka terkontaminasi oleh bakteri
(Perdana, 2013).
Flavonoid banyak diteliti karena manfaatnya bagi kesehatan. Setiap
tanaman biasanya menghasilkan flavonoid yang berbeda. Manfaat
flavonoid salah satunya untuk membentengi tubuh dari serangan
mikroorganisme. Selain itu juga memiliki fungsi untuk memblokade
terbentuknya prostaglandin penyebab nyeri, menstimulasi sel darah putih,
serta meningkatkan daya serang terhadap kuman (Perdana, 2013).
Getah bonggol pisang bersifat mendinginkan. Zat tanin pada getah
batang semu pisang bersifat antiseptik (Budi dalam Surahman Agus dkk.,
2009). Tanin merupakan senyawa polifenol dari kelompok flavonoid.
Tanin yang terkandung dalam tanaman menyebabkan timbulnya rasa
sepet. Senyawa ini berfungsi sebagai antioksidan kuat, antiperadangan,
antikanker (anticarcinogenic), mencegah pertumbuhan mikroorganisme.
Sifat tanin sebagai astringen dapat dimanfaatkan sebagai antidiare,
menghentikan perdarahan dan mencegah peradangan terutama pada
mukosa mulut, serta digunakan sebagai antidotum pada keracunan logam
berat dan alkaloid. Tanin juga digunakan sebagai antiseptik karena adanya
pisang juga terdapat kandungan lektin yang berfungsi untuk menstimulasi
pertumbuhan sel kulit (Fitriyah, 2011).
B. Luka bakar
Luka bakar merupakan kerusakan
atau kehilangan jaringan yang disebabkan
oleh kontak kulit dengan sumber yang
sangat tinggi misalnya; api, air panas,
bahan kimia, listrik, dan radiasi atau suhu
yang sangat rendah (Moenadjat dalam
Sumoza dkk., 2014).
1) Penyebab terjadinya luka bakar
a) Luka bakar suhu tinggi (thermal
burn) disebabkan oleh kobaran api, kontak dengan benda panas, uap
yang mudah terbakar yang membakar dan menyebabkan kilatan atau
ledakan, uap panas, atau cairan panas.
b) Luka bakar bahan kimia (chemical burn) disebabkan oleh agen-agen
kimiawi yang dapat menyebabkan kerusakan dan kematian jaringan jika
kontak dengan kulit. Tiga jenis agen kimiawi yaitu: asam, alkali dan
senyawa-senyawa organik, menyebabkan sebagian besar luka bakar
kimiawi.
c) Luka bakar sengatan listrik (electrical burn). Tingkat keparahan cedera
akibat kontak dengan aliran listrik bergantung pada jenis aliran listrik Gambar 2.3. Luka Bakar
(searah DC atau bolak-balik (AC), voltase, area tubuh yang terpajan dan
lamanya kontak (Thygerson, 2011).
d) Luka bakar radiasi (radiasi injury) luka bakar radiasi disebabkan karena
terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe luka bakar radiasi ini sering
disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk keperluan terapeutik
dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari
yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi
(Moenadjat dalam Isrofah, 2013).
2) Klasifikasi Luka Bakar Menurut Kedalaman
Klasifikasi luka bakar menurut kedalamannya dibagi menjadi:
a) Luka bakar derajat I, kerusakan terjadi hanya pada lapisan epidermis
dan biasanya tidak merasakan nyeri karena bagian ujung–ujung syaraf
sensorik teriritasi, penyembuhannya terjadi secara spontan dalam
waktu 5-10 hari (Brunicardi dalam Isrofah, 2013).
b) Luka bakar derajat II, kerusakan terjadi pada seluruh lapisan
epidermis dan sebagai lapisan dermis, berupa reaksi inflamasi disertai
proses eksudasi, terdapat pembentukan scar dan nyeri karena
ujung-ujung syaraf sensorik teriritasi. Dasar luka berwarna merah atau pucat
(Moenadjat dalam Isrofah, 2013). Luka bakar derajat II terbagi
menjadi dua jenis yaitu:
Kerusakan akibat luka bakar mengenai bagian superficial dari
dermis, organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea masih utuh, bula (sebuah jaringan yang tumbuh
abnormal menonjol melingkar yang berisi cairan serosa berisi
dermis) mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera, dan
luka bakar pada mulanya tampak seperti luka bakar derajat I dan
mungkin terdiagnosa sebagai derajat II superficial setelah 12-24
jam. Ketika jaringan granular terbentuk, luka tampak berwarna
merah muda dan basah. Jika infeksi dicegah maka penyembuhan
akan terjadi secara spontan kurang dari 3 minggu.
2. Derajat II dalam (deep)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis, organ-organ
kulit seperti folikel-folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea sebagian besar masih utuh. Juga dijumpai bula, akan
tetapi permukaan luka biasanya tampak berwarna merah muda
dan putih segera setelah terjadi cedera karena variasi suplai darah
dermis (daerah yang berwarna putih mengindikasikan aliran darah
yang sedikit atau tidak ada sama sekali, daerah yang berwarna
merah muda mengindikasikan masih ada beberapa aliran darah).
Jika infeksi dicegah, luka bakar akan sembuh dalam 3-9 minggu
(Brunicardi dalam Isrofah, 2013).
Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dermis dan lapisan lebih
dalam, tidak dijumpai bula, apendises kulit rusak, kulit yang terbakar
berwarna putih dan pucat. Terjadi koagulasi protein pada epidermis
yang dikenal sebagai scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang
sensasi, oleh karena ujung–ujung syaraf sensorik mengalami
kerusakan atau kematian.
d) Luka bakar derajat IV (full thickness)
Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai lapisan otot, tendon dan
tulang dengan adanya kerusakan yang luas. Kerusakan meliputi
seluruh dermis, organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar
sebasea dan kelenjar keringat mengalami kerusakan, kulit yang
terbakar berwarna abu-abu dan pucat, terletak lebih rendah
dibandingkan kulit sekitar, terjadi koagulasi protein pada epidemis
dan dermis yang dikenal scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang
sensori karena ujung-ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan dan
kematian. Penyembuhannya terjadi lebih lama karena ada proses
epitelisasi spontan dan dari dasar luka (Moenadjat dalam Isrofah,
2013).
3) Proses Penyembuhan Luka
Pembagian fase penyembuhan luka pada respon normal mamalia yang
mengalami defek akibat kerusakan integritas kulit yang terjadi adalah fase
a. Fase inflamasi
Pada fase inflamasi terjadi proses hemostasis yang cepat dan
dimulainya suatu siklus regenerasi jaringan (Lorenz dkk. dalam
Hidayat, 2013). Fase inflamasi dimulai segera setelah cedera sampai
hari ke-5 pasca cedera. Tujuan utama fase ini adalah hemostasis,
hilangnya jaringan yang mati dan pencegahan kolonisasi maupun
infeksi oleh agen mikrobial patogen (Gurtner dalam Hidayat, 2013).
Komponen jaringan yang mengalami cedera, meliputi kolagen
fibril dan faktor jaringan, akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik
dan mencegah perdarahan lebih lanjut pada fase ini. Pembuluh darah
yang cedera mengakibatkan termobilisasinya berbagai elemen darah ke
lokasi luka. Agregasi platelet akan membentuk plak pada pembuluh
darah yang cedera. Netrofil pada umumnya akan ditemukan pada 2
hari pertama dan berperan penting untuk memfagositosis jaringan mati
dan mencegah infeksi. Keberadaan netrofil yang berkepanjangan
merupakan penyebab utama terjadinya konversi dari luka akut menjadi
luka kronis yang tak kunjung sembuh (Regan dkk. dalam Hidayat,
2013). Makrofag juga berperan utama memproduksi berbagai hormon
pertanaman yang dibutuhkan dalam produksi matriks ekstraseluler
oleh fibroblas dan pembentukan neovaskularisasi. Keberadaan
makrofag oleh karenanya sangat penting dalam fase penyembuhan ini.
Sel punca mesenkim akan bermigrasi ke luka, membentuk sel baru
pembuluh darah, maupun jaringan lain. Fibroblas akan bermigrasi ke
luka dan mulai berproliferasi menghasilkan matriks ekstraseluler. Sel
endotel pembuluh darah di daerah sekitar luka akan berproliferasi
membentuk kapiler baru untuk mencapai daerah luka. Pada akhir fase
inflamasi, mulai terbentuk jaringan granulasi yang berwarna
kemerahan, lunak dan granuler. Jaringan granulasi adalah suatu
jaringan kaya vaskuler, berumur pendek, kaya fibroblas, kapiler dan
sel radang tetapi tidak mengandung ujung saraf (Anderson dalam
Hidayat, 2013).
b. Fase proliferasi (fibroplasi, regenerasi)
Fase proliferasi berlangsung mulai hari ke-4 hingga hari ke-21
pasca cedera. Keratinosit yang berada pada tepi luka sesungguhnya
telah mulai bekerja beberapa jam pasca cedera, menginduksi terjadinya
re-epitelialisasi. Pada fase ini matriks fibrin yang didominasi oleh
platelet dan makrofag secara gradual digantikan oleh jaringan granular
yang tersusun dari kumpulan fibroblas, makrofag dan sel endotel yang
membentuk matriks ekstraseluler dan neovaskular. Faktor setempat
seperti hormon pertanaman, sitokin, hormon, nutrisi, pH dan tekanan
oksigen sekitar menjadi perantara dalam proses diferensiasi sel punca
(Anderson dalam Hidayat, 2013). Keratinosit juga bermigrasi secara
aktif karena terbentuknya filamen aktin di dalam sitoplasmakeratinosit.
Keratinosit bermigrasi akibat interaksinya dengan protein sekretori
integrinspesifik di antara matriks temporer. Matriks temporer ini akan
digantikan secara bertahap oleh jaringan granular yang kaya akan
fibroblas, makrofag dan sel endotel. Sel tersebut akan membentuk
matriks ekstraseluler dan pembuluh darah baru.
Jaringan granular umumnya mulai dibentuk pada hari ke-4 setelah
cedera (Lorenz and Longaker dalam Hidayat, 2013). Fibroblas
merupakan sel utama selama fase ini dimana ia menyediakan kerangka
untuk migrasi keratinosit. Makrofag juga akan menghasilkan hormon
pertanaman seperti PDGF dan TGF-β yang akan menginduksi
fibroblas untuk berproliferasi, migrasi dan membentuk matriks
ekstraseluler. Sel endotel akan membentuk pembuluh darah baru
dengan bantuan protein sekretori VEGF, FGFdan TSP-1. Pembentukan
pembuluh darah baru dan jaringan granulasi merupakan tanda penting
fase proliferasi karena ketiadaannya pembuluh darah baru dan atau
jaringan granular merupakan tanda dari gangguan penyembuhan luka.
