• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

(Cervus timorensis

de Blainville) DENGAN SISTEM

FARMING :

Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga

S U M A N T O

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR

(Cervus timorensis

de Blainville) DENGAN SISTEM

FARMING :

Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga

S U M A N T O

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Tesis : Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis

de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga

Nama : Sumanto

Nomor Pokok : E051040365

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Sub Program Studi : Konservasi Biodiversitas

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, M.S Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Sub Program Studi, Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Penangkaran Rusa

Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di

Penangkaran Rusa Kampus IPB – Darmaga adalah karya saya sendiri dan belum

diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2006

(5)

iii

©

Hak cipta milik Sumanto, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

(6)

iv ABSTRACT

SUMANTO. Captive Breeding Planning of Timor Deer (Cervus timorensis de Blainville) with farming system : Case Study in Timor Deer Captive Breeding at IPB Campus – Darmaga. Under the direction of BURHANUDDIN MASY’UD and A. MACHMUD THOHARI.

Timor deer (Cervus timorensis de Blainville) is one of Indonesia wildlife species which population growth on natural habitat facing many threats as impact of human activities, like wild hunting and habitat destinction and fragmentation. Timor deer can be developed as livestock in the future its ability in difference geographic area of Indonesia. Farming system is appropriate model to be developed, because majority of Indonesian farmers ha ve about less than 1 hectares of farm area.

The objectives of this research are: to analyse suitable location, to analyse breeding plan and economical aspect. The research was caried out in captive breeding field labratory of IPB Darmaga Campus. Equipments which have been used are: digital camera, rool meter, weighing- machine and a set of computer with design program. Materials which used are: map, timor deers and plastic bags. This research used field observation method, literature study and interview method.

Pursuant to this research with based on bioecological condition, IPB captive breeding is suitable for timor deer captive location. Farm location was devideed into: headquarter zone 0,10 hectare (2,35%) and captive breeding zone 4,15 hectare (97,65%). Captive breeding management to be executed is farming system. Based on economic analysis, until 21,35% interest, captive breeding with farming system still give advantage if population size of parent stock in first year are 105, and 210 in second year and to be taken care until ninth year, with payback period 4,53 years.

(7)

v ABSTRAK

SUMANTO. Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB – Darmaga. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan A.

MACHMUD THOHARI.

Rusa timor adalah salah satu jenis satwa liar asli indonesia. Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville), adalah salah satu spesies dari keanekaragaman hayati milik bangsa Indonesia, yang kondisi di habitat aslinya mendapat tekanan demikian besar sebagai akibat dari kegiatan manusia, dalam bentuk perburuan liar maupun pengrusakan habitat. Sebagai satwa harapan yang mempunyai daya adaptasi sangat tinggi serta penyebaran yang luas, rusa timor sangat memungkinkan untuk dipelihara/ditangkarkan di seluruh Indonesia baik dengan sistem Deer Ranching maupun dengan sistem Deer Farming. Mengingat rata-rata kepemilikan lahan bagi masyarakat Indonesia ± 1 ha, maka sistem penangkaran yang memungkinkan untuk dikembangkan adalah dengan sistem deer farming.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk me nganalisis kelayakan lokasi, penyusunan perencanaan penangkaran dan menganalisis kelayakan usaha. Penelitian ini dilaksanakan di lokasi penangkaran rusa kampus IPB Darmaga. Alat yang digunakan terdiri dari kamera, roll meter, timbangan dan seperangkat komputer dengan program disain. Sedangkan bahan yang digunakan adalah : peta lokasi, rusa timor dan habitatnya serta kantong plastik. Metode yang digunakan adalah pengamatan langsung dilapangan, studi litelatur dan wawancara.

Berdasarkan hasil penelitian, maka lokasi yang diperuntukkan bagi penangkaran rusa di kampus IPB – Darmaga dinyatakan layak secara bioekologi. Lokasi yang ada dibagi menjadi : zona perkantoran seluas 0,10 ha (2,35%) dan zona penangkaran 4,15 ha (97,65%). Manajemen penangkaran yang dilaksanakan adalah penangkaran dengan sistem deer farming.

Berdasarkan hasil analisis finansial, maka usaha penangkaran rusa dengan sistem deer farming dengan populasi induk pada tahun pertama adalah 105 ekor dan tahun kedua 110 ekor yang dipertahankan sampai tahun kesembilan cukup layak dan menguntungkan sampai pada tingkat suku bunga 21,35% dengan jangka waktu pengembalian modal adalah 4,53 tahun.

(8)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Juli 1968 di

Desa Gentan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten

Klaten, Jawa Tengah. Merupakan anak kelima dari lima

bersaudara pasangan Bapak Sonto Sumardjo dan Ibu

Madiyem (Almh). Pada tahun 1981 menamatkan

Pendidikan Sekolah Dasar di SD Inpres Pulau Mainan II,

tahun 1984 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 4

Wonotiung. Tahun 1987 menamatkan Pendidikan Menengah Atas di SMT

Pertanian Negeri Sitiung. Semuanya berada di Kecamatan Koto Baru,

Kabupaten Sawahlunto/Sijunujung (sekarang Kab. Darmas Raya), Sumatera

Barat. Tahun 1992 menamatkan Pendidikan D III/A III di Fakultas Teknologi

Pertanian – IPB.

Sejak tahun 1992 sampai sekarang bertugas sebagai staf pengajar di

Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Pasir Penyu, Indragiri Hulu. Riau. Tahun

2001 menamatkan Pendidikan S-1 di Fakultas Pertanian Universitas Riau –

Pekanbaru pada Program Studi Agronomi. Tahun 2004 diterima sebagai

mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana – IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan

Kehutanan (IPK) Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas.

Beristri Umiyati binti Nadhir Mangun Wiratmo dan dikaruniai tiga orang

putra, yaitu : Hafidha Fatma Sari (12 tahun), Gilang Abiwijaya (7 tahun) dan

Fathaya Putri Handayani (1,5 tahun). Alamat tempat tinggal di Komplek SMK

(9)

vii PRAKATA

Puji dan Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat

hidayah, karunia, dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis ini disusun berdasarkan data dan informasi yang diperoleh selama

pengambilan data di lapangan serta analisis hasilnya.

Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Profesi dari Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis dengan judul

“PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de

Blainville) DENGAN SISTEM FARMING”: Studi Kasus di Penangkaran

Rusa Kampus IPB Darmaga ini dapat terselesaikan dibawah tim komisi

pembimbing yang diketuai oleh Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS.

dengan anggota Bapak Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA. Untuk itu ucapan

terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada komisi pembimbing,

karena tanpa arahan dan masukan yang diberikan selama penelitian dan

penulisan, maka sulit dibayangkan tesis ini dapat selesai dengan baik.

Berbagai pihak telah memberikan kontribusinya secara langsung maupun

tidak langsung bagi penyelesaian dan penyempurnaannya. Namun disadari

bahwa tesis ini masih belum sempurna, baik dalam sistematika maupun

teknik-teknik analisis dan interpretasi data yang mungkin terjadi sepenuhnya menjadi

tanggungjawab penulis.

Ucapkan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: (1) Yth.

Direktur DIKDASMENJUR DEPDIKNAS, yang telah memberikan sponsor

beasiswa dalam penyelenggaraan pendidikan Program Magister Profesi di Institut

Pertanian Bogor, (2) PEMDA Kabupaten Indragiri Hulu melalui Bapak Kepala

Dinas Pendidikan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti

program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Yth. Rektor, Dekan Sekolah

Pascasarjana, Ketua Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas dan seluruh

civitas akademika IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor, (4) Yth. Bapak Agus

Rosadi, SP selaku Kepala SMK Negeri 1 Pasir Penyu yang telah memberikan izin

dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut

Pertanian Bogor, (5) Yth. Bapak/Ibu Majelis Guru dan Staf Karyawan Tata Usaha

(10)

viii

pengertian kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini

dengan baik dan (6) Seluruh keluarga (Bapak Sonto Sumardjo, Ibu Sumarlinah,

Mas Sugiman, Mas/Mbak semuanya dan adik-adik serta keponakan semua) yang

telah memberikan motivasi dan dukungan baik secara materiil maupun spirituil,

sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini tanpa hambatan suatu

apapun.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada

rekan-rekan satu kelas S2 Profesi Konservasi Biodiversitas Angkatan Pertama

atas dukungan dan kerjasamanya, karena berkat dukungan dan kerjasama dari

rekan-rekan studi S2 ini dapat penulis jalani dengan baik. Secara khusus penulis

mengucapkan terima kasih kepada istri (Umiyati) dan anak-anak kami (Hafidha

Fatma Sari, Gilang Abiwijaya dan Fathaya Putri Handayani) atas kasih dan

dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari

kebersama an kita. Tanpa pengertian dan dukungan dari istri dan anak-anak

tercinta mustahil pendidikan ini dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu tesis

ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai pihak yang

tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Untuk itu penulis menyampaikan

terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.

Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam tesis ini, maka

hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT sendiri yang

memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu

penulis dan anhir kata Semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Maret 2006

(11)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI ... ii

HAK CIPTA .. ... iii Bio-ekologi RusaTimor (Cervus timorensis de Blainville) Taksonomi .. ... 6

(12)

x HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Bio-ekologi Lokasi Penangkaran Keadaan Fisik lokasi

Letak dan Luas ... 38

Iklim dan Curah Hujan ... ... 38

Topografi .. ... 39

Air (Hidrologi) ... ... 40

Tanah .. ... 41

Keadaan Biologis Lokasi Penangkaran Vegetasi ... ... 42

Satwaliar .. ... 43

Daya Dukung Lokasi ... 44

Perancangan Tapak (Site Planning) Penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Deer Farming Analisis Perancangan Tapak ... ... 48

Pewilayahan/Zonasi .. ... 48

Faktor-faktor Lanskap .. ... 51

Diskripsi dan Tata Letak Tapak ... 52

Rancangan Manajemen Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) denga Sistem Deer Farming Manajemen Penangkaran .. ... 57

Sarana dan Prasarana Penangkaran ... ... 70

Proyeksi Perkembangan Populasi .. ... 73

Analisis Kelayakan Finansial Usaha Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) denga Sistem Deer Farming.. ... 75

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... ... 79

Saran .... ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... ... 81

(13)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perbandingan kondisi fisik daerah penyebaran rusa dengan lokasi

penangkaran di kampus IPB – Darmaga ... 41

2. Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di

Kampus IPB – Darmaga .. ... 44

3. Proyeksi perkembangan rusa selama 10 tahun pemeliharaan di

penangkaran ... ... 74

4. Proyeksi komponen biaya dan penerimaan pada usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) selama 10 tahun di

penangkaran dengan sistem deer farming ... 75

5. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus

timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga ... 76

6. Hasil analisis sensitivitas finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga

(14)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian Disain Penagkaran Rusa Timor

(Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistim Farming . ... 5

2. Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) a. Rusa jantan, b. Rusa betina .. ... 6

3. Prosedur perizinan penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam berdasarkan SK Dirjen PHPA No.07/Kpts/DJ-VI/1988 ... ... 21

4. Disain Metote Garis Berpetak Dalam Analisis Vegetasi . ... 32

5. Peta Topografi Lokasi Penangkaran rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Dermaga .. ... 40

6. Keadaan vegetasi yang terdapat di lokasi penangkaran rusa di kampus IPB Darmaga padasaat studi .. ... 51

7. Diskripsi dan tata letak tapak pada zona penangkaran (Headquarter zone).. ... 53

8. Diskripsi dan tata letak tapak penangkaran di kampus IPB Darmaga.. ... 55

9. Desain pagar yang disarankan ... ... 56

(15)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1a. Hasil analisa vegetasi tingkat bawah/semai di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di

Kampus IPB – Darmaga .... ... 84

1b. Hasil analisa vegetasi tingkat pancang di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di

Kampus IPB – Darmaga .... ... 86

1c Hasil analisa vegetasi tingkat tiang dan pohon di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di

Kampus IPB – Darmaga .... ... 87

2. Daftar jenis satwaliar yang ditemukan di lokasi penangkaran rusa timor (Cervustimorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga

... 88

3. Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di

Kampus IPB – Darmaga .. ... 89

4. Rencana anggaran biaya pembangunan dan pengembangan sarana fisik usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de

Blainville) dengan sistem “deer farming” .. ... 91

5. Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervustimorensis

de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem

“deer farming” ... 93

6. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem “deer farming” (Skenario penerimaan/harga turun 10% dan

biaya tetap) ... 96

7. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Bla inville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem “deer farming” (Skenario penerimaan tetap dan biaya

produksi naik 10%) ... 97

8. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem “deer farming” (Skenario penerimaan turun 10% dan

(16)

Latar Belakang

Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville), adalah salah satu bagian dari

keanekaragaman hayati milik bangsa Indonesia, yang kondisi di habitat aslinya

mendapat tekanan demikian besar sebagai akibat dari kegiatan manusia, dalam

bentuk perburuan liar maupun pengrusakan habitat.

Rusa timor sebenarnya merupakan satwaliar yang relatif mudah dalam hal

reproduksi/perkembangbiakan maupun penyediaan pakannya. Namun karena di

habitat aslinya dikhawatirkan akan terjadi pemanfaatan yang berlebihan sehingga

terancam punah, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, rusa

timor termasuk satwaliar yang dilindungi.

Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang demikian pesat, meningkat

pula pemanfaatan kekayaan alam Indonesia untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat. Salah satu contohnya adalah pemenuhan kebutuhan protein hewani.

Atas dasar itulah maka dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam yang

dimiliki bangsa Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.

404/Kpts/DT.210/6/2002, rusa dimasukkan sebagai salah satu jenis satwaliar yang

potensial untuk dikembangkan sebagai hewan ternak.

Agar tujuan dari kedua kebijakan tersebut dapat terwujud secara

bersama-sama, maka dengan semangat konservasi pemanfaatan rusa timor sebagai ternak

harapan tetap harus mengacu pada prinsip kelestarian, salah satu cara dapat

dilakukan dengan “penangkaran”.

Sebagai satwa harapan yang mempunyai daya adaptasi sangat tinggi serta

penyebaran yang luas, rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) sangat

mungkin untuk dipelihara/ditangkarkan di seluruh Indonesia. Semangat otonomi

daerah merupakan satu titik terang bagi daerah-daerah yang mempunyai wilayah

cukup luas sangat memungkinkan untuk mengembangkan penangkaran rusa timor

(Cervus timorensis de Blainville) baik dengan sistem Ranching maupun dengan

sistem Farming.

Deer Ranching adalah suatu usaha penangkaran/pemeliharaan rusa yang

dilakukan secara ekstensif, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup bagi rusa

berlangsung secara alami dan peran manusia hanya sebatas mengontrol dan

(17)

penangkaran/pemeliharaan rusa yang dilakukan secara semi- intensif, dimana

sebagian besar kebutuhan hidup bagi rusa diatur dan dikendalikan oleh manusia.

Kebutuhan hidup rusa yang dimaksud adalah kebutuhan ruangan, makanan,

minuman, tempat perlindungan (selter), kesehatan sampai perkembangbiakannya.

Untuk dapat mengembangkan penangkaran dengan sistem ranching harus

tersedia lahan yang cukup luas, sementara dengan sistem farming, luasan lahan

tidak merupakan kendala, karena kebutuhan utama bagi kehidupan rusa, yaitu

pakan dan minum dapat dipenuhi dari luar. Mengingat rata-rata kepemilikan

lahan bagi masyarakat Indonesia ± 1 ha, maka sistem penangkaran yang

memungkinkan untuk dikembangkan adalah dengan sistem farming. Namun salah

satu kendala yang dihadapi oleh penangkar saat ini adalah belum adanya contoh

penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Indonesia yang

cukup berhasil baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Salah satu penyebabnya

adalah belum adanya perencanaan penangkaran dengan sistem farming yang

memperhatikan aspek bio-ekologi dari rusa timor (Cervus timorensis de

Blainville).

Menurut Masy’ud (2003), desain (rancangan) dapat diartikan sebagai

suatu rencana, struktur dan strategi kegiatan yang dimaksudkan untuk menjawab

permasalahan yang dihadapi secara efisien dan efektif yang me muat secara

sistematik keseluruhan kegiatan yang akan dilakukan, petunjuk prosedural cara

melaksanakan kegiatan, waktu dilaksanakan, data dan informasi apa yang

diperlukan, cara pengumpulan dan penganalisaan data serta kebutuhan tenaga,

biaya dan peralatannya, serta gambaran hasil yang diharapkan dari kegiatan ini.

Disain disebut sebagai rencana, karena disain ini memuat secara sistematis

keseluruhan kegiatan yang akan dilakukan. Disebut sebagai struktur karena

didalam disain tergambar model atau prinsip-prinsip operasional kegiatan serta

sifat atau jenis data yang diperlukan. Disebut sebagai strategi, karena didalamnya

terkandung petunjuk prosedural bagaimana rencana dan struktur kegiatan dapat

dijalankan, sehingga permasalahan yang dihadapi dapat terjawab secara baik

dengan variasi yang dapat dikendalikan (Masy’ud, 2003).

