• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI EKSTRAK DAUN KEPEL (Stelechocarpus burahol) DALAM MENURUNKAN KADAR AMONIA,TRIMETILAMIN, DAN FENOL PADA FESES MENCIT (Mus musculus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI EKSTRAK DAUN KEPEL (Stelechocarpus burahol) DALAM MENURUNKAN KADAR AMONIA,TRIMETILAMIN, DAN FENOL PADA FESES MENCIT (Mus musculus)"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI EKSTRAK DAUN KEPEL (Stelechocarpus burahol)

DALAM MENURUNKAN KADAR AMONIA,TRIMETILAMIN,

DAN FENOL PADA FESES MENCIT (Mus musculus)

ANDRINI ADITYA WARDHANI

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Potensi Ekstrak Daun Kepel (Stelechocarpus burahol) dalam Menurunkan Kadar Amonia, Trimetilamin, dan Fenol pada Feses Mencit (Mus musculus) adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

Andrini Aditya Wardhani

(3)

ABSTRAK

ANDRINI ADITYA WARDHANI. Potensi Ekstrak Daun Kepel (Stelechocarpus

burahol) dalam Menurunkan Kadar Amonia, Trimetilamin, dan Fenol pada Feses

Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh HERA MAHESHWARI dan SITI SA’DIAH

Bau yang berasal dari ekskreta hewan dalam pemeliharaan hewan coba dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia maupun hewan coba. Bau tersebut dapat dikurangi dengan penggunaan deodoran oral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak daun kepel (Stelechocarpus burahol) terhadap kadar amonia, trimetilamin, dan fenol dalam feses mencit. Mencit diberi ekstrak daun kepel dengan dosis 2,6 mg/g BB per oral selama tujuh hari. Kadar amonia, trimetilamin, dan fenol dalam feses mencit diperiksa pada hari sebelum pencekokan, setelah pencekokan hari ketiga, dan setelah pencekokan hari ketujuh. Kadar amonia dan trimetilamin diukur dengan metode titrasi, sedangkan kadar fenol diukur dengan metode spektrofotometri. Data yang didapat dianalisis menggunakan uji T-student. Hasil menunjukkan bahwa kadar fenol dalam feses mencit menurun secara signifikan setelah tujuh hari, sedangkan kadar amonia dan trimetilamin tidak mengalami penurunan yang signifikan.

Kata Kunci : kepel, amonia, trimetilamin, fenol

ABSTRACT

ANDRINI ADITYA WARDHANI. Potency of Kepel (Stelechocarpus burahol) Leaf Extract on Reducing Ammount of Ammonia, Trimethylamine, and Phenol in Mice (Mus musculus) Faeces. Under direction of HERA MAHESHWARI and SITI SA’DIAH

Odor that came from animal excrete in animal laboratory maintenance can cause health problem on human and animal. Odor can be reducted with using of oral deodorant. The aim of this research was to study the effect of kepel (Stelechocarpus burahol) leaf extract on ammount of ammonia, trimethylamine, and phenol in mice faeces. The exctract dose was 2,6 mg/g body weight and it was given orally for seven days. Ammount of ammonia, trimethylamine, and phenol were measured in day before treatment, after third day treatment, and after seventh day treatment. Ammount of ammonia and trimethylamine were measured by titration method, while the ammount of phenol was measured using spectrophotometry. All data were analyzed using T-test method. The result indicated that kepel leaf extract tended to reduce ammount of phenol in faeces after seven day,but it had no significant effect for ammount of ammonia and trimethylamine.

(4)

RINGKASAN

ANDRINI ADITYA WARDHANI. Potensi Ekstrak Daun Kepel (Stelechocarpus

burahol) dalam Menurunkan Kadar Amonia, Trimetilamin, dan Fenol pada Feses

Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh HERA MAHESHWARI dan SITI SA’DIAH

Mencit merupakan jenis hewan yang sering digunakan sebagai hewan coba. Salah satu masalah yang sering muncul dalam pemeliharaan mencit sebagai hewan coba adalah bau dari urin dan feses yang disebabkan oleh kandungan senyawa odoran didalamnya. Senyawa odoran terdiri atas nitrogen volatil (amonia), senyawa amina (trimetilamin), senyawa sulfida, dan senyawa hasil dekomposisi usus (fenol, indol, skatol, kresol). Senyawa odoran tersebut dapat membahayakan kesehatan hewan coba dan juga manusia. Sediaan deodoran oral dapat digunakan untuk mengurangi kadar senyawa odoran dalam ekskreta.

Kepel (Stelechocarpus burahol) merupakan tanaman asli Indonesia yang saat ini jumlahnya semakin sedikit. Buah kepel berpotensi untuk dikembangkan sebagai sediaan deodoran oral. Namun jumlahnya yang terbatas mendorong adanya pengkajian bagian lain dari tanaman kepel yang ketersediaannya tidak dibatasi oleh musim seperti daun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak daun kepel sebagai deodoran oral bagi hewan coba dengan mekanisme penurunan kadar senyawa amonia, trimetilamin, dan fenol dalam feses.

Hewan terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak daun kepel dosis 2,6 mg/g BB serta kelompok kontrol yang dicekok akuades. Penelitian dilakukan selama tujuh hari. Sebelum diberi perlakukan hewan mengalami aklimatisasi selama tujuh hari. Pengumpulan feses dilakukan sebelum pencekokan hingga sehari setelah pencekokan hari ketujuh. Penentuan kadar amonia, trimetilamin, dan fenol dalam feses dilakukan pada hari ke 0 (sebelum pencekokan), hari ke 4 (setelah pencekokan hari ke 3), dan hari ke 8 (setelah pencekokan hari ke 7). Kadar amonia dan trimetilamin ditentukan dengan mentode titrasi, sedangkan kadar fenol ditentukan dengan menggunakan spektrofotometri. Kadar ketiga senyawa tersebut kemudian dianalisis dengan metode uji T-Test.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun kepel berpotensi secara signifikan dalam menurunkan kadar fenol dalam feses. Persentase penurunan kadar fenol secara keseluruhan adalah sebesar 39,2%. Kadar amonia dalam feses mencit yang dicekok ekstrak daun kepel juga mengalami penurunan dengan persentase secara keseluruhan sebesar 52,2%. Kadar trimetilamin dalam feses mencit yang diberi ekstrak daun kepel juga menurun dengan persentase penurunan secara keseluruhan sebesar 70,4%. Namun jika dibandingkan antara kadar amonia dan trimetilamin dalam feses mencit yang diberi ekstrak daun kepel dengan kadarnya dalam feses mencit yang diberi akuades maka tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

Penurunan kadar amonia dalam feses mencit yang diberi ekstrak daun kepel diduga sebagai hasil dari aktivitas absorpsi dari daun kepel. Senyawa proantosianidin yang terkandung dalam daun kepel dapat mengikat senyawa hasil

(5)

dekomposisi usus seperti fenol. Hal ini menjadi penyebab terjadinya penurunan kadar fenol dalam feses mencit yang diberi ekstrak daun kepel. Senyawa hasil dekomposisi usus tersebut merupakan senyawa yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri pembentuk amonia dan trimetilamin di dalam usus. Penurunan jumlah senyawa substrat pertumbuhan tersebut akan berakibat pada penurunan jumlah bakteri. Hal ini menyebabkan jumlah amonia dan trimetilamin yang terbentuk dalam usus menjadi menurun sehingga jumlahnya didalam feses juga menjadi ikut menurun.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya illmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(7)

POTENSI EKSTRAK DAUN KEPEL (Stelechocarpus burahol

DALAM MENURUNKAN KADAR AMONIA,TRIMETILAMIN,

DAN FENOL PADA FESES MENCIT (Mus musculus)

ANDRINI ADITYA WARDHANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)

Judul Skripsi : Potensi Ekstrak Daun Kepel (Stelechocarpus burahol) dalam Menurunkan Kadar Amonia, Trimetilamin, dan Fenol pada Feses Mencit (Mus musculus)

Nama : Andrini Aditya Wardhani NIM : B04070173

Disetujui

Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc. Siti Sa’diah S.Si,Apt, M.Si.