Setelah kolagen mulai menggantikan matriks temporer, fase
proliferasi mulai berhenti dan fase remodeling mulai berjalan. Hal
yang menarik dari fase proliferasi ini adalah bahwa pada suatu titik
tertentu, seluruh proses yang telah dijabarkan di atas harus dihentikan.
Fibroblas akan segera menghilang segera setelah matriks kolagen
mengisi rongga (kavitas) luka dan pembentukan neovaskular akan
menurun melalui proses apoptosis. Kegagalan regulasi pada tahap
kelainan fibrosis seperti jaringan parut hipertrofik (Gurtner dalam
Hidayat, 2013).
c. Fase maturasi (remodeling)
Fase ini, jaringan baru yang terbentuk akan disusun sedemikian
rupa seperti jaringan asalnya. Fase maturasi ini berlangsung mulai hari
ke-21 hingga sekitar 1 tahun. Perubahan yang terjadi adalah
penurunan kepadatan sel dan vaskularisasi, pembuangan matriks
temporer yang berlebihan dan penataan serat kolagen sepanjang garis
luka untuk meningkatkan kekuatan jaringan baru. Fase akhir
penyembuhan luka ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun
(Gurtner dalam Hidayat, 2013).
Kolagen yang berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenase dan
kemudian diserap. Fase ini berupa jaringan parut yang pucat, tipis,
lemas dan mudah digerakkan dari dasarnya (Bisono dan Pusponegoro
dalam Hidayat, 2013). Kekuatan jaringan parut bekas luka akan
semakin meningkat akibat berubahnya tipe kolagen dan terjadinya
cross linking jaringan kolagen. Pada akhir fase remodeling, jaringan
baru hanya akan mencapai 70% kekuatan jaringan awal (Gurtner
C. Mencit (Mus musculus)
Mencit (Mus musculus) termasuk mamalia pengerat (rodensia) yang
cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi
genetiknya cukup besar serta sifat anatomisnya dan fisiologisnya
terkarakteristik dengan baik. Mencit sering digunakan sebagai hewan uji coba
karena memiliki susunan genetik yang hampir sama dengan manusia, serta
perkembangbiakan mencit yang cukup cepat dan perawatan mencit yang
cukup mudah sehingga memudahkan peneliti melakukan uji coba pada mencit.
Mencit yang sering digunakan dalam penelitian di laboratorium merupakan
hasil perkawinan tikus putih sekerabat (inbreed) maupun tidak mempunyai
hubungan kekerabatan (outbreed). Dari hasil perkawinan sampai generasi 20
akan dihasilkan strain murni dari mencit. Menurut Mangkoewidjojo dan Smith
dalam Sari (2016) klasifikasi mencit adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Mus
Gambar 2.4 Mencit (Mus musculus)
Sumber: dokumen pribadi
Mencit (Mus musculus) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,
berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang
untuk pemeliharaan mencit harus senantiasa bersih, kering dan jauh dari
kebisingan. Suhu ruang pemeliharaan juga harus dijaga kisarannya antara
18-19ºC serta kelembaban udara antara 30-70%. Mencit betina dewasa
dengan umur 35-60 hari memiliki berat badan 18-35 g. Lama hidup mencit
berkisar 1-2 tahun, namun dapat mencapai usia 3 tahun. Masa reproduksi
mencit betina berlangsung 1,5 tahun. Mencit betina ataupun jantan dapat
dikawinkan pada umur 8 minggu. Lama masa bunting berkisar 19-20 hari.
Jumlah anak mencit rata-rata 6-15 ekor dengan berat lahir antara 0,5-1,5 g.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka mencit sering digunakan dalam.
Beberapa keuntungan menggunakan mencit sebagai hewan percobaan
yaitu daur estrusnya teratur dan dapat dideteksi, periode bunting yang
relatif singkat, dan mempunyai anak yang banyak serta terdapat
D. Penelitian Lain yang Relevan
Beberapa penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini yaitu sebagai
berikut :
1) Penelitian Sundari (2015) yang berjudul “Pengaruh Getah Batang
Pisang Kepok (Musa balbisiana) Terhadap Waktu Penyembuhan Luka
Sayat Pada Mencit (Mus musculus)” menyimpulkan bahwa terdapat
pengaruh pemberian getah batang pisang kepok (Musa balbisiana)
terhadap kecepatan waktu penyembuhan luka sayat pada mencit (Mus
musculus). Konsentrasi getah batang pisang kepok yang terbaik dalam
penelitian ini diperoleh dari perlakuan 100%. Kesimpulan penelitian
ini dijadikan dasar sebagai pemilihan pisang kepok sebagai perlakuan
dalam alternatif penyembuhan luka bakar pada mencit (Mus musculus).
2) Penelitian Balqis dkk. (2014) yang berjudul “Gambaran Histopatologis
Penyembuhan Luka Bakar Menggunakan Daun Kedondong (Spondias
dulcis F.) Dan Minyak Kelapa Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)”
menyimpulkan bahwa pemberian daun kedondong dan minyak kelapa
dapat memperbaiki gambaran histopatologis luka bakar pada tikus
putih sehingga lebih efektif dalam mempercepat proses penyembuhan
luka bakar. Penelitian ini digunakan sebagai dasar untuk membuat luka
bakar derajat IIb pada mencit (Mus musculus).