Mengacu pada permasalahan tersebut di atas, maka penelitian tentang

Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan

(18)

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi yang mempunyai

ukuran luas areal tidak terlalu luas, yaitu ± 5 ha, yaitu untuk memberikan suatu

model bagi masyarakat Indonesia, bahwa sebenarnya penangkaran rusa timor

tidak harus dilakukan di areal yang luas, tetapi dengan lahan yang dimiliki oleh

kebanyakan petani peternak kita juga dapat dilakukan penangkaran rusa timor

tergantung bagaimana disain dan manajemen penangkaran itu dilakukan. Selain

itu, lokasi ini dipilih karena potensi sumberdaya berupa lokasi dan rusa timor

sudah ada tetapi penataan tapak dan manajemen penangkaran yang dilakukan

dirasa belum baik, sehingga sampai saat ini populasi yang ada belum berkembang

sebagaimana yang diharapkan. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan

dapat menjadi acuan dalam pengelolaan yang lebih baik dalam usaha

penangkaran yang sudah dilakukan dan dapat dij adikan acuan bagi siapa saja

yang akan mengembangkan penangkaran rusa dengan sistem deer farming.

Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Mengkaji kelayakan lokasi yang diperuntukkan bagi penangkaran rusa timor

dengan sistem Farming ditinjau dari kajian bio-ekologinya.

2. Menyusun perencanaan penangkaran rusa timor dengan sistem farming :

a. Perancangan tapak penangkaran

b. Rancangan manajemen penangkaran

3. Menganalisis kelayakan finansial usaha penangkaran rusa timor dengan

sistem farming berdasarkan rancangan disain yang dibuat.

Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi pihak

pengelola dalam penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville)

dengan sistem farming secara efektif dan efisien, sehingga usaha tersebut tetap

lestari dan berwawasan lingkungan.

Output

Output yang dihasilkan dari penelitian ini adalah Perencanaan Penangkaran

Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem Farming yang sesuai

(19)

Kerangka Pemikiran

Potensi sumberdaya alam yang kita miliki berupa lahan dan rusa timor

(Cervus timorensis de Blainville) apabila kita kelola dengan baik menjadi suatu

penangkaran akan dapat memberikan kesejahteraan bagi pengelolanya. Agar

penangkaran dapat berhasil dengan baik, maka prisnsip-prinsip penangkaran yang

merupakan interaksi antara bio- fisik dari lahan dan bio-ekologi dari rusa timor

(Cervus timorensis de Blainville) menjadi syarat mutlak yang harus mendapat

perhatian serius.

Penelitian ini dimulai dari menganalisis kondisi bio-ekologi calon lokasi dan

bio-ekologi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) serta kebutuhan hidup

rusa timor di penangkaran dan dilanjutkan dengan menganalisis persyaratan untuk

membuat perancangan tapak (site planning) penangkaran yang meliputi bangunan

kantor, pedok, bangunan kandang, kebun rumput, areal pembesaran dan jalan

inspeksi. Bila persyaratan yang dimaksud sudah terpenuhi, maka langkah

selanjutnya adalah melakukan perancangan tapak, yaitu meliputi analisis tapak,

pewilayahan/zonasi dan diskripsi serta tata letak tapak. Tetapi apabila persyaratan

untuk membuat perancangan tapak belum terpenuhi, maka langkah salanjutnya

perlu dilakukan analisis peningkatan kualitas tapak dan sarana dan prasaran,

sehingga persyaratan tersebut terpenuhi. Kemudian dilanjutkan dengan

perancangan tapak.

Dari analisis-analisis tersebut diatas, akhirnya akan terpilih satu alternatif

perancangan tapak yang memperhatikan aspek peruntukan lahan, waktu, biaya

dan tenaga pengembangnya. Selanjutnya akan dihasilkan suatu disain

penangkaran rusa timor (Cervustimorensis de Blainville) dengan sistem farming

yang memperhatikan bio-fisik lokasi, bio-ekologi rusa, kebutuhan hidup rusa

serta biaya dan tenaga penge lolanya.

Secara rinci kerangka dan alur pemikiran pada Penelitian Perencanaan

Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem

(20)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian perencanaan penangkaran rusa timor (Cervustimorensis de Blainville) dengan sistem farming.

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Bio-ekologi Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville)

Taksonomi

Rusa merupakan satwa timor yang termasuk anggota Klas Mamalia, Ordo

Artiodactyla, Sub Ordo Ruminansia, Famili Cervidae dan Genus Cervus. Genus

Cervus terdiri dari dua species yaitu Cervus timorensis (Rusa Timor), dan Cervus

unicolor (Rusa Sambar).

Rusa timor merupakan rusa tropis kedua terbesar setelah rusa sambar.

Dibandingkan dengan rusa tropis Indonesia lainnya, rusa timor memiliki keunikan

yaitu sebagai rusa yang memiliki banyak sub spesies, dengan daerah penyebaran

yang luas serta nama lokal yang cukup beragam tergantung daerah dimana

habitatnya berada.

Morfologi

Rusa timor merupakan dikenal juga dengan nama rusa Jawa, memiliki

warna bulu coklat abu-abu sampai coklat tua kemerahan dan yang jantan

warnanya lebih gelap. Warna di bagian perut lebih terang dari pada di bagian

punggungnya.

Gambar 2. Rusa timor (Cervus timorenisi de Blainville). a. rusa jantan, b. rusa betina

(22)

Tinggi bahu rusa betina dewasa 100 cm, sedangkan yang jantan dapat

mencapai 110 cm. Panjang badan dengan kepala kira-kira 120 – 130 cm, panjang

ekor 10 – 30 cm. Sedangkan bobot badannya dapat mencapai 100 kg.

Rusa jantan dewasa memiliki ranggah atau tanduk yang bercabang tiga,

dengan ujung-ujungnya yang runcing , kasar dan beralur memanjang dari pangkal

hingga ke ujung ranggah. Panjang ranggah rata-rata 80 – 90 cm, tapi ada yang

mencapai 111,5 cm.

Penyebaran

Famili cervidae memiliki penyebaran yang luas, terdapat hampir di seluruh

dunia, kecuali di Afrika yaitu di sebelah selatan Gurun Sahara. Di Australia,

Selandia Baru, Papua dan pulau-pulau kecil yang berdekatan, rusa marupakan

satwa yang diintroduksi. Di Indonesia, penyebaran rusa hampir meliputi seluruh

wilayah. Khusus untuk rusa timor (Cervus timorensis) penyebarannya meliputi

pulau-pulau kecil di Indonesia bagian Timur.

Menurut Van Memmel (1949) dalam Schroder (1976), menyatakan bahwa

di Indonesia Cervus timorensis terdiri dari 8 (delapan) sub species dengan daerah

penyebarannya adalah sebagai berikut :

1. Cervus timorensis rusa, terdapat di Jawa dan Kalimantan

2. Cervus timorensis laronesiotis, terdapat di Pulau Peucang, Nusa Barung,

Karimun jawa, Pulau Kemujan dan Sepanjang.

3. Cervus timorensisrenschi Sody, terdapat di Bali

4. Cervus timorensis timorensis, terdapat di Timor, Roti, Semau, Alor, Pantar,

Pulau Rusa dan kambing.

5. Cervus timorensis macassarius, terdapat di Bangai dan Seleyar.

6. Cervus timorensisdjongga, terdapat di Pulau Buton dan Muna.

7. Cervus timorensis molucentis, terdapat di Ternate, Mareh Moti, Halmahera,

Bacan, Buru dan Ambon

8. Cervus timorensis floresiensis, terdapat di Lombok, Sumbawa, Komodo,

(23)

Habitat

Habitat adalah suatu komunitas biotik atau serangkaian

komunitas-komunitas biotik yang ditempati oleh binatang atau populasi kehidupan. Habitat

yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu spesies selama

musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai

macam jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktor-faktor lainnya yang

diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan

reproduksinya secara berhasil (Bailey, 1984).

Habitat rusa timor berupa hutan, dataran terbuka serta padang rumput dan

savanna. Rusa timor diketemukan di dataran rendah hingga pada ketinggian 2600

m di atas permukaan laut (Direktorat PPA, 1978). Padang rumput dan

daerah-daerah terbuka merupakan tempat mencari makan, sedangkan hutan dan semak

belukar merupakan tempat berlindung. Salah satu tempat berlindung yang

disukai oleh rusa timor (Cervustimorensis) adalah semak-semak yang didominasi

oleh kirinyuh (Eupatorium spp.), saliara (Lantana camara), gelagah (Saccarum

spontaneum) dan alang-alang (Imperata cylindrica). Rusa timor termasuk satwa

yang mudah beradaptasi dengan lingkungan yang kering bila dibandingkan

dengan jenis rusa yang lain, karena ketergantungan terhadap ketersediaan air

relatif lebih kecil. Dengan kemampuan adaptasi yang baik ini rusa timor mampu

berkembangbiak dengan baik di daerah-daerah meskipun bukan habitat aslinya.