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Diketahui Atas nama Dekan

Dr. dra. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Potensi Ekstrak Daun Kepel (Stelechocarpus burahol) dalam Menurunkan Kadar Amonia, Trimetilamin, dan Fenol pada Feses Mencit (Mus musculus). Penelitian yang dilaporkan dalam karya ilmiah ini dilaksanakan pada bulan April hingga Oktober 2010 di laboratorium bagian Farmakologi dan Toksikologi, Departemen Anatomi Fisiologi Farmakologi FKH IPB dan laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia FMIPA IPB.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Hera Maheshwari dan Siti Sa’diah S.Si, Apt, M.Si selaku pembimbing skripsi atas kesabarannya dalam memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada drh. Huda Shalahudin Darusman M.Si atas saran dan pengarahan yang telah diberikan kepada penulis serta kesediannya menjadi dosen penilai seminar, Dr. R.Iis Arifiantini M.Si selaku pembimbing akademik, drh. Savitri Novelina, M.Si selaku dosen moderator seminar, serta Dr. Hj. Ietje Wientarsih M.Sc, Apt dan drh. Usamah Affif, M.Sc selaku dosen penguji pada sidang skripsi. .Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh staf laboratorium bagian Farmakologi dan Toksikologi serta seluruh staf laboratorium Kimia Analitik.

Terima kasih juga kepada ayah, ibu, dan kedua adik tercinta untuk doa, kasih sayang, serta dukungannya bagi penulis. Terima kasih kepada Nur Adilla Adha, Gita Alvernita, dan Arie Mardjan Tampubolon atas bantuan dan dukungannya sebagai rekan penelitian. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman terdekat (Isma, Dwi, Wafa, Lina, Meta, Santi, dan Risa) atas dukungan dan semangatnya selama ini serta teman-teman Gianuzzi 44. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2011

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 Juli 1989 dari ayah Dr. Swastiko Priyambodo M.Si dan ibu Dr. Sulistijorini M.Si. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Pada tahun 2001 penulis lulus dari SD Negeri Pengadilan 3 dan melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Bogor. Tahun 2004 penulis lulus SMP dan melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Bogor. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan diterima di IPB melalui jalur SPMB masuk ke Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi anggota Himpunan Profesi Ruminansia pada tahun 2008/2009 serta 2009/2010 dan menjadi pengurus DKM An-Nahl pada tahun 2009/2010.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kepel (Stelechocarpus burahol) ... 4

Deodoran Oral ... 6

Amonia ... 7

Trimetilamin ... 9

Fenol ... 10

Mencit ... 11

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 12

Alat dan Bahan ... 12

Metode Pembuatan dan Pencekokan Larutan Ekstrak Daun Kepel ... 13

Penentuan Kadar Amonia dan Trimetilamin dalam Feses ... 14

Penentuan Kadar Fenol dalam Feses ... 15

Analisis Data ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Ekstrak Daun Kepel terhadap Kadar Amonia ... 17

Pengaruh Ekstrak Daun Kepel terhadap Kadar Trimetilamin ... 19

Pengaruh Ekstrak Daun Kepel terhadap Kadar Fenol ... 21

SIMPULAN DAN SARAN ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 24

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Pohon, daun, dan buah kepel ... 5

2 Kadar amonia dalam feses mencit akibat pemberian ekstrak daun kepel ... 17

3 Kadar TMA dalam feses mencit akibat pemberian ekstrak daun kepel. ... 19

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil uji T-Student kadar amonia dan TMA dalam feses mencit ... 29 2 Hasil uji T-Student kadar fenol dalam feses mencit ... 29

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mencit merupakan hewan yang sering digunakan sebagai hewan coba dalam berbagai penelitian. Hal ini disebabkan mencit dapat berkembang biak dengan cepat dengan jumlah anak yang banyak. Selain itu mencit juga mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak sehingga dapat digunakan dalam skala penelitian yang besar. Mencit sering digunakan dalam penelitian yang aplikasinya ditujukan untuk manusia karena memiliki aktivitas fisiologis yang mirip dengan manusia.

Kesejahteraan hewan merupakan hal yang harus selalu diperhatikan, termasuk kesejahteraan hewan coba. Penerapan prinsip kesejahteraan hewan pada hewan coba akan mempengaruhi kesehatan hewan tersebut. Salah satu persyaratan hewan coba yang baik adalah memiliki kualitas kesehatan yang baik. Kualitas kesehatan seekor hewan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah manajemen pemeliharaan yang baik.

Salah satu masalah yang timbul dalam pemeliharaan mencit sebagai hewan coba adalah bahaya senyawa amonia yang berasal dari urin dan feses. Senyawa tersebut dapat mengakibatkan kerusakan sel-sel epitel dari organ pernafasan seperti trakhea dan bronkhus (Leduc et al. 1992). Kerusakan tersebut bisa mengakibatkan penurunan sistem pertahanan tubuh hewan. Hal ini tentu akan mempengaruhi kualitas kesehatan hewan coba.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menerapkan sistem biosekuriti yang baik. Salah satu dari prinsip biosekuriti adalah menjaga sanitasi. Sanitasi bertujuan untuk menghilangkan mikroorganisme patogen serta senyawa-senyawa yang dapat menganggu kesehatan hewan coba. Sanitasi terdiri atas desinfeksi dan pembersihan. Kegiatan pembersihan dapat dilakukan dengan mengganti alas kandang secara teratur. Namun jika dilakukan terlalu sering maka tindakan tersebut dapat meningkatkan stres pada hewan coba (Burn et al. 2006). Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan sediaan deodoran oral.

(15)

Deodoran oral merupakan sediaan yang dikonsumsi secara oral dan terbukti secara ilmiah dapat menurunkan kadar senyawa odoran tubuh yang diekskresikan melalui urin dan feses. Senyawa odoran tubuh adalah senyawa yang dihasilkan oleh tubuh dan dapat menimbulkan bau. Selain amonia senyawa lain yang termasuk dalam senyawa odoran adalah trimetilamin dan senyawa dekomposisi usus seperti fenol, indol, dan skatol (Curtis et al. 2004).

Deodoran oral dapat berasal dari bahan alami seperti ekstrak jamur atau ekstrak biji anggur. Kedua ekstrak tersebut sudah dipatenkan sebagai sediaan yang berkhasiat sebagai deodoran oral. Indonesia merupakan negara yang kaya akan jenis tumbuhan dan beragam jenis tumbuhan tersebut banyak yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Menurut Kusuma dan Zaky (2005) dari 960 jenis tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat, 283 jenis merupakan tumbuhn obat yang penting bagi industri obat tradisional. Salah satu tumbuhan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai deodoran oral adalah kepel (Stelechocarpus

burahol).

Kepel merupakan tumbuhan yang banyak terdapat di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di daerah tersebut kepel banyak ditemukan di sekitar lingkungan keraton. Pada zaman dahulu buah kepel banyak dikonsumsi oleh para putri keraton dengan tujuan untuk mengurangi bau badan. Bau badan yang muncul pada manusia tidak hanya berasal dari keringat tetapi juga dari senyawa-senyawa yang terdapat dalam urin dan feses. Hal ini menjadi dasar pemikiran bahwa buah kepel memiliki potensi sebagai deodoran oral.

Usia panen buah kepel yang relatif lama yaitu sekitar enam hingga delapan tahun setelah penanaman dan waktu panen buah yang hanya sekali dalam setahun menyebabkan potensi buah kepel sebagai deodoran oral sulit untuk dikaji karena jumlahnya yang terbatas. Hal ini mendorong pemikiran adanya eksplorasi potensi dari bagian lain tumbuhan kepel sebagai deodoran oral yang ketersediannya tidak dibatasi oleh musim. Salah satu bagian dari tumbuhan kepel yang tersedia sepanjang waktu dan tidak dibatasi oleh musim adalah daun. Penelitian mengenai potensi daun kepel sebagai deodoran oral belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini menjadi dasar pemikiran pengkajian potensi daun kepel sebagai deodoran

(16)

oral yang dapat menurunkan kadar senyawa amonia, trimetilamin, dan fenol didalam feses.

