(Cervus timorensis
de Blainville) DENGAN SISTEM
FARMING :
Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga
S U M A N T O
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR
(Cervus timorensis
de Blainville) DENGAN SISTEM
FARMING :
Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga
S U M A N T O
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis
de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga
Nama : Sumanto
Nomor Pokok : E051040365
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Sub Program Studi : Konservasi Biodiversitas
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, M.S Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA
Ketua Anggota
Diketahui :
Ketua Sub Program Studi, Dekan Sekolah Pascasarjana,
Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Penangkaran Rusa
Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di
Penangkaran Rusa Kampus IPB – Darmaga adalah karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2006
iii
©
Hak cipta milik Sumanto, tahun 2006Hak cipta dilindungi
iv ABSTRACT
SUMANTO. Captive Breeding Planning of Timor Deer (Cervus timorensis de Blainville) with farming system : Case Study in Timor Deer Captive Breeding at IPB Campus – Darmaga. Under the direction of BURHANUDDIN MASY’UD and A. MACHMUD THOHARI.
Timor deer (Cervus timorensis de Blainville) is one of Indonesia wildlife species which population growth on natural habitat facing many threats as impact of human activities, like wild hunting and habitat destinction and fragmentation. Timor deer can be developed as livestock in the future its ability in difference geographic area of Indonesia. Farming system is appropriate model to be developed, because majority of Indonesian farmers ha ve about less than 1 hectares of farm area.
The objectives of this research are: to analyse suitable location, to analyse breeding plan and economical aspect. The research was caried out in captive breeding field labratory of IPB Darmaga Campus. Equipments which have been used are: digital camera, rool meter, weighing- machine and a set of computer with design program. Materials which used are: map, timor deers and plastic bags. This research used field observation method, literature study and interview method.
Pursuant to this research with based on bioecological condition, IPB captive breeding is suitable for timor deer captive location. Farm location was devideed into: headquarter zone 0,10 hectare (2,35%) and captive breeding zone 4,15 hectare (97,65%). Captive breeding management to be executed is farming system. Based on economic analysis, until 21,35% interest, captive breeding with farming system still give advantage if population size of parent stock in first year are 105, and 210 in second year and to be taken care until ninth year, with payback period 4,53 years.
v ABSTRAK
SUMANTO. Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB – Darmaga. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan A.
MACHMUD THOHARI.
Rusa timor adalah salah satu jenis satwa liar asli indonesia. Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville), adalah salah satu spesies dari keanekaragaman hayati milik bangsa Indonesia, yang kondisi di habitat aslinya mendapat tekanan demikian besar sebagai akibat dari kegiatan manusia, dalam bentuk perburuan liar maupun pengrusakan habitat. Sebagai satwa harapan yang mempunyai daya adaptasi sangat tinggi serta penyebaran yang luas, rusa timor sangat memungkinkan untuk dipelihara/ditangkarkan di seluruh Indonesia baik dengan sistem Deer Ranching maupun dengan sistem Deer Farming. Mengingat rata-rata kepemilikan lahan bagi masyarakat Indonesia ± 1 ha, maka sistem penangkaran yang memungkinkan untuk dikembangkan adalah dengan sistem deer farming.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk me nganalisis kelayakan lokasi, penyusunan perencanaan penangkaran dan menganalisis kelayakan usaha. Penelitian ini dilaksanakan di lokasi penangkaran rusa kampus IPB Darmaga. Alat yang digunakan terdiri dari kamera, roll meter, timbangan dan seperangkat komputer dengan program disain. Sedangkan bahan yang digunakan adalah : peta lokasi, rusa timor dan habitatnya serta kantong plastik. Metode yang digunakan adalah pengamatan langsung dilapangan, studi litelatur dan wawancara.
Berdasarkan hasil penelitian, maka lokasi yang diperuntukkan bagi penangkaran rusa di kampus IPB – Darmaga dinyatakan layak secara bioekologi. Lokasi yang ada dibagi menjadi : zona perkantoran seluas 0,10 ha (2,35%) dan zona penangkaran 4,15 ha (97,65%). Manajemen penangkaran yang dilaksanakan adalah penangkaran dengan sistem deer farming.
Berdasarkan hasil analisis finansial, maka usaha penangkaran rusa dengan sistem deer farming dengan populasi induk pada tahun pertama adalah 105 ekor dan tahun kedua 110 ekor yang dipertahankan sampai tahun kesembilan cukup layak dan menguntungkan sampai pada tingkat suku bunga 21,35% dengan jangka waktu pengembalian modal adalah 4,53 tahun.
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Juli 1968 di
Desa Gentan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah. Merupakan anak kelima dari lima
bersaudara pasangan Bapak Sonto Sumardjo dan Ibu
Madiyem (Almh). Pada tahun 1981 menamatkan
Pendidikan Sekolah Dasar di SD Inpres Pulau Mainan II,
tahun 1984 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 4
Wonotiung. Tahun 1987 menamatkan Pendidikan Menengah Atas di SMT
Pertanian Negeri Sitiung. Semuanya berada di Kecamatan Koto Baru,
Kabupaten Sawahlunto/Sijunujung (sekarang Kab. Darmas Raya), Sumatera
Barat. Tahun 1992 menamatkan Pendidikan D III/A III di Fakultas Teknologi
Pertanian – IPB.
Sejak tahun 1992 sampai sekarang bertugas sebagai staf pengajar di
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Pasir Penyu, Indragiri Hulu. Riau. Tahun
2001 menamatkan Pendidikan S-1 di Fakultas Pertanian Universitas Riau –
Pekanbaru pada Program Studi Agronomi. Tahun 2004 diterima sebagai
mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana – IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan (IPK) Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas.
Beristri Umiyati binti Nadhir Mangun Wiratmo dan dikaruniai tiga orang
putra, yaitu : Hafidha Fatma Sari (12 tahun), Gilang Abiwijaya (7 tahun) dan
Fathaya Putri Handayani (1,5 tahun). Alamat tempat tinggal di Komplek SMK
vii PRAKATA
Puji dan Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
hidayah, karunia, dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Tesis ini disusun berdasarkan data dan informasi yang diperoleh selama
pengambilan data di lapangan serta analisis hasilnya.
Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Profesi dari Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis dengan judul
“PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de
Blainville) DENGAN SISTEM FARMING”: Studi Kasus di Penangkaran
Rusa Kampus IPB Darmaga ini dapat terselesaikan dibawah tim komisi
pembimbing yang diketuai oleh Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS.
dengan anggota Bapak Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA. Untuk itu ucapan
terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada komisi pembimbing,
karena tanpa arahan dan masukan yang diberikan selama penelitian dan
penulisan, maka sulit dibayangkan tesis ini dapat selesai dengan baik.
Berbagai pihak telah memberikan kontribusinya secara langsung maupun
tidak langsung bagi penyelesaian dan penyempurnaannya. Namun disadari
bahwa tesis ini masih belum sempurna, baik dalam sistematika maupun
teknik-teknik analisis dan interpretasi data yang mungkin terjadi sepenuhnya menjadi
tanggungjawab penulis.
Ucapkan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: (1) Yth.
Direktur DIKDASMENJUR DEPDIKNAS, yang telah memberikan sponsor
beasiswa dalam penyelenggaraan pendidikan Program Magister Profesi di Institut
Pertanian Bogor, (2) PEMDA Kabupaten Indragiri Hulu melalui Bapak Kepala
Dinas Pendidikan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti
program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Yth. Rektor, Dekan Sekolah
Pascasarjana, Ketua Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas dan seluruh
civitas akademika IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor, (4) Yth. Bapak Agus
Rosadi, SP selaku Kepala SMK Negeri 1 Pasir Penyu yang telah memberikan izin
dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut
Pertanian Bogor, (5) Yth. Bapak/Ibu Majelis Guru dan Staf Karyawan Tata Usaha
viii
pengertian kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini
dengan baik dan (6) Seluruh keluarga (Bapak Sonto Sumardjo, Ibu Sumarlinah,
Mas Sugiman, Mas/Mbak semuanya dan adik-adik serta keponakan semua) yang
telah memberikan motivasi dan dukungan baik secara materiil maupun spirituil,
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini tanpa hambatan suatu
apapun.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada
rekan-rekan satu kelas S2 Profesi Konservasi Biodiversitas Angkatan Pertama
atas dukungan dan kerjasamanya, karena berkat dukungan dan kerjasama dari
rekan-rekan studi S2 ini dapat penulis jalani dengan baik. Secara khusus penulis
mengucapkan terima kasih kepada istri (Umiyati) dan anak-anak kami (Hafidha
Fatma Sari, Gilang Abiwijaya dan Fathaya Putri Handayani) atas kasih dan
dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari
kebersama an kita. Tanpa pengertian dan dukungan dari istri dan anak-anak
tercinta mustahil pendidikan ini dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu tesis
ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Untuk itu penulis menyampaikan
terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.
Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam tesis ini, maka
hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT sendiri yang
memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu
penulis dan anhir kata Semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Maret 2006
ix
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI ... ii
HAK CIPTA .. ... iii Bio-ekologi RusaTimor (Cervus timorensis de Blainville) Taksonomi .. ... 6
x HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Bio-ekologi Lokasi Penangkaran Keadaan Fisik lokasi
Letak dan Luas ... 38
Iklim dan Curah Hujan ... ... 38
Topografi .. ... 39
Air (Hidrologi) ... ... 40
Tanah .. ... 41
Keadaan Biologis Lokasi Penangkaran Vegetasi ... ... 42
Satwaliar .. ... 43
Daya Dukung Lokasi ... 44
Perancangan Tapak (Site Planning) Penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Deer Farming Analisis Perancangan Tapak ... ... 48
Pewilayahan/Zonasi .. ... 48
Faktor-faktor Lanskap .. ... 51
Diskripsi dan Tata Letak Tapak ... 52
Rancangan Manajemen Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) denga Sistem Deer Farming Manajemen Penangkaran .. ... 57
Sarana dan Prasarana Penangkaran ... ... 70
Proyeksi Perkembangan Populasi .. ... 73
Analisis Kelayakan Finansial Usaha Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) denga Sistem Deer Farming.. ... 75
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... ... 79
Saran .... ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... ... 81
xi
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Perbandingan kondisi fisik daerah penyebaran rusa dengan lokasi
penangkaran di kampus IPB – Darmaga ... 41
2. Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di
Kampus IPB – Darmaga .. ... 44
3. Proyeksi perkembangan rusa selama 10 tahun pemeliharaan di
penangkaran ... ... 74
4. Proyeksi komponen biaya dan penerimaan pada usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) selama 10 tahun di
penangkaran dengan sistem deer farming ... 75
5. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus
timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga ... 76
6. Hasil analisis sensitivitas finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Penelitian Disain Penagkaran Rusa Timor
(Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistim Farming . ... 5
2. Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) a. Rusa jantan, b. Rusa betina .. ... 6
3. Prosedur perizinan penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam berdasarkan SK Dirjen PHPA No.07/Kpts/DJ-VI/1988 ... ... 21
4. Disain Metote Garis Berpetak Dalam Analisis Vegetasi . ... 32
5. Peta Topografi Lokasi Penangkaran rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Dermaga .. ... 40
6. Keadaan vegetasi yang terdapat di lokasi penangkaran rusa di kampus IPB Darmaga padasaat studi .. ... 51
7. Diskripsi dan tata letak tapak pada zona penangkaran (Headquarter zone).. ... 53
8. Diskripsi dan tata letak tapak penangkaran di kampus IPB Darmaga.. ... 55
9. Desain pagar yang disarankan ... ... 56
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1a. Hasil analisa vegetasi tingkat bawah/semai di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di
Kampus IPB – Darmaga .... ... 84
1b. Hasil analisa vegetasi tingkat pancang di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di
Kampus IPB – Darmaga .... ... 86
1c Hasil analisa vegetasi tingkat tiang dan pohon di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di
Kampus IPB – Darmaga .... ... 87
2. Daftar jenis satwaliar yang ditemukan di lokasi penangkaran rusa timor (Cervustimorensis de Blainville) di Kampus IPB – Darmaga
... 88
3. Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di
Kampus IPB – Darmaga .. ... 89
4. Rencana anggaran biaya pembangunan dan pengembangan sarana fisik usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de
Blainville) dengan sistem “deer farming” .. ... 91
5. Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervustimorensis
de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem
“deer farming” ... 93
6. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem “deer farming” (Skenario penerimaan/harga turun 10% dan
biaya tetap) ... 96
7. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Bla inville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem “deer farming” (Skenario penerimaan tetap dan biaya
produksi naik 10%) ... 97
8. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem “deer farming” (Skenario penerimaan turun 10% dan
Latar Belakang
Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville), adalah salah satu bagian dari
keanekaragaman hayati milik bangsa Indonesia, yang kondisi di habitat aslinya
mendapat tekanan demikian besar sebagai akibat dari kegiatan manusia, dalam
bentuk perburuan liar maupun pengrusakan habitat.
Rusa timor sebenarnya merupakan satwaliar yang relatif mudah dalam hal
reproduksi/perkembangbiakan maupun penyediaan pakannya. Namun karena di
habitat aslinya dikhawatirkan akan terjadi pemanfaatan yang berlebihan sehingga
terancam punah, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, rusa
timor termasuk satwaliar yang dilindungi.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang demikian pesat, meningkat
pula pemanfaatan kekayaan alam Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Salah satu contohnya adalah pemenuhan kebutuhan protein hewani.
Atas dasar itulah maka dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam yang
dimiliki bangsa Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
404/Kpts/DT.210/6/2002, rusa dimasukkan sebagai salah satu jenis satwaliar yang
potensial untuk dikembangkan sebagai hewan ternak.
Agar tujuan dari kedua kebijakan tersebut dapat terwujud secara
bersama-sama, maka dengan semangat konservasi pemanfaatan rusa timor sebagai ternak
harapan tetap harus mengacu pada prinsip kelestarian, salah satu cara dapat
dilakukan dengan “penangkaran”.
Sebagai satwa harapan yang mempunyai daya adaptasi sangat tinggi serta
penyebaran yang luas, rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) sangat
mungkin untuk dipelihara/ditangkarkan di seluruh Indonesia. Semangat otonomi
daerah merupakan satu titik terang bagi daerah-daerah yang mempunyai wilayah
cukup luas sangat memungkinkan untuk mengembangkan penangkaran rusa timor
(Cervus timorensis de Blainville) baik dengan sistem Ranching maupun dengan
sistem Farming.
Deer Ranching adalah suatu usaha penangkaran/pemeliharaan rusa yang
dilakukan secara ekstensif, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup bagi rusa
berlangsung secara alami dan peran manusia hanya sebatas mengontrol dan
penangkaran/pemeliharaan rusa yang dilakukan secara semi- intensif, dimana
sebagian besar kebutuhan hidup bagi rusa diatur dan dikendalikan oleh manusia.
Kebutuhan hidup rusa yang dimaksud adalah kebutuhan ruangan, makanan,
minuman, tempat perlindungan (selter), kesehatan sampai perkembangbiakannya.
Untuk dapat mengembangkan penangkaran dengan sistem ranching harus
tersedia lahan yang cukup luas, sementara dengan sistem farming, luasan lahan
tidak merupakan kendala, karena kebutuhan utama bagi kehidupan rusa, yaitu
pakan dan minum dapat dipenuhi dari luar. Mengingat rata-rata kepemilikan
lahan bagi masyarakat Indonesia ± 1 ha, maka sistem penangkaran yang
memungkinkan untuk dikembangkan adalah dengan sistem farming. Namun salah
satu kendala yang dihadapi oleh penangkar saat ini adalah belum adanya contoh
penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Indonesia yang
cukup berhasil baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Salah satu penyebabnya
adalah belum adanya perencanaan penangkaran dengan sistem farming yang
memperhatikan aspek bio-ekologi dari rusa timor (Cervus timorensis de
Blainville).
Menurut Masy’ud (2003), desain (rancangan) dapat diartikan sebagai
suatu rencana, struktur dan strategi kegiatan yang dimaksudkan untuk menjawab
permasalahan yang dihadapi secara efisien dan efektif yang me muat secara
sistematik keseluruhan kegiatan yang akan dilakukan, petunjuk prosedural cara
melaksanakan kegiatan, waktu dilaksanakan, data dan informasi apa yang
diperlukan, cara pengumpulan dan penganalisaan data serta kebutuhan tenaga,
biaya dan peralatannya, serta gambaran hasil yang diharapkan dari kegiatan ini.