Berdasarkan beberapa contoh perkembangan rusa timor (Cervustimorensis)

di daerah yang bukan merupakan habitat aslinya, terbukti bahwa populasi rusa

timor (Cervus timorensis) dapat berkembang pesat di daerah-daerah yang bukan

merupakan habitat aslinya, misalnya di Papua, Maluku dan Kalimantan bila

dibandingkan dengan populasi di habitat aslinya, terutama di Pulau Jawa dan

Bali.

Aktivitas Harian dan Perilaku

Rusa adalah satwa yang aktif baik siang maupun malam hari. Namun untuk

rusa timor lebih aktif pada siang hari. Meskipun bukan satwa nocturnal, rusa

(24)

Aktivitas harian rusa meliputi perjalanan dari dan ke tempat mencari

makanan dan air, makan dan beristirahat. Sebagaimana herbivora pada

umumnmya, rusa menghabiskan waktunya berjam-jam untuk makan dan diselingi

perjalanan-perjalanan pendek untuk beristirahat maupun menuju ke tempat air.

Untuk aktivitas makan rusa timor lebih banyak menghabiskan waktunya pada

pagi dan sore hari. Sedangkan siang hari cenderung mencari perlindungan dari

teriknya sinar matahari, beristirahat sambil memamah biak. Pada malam hari

aktivitas makan juga berlangsung, tetapi tidak begitu aktif.

Dalam perilaku sosial, rusa timor pada umumnya hidup dalam kelompok

antara 3 ekor sampai 20 ekor. Namun jika berada di padang penggembalaan

terkadang dapat membentuk kelompok besar sampai jumlah 75 – 100 ekor.

Kelompok rusa Timor sering dijumpai terdiri dari induk dan anak baik yang

masih kecil maupun yang sudah remaja, serta rusa-rusa muda. Baru menjelang

musim kawin berangsur-angsur rusa jantan mendekati kelompok rusa betina ini.

Di dalam kelompok rusa timor biasanya dijumpai dua pemimpin. Dalam

keadaan normal pemimpin kelompok adalah rusa jantan dewasa. Rusa jantan

dewasa biasanya memimpin kelompoknya dalam rangka perpindahan tempat

untuk mencari makan dan penjelajahan wilayah secara periodik. Dalam keadaan

darurat atau menghadapi ancaman pemimpin kelompok akan diambil alih oleh

induk. Dalam keadaan terdesak induk lebih bertanggung jawab terhadap

kelompoknya, sedangkan pejantan akan panik dan lebih sering pergi

meninggalkan kelompoknya.

Pada musim kawin, perilaku rusa banyak mengalami perubahan. Pada awal

musim kawin, rusa menjadi gelisah dan peka terhadap kedatangan mahluk asing

di lingkungannya. Rusa jantan lebih peka terhadap kedatangan pejantan lain dan

menantang pejantan lain untuk berkelahi dalam rangka memperebutkan atau

mempertahankan betina. Dalam keadaan birahi, berkubang merupakan aktivitas

yang menonjol. Sambil berbaring di kubangan, rusa jantan akan mengayunkan

ranggahnya ke kanan kiri atau menusukkannya ke dalam lumpur. Ranggah juga

sering kali digosok-gosokkan kepohon atau kesemak-semak. Perilaku ini oleh

(25)

Rusa jantan biasanya menetapkan dan mempertahankan daerah teritorinya

dari pejantan lain. Kadang-kadang daerah teritori ini tumpang tindih untuk

pejantan yang satu dengan pejantan yang lainnya, Daerah teritori ini biasanya

ditandai dengan cara menggores pohon dengan ranggahnya atau ditandai dengan

urin dan bau-bauan lainnya. Daerah teritori ini biasanya hanya berlaku pada

musim kawin saja.

Rusa betina pada musim kawin akan mondar- mandir dari daerah teritori

pejantan satu ke daerah teritori pejantan yang lain untuk memilih pejantan, dan

akhirnya menetap pada daerah teritori pejantan yang dipilihnya sampai terjadi

perkawinan. Pada umumnya kopulasi terjadi pada malam hari.

Rusa betina akan menghabiskan masa buntingnya di dalam kelompok awal.

Menjelang saat-saat melahirkan calon induk menjadi gelisah dan tidak bisa diam.

Kemudian akan memisahkan diri dari kelompoknya untuk mencari tempat yang

sesuai untuk melahirkan anaknya. Biasanya tempat-tempat yang ditumbuhi

semak-semak dan terlindung.

Biologi Reproduksi

1. Musim berkembangbiak

Menurut Van Bammel (1949) dalam Schroder (1976), mengatakan

bahwa rusa-rusa yang ada di Indonesia, melahirkan anak sepanjang tahun,

artinya tidak dibatasi musim tertentu seperti yang terjadi pada daerah yang

beriklim sedang. Namun demikian puncak frekwensi melahirkan terjadi pada

bulan-bulan tertentu di setiap tahunnya. Musim melahirkan bia sanya terjadi

pada saat datangnya musim hujan, dimana pada masa- masa ini berbarengan

dengan melimpahnya tumbuh-tumbuhan sebagai sumber pakan.

Sody (1940) dalam Thohari, et al. (1991) menyatakan musim kelahiran

anak-anak sambar di Sumatera adalah pada bula n Juli dan Oktober dan untuk

sambar di Kalimantan adalah pada bulan Maret. Untuk rusa timor, musim

kelahiran berbeda-beda tergantung daerahnya. Di Jawa musim melahirkan

terjadi pada bulan April-Juni dan September. Di Flores terjadi pada bulan

Maret dan di Sulawesi terjadi pada bulan Januari dan Agustus.

(26)

Rusa timor mengalami masa kebuntingan selama 240 – 270 hari

(rata-rata 267 hari). Seekor induk yang bunting biasanya melahirkan satu ekor

anak, dan kadang-kadang dua ekor anak kembar (van Lavieren, 1983).

Umur termuda untuk melahirkan bagi rusa timor (Cervus timorensis)

adalah 2 – 3 tahun, dan masa mengasuh anak biasanya berlangsung sekitar

4 – 5 bulan.

Menurut Hoogerwerf (1949), nisbah seksual untuk rusa timor (Cervus

timorensis) di Ujung Kulon adalah 2 : 2,3 dan di Indonesia pada umumnya

adalah 1 : 3.

3. Musim Birahi

Seperti halnya musim berkembangbiak, tidak ada batasan waktu yang

jelas bagi musim birahi rusa di Indonesia. Meningkatnya aktivitas musim

birahi dalam setahun dapat diamati, namun waktu-waktu ini bervariasi dari

satu daerah ke daerah lainnya. Meskipun dalam musim birahi, rusa-rusa yang

berada dalam tahap siklus seksual lainnya masih dapat ditemukan.

Meskipun hidup bersama dalam satu kelompok, setiap rusa mengikuti

siklus seksualnya masing- masing. Berdasarkan beberapa hasil penelitian,

terdapat kaitan erat antara musim birahi dengan terlepasnya

tanduk-tanduk/ranggah rusa.

Masa birahi dimulai segera setelah ranggah rusa tumbuh sempurna dan

ditandai dengan terkelupasnya velvet yang membungkus tanduk. Masa birahi

ini lebih dari satu bulan. Hoogeerwerf (1970) menyebutkan bahwa musim

birahi rusa di Jawa Barat berlangsung antara bulan Juli hingga September dan

periode terkelupasnya velvet diperkirakan pada bulan Juni dan Juli. Musim

birahi ini kelihatan sangat jelas ketika jumlah rusa-rusa betina yang berada

dalam keadaan birahi mencapai puncaknya. Hal ini menunjukkan bahwa

musim birahi ditentukan dan dipacu oleh rusa betina.

Musim birahi berakhir pada saat semua betina yang berada dalam

keadaan birahi telah mendapatkan pasangannya. Sementara betina-betina

(27)

akan dilayani oleh rusa-rusa jantan yang “abnormal” siklusnya, bahkan tidak

semua betina seperti ini akan mendapat pasangan.

Pakan

Suksesnya suatu usaha penangkaran satwa antara lain ditunjang oleh pakan

yang berkualitas yang mampu diberikan oleh pemeliharanya. Secara umum

bahan makanan seluruh jenis rusa di Indonesia adalah sama, yaitu rerumputan,

pucuk daun dan tumbuhan muda. Namun demikian karakteristik pakan untuk

Rusa Timor (Cervustimorensis de Blainville) adalah pakan utama rumput, daun

muda dan buah-buahan yang jatuh (Maradjo, 1978) dalam Thohari, et al. (1991).