Pada penelitian ini dilakukan pengkajian terhadap potensi ekstrak daun kepel (Stelechocarpus burahol) dalam menurunkan kadar amonia, trimetilamin, dan fenol pada feses mencit. Penelitian ini merupakan penelitian awal dari rangkaian penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan ekstrak daun kepel sebagai deodoran oral.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi ekstrak daun kepel sebagai deodoran oral pada hewan coba melalui mekanisme penurunan kadar senyawa odoran dalam feses, yaitu amonia, trimetilamin, dan fenol.

1.3 Hipotesis

Hipotesis nol (H0) pada pengujian ekstrak daun kepel sebagai deodoran oral diartikan apabila ekstrak daun kepel tidak dapat menurunkan kadar amonia, trimetilamin, dan fenol pada feses mencit, sedangkan hipotesis satu (H1) diartikan apabila ekstrak daun kepel dapat menurunkan kadar amonia, trimetilamin, dan fenol pada feses mencit.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepel (Stelechocarpus burahol)

Kepel merupakan tumbuhan yang banyak ditemukan di pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta tumbuhan ini ditanam di sekitar keraton, sedangkan di Jawa Barat tumbuhan ini tumbuh secara liar (Heyne 1987). Kepel termasuk kedalam kingdom Plantae, subkingdom Trachebionta, superdivisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, subkelas Magnoliidae, ordo Magnoliales, famili Annonaceae, genus Stelechocarpus, dan spesies Stelechocarpus burahol. Tumbuhan ini tumbuh pada ketinggian 150 - 300 m diatas permukaan laut dan biasanya tumbuh liar di hutan-hutan sekunder pada tanah yang berlempung dan lembab serta dapat tumbuh baik diantara rumpun-rumpun bambu (Mogea et al. 2001).

Kepel termasuk jenis pohon yang tinggi dengan tinggi maksimal 25 m. Tumbuhan ini memiliki batang yang berwarna coklat tua sampai kehitaman dan bagian kulitnya berbenjol-benjol yang merupakan tempat bekas keluarnya bunga dan buah. Daun dari tumbuhan ini merupakan daun tunggal yang berbentuk lonjong atau bulat lonjong dengan ujung runcing. Bunganya berwarna hijau keputihan, berkelamin tunggal dan mengeluarkan aroma harum. Bunga jantan terletak pada bagian atas batang atau cabang-cabang tua yang bergerombol sedangkan bunga betinanya terletak pada batang bagian bawah (Mogea et al. 2001)

Buah kepel berbentuk bulat dan pangkalnya runcing (seperti buah buni) dengan warna coklat keabu-abuan, tumbuh pada bagian batang, dan beraroma harum (Mogea et al. 2001). Daging buah berwarna kuning kecoklatan dengan biji berukuran besar dan berwarna coklat tua kehitaman, biasanya dalam satu buah terdapat 3-4 biji. Gambar dari pohon, daun, dan buah kepel dapat dilihat pada Gambar 1.

(18)

Gambar 1 Pohon, daun, dan buah kepel (Sumber : javakepel.wordpress.com )

Tumbuhan ini biasanya berbunga pada bulan September-Oktober. Buah kepel dapat dipanen untuk pertama kali pada saat enam tahun setelah penanaman. Penyebaran tumbuhan ini mulai dari kawasan Asia Tenggara sampai ke kawasan Malesia dan Kepulauan Salomon (Mogea et al. 2001).

Pada saat ini jumlah tumbuhan kepel semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh adanya kepercayaan masyarakat di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang mengatakan bahwa tumbuhan ini hanya boleh ditanam di sekitar keraton, sedangkan di Jawa Barat tumbuhan ini jarang ditanam karena daging buahnya hanya sedikit sehingga dianggap kurang menguntungkan. Padahal tumbuhan ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang dapat dimanfaatkan sebagai obat dan kosmetika (Kusmiyati et al. 2005).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Warningsih (1995) buah kepel mengandung senyawa alkaloid dan polifenol serta memiliki fungsi sebagai

(19)

antiimplantasi. Daun dari tumbuhan kepel mengandung senyawa flavonoid sebagai antioksidan penangkap radikal bebas (Sunarni et al. 2007). Menurut Sunardi et al. (2007) kulit batang dari tumbuhan kepel memiliki aktivitas antiagregasi platelet.

Pada zaman dahulu buah kepel sering dikonsumsi oleh putri keraton di Yogyakarta untuk mengurangi bau badan. Hal ini menjadi dasar pemikiran bahwa buah kepel memiliki potensi sebagai deodoran oral yaitu sediaan yang dapat menurunkan kadar senyawa odoran yang dihasilkan oleh tubuh melalui aplikasi per oral.

2.2 Deodoran Oral

Bau badan pada manusia merupakan salah satu permasalahan yang disebabkan oleh higiene personal yang kurang baik. Seiring dengan meningkatnya kepedulian manusia terhadap permasalahan higiene personal maka masalah bau badan menjadi hal yang diperhatikan oleh manusia. Bau badan pada umumnya berasal dari keringat terutama yang terdapat di daerah aksila. Bau badan ini dapat dihilangkan dengan menggunakan deodoran topikal yang bekerja secara efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri dalam jumlah berlebih pada daerah tersebut. Selain berasal dari keringat, bau badan juga berasal dari ekskreta manusia berupa urin dan feses. Sumber bau badan ini tidak dapat ditangani dengan menggunakan deodoran topikal sehingga perlu dikembangkan deodoran oral yang dapat mengurangi bau dari ekskreta tersebut. Selain itu deodoran oral juga bisa menjadi alternatif bagi beberapa individu yang sensitif terhadap penggunaan deodoran topikal. Permasalahan bau badan terutama yang dihasilkan oleh urin dan feses juga dialami oleh hewan seperti pada hewan coba. Beberapa metode telah dilakukan untuk mengurangi bau yang berasal dari ekskreta diantaranya adalah metode penutupan bau (odor masking) dengan

melakukan penyemprotan ekskreta menggunakan pewangi, metode

pengadsorpsian bau dengan menggunakan karbon aktif, dan metode penyebaran senyawa spesifik proantosianidin pada sumber bau. Seluruh metode tersebut dilakukan saat ekskreta sudah dikeluarkan dari tubuh sehingga dikenal dengan istilah penanganan post-ekskresi (Yamakoshi et al.2002)

(20)

Pemberian deodoran oral merupakan salah satu metode yang dapat dilakukan sebagai penanganan pre-ekskresi. Beberapa deodoran oral yang sudah dicoba untuk dikembangkan umumnya berasal dari bahan herbal seperti ekstrak teh hijau, ekstrak jamur champignon, dan asam tanin. Efek deodoran yang lemah serta faktor ekonomis menyebabkan bahan-bahan tersebut belum bisa dikembangkan sepenuhnya sebagai deodoran oral.

Deodoran oral yang efektif memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar amonia, metil merkaptan, dan metil amin yang terdapat dalam ekskreta secara signifikan. Selain itu deodoran oral juga memiliki kemampuan untuk meningkatkan aktivitas Bifidobakteri sebagai mikroflora usus yang dapat membantu proses pencernaan. Adanya peningkatan akitivitas bakteri tersebut akan meningkatkan tingkat degradasi produk-produk dekomposisi usus seperti fenol, p-kresol, skatol, dan indol yang terdapat dalam feses (Yamakoshi et al 2002)

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Yamakoshi et al. (2002) berhasil mengembangkan kombinasi proantosianidin yang berasal dari ekstrak biji anggur dengan ekstrak jamur champignon sebagai deodoran oral. Kombinasi kedua bahan herbal tersebut sebagai deodoran oral sudah dipatenkan.

2.3 Amonia

Amonia merupakan senyawa dengan rumus kimia NH3. Pada suhu ruang

senyawa ini berbentuk gas, tidak berwarna dan memiliki aroma khas yang tajam

(pungent). Pada suhu -33° C amonia akan membentuk senyawa NH4+ yang

dikenal dengan nama amonium. Senyawa ini berbentuk cair dan mudah larut dalam air.