3) Penelitian Lino dkk. (2011) yang berjudul “Evaluation of post-surgical
healing in rats using a topical preparation based on extract of Musa
dengan obat yang digunakan yaitu anti-inflammatori dan senyawa
tanin sangat berperan penting dalam proses penyembuhan luka pada
kulit yang dapat digunakan oleh hewan maupun manusia. Kesimpulan
penelitian ini digunakan sebagai dasar untuk metode pengukuran
panjang luka bakar dengan menggunakan jangka sorong digital.
E. Kerangka Berpikir
Luka merupakan rusaknya komponen atau satuan jaringan, yang
menyebabkan substansi jaringan rusak atau hilang (Umar dalam Lilis, 2015).
Luka bakar merupakan kerusakan dan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan oleh kontak kulit dengan suhu yang lebih tinggi misalnya; api, air
panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi (Moenadjat dalam Sumoza dkk., 2014).
Pengobatan secara modern pada umumnya menggunakan kecanggihan
teknologi dan obat-obatan yang diproses secara modern, sedangkan
pengobatan secara tradisional cenderung menggunakan bahan-bahan alami
disekitar kita baik yang diperoleh dari tanaman maupun hewan. Pengobatan
secara tradisional yang menggunakan bahan-bahan dari lingkungan sekitar
memiliki beberapa keuntungan, salah satunya penanganan pada luka lebih
cepat. Sebagai contoh penutupan luka gores (lacerated wound) dengan daun
sirih atau daun binahong yang ada di sekitar. Begitu pula penanganan pada
luka bakar (combustio) dengan luas luka yang kecil dapat ditangani dengan
Beberapa penelitian yang telah dilakukan adalah pemanfaatan getah
pisang kepok untuk merangsang pertumbuhan sel-sel baru pada luka bakar,
sebagai antibiotik, pembentukan pembuluh darah baru, penyingkat fase
peradangan, pencegah infeksi dan pembentuk jaringan ikat kolagen. Penelitian
lainnya mengenai aktivitas sediaan gel ekstrak batang semu pisang ambon
memiliki aktivitas mempercepat proses penyembuhan luka pada mencit
dengan mempercepat re-epitelisasi, mempercepat proses neokapilerisasi,
meningkatkan pembentukan jaringan ikat pada kulit sehingga dapat digunakan
sebagai alternatif untuk penyembuhan luka pada mencit.
Getah batang semu pisang mengandung beberapa jenis fitokimia yaitu
saponin dengan kandungan yang paling banyak, kemudian flavonoid dan tanin
(Harborne, 1984). Manfaat flavonoid salah satunya yaitu membentengi tubuh
dari serangan mikroorganisme dan menstimulasi sel darah putih (Perdana,
2013). Tanin dalam tanaman menyebabkan timbulnya rasa sepet selain itu
tanin berperan dalam mencegah pertumbuhan mikroba (Perdana, 2013).
Saponin diketahui mempunyai efek sebagai anti mikroba dan menghambat
jamur (Perdana, 2013).
Getah atau “latices” atau lateks, merupakan cairan yang biasanya
berwarna putih seperti susu. Zat-zat yang terkandung dalam cairan getah dapat
berupa zat-zat karbohidrat, asam-asam organik, garam-garam, alkaloid, lemak,
tanin, lendir, enzim, damar dan lain-lain. Pada familia Musaceae dihasilkan
tanin. Tentang warna getah tidak selamanya jernih atau seperti susu,
Gambar 2.5 Diagram alir kerangka berfikir
F. Hipotesis
1. Getah batang semu pisang ambon (Musa acuminata) dan getah batang
semu pisang kepok (Musa balbisiana) berperan terhadap proses
penyembuhan luka bakar mencit (Mus musculus) karena getah pisang
mempercepat pengecilan panjang luka, mempercepat perubahan warna
luka dan mempercepat pertumbuhan bulu mencit.
2. Getah batang pisang kepok (Musa balbisiana) lebih cepat memperkecil
panjang luka bakar pada mencit (Mus musculus) dibandingkan getah
27 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan melakukan
percobaan perbandingan efektivitas dari getah batang semu pisang ambon
(Musa acuminata) dan getah batang semu pisang kepok (Musa balbisiana)
dalam pengecilan panjang luka bakar pada mencit (Mus musculus). Penelitian
ini bersifat kuantitatif dan deskriptif.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Getah batang semu pisang ambon (Musa
acuminata) dan getah batang semu pisang
kepok (Musa balbisiana).
2. Variabel terikat : Pengecilan panjang luka bakar pada
mencit (Mus musculus)
3. Variabel kendali :
a) Galur mencit Swiss Webster, berjenis kelamin jantan, berumur 3
bulan dan memiliki berat badan 250 – 300 g.
b) Luka bakar dengan luas luka sebesar 1,5 cm dan dengan derajat
luka II dalam
c) Luka bakar dibuat pada punggung mencit
e) Frekuensi pemberian obat sebanyak 3 kali sehari.
f) Waktu pengamatan 7 hari untuk panjang luka dan 21 hari untuk
pengamatan tumbuhnya bulu mencit
g) Dosis obat 3 ml
C. Batasan Penelitian
Batasan penelitian ini adalah :
1. Pisang yang digunakan ialah pisang ambon dan pisang kepok. Pisang yang
digunakan adalah pisang yang masih muda pada bagian batang semu.
2. Penelitian ini menggunakan hewan uji mencit berkelamin jantan, usia 3
bulan.
3. Jenis luka bakar yaitu panas (termal) dengan derajat II dalam, luka dibuat
menggunakan skalpel panas, luka dibuat di area punggung mencit.
4. Penelitian ini hanya mengukur luas penyembuhan luka bakar pada mencit
selama 21 hari pengamatan deskripsi mengenai perubahan warna luka dan
tumbuhnya bulu.
