• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desain Agroforestri pada Lahan Kritis (Studi Kasus di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Desain Agroforestri pada Lahan Kritis (Studi Kasus di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar)"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

DESAIN AGROFORESTRI PADA LAHAN KRITIS

(Studi Kasus di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar)

B U K H A R I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:

Desain Agroforestri pada Lahan Kritis

(Studi Kasus di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar)

adalah karya saya sendiri yang diarahkan oleh Komisi Pembimbing dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun. Sumber data dan informasi yang dikutip dalam tesis ini telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Oleh karena itu, semua isi tesis ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Bogor, Desember 2008

(3)

ABSTRACT

BUKHARI. Design of Agroforestry in Critical Land (Case Study in Indrapuri Subdistrict, Aceh Besar Regency). Under Academic Supervision of NURHENI WIJAYANTO and BASUKI WASIS.

Design of agroforestry has the objectives of improving the system which has been existing and providing directives for agribusiness on the basis of physical, economical, and socio-cultural condition. Design of a system is inevitably related with pre-diagnosis and diagnosis activities which are aimed at discovering the existing constraints and problems inside the system, followed by technological intervention for system improvement and determining the best agroforestry system in critical land condition. Method used in this study was identifying the existing agroforestry system, followed by evaluation of land suitability, financial analysis and community social analysis. This study found three agroforestry systems based on the existing components, namely agrisilviculture, silvopasture, and agrisilvopasture. Evaluation of land suitability showed that in general, land suitability ratings for woody crops and perennial crops were categorized as moderately suitable (S2), while those for annual crops / non rice food crops were categorized as marginally suitable (S3). Results of financial analysis showed that all existing agroforestry system are feasible to be practiced, with highest benefit cost ratio 2.7 was found in agrisilvopasture system. On the basis of landscape consideration, species of Non-MPTS were more adapted if they were planted in hill ridge, while that of species of MPTs and perennial crops in slope and valley, and that of annual crops in valley.

(4)

RINGKASAN

BUKHARI. Desain agroforestri pada lahan kritis (Studi kasus di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar). Di bawah bimbingan NURHENI WIJAYANTO dan BASUKI WASIS.

Usaha-usaha pertanian tradisional yang dilakukan dengan mengkonversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, sering menjadi penyebab terjadinya lahan kritis. Di Indonesia praktek-praktek usaha tani dan pemanfaatan lahan yang tidak atau kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air menyebabkan timbulnya lahan kritis, erosi, bencana kekeringan, serta penurunan kualitas dan kuantitas hasil pertanian. Kabupaten Aceh Besar sebagian besar lahannya terdiri dari lahan kritis. Luas lahan kritis Kabupaten Aceh Besar mencapai 31.319 ha. Tindakan yang bijak diperlukan dalam merehabilitasi lahan kritis sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan juga dapat menciptakan penggunaan lahan menjadi berkelanjutan.

Agroforestri adalah suatu tindakan konservasi tanah dan air melalui

pengelolaan tanaman (crop management) atau metoda vegetatif untuk

mengendalikan erosi dan aliran air permukaan melalui struktur tajuk berlapis, serta mempengaruhi permeabilitas dan pembentukan agregat tanah. Akumulasi serasah yang dihasilkan sistem agroforestri cukup tinggi, dan menunjang perkembangan mikro organisme tanah yang dibutuhkan untuk memelihara kesuburan tanah, pengendalian erosi, pemulihan lahan kritis. Pemanfaatan lahan kritis secara optimal dan berkelanjutan merupakan hal penting bagi petani dan masyarakat. Dari permasalahan tersebut, muncul pemikiran untuk menerapkan sistim pemanfaatan lahan secara optimal secara spatial, yang memadukan tanaman pertanian dan tanaman berkayu, menjadi bentuk sistem agroforestri untuk pengelolaan lahan kritis, dan dapat mengatasi kerusakan lingkungan serta meningkatkan produktivitas pertanian yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani.

Di dalam sistem agroforestri terdapat perpaduan antara berbagai jenis tanaman, untuk itu diperlukan suatu desain yang merupakan proses merumuskan, secara spasial dan temporal penggunaan lahan dan melihat kemungkinan terbaik dari segi ekonomi, lingkungan dan sosial.

Penelitian bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi sistem agroforestri pada lahan kritis (2) Mengkaji kelas kesesuaian lahan untuk berbagai sistem agroforestri sebagai alternatif rehabilitasi lahan kritis (3) Menyusun suatu desain agroforestri yang merupakan sistem penggunaan lahan secara optimal dari segi ekonomi, ekologi dan sosial.

Metode yang digunakan adalah mengidentifikasi sistem agroforestri yang ada kemudian dilakukan evaluasi kesesuaian lahan, analisis finansial dan sosial masyarakat. Dari hasil evaluasi lahan, analisis finansial dan analisis sosial, maka dilakukan desain agroforestri pada lahan kritis.

Berdasarkan komponen penyusunnya terdapat tiga sistem agroforestri yang dilakukan oleh masyarakat pada lahan-lahan kritis, yaitu berbentuk agrisilvikultur, silvopastura dan agrosilvopastura, dimana sistem agroforestri yang ada merupakan sistem agroforestri tradisional yang dikelola menurut kondisi dan pengetahuan lokal.

(5)

cukup sesuai (S2) dan komponen tanaman semusim tergolong sesuai marginal (S3).

Hasil analisis finansial sistem agroforestri di Kecamatan Indrapuri, diperoleh nilai IRR≥nilai discount rate (i), nilai NPV > 0 (positif), dan B/C Ratio ≥ 1 untuk semua bentuk penggunaan lahan. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa semua sistem agroforestri berdasarkan sistem penyusunnya baik itu berbentuk agrisilvikultur, silvopastura dan agrosilvopastura layak untuk dilaksanakan, dengan benefit cost ratio tertinggi 2,7 dijumpai pada sistem agrosilvopastura, sedangkan untuk sistem agrisilvikultur 2,2 dan sistem silvopastura 1,5.

Desain agroforestri pada lahan kritis menurut landscape, yang

direkomendasikan yaitu untuk tanaman berkayu seperti jati dan mahoni akan lebih baik ditanam pada daerah punggung bukit, karena sifatnya yang pionir dan lebih adopted pada kondisi lahan yang ekstrim. Secara temporal pada punggung bukit dilakukan perpaduan dengan jenis tanaman MPTs, yang bertujuan sebagai pengganti apabila jenis-jenis tanaman berkayu seperti jati dan mahoni nantinya ditebang, sehingga dapat mengantisipasi lahan terbuka dan menjadi kritis lagi.

Tanaman MPTs, tanaman tahunan dan pakan ternak lebih baik ditanam pada bagian lereng dan lembah, dengan asumsi bahwa tingkat kesuburannya lebih baik daripada di bagian punggung bukit. Perpaduan jenis tanaman sendiri harus diperhitungkan agar tidak terjadi interaksi negatif antara tanaman berkayu dan tanaman tahunan. Penanaman tanaman semusim dilakukan pada bagian lembah yang mendapat cukup matahari, karena umumya tanaman semusim membutuhkan matahari yang cukup banyak di dalam pertumbuhannya.

Penanaman di daerah lereng dilakukan harus memperhatikan kaidah konservasi, yang didukung oleh bangunan konservasi seperti teras atau guludan dan penanaman dilakukan searah kontur untuk memperkecil tingkat erosi. Selanjutnya diketahui bahwa air menjadi permasalahan tersendiri bagi petani, disarankan agar pada bagian lembah dari kebun dilakukan pembuatan sumur atau kolam penampungan air, agar pada musim panas ketersediaan air mencukupi untuk kebutuhan usahatani.

Pada kondisi lahan yang relatif datar desain yang dilakukan lebih ditujukan pada pengaturan letak dan jarak tanam dari berbagai komponen dengan mempertimbangan interaksi antar komponen. Pengaturan tata letak berbagai komponen diharapkan dapat meminimalkan interaksi negatif dan meningkatkan interaksi positif.

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(7)

DESAIN AGROFORESTRI PADA LAHAN KRITIS

(Studi Kasus di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar)

B U K H A R I

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Penelitian : Desain Agroforestri pada Lahan Kritis

(Studi Kasus di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar)

Nama : B u k h a r i

NRP

Program Studi

:

:

E051060461

Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S Dr. Ir. Basuki Wasis, M.S

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

Tulisan yang berjudul ”Desain Agroforestri pada Lahan Kritis (Studi Kasus di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar)”, merupakan hasil penelitian yang penulis lakukan di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk membuat suatu desain sistem agroforestri pada lahan kritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang sistem agroforestri yang dapat diaplikasikan pada lahan-lahan kritis untuk meningkatkan kesuburan tanah dan produktivitas lahan, serta memberi rekomendasi dalam menentukan kebijakan perencanaan rehabilitasi lahan kritis dengan sistem agroforestri.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Basuki Wasis, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak

membantu, mengarahkan dalam penulisan tesis ini.