Di dalam tubuh hewan dan manusia,organ utama penghasil amonia adalah usus halus dan ginjal. Amonia tersebut sebagian besar merupakan hasil dari metabolisme glutamin. Di dalam ginjal amonia dihasilkan oleh sel-sel tubulus proksimal. Pada usus halus amonia juga dihasilkan dari asam amino intraluminal, alanin, dan leusin. Amonia yang dihasilkan oleh kedua organ tersebut berperan penting dalam menjaga pH tubuh agar tetap normal. Proses tersebut dilakukan melalui pengaturan keseimbangan asam basa yang terjadi di ginjal (Guyton 1991).

(21)

Amonia juga berperan penting dalam metabolisme nitrogen didalam tubuh. Nitrogen yang terdapat di amonia dapat digunakan untuk pembentukan urea, asam amino, asam nukleat dan substansi nitrogen lain (Haüssinger 2007).

Amonia yang sudah tidak digunakan lagi oleh tubuh harus diubah bentuknya sebelum diekskresikan keluar tubuh. Proses perubahan bentuk amonia tersebut terjadi di dalam hati. Di dalam hati amonia akan diubah menjadi urea dan glutamin. Sumber nitrogen yang digunakan untuk pembentukan urea di dalam hati tidak hanya berasal dari amonia saja, tetapi juga berasal dari asam amino seperti alanin dan glutamin. Proses pembentukan glutamin yang berasal dari amonia di dalam hati memerlukan enzim liver glutamine synthetase yang merupakan enzim sitosolik. Enzim tersebut dihasilkan oleh hepatosit yang terletak di area perivena. Sel penghasil enzim tersebut dikenal dengan istilah

perivenous scavenger cell (Haüssinger 2007).

Selain proses perubahan bentuk amonia, di dalam hati juga terjadi proses pembentukan amonia. Sumber utama yang digunakan untuk pembentukan amonia adalah glutamin dan glutamat. Selain glutamat dan glutamin, amonia juga dapat dibentuk dari asam amino yang lain. Glutamat merupakan senyawa yang terbentuk dari proses deaminasi glutamin atau dari prolin dan histidin. Proses pembentukan amonia dari glutamat membutuhkan enzim glutamat dehidrogenase. Enzim tersebut merupakan enzim mitokondrial (Haüssinger 2007)

Amonia yang dihasilkan dari asam amino di dalam hati sangat penting bagi hewan mamalia. Asam amino pada awalnya mengalami transaminase dengan glioksalat membentuk glisin. Glisin yang terbentuk akan mengalami deaminase oleh glisin oksida dan menghasilkan amonia (Haüssinger 2007).

Amonia juga dapat dihasilkan dari proses metabolisme purin dan pirimidin. Amonia yang dihasilkan dari proses metabolisme purin merupakan turunan dari adenosin monofosfat (AMP). Proses pembentukan amonia ini dikatalisasi oleh enzim adenilat deaminase. Amonia yang dihasilkan melalui proses ini sangat penting pada saat otot sedang aktif bekerja (Lowenstein 1972)

Amonia yang terdapat di dalam feses sebagian besar berasal dari pemecahan urea. Urea tersebut dihidrolisis oleh urease dan menhasilkan ion amonium. Sebagian besar ion amonium akan berubah menjadi amonia bebas. Aktivitas

(22)

urease dalam mengubah urea menjadi amonium berasal dari beberapa jenis bakteri di dalam usus halus seperti Bifidobacterium bifidum, Bacteroides ruminicola, dan

Bacteroides multiacidus (Phung et al. 2005).

Kadar amonia di dalam darah yang terlalu tinggi bisa menyebabkan koma hepatikum dan kematian. Di dalam usus halus senyawa amonia yang jumlahnya terlalu banyak bisa menyebabkan perubahan dalam proses sintesis asam nukleat, peningkatan massa sel mukosa usus halus, dan peningkatan resiko infeksi virus. Selain itu amonia juga bersifat karsinogenik pada individu yang mengonsumsi protein terlalu banyak (Mégraud et al. 1992).

2.4 Trimetilamin

Trimetilamin adalah komponen organik yang tidak berwarna dan memiliki aroma seperti ikan pada konsentrasi rendah sedangkan pada konsentrasi tinggi aromanya seperti amonia. Trimetilamin memiliki sifat fisik higroskopis, tidak berwarna, berbentuk gas dalam suhu ruang, dan mudah terbakar (Hadiwiyoto 1990).

Senyawa ini berasal dari makanan yang mengandung kadar trimetilamin yang tinggi seperti ikan atau dari makanan yang mengandung senyawa prekursor trimetilamin seperti trimetilamin N-oksida (TMNO), kolin, dan L-carnitine (Bain

et al. 2006) Senyawa trimetilamin merupakan hasil dari pemecahan ikatan karbon

dan nitrogen (C-N) yang terdapat pada asam amino kolin. Ikatan karbon dan nitrogen tersebut akan diuraikan oleh zat pengoksidasi seperti gugus peroksida dalam lemak dan menghasilkan senyawa trimetilamin (Hadiwiyoto 1990).

Umumnya senyawa trimetilamin berasal dari makanan yang mengandung kolin. Proses perubahan kolin menjadi trimetilamin terjadi di usus halus bagian distal. Hal ini disebabkan bakteri yang berfungsi membentuk trimetilamin dari kolin hanya hidup di daerah tersebut. Trimetilamin yang terdapat dalam usus halus akan diserap kedalam pembuluh darah dan masuk kedalam hati. Di dalam hati trimetilamin akan dioksidasi dengan bantuan enzim flavin-containing

monooxygenase isoform 3 (FMO3) menjadi trimetilamin N-oksida (TMNO) dan

(23)

tidak bersifat volatil sedangkan senyawa trimetilamin bersifat volatil (Zeisel et al. 1989).

Individu yang mengalami kelainan genetik berupa defisiensi enzim FMO3 akan mengalami fish odor syndrome yang ditandai dengan bau badan dan nafas amis seperti ikan. Hal ini disebabkan tubuh tidak dapat mengubah trimetilamin menjadi trimetilamin N-oksida sehingga trimetilamin juga diekskresikan melalui keringat Sindrom ini terjadi secara kronis (Mitchell & Smith 2001). Makanan yang mengandung kolin dengan kadar rata-rata 500 mg tidak menyebabkan individu yang mengonsumsinya mengalami fish odor syndrome. Beberapa individu yang mengalami gangguan saraf tertentu diberi suplemen kolin sebanyak 6-9 gram per hari sebagai terapi. Hal ini akan meningkatkan resiko terbentuknya jumlah trimetilamin yang berlebih didalam tubuh mereka (Zeisel 1981).

Senyawa trimetilamin (TMA) dan dimetil amin (DMA) adalah prekursor dari senyawa dimetilnitrosamin. Dimetilnitrosamin merupakan senyawa yang bersifat karsinogenik pada hewan mamalia maupun manusia (Zeisel et al. 1989).

2.5 Fenol

Fenol merupakan zat hasil metabolisme asam amino triptofan dan fenilalanin. Proses pembentukan fenol terjadi pada kolon sebagai hasil dari fermentasi kedua asam amino tersebut yang tidak tercerna didalam usus halus. Selain fenol, hasil dari fermentasi protein atau asam amino yang tidak tercerna adalah indol, kresol, amin, dan amonia (Birkett et al. 1996).

Selain sebagai hasil fermentasi asam amino yang tidak tercerna, fenol juga diproduksi pada proses dekomposisi asam amino tirosin. Dalam keadaan konstipasi fenol bisa terserap kembali oleh pembuluh darah dan bersirkulasi kedalam jaringan tubuh. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Fenol tidak dapat didetoksifikasi oleh hati karena fenol bisa menyebabkan kematian pada sel-sel hepatosit. Selain itu fenol juga bisa menyebabkan kematian pada sel-sel nefron (Bateson-Koch 1994). Fenol juga diketahui bisa menjadi penyebab terjadinya kanker usus (Bone et al. 1976)

(24)

2.6 Mencit

Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik (Malole & Pramono 1989). Salah satu jenis hewan yang sering digunakan sebagai hewan percobaan adalah mencit.