5. Pemberian semua perlakuan dilakukan sehari tiga kali.
D. Alat dan Bahan
1. Alat
Peralatan yang menunjang penelitian adalah skalpel, bunsen,
diseksi, pinset, pisau bedah, klem, korek api, kapas, cotton bud steril,
baskom, kawat, syringe dan pisau.
2. Bahan
Getah batang semu pisang ambon, getah batang semu pisang kepok,
bioplacenton, akuades steril, B-2, air mineral, alkohol, dan mencit berjenis
kelamin jantan, berusia 3 bulan dan berat badan berkisar 250 – 300 g.
E. Cara Kerja
Penelitian akan dilaksanakan di Jalan Kanigoro 201A, Pomahan,
Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta. Waktu penelitian dilaksanakan
pada tanggal 10-31 November 2016.
1. Tahap Persiapan
a. Tahap Persiapan Hewan percobaan
Pada tahap ini dilakukan aklimatisasi terhadap hewan percobaan
yaitu mencit (Mus musculus). Hewan diperoleh dari Laboratorium
Imono, Fakultas farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Mencit dipilih yang berjenis kelamin jantan sebanyak 12 ekor. Mencit
diadaptasi selama 5 hari dengan pemberian pakan B-2 dan air mineral
untuk minum.
b. Tahap Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat yang disterilisasi dalam penelitian ini meliputi cotton bud,
gelas Erlenmeyer, sedangkan bahan yang akan disterilisasi ialah
c. Tahap Preparasi Getah Batang Semu Pisang Ambon dan Getah
Batang Semu Pisang Kepok
Getah batang semu pisang ambon dan kepok diambil di daerah
Pomahan, Maguwoharjo, Yogyakarta. Getah pisang dipilih pada
bagian batang semu pisang yang masih muda, batang semu diiris
menggunakan pisau steril. Getah pisang yang mengalir dari bagian
yang diiris tersebut ditampung menggunakan erlenmeyer steril yang
dipegang dengan tangan (gambar 3.1.a). Saat getah tidak lagi keluar,
tangan yang memegang erlenmeyer tersebut sembari menekan bagian
batang semu pisang di area lain agar getah keluar kembali. Getah
disimpan di dalam kulkas selama 21 hari.
2. Tahap Pembuatan Luka Bakar Termal (Panas)
Peneliti memilih punggung mencit sebagai bagian tubuh yang ingin
dikondisikan mengalami luka bakar. Pemilihan bagian punggung mencit
yaitu: lokasi mudah diamati, lokasi mudah untuk dilukai sepanjang 15 mm
dan bagian punggung merupakan bagian yang banyak terdapat jaringan
dermis. Sebelum punggung mencit dikondisikan mengalami luka bakar,
terlebih dahulu bulu di sekitar punggung dicukur (gambar3.1.b). Bagian
punggung mencit yang telah dicukur tersebut, kemudian diolesi alkohol
70% kemudian diolesi eter, diamkan selama 2 menit. Setelah proses
anestesi dilakukan, peneliti memanaskan skalpel di atas Bunsen
pada bagian tubuh mencit yang telah dianestesi tersebut (gambar.3.1.d).
Penempelan skalpel dilakukan kurang lebih selama 15 detik membentuk
luka bakar derajat II dalam sepanjang 15 mm (gambar3.1.e).
3. Tahap Perawatan Mencit
Perawatan yang dilakukan pada mencit (Mus musculus) yang telah
dikondisikan mengalami luka bakar adalah sebagai berikut:
a. Mencit diberi pakan B-2 sebanyak 5 g per hari.
b. Mencit disediakan air di dalam kandang untuk minum mencit.
c. Pada mencit yang diberi perlakuan getah batang semu pisang, peneliti
mengoleskan getah batang semu pisang pada luka bakar mencit
menggunakan cotton buds steril dengan takaran 3 ml (pengukuran
menggunakan syringe). Pengolesan dilakukan sebanyak 3x sehari.
d. Pada mencit yang diberi perlakuan kontrol positif, peneliti
mengoleskan bioplacenton pada luka bakar mencit. Jumlah takaran 3
ml menggunakan syringe. Pengolesan juga dilakukan sebanyak 3x
sehari.
e. Pada mencit yang diberi perlakuan kontrol negatif, peneliti
mengoleskan akuades steril dengan takaran 3ml. Pengolesan juga
dilakukan sebanyak 3x sehari.
f. Perawatan luka bakar pada mencit dilakukan selama kurun waktu 7
bulu di sekitar area luka dan perubahan warna pada luka dilakukan
selama 21 hari.
4. Tahap Pengambilan Data
Data diambil setiap hari dengan mengukur panjang luka bakar pada
mencit menggunakan jangka sorong. Jangka sorong yang digunakan ialah
jangka sorong digital sehingga saat mencit akan diukur panjang luka,
jangka sorong cukup ditempel pada bagian punggung mencit lalu geser
scroll bawah sepanjang luka pada mencit, layar pada jangka sorong akan
memperlihatkan angka panjang dari luka tersebut. Pengamatan deskripsi
berupa pengamatan perubahan warna luka dan pertumbuhan bulu pada
A
B
A
C
A
D
A
E
A
Gambar. 3.1. Tahap-tahap penelitian: a. Pengambilan getah batang semu pisang b. Pencukuran bulu
mencit c. Pemanasan scalpel di atas Bunsen d. Penempelan scalpel panas pada punggung mencit e. Pemberian obat pada area luka f. Pengukuran panjang luka dengan jangka sorong digital
F
F. Analisis Data
Data yang didapat ialah data berupa kuantitatif dan deskripsi. Data
kuantitatif yaitu data berupa angka yang diperoleh dari pengukuran panjang
luka bakar pada mencit menggunakan jangka sorong. Data angka panjang luka
bakar akan ditampilkan dalam diagram garis. Data deskriptif yaitu berupa
penjelasan mengenai proses penyembuhan luka bakar yang dilihat dari
pertumbuhan bulu mencit pada area luka bakar dan warna luka pada area luka
bakar.