Disain disebut sebagai rencana, karena disain ini memuat secara sistematis
keseluruhan kegiatan yang akan dilakukan. Disebut sebagai struktur karena
didalam disain tergambar model atau prinsip-prinsip operasional kegiatan serta
sifat atau jenis data yang diperlukan. Disebut sebagai strategi, karena didalamnya
terkandung petunjuk prosedural bagaimana rencana dan struktur kegiatan dapat
dijalankan, sehingga permasalahan yang dihadapi dapat terjawab secara baik
dengan variasi yang dapat dikendalikan (Masy’ud, 2003).
Mengacu pada permasalahan tersebut di atas, maka penelitian tentang
Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi yang mempunyai
ukuran luas areal tidak terlalu luas, yaitu ± 5 ha, yaitu untuk memberikan suatu
model bagi masyarakat Indonesia, bahwa sebenarnya penangkaran rusa timor
tidak harus dilakukan di areal yang luas, tetapi dengan lahan yang dimiliki oleh
kebanyakan petani peternak kita juga dapat dilakukan penangkaran rusa timor
tergantung bagaimana disain dan manajemen penangkaran itu dilakukan. Selain
itu, lokasi ini dipilih karena potensi sumberdaya berupa lokasi dan rusa timor
sudah ada tetapi penataan tapak dan manajemen penangkaran yang dilakukan
dirasa belum baik, sehingga sampai saat ini populasi yang ada belum berkembang
sebagaimana yang diharapkan. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan
dapat menjadi acuan dalam pengelolaan yang lebih baik dalam usaha
penangkaran yang sudah dilakukan dan dapat dij adikan acuan bagi siapa saja
yang akan mengembangkan penangkaran rusa dengan sistem deer farming.
Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Mengkaji kelayakan lokasi yang diperuntukkan bagi penangkaran rusa timor
dengan sistem Farming ditinjau dari kajian bio-ekologinya.
2. Menyusun perencanaan penangkaran rusa timor dengan sistem farming :
a. Perancangan tapak penangkaran
b. Rancangan manajemen penangkaran
3. Menganalisis kelayakan finansial usaha penangkaran rusa timor dengan
sistem farming berdasarkan rancangan disain yang dibuat.
Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi pihak
pengelola dalam penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville)
dengan sistem farming secara efektif dan efisien, sehingga usaha tersebut tetap
lestari dan berwawasan lingkungan.
Output
Output yang dihasilkan dari penelitian ini adalah Perencanaan Penangkaran
Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem Farming yang sesuai
Kerangka Pemikiran
Potensi sumberdaya alam yang kita miliki berupa lahan dan rusa timor
(Cervus timorensis de Blainville) apabila kita kelola dengan baik menjadi suatu
penangkaran akan dapat memberikan kesejahteraan bagi pengelolanya. Agar
penangkaran dapat berhasil dengan baik, maka prisnsip-prinsip penangkaran yang
merupakan interaksi antara bio- fisik dari lahan dan bio-ekologi dari rusa timor
(Cervus timorensis de Blainville) menjadi syarat mutlak yang harus mendapat
perhatian serius.
Penelitian ini dimulai dari menganalisis kondisi bio-ekologi calon lokasi dan
bio-ekologi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) serta kebutuhan hidup
rusa timor di penangkaran dan dilanjutkan dengan menganalisis persyaratan untuk
membuat perancangan tapak (site planning) penangkaran yang meliputi bangunan
kantor, pedok, bangunan kandang, kebun rumput, areal pembesaran dan jalan
inspeksi. Bila persyaratan yang dimaksud sudah terpenuhi, maka langkah
selanjutnya adalah melakukan perancangan tapak, yaitu meliputi analisis tapak,
pewilayahan/zonasi dan diskripsi serta tata letak tapak. Tetapi apabila persyaratan
untuk membuat perancangan tapak belum terpenuhi, maka langkah salanjutnya
perlu dilakukan analisis peningkatan kualitas tapak dan sarana dan prasaran,
sehingga persyaratan tersebut terpenuhi. Kemudian dilanjutkan dengan
perancangan tapak.
Dari analisis-analisis tersebut diatas, akhirnya akan terpilih satu alternatif
perancangan tapak yang memperhatikan aspek peruntukan lahan, waktu, biaya
dan tenaga pengembangnya. Selanjutnya akan dihasilkan suatu disain
penangkaran rusa timor (Cervustimorensis de Blainville) dengan sistem farming
yang memperhatikan bio-fisik lokasi, bio-ekologi rusa, kebutuhan hidup rusa
serta biaya dan tenaga penge lolanya.
Secara rinci kerangka dan alur pemikiran pada Penelitian Perencanaan
Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian perencanaan penangkaran rusa timor (Cervustimorensis de Blainville) dengan sistem farming.
TINJAUAN PUSTAKA
Bio-ekologi Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville)
Taksonomi
Rusa merupakan satwa timor yang termasuk anggota Klas Mamalia, Ordo
Artiodactyla, Sub Ordo Ruminansia, Famili Cervidae dan Genus Cervus. Genus
Cervus terdiri dari dua species yaitu Cervus timorensis (Rusa Timor), dan Cervus
unicolor (Rusa Sambar).
Rusa timor merupakan rusa tropis kedua terbesar setelah rusa sambar.
Dibandingkan dengan rusa tropis Indonesia lainnya, rusa timor memiliki keunikan
yaitu sebagai rusa yang memiliki banyak sub spesies, dengan daerah penyebaran
yang luas serta nama lokal yang cukup beragam tergantung daerah dimana
habitatnya berada.
Morfologi
Rusa timor merupakan dikenal juga dengan nama rusa Jawa, memiliki
warna bulu coklat abu-abu sampai coklat tua kemerahan dan yang jantan
warnanya lebih gelap. Warna di bagian perut lebih terang dari pada di bagian
punggungnya.
Gambar 2. Rusa timor (Cervus timorenisi de Blainville). a. rusa jantan, b. rusa betina
Tinggi bahu rusa betina dewasa 100 cm, sedangkan yang jantan dapat
mencapai 110 cm. Panjang badan dengan kepala kira-kira 120 – 130 cm, panjang
ekor 10 – 30 cm. Sedangkan bobot badannya dapat mencapai 100 kg.
Rusa jantan dewasa memiliki ranggah atau tanduk yang bercabang tiga,
dengan ujung-ujungnya yang runcing , kasar dan beralur memanjang dari pangkal
hingga ke ujung ranggah. Panjang ranggah rata-rata 80 – 90 cm, tapi ada yang
mencapai 111,5 cm.
Penyebaran
Famili cervidae memiliki penyebaran yang luas, terdapat hampir di seluruh
dunia, kecuali di Afrika yaitu di sebelah selatan Gurun Sahara. Di Australia,
Selandia Baru, Papua dan pulau-pulau kecil yang berdekatan, rusa marupakan
satwa yang diintroduksi. Di Indonesia, penyebaran rusa hampir meliputi seluruh
wilayah. Khusus untuk rusa timor (Cervus timorensis) penyebarannya meliputi
pulau-pulau kecil di Indonesia bagian Timur.
Menurut Van Memmel (1949) dalam Schroder (1976), menyatakan bahwa
di Indonesia Cervus timorensis terdiri dari 8 (delapan) sub species dengan daerah
penyebarannya adalah sebagai berikut :
1. Cervus timorensis rusa, terdapat di Jawa dan Kalimantan
2. Cervus timorensis laronesiotis, terdapat di Pulau Peucang, Nusa Barung,
Karimun jawa, Pulau Kemujan dan Sepanjang.
3. Cervus timorensisrenschi Sody, terdapat di Bali
4. Cervus timorensis timorensis, terdapat di Timor, Roti, Semau, Alor, Pantar,
Pulau Rusa dan kambing.
5. Cervus timorensis macassarius, terdapat di Bangai dan Seleyar.
6. Cervus timorensisdjongga, terdapat di Pulau Buton dan Muna.
7. Cervus timorensis molucentis, terdapat di Ternate, Mareh Moti, Halmahera,
Bacan, Buru dan Ambon
8. Cervus timorensis floresiensis, terdapat di Lombok, Sumbawa, Komodo,
Habitat
Habitat adalah suatu komunitas biotik atau serangkaian
komunitas-komunitas biotik yang ditempati oleh binatang atau populasi kehidupan. Habitat
yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu spesies selama
musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai
macam jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktor-faktor lainnya yang
diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan
reproduksinya secara berhasil (Bailey, 1984).