Akhir kata, penulis mengharapkan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Desember 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 30 Juni 1973 dari Bapak Drs. Arifin dan Ibu Rosmani. Penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara.

Pendidikan dimulai di TK Dharma Pertiwi Tapak Tuan, Kabupaten Aceh Selatan. Kemudian pada SDN Jorong Hulu Tapak Tuan, SMP Negeri 1 Tapak Tuan, dan SMA Negeri 1 Tapak Tuan, tamat tahun 1991. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan S1 pada Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan (STIK) Banda Aceh tamat tahun 1999.

(12)

DAFTAR ISI

Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel dan Responden……….…. Prosedur Penelitian…………..………... Analisa Data dan Penyajian Hasil………..………...

KEADAAN LOKASI PENELITIAN

(13)

Halaman

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lahan Kritis ……….……… Sistem Agroforestri pada Lahan Kritis……… Agrisilvikultur………..………..……… Subsistem kebijakan pembangunan dan infrastruktur .……… Evaluasi Kesesuaian Lahan Agroforestri……… Analisis Finansial……… Pendapat Masyarakat terhadap Sistem Agroforestri …….………...

Karakteristik masyarakat………. .……… Pendapat masyarakat terhadap rehabilitasi lahan kritis dengan sistem agroforestri………. Desain Sistem Agroforestri pada Lahan Kritis………..

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis data serta metode pengumpulan data biofisik dan sistem agroforestri ……….

2. Analisis data dan metode………..……….

3. Tingkat kekritisan lahan pada berbagai kawasan (Dirjen RRL,1998)……….………….

4. Jumlah penduduk di Kecamatan Indrapuri tahun 2006……….

5. Hasil pengamatan tingkat kekritisan lahan berdasarkan kriteria Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 Departemen Kehutanan tahun 1998……….

6. Jenis tanaman yang dominan dalam kebun berbentuk agrisilvikultur

menurut landscape……….

7. Komponen penyusun kebun sistem agrosilvopastura menurut

landscape……….

8. Tingkat kesesuaian lahan berbagai jenis tanaman pada sistem agrisilvikultur………

9. Tingkat kesesuaian lahan berbagai jenis tanaman pada sistem silvopastura……….

10. Tingkat kesesuaian lahan berbagai jenis tanaman pada sistem

agrosilvopastura……….

11. Hasil analisis finansial sistem agroforestri di Kecamatan Indrapuri……

12. Karakteristik responden di tiga desa di Kecamatan Indrapuri………….

13. Pendapat masyarakat terhadap rehabilitasi lahan kritis dengan sistem agroforestri di tiga desa di Kecamatan Indrapuri………..

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alir kerangka pemikiran….………..

2 Kondisi lahan di Kecamatan Indrapuri……….

3 Kondisi batuan pada lahan lokasi penelitian………

4 Kebun berbentuk agrisilvikultur di lokasi penelitian………

5 Sistem silvopastura di lokasi penelitian………

6 Sistem agrosilvopastura yang ada di lokasi penelitian………..

7 Sarana jalan ke kebun dan pasar………

8 Profil sistem agroforestri pada lahan kritis menurut landscape……

9 Desain agroforestri pada lahan kritis menurut landscape …………. 10 Desain agroforestri pada lahan kritis untuk kondisi lahan datar……

7

30

31

35

37

39

43

58

59

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data curah hujan ……….……… 68

2. Data suhu udara ……….……… 3. Data kelembaban nisbi ………..….……… 4. Hasil analisis tanah………. 5. Data hasil analisis untuk kesesuaian lahan………. 6. Kriteria kesesuaian lahan untuk sistem agrisilvikultur………... 7. Kriteria kesesuaian lahan untuk sistem silvopastura……… 8. Kriteria kesesuaian lahan untuk sistem agrosilvopastura………. 9. Asumsi untuk analisis finansial………..

10.Analisis finansial sistem agrisilvikultur……….

11.Analisis finansial sistem silvopastura………..

12.Analisis finansial sistem agrosilvopastura………

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumberdaya alam hutan, tanah dan air merupakan sumber dan penunjang kebutuhan hidup manusia serta menjadi modal dasar pembangunan nasional. Sejalan dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, kebutuhan akan lahan untuk penggunaan non pertanian seperti pemukiman, perkantoran, pergudangan, sekolah dan jalan semakin meningkat, yang umumnya menggunakan lahan pertanian yang produktif, sehingga lahan pertanian semakin menyempit. Dilain pihak kebutuhan akan bahan makanan menjadi semakin meningkat, sebagai akibat semakin meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya kualitas hidup. Keadaan tersebut telah mendorong terjadinya penggunaan lahan secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukungnya. Sejalan dengan itu, semakin dituntut adanya usaha-usaha yang mengarah pada pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien, efektif dan bijaksana. Dengan kata lain pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan dan berbagai aktifitas lainnya harus memperhatikan aspek keberlanjutannya (Departemen Pertanian 1991).

(18)

Menurut Sitorus (2003) lahan kritis adalah lahan yang pada saat ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan pertanian, karena penggunaannya tidak atau kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah. Pada lahan kritis ini terdapat satu atau lebih faktor yang menghambat pemanfaatannya.

Menurut hasil inventarisasi pada lahan kawasan dan lahan budidaya pertanian yang dilakukan Departemen Kehutanan dan Perkebunan (2002), luas lahan kritis Indonesia mencapai 21.944.595,70 ha, yang dibagi ke dalam 4 kriteria lahan kritis, digolongkan ke dalam sangat kritis, kritis, agak kritis, dan potensial kritis. Luas lahan kritis untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

mencapai 860.659,93 ha, dimana digolongkan sangat kritis 5.777 ha, kritis

320.248ha, agak kritis 96.738,29ha, danpotensial kritis 437.896,51 ha.

Peningkatkan produktivitas lahan membutuhkan upaya perbaikan sifat fisik tanah (lapisan atas) yang paling penting dan dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan berbagai jenis tanaman dan pepohonan. Perbaikan sifat fisik tanah meliputi perbaikan struktur dan porositas tanah, sehingga mampu meningkatkan kemampuan menahan air dan laju infiltrasi. Lapisan atas tanah merupakan tempat yang mewadahi berbagai proses dan kegiatan kimia, fisik dan biologi yakni organisme makro dan mikro termasuk perakaran tanaman dan pepohonan. Dalam rangka menunjang berlangsungnya proses-proses kimia, fisik dan biologi yang cepat maka diperlukan air dan udara yang tersedia pada saat yang tepat dan dalam jumlah yang memadai. Oleh karena itu tanah harus memiliki sifat fisik

yang bisa mendukung terjadinya sirkulasi udara dan air yang baik. Sistem

agroforestri dapat mempertahankan sifat-sifat fisik lapisan tanah atas yang diperlukan untuk menunjang pertumbuhan tanaman (Widianto et al. 2003).

Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll.) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada (Lundgren dan Raintree 1982).

(19)

kerusakan lahan dan lingkungan karena sistem ini sudah dilakukan oleh petani dan masyarakat sejak dulu dan merupakan salah satu praktek pertanian konservasi produktif dalam mencapai tujuan pengunaan lahan yang berkelanjutan. Sebagai contoh, sistem agroforestri yang diterapkan di Krui Lampung dimana mereka telah menerapkan Agroforest Damar. Contoh lain di Sumatera Barat terkenal dengan Parak, Kalimantan Barat dengan Kebun Durian, di Sumatera Selatan dan Jambi dengan Kebun Karet Campuran, Pelak di Kerinci Jambi, dan lain-lain (De Foresta et al. 2000).

Di dalam sistem agroforestri terdapat perpaduan antara berbagai jenis tanaman, sehingga perlu diketahui potensi lahan atau kelas/kemampuan lahan untuk tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu (Harjowigeno dan Widiatmaka 2001). Selain itu diperlukan desain yang merupakan proses merumuskan, secara spasial dan temporal penggunaan lahan dan melihat kemungkinan terbaik dari segi ekonomi, lingkungan dan sosial.