G. Pemanfaatan Dalam Pendidikan
Dengan adanya penelitian yang telah peneliti laksanakan, peneliti
berharap guru dapat mengaplikasikan penelitian ilmiah ini dalam
pembelajaran materi gangguan sistem ekskresi pada kulit sesuai KI 3; KD 3.9
dan 4.10 untuk SMA kelas XI di dalam kelas. Peneliti juga berharap penelitian
ini dapat merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam diskusi kelompok.
Diskusi kelompok yang dilakukan siswa ialah melakukan pengukuran panjang
luka bakar pada mencit selama 3 hari yang kemudian dipresentasikan. Sebagai
contoh, siswa berkelompok mendiskusikan soal yang terdapat pada lembar
35 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menyajikan data proses penyembuhan luka bakar yang
diidentifikasi melalui proses pengecilan panjang luka selama seminggu, serta
pengamatan pertumbuhan bulu dan perubahan warna luka pada mencit selama dua
minggu. Berikut ini grafik tentang rata-rata panjang luka yang diukur
menggunakan jangka sorong setiap harinya:
Gambar 4.1. Rata-rata panjang luka bakar (mm)
Keterangan: PA = Ambon, PK = Kepok, K+ = Kontrol Positif, K- = Kontrol Negatif.
A. Pengecilan Panjang Luka Bakar
balbisiana) lebih baik daripada perlakuan getah batang semu pisang ambon
(Musa acuminata). Perlakuan pisang kepok dapat lebih baik dibandingkan
pisang ambon hal ini dapat disebabkan beberapa faktor seperti:
1. Kondisi metabolisme dan kondisi psikologi mencit.
Psikologi mencit dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka bakar
karena saat mencit merasa kaget, ketakutan dan kesakitan dapat
menurunkan sistem metabolisme mencit itu sendiri sehingga keadaan ini
dapat mempengaruhi bagian-bagian tubuh mencit yang berperan dalam
proses penyembuhan luka bakar itu sendiri. Keadaan tubuh seperti
gemetaran serta kaki pada mencit sedikit mengalami kelemasan saat
dioleskan getah pisang beberapa kali yang menandakan bahwa
metabolisme mencit sedikit terganggu.
2. Kandungan fitokimia antara getah batang semu pisang
Faktor lain seperti kandungan fitokimia antara getah batang semu pisang
kepok dan pisang ambon tidak jauh berbeda. Hal yang menyebabkan
perbedaan ialah senyawa flavonoid yang dapat larut dalam air
mengakibatkan flavonoid pada pisang ambon mengalami pelarutan pada
air dikarenakan getah pisang ambon lebih encer daripada getah pisang
kepok, hal inilah yang menyebabkan perbedaan kandungan antara pisang
kepok dan pisang ambon. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Hananta, dkk dalam Ningsih dkk., 2013) menunjukkan konsentrasi getah
yang tinggi dapat mempercepat proses penyembuhan luka dan dapat
dkk, dapat diambil kesimpulan bahwa getah pisang yang kental lebih baik
daripada getah pisang yang encer atau bercampur dengan air, dengan kata
lain getah pisang kepok lebih kental dibandingkan getah pisang ambon.
Menurut Prasetyo (2010), bahwa batang pohon pisang ambon memiliki
senyawa kimia di antaranya saponin, antrakuinon, kuinon yang dapat
menghilangkan rasa sakit, merangsang pembentukan sel-sel baru pada
kulit. Kandungan lignin pada batang semu pisang ambon membantu
peresapan senyawa pada kulit sehingga dapat digunakan untuk mengobati
luka memar, luka bakar, luka bekas gigitan serangga dan sebagai
antiradang. Menurut Harborne (1984) senyawa flavonoid dapat larut dalam
air serta dapat diekskresikan dengan etanol 70%. Djulkarnain dalam
Sundari (2015) mengatakan bahwa getah batang semu pisang kepok
mengandung tanin dan saponin yang berfungsi sebagai antiseptik. Menurut
Sundari (2015), pisang kepok yang telah dilakukan uji skrinning fitokimia
menunjukkan bahwa pisang kepok mengandung senyawa saponin, lektin
dan antrakuinon.
3. Teknis pengambilan sampel getah batang semu pisang
Teknis pengambilan sampel getah batang semu pisang pengaruh terhadap
kualitas getah batang pisang. Pengambilan sampel getah batang semu
pisang ambon terkena air dari tetesan daun pisang, sehingga menyebabkan
kandungan getah yang saat diambil bercampur dengan air yang terkena
guncangan saat peneliti menekan batang semu pisang. Posisi getah batang
getah batang semu pisang kepok sedikit terkena air dan peneliti menekan
batang semu pisang tidak terlalu keras. Hal ini yang mempengaruhi
kandungan fitokimia dalam getah batang semu pisang sehingga getah
batang semu pisang kepok lebih baik kinerjanya dalam menyembuhkan
luka bakar.