Habitat rusa timor berupa hutan, dataran terbuka serta padang rumput dan
savanna. Rusa timor diketemukan di dataran rendah hingga pada ketinggian 2600
m di atas permukaan laut (Direktorat PPA, 1978). Padang rumput dan
daerah-daerah terbuka merupakan tempat mencari makan, sedangkan hutan dan semak
belukar merupakan tempat berlindung. Salah satu tempat berlindung yang
disukai oleh rusa timor (Cervustimorensis) adalah semak-semak yang didominasi
oleh kirinyuh (Eupatorium spp.), saliara (Lantana camara), gelagah (Saccarum
spontaneum) dan alang-alang (Imperata cylindrica). Rusa timor termasuk satwa
yang mudah beradaptasi dengan lingkungan yang kering bila dibandingkan
dengan jenis rusa yang lain, karena ketergantungan terhadap ketersediaan air
relatif lebih kecil. Dengan kemampuan adaptasi yang baik ini rusa timor mampu
berkembangbiak dengan baik di daerah-daerah meskipun bukan habitat aslinya.
Berdasarkan beberapa contoh perkembangan rusa timor (Cervustimorensis)
di daerah yang bukan merupakan habitat aslinya, terbukti bahwa populasi rusa
timor (Cervus timorensis) dapat berkembang pesat di daerah-daerah yang bukan
merupakan habitat aslinya, misalnya di Papua, Maluku dan Kalimantan bila
dibandingkan dengan populasi di habitat aslinya, terutama di Pulau Jawa dan
Bali.
Aktivitas Harian dan Perilaku
Rusa adalah satwa yang aktif baik siang maupun malam hari. Namun untuk
rusa timor lebih aktif pada siang hari. Meskipun bukan satwa nocturnal, rusa
Aktivitas harian rusa meliputi perjalanan dari dan ke tempat mencari
makanan dan air, makan dan beristirahat. Sebagaimana herbivora pada
umumnmya, rusa menghabiskan waktunya berjam-jam untuk makan dan diselingi
perjalanan-perjalanan pendek untuk beristirahat maupun menuju ke tempat air.
Untuk aktivitas makan rusa timor lebih banyak menghabiskan waktunya pada
pagi dan sore hari. Sedangkan siang hari cenderung mencari perlindungan dari
teriknya sinar matahari, beristirahat sambil memamah biak. Pada malam hari
aktivitas makan juga berlangsung, tetapi tidak begitu aktif.
Dalam perilaku sosial, rusa timor pada umumnya hidup dalam kelompok
antara 3 ekor sampai 20 ekor. Namun jika berada di padang penggembalaan
terkadang dapat membentuk kelompok besar sampai jumlah 75 – 100 ekor.
Kelompok rusa Timor sering dijumpai terdiri dari induk dan anak baik yang
masih kecil maupun yang sudah remaja, serta rusa-rusa muda. Baru menjelang
musim kawin berangsur-angsur rusa jantan mendekati kelompok rusa betina ini.
Di dalam kelompok rusa timor biasanya dijumpai dua pemimpin. Dalam
keadaan normal pemimpin kelompok adalah rusa jantan dewasa. Rusa jantan
dewasa biasanya memimpin kelompoknya dalam rangka perpindahan tempat
untuk mencari makan dan penjelajahan wilayah secara periodik. Dalam keadaan
darurat atau menghadapi ancaman pemimpin kelompok akan diambil alih oleh
induk. Dalam keadaan terdesak induk lebih bertanggung jawab terhadap
kelompoknya, sedangkan pejantan akan panik dan lebih sering pergi
meninggalkan kelompoknya.
Pada musim kawin, perilaku rusa banyak mengalami perubahan. Pada awal
musim kawin, rusa menjadi gelisah dan peka terhadap kedatangan mahluk asing
di lingkungannya. Rusa jantan lebih peka terhadap kedatangan pejantan lain dan
menantang pejantan lain untuk berkelahi dalam rangka memperebutkan atau
mempertahankan betina. Dalam keadaan birahi, berkubang merupakan aktivitas
yang menonjol. Sambil berbaring di kubangan, rusa jantan akan mengayunkan
ranggahnya ke kanan kiri atau menusukkannya ke dalam lumpur. Ranggah juga
sering kali digosok-gosokkan kepohon atau kesemak-semak. Perilaku ini oleh
Rusa jantan biasanya menetapkan dan mempertahankan daerah teritorinya
dari pejantan lain. Kadang-kadang daerah teritori ini tumpang tindih untuk
pejantan yang satu dengan pejantan yang lainnya, Daerah teritori ini biasanya
ditandai dengan cara menggores pohon dengan ranggahnya atau ditandai dengan
urin dan bau-bauan lainnya. Daerah teritori ini biasanya hanya berlaku pada
musim kawin saja.
Rusa betina pada musim kawin akan mondar- mandir dari daerah teritori
pejantan satu ke daerah teritori pejantan yang lain untuk memilih pejantan, dan
akhirnya menetap pada daerah teritori pejantan yang dipilihnya sampai terjadi
perkawinan. Pada umumnya kopulasi terjadi pada malam hari.
Rusa betina akan menghabiskan masa buntingnya di dalam kelompok awal.
Menjelang saat-saat melahirkan calon induk menjadi gelisah dan tidak bisa diam.
Kemudian akan memisahkan diri dari kelompoknya untuk mencari tempat yang
sesuai untuk melahirkan anaknya. Biasanya tempat-tempat yang ditumbuhi
semak-semak dan terlindung.
Biologi Reproduksi
1. Musim berkembangbiak
Menurut Van Bammel (1949) dalam Schroder (1976), mengatakan
bahwa rusa-rusa yang ada di Indonesia, melahirkan anak sepanjang tahun,
artinya tidak dibatasi musim tertentu seperti yang terjadi pada daerah yang
beriklim sedang. Namun demikian puncak frekwensi melahirkan terjadi pada
bulan-bulan tertentu di setiap tahunnya. Musim melahirkan bia sanya terjadi
pada saat datangnya musim hujan, dimana pada masa- masa ini berbarengan
dengan melimpahnya tumbuh-tumbuhan sebagai sumber pakan.
Sody (1940) dalam Thohari, et al. (1991) menyatakan musim kelahiran
anak-anak sambar di Sumatera adalah pada bula n Juli dan Oktober dan untuk
sambar di Kalimantan adalah pada bulan Maret. Untuk rusa timor, musim
kelahiran berbeda-beda tergantung daerahnya. Di Jawa musim melahirkan
terjadi pada bulan April-Juni dan September. Di Flores terjadi pada bulan
Maret dan di Sulawesi terjadi pada bulan Januari dan Agustus.
Rusa timor mengalami masa kebuntingan selama 240 – 270 hari
(rata-rata 267 hari). Seekor induk yang bunting biasanya melahirkan satu ekor
anak, dan kadang-kadang dua ekor anak kembar (van Lavieren, 1983).
Umur termuda untuk melahirkan bagi rusa timor (Cervus timorensis)
adalah 2 – 3 tahun, dan masa mengasuh anak biasanya berlangsung sekitar
4 – 5 bulan.
Menurut Hoogerwerf (1949), nisbah seksual untuk rusa timor (Cervus
timorensis) di Ujung Kulon adalah 2 : 2,3 dan di Indonesia pada umumnya
adalah 1 : 3.
3. Musim Birahi
Seperti halnya musim berkembangbiak, tidak ada batasan waktu yang
jelas bagi musim birahi rusa di Indonesia. Meningkatnya aktivitas musim
birahi dalam setahun dapat diamati, namun waktu-waktu ini bervariasi dari
satu daerah ke daerah lainnya. Meskipun dalam musim birahi, rusa-rusa yang
berada dalam tahap siklus seksual lainnya masih dapat ditemukan.
Meskipun hidup bersama dalam satu kelompok, setiap rusa mengikuti
siklus seksualnya masing- masing. Berdasarkan beberapa hasil penelitian,
terdapat kaitan erat antara musim birahi dengan terlepasnya
tanduk-tanduk/ranggah rusa.
Masa birahi dimulai segera setelah ranggah rusa tumbuh sempurna dan
ditandai dengan terkelupasnya velvet yang membungkus tanduk. Masa birahi
ini lebih dari satu bulan. Hoogeerwerf (1970) menyebutkan bahwa musim
birahi rusa di Jawa Barat berlangsung antara bulan Juli hingga September dan
periode terkelupasnya velvet diperkirakan pada bulan Juni dan Juli. Musim
birahi ini kelihatan sangat jelas ketika jumlah rusa-rusa betina yang berada
dalam keadaan birahi mencapai puncaknya. Hal ini menunjukkan bahwa
musim birahi ditentukan dan dipacu oleh rusa betina.