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, perlu dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk menyusun suatu desain agroforestri pada lahan kritis berdasarkan potensi kesesuaian lahan, sistem agroforestri, jenis tanaman dan aspek sosial ekonominya. Desain agroforestri pada lahan kritis bertujuan untuk memperbaiki sistem yang ada dan menentukan pola perpaduan yang optimal secara ekologi dan ekonomi antara komponen yang ada didalamnya, dalam rangka merehabilitasi lahan kritis sehingga sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan meningkatkan produktifitas lahan.

Perumusan Masalah

Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain (Widianto et al. 2003).

(20)

Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan untuk memperoleh data jenis-jenis tanaman kehutanan maupun tanaman budidaya yang sesuai untuk lahan kritis yang ada di Kabupaten Aceh Besar. Data kesesuaian lahan sangat mendukung untuk keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan. Kegiatan rehabilitasi lahan akan meningkatkan produktivitas lahan selain itu juga dapat menciptakan penggunaan lahan menjadi berkelanjutan.

Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan tersebut di atas dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan. Agroforestri diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat.

Dari uraian di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah : 1. Belum teridentifikasinya upaya-upaya agroforestri yang saat ini ada atau

alternatif sistem lain untuk mengatasi masalah lahan kritis

2. Belum tersedianya data kesesuaian lahan untuk pengembangan sistem agroforestri di lahan kritis.

3. Belum dilakukannya analisis ekonomi, ekologis dan sosial terhadap bentuk kegiatan agroforestri yang melibatkan masyarakat setempat sebagai alternatif peningkatan pendapatan petani.

Kerangka Pemikiran

Peningkatan jumlah penduduk yang sangat besar menyebabkan dibutuhkannya jumlah pangan dan lahan pertanian yang cukup besar. Selain itu, perkembangan pembangunan juga menyebabkan terjadinya penggunaan lahan yang berlebihan dan tanpa memperhatikan kemampuan dan kesesuaian lahan. Hal ini dapat mengakibatkan erosi dan sedimentasi yang tinggi dan tanah tidak mampu lagi menyerap air sehingga fluktuasi debit air sangat besar dan pada musim hujan menyebabkan banjir dan pada akhirnya mengakibatkan lahan menjadi kritis.

(21)

menyebabkan produktivitas dan pendapatan usahatani menurun sangat nyata dan menurunkan kwalitas sumberdaya lingkungan. Agroforestri adalah suatu

tindakan konservasi tanah dan air melalui pengelolaan tanaman (crop

management) atau metoda vegetatif untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan melalui struktur tajuk berlapis, serta mempengaruhi permeabilitas dan pembentukan agregat tanah. Akumulasi serasah yang dihasilkan sistem agroforestri cukup tinggi, dan menunjang perkembangan mikro organisme tanah yang dibutuhkan untuk memelihara kesuburan tanah, pengendalian erosi, pemulihan lahan kritis. Pemanfaatan lahan kritis secara optimal dan berkelanjutan merupakan hal penting bagi petani dan masyarakat. Dari permasalahan tersebut, muncul pemikiran untuk menerapkan sistim pemanfaatan lahan yang optimal secara spatial, dengan memadukan tanaman pertanian dan tanaman berkayu, menjadi bentuk sistem agroforestri untuk pengelolaan lahan kritis. Penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis dapat mengatasi kerusakan lingkungan serta meningkatkan produktivitas pertanian yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani.

Evaluasi kesesuaian lahan adalah metode yang dapat membantu melihat kesesuaian lahan yang optimal dari berbagai jenis yang menjadi penyusun

komponen agroforestri. Fungsi Diagnosis tools ICRAF merupakan perangkat

untuk melihat bentuk dan hambatan di dalam pengelolaan lahan. Sementara analisis finansial merupakan cara untuk mengetahui kelayakan kegiatan agroforestri dengan menggunakan asumsi-asumsi yang dibangun dari data yang ada. Hasil dari berbagai metode ilmiah yang dilakukan kemudian dilakukan desain agroforestri pada lahan kritis yang optimal baik secara fisik, ekologi maupun ekonomi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari kerangka pemikiran pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah :

1. Mengidentifikasi sistem agroforestri pada lahan kritis yang ada di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2. Mengkaji kelas kesesuaian lahan untuk berbagai sistem agroforestri sebagai

alternatif rehabilitasi lahan kritis di Kabupaten Aceh Besar.

(22)

Manfaat Penelitian

(23)

7

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Lahan Kritis

Definisi lahan kritis

Definisi lahan kritis berbeda-beda pada setiap departemen atau instansi pemerintah. Perbedaan pengertian ini perlu diseragamkan untuk memperkecil perbedaan dalam mendelineasi lahan kritis. Hal ini sangat penting agar penyusunan konsep dasar, strategi rehabilitasi dan pencegahan, serta pengolahan lahan kritis dapat berhasil baik. Kerancuan pengertian ini timbul karena setiap departemen menggunakan dasar pengelompokan penamaan yang berbeda disesuaikan dengan keperluan tugasnya.

Departemen Kehutanan yang sering menangani masalah lahan kritis menitikberatkan dari segi sifat hidrologi lahan tanpa melihat kondisi tanah. Dalam menentuan apakah suatu lahan dalam keadaan kritis atau tidak, dasar yang digunakan adalah tingkat penutupan lahan oleh vegetasi dan kemiringan lahan. Departemen Kehutanan mendefinisikan lahan kritis adalah

lahan yang keadaan penutupan vegetasinya < 25%, topografi dengan

kemiringan lereng lebih 15% dan ditandai dengan adanya gejala erosi

seperti erosi lembar (sheet erosion) dan erosi parit (gully erosion).

Departemen Pertanian (1991) mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang pada saat ini tidak/kurang produktif dari segi pertanian, karena pengelolaannya dan penggunaanya tidak atau kurang memperhatikan persyaratan konservasi tanah. Pada lahan ini terdapat satu atau lebih unsur penghambat yang kurang mendukung dalam usaha pemanfaatan untuk pertanian.

(25)

Pengertian lahan kritis dapat mencakup berbagai aspek yang cukup luas daripada lahannya itu sendiri. Misalnya, lahan yang ditutupi alang-alang atau berupa padang alang-alang, karena tidak produktif dan tidak disenangi, kadang-kadang digolongkan sebagai lahan kritis. Diperkirakan ada seluas 16 juta hektar padang alang-alang dan belukar di luar Jawa, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Sulawasi. Luas lahan tersebut diperkirakan meningkat 1- 2% setiap tahunnya (Sitorus 2003)

Ciri utama lahan kritis adalah gundul, berkesan gersang, dan bahkan muncul batu-batuan di permukaan tanah. Topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam. Tingkat produktivitas rendah yang ditandai dengan tingginya tingkat kemasaman tanah. Keadaan hara P, K, C. N dan Mg tergolong rendah. Selain itu rendahnya Kapasits Tukar Kation (KTK), kejenuhan basa dan kandungan bahan organik, sebaliknya kadar Al dan Mn yang tinggi, dapat meracuni tanaman. Selanjutnya keadaan lahan kritis ditandai dengan vegetasi alang-alang yang mendominasi dengan sifat-sifat antara lain : memiliki pH tanah relatif rendah yaitu 4,8 - 5,2, mengalami

pencucian tanah tinggi, ditemukan rhizoma dalam jumlah banyak yang

menjadi hambatan mekanik dalam budidaya tanaman. Terdapat reaksi zat alelopati dari akar rimpang alang-alang yang menyebabkan gangguan pertumbuhan tanaman budidaya pada lahan tersebut (Hakim 1991, diacu dalamYunita 2005).

Kriteria lahan kritis

Berdasarkan tingkat kekritisannya lahan kritis dapat dibagi menjadi empat kelas, yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangat kritis

(Suwardjo 1996, diacu dalam Yunita 2005). Lahan Potensial kritis adalah

lahan yang masih produktif tetapi kurang tertutup vegetasi, atau mulai terjadi erosi ringan, sehingga lahan akan rusak dan menjadi kritis. Lahan yang termasuk dalam kelas potensial kritis mempunyai ciri-ciri antara lain :

1. Lahan masih mempunyai fungsi produksi, hidrologi sedang, tetapi bahaya untuk menjadi kritis sangat besar bila tidak dilakukan usaha konservasi. 2. Lahan masih tertutup vegetasi, tetapi karena kondisi topografi atau

(26)

3. Lahan yang produktivitasnya masih baik, tetapi penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuannya dan belum dilakukan usaha konservasi, misalnya hutan yang baru dibuka.

Lahan semi-kritis merupakan lahan yang kurang/tidak produktif, mempunyai ciri-ciri antara lain:

1. Lahan telah mengalami erosi ringan sampai sedang (horisan A<5 cm), antara lain erosi permukaan dan erosi alur, tetapi produktivitasnya rendah karena tingkat kesuburannya rendah.