Berdasarkan gambar 4.1 dapat dilihat bahwa perlakuan pisang ambon
mengalami sedikit kenaikan pada hari ke-4. Seharusnya proses pengecilan
panjang luka dari hari ke hari semakin mengecil, namun pada pisang ambon
tidak. Hal ini dapat dikarenakan faktor dari sistem imun tubuh mencit, faktor
psikologi mencit, serta kandungan getah pisang ambon yang tercampur
dengan air hujan. Selama penyimpanan di kulkas kandungan getah batang
semu pisang mengalami perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi pada
kandungan getah batang pisang kepok menjadi semakin kental sedangkan
getah batang pisang ambon terdapat dua lapisan yaitu getah dan air. Hal ini
terjadi karena senyawa flavonoid dapat larut dalam air. Flavonoid yang larut
dalam air dapat mengurangi kandungan flavonoid itu sendiri sehingga kinerja
Tabel. 4.1. Rata-rata panjang luka hari ke-
Perlakuan Panjang luka bakar (mm) hari ke-
1 2 3 4 5 6 7
Rata-rata PA 12,60 12,60 12,29 12,35 12,12 12,12 11,33 Rata-rata PK 10,62 10,62 10,24 9,92 9,61 9,18 9,05 Rata-rata K+ 10,71 10,71 10,52 10,33 9,75 9,30 9,26 Rata-rata K- 10,62 10,62 11,18 11,19 10,77 10,77 9,86
Pada tabel 4.1 terlihat bahwa kontrol negatif mengalami perubahan
pengecilan panjang luka bakar yang tidak sesuai, yang seharusnya panjang
luka mengalami pengecilan namun pada kontrol negatif pengecilan luka
terjadi peningkatan. Pada hari ke-3 dan ke-4 kontrol negatif mengalami
kenaikan panjang luka yang cukup besar, hari ke-5 mengalami penurunan
panjang luka, hari ke-6 mengalami peningkatan panjang luka kembali namun
tidak tinggi dan pada hari ke-7 mengalami penurunan panjang luka kembali.
Hal ini terjadi karena perlakuan kontrol negatif hanya menggunakan perlakuan
akuades steril yang dioleskan pada luka bakar mencit, sehingga sangat rentan
terkena bakteri.
Resiko infeksi dapat terjadi dari kandungan akuades steril yang tidak
mengandung bahan antiseptik. Kondisi luka yang mengalami infeksi dapat
semakin parah, hal ini ditandai dengan keluarnya nanah dan dapat berujung
pembusukan luka. Faktor dari dalam mencit juga berpengaruh dalam proses
penyembuhan luka bakar. Mencit yang hanya dibasuh dengan akuades steril
menyebabkan mencit merasa kesakitan. Hal ini ditandai dengan keluarnya air
menghambat proses penyembuhan luka. Hal ini dibuktikan dengan panjang
luka yang melebar. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
ialah:
1. Psikologis mencit, psikologis mencit yang baik dapat mempercepat proses
penyembuhan luka karena tersugesti tidak merasakan rasa sakit, ketakutan
dan tidak meninggalkan trauma akibat rasa sakit.
2. Kondisi tubuh, kondisi tubuh seperti system imun yang baik pastinya
dapat mencegah terjadinya hal-hal yang dapat berdampak buruk bagi
tubuh akibat terkena luka. Contohnya tubuh secara alamiah akan
membentengi diri dari serangan mikroorganisme yang dapat memicu
terjadinya infeksi pada luka.
3. Cara penangan pada luka, cara penanganan luka juga mempengaruhi
kesembuhan karena jika salah dalam menangani luka dapat berdampak
salah pada tubuh, contohnya saat terjadi luka bakar seharusnya
pertolongan pertama ialah mengaliri luka dengan air mengalir atau
menggunakan es batu. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah luka
terkontaminasi dari mikroorganisme dan mencegah terjadinya
pembengkakan.
Perlakuan bioplacenton lebih baik daripada perlakuan lainnya. Pengecilan
panjang luka bakar dengan perlakuan bioplacenton setiap hari mengalami
penurunan. Hal ini terjadi karena kandungan bioplacenton yang berfungsi
psikologis mencit. Mencit tidak merasakan kesakitan yang lama akibat luka
bakar. Hal ini terlihat jelas ketika pemberian bioplacenton kedua kalinya,
mencit lebih tenang dibandingkan dengan perlakuan lainnya yang merasa
kesakitan. Pada perlakuan getah pisang bersifat mendinginkan karena adanya
kandungan zat tanin, namun bioplacenton lebih dingin dibandingkan getah
pisang karena adanya ekstrak palacenta.
Penyembuhan luka memiliki tiga tahapan yaitu inflamasi, proliferasi dan
maturasi. Menurut Lorenz dkk. dalam Hidayat (2013), fase inflamasi suatu
proses hemostasis yang cepat dan dimulainya suatu siklus regenerasi jaringan.
Fase ini dimulai setelah cedera sampai hari ke-5 pasca cedera. Pada fase ini
terjadi peradangan, hal ini ditandai setelah mencit dilukai dan dioleskan obat,
mencit merasa kesakitan hal ini dibuktikan dengan jeritan mencit. Jeritan
mencit masih berlangsung saat dioleskan obat untuk kesekian kalinya hingga
beberapa hari. Namun pada hari ke-2 mencit dengan perlakuan bioplacenton
sudah tidak merasa takut maupun kesakitan. Hal ini terlihat saat mencit akan
diambil dari kandang untuk dioleskan obat kembali, mencit tidak sulit
ditangkap dan saat dioleskan obat kembali mencit tidak mengeluarkan air
kencing ataupun kotorannya. Hal ini dikarenakan bioplacenton mengandung
ekstrak plasenta 10%, Neomycin sulfat 0,5% dan jelly base, sehingga berefek
mendinginkan luka bakar dan mencit merasa nyaman dan tidak kesakitan.