Musim birahi berakhir pada saat semua betina yang berada dalam
keadaan birahi telah mendapatkan pasangannya. Sementara betina-betina
akan dilayani oleh rusa-rusa jantan yang “abnormal” siklusnya, bahkan tidak
semua betina seperti ini akan mendapat pasangan.
Pakan
Suksesnya suatu usaha penangkaran satwa antara lain ditunjang oleh pakan
yang berkualitas yang mampu diberikan oleh pemeliharanya. Secara umum
bahan makanan seluruh jenis rusa di Indonesia adalah sama, yaitu rerumputan,
pucuk daun dan tumbuhan muda. Namun demikian karakteristik pakan untuk
Rusa Timor (Cervustimorensis de Blainville) adalah pakan utama rumput, daun
muda dan buah-buahan yang jatuh (Maradjo, 1978) dalam Thohari, et al. (1991).
Pakan rusa selain dari rerumputan dan hijuan lainnya sebagai tambahannya
dapat berupa konsentrat, sayur- mayur, umbi- umbian atau limbah pertanian
(Semiadi dan Nugraha, 2004).
Semiadi (1998), menyatakan bahwa hijauan yang dimakan rusa adalah :
Imperata cylindrica, Sacharum spontaneum, Paspalum sp., Leersia hexandra,
Cynodon dactylon, Eleusine indica, Anastrophus compressus, Kyllinga
mono-chephala, Cyperus rotundus, Fimbristylis annua, Ficus sp., Berechtites
hieradi-folia, Centella asiatica dan Crotalaria anaqryoides.
Pada pemeliharaan rusa dengan sistim Deer Farming, beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam pengadaan pakan adalah :
1. Daya dukung habitat
Daya dukung adalah jumlah individu satwaliar dengan kualitas tertentu
yang dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap
sumberdaya habitat (Bailey, 1984). Menurut Dasmann (1964), Moen (1973)
dan Boughey (1973) dalam Alikodra (2002), daya dukung lingkungan adalah
jumlah satwa liar yang dapat ditampung oleh suatu habitat; batas (limit) atas
pertumbuhan suatu populasi, yang diatasnya jumlah populasi tidak dapat
berkembang lagi; jumlah satwa liar pada suatu habitat yang dapat mendukung
kesehatan dan kesejahteraannya.
Daya dukung akan tercapai apabila pertumbuhan suatu populasi lambat
karena pertumbuhan populasi dipengaruhi oleh faktor- faktor persaingan,
terbatasnya ruangan dan makanan (Tarumingkeng, 1994).
Menurut Syarief (1974), besarnya daya dukung suatu areal dapat
dihitung melalui pengukuran salah satu faktor habitat. Untuk menghitung
produktivitas hijauan berupa padang rumput dapat menggunakan cara yang
diperkenalkan oleh Mc. Ilroy Tahun 1964 yaitu dengan pemotongan hijauan
dari suatu luasan padang rumput sebagai sampel, menimbangnya dan dihitung
produksi per unit luas per unit waktu.
Menurut Brown (1954) dalam Susetyo (1980), hijauan yang ada di
lapangan tidak seluruhnya tersedia bagi satwa, tetapi harus ada sebagian yang
ditinggalkan untuk menjamin pertumbuhan selanjutnya dan pemeliharaan
tempat tumbuh. Bagian hijauan yang dapat dimakan oleh satwa disebut
proper use. Susetyo (1980) menyatakan bahwa faktor yang paling
berpengaruh terhadap proper use suatu padang penggembalaan adalah
topografi. Karena hal itu sangat membatasi ruang gerak satwa. Proper use
pada lapangan datar dan bergelombang (kemiringan 0 – 5o) adalah 60 –
70%, lapangan bergelombang dan dan berbukit (kemiringan 5 – 23o) adalah
40 – 45% dan lapangan berbukit sampai curam (kemiringan lebih dari 23o)
proper use-nya adalah 25 – 30%.
Menurut Susetyo (1980) apabila daya dukung suatu kawasan dihitung
per hari, maka besarnya daya dukung dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
Kebutuhan hidup bagi setiap satwa memerlukan hal yang sangat penting
sekali untuk dapat mempertahankan hidupnya. Beberapa hal yang
menyang-kut kebutuhan hidup bagi seekor satwa antara lain makan, minum dan garam
Kebutuhan makan bagi seekor rusa dapat diartikan sebagai kebutuhan
akan kalori setiap hari. Energi ini sangat diperlukan untuk hidup dan
per-tumbuhannya, mengganti bagian-bagian tubuh yang mati dan untuk
reproduksi.
Rusa tergolong pada hewan memamah biak dengan makanannya berupa
rerumputan, daun-daun muda dan bahkan buah-buahan yang jatuh. Dalam
pemenuhan kebutuhan pakan rusa hal yang harus diperhatikan adalah jumlah
dan kualitas pakan. Kualitas pakan ditentukan oleh komposisi/kandungan zat
gizi di dalam bahan pakan, dimana komposisi ini harus sesuai dengan
kebutuha n hidup satwa.
Berdasarkan sifat, kimia dan biologis zat gizi yang diperlukan oleh
satwa terdiri dari air, protein, lemak karbohidrat, zat- zat organik dan vitamin.
Home Range
Menurut Boughey (1973), Pyke (1983) dan Van Noordwijk (1985),
wilayah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai makanan,
minuman serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung, tempat kawin
disebut wilayah jelajah (home range). Tempat-tempa tminum dan mencari makan
pada umumnya lebih longgar dipertahankan dalam pemanfaatannya, sehingga
satu tempat minum ataupun makan seringkali dimanfaatkan secara bergantian
ataupun sama-sama oleh beberapa spesies satwaliar.
Jika secara sepintas kita mengamati kehidupan satwaliar di habitat
alamnya, akan diperoleh kesan bahwa mereka bergerak dari satu tempat ke tempat
lainnya tanpa aturan. Akan tetapi jika diperhatikan secara teliti, akan terlihat
bahwa mereka melakukan pergerakan secara teratur.
Menurut Alikodra (2002), kapan satwaliar bergerak, apa dan kemana
tujuannya merupakan fenomena alam, tetapi faktor spesies, musim dan kondisi
lingkungannya, termasuk campur tangan manusia sangat menentukan pola
Menurut Dasmann (1981), di Arizona beberapa wilayah jelajah (home
range) dari rusa merah lebih dari 1.200 ha. Sedangkan di bagian Barat Daya
Texas dilaporkan bahwa rata-rata wilayah jelajah dari rusa merah adalah 700 ha.
Deer Farming
Deer Farming adalah suatu usaha penangkaran/pemeliharaan rusa yang
dilakukan secara semi- intensif, dimana sebagian besar kebutuhan hidup bagi rusa
diatur dan dikendalikan oleh manusia. Kebutuhan hidup rusa yang dimaksud
adalah kebutuhan ruangan, makanan, minuman, tempat perlindungan (shelter),
kesehatan sampai perkembangbiakannya.
Menurut Yerex dan Spiers (1987), deer farming merupakan suatu usaha
menternakkan rusa secara komersil dengan tujuan utama adalah mencari
keuntungan dari produksi berupa daging dan velver/ranggah. Selain itu juga
menyediakan rusa untuk perburuan dan juga pembibitan.
Pada pemeliharaan rusa dalam jumlah yang banyak dan sudah diarahkan
pada usaha yang komersil, maka sistem pemeliharaan yang sesuai adalah dengan
sistem pedok, dimana pedok juga berfungsi sebagai tempat tinggal yang dibatasi
oleh pagar, maka dalam pedok harus pula tersedia sumber air minum dan naungan
yang cukup, sementara kebutuhan pakan dapat dicukupi dari luar areal (Semiadi
dan Nugraha, 2002).
Perancangan Tapak (Site Planning)
Menurut Hakim dan Utomo (2002), proses perancangan yang sistematik
pada garis besarnya terbagi menjadi dua bagian, yaitu tahapan Programing dan
tahapan Design, dimana pada tahapan programing ditekankan pada
penganalisisan segala aspek yang terkait pada rancangan hingga menghasilkan
konsep sistematik yang nantinya menjadi landasan pada tahapan Design
Depelopment. Sedangkan tahapan design dititik beratkan pada bagiamana
merancang penerapan dari konsep-konsep yang telah dihasilkan.