2. Lahan masih produktif tetapi tingkat erosinya tinggi sehingga fungsi hidrologi telah menurun. Bila tidak ada usaha perbaikan maka dalam waktu relatif singkat akan menjadi kritis. Solum tanah sedang (60-90 cm) dengan ketebalan lapisan atas (horison A) umumnya kurang dari 5 cm. Lahan ditumbuhi vegetasi dominan berupa alang-alang, rumput, semak belukar dan hutan jarang.

Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali, dengan ciri-ciri :

1. Lahan telah mengalami erosi berat, dengan jenis erosi umumnya erosi parit (gully erosion).

2. Kedalaman tanah sangat dangkal (<60 cm). 3. Persentase penutupan lahan kurang dari 50%.

4. Kesuburan tanah rendah dan meliputi daerah perladangan yang telah rusak, padang rumput/alang-alang dan semak belukar tandus.

Lahan sangat kritis adalah lahan yang sangat rusak sehingga tidak berpotensi lagi untuk digunakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar untuk direhabilitasi, dengan ciri-ciri :

1. Lahan telah mengalami erosi sangat berat (horison A dan B telah hilang), selain erosi parit, banyak dijumpai tanah longsor (landslide/slumping),

tanah merayap (land creeping), dengan dinding longsoran yang sangat

terjal.

2. Lapisan tanah dangkal sampai sangat dangkal (<30 cm) atau tanpa lapisan atas dan atau tinggal bahan induk, sebagian besar horison B telah tererosi.

(27)

Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (2002), penilaian lahan kritis dapat dilakukan berdasarkan pada fungsi lahan yaitu :

a. Fungsi kawasan sebagai hutan lindung. Pada fungsi ini, kekritisan lahan dinilai berdasarkan keadaan penutupan lahan/penutupan tajuk pohon, kelerengan lahan, tingkat erosi, dan manajemen/usaha pengamanan lahan. b. Fungsi Kawasan Budidaya untuk usaha pertanian. Pada fungsi ini kekritisan

lahan dinilai berdasarkan produktivitas lahan yaitu rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional, kelerengan lahan, tingkat erosi yang diukur berdasarkan tingkat hilangnya lapisan tanah, baik untuk tanah dalam maupun dangkal, batu-batuan dan manajemen yaitu usaha penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit lahan.

c. Fungsi kawasan hutan lindung di luar kawasan hutan. Pada fungsi ini kekritisan dinilai berdasarkan vegetasi permanen yaitu persentase penutupan tajuk pohon, kelerengan lahan, tingkat erosi dan manajemen.

Agroforestri

Definisi agroforestri

Sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat para ahli tentang definisi agroforestri. Hampir semua ahli mendefinisikan agroforestri berbeda satu dengan yang lain. Adapun definisi agroforestri secara umum adalah gabungan ilmu kehutanan dengan ilmu pertanian, yang memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan (Hairiah et al. 2002). Definisi lain dari sistem agroforestri adalah sistem penggunaan lahan dan teknologi dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis palem, bambu dan sebagainya) ditanam bersama dengan tanaman pertanian dan/atau hewan dengan satu tujuan tertentu dalam satu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal dan di dalamnya terdapat interaksi ekologi dan ekosistem diantara berbagai komponen yang bersangkutan (Lundgren dan Raintree 1982 ).

(28)

agroforestri juga didefinisikan sebagai suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat.

Banyak ahli yang memberikan definisi mengenai agroforestri, dari sekian banyak definisi tentang agroforestri, Pusat Penelitian Agroforestri Internasional

(International Center for Research in Agroforestry - ICRAF) mengggunakan beberapa definisi agroforestri yaitu : Sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu dapat pula dengan rerumputan (pasture),

kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah dan ikan) sehingga membentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dan komponen lainnya (Huxley 1999). Definisi lain yang digunakan adalah sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi semua pengguna lahan (Huxley 1999).

(29)

Dari beberapa definisi diatas, agroforestri merupakan istilah baru dalarn pemanfaatan lahan tradisional, yang memiliki unsur-unsur : penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia, penerapan teknologi, komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan atau tanaman ternak atau hewan, waktu bisa bergiliran dalam suatu periode tertentu dan ada interaksi ekologi, sosial, dan ekonomi (Hairiah et al. 2002).

Dengan demikian agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang tepat untuk mendukung pertanian berkelanjutan, karena disamping memiliki kontribusi produksi yang nyata dan beragam, juga fungsi konservasi terhadap lingkungan dan keadaan sosial sehingga menjamin ekonomi masyarakat petani yang lebih baik dan keamanan pangan lebih tinggi.

Ruang lingkup agroforestri

Menurut Hairiah et al. (2003) agroforestri pada dasarnya mempunyai tiga komponen dasar yaitu komponen kehutanan, pertanian dan peternakan, dimana setiap komponen berdiri sendiri-sendiri sebagai bentuk penggunaan lahan, hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi diantaranya:

1. Agrisilvikultur, yaitu Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dll.) dengan komponen pertanian.

2. Agropastura, yaitu Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan komponen peternakan

3. Silvopastura, yaitu Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan

4. Agrosilvopastura, yaitu Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan

Dari keempat kombinasi tersebut, yang termasuk dalam agroforestri adalah Agrisilvikultur, Silvopastura dan Agrosilvopastura. Sementara Agropastura

tidak dimasukkan sebagai agroforestri, karena komponen kehutanan atau pepohonan tidak dijumpai dalam kombinasi.

Nair (1987) menambahkan bahwa sistem agroforestri

menggambarkan sistem yang lebih spesifik yaitu: 1) Silvofisheri yang

(30)

perikanan, 2) Apiculture yang merupakan budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan atau komponen kehutanan.

De Foresta dan Michon (1997) berpendapat bahwa agroforestri dapat dikelompokkan ke dalam dua sistem yaitu agroforestri sederhana dan agroforestri kompleks. Agroforestri sederhana yaitu suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan atau pola lain misalnya berbaris dalam larikan, sehingga rnembentuk lorong/pagar, sedangkan agroforestri komplek yaitu: suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun tumbuh secara alami pada sehidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalamnya banyak tumbuh beraneka jenis pohon, perdu dan tanaman memanjat, tanaman semusim dan rumput.

Agroforestri diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah dan membantu mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan dengan tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu kewaktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan. Kondisi ini merupakan refleksi dari adanya konservasi sumberdaya alam yang optimal oleh sistem penggunaan lahan yang diadopsi. Sistem agroforestri diharapkan dapat merehabilitasi lahan sehingga lahan bisa digunakan secara optimal dan berkelanjutan dapat dicapai, baik dari segi kondisi biofisik maupun sosial ekonomi.

(31)

Lahan dan Pengelolaan lahan

Tanah dan lahan merupakan dua istilah yang berbeda. Tanah ini diartikan sebagai suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen padat, cair dan gas dan mempunyai sifat dan perilaku dinamik. Benda alami ini terbentuk oleh hasil kerja interaksi antara iklim dan jasad hidup terhadap suatu bahan induk yang dipengaruhi oleh relief tempatnya terbentuk dan waktu (Arsyad 1989). Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) menambahkan bahwa benda alami tersebut terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik dan udara yang tersusun oleh horizon-horison tanah, merupakan media tumbuh tanaman.

Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang

mencakup pengertian lingkungan fisik, termasuk iklim, topografi, hidrologi,

dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya

secara potensial berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO 1995). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna, dan manusia baik pada masa lalu maupun saat sekarang.

Istilah lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dari batasan tersebut tampak bahwa lahan mempunyai fungsi yang sangat penting terutama untuk keperluan berbagai kegiatan pertanian. Mengingat fungsi lahan yang demikian penting, maka manusia harus membangun hubungan yang saling menguntungkan antara manusia dan lahan, sehingga lahan dapat diperlakukan sebaik-baiknya. Agar tercapai hubungan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya seperti perencanaan penggunaan lahan agar penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya.

(32)

dapat berupa penggunaan utama dan penggunaan kedua dari sebidang lahan pertanian, lahan hutan, padang rumput dan sebagainya.

Pola penggunaan lahan mencerminkan jenis kegiatan manusia yang ada di atasnya. Makin tinggi tingkat kegiatan manusia, makin tinggi pula kebutuhan manusia akan lahan, baik dalam arti peningkatan luas penggunaan maupun dalam intensitas penggunaannya. Pola penggunaan lahan suatu daerah dapat memberikan gambaran tentang kehidupan ekonomi daerah tersebut dan tingkat pencemaran lingkungan hidup (Sandi 1973).