Kandungan getah batang pisang kepok juga memiliki efek mendinginkan
karena kandungan saponin, namun efek ini tidak sedingin bioplacenton yang
tidak jauh berbeda dengan bioplacenton dalam mereda rasa sakit. Hal ini
dibuktikan pada hari ke-3 mencit tidak sulit ditangkap dan tidak mengeluarkan
kotoran maupun air kencingnnya saat akan dioleskan obat kembali.
Getah batang semu pisang juga dapat meredakan rasa sakit karena adanya
kandungan flavonoid, sehingga mencit tidak merasa kesakitan yang lama. Hal
ini senada dengan Perdana (2013), menyatakan bahwa flavonoid pada getah
batang semu pisang berfungsi pereda nyeri dan menstimulasi sel darah putih.
Hal berbeda terlihat pada mencit dengan perlakuan akuades steril, pada hari
ke-7 mencit masih susah untuk ditangkap dan masih mengeluarkan kotoran
dan air kencing saat akan dioleskan obat kembali. Hal ini terjadi karena
akuades steril tidak memiliki kandungan yang mampu mendinginkan maupun
meredakan rasa sakit pada mencit. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan
kandungan senyawa kimia pada masing-masing perlakuan.
Gurtner dalam Hidayat (2013) mengatakan bahwa tujuan utama fase ini
adalah hemostasis, hilangnya jaringan yang mati dan pencegahan kolonisasi
maupun infeksi oleh agen mikrobial patogen. Netrofil pada umumnya akan
ditemukan pada hari ke-2 dan berperan penting dalam memfagositosis
jaringan mati dan mencegah infeksi. Menurut Anderson dalam Hidayat
(2013), pada akhir fase inflamasi mulai terbentuk proses granulasi. Pada
penelitian ini proses granulasi terjadi pada hari ke-4 setelah terjadinya luka.
Area punggung mencit yang terkena luka mengalami pembentukan jaringan
granular yang ditandai dengan adanya warna kemerahan pada area luka seperti
Gambar 4.2. Jaringan granular
Jaringan granular adalah suatu jaringan kaya vaskuler, berumur pendek,
kaya fibroblas, kapiler dan sel radang tetapi tidak mengandung ujung saraf.
Menurut Singer dalam Isrofah (2013), pada fase ini terjadi re-epitelisasi yang
dimulai beberapa jam setelah terjadinya luka bakar. Menurut Kalangi dalam
Isrofah (2013), re-epitellisasi inilah yang mempercepat proses penyembuhan
luka karena re-epitellisasi diperlukan untuk pembentukan sel-sel kulit baru
yang mengalami kerusakan yang terkena luka bakar. Semakin cepat terjadi
reepitelisasi akan membuat struktur epidermis kulit mencit segera mencapai
keadaan normal contohnya mencit dengan perlakuan pisang kepok, mengalami
pertumbuhan bulu yang cepat. Pertumbuhan bulu ini menandakan bahwa
proses re-epitellisasi pada perlakuan pisang kepok berlangsung cepat. Hal ini
dapat dilihat pada gambar 4.3.
a b c
Gambar 4.3. a. kondisi bulu hari ke-2 b. kondisi bulu hari ke-4 c. kondisi bulu hari
Hal tersebut senada dengan Fitriyah (2011) menyatakan bahwa lektin yang
terdapat pada getah batang semu pisang berfungsi menstimulasi pertumbuhan
sel kulit. Fase proliferasi merupakan fase kedua yangberlangsung dari hari
ke-4 hingga hari ke-21 pasca cedera. Pada fase ini keratin sudah mulai bekerja
beberapa jam pasca cedera. Keratin inilah yang menjadi dasar terbentuknya
lapisan kulit pada area luka bakar. Pada fase ini proses pembuluh darah baru
akan terjadi. Jaringan granular mulai terbentuk pada fase pertama hingga fase
kedua yaitu fase proliferasi. Menurut Gurtner dalam Hidayat (2013),
pembentukan pembuluh darah baru dan jaringan granular merupakan tanda
penting fase proliferasi. Tanpa adanya pembentukan pembuluh darah baru dan
jaringan granular akan menyebabkan gangguan penyembuhan luka bakar. Saat
memasuki fase proliferasi sel punca sudah mulai terbentuk.
Sel punca merupakan sel yang belum berdiferensiasi dan dapat tumbuh
menjadi berbagai jenis sel, seperti sel darah merah, sel otot atau sel otak.
Menurut Anderson dalam Hidayat (2013), faktor hormon, nutrisi, pH dan
tekanan oksigen sekitar menjadi perantara dalam proses diferensiasi sel punca.
Hal yang menarik dari fase proliferasi ialah proses re-epitellisasi serta
pembentukan sel-sel baru harus dihentikan ketika sudah mencapai normalnya.
Hal ini dikarenakan kelebihan sel-sel maupun proses re-epitellisasi dapat
menyebabkan pembentukan jaringan parut.
Fase maturasi (remodeling) merupakan fase terakhir dalam tahap
penyembuhan luka. Selama fase ini jaringan baru yang terbentuk akan