Mencit sering digunakan sebagai hewan percobaan karena cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologinya terkarakterisasi dengan cukup baik (Smith & Soesanto 1988).

Mencit dapat hidup selama satu sampai dua tahun, kadang-kadang ada yang sampai tiga tahun. Bobot mencit jantan dewasa berkisar antara 20-40 gram, sedangkan bobot mencit betina dewasa berkisar antara 18-35 gram. Biasanya mencit dapat dikawinkan pada usia delapan minggu. Jumlah anak yang dilahirkan rata-rata enam ekor, namun bisa juga mencapai 15 ekor (Smith & Soesanto 1988).

Mencit sering digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian yang aplikasinya ditujukan untuk manusia. Hal ini disebabkan oleh aktivitas metabolisme tubuh mencit yang mirip dengan manusia. Salah satu aktivitas metabolisme mencit yang mirip dengan manusia adalah diekskresikannya amonia dan fenol melalui feses. Kedua senyawa tersebut merupakan hasil katabolisme protein di dalam usus (Müir et al. 2004).

(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah proses pencekokan ekstrak daun kepel dan akuades terhadap mencit (Mus musculus) serta pengumpulan feses dari mencit. Kedua tahap tersebut dilaksanakan di laboratorium bagian Farmakologi dan Toksikologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi FKH IPB. Tahap kedua adalah proses analisis kadar amonia, trimetilamin, dan fenol yang dilaksanakan di laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia FMIPA IPB. Penelitian dilaksanakan mulai bulan April hingga Oktober 2010.

3. 2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol 30% daun kepel (Stelechocarpus burahol), akuades, dan hewan coba berupa mencit (Mus

musculus) sebanyak sembilan ekor untuk masing-masing kelompok. Ekstrak

etanol daun kepel yang digunakan berasal dari Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB. Bahan yang digunakan dalam penentuan kadar gas amonia dalam feses

mencit adalah larutan asam perklorat 6%, NaOH 20%, H3BO4 3%, dan Na2B4O7

0.02 N serta beberapa indikator seperti fenolftalein, tashiro, dan metil merah. Bahan yang digunakan dalam penentuan kadar gas trimetilamin dalam feses

mencit adalah larutan TCA 7%, K2CO3, H3BO3 2%, formalin pekat, HCl 0.02 N,

dan indikator Conway. Bahan yang digunakan dalam penentuan kadar fenol dalam feses mencit adalah larutan etanol, reagen Folin-Ciocalteau, dan larutan natrium bikarbonat.

Alat yang digunakan dalam penentuan kadar gas amonia dan trimetilamin pada feses mencit adalah blender, buret, mikroburet, corong gelas, erlenmeyer, gelas piala,inkubator, kertas saring kasar, labu takar, pipet volumetrik dengan volume 0.5 ml, 1ml, dan 2 ml, seperangkat alat destilasi uap, dan timbangan analitik dengan ketelitian 0.0001. Alat yang digunakan dalam penentuan kadar fenol pada feses mencit adalah kertas saring Whatman # 42, rotavapor, dan

(26)

spektrofotometer. Alat lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah sonde lambung, spoit, kandang metabolik, dan timbangan.

3.3 Metode

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu tahap pencekokan mencit dengan ekstrak daun kepel yang dilarutkan dalam akuades dan pengumpulan feses mencit serta tahap penentuan kadar amonia, trimetilamin, dan fenol pada feses mencit. Dalam penelitian ini hewan coba terbagi kedalam dua kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas sembilan ekor mencit. Sembilan ekor mencit tersebut ditempatkan pada tiga kandang metabolik sehingga masing-masing kandang metabolik berisi tiga ekor mencit.

Hewan pada kelompok pertama dicekok dengan akuades sebanyak 1 ml/ekor setiap hari. Hewan pada kelompok kedua dicekok ekstrak kental daun kepel sebanyak 0,05 gram/ekor setiap hari. Dosis pemberian ekstrak daun kepel ini didasarkan pada tabel konversi Laurence & Bacharah (1964). Sebelum diberi perlakuan, kedua kelompok hewan diaklimatisasi terlebih dahulu selama tujuh hari. Pada hari pertama aklimatisasi seluruh mencit dalam kelompok tersebut diberi obat anticacing untuk mencegah infeksi cacing pada saat perlakuan. Dalam tahap aklimatisasi hewan dicekok dengan akuades sebanyak 1 ml/ekor setiap hari. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar hewan terbiasa dengan proses pencekokan. Selama tahap aklimatisasi hewan diberi pakan berupa pelet dan air minum secara

ad libitum.

3.3.1 Pembuatan dan Pencekokan Larutan Ekstrak Daun Kepel

Proses pembuatan larutan ekstrak daun kepel diawali dengan penimbangan ekstrak daun kepel. Dosis ekstrak daun kepel yang diberikan ke mencit dihitung berdasarkan tabel konversi Laurence & Bacharah (1964). Dosis pemberian ekstrak daun kepel berdasarkan atas jumlah buah yang dapat menimbulkan efek deodoran pada manusia karena sampai saat ini belum ada publikasi atau data empiris yang menyebutkan jumlah daun yang dikonsumsi manusia untuk mendapatkan efek deodoran.

(27)

Berdasarkan info empiris, rata-rata manusia memakan buah kepel sebanyak dua buah untuk mendapatkan efek deodoran. Bobot rata-rata dari dua buah kepel adalah sebesar 100 gram. Setelah dikonversi dengan menggunakan tabel Laurence & Bacharah (1964) maka didapatkan dosis pemberian ekstrak daun kepel untuk mencit sebesar 2,6 mg/gram bobot mencit. Mencit yang digunakan dalam penelitian ini memiliki berat rata-rata 20 gram, sehingga ekstrak daun kepel yang diberikan untuk tiap ekor mencit sebanyak 0,05 gram.

Tahap pengumpulan feses mencit dilakukan sebelum pencekokan hingga sehari setelah pencekokan terakhir. Pencekokan mencit dengan akuades dan larutan ekstrak daun kepel dilakukan selama tujuh hari. Feses dari masing-masing kandang metabolik dikumpulkan didalam botol film lalu dimasukkan kedalam lemari pendingin untuk menjaga kadar amonia, trimetilamin, dan fenol yang terkandung dalam feses. Tahap pengukuran kadar amonia, trimetilamin, dan fenol dalam feses mencit dilakukan pada hari ke 0 (sebelum pencekokan), hari ke 4 (setelah pencekokan hari ke 3), dan hari ke 8 (setelah pencekokan hari ke 7).

3.3.2 Penentuan Kadar Amonia dan Trimetilamin dalam Feses

Metode penentuan kadar gas amonia dan trimetilamin dilakukan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 2354.8 : 2009. Metode ini umumnya terdiri atas tahap ekstraksi, destilasi, dan titrasi (BSN 2009). Pada proses penentuan kadar gas amonia feses diekstrak menggunakan asam perklorat 6%. Ekstrak yang didapat dimasukkan ke dalam tabung destilasi dan diteteskan indikator fenolftalein. Tabung destilasi dipasang pada peralatan destilasi uap dan kedalamnya ditambahkan larutan NaOH 20%.

Destilasi uap dilakukan selama kurang lebih 10 menit. Hasil destilasi

ditampung dalam erlenmeyer yang berisi larutan H3BO4 3% dan indikator Tashiro

yang berwarna ungu. Hasil destilasi yang bercampur dengan larutan dalam erlenmeyer akan menghasilkan larutan yang berwarna hijau. Tahap berikutnya adalah destilasi larutan blanko dengan cara mengganti ekstrak sampel dengan PCA 6%. Setelah itu destilat dari sampel dan blanko dititrasi menggunakan HCl 0.02 N sampai larutan berwarna ungu. Kadar gas amonia dihitung dengan menggunakan rumus:

(28)

Total nitrogen volatil = ((Vc-Vb) x N x 14,007 x 2 x 100) /W Keterangan :

Vc = volume HCl contoh

Vb = volume HCl pada titrasi blanko

N = normalitas larutan HCl

W = bobot contoh

14,007 = massa relatif atom nitrogen

2 = faktor pengenceran

Pada proses penentuan kadar gas trimetilamin feses diekstrak menggunakan larutan TCA 7%. Filtrat yang terbentuk dimasukkan pada salah satu sisi outer

chamber dari cawan conway yang bagian tutupnya sudah diolesi vaselin. Setelah

itu larutan K2CO3 dimasukkan pada sisi lain dari outer chamber cawan conway.