Pengelolaan lahan dapat diartikan sebagai segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas lahan (Sitorus 1998). Sistem pengelolaan lahan yang mencakup upaya untuk meminimalkan dampak negatif pembangunan terhadap tanah/lahan meliputi lima unsur kegiatan yaitu:

1. Perencanaan penggunaan sesuai kemampuannya: 2. Tindakan konservasi tanah dan air;

3. Penyiapan tanah dalam keadaan olah yang baik:

4. Penggunaan sistem pergiliran tanaman yang tersusun baik; 5. Menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang.

Keseluruhan komponen kegiatan tersebut harus dilihat sebagai satu deretan unsur yang sama lain berkaitan.

(33)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama lima bulan, dimulai pada bulan Februari sampai Juni 2008, dengan lokasi di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lampiran 13 Peta lokasi penelitian).

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah contoh tanah, bahan-bahan kimia yang digunakan dalam analisis sampel di laboratorium, peta rupa bumi, peta penggunaan lahan, dan peta lahan kritis di Kabupaten Aceh Besar.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Diagnosis tool ICRAF, seperangkat alat untuk analisis di laboratorium, Abney hand level,

Kompas, meteran, bor tanah, cangkul, plastik sampel, alat tulis dan gambar, alat dokumentasi, softwareArc-View 3.2.

Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel dan Responden

Pengambilan sampel tanah diambil secara purposive sampling di 3

lokasi terpilih berdasarkan bentuk penggunaan lahan: (1) penggunaan

lahannya berbentuk agrisilvikultur, (2) penggunaan lahannya berbentuk

silvopastura,dan (3) penggunaan lahannya berbentuk agrosilvopastura, yang dilakukan pada lahan kritis di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Pada masing-masing lokasi diambil sampel tanah yang dipilih pada beberapa titik yang mewakili kemudian dikompositkan. Sampel tanah kemudian dianalisis di laboratorium dan digunakan untuk penilaian kesesuaian lahan.

Responden merupakan key informant yang diambil secara snowball

(34)

informan kunci selanjutnya hingga data dianggap sudah mencukupi. Menurut pendapat Kanto (2003) diacu dalam Bungin (2003), dalam penelitian kualitatif

yang menggunakan key informant dalam pengumpulan informasi, bilamana

dalam proses pengumpulan data sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi

baru, proses pengumpulan informasi dianggap sudah selesai. Key informant

dalam penelitian ini diambil untuk masing-masing lokasi adalah 10 orang, jadi total informan kunci adalah 30 orang. Data ini diambil untuk analisis sistem agroforestri dan analisis sosial ekonomi

Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodologi studi kasus. Menurut Bungin (2003), secara umum studi kasus memberikan akses dan peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti.

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah persiapan yang meliputi pengumpulan data sekunder yang diperlukan. Tahap kedua adalah survei lapangan yaitu pengumpulan data biofisik, sistem agroforestri dan sosial ekonomi. Tahap ketiga merupakan analisis data dan penyajian hasil penelitian.

Persiapan dan pengumpulan data sekunder

Persiapan yang dilakukan meliputi studi literatur, hasil-hasil penelitian terdahulu dan sumber yang relevan. Tahap persiapan lni bertujuan untuk mengetahui kondisi umum daerah penelitian dan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Data sekunder didapatkan dari instansi terkait.

Survei lapangan pengumpulan data biofisik dan sistem agroforestri

(35)

Tabel 1. Jenis data serta metode pengumpulan data biofisik dan sistem agroforestri

Jenis Data Metode Pengambilan dan Sumber Data 1. Data primer yang diambil di lapangan

ƒ Media perakaran (r) 1.Drainase tanah

2.Tekstur tanah

3.Kedalaman efektif (cm)

Pengamatan lapangan berdasarkan warna tanah dan kecepatan meresapnya air ke dalam tanah yang menunjukan lamanya tanah jenuh air

Diambil secara komposit pada setiap lapisan profil tanah masing 1 contoh tanah pada masing-masing unit lahan dan kemudian dianalisis dilaboratorium

Diukur berdasarkan kedalaman tanah pada masing-masing unit lahan

Diambil secara komposit pada kedalaman 0-20 cm masing-masing 1 contoh tanah pada masing masing unit lahan

ƒ Ketersediaan hara (n) 1.N Total (%) 2.P, Ostersedia (ppm) 3.Kz0 tersedia (ppm)

Diambil secara komposit pada kedalaman 0-20 cm masing

masing 1 contoh tanah dari masing-masing unit lahan

ƒ Identifikasi lahan kritis:

Produktivitas, lereng, erosi, batuan dan manajemen

Pengecekan lapang

ƒ Pengelolaan tanah dan

tanaman Pengecekan lapang/wawancara

ƒ Sistem agroforestri lahan kritis

Kecamatan Indrapuri Pengecekan lapang/wawancara 2. Data Sekunder

ƒ Peta Rupa Bumi , Peta Penggunaan Lahan.

BAKOSURTANAL dan DISHUT Provinsi NAD

ƒ Temperatur (t) 1.Temperatur rerata (°C)

ƒ Ketersediaan air (w) l. Curah hujan (mm) 2. Kelembaban (%)

Data didapat dari stasiun Klimatologi Indrapuri

(36)

Pengumpulan data sosial ekonomi.

Wawancara dilakukan secara mendalam dengan tokoh kunci (Key

informant interview), dengan mengadopsi diagnosis tool (semi-structured interview, diagram dan rangking) yang di kembangkan oleh World Agroforestry Centre (ICRAF) dan disesuaikan dengan data yang dibutuhkan untuk tujuan penelitian.

Data yang dikumpulkan meliputi : Karakteristik sosial ekonomi petani yaitu (a) karakteristik keluarga petani responden (KK) meliputi : pendidikan, jumlah anggota keluarga, pekerjaan utama, status penguasaan lahan, luas tanah garapan, sumber pendapatan utama, pengalaman berusahatani, sumber modal, hambatan usahatani, pemahaman tentang erosi dan tindakan konservasi, intensitas pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian hama, penyakit dan gulma, persepsi petani tentang agroforestri sekarang, komoditi yang diusahakan dan pola tanam, dll; (b) Komponen pendapatan meliputi: jumlah produksi, harga dan (c) Komponen biaya produksi meliputi: biaya bibit/benih, peralatan, pupuk, pestisida, upah tenaga kerja dan biaya lainnya. Responden yang diambil merupakan pemilik lahan kritis dan pemilik lahan yang telah menerapkan sistem agroforestri.

Analisis Data dan Penyajian Hasil.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini untuk

(37)

Tabel 2. Analisis data dan metode

Identifikasi lahan kritis. Dalam mengidentifikasi lahan kritis

digunakan kriteria yang telah ditetapkan Direktorat RKT Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 Departemen Kehutanan tahun 1998. Kriteria ini memberikan penilaian terhadap faktor-faktor yang mengakibatkan lahan menjadi kritis. Tingkat kekritisan lahan ditentukan melalui penjumlahan nilai yang diperoleh pada masing-masing unit lahan (skor X bobot). Untuk lebih jelas kriteria dan bobot dapat dilihat pada Tabel 3.

Analisis Data Metode

Identifikasi lahan kritis : produktivitas, lereng, erosi, batu-batuan dan manajemen.

Bobot/ skoring berdasarkan Departemen Kehutanan

Model agroforestri yang telah ada: jenis tanaman, sistem usahatani

Analisis deskriptif

Kesesuaian lahan :

temperatur, ketersediaan air, ketersediaan oksigen, media perakaran, toksisitas, bahaya erosi penggunaan lahan, jenis tanaman yang diusahakan

Kesesuaian lahan Atlas Format procedures FAO dan kriteria kesesuaian lahan

BALITBANGTANAK, 2003.

Analisis ekonomi :

produksi usaha, biaya usaha tani dan pendapatan petani

Analisis finansial

Analisa Sosial :

tenaga kerja,status lahan, modal, sarana, kebutuhan rumahtangga, dsb

(38)

Tabel 3. Tingkat kekritisan lahan pada berbagai kawasan (Direktorat RKT

Identifikasi sistem agroforestri. Identifikasi sistem agroforestri yang telah ada dilakukan dengan cara melakukan survei dan melihat sistem agroforestri yang telah diterapkan dan kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil Analisis ini berupa tabel, diagram dan peta dari sistem agroforestri yang diterapkan, lokasi, deskripsi bentang lahan, jenis-jenis tanaman utama, jenis hewan yang menjadi komponen agroforestri.