Root (1985), menyatakan bahwa untuk dapat mengembangkan suatu
yaitu ; (1) faktor alam, meliputi kontur, vegetasi dan ruangan terbuka, dan (2)
faktor pelaksanaan, meliputi analisis sumberdaya, analisis lokasi, analisis
penggunaan, analisis pengembangan dan rancangan induk secara menyeluruh.
Perancangan tapak untuk pembuatan desain penangkaran rusa timor
(Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem “Farming” dilakukan atas
berbagai masukan data dan informasi, baik yang bersifat primer maupun
sekunder.
Menurut Thohari et al. (1991), pada dasarnya terdapat tiga komponen
penting yang perlu dipertimbangkan dalam perancangan tapak, yaitu :
1. Kondisi bio- fisik tapak kegiatan penangkaran yang direncanakan, seperti
topografi, ketersediaan air, kondisi vegetasi, tanah, elevasi, iklim dan
sebagainya.
2. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam suatu usaha penangkaran
3. Bio-ekologi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville)
Berdasarkan hasil analisis dari ketiga komponen tersebut, selanjutnya
dilakukan penentuan batas-batas zona pengembangan (zonasi) dengan
mempertimbangkan faktor-faktor pembatas kegiatan dan efisiensi
pengelolaannya. Sebelum itu untuk meningkatkan kemampuan tapak guna
mendukung pembangunan dan pengembangannya, dilakukan peningkatan
kualitas tapak dengan berbagai cara, antara lain : pemenuhan kebutuhan
penangkaran, penanaman pohon-pohon pelindung, perbaikan topografi,
pembuatan saluran drainase dan lain sebagainya.
Menurut Hakim dan Utomo (2002), data yang perlu diketahui untuk
perancangan tapak adalah meliputi luas seluruh tapak, keadaan dan sifat tanah,
geologi, hidrologi, iklim, curah hujan, topografi dan vegetasi.
Dari semua data serta pertimbangan pengelolaan, dibuatlah alternatif
tapak untuk masing- masing penggunaan yang selanjutnya akan menghasilkan satu
alternatif terpilih yang paling layak dikembangkan berdasarkan peruntukan,
biaya, waktu dan tenaga pengembangannya. Setelah kita memahami karakteristik
tapak, maka langkah selanjutnya adalah memasukkan program aktivitas yang
tersebut. Kemudian tahap selanjutnya adalah melakukan perancangan tapak yang
meliputi penataan letak semua sarana dan prasarana di masing- masing zona
pengembangan.
Lanskap
Lanskap adalah karakter total dari suatu wilayah (von Humbolt dalam
Ferina, 1998). Lanskap adalah konfigurasi partikel topografi, tanaman penutup,
permukaan lahan dan pola kolonisasi yang tidak terbatas, beberapa koherensi dari
kealamian dan proses kultural dan aktifitas (Green dalam Ferina, 1998). Harber
membatasi lanskap sebagai sebuah potongan lahan yang diamati seluruhnya,
tanpa melihat dekat pada komponen-komponennya (Pers Com dalam Ferina,
1998).
Definisi terakhir ini lebih cocok untuk membatasi lanskap sebagai
penga-matan seluruh organisme dari tanaman sampai hewan. Hal yang paling penting
dalam pengelolaan lanskap adalah evaluasi nilai lanskap dan menemukan kriteria
dengan cara mengevaluasi komponen-komponennya.
Ekologi Lanskap dapat berguna bagi konservasi alam karena menyangkut
pemikiran dari pengaturan habitat, pemikiran konsekuensi struktur dan proses
untuk spesies yang berbeda. Terdapat tiga pandangan dalam ekologi lanskap
(Ferina, 1998) antara lain: (1) Manusia: Pada perspektif manusia. Lanskap adalah
dikelompokkan pada fungsi utama yang mempunyai arti untuk kehid upan
manusia, (2) Geobotanical: Distribusi spatial dari komponen lingkungan abiotik
dan biotik, dari lanskap tanah sampai yang didekati oleh tanaman, dan pada
distribusi tanaman utama sebagai komunitas, tanah hutan dan sebagainya dan (3)
Hewan: Pandangan akhir ini konsepnya dihubungkan dengan pengamatan lanskap
manusia, walaupun terdapat perbedaan subs-tantial dalam mendekati secara
langsung.
Masing- masing dari tiga pendekatan ini mengamati pola-pola dan
proses-proses dalam analisa akhir, yang komponen-komponennya dari seluruh sistem
mengkombi-nasikan teori-teori, paradigma, dan model- model yang dihasilkan oleh pendekatan
monodisipliner.
Terdapat sejumlah cara untuk mengukur beberapa hal pokok yang
mendukung sebuah perencanaan lanskap. Pendekatan lanskap ini sangat
bervariasi, sehingga tidak mungkin membahasnya secara keseluruhan dan
mengacu kepada metodologi standart. Kebanyakan pendekatan itu berasal dari
geostatistik, geobotanik, analisa populasi satwa, perilaku ekologi dan sebagainya.
Cara-cara yang paling banyak digunakan untuk menjelaskan kerumitan
suatu lanskap adalah melalui pencitraan sistem informasi geografi. Statistik ruang
dan geometri per bagian. Peta-peta, foto udara dan citra satelit biasanya dilakukan
sebelum dan sesudah suatu lahan dicatat atau di data. Namun hal tersebut banyak
mengalami bias (penyimpangan) yang disebabkan oleh waktu, resolusi, dan
kualitasnya.
Pengolahan data mengenai ruang merupakan inti dari ekologi lanskap.
Terdapat dua tipe informasi yang diproses dalam analisa, yaitu; Path dan
Lanskap. Tipe pertama adalah dimana analisa lebih banyak difokuskan dalam
berbagai ukuran bentuk dan pengaturan ruang dari setiap potongan yang ada. Tipe
yang kedua lebih rumit, karena difokuskan kepada land mozaik (bentukan tanah).
Pendekatan terhadap studi bentuk path ini sangat penting karena
keter-aturan dan ketidakterketer-aturan bentuk path tersebut merupakan
konsekuensi-konsekuensi yang terdapat pada organisme. Jika kita asumsikan lingkaran
merupakan bentukan path yang umum, semakin tidak beraturannya sebuah path
semakin banyak tepian dan semakin berkurang area didalamnya yang tersedia.
Sebuah path yang tidak teratur memiliki lebih banyak proses yang heterogen
dibandingkan yang teratur. Kesesuaian habitat, resiko pemangsa dan tekanan
iklim mikro merupakan beberapa konsekuensi langsung dari bentuk path yang
tidak teratur.
Penelusuran batas pada lanskap bukanlah suatu hal yang mudah, bahkan
akhir dari berbagai habitat atau tipe lahan bukan sebagai batas sesungguhnya.
Sementara batas-batas cukup sempit dan tingkat kepadatan habitat tinggi,
Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville)
Landasan Kebijakan
Penangkaran satwaliar merupakan salah satu program pelestarian dan
pemanfaatan satwaliar, baik untuk tujuan konservasi maupun ekonomi. Dalam
hal ini penangkaran rusa termasuk salah satu upaya pelestarian dan pemanfaatan
berdasarkan prinsif kelestarian hasil.
Undang-undang dan peraturan tentang pelestarian pemanfaatan satwaliar
yang digunakan sebagai dasar dan arahan bagi usaha pengembangan penagkaran
rusa adalah :
1. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
4. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 86/Kpts/II/1983 yang mengatur
tentang pemanfaatan sumberdaya alam (satwaliar dan tumbuhan alam), baik
di dalam maupun luar negeri dan disesuaikan dengan ratifikasi/pengesahan
Konvensi Internasional tentang Perdagangan Satwa Liar dan Tumbuhan
Langka (CITES) yang tertuang dalam Keputusan Presiden No. 43 Tahun
1978.
5. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa.
6. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa.
Perizinan
Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembang-biakan dan
perbesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian
jenisnya. Penangkaran dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar
Setiap orang, Badan Hukum, Koperasi atau Lembaga Konservasi yang
mengajukan permohonan untuk melakukan kegiatan penangkaran wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Mempekerjakan dan memiliki tenaga ahli dibidang penangkaran jenis yang
bersangkutan
2. Memiliki tempat dan fasilitas penangkaran yang memenuhi syarat-syarat
teknis
3. Membuat dan menyerahkan proposal kerja
Berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988 tentang
Penangkaran Satwaliar dan Tumbuhan Alam, maka untuk memperoleh izin usaha
penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam adalah sebagai berikut :
1. Pengajuan permohonan ke Dirjen PHPA dengan tembusan ke Kakanwil
Kehutanan Propinsi dan BKSDA, dengan melampirkan SIUP (Surat Izin
Usaha Perdagangan) dan SITU (Surat Izin Tempat Usaha) dari Departemen
Perdagangan dan Berita Acara Pemeriksaan Persiapan Teknis Penangkaran.
2. Pemeriksaan oleh Kanwil Kehutanan dan BKSDA Propinsi Dati I
3. Berdasarkan lampiran, maka dikeluarkan rekomendasi penangkaran dari
Kanwil Kehutanan ke Dirjen PHPA
4. Dirjen PHPA mengeluarkan izin usaha penangkaran yang berlaku selama
maksimum 5 tahun untuk usaha non komersial dan 10 tahun untuk usaha
komersial dan dapat diperpanjang setelah habis masa berlaku.
Secara lengkap alur prosedur perizinan penangkaran satwa liar dan
Gambar 3. Prosedur perizinan penangkaran satwa liar dan tumbuhan alam berdasarkan SK Dirjen. PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988.
Teknik Penangkaran
1. Adaptasi
Menurut Setiadi dan Tjondronegoro (1989), adaptasi adalah setiap sifat
atau bagia n yang dimiliki organisme yang berfaedah bagi kelanjutan hidupnya
pada keadaan sekeliling habitatnya. Adaptasi dapat dinyatakan sebagai suatu
kemampuan individu untuk mengatasi keadaan lingkungan dan menggunakan
sumber-sumber alam lebih baik untuk mempertahankan hidupnya dalam
relung (niche) yang diduduki.
Secara alami rusa termasuk satwa yang mempunyai kemampuan
adaptasi lingkungan yang sangat tinggi. Di lingkungan yang banyak aktivitas
manusia, bahkan di lingkungan dengan kondisi makanan yang jelek sekalipun
rusa mampu beradaptasi dengan baik. Meskipun demikian diperlukan
mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan seperti terjadinya stres,
serangan penyakit dan kematian, sehingga dapat mengoptimalkan manfaat
yang diperoleh.
Menurut Thohari et al., (1991), salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk mempermudah penanganan rusa yang baru ditangkap ke tempat
penangkaran adalah dengan menempatkan rusa dalam kandang yang gelap
dan relatif tidak luas. Pedok ini dapat dibagun dalam pedok karantina.
Disamping itu untuk membiasakan rusa terhadap penggiringan dapat
dilakukan dengan melatih secara teratur dalam waktu tertentu dengan
memperlihatkan tanda-tanda tertentu (bendera atau suara).
Usaha pengadaptasian ini selain ditujukan pada rusa-rusa yang telah ada
di lokasi penangkaran guna mempermudah penanganannya, juga diperlakukan
pada rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar areal penangkaran. Untuk
rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar areal penagkaran, langkah
pengadaptasian ini dilakuka di pedok karantina selama 1 – 2 minggu, selain
untuk tujuan adaptasi juga untuk mencegah kemungkinan penyakit yang
dibawanya.
2. Pengembangbiakan
Dalam usaha penangkaran, masalah pengembangbiakan memegang
peranan yang sangat penting, karena dasar keberhasilan usaha penangkaran
terletak pada keberhasilan reproduksinya. Ada tiga cara yang dapat dilakukan
dalam upaya pengembangbiakan rusa di penangkaran, yaitu :
a. Secara alamiah
Dengan membiarkan rusa kawin dan berkembangbiak tanpa campur
tangan manusia.
b. Secara semi alamiah
Sistim perkawinan rusa diatur manusia, antara lain dengan mengatur
perbandingan jumlah jantan. Menurut Semiadi dan Nugraha (2004),
imbangan kelamin untuk rusa tropis adala h 1 : 6 – 10, tetapi pada
c. Secara inseminasi buatan (IB)
Sistim perkawinan rusa yang tidak banyak memerlukan pejantan.
Beberapa pejantan yang baik ditampung semennya. Dengan beberapa
perlakuan tertentu, selanjutnya dapat dilakuan perkawinan secara buatan
yang biasa disebut dengan sistim AI (Artificial Insemination). Sistem
perkawinan secara inseminasi buatan dalam dunia rusa awalnya hanya
untuk kepentingan penelitian, yang dimulai tahun 1980 dan meluas sejalan
dengan berkembangnya industri pembibitan rusa yang mengharapkan
diperolehnya pejantan unggul dalam waktu singkat dan efisien.
Komersialisasi pelayanan IB ditingkat pembibitan dimulai tahun 1986an,
tetapi untuk tingkat komersil masih terlalu mahal. Saat ini kegiatan IB
pada rusa di Indonesia masih untuk tujuan penelitian dalam rangka
pemahaman sifat reproduksi rusa tropis, tetapi sosialisasi telah pula
dilakukan di beberapa penangkar yang akan diarahkan menjadi penangkar
pembibit rusa.
Agar dapat diperoleh kualitas keturunan yang baik, dalam usaha
penangkaran perlu dilakukan pemilihan induk dan pejantan yang baik.
Untuk itu dalam jangka panjang usaha penangkaran harus mendasarkan
pada sistim seleksi yang benar. Untuk mendukung pelaksanaan seleksi
yang benar maka perlu dilakukan pencatatan (recording ) yang benar,
terhadap individu rusa yang ada di dalam penangkaran, terutama individu
yang akan dijadikan bibit.
3. Seleksi Bibit
Untuk memperoleh keturunan yang baik, didalam usaha pena gkaran rusa
perlu diperhatikan pemilihan induk- induk dan pejantan rusa yang baik. Oleh
karenanya dalam jangka panjang, penangkaran rusa hendaknya mengarah
pada sistim seleksi yang benar serta sistim pencatatan (recording) setiap
individu yang ada dipenangkaran.
Dasar seleksi yang dapat diterapkan dalam pemilihan bibit diiantaranya
adalah :
a. Berdasarkan silsilah/keturunan (Pedegree)
yaitu pemilihan bibit yang didasarkan atas tetuanya yang mempunyai
produksi dan kualitas performen yang baik, misalnya jelas induknya,
b. Berdasarkan penampilan(Performen)
yaitu pemilihan bibit yang didasarkan atas penampilan bentuk luar dari
rusa calon bibit, misalnya mempunyai pertumbuhan yang baik, tidak
cacat, relatif jinak, bulu halus.
c. Berdasarkan uji keturunan (Uji Zuriat)
yaitu pemilihan bibit khususnya pejantan yang didasarkan atas
produkstivitas keturunannya. Seleksi ini memerlukan waktu yang cukup
panjang
4. Perawatan Kesehatan dan Penyakit
Kesehatan rusa di penangkaran dipengaruhi oleh banyak faktor, antara
lain kondisi lingkungan, makanan, pola manajemen, serta kelainan
metabolisme. Perawatan kesehatan dan pengobatan penyakit secara baik dan
lebih dini akan mendukung keberhasilan usaha penangkaran tersebut.
Untuk menghindari kemungkinan berjangkitnya penyakit perlu
mendapat perhatian, khususnya yang berkaitan dengan pencegahannya,
misalnya : melalui vaksinasi disamping pemeriksaan mulut maupun injeksi.
Dalam hal ini rusa yang baru datang dari luar loksi penangkaran dan
anak-anak rusa yang baru lahir segera diberi vaksin anti cacing dan penyakit
lainnya.
Beberapa jenis parasit yang menyerang rusa diantaranya adalah :
eksternal parasit (lalat hijau dan caplak), internal parasit (cacing
paru/Dictyocaulus spp.), sedangkan penyakit yang perlu mendapat perhatian
adalah : luka pada lambung dan usus, Salmonelosisi, Pnumonia, Malignant
Catarhal Fever, Brucellosis, Tuberculosis, Capture myopathy, Antraks serta
gangguan metabolisme misalnya keracunan.