Pada bagian inner chamber dimasukkan larutan H3BO3. Pada bagian outer

chamber yang terisi K2CO3 ditambahkan formalin pekat, sedangkan pada bagian inner chamber yang terisi H3BO3 ditambahkan indikator conway. Setelah itu

cawan conway ditutup rapat dan digoyang secara perlahan hingga larutan yang ada pada kedua sisi outer chamber bercampur. Setelah itu dilakukan uji blanko dengan cara mengganti larutan filtrat dengan larutan TCA 7%.

Cawan conway yang berisi larutan filtrat dan blanko diinkubasi pada suhu 35°C selama dua jam atau pada suhu ruang selama satu malam. Setelah itu hasil inkubasi dititrasi menggunakan larutan HCl 0.02 N sampai larutan berwarna merah muda. Kadar gas trimetilamin dihitung dengan menggunakan rumus :

TMA (mg-N/100g) = ((Vc-Vb) x N x 14,007 x fp x 100/W) Keterangan:

Vc = volume HCl contoh

Vb = volume HCl pada titrasi blanko

N = normalitas larutan HCl

W = bobot contoh

14,000 = massa relatif atom nitrogen

fp = faktor pengenceran

3.3.3. Penentuan Kadar Fenol dalam Feses

Tahap ini diawali dengan proses ekstraksi. Feses dihomogenisasi dengan etanol menggunakan mesin penggoyang (shaker) selama tiga jam. Setelah itu campuran tersebut dipanaskan dalam penangas air pada suhu 70°C selama satu jam dan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman # 42. Residu yang

(29)

tersisa dicuci menggunakan larutan etanol panas (70°C) kemudian kedua filtrat dicampur. Filtrat disaring kembali secara manual dengan kertas saring Whatman

# 42 lalu diuapkan dengan rotavapor pada suhu 40°C.

Ekstrak yang didapat dianalisis kandungan total fenolnya. Analisis total fenol dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri. Ekstrak etanol feses yang mengandung 5-10 mg bahan kering dilarutkan dalam 2 ml etanol 95% dalam seri tabung reaksi. Ke dalam setiap tabung ditambahkan 5 ml akuades dan 0,5 ml reagen Folin-Ciocalteau 50% (v/v). Setelah lima menit ditambahkan 1 ml larutan natrium bikarbonat kedalam setiap tabung.

Campuran tersebut dihomogenisasi dan diinkubasi dalam keadaan gelap selama satu jam. Setelah itu campuran dihomogenisasi kembali dan absorbansi larutan tersebut diukur pada panjang gelombang 725 nm. Kurva standar fenol dibuat dengan menggunakan standar asam galat 25-200 ppm sebagai pengganti sampel dengan perlakuan yang sama.

3.3.3.4 Analisis Data

Hasil pengukuran parameter dinyatakan dalam rataan dan simpangan baku. Data yang diperoleh dianalisis secara statistika dengan menggunakan metode uji T-student

(30)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Ekstrak Daun Kepel terhadap Kadar Amonia

Kadar amonia dalam feses mencit yang diberi ekstrak daun kepel cenderung mengalami penurunan pada hari ke 4 (Gambar 2). Persentase penurunan kadar amonia dari hari ke 0 (sebelum pencekokan) sampai hari ke 4 (setelah pencekokan hari ke 3) adalah sebesar 7,3%. Kadar amonia semakin menurun pada hari ke 8. Persentase penurunan kadar amonia dari hari ke 4 sampai hari ke 8 (setelah pencekokan pada hari ke 7) adalah sebesar 48,5%. Secara keseluruhan penurunan kadar amonia dalam feses mencit adalah sebesar 52,2%. Namun kadar amonia tersebut tidak berbeda nyata dengan kadar amonia dalam feses mencit yang diberi akuades.

Gambar 2 Kadar amonia dalam feses mencit akibat pemberian ekstrak daun kepel Daun kepel mengandung senyawa flavonoid yang terdiri atas sepuluh golongan. Dalam tumbuhan senyawa flavonoid biasanya berbentuk campuran dengan senyawa lain atau berikatan dengan gula seperti glikosida atau aglikon. Salah satu golongan flavonoid yang terkandung dalam daun kepel adalah

(31)

antosianin (Darusman 2010). Antosianin merupakan senyawa yang berperan dalam memberikan pigmentasi pada tumbuhan Antosianin yang berikatan dengan aglikon jika dihidrolisis dengan asam akan membentuk senyawa antosianidin (Leboeuf et al. 1982).

Senyawa antosianidin terdiri atas delfinidin, sianidin, dan pelargonidin. Ketiga senyawa tersebut merupakan polimer tidak berwarna yang dikenal juga sebagai senyawa proantosianidin (Yamakoshi et al. 2002). Penelitian yang dilakukan Darusman (2010) menunjukkan bahwa daun kepel mengandung ketiga senyawa tersebut.

Amonia yang terdapat didalam tubuh merupakan hasil metabolisme glutamin. Amonia tersebut diproduksi di usus halus dan ginjal, lalu melalui vena porta amonia akan masuk kedalam hati. Hati akan merubah amonia yang bersifat toksik menjadi urea yang tidak bersifat toksik. Proses pembentukan amonia didalam usus halus dilakukan oleh beberapa jenis bakteri yaitu bakteri gram negatif anaerob, Clostridia, dan Enterobacteria (Vince & Burridge 1979). Menurut Yamakoshi et al. (2002) senyawa proantosianidin menyebabkan jumlah Enterobacteria didalam usus menjadi berkurang. Proantosianidin memiliki kemampuan untuk mengikat senyawa yang menjadi substrat pertumbuhan bagi Enterobacteria yaitu senyawa-senyawa hasil dekomposisi usus seperti fenol, indol, skatol, dan kresol. Pengikatan senyawa-senyawa tersebut akan menyebabkan jumlahnya dalam usus menurun sehingga jumlah Enterobacteria juga menjadi menurun. Hal ini diduga menjadi penyebab penurunan jumlah amonia yang diproduksi didalam usus halus. Penurunan produksi amonia tersebut berefek pada penurunan kadar amonia yang diekskresikan melalui feses.

Penurunan kadar amonia pada feses mencit yang diberi ekstrak daun kepel juga diduga akibat dari adanya aktivitas absorban. Penelitian yang dilakukan Darusman (2010) menunjukkan bahwa daun kepel dapat mengabsorpsi amonia sebanyak 40,55%. Namun persentase absorpsi amonia yang lebih besar ditunjukkan oleh daging buah yaitu sebesar 62,96%. Hal ini menunjukkan bahwa daging buah kepel memiliki aktivitas deodoran yang lebih tinggi dalam menyerap amonia dibandingkan dengan daun kepel.

(32)

Amonia merupakan senyawa yang bersifat iritan terutama terhadap saluran pernafasan. Menurut Leduc et al. (1992) amonia dapat mempengaruhi mekanisme pertahanan diri pada saluran pernafasan. Permukaan epitel trakhea dan bronkhus akan mengalami deskuamasi sehingga partikel-partikel udara lebih mudah masuk kedalam saluran pernafasan. Hal ini tentu akan mempengaruhi kesehatan mencit sebagai hewan coba. Oleh karena itu penurunan jumlah amonia dalam feses mencit akan memberikan dampak yang baik terhadap kesehatan hewan tersebut.