Analisis kesesuaian lahan. Analisis kesesuaian lahan dilakukan

dengan menggunakan kriteria kualitas lahan menurut Atlas Format

Procedures (CSR/FAO, 1983), dan kriteria kesesuaian lahan oleh BALITBANGTANAK (2003). Hasil yang diperoleh adalah data tingkat kesesuaian lahan pada tingkat Kelas berdasarkan klasifikasi FAO (Food and Agricultur Organization) yaitu Kelas S1 = sangat sesuai, Kelas S2 = cukup sesuai, Kelas S3 = sesuai marginal, Kelas N = tidak sesuai.

(39)

Analisis ekonomi. Dalam rangka melihat sejauh mana suatu usaha agroforestri memberikan keuntungan, maka analisis yang paling sesuai untuk dipakai adalah analisis proyek yang berbasis finansial. Analisis finansial pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Melalui cara berpikir seperti itu maka

harus ada ukuran-ukuran terhadap kinerjanya (Suharjito et al. 2003).

Ukuran-ukuran yang digunakan umumnya adalah sebagai berikut:

a. Net Present Value (NPV)

NPV merupakan nilai dari suatu proyek setelah dikurangkan dengan seluruh biaya pada suatu tahun tertentu dari keuntungan atau manfaat yang diterima pada tahun yang bersangkutan dan didiskontokan dengan tingkat bunga yang berlaku, dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

Bt = penerimaan kotor petani pada tahun t

Ct = biaya kotor usaha tani pada tahun t

n = umur ekonomis

i = suku bunga

t = interval waktu

Jika nilai NPV>0, maka usaha tani tersebut diprioritaskan pelaksanaannya; jika NPV=0, maka usaha tani tersebut mengembalikan persis sebesar social opportunity cost of capital; dan jika NPV<0, maka sebaiknya usaha tani tersebut ditolak dan sekaligus mengindikasikan ada jenis penggunaan lain yang lebih menguntungkan bagi sumber-sumber yang diperlukan usaha tani.

b. Benefit Cost Ratio (BCR)

BCR merupakan suatu cara evaluasi proyek dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh suatu proyek dengan nilai

(40)

sekarang seluruh biaya proyek, dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

Bt = penerimaan kotor petani pada tahun t

Ct = biaya kotor usaha tani pada tahun t

n = umur ekonomis

i = suku bunga

t = interval waktu

Jika nilai BCR>1 berarti NPV>0, maka usaha tani tersebut diprioritaskan pelaksanaannya; dan jika BCR<1 berarti NPV<0, maka maka sebaiknya usaha tani tersebut ditolak dan sekaligus mengindikasikan ada jenis penggunaan lain yang lebih menguntungkan bagi sumber-sumber yang diperlukan usaha tani.

c. Internal Rate of Return (IRR)

IRR merupakan tingkat suku bunga yang membuat proyek akan mengembalikan semua investasi selama umur proyek, dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

i’ = nilai percobaan pertama untuk suku bunga

i’’ = nilai percobaan kedua untuk suku bunga

NPV’ = nilai NPV percobaan pertama

NPV’’ = nilai NPV percobaan kedua

Biasanya untuk menghitung besarnya IRR dilakukan dengan teknik interpolasi, yakni secara coba-coba dengan nilai suku bunga (i) tertentu yang

(41)

dianggap mendekati nilai IRR yang benar dan selanjutnya menghitung NPV dari arus pendapatan dan biaya. Jika nilai IRR≥nilai suku bunga (i) yang berlaku sebagai social discount rate, maka NPV>0 artinya usaha tani dapat dilaksanakan; sedangkan jika IRR<0, maka NPV<0 artinya usaha tani tidak dapat dilaksanakan.

(42)

KEADAAN LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan

Secara geografis lokasi penelitian terletak pada 05012’ - 05024’ Lintang Utara dan 95024’ - 95030’ Bujur Timur. Secara administratif lokasi peneltian terletak di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kecamatan Indrapuri berbatasan dengan Kecamatan Montasik di sebelah Utara, Pegunungan Bukit Barisan di sebelah Selatan, Kecamatan Kuta Malaka disebelah Barat dan Kecamatan Kuta Glie disebelah Timur. Posisi geografisnya yang berada di kaki pegunungan Bukit Barisan memiliki sumberdaya lahan yang cukup luas. Kecamatan Indrapuri berjarak 25 Km dari ibukota provinsi ke arah barat dan berjarak 27 Km dari ibukota kabupaten ke arah timur.

Kecamatan Indrapuri terdiri dari 3 Kemukiman dan 52 Gampong/Desa.

Dalam rangka memenuhi tujuan penelitian, lokasi penelitian dipilih tiga desa untuk mewakili bentuk agroforestri dan kondisi lahan kritis yang ada di Kecamatan Indrapuri yaitu Desa Aneuk Glee, Desa Reukih Dayah dan Desa Krueng Lam Kareung.

Kondisi Iklim

Kondisi iklim khususnya curah hujan tahunan pada lokasi penelitian berkisar dari 1200 – 2500 mm/th, suhu rata-rata 26,7 0 C, dengan tingkat kelembaban udara berkisar antara 63,0 – 83,0 %. Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson lokasi penelitian termasuk ke dalam tipe iklim C. Hasil pencatatan Stasiun Klimatologi Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar menunjukkan rata-rata curah hujan selama sebelas tahun (1997-2007) sebesar 1.756 mm per tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata sebanyak 124 hari hujan per tahunnya, dapat dilihat pada Lampiran 1.

Topografi

(43)

oleh padang rumput sedangkan pada bagian lembah ditumbuhi pohon dan semak belukar.

Jenis Tanah

Berdasarkan peta jenis tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Krueng Aceh tahun 2007, diketahui bahwa jenis tanah yang dominan menyebar di Kecamatan Indrapuri tergolong dalam jenis

Podsolik Merah Kuning, Litosol dan Latosol.

Kependudukan

Berdasarkan data BPS Kabupaten Aceh Besar (2006), penduduk yang ada di Kecamatan Indrapuri adalah 17.267 jiwa terdiri dari 8.468 jiwa laki-laki dan 8.799 jiwa perempuan. Sebaran penduduk dalam Kecamatan Indrapuri tahun 2006 disajikan pada Tabel 4.

Mata Pencaharian

Masyarakat dalam Kecamatan Indrapuri memiliki mata pencaharian yang beragam, namun sebagian besar bekerja pada sektor pertanian dengan sub sektor padi dan palawija. Masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian pada umumnya berusaha mencari alternatif sebagai pekerja penjual jasa dan perdagangan.

(44)

Tabel 4. Jumlah penduduk di Kecamatan Indrapuri tahun 2006

Sumber: BPS Kabupaten Aceh Besar 2006

(45)

Pendidikan dan Tingkat Pendidikan

Kecamatan Indrapuri memiliki sarana pendidikan yang cukup baik dapat dilihat dari jumlah bangunan sekolah yang ada untuk tingkat SD/MI sebanyak 17 buah, untuk tingkat SLTP/MTs sebanyak 4 buah sedangkan SMU/MA sebanyak 3 buah. Jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Indrapuri sebanyak 17.267 Jiwa, persentase penduduk menurut tingkat pendidikan untuk SD 95,65 %, tingkat SLTP 78,84 %, tingkat SLTA 55,05 % dan Perguruan Tinggi 26,31 %. Dalam hal ini tingkat pendidikan masyarakat di lokasi penelitian berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat.

Penguasaan Lahan

Penguasaan lahan di Desa Aneuk Glee, Desa Reukih Dayah dan Desa Krueng Lam Kareung umumnya dikuasai oleh penduduk desa setempat yang merupakan penduduk asli pribumi dengan status pemilik. Status kepemilikan lahan di daerah penelitian disebabkan oleh adanya sistem pewarisan lahan. Sistem ini sudah merupakan tradisi dimana kepala keluarga atau orang tua membagikan lahan kepada anak-anaknya yang sudah berumah tangga, lahan yang dibagikan kepada anak dapat berupa sawah, kebun maupun lahan kosong yang belum dilakukan kegiatan usahatani. Selain mendapat warisan kepemilikan lahan juga dilakukan dengan membuka lahan-lahan baru.