Pakan rusa selain dari rerumputan dan hijuan lainnya sebagai tambahannya

dapat berupa konsentrat, sayur- mayur, umbi- umbian atau limbah pertanian

(Semiadi dan Nugraha, 2004).

Semiadi (1998), menyatakan bahwa hijauan yang dimakan rusa adalah :

Imperata cylindrica, Sacharum spontaneum, Paspalum sp., Leersia hexandra,

Cynodon dactylon, Eleusine indica, Anastrophus compressus, Kyllinga

mono-chephala, Cyperus rotundus, Fimbristylis annua, Ficus sp., Berechtites

hieradi-folia, Centella asiatica dan Crotalaria anaqryoides.

Pada pemeliharaan rusa dengan sistim Deer Farming, beberapa hal yang

perlu diperhatikan dalam pengadaan pakan adalah :

1. Daya dukung habitat

Daya dukung adalah jumlah individu satwaliar dengan kualitas tertentu

yang dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap

sumberdaya habitat (Bailey, 1984). Menurut Dasmann (1964), Moen (1973)

dan Boughey (1973) dalam Alikodra (2002), daya dukung lingkungan adalah

jumlah satwa liar yang dapat ditampung oleh suatu habitat; batas (limit) atas

pertumbuhan suatu populasi, yang diatasnya jumlah populasi tidak dapat

berkembang lagi; jumlah satwa liar pada suatu habitat yang dapat mendukung

kesehatan dan kesejahteraannya.

Daya dukung akan tercapai apabila pertumbuhan suatu populasi lambat

(28)

karena pertumbuhan populasi dipengaruhi oleh faktor- faktor persaingan,

terbatasnya ruangan dan makanan (Tarumingkeng, 1994).

Menurut Syarief (1974), besarnya daya dukung suatu areal dapat

dihitung melalui pengukuran salah satu faktor habitat. Untuk menghitung

produktivitas hijauan berupa padang rumput dapat menggunakan cara yang

diperkenalkan oleh Mc. Ilroy Tahun 1964 yaitu dengan pemotongan hijauan

dari suatu luasan padang rumput sebagai sampel, menimbangnya dan dihitung

produksi per unit luas per unit waktu.

Menurut Brown (1954) dalam Susetyo (1980), hijauan yang ada di

lapangan tidak seluruhnya tersedia bagi satwa, tetapi harus ada sebagian yang

ditinggalkan untuk menjamin pertumbuhan selanjutnya dan pemeliharaan

tempat tumbuh. Bagian hijauan yang dapat dimakan oleh satwa disebut

proper use. Susetyo (1980) menyatakan bahwa faktor yang paling

berpengaruh terhadap proper use suatu padang penggembalaan adalah

topografi. Karena hal itu sangat membatasi ruang gerak satwa. Proper use

pada lapangan datar dan bergelombang (kemiringan 0 – 5o) adalah 60 –

70%, lapangan bergelombang dan dan berbukit (kemiringan 5 – 23o) adalah

40 – 45% dan lapangan berbukit sampai curam (kemiringan lebih dari 23o)

proper use-nya adalah 25 – 30%.

Menurut Susetyo (1980) apabila daya dukung suatu kawasan dihitung

per hari, maka besarnya daya dukung dapat dihitung dengan menggunakan

rumus sebagai berikut :

Kebutuhan hidup bagi setiap satwa memerlukan hal yang sangat penting

sekali untuk dapat mempertahankan hidupnya. Beberapa hal yang

menyang-kut kebutuhan hidup bagi seekor satwa antara lain makan, minum dan garam

(29)

Kebutuhan makan bagi seekor rusa dapat diartikan sebagai kebutuhan

akan kalori setiap hari. Energi ini sangat diperlukan untuk hidup dan

per-tumbuhannya, mengganti bagian-bagian tubuh yang mati dan untuk

reproduksi.

Rusa tergolong pada hewan memamah biak dengan makanannya berupa

rerumputan, daun-daun muda dan bahkan buah-buahan yang jatuh. Dalam

pemenuhan kebutuhan pakan rusa hal yang harus diperhatikan adalah jumlah

dan kualitas pakan. Kualitas pakan ditentukan oleh komposisi/kandungan zat

gizi di dalam bahan pakan, dimana komposisi ini harus sesuai dengan

kebutuha n hidup satwa.

Berdasarkan sifat, kimia dan biologis zat gizi yang diperlukan oleh

satwa terdiri dari air, protein, lemak karbohidrat, zat- zat organik dan vitamin.

Home Range

Menurut Boughey (1973), Pyke (1983) dan Van Noordwijk (1985),

wilayah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai makanan,

minuman serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung, tempat kawin

disebut wilayah jelajah (home range). Tempat-tempa tminum dan mencari makan

pada umumnya lebih longgar dipertahankan dalam pemanfaatannya, sehingga

satu tempat minum ataupun makan seringkali dimanfaatkan secara bergantian

ataupun sama-sama oleh beberapa spesies satwaliar.

Jika secara sepintas kita mengamati kehidupan satwaliar di habitat

alamnya, akan diperoleh kesan bahwa mereka bergerak dari satu tempat ke tempat

lainnya tanpa aturan. Akan tetapi jika diperhatikan secara teliti, akan terlihat

bahwa mereka melakukan pergerakan secara teratur.

Menurut Alikodra (2002), kapan satwaliar bergerak, apa dan kemana

tujuannya merupakan fenomena alam, tetapi faktor spesies, musim dan kondisi

lingkungannya, termasuk campur tangan manusia sangat menentukan pola

(30)

Menurut Dasmann (1981), di Arizona beberapa wilayah jelajah (home

range) dari rusa merah lebih dari 1.200 ha. Sedangkan di bagian Barat Daya

Texas dilaporkan bahwa rata-rata wilayah jelajah dari rusa merah adalah 700 ha.

Deer Farming

Deer Farming adalah suatu usaha penangkaran/pemeliharaan rusa yang

dilakukan secara semi- intensif, dimana sebagian besar kebutuhan hidup bagi rusa

diatur dan dikendalikan oleh manusia. Kebutuhan hidup rusa yang dimaksud

adalah kebutuhan ruangan, makanan, minuman, tempat perlindungan (shelter),

kesehatan sampai perkembangbiakannya.

Menurut Yerex dan Spiers (1987), deer farming merupakan suatu usaha

menternakkan rusa secara komersil dengan tujuan utama adalah mencari

keuntungan dari produksi berupa daging dan velver/ranggah. Selain itu juga

menyediakan rusa untuk perburuan dan juga pembibitan.

Pada pemeliharaan rusa dalam jumlah yang banyak dan sudah diarahkan

pada usaha yang komersil, maka sistem pemeliharaan yang sesuai adalah dengan

sistem pedok, dimana pedok juga berfungsi sebagai tempat tinggal yang dibatasi

oleh pagar, maka dalam pedok harus pula tersedia sumber air minum dan naungan

yang cukup, sementara kebutuhan pakan dapat dicukupi dari luar areal (Semiadi

dan Nugraha, 2002).

Perancangan Tapak (Site Planning)

Menurut Hakim dan Utomo (2002), proses perancangan yang sistematik

pada garis besarnya terbagi menjadi dua bagian, yaitu tahapan Programing dan

tahapan Design, dimana pada tahapan programing ditekankan pada

penganalisisan segala aspek yang terkait pada rancangan hingga menghasilkan

konsep sistematik yang nantinya menjadi landasan pada tahapan Design

Depelopment. Sedangkan tahapan design dititik beratkan pada bagiamana

merancang penerapan dari konsep-konsep yang telah dihasilkan.

Root (1985), menyatakan bahwa untuk dapat mengembangkan suatu

(31)

yaitu ; (1) faktor alam, meliputi kontur, vegetasi dan ruangan terbuka, dan (2)

faktor pelaksanaan, meliputi analisis sumberdaya, analisis lokasi, analisis

penggunaan, analisis pengembangan dan rancangan induk secara menyeluruh.

Perancangan tapak untuk pembuatan desain penangkaran rusa timor

(Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem “Farming” dilakukan atas

berbagai masukan data dan informasi, baik yang bersifat primer maupun

sekunder.

Menurut Thohari et al. (1991), pada dasarnya terdapat tiga komponen

penting yang perlu dipertimbangkan dalam perancangan tapak, yaitu :

1. Kondisi bio- fisik tapak kegiatan penangkaran yang direncanakan, seperti

topografi, ketersediaan air, kondisi vegetasi, tanah, elevasi, iklim dan

sebagainya.

2. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam suatu usaha penangkaran

3. Bio-ekologi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville)

Berdasarkan hasil analisis dari ketiga komponen tersebut, selanjutnya

dilakukan penentuan batas-batas zona pengembangan (zonasi) dengan

mempertimbangkan faktor-faktor pembatas kegiatan dan efisiensi

pengelolaannya. Sebelum itu untuk meningkatkan kemampuan tapak guna

mendukung pembangunan dan pengembangannya, dilakukan peningkatan

kualitas tapak dengan berbagai cara, antara lain : pemenuhan kebutuhan

penangkaran, penanaman pohon-pohon pelindung, perbaikan topografi,

pembuatan saluran drainase dan lain sebagainya.

Menurut Hakim dan Utomo (2002), data yang perlu diketahui untuk

perancangan tapak adalah meliputi luas seluruh tapak, keadaan dan sifat tanah,

geologi, hidrologi, iklim, curah hujan, topografi dan vegetasi.

Dari semua data serta pertimbangan pengelolaan, dibuatlah alternatif

tapak untuk masing- masing penggunaan yang selanjutnya akan menghasilkan satu

alternatif terpilih yang paling layak dikembangkan berdasarkan peruntukan,

biaya, waktu dan tenaga pengembangannya. Setelah kita memahami karakteristik

tapak, maka langkah selanjutnya adalah memasukkan program aktivitas yang

(32)

tersebut. Kemudian tahap selanjutnya adalah melakukan perancangan tapak yang

meliputi penataan letak semua sarana dan prasarana di masing- masing zona

pengembangan.

Lanskap

Lanskap adalah karakter total dari suatu wilayah (von Humbolt dalam

Ferina, 1998). Lanskap adalah konfigurasi partikel topografi, tanaman penutup,

permukaan lahan dan pola kolonisasi yang tidak terbatas, beberapa koherensi dari

kealamian dan proses kultural dan aktifitas (Green dalam Ferina, 1998). Harber

membatasi lanskap sebagai sebuah potongan lahan yang diamati seluruhnya,

tanpa melihat dekat pada komponen-komponennya (Pers Com dalam Ferina,

1998).

Definisi terakhir ini lebih cocok untuk membatasi lanskap sebagai

penga-matan seluruh organisme dari tanaman sampai hewan. Hal yang paling penting

dalam pengelolaan lanskap adalah evaluasi nilai lanskap dan menemukan kriteria

dengan cara mengevaluasi komponen-komponennya.

Ekologi Lanskap dapat berguna bagi konservasi alam karena menyangkut

pemikiran dari pengaturan habitat, pemikiran konsekuensi struktur dan proses

untuk spesies yang berbeda. Terdapat tiga pandangan dalam ekologi lanskap

(Ferina, 1998) antara lain: (1) Manusia: Pada perspektif manusia. Lanskap adalah

dikelompokkan pada fungsi utama yang mempunyai arti untuk kehid upan

manusia, (2) Geobotanical: Distribusi spatial dari komponen lingkungan abiotik

dan biotik, dari lanskap tanah sampai yang didekati oleh tanaman, dan pada

distribusi tanaman utama sebagai komunitas, tanah hutan dan sebagainya dan (3)

Hewan: Pandangan akhir ini konsepnya dihubungkan dengan pengamatan lanskap

manusia, walaupun terdapat perbedaan subs-tantial dalam mendekati secara

langsung.

Masing- masing dari tiga pendekatan ini mengamati pola-pola dan

proses-proses dalam analisa akhir, yang komponen-komponennya dari seluruh sistem

(33)

mengkombi-nasikan teori-teori, paradigma, dan model- model yang dihasilkan oleh pendekatan

monodisipliner.

Terdapat sejumlah cara untuk mengukur beberapa hal pokok yang

mendukung sebuah perencanaan lanskap. Pendekatan lanskap ini sangat

bervariasi, sehingga tidak mungkin membahasnya secara keseluruhan dan

mengacu kepada metodologi standart. Kebanyakan pendekatan itu berasal dari

geostatistik, geobotanik, analisa populasi satwa, perilaku ekologi dan sebagainya.

Cara-cara yang paling banyak digunakan untuk menjelaskan kerumitan

suatu lanskap adalah melalui pencitraan sistem informasi geografi. Statistik ruang

dan geometri per bagian. Peta-peta, foto udara dan citra satelit biasanya dilakukan

sebelum dan sesudah suatu lahan dicatat atau di data. Namun hal tersebut banyak

mengalami bias (penyimpangan) yang disebabkan oleh waktu, resolusi, dan

kualitasnya.

Pengolahan data mengenai ruang merupakan inti dari ekologi lanskap.

Terdapat dua tipe informasi yang diproses dalam analisa, yaitu; Path dan

Lanskap. Tipe pertama adalah dimana analisa lebih banyak difokuskan dalam

berbagai ukuran bentuk dan pengaturan ruang dari setiap potongan yang ada. Tipe

yang kedua lebih rumit, karena difokuskan kepada land mozaik (bentukan tanah).

Pendekatan terhadap studi bentuk path ini sangat penting karena

keter-aturan dan ketidakterketer-aturan bentuk path tersebut merupakan

konsekuensi-konsekuensi yang terdapat pada organisme. Jika kita asumsikan lingkaran

merupakan bentukan path yang umum, semakin tidak beraturannya sebuah path

semakin banyak tepian dan semakin berkurang area didalamnya yang tersedia.

Sebuah path yang tidak teratur memiliki lebih banyak proses yang heterogen

dibandingkan yang teratur. Kesesuaian habitat, resiko pemangsa dan tekanan

iklim mikro merupakan beberapa konsekuensi langsung dari bentuk path yang

tidak teratur.

Penelusuran batas pada lanskap bukanlah suatu hal yang mudah, bahkan

akhir dari berbagai habitat atau tipe lahan bukan sebagai batas sesungguhnya.

Sementara batas-batas cukup sempit dan tingkat kepadatan habitat tinggi,

(34)

Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville)

Landasan Kebijakan

Penangkaran satwaliar merupakan salah satu program pelestarian dan

pemanfaatan satwaliar, baik untuk tujuan konservasi maupun ekonomi. Dalam

hal ini penangkaran rusa termasuk salah satu upaya pelestarian dan pemanfaatan

berdasarkan prinsif kelestarian hasil.

Undang-undang dan peraturan tentang pelestarian pemanfaatan satwaliar

yang digunakan sebagai dasar dan arahan bagi usaha pengembangan penagkaran

rusa adalah :

1. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

2. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.

4. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 86/Kpts/II/1983 yang mengatur

tentang pemanfaatan sumberdaya alam (satwaliar dan tumbuhan alam), baik

di dalam maupun luar negeri dan disesuaikan dengan ratifikasi/pengesahan

Konvensi Internasional tentang Perdagangan Satwa Liar dan Tumbuhan

Langka (CITES) yang tertuang dalam Keputusan Presiden No. 43 Tahun

1978.

5. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan

dan Satwa.

6. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis

Tumbuhan dan Satwa.

Perizinan

Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembang-biakan dan

perbesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian

jenisnya. Penangkaran dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar

(35)

Setiap orang, Badan Hukum, Koperasi atau Lembaga Konservasi yang

mengajukan permohonan untuk melakukan kegiatan penangkaran wajib

memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Mempekerjakan dan memiliki tenaga ahli dibidang penangkaran jenis yang

bersangkutan

2. Memiliki tempat dan fasilitas penangkaran yang memenuhi syarat-syarat

teknis

3. Membuat dan menyerahkan proposal kerja

Berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988 tentang

Penangkaran Satwaliar dan Tumbuhan Alam, maka untuk memperoleh izin usaha

penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam adalah sebagai berikut :

1. Pengajuan permohonan ke Dirjen PHPA dengan tembusan ke Kakanwil

Kehutanan Propinsi dan BKSDA, dengan melampirkan SIUP (Surat Izin

Usaha Perdagangan) dan SITU (Surat Izin Tempat Usaha) dari Departemen

Perdagangan dan Berita Acara Pemeriksaan Persiapan Teknis Penangkaran.

2. Pemeriksaan oleh Kanwil Kehutanan dan BKSDA Propinsi Dati I

3. Berdasarkan lampiran, maka dikeluarkan rekomendasi penangkaran dari

Kanwil Kehutanan ke Dirjen PHPA

4. Dirjen PHPA mengeluarkan izin usaha penangkaran yang berlaku selama

maksimum 5 tahun untuk usaha non komersial dan 10 tahun untuk usaha

komersial dan dapat diperpanjang setelah habis masa berlaku.

Secara lengkap alur prosedur perizinan penangkaran satwa liar dan

(36)

Gambar 3. Prosedur perizinan penangkaran satwa liar dan tumbuhan alam berdasarkan SK Dirjen. PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988.