4.2 Pengaruh Ekstrak Daun Kepel terhadap Kadar Trimetilamin

Trimetilamin (TMA) adalah senyawa lain yang diekskresikan melalui feses. Umumnya senyawa tersebut berasal dari makanan yang mengandung TMA seperti ikan. Sumber lain dari pembentukan senyawa trimetilamin adalah makanan yang mengandung kolin, TMNO, dan L-carnitine (Zhang et al. 1999). Proses perubahan ketiga senyawa tersebut menjadi trimetilamin dilakukan oleh bakteri yang terdapat didalam usus. Pengaruh ekstrak daun kepel terhadap kadar trimetilamin dalam feses mencit ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Kadar TMA dalam feses mencit akibat pemberian ekstrak daun kepel Pada gambar terlihat kecenderungan kadar trimetilamin dalam feses sudah menurun pada hari ke 4 dan penurunannya semakin terlihat pada hari ke 8.

(33)

Persentase penurunan kadar trimetilamin dari hari ke 0 sampai hari ke 4 adalah sebesar 55% sedangkan dari hari ke 4 sampai hari ke 8 persentase penurunannya sebesar 34,2%. Persentase penurunan kadar trimetilamin secara keseluruhan adalah sebesar 70,4%. Kadar trimetilamin setelah pencekokan pada hari ke 3 memiliki nilai yang berbeda nyata dengan kadar trimetilamin sebelum pencekokan. Namun kadar trimetilamin setelah pencekokan pada hari ke 3 dan ke 7 tidak berbeda nyata dengan kadar trimetilamin yang terdapat dalam feses mencit yang dicekok akuades. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam kondisi normal kadar trimetilamin dalam feses dapat mengalami penurunan.

Kolin merupakan sumber utama pembentukan senyawa trimetilamin. Proses pembentukan trimetilamin dari senyawa kolin terjadi di usus halus bagian distal. Proses tersebut dilakukan oleh beberapa jenis bakteri seperti Proteus sp,

Enterococci sp, dan Clostridium sp (Siagian 2002). Efek proantosianidin dalam

menurunkan jumlah Enterobacteria diduga merupakan penyebab turunnya kadar trimetilamin dalam usus halus sehingga kadarnya di dalam feses juga menjadi menurun.

Pada Gambar 3 terlihat bahwa kadar trimetilamin dalam feses mencit yang dicekok akuades cenderung menurun. Secara fisiologis tubuh hewan akan

mengubah senyawa trimetilamin menjadi trimetilamin N-oksida dan

diekskresikan melalui urin dan feses. Namun jika jumlah senyawa trimetilamin yang terdapat di dalam tubuh melebihi kapasitas maka senyawa tersebut akan diekskresikan tanpa mengalami perubahan bentuk. Adanya kerusakan pada hati juga dapat menyebabkan tubuh tidak dapat memetabolisme senyawa trimetilamin dengan baik. Penurunan jumlah trimetilamin pada mencit yang dicekok akuades menunjukkan bahwa hewan dalam keadaan sehat dan masih mampu untuk memetabolisme senyawa trimetilamin dengan baik.

Trimetilamin merupakan prekursor dari senyawa dimetilnitrosamin yang bersifat karsinogenik. Senyawa ini terbentuk pada keadaan asam. Dimetilnitrosamin yang terbentuk akan diaktivasi oleh isoenzim 2E1 sitokrom P450 didalam hati. Dimetilnitrosamin yang sudah aktif akan merusak DNA target (Hecht 1997). Dengan menurunnya jumlah trimetilamin dalam tubuh maka

(34)

diharapkan resiko terbentuknya senyawa dimetilnitrosamin yang bersifat karsinogenik juga semakin berkurang.

4. 3 Pengaruh Ekstrak Daun Kepel terhadap Kadar Fenol

Protein yang masuk kedalam tubuh hewan melalui pakan akan mengalami fermentasi oleh bakteri didalam kolon. Proses fermentasi tersebut menghasilkan beberapa senyawa seperti fenol, indol dan kresol (Curtis et al. 2004). Fenol merupakan senyawa yang dihasilkan dalam proses fermentasi asam amino fenilalanin dan tirosin (Birkett et al. 1996). Pengaruh ekstrak daun kepel terhadap kadar fenol didalam feses mencit dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Kadar fenol dalam feses mencit akibat pemberian ekstrak daun kepel

Pada Gambar 4 terlihat bahwa pada hari ke 4 penurunan kadar fenol belum terjadi. Hal ini menunjukkan belum adanya aktivitas deodoran dari ekstrak daun kepel. Penurunan kadar fenol sangat terlihat pada hari ke 8. Persentase penurunan kadar fenol dari hari ke 4 sampai hari ke 8 adalah sebesar 39,2%. Kadar fenol pada feses mencit pada hari ke 8 ini berbeda nyata dengan kadar fenol pada feses mencit yang dicekok akuades.

Menurunnya kadar fenol pada feses mencit yang diberi ekstrak daun kepel ini diduga sebagai akibat dari aktivitas proantosianidin yang menurunkan jumlah senyawa hasil pembusukan di usus seperti fenol, indol, skatol, dan kresol.

(35)

Senyawa tersebut merupakan substrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan Enterobacteria. Dengan menurunnya senyawa tersebut maka jumlah Enterobacteria juga menjadi menurun. Hal ini akan meningkatkan jumlah Bifidobacteria (Yamakoshi et al. 2002). Peningkatan jumlah Bifidobacteria dalam usus juga menjadi indikator aktivitas dari sediaan deodoran oral.

Birkett et al. (1996) menyebutkan bahwa resistant starch (RS) dapat menurunkan jumlah amonia dan fenol yang terdapat dalam feses manusia dengan aktivitas sebagai prebiotik. Resistant starch merupakan sebagian kecil (±10%) karbohidrat yang tidak tercerna didalam usus halus. Karbohidrat tersebut lalu mengalami fermentasi didalam kolon. Resistant starch akan menstimulasi pertumbuhan bakteri yang menguntungkan didalam kolon. Bakteri tersebut akan menggunakan protein dan hasil fermentasi dari protein seperti fenol, indol, kresol, amin dan amonia yang terdapat didalam kolon untuk melakukan metabolisme. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah kelima senyawa tersebut didalam kolon dan peningkatan konsentrasi nitrogen didalam feses (Cummings et al. 1979).

Fenol diketahui sebagai pemicu dari kanker usus besar (Bone et al. 1976). Menurut Ramakrishna et al. (1991) fenol juga dapat menjadi penyebab terjadinya peradangan pada kolon. Peradangan pada kolon ini akan menurunkan kemampuan kolon dalam mengeliminasi fenol. Dengan menurunnya fenol pada feses mencit yang diberi ekstrak daun kepel maka diharapkan resiko terjadinya kanker dan peradangan pada kolon menjadi berkurang

(36)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian ekstrak daun kepel (Stelechocarpus burahol) dosis 2,6 mg/g BB selama tujuh hari berpotensi secara signifikan menurunkan kadar fenol dalam feses mencit tetapi tidak berpotensi signifikan dalam menurunkan kadar amonia dan trimetilamin.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan dosis efektif serta efek toksik dari ekstrak daun kepel.

(37)

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. Cara Uji Kimia Bagian 8 : Penentuan Kadar Total Volatile Base Nitrogen (TVB-N) dan Trimetil Amin (TMA-N) pada Produk Perikanan Standar Nasional Indonesia SNI 2354.8 : 2009. Bain MA, Faull R, Fornasini G, Milne RW, dan Evans AM. 2006. Accumulation

of trimethylamine and trimethylamin-N-oxide in end stage renal disease patients undergoing haemodialysis. Nephrol Dial Transplant 21:1300-1304.

Batesan-Koch C. 1994. Allergies Disease in Disguise. Canada : Green Press Initiate.

Birkett A, Muir J, Phillips J, Jones G, O’Dea K. 1996. Resistent starch lower fecal concentrations of ammonia and phenols in humans. Am J Clin Nutr 63:766-772.

Bone E, Tamm A, Hill M. 1976. The production of urinary phenols by gut bacteria and their possible role in the causation of large bowel cancer. Am

J Clin Nutr 21:1448-1454.