(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lahan Kritis

Kondisi lahan pada suatu wilayah menggambarkan keadaan bentuk lahan di wilayah tersebut. Indrapuri yang secara geografis berada di kaki pegunungan Bukit Barisan merupakan lahan-lahan terbuka yang umumnya didominasi oleh padang rumput dan semak belukar. Lahan-lahan ini merupakan lahan milik masyarakat yang digunakan sebagai lahan usahatani. Kondisi lahan terbuka yang diusahakan sebagai lahan usahatani di Kecamatan Indrapuri dapat dilihat pada Gambar 2.

a. Kondisi lahan sebelum pembersihan b. Pembersihan lahan usaha tani

Gambar 2. Kondisi lahan di Kecamatan Indrapuri

Hasil pengamatan terhadap kriteria tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Indrapuri berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan Direktorat RKT Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 Departemen Kehutanan tahun 1998 disajikan pada Tabel 5.

(47)

Dari Tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat kekritisan lahan pada tiga lokasi pengamatan termasuk dalam kriteria kritis. Pada lokasi pengamatan Desa Aneuk Glee dan Desa Reukih Dayah kondisi lahan tergolong kritis (total skor 250), sedangkan untuk Desa Krueng Lam Kareung juga tergolong kritis (total skor 275). Indikator kekritisan tertinggi pada Desa Aneuk Glee dan Desa Reukih Dayah lebih dikarenakan kondisi lahan yang lebih terbuka dengan tingkat batuan yang lebih tinggi sehingga menyebabkan produktivitas yang rendah. Kondisi batuan pada lokasi pengamatanseperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kondisi batuan pada lahan lokasi penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan di tiga lokasi dapat disimpulkan bahwa sebagian besar lahan yang berada di Kecamatan Indrapuri umumnya berada dalam kondisi lahan kritis dan agak kritis. Kekritisan ini juga dipengaruhi oleh kurangnya vegetasi sebagai penutupan lahan sehingga lahan tersebut umumnya

terbuka. Vegetasi yang dijumpai didominasi jenis aren (Arenga pinata),

jamblang/juwet (Zyzygium cumini), cermai hutan (Phyllanthus emblica ), laban (Vitex pubescen), rumput-rumputan (Grass), serta tanaman semak (Bush).

Sistem Agroforesti Pada Lahan Kritis

(48)

lahan bagian lembah yang dianggap lebih subur dibandingkan punggung bukit yang ditutupi oleh rumput. Pada awal musim penghujan yaitu pada bulan September, petani mulai melakukan penanaman tanaman palawija seperti cabai, terong, timun, dan lainnya. Punggung bukit dan lereng umumnya dilakukan penanaman tanaman tahunan dan tanaman berkayu. Tanaman pisang merupakan pilihan utama untuk ditanam, karena masyarakat menganggap dapat meningkatkan kelembaban tanah terutama pada musim kemarau. Selain itu tanaman pinang merupakan pilihan petani untuk ditanam pada bagian lereng bukit karena tanaman ini dapat bertahan pada tanah yang kesuburannya rendah. Jenis pohon yang mampu bertahan pada kondisi kritis umumnya ditanam pada punggung bukit seperti jati dan mahoni.

Secara temporal kegiatan usahatani awalnya dimulai dengan menanam tanaman semusim atau palawija yang dipadukan dengan pohon jenis MPTs, seiring perjalanan waktu tanaman pohon terutama jenis MPTs terlihat lebih dominan di lokasi penelitian terutama di Desa Krueng Lam Kareung dan Desa Aneuk Glee dimana tujuan akhir dari kegiatan usahatani adalah berupa kebun campuran (sistem agroforestri). Berdasarkan komponen penyusunannya agroforestri pada lahan kritis yang teridentifikasi dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian yaitu agrisilvikultur, silvopastura dan agrosilvopastura. Adapun ketiga bentuk sistem agroforestri tersebut akan dibahas lebih lanjut.

Agrisilvikultur

Lahan kritis secara fisik memiliki constrain atau komponen penghambat untuk melakukan kegiatan usahatani (misal; rendahnya tingkat kesuburan, ketersediaan air dll). Hal ini merupakan pertimbangan bagi petani di dalam melakukan kegiatan usahatani. Pertimbangan ini yang menyebabkan rendahnya keinginan petani dilokasi penelitian untuk memproduktifkan lahan-lahan yang mereka miliki, selain itu petani di lokasi penelitian umumnya juga memiliki lahan yang relatif lebih subur yaitu di sekitar desa dan rumah mereka, yang jaraknya lebih dekat dibandingkan lahan-lahan kritis yang mereka miliki.

(49)

semusim. Menanam tanaman semusim tidak mungkin dilakukan secara terus menerus karena akan membutuhkan input yang tinggi terutama untuk pembelian pupuk, untuk itu petani umumnya menanam tanaman semusim hanya pada awal kegiatan membuka kebun, hal itu pun dilakukan hanya satu atau dua periode musim sambil melakukan pemeliharan terhadap tanaman tahunan dan tanaman berkayu.

Berkebun merupakan pekerjaan sambilan yang dilakukan oleh petani, sedangkan pekerjaan usahatani utama adalah bersawah, hal ini dapat diketahui melalui wawancara terhadap responden di Desa Aneuk Glee dan Desa Krueng Lam Kareung dimana pekerjaan utama sebagian besar adalah petani yaitu bertanam padi sawah, sehingga umumnya waktu yang dilakukan untuk kegiatan berkebun hanya setengah hari. Jenis tanaman yang dipilih dalam kegiatan berkebun merupakan jenis tanaman yang tidak menyita waktu penuh, yaitu dengan menanam lahannya dengan jenis tanaman berkayu dan tanaman tahunan yang tidak membutuhkan banyak waktu dalam perawatannya. Adapun jenis tanaman dominan yang ditanam di dalam kebun berbentuk agrisilvikultur menurut landscape dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 menunjukkan bahwa pemilihan jenis tanaman berkayu non-MPTs di dalam landscape lebih diarahkan pada bagian punggung bukit, dimana secara

umum lahannya lebih terbuka dan didominasi oleh batuan (stone) sehingga

tingkat kesuburan lahannya lebih rendah. Pengalaman petani di dalam pemilihan jenis mahoni dan jati memang sudah teruji lebih tahan untuk ditanam pada punggung bukit, ditandai dengan sudah banyaknya tanaman mahoni dan jati yang sudah besar dijumpai di sekitar lokasi penelitian. Selain itu jati dan mahoni merupakan jenis tanaman pioner yang secara fisiologis dapat beradaptasi pada lahan kritis. Penanaman dengan tanaman jenis non-MPTs seperti jati dan mahoni lebih ditujukan untuk konservasi lahan. Pada punggung bukit apabila keadaan lahan sudah kondusif bagi tanaman lain dilakukan perpaduan dengan jenis tanaman MPTs, yang bertujuan sebagai pengganti apabila jenis-jenis tanaman berkayu seperti jati dan mahoni nantinya ditebang, sehingga dapat mengantisipasi lahan terbuka dan menjadi kritis lagi.

Jenis tanaman MPTs seperti kemiri, mangga, rambutan dan pinang di

(50)

kesuburan tanahnya lebih baik daripada didaerah punggung bukit. Pemilihan jenis MPTs selain bertujuan untuk ekonomis juga untuk tujuan konservasi lahan.

Tabel 6. Komponen penyusun kebun sistem agrisilvikultur menurut landscape

No Komponen Penyusun Letak Tujuan

1.

Mahoni (Swietennia sp) Jati (Tectona grandis)

Rambutan (Nephelium lappaceum) Pinang (Areca catechu)

Nangka (Artocarpus integra)

Punggung, lereng

Pisang (Musa Sp) Punggung, lereng Ekonomi

1.

Tanaman tahunan yang umum ditanam oleh petani di tiga desa lokasi penelitian yaitu pisang. Tanaman pisang dipilih karena dapat tumbuh dengan baik pada lahan kritis dan juga asumsi petani dapat lebih meningkatkan kelembaban tanah, selain itu tanaman pisang tidak begitu membutuhkan perawatan dan secara ekonomis pemasarannya lebih mudah.

(51)

Gambar. 4. Kebun berbentuk agrisilvikultur dilokasi penelitian.

Silvopastura

Kecamatan Indrapuri secara geografis memiliki potensi yang besar untuk lokasi pengembangan ternak dimana sumberdaya lahan yang luas sangat mendukung. Bentangan alam yang berbukit-bukit kecil dengan ditumbuhi rumput dan semak belukar merupakan kondisi yang cocok untuk pengembangan sektor peternakan. Luas lahan penggembalaan/padang rumput yang ada di Kecamatan Indrapuri seluas 3.255 ha ditambah dengan lahan yang sementara tidak diusahakan berjumlah 1.350 ha (BPS Kabupaten Aceh Besar, 2006).