Teknik Penangkaran

1. Adaptasi

Menurut Setiadi dan Tjondronegoro (1989), adaptasi adalah setiap sifat

atau bagia n yang dimiliki organisme yang berfaedah bagi kelanjutan hidupnya

pada keadaan sekeliling habitatnya. Adaptasi dapat dinyatakan sebagai suatu

kemampuan individu untuk mengatasi keadaan lingkungan dan menggunakan

sumber-sumber alam lebih baik untuk mempertahankan hidupnya dalam

relung (niche) yang diduduki.

Secara alami rusa termasuk satwa yang mempunyai kemampuan

adaptasi lingkungan yang sangat tinggi. Di lingkungan yang banyak aktivitas

manusia, bahkan di lingkungan dengan kondisi makanan yang jelek sekalipun

rusa mampu beradaptasi dengan baik. Meskipun demikian diperlukan

(37)

mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan seperti terjadinya stres,

serangan penyakit dan kematian, sehingga dapat mengoptimalkan manfaat

yang diperoleh.

Menurut Thohari et al., (1991), salah satu cara yang dapat dilakukan

untuk mempermudah penanganan rusa yang baru ditangkap ke tempat

penangkaran adalah dengan menempatkan rusa dalam kandang yang gelap

dan relatif tidak luas. Pedok ini dapat dibagun dalam pedok karantina.

Disamping itu untuk membiasakan rusa terhadap penggiringan dapat

dilakukan dengan melatih secara teratur dalam waktu tertentu dengan

memperlihatkan tanda-tanda tertentu (bendera atau suara).

Usaha pengadaptasian ini selain ditujukan pada rusa-rusa yang telah ada

di lokasi penangkaran guna mempermudah penanganannya, juga diperlakukan

pada rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar areal penangkaran. Untuk

rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar areal penagkaran, langkah

pengadaptasian ini dilakuka di pedok karantina selama 1 – 2 minggu, selain

untuk tujuan adaptasi juga untuk mencegah kemungkinan penyakit yang

dibawanya.

2. Pengembangbiakan

Dalam usaha penangkaran, masalah pengembangbiakan memegang

peranan yang sangat penting, karena dasar keberhasilan usaha penangkaran

terletak pada keberhasilan reproduksinya. Ada tiga cara yang dapat dilakukan

dalam upaya pengembangbiakan rusa di penangkaran, yaitu :

a. Secara alamiah

Dengan membiarkan rusa kawin dan berkembangbiak tanpa campur

tangan manusia.

b. Secara semi alamiah

Sistim perkawinan rusa diatur manusia, antara lain dengan mengatur

perbandingan jumlah jantan. Menurut Semiadi dan Nugraha (2004),

imbangan kelamin untuk rusa tropis adala h 1 : 6 – 10, tetapi pada

(38)

c. Secara inseminasi buatan (IB)

Sistim perkawinan rusa yang tidak banyak memerlukan pejantan.

Beberapa pejantan yang baik ditampung semennya. Dengan beberapa

perlakuan tertentu, selanjutnya dapat dilakuan perkawinan secara buatan

yang biasa disebut dengan sistim AI (Artificial Insemination). Sistem

perkawinan secara inseminasi buatan dalam dunia rusa awalnya hanya

untuk kepentingan penelitian, yang dimulai tahun 1980 dan meluas sejalan

dengan berkembangnya industri pembibitan rusa yang mengharapkan

diperolehnya pejantan unggul dalam waktu singkat dan efisien.

Komersialisasi pelayanan IB ditingkat pembibitan dimulai tahun 1986an,

tetapi untuk tingkat komersil masih terlalu mahal. Saat ini kegiatan IB

pada rusa di Indonesia masih untuk tujuan penelitian dalam rangka

pemahaman sifat reproduksi rusa tropis, tetapi sosialisasi telah pula

dilakukan di beberapa penangkar yang akan diarahkan menjadi penangkar

pembibit rusa.

Agar dapat diperoleh kualitas keturunan yang baik, dalam usaha

penangkaran perlu dilakukan pemilihan induk dan pejantan yang baik.

Untuk itu dalam jangka panjang usaha penangkaran harus mendasarkan

pada sistim seleksi yang benar. Untuk mendukung pelaksanaan seleksi

yang benar maka perlu dilakukan pencatatan (recording ) yang benar,

terhadap individu rusa yang ada di dalam penangkaran, terutama individu

yang akan dijadikan bibit.

3. Seleksi Bibit

Untuk memperoleh keturunan yang baik, didalam usaha pena gkaran rusa

perlu diperhatikan pemilihan induk- induk dan pejantan rusa yang baik. Oleh

karenanya dalam jangka panjang, penangkaran rusa hendaknya mengarah

pada sistim seleksi yang benar serta sistim pencatatan (recording) setiap

individu yang ada dipenangkaran.

Dasar seleksi yang dapat diterapkan dalam pemilihan bibit diiantaranya

adalah :

a. Berdasarkan silsilah/keturunan (Pedegree)

yaitu pemilihan bibit yang didasarkan atas tetuanya yang mempunyai

produksi dan kualitas performen yang baik, misalnya jelas induknya,

(39)

b. Berdasarkan penampilan(Performen)

yaitu pemilihan bibit yang didasarkan atas penampilan bentuk luar dari

rusa calon bibit, misalnya mempunyai pertumbuhan yang baik, tidak

cacat, relatif jinak, bulu halus.

c. Berdasarkan uji keturunan (Uji Zuriat)

yaitu pemilihan bibit khususnya pejantan yang didasarkan atas

produkstivitas keturunannya. Seleksi ini memerlukan waktu yang cukup

panjang

4. Perawatan Kesehatan dan Penyakit

Kesehatan rusa di penangkaran dipengaruhi oleh banyak faktor, antara

lain kondisi lingkungan, makanan, pola manajemen, serta kelainan

metabolisme. Perawatan kesehatan dan pengobatan penyakit secara baik dan

lebih dini akan mendukung keberhasilan usaha penangkaran tersebut.

Untuk menghindari kemungkinan berjangkitnya penyakit perlu

mendapat perhatian, khususnya yang berkaitan dengan pencegahannya,

misalnya : melalui vaksinasi disamping pemeriksaan mulut maupun injeksi.

Dalam hal ini rusa yang baru datang dari luar loksi penangkaran dan

anak-anak rusa yang baru lahir segera diberi vaksin anti cacing dan penyakit

lainnya.

Beberapa jenis parasit yang menyerang rusa diantaranya adalah :

eksternal parasit (lalat hijau dan caplak), internal parasit (cacing

paru/Dictyocaulus spp.), sedangkan penyakit yang perlu mendapat perhatian

adalah : luka pada lambung dan usus, Salmonelosisi, Pnumonia, Malignant

Catarhal Fever, Brucellosis, Tuberculosis, Capture myopathy, Antraks serta

gangguan metabolisme misalnya keracunan.

5. Pembangunan Padang Pengembalaan dan Kebun Rumput

Usaha penangkaran tidak dapat dipisahkan dengan ketersediaan

pakannya. Ketersediaan pakan ini berupa pakan utama (rumput dan hijauan

yang lain) serta pakan tambahan yang dapat berupa ubi- ubian, dedak maupun

(40)

Sebagai ruminansia, rusa membutuhkan sebagian besar makanan berupa

rumput. Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan usaha penangkaran

perlu adanya padang rumput. Padang rumput merupakan suatu lahan yang

didomonasi oleh berbagai tipe tumbuhan terutama jenis rumput-rumputan dan

tumbuhan herba yang lain. Dalam hal usaha penangkaran, keberadaan padang

rumput merupakan sumber pakan hijauan utama bagi rusa yang ditangkarkan.

Beberaqpa jenis rumput yang dapat dijadikan sebagai rumput padang

penggembalaan antara lain rumput Bracihiaria brizanta, rumput Australia

(Paspalum dilatatum), rumput kolonjono (Brachiaria mutica), Brachiaria

decumbens, Panicum maximum dan Setaria sphacelata. Sedangkan untuk

jenis leguminosa antara lain stylo (Sthylosanthes guyanensis), Arachis

hypogea dan kerabatnya serta pohon lamtoro (Leucaena leucosephala) dan

turi (Sesbania grandiflora) yang sekaligus dapat dijadiken sebagai pohon

peneduh.

6. Pedok

Dalam sistim penangkaran rusa skala besar dapat diterapkan pola Deer

Farming. Rusa ditempatkan dalam kelompok-kelompok dalam suatu pedok

yang ukurannya disesuaikan dengan jumlah rusa yang ada.

Keadaan topografi tidak terlalu berpengaruh, sebab rusa termasuk

satwa yang mudah beradaptasi dalam kondisi topografi yang cukup bervariasi.