5. Pembangunan Padang Pengembalaan dan Kebun Rumput
Usaha penangkaran tidak dapat dipisahkan dengan ketersediaan
pakannya. Ketersediaan pakan ini berupa pakan utama (rumput dan hijauan
yang lain) serta pakan tambahan yang dapat berupa ubi- ubian, dedak maupun
Sebagai ruminansia, rusa membutuhkan sebagian besar makanan berupa
rumput. Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan usaha penangkaran
perlu adanya padang rumput. Padang rumput merupakan suatu lahan yang
didomonasi oleh berbagai tipe tumbuhan terutama jenis rumput-rumputan dan
tumbuhan herba yang lain. Dalam hal usaha penangkaran, keberadaan padang
rumput merupakan sumber pakan hijauan utama bagi rusa yang ditangkarkan.
Beberaqpa jenis rumput yang dapat dijadikan sebagai rumput padang
penggembalaan antara lain rumput Bracihiaria brizanta, rumput Australia
(Paspalum dilatatum), rumput kolonjono (Brachiaria mutica), Brachiaria
decumbens, Panicum maximum dan Setaria sphacelata. Sedangkan untuk
jenis leguminosa antara lain stylo (Sthylosanthes guyanensis), Arachis
hypogea dan kerabatnya serta pohon lamtoro (Leucaena leucosephala) dan
turi (Sesbania grandiflora) yang sekaligus dapat dijadiken sebagai pohon
peneduh.
6. Pedok
Dalam sistim penangkaran rusa skala besar dapat diterapkan pola Deer
Farming. Rusa ditempatkan dalam kelompok-kelompok dalam suatu pedok
yang ukurannya disesuaikan dengan jumlah rusa yang ada.
Keadaan topografi tidak terlalu berpengaruh, sebab rusa termasuk
satwa yang mudah beradaptasi dalam kondisi topografi yang cukup bervariasi.
Namun keadaan topografi yang curam merupakan faktor pembatas bagi
pembuatan jalan, baik untuk koridor maupun jalan bagi kendaraan angkut.
Pada sistem pedok banyak hal yang perlu diperhatikan dalam
pembangunannya. Ini tidak lain karena pada umumnya dalam sistim pedok
luasan lahan yang digunakan adalah besar. Beberapa hal penting yang perlu
diperhatikan adalah :
a. Lokasi pedok
Penentuan loksai pedok memegang peranan penting demi kelancaran
b. Bentuk Pedok
Bentuk pedok perlu disesuaikan dengan keadaan topografi. Pedok yang
memanjang lebih memudahkan dalam hal penggiringan rusa keluar dari
pedok. Tetapi pada pedok berbentuk persegi empat akan mengurangi
rusa untuk bergerombol di satu sisi, sehingga mengurangi tingkat erosi
atau kerusakan area rumput.
c. Luasan pedok
Penentuan luas pedok berkaitan dengan jumlah pedok yang akan dibuat,
kemudahan pengelolaan rusa dan jumlah rusa yang akan dipelihara.
Satuan pedok hendaknya tidak terlalu luas. Idealnya yang terbesar
sekitar 1,5 – 2,0 ha, yang sedang 0,3 – 1,0 ha dan pedok berukuran kecil
sekitar 50 - 200 m2. Secara garis besar kepadatan rusa pada padang
penggembalaan yang cukup subur berkisar antara 12 – 15 ekor/ha untuk
rusa dewasa atau untuk rusa remaja (< 2 tahun) sekitar 15 – 20 ekor/ha
(Semiadi dan Nugraha, 2004).
d. Pintu dan jalan/gang pedok
Setiap pedok harus dihubungkan dengan pintu untuk menuju pedok lain.
Selain itu perlu dibuat jalan/gang tersendiri dari pedok terjauh menuju
kandang kerja atau pedok lainnya dengan tidak melewati pedok di
sebelahnya. Dalam penempatan pintu pedok sebaiknya berada di salah
satu sudut pagar pedok, hal ini untuk mempermudah saat melakukan
penggiringan rusa ke pedok yang lainnya.
e. Naungan
Naungan baik yang alami maupun yang buatan sangat diperlukan bagi
rusa yang berasda di pedok. Di alam bebas naungan akan dicari sendiri
oleh rusa manakala diperlukan, tetapi di dalam pedok rusa harus dapat
menerima apa adanya. Oleh sebab itu untuk menghindari stres bahkan
penurunan produksi akibat ketidak nyamanan cuaca yang ekstrim
(panas, hujan), maka ketersediaan naungan perlu diperhatikan. Naungan
tidaklah harus berupa atap seluruhnya (buatan) atau pohon khusus di
dalam pedok. Tetapi dapat dikemas sebagai bagian dari strategi
dimana kerindangan kanopi dahan dapat berfungsi sebagai naungan dan
daunnya dapat dimanfaatkan sebagai hijauan tambahan.
f. Pagar
Sebagai pembatas antara pedok dengan dunia luar atau antara pedok
yang satu dengan pedok lainnya diperlukan pemagaran. Konstruksi
kandang harus kuat, sehingga dapat menjaga kenyamanan rusa yang ada
di dalamnya. Bahan yang dapat dipakai diataranya adalah anyaman
kawat denga n tinggi pagar untuk pemisah antara pedok dengan dunia
luar ± 2,0 m dan pagar didalam (antar pedok) ± 1,75 – 2,0 m. Khusus
pada pedok untuk kelahiran/pedok anak dijaga betul kerapatannya,
sehingga anak rusa tidak dapat keluar atau tidak ada hewan liar ya ng
masuk ke dalam pedok untuk mengganggu atau memangsa anak-anak
rusa. Namun demikian pagar tidah harus terbuat bdari anyaman kawat
melainnkan dapat terbuat dari bahan lain, misalnya anyaman bambu,
yang penting fungsi sebagai pagar dapat terpenuhi, yaitu melindungi
rusa yang ada di dalamnya dari gangguan dunia luar atau menjaga agar
rusa tidak melarikan diri.
g. Jenis Pedok
Dalam usaha penangkaran dikembangkan beberapa macam pedok,
yaitu : (a) pedok karantina, (b) pedok induk, (c) pedok pejantan, (d)
pedok perkawinan (e) pedok anak dan (f) pedok terminal.
Kelayakan Ekonomi Usaha Penangkaran Rusa
Menurut Gray (1993), salah satu cara mencari ukuran yang menyeluruh
sebagai dasar penerimaan atau perolehan suatu usaha, maka dilakukan analisa
kriteria investasi.
Analisis finansial dilakukan dengan menggunakan discounted cash flow.
Untuk proyek-proyek yang dibiayai dari dana swasta (private investor) maka
analisis/evaluasinya dititik beratkan pada hasil analisis finansial. Dalam hal ini
rencana investasi ditinjau dari segi cash-flow, yakni perbandingan antara hasil
penjualan kotor (gross-sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost). Bila
dilanjutkan, sedangkan bila menunjukkan net benefit negatif (rugi) maka rencana
investasi tersebut dibatalkan. Nilai- nilai yang dihitung mencakup NPV, IRR dan
BCR. Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai- nilai tersebut adalah
sebagai berikut (Djamin, 1992) :
1. Net Present Value (NPV)
Keuntungan bersih suatu usaha adalah pendapatan kotor dikurangi
jumlah biaya, maka NPV suatu usaha merupakan selisih Present Value arus
keuntungan dengan Present Value arus biaya. Suatu usaha dapat dinyatakan
layak iuntuk dilaksanakan apabila NPV usaha tersebut sama atau lebih besar
dari 0 (nol) dan bila sebaliknya maka usaha tersebut merugi. Nilai NPV
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
( )
BRC adalah perbandingan antara pendapatan dengan biaya. Suatu usaha
dikatakan layak untuk diusahakan apabila nilai BRC dari usaha tersebut lebih
besar dari 1 (satu) dan bila sebaliknya, maka usaha tersebut tidak layak untuk
diusahakan. Nilai BCR dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
3. Internal Rate of Return (IRR)
IRR adalah suku bunga diskonto yang menyebabkan jumlah hasil
diskonto pendapatan sama dengan jumlah hasil diskonto biaya, atau suku
bunga yang membuat NPV bernilai 0 (nol). Suatu usaha dikatakan layak
apabila IRR lebih besar dari suku bunga diskonto. Nilai BCR dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan :
DFN = Discounting factor yang digunakan yang
menghasilkan present value negatif
PVP = Present value positif
PVN = Present value negatif
Untuk mengetahui jangka waktu pengembalian (Payback Period) suatu
usaha, yaitu waktu yang diperlukan untuk membayar kembali semua biaya-biaya
yang telah dikeluarkan didalam investasi suatu usaha dapat dihitung dengan