(52)

Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar (2007), jenis ternak yang umumnya dipelihara oleh masyarakat Kecamatan Indrapuri adalah kambing dengan jumlah 700 ekor dan sapi potong dengan jumlah 1.621 ekor jantan dan 3.797 ekor betina.

Sumberdaya lahan juga harus didukung dengan manajemen yang tepat dalam rangka optimalisasi produktivitas. Ditemui tiga sistem manajemen ternak yang diterapkan di lokasi penelitian yaitu :

1. Sistem tradisional; yaitu dengan melepaskan ternak pada pagi hari untuk mencari makanan sendiri dan mengandangkannya pada sore hari. Sistem ini dilakukan oleh sebagian besar petani di lokasi penelitian. Pada ternak sapi yang betina umumnya diterapkan sistem ini agar terjadinya perkawinan dan lebih cepat berkembang biak.

2. Sistem semi intensif; yaitu pemeliharaan ternak dengan cara pemeliharaan pada padang penggembalaan tertentu yang sudah dipagari, kemudian dikandangkan dan diberi pakan tambahan.

3. Sistem intensif yaitu pemeliharaan ternak dengan dikandangkan. Pada sistem ini kebutuhan pakan disediakan penuh. Pakan (rumput gajah) biasanya ditanam pada lahan tertentu kemudian dipotong untuk dijadikan pakan ternak. Biasanya sistem ini bertujuan untuk penggemukan sapi jantan.

Lahan penggembalaan umumnya dipagari dengan pohon kuda-kuda (Spondias dulce) dan pohon gamal (Gliricidia sephium) yang merupakan komponen tanaman kehutanan yang dijadikan pakan bagi ternak. Selain itu penanaman tanaman berkayu pada lokasi-lokasi tertentu juga ditujukan untuk tempat ternak berteduh. Pakan ternak dari jenis rumput masih kurang dibudidayakan di lokasi penelitian karena masih berharap dari rumput liar yang tumbuh di padang penggembalaan, selain itu penanaman pakan seperti jenis rumput gajah (Elephant grass) membutuhkan input yang tinggi terutama untuk pemupukan. Bentuk silvopastura dilokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

Agrosilvopastura

(53)

Gambar. 5. Sistem silvopastura dilokasi penelitian

Sistem agrosilvopastura yang sudah adopted dengan lokasi lahan yang kritis ditemui di lokasi penelitian, dimana umumnya sudah berbentuk kebun campuran dengan komponen tanaman berkayu dijumpai sudah besar dan sudah berumur lebih dari 15 tahun. Sementara itu pada daerah bagian lembah dari kebun digunakan untuk komponen tanaman semusim secara permanen. Komponen ternak yang menjadi pilihan adalah ternak sapi dan itik. Selanjutnya komponen jenis tanaman berkayu, tanaman tahunan, tanaman semusim dan ternak di dalam kebun berbentuk agrosilvopastura menurut landscape di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

(54)

untuk tujuan ekonomi dan konservasi, dilakukan penanaman rumput gajah untuk pakan ternak pada bagian lereng searah kontur.

Tabel 7. Komponen penyusun kebun sistem agrosilvopastura menurut

Landscape

No Komponen Penyusun Letak Tujuan

1.

Mahoni (Swietennia sp) Jati (Tectona grandis) Kemiri (Aleuritas moluccana) Mangga (Mangifera indica) Nangka (Artocarpus integra) Rambutan (Nephelium lappaceum) Pinang (Areca catechu)

Punggung, lereng

Kakao (Theobroma cacao L)

Punggung, lereng

Cabai (Capsicum annum) Terung (Solanum melongena)

Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) Lereng, lembah Ekonomi/konservasi

1.

Pada bagian lembah diperuntukkan untuk tanaman-tanaman semusim sehingga terhindar dari persaingan dari tanaman berkayu dan tanaman tahunan. Penanaman tanaman semusim biasanya dilakukan secara kontinyu sesuai dengan waktu yang dimiliki petani. Jenis tanaman semusim sendiri biasanya dipilih dari jenis tanaman yang tidak begitu membutuhkan perawatan.

(55)

biasanya dibuat kolam-kolam atau sumur yang bertujuan ganda yaitu untuk kebutuhan ternak terhadap air juga untuk menyiram tanaman semusim.

Komponen ternak di areal kebun memberikan interaksi mutualisme atau saling menguntungkan dimana pakan ternak diperoleh dari tanaman di dalam kebun dan kotoran ternak dijadikan pupuk organik untuk tanaman. Jenis tanaman yang biasa dijadikan pakan ternak sapi di kebun yaitu rumput, pohon pisang, pohon kuda-kuda dan pohon gamal yang biasanya dijadikan tanaman pagar. Bentuk agrosilvopastura di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Bentuk agrosilvopastura yang ada di lokasi penelitian

Subsistem lahan

Hasil wawancara dengan responden menunjukkan 90 % responden memiliki luas lahan lebih dari 1 ha dengan status hak milik. Lahan yang mereka miliki jaraknya antara 500 m s/d 1 Km dari perkampungan. Selain itu responden umumnya juga memiliki lahan lain, yaitu sawah yang menjadi matapencarian utama mereka.

(56)

ditandai dengan telah terjadi erosi berat dan banyaknya batuan diatas permukaan tanah.

Sumber air di kebun sangat terbatas terutama pada musim panas dimana umumnya petani masih menggantungkan usahataninya dari hujan. Hanya 37 % responden yang memiliki sumur di kebun sementara 53 % berharap dari hujan.

Constrain pada subsistem lahan adalah tingkat kesuburan lahan yang rendah, dan ketersedian air yang tidak mencukupi terutama pada musim panas.

Subsistem tenaga kerja

Pekerjaan utama responden di lokasi penelitian 60 % merupakan petani dan sisanya terbagi di sektor lain. Pekerjaan tani yang utama adalah bersawah dimana ketika musim bersawah petani umumnya meninggalkan aktivitas di kebun, setelah selesai panen di sawah baru petani memanfaatkan waktunya di kebun. Dari data 30 orang responden hanya 7 % yang bekerja full time di kebun sementara 93 % bekerja setengah hari di kebun. Selanjutnya didapati bahwa untuk meningkatkan produksi, resonden umumnya lebih menginginkan tenaga kerja daripada lahan, ini menunjukkan bahwa kurangnya tenaga kerja merupakan

constrain untuk meningkatkan produktivitas.

Kebun mendatangkan orang bekerja umumnya untuk keperluan pembersihan lahan, selain itu biasanya dikerjakan sendiri bila ada waktu luang. Pekerjaan utama laki-laki di kebun yaitu pada saat pembersihan lahan dan pemeliharaan, sementara pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan di kebun yaitu kegiatan pemanenan dan pasca panen.

Subsistem dana

Pengeluaran utama keluarga yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup hariannya, dimana saat ini harga sembako sangat menyulitkan kehidupan petani, terutama pasca tsunami dimana dengan banyaknya kehadiran NGOs ternyata membawa dampak tidak langsung terhadap mahalnya harga-harga bahan pokok. Selain itu kebutuhan untuk anak-anak sekolah juga menjadi perhatian dari responden.

Gambar

Gambar. 1. Diagram alir kerangka pemikiran
Tabel 1. Jenis data serta metode pengumpulan data biofisik dan sistem
Tabel 3. Tingkat kekritisan lahan pada berbagai kawasan (Direktorat RKT
Tabel 4. Jumlah penduduk di Kecamatan Indrapuri tahun 2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai kontribusi agroforestri terhadap rumah tangga petani dan informasi pola pengelolaan agroforestri yang

Agroforestri adalah sistem kombinasi lahan yang mengkombinasikan tanaman kayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat

Analisis nilai koefisien korelasi tertinggi antara kepadatan cacing tanah dengan bahan organik pada lokasi agroforestri kopi sederhana yakni Genus Pheretima dengan nilai

Karakteristik umum agroforestri, yaitu penanaman dengan sengaja antara pohon dan tanaman pertanian dan atau ternak pada unit lahan yang sama dalam berbagai bentuk pencampuran

Komparasi pendapatan usahatani tanaman hortikultura semusim dengan usahatani tanaman perkebunan tahunan yaitu usahatani cabai merah dengan usahatani kopi diperoleh hasil Sig

dan KTK yang terdapat pada sistem agroforestri karet dengan monokultur. karet di Desa Marjanji Asih, Kabupaten Simalungun,

Agroforestri adalah sistem kombinasi lahan yang mengkombinasikan tanaman kayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat

Sistem agroforestri, atau sistem penggunaan lahan yang menggabungkan unsur kehutanan dengan tanaman pertanian/perkebunan, digunakan oleh masyarakat desa lokasi penelitian untuk