Namun keadaan topografi yang curam merupakan faktor pembatas bagi

pembuatan jalan, baik untuk koridor maupun jalan bagi kendaraan angkut.

Pada sistem pedok banyak hal yang perlu diperhatikan dalam

pembangunannya. Ini tidak lain karena pada umumnya dalam sistim pedok

luasan lahan yang digunakan adalah besar. Beberapa hal penting yang perlu

diperhatikan adalah :

a. Lokasi pedok

Penentuan loksai pedok memegang peranan penting demi kelancaran

(41)

b. Bentuk Pedok

Bentuk pedok perlu disesuaikan dengan keadaan topografi. Pedok yang

memanjang lebih memudahkan dalam hal penggiringan rusa keluar dari

pedok. Tetapi pada pedok berbentuk persegi empat akan mengurangi

rusa untuk bergerombol di satu sisi, sehingga mengurangi tingkat erosi

atau kerusakan area rumput.

c. Luasan pedok

Penentuan luas pedok berkaitan dengan jumlah pedok yang akan dibuat,

kemudahan pengelolaan rusa dan jumlah rusa yang akan dipelihara.

Satuan pedok hendaknya tidak terlalu luas. Idealnya yang terbesar

sekitar 1,5 – 2,0 ha, yang sedang 0,3 – 1,0 ha dan pedok berukuran kecil

sekitar 50 - 200 m2. Secara garis besar kepadatan rusa pada padang

penggembalaan yang cukup subur berkisar antara 12 – 15 ekor/ha untuk

rusa dewasa atau untuk rusa remaja (< 2 tahun) sekitar 15 – 20 ekor/ha

(Semiadi dan Nugraha, 2004).

d. Pintu dan jalan/gang pedok

Setiap pedok harus dihubungkan dengan pintu untuk menuju pedok lain.

Selain itu perlu dibuat jalan/gang tersendiri dari pedok terjauh menuju

kandang kerja atau pedok lainnya dengan tidak melewati pedok di

sebelahnya. Dalam penempatan pintu pedok sebaiknya berada di salah

satu sudut pagar pedok, hal ini untuk mempermudah saat melakukan

penggiringan rusa ke pedok yang lainnya.

e. Naungan

Naungan baik yang alami maupun yang buatan sangat diperlukan bagi

rusa yang berasda di pedok. Di alam bebas naungan akan dicari sendiri

oleh rusa manakala diperlukan, tetapi di dalam pedok rusa harus dapat

menerima apa adanya. Oleh sebab itu untuk menghindari stres bahkan

penurunan produksi akibat ketidak nyamanan cuaca yang ekstrim

(panas, hujan), maka ketersediaan naungan perlu diperhatikan. Naungan

tidaklah harus berupa atap seluruhnya (buatan) atau pohon khusus di

dalam pedok. Tetapi dapat dikemas sebagai bagian dari strategi

(42)

dimana kerindangan kanopi dahan dapat berfungsi sebagai naungan dan

daunnya dapat dimanfaatkan sebagai hijauan tambahan.

f. Pagar

Sebagai pembatas antara pedok dengan dunia luar atau antara pedok

yang satu dengan pedok lainnya diperlukan pemagaran. Konstruksi

kandang harus kuat, sehingga dapat menjaga kenyamanan rusa yang ada

di dalamnya. Bahan yang dapat dipakai diataranya adalah anyaman

kawat denga n tinggi pagar untuk pemisah antara pedok dengan dunia

luar ± 2,0 m dan pagar didalam (antar pedok) ± 1,75 – 2,0 m. Khusus

pada pedok untuk kelahiran/pedok anak dijaga betul kerapatannya,

sehingga anak rusa tidak dapat keluar atau tidak ada hewan liar ya ng

masuk ke dalam pedok untuk mengganggu atau memangsa anak-anak

rusa. Namun demikian pagar tidah harus terbuat bdari anyaman kawat

melainnkan dapat terbuat dari bahan lain, misalnya anyaman bambu,

yang penting fungsi sebagai pagar dapat terpenuhi, yaitu melindungi

rusa yang ada di dalamnya dari gangguan dunia luar atau menjaga agar

rusa tidak melarikan diri.

g. Jenis Pedok

Dalam usaha penangkaran dikembangkan beberapa macam pedok,

yaitu : (a) pedok karantina, (b) pedok induk, (c) pedok pejantan, (d)

pedok perkawinan (e) pedok anak dan (f) pedok terminal.

Kelayakan Ekonomi Usaha Penangkaran Rusa

Menurut Gray (1993), salah satu cara mencari ukuran yang menyeluruh

sebagai dasar penerimaan atau perolehan suatu usaha, maka dilakukan analisa

kriteria investasi.

Analisis finansial dilakukan dengan menggunakan discounted cash flow.

Untuk proyek-proyek yang dibiayai dari dana swasta (private investor) maka

analisis/evaluasinya dititik beratkan pada hasil analisis finansial. Dalam hal ini

rencana investasi ditinjau dari segi cash-flow, yakni perbandingan antara hasil

penjualan kotor (gross-sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost). Bila

(43)

dilanjutkan, sedangkan bila menunjukkan net benefit negatif (rugi) maka rencana

investasi tersebut dibatalkan. Nilai- nilai yang dihitung mencakup NPV, IRR dan

BCR. Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai- nilai tersebut adalah

sebagai berikut (Djamin, 1992) :

1. Net Present Value (NPV)

Keuntungan bersih suatu usaha adalah pendapatan kotor dikurangi

jumlah biaya, maka NPV suatu usaha merupakan selisih Present Value arus

keuntungan dengan Present Value arus biaya. Suatu usaha dapat dinyatakan

layak iuntuk dilaksanakan apabila NPV usaha tersebut sama atau lebih besar

dari 0 (nol) dan bila sebaliknya maka usaha tersebut merugi. Nilai NPV

dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

( )

BRC adalah perbandingan antara pendapatan dengan biaya. Suatu usaha

dikatakan layak untuk diusahakan apabila nilai BRC dari usaha tersebut lebih

besar dari 1 (satu) dan bila sebaliknya, maka usaha tersebut tidak layak untuk

diusahakan. Nilai BCR dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

(44)

3. Internal Rate of Return (IRR)

IRR adalah suku bunga diskonto yang menyebabkan jumlah hasil

diskonto pendapatan sama dengan jumlah hasil diskonto biaya, atau suku

bunga yang membuat NPV bernilai 0 (nol). Suatu usaha dikatakan layak

apabila IRR lebih besar dari suku bunga diskonto. Nilai BCR dapat

dihitung dengan menggunakan persamaan :

DFN = Discounting factor yang digunakan yang

menghasilkan present value negatif

PVP = Present value positif

PVN = Present value negatif

Untuk mengetahui jangka waktu pengembalian (Payback Period) suatu

usaha, yaitu waktu yang diperlukan untuk membayar kembali semua biaya-biaya

yang telah dikeluarkan didalam investasi suatu usaha dapat dihitung dengan

Gambar

Gambar  1.   Kerangka pemikiran penelitian perencanaan penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem  farming
Gambar 2.   Rusa timor (Cervus timorenisi de Blainville).  a. rusa jantan, b. rusa betina
Gambar  3. Prosedur perizinan penangkaran satwa liar dan tumbuhan alam berdasarkan SK Dirjen
Tabel 1 Perbandingan kondisi fisik daerah penyebaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan  lokasi  penangkaran di Kampus IPB Darmaga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengusahaan penangkaran pada kondisi optimal layak untuk dilaksanakan, karena secara finansial dengan pemanenan daging dan ranggah muda dapat meningkarlran nilai NPV,

Pengujian model pertumbuhan rusa timor di padang penggembalaan Sadengan tidak dapat dilakukan karena ukuran populasi pada tahun 2005 melebihi kapasitas daya dukung

Berdasarkan jatah panen pada masing-masing sistem penangkaran sebagaimana telah disampaikan di muka, maka diperoleh ukuran populasi pada saat pemanenan (Nt) sebesar

Jenis rumput yang ada di calon lokasi penangkaran di Universitas Riau tidak memenuhi nilai gizi kebutuhan rusa timor, untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifi- kasi pakan rusa yang diberikan oleh pengunjung di penangkaran serta mengidentifikasi ada tidaknya perubahan perilaku dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkah laku harian rusa Timor ( Cervus timorensis ) dalam kondisi penangkaran yang lebih luas dengan jumlah

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifi- kasi pakan rusa yang diberikan oleh pengunjung di penangkaran serta mengidentifikasi ada tidaknya perubahan perilaku dan

Pada pendugaan pertumbuhan rusa timor, nilai N 0 yang digunakan adalah rata-rata dari jumlah total populasi di TNAP pada tahun 2006, yaitu sebesar 8157 ekor dengan