Burn CC, Peters A, Day MJ, Mason GJ. 2006. Long-term effects of cage-cleaning frequency and bedding type on laboratory rat health, welfare, and handleability : a cross-laboratory study. Laboratory Animals. 40:353-370. Cummings JH, Mill HJ, Bone ES, Branch WJ, Jenkins DJA. 1979. The effect of

meat protein and dietary fiber on colonic function and metabolism. Am J

Clin Nutr 32:2094-2101.

Curtis V, Aunger R, Rabie T. 2004. Evidence the disgust evolved to protect from risk of disease. Proc Biol Sci 271:131-133.

Darusman HS. 2010. Aktivitas farmakologis tanaman kepel (Stelechocarpus

burahol(BL) Hookf & Thoms.) sebagai deodoran topikal dan oral [tesis].

Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Guyton AC. 1991. Buku Teks Fisiologi Kedokteran Edisi 5 Bagian 2. Adji Dharma dan P. Lukmanto, penerjemah. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC. Terjemahan dari : Textbook of Medical Physiology.

Hadiwiyoto S. 1990. Hubungan keadaan kimiawi dan mikrobiologik ikan pada penyimpanan suhu kamar dengan sifat organoleptiknya. Agritech 15:19-23.

(38)

Haüssinger D. 2007. Functions of the liver. Di dalam: Jürg R,editor. Textbook of

Hepatology from Basic Science to Clinical Practice,third edition.

Massachusetts:Blackwell Publishing Ltd.

Hecht SS. 1997. Approaches to cancer prevention based on an understanding of N-nitrosamine carcinogenesis. PSEBM 216:181-191.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Jakarta : Balithut.

Kusuma FR, Zaky 2005. Tumbuhan Liar Berkhasiat Obat. Jakarta : Agromedia Pustaka.

Kusmiyati E, Hastoeti P, Gusmailina. 2005. Potensi burahol sebagai komoditi hasil hutan bukan kayu yang terancam punah. Info Hasil Hutan 11:9-16. Laurence J, Bacharah M. 1964. Analytical Toxicology. Philadelphia: CRC Press. Leboeuf M, Cave A, Bhaumik PK, Mukherjee B and Mukherjee R. 1982. The

phytochemistry of the Annonaceae. Phytochemistry 21:2783-2813.

Leduc D et al. 1992. Acute and long term respiratory damage following inhalation of ammonia. Thorax 47:755-757.

Lowenstein JM. 1972. Ammonia production in muscle and other tissues,the purine nucleotide cycle. Physiol Rev 52:382-414.

Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di

Laboratorium. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Jendral dan Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Mégraud F, Neman-Simha V, Brügmann D. 1992. Further evidence of the toxic effect of ammonia produced by Helicobacter pylori urease on human epithelial cells. Infection and Immunity 60:1858-1863.

Mitchell SC, Smith RL. 2001. Trimethylaminuria : the fish malodor syndrome.

Drug Metabolism and Disposition 29(4).

Mogea JP. et al. 2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI.

Müir JG et al. 2004. Combining wheat bran with resistant starch has more beneficial effect on fecal indexes than does wheat bran alone. Am J Clin

(39)

Phung DL, Aarnink AJA, Ogink NWM, Becker PM, Verstegen MWA. 2005. Odour from animal production facilities:it’s relationships to diet. Nutr Res

Rev.18:3-30.

Ramakhrisna BS, Robert-Thomas IC, Pannal PR, Roediger WEW. 1991. Impaired sulphation of phenol by the colonic mucosa in quiscent and active colitis.

Gut 32:46-49.

Siagian A. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Medan : USU Digital Library.

Smith JB, Soesanto M. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan

Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : UI Press.

Sunardi CSA, Padmawinata K, Kardono LS, Asep GS. 2007. Isolasi dan

Identifikasi Kulit Batang Burahol (Stelechocarpus burahol) Terhadap sel Leukimia [disertasi]. Bandung : Institut Teknologi Bandung, Sekolah

Farmasi.

Sunarni T, Pramono S, Asmah R. 2007. Flavonoid antioksidan penangkap radikal dari daun kepel (Stelechocarpus burahol). Majalah Farmasi Indonesia 18(3).

Vince AJ, Burridge SM. 1979. Ammonia production by intestinal bacteria : the effects of lactose, lactulose, and glucose. J Med Microbiol 13:177-191. Warningsih. 1995. Uji fitokimia dan efek antiimplantasi ekstrak etanol bunga

hibiscus rosa-sinensis, buah Piper nigrum, dan buah Stelechocarpus burahol [abstrak].

Yamakoshi J, Kataoka S, Hosoyama H, Ariga T. 2002. Deodorant agents for oral use for discharges and method for relieving odor of discharges. US Patent 6395280.

Zeisel SH. 1981. Dietary choline : biochemistry, physiology, and pharmacology.

Ann Rev Nutr 1:95-121.

Zeisel SH, DaCosta KA, Youssef M, Hensey S. 1989. Conversion of dietary choline to trimethylamine and dimethylamine in rats : dose-response relationship. J of Nutr 119:800-804.

Zhang AQ, Mitchell SC, Smith RL. 1999. Dietary precursors of trimethylamine in man: a pilot study. Food Chem Toxicol 37:515-520.

(40)
(41)

LAMPIRAN

Tabel Lampiran 1 Hasil Uji T-Student kadar amonia dan trimetilamin dalam feses mencit

Hari ke

-Kadar amonia (mg/100 g)

Kadar trimetilamin (mg/100g) Akuades Ekstrak daun

kepel

Akuades Ekstrak daun kepel 0 313,47 ± 102,19 440,98 ± 66,07 20,46 ± 3,22 17,81 ± 3,12 4 387,96 ± 66,23 409,02 ± 121,38 12,42 ± 6,33 8,02 ± 1,71 8 201,82 ± 61,17 210,77 ± 43,97 7,87 ± 3,19 5,28 ± 1,79

Tabel Lampiran 2 Hasil Uji T-Student kadar fenol dalam feses mencit

Hari ke - Kadar fenol (mg/g)

Akuades Ekstrak daun kepel 0 0,66 ± 0,04 0,45 ± 0,13 4 0,51 ± 0,11 0,51 ± 0,09 8 0,59 ± 0,08 0,31 ± 0,06 * (Penandaan superscript menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p<0,05)

Gambar

Gambar 1  Pohon, daun, dan buah kepel (Sumber : javakepel.wordpress.com )
Gambar 2  Kadar amonia dalam feses mencit akibat pemberian ekstrak daun kepel  Daun  kepel  mengandung  senyawa  flavonoid  yang  terdiri  atas  sepuluh  golongan
Gambar 3  Kadar TMA dalam feses mencit akibat pemberian ekstrak daun kepel  Pada  gambar  terlihat  kecenderungan  kadar  trimetilamin  dalam  feses  sudah  menurun  pada  hari  ke  4  dan  penurunannya  semakin  terlihat  pada  hari  ke  8
Gambar 4  Kadar fenol dalam feses mencit akibat pemberian ekstrak daun kepel
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kinerja UPJA ini diduga dipengaruhi oleh motivasi petani yang tinggi dalam bergabung dan menggunakan alsintan, manajemen UPJA yang telah dilaksakana dengan baik,

mengganti dengan jawaban yang lain, maka Anda dapat langsung mencoret dengan memberikan tanda dua garis horisontal (=) pada pilihan jawaban yang salah dan memberikan tanda silang

Hasil dari penelitian menunjukan bahwa ukuran Pemda tidak berpangaruh terhadap kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota di Provinsi Jambi, hal itu disebabkan

arti kata dalam bahasa jepang, ada pula. lan Hasil Pencarian Kata

Dengan pembuktian hipotesisi tersebut, maka dapat dilakukan pengujian prediksi perkembangan yang dilakukan akan terjadi pada pelaksanaan tugas kepala Desa di

[r]

Dari strategi pemasaran yang dilakukan , dimana Garuda Indonesia lebih menawarkan dalam hal kenyamanan penumpang, seperti pramugari yang ramah, ruangan yang safety,

Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau