6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tuberkulosis 2.1.1 Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis merupakan penyakit yang mudah menular melalui udara dari sumber penularan yaitu pasien tuberkulosis Basil Tahan Asam (BTA) positif pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Sarmen et al., 2017). Bakteri Mycobacterium Tuberculosis dapat menyerang berbagai organ khususnya paru- paru. Penyakit ini harus diobati dengan teratur karena jika pengobatan tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga terjadi kematian (Kemenkes RI 2016). Bakteri tuberkulosis banyak yang menyerang organ paru sehingga dinamakan tuberkulosis paru (TB paru). Selain menyerang organ paru, bakteri tuberkulosis juga dapat menyerang organ lainnya yang dinamakan tuberkulosis ekstra paru (Sarmen et al., 2017).
2.1.2 Epidemiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit utama penyebab kematian urutan ke- sembilan di dunia dan peringkat di atas HIV/AIDS. Secara global pada 2016 diperkirakan ada sekitar tuberkulosis (kisaran 8,8 juta sampai 12,2 juta), sampai 140 kasus per 100.000 penduduk. Sebagian besar diperkirakan jumlah kasus pada 2016 terjadi pada wilayah Asia Tenggara (45%), wilayah Afrika (25%) dan wilayah Pasifik Barat WHO (17%). Negara yang memiliki beban tuberkulosis tertinggi menyumbang 87% dari semua perkiraan kasus kejadian di seluruh dunia.
Lima Negara yang memiliki kasus terbanyak pada tahun 2016 diurutkan dari yang tertinggi sampai dengan terendah yaitu India, Indonesia, China, Filipina dan Pakistan yang menyumbang 56% dari total global. India, Indonesia dan China sendiri menyumbang 45% kasus global pada tahun 2016 (WHO, 2017).
Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan beban tinggi/High Burden Countries (HBC) untuk tuberkulosis berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48 negara yang masuk dalam daftar tersebut.
Satu negara dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut, atau keduanya, bahkan bisa masuk dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara lain, masuk dalam daftar High Burden Countries (HBC) untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya Indonesia memiliki permasalahan besar dalam menghadapi penyakit tuberkulosis (TB). Dari data Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2018 ditemukan kasus tuberkulosis sebanyak 566.623 kasus, terjadi peningkatan jika dibandingkan dengan ditemukannya kasus tuberkulosis pada tahun 2017 sebesar 351.893 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Total jumlah penderita kasus tuberkulosis di Kota Malang pada tahun 2018 mencapai 1.835 orang, mengalami peningkatan dari tahun 2017 yang mencapai 1.783 orang. Sedangkan penderita tuberkulosis Paru Basil Tahan Asam (BTA) positif pada tahun 2018 berjumlah 758 orang, meningkat dibandingkan pada tahun 2017 dengan jumlah 586 orang (Dinas Kesehatan, 2018). Di kota Malang sendiri pada tahun 2017 pasien tuberkulosis yang dinyatakan sembuh sebanyak 66,97%
dan mengalami penurunan pada tahun 2018 yaitu sebanyak 61,76% (Dinas Kesehatan, 2018).
2.1.3 Etiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis, sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Mycobacterium Tuberculosis ini merupakan kuman yang berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul dengan ukuran panjang 1-4/μm dan tebal 0,30-0,60/μm, mempunyai dinding sel yang unik, berupa lapisan lilin yang komposisi utamanya adalah mycolicacid, asam lemak (lipid) yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik sehingga disebut juga Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini akan cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup dalam keadaan dingin.
Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif lagi (Sabinan et al., 2017). Tuberkulosis dapat terjadi secara primer (infeksi primer) dan tuberkulosis paska primer. Infeksi primer terjadi pertamakali saat seseorang terpapar dengan kuman tuberkulosis. Droplet atau kuman yang terhirup sangat
kecil ukurannya sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembangbiak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di paru. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman dan respon daya tahan tubuh karena pada umumnya daya tahan tubuh yang baik dapat menghentikan perkembangan kuman.
Rendahnya daya tahan tubuh memungkinkan individu menjadi penderita tuberkulosis paru dalam waktu beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer.
Ciri khas dari tuberkulosis paska primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Sabinan et al., 2017). Waktu terjadinya infeksi hingga pembentukan komplek primer yaitu sekitar 4-6 minggu. Seseorang yang terinfeksi kuman tuberkulosis belum tentu sakit atau tidak menularkan kuman tuberkulosis. Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor risiko, yaitu :
1. Resiko Eksternal Faktor lingkungan seperti lingkungan rumah tidak sehat, pemukiman padat dan kumuh.
2. Resiko Internal Penyebabnya ada pada individu penderita sendiri yang disebabkan oleh terganggunya sistem kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, pengobatan dengan immunosupresan dan lain sebagainya (Kemenkes RI 2016).
2.1.4 Patogenis Tuberkulosis
Infeksi mulai terjadi ketika seseorang menghirup “droplet nuclei” yang mengandung basil tuberkulum yang kemudian mencapai alveoli paru-paru.
Bakteri tuberkulum ini tertelan oleh makrofag alveolar dan sebagian besar basil ini dihambat atau dihancurkan. Sejumlah kecil bisa berkembang biak secara intraselular dan dilepaskan saat makrofag mati. Jika hidup, basil ini dapat menyebar melalui jalur limfatik atau melalui aliran darah ke jaringan dan organ yang lebih jauh (termasuk area tubuh dimana penyakit TBC paling mungkin terjadi seperti kelenjar getah bening regional, puncak paru-paru, ginjal, otak dan tulang). Proses diseminasi ini menentukan sistem kekebalan tubuh untuk respons sistemik (CDC, 2019).
2.1.5 Gejala Tuberkulosis
Gejala yang timbul apabila terkena tuberkulosis adalah penurunan berat badan, hemoptosis atau batuk darah, pireksia atau demam, keletihan dan berkeringat pada malam hari. Ketika seseorang pertama kali terinfeksi, biasanya pada lobus atas, limfosit dan neutrophil berkumpul pada bagian yang mengalami infeksi. Basilus kemudian terperangkap dan terpecah oleh jaringan fibrosa. Fase tuberkulosis ini disebut infeksi primer dan seseorang yang terinfeksi sering tidak sadar. Pada beberapa saat setelah itu, pajanan kembali terhadap tuberkulosis atau bakteri lain menyebabkan infeksi sekunder. Basilus kemudian diaktifkan kembali dan mulai menggandakan diri, kemudian pasien mengalami simtomatik dan infeksius. Basilus sangat kuat dan dapat bertahan ketika terperangkap dalam jaringan fibrosa selama waktu yang lama. Seseorang dapat tetap tidak sadar ketika mereka mengalami tuberkulosis selama bertahun-tahun (CDC, 2019).
Tuberkulosis paru dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu gejala sistemik meliputi demam, merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore sampai malam hari. Gejala sistemik lainnya seperti keringat dingin di malam hari, penurunan berat badan secara drastis, perasaan tidak enak (malaise) dan anoreksia. Gejala respiratorik meliputi batuk, gejala awal yang timbul yaitu batuk dan merupakan gangguan paling sering dikeluhkan pasien tuberkulosis. Batuk darah yang dikeluarkan dalam dahak bermacam-macam, ada yang berupa bercak- bercak dan ada yang berupa garis. Sesak nafas, gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah melebar karena ada hal yang menyertai seperti pneumothorax, pleura. Nyeri dada, nyeri dada pada penderita tuberkulosis sangatlah ringan (CDC, 2019).
2.1.6 Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis Tuberkulosis Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman tuberkulosis. Semua suspek tuberkulosis diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
Penemuan Basil Tahan Asam (BTA) melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan sputum berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan:
1. S (sewaktu) : dahak ditampung saat pasien terduga menderita tuberculosis datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Saat pulang, pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
2. P (Pagi) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur, pot dibawa dan diserahkan sendiri oleh pasien kepada petugas di fasyankes.
3. S (sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sesuai dengan indikasinya.
1. Tuberkulosis Paru Basil Tahan Asam (BTA) Positif, minimal satu hasil pemeriksaan droplet (dahak) positif.
2. Tuberkulosis Paru Basil Tahan Asam (BTA) negatif, hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran klinis dan radiologis mendukung tuberkulosis atau Basil Tahan Asam (BTA) negatif dengan hasil kultur tuberkulosis positif (Kemenkes RI, 2016).
Gejala utama pasien tuberkulosis paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu sesak nafas, dahak bercampur darah, batuk darah, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, perasaan tidak enak (malaise), berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala tuberkulosis yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
2.1.7 Klasifikasi Tuberkulosis
Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Indonesia tahun 2016, klasifikasi tuberkulosis berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit, yaitu:
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis (TB) yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Jika dilihat dari pemeriksaan dahak, tuberkulosis paru terdiri dari: tuberkulosis Paru Negative
yaitu pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya Basil Tahan Asam (BTA) negative dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
Selanjutnya terdapat tuberkulosis paru Basil Tahan Asam (BTA) positif yaitu sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) hasilnya Basil Tahan Asam (BTA) positif serta 1 spesimen dahak Sewaktu-Pagi- Sewaktu (SPS) hasilnya Basil Tahan Asam (BTA) posited dan hasil foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif (Kemenkes RI 2016).
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang terjadi pada organselain paru, misalnya: abdomen, kulit, pleura, sendi, kelenjar limfe, tulang, selaput otak dan saluran kencing (Kemenkes RI, 2016).
Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Indonesia, klasifikasi tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, terdiri dari:
1. Pasien Baru
Pasien baru adalah pasien yang tidak pernah mendapat pengobatan tuberkulosis sebelumnya atau telah menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari 1 bulan.
2. Pasien yang Dirawat Sebelumnya
Pasien yang dirawat sebelumnya adalah pasien yang pernah menerima pengobatan lebih dari 1 bulan atau lebih Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di masa lalu. Pasien yang dirawat sebelumnya dapat diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan mereka yang paling baru sebgai berikut:
a. Pasien kambuh, yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis, dinyatakan sembuh atau diobati pada akhir pengobatan terbaru, dan sekarang mendapat diagnosis dengan episode berulang tuberkulosis.
b. Pengobatan pada pasien gagal, pasien yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan pengobatannya gagal pada akhir pengobatan terbaru mereka.
c. Pengobatan pada pasien putus obat, pasien yang sebelumnya telah mendapat pengobatan untuk tuberkulosis dan dinyatakan hilang untuk menindaklanjuti pada akhir pengobatan terbarumereka.
d. Pasien yang dirawat sebelumnya, pasien yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis yang hasil setelah pengobatan terakhir mereka tidak didokumentasikan dan tidak diketahui.
e. Pasien pindah, pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan pengobatan (Kemenkes RI, 2016).
Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Indonesia, klasifikasi tuberkulosis berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat yang dikelompokkan berdasarkan hasil uji kepekaan dari Mycobacterium tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT), terdiri dari:
Mono Resistan (MR) adalah resisten terhadap salah satu jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama saja.
Poli Resistan (PR) adalah resisten terhadap lebih dari satu jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama selain Rifampisin (R) dan Isoniazid (I) secara bersamaan.
Multi Drug Resistan (MDR) adalah resistan terhadap Rifampisin (R) dan Isoniazid (I) secara bersamaan.
Extensive Drug Resistan (XDR) adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu Obat Anti Tuberkulosis (OAT) golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini kedua jenis injeksi (Kapreomisin, Amikasin dan Kanamisin).
Resistan Rifampisin (RR) adalah resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistan terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional) (Kemenkes RI, 2016).
2.1.8 Terapi Farmakologi Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis difokuskan pada penyembuhan individu dan meminimalkan transmisi Mycobacterium tuberculosis kepada orang lain, dengan demikian keberhasilan pengobatan tuberkulosis memiliki manfaat baik untuk pasien individu maupun komunitas tempat pasien berada (Nahid et at., 2016).
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Kemenkes RI, 2016).
Klasifikasi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) berdasarkan golongan dan jenis obat anti tuberkulosis menurut WHO pada tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:
Tabel II.1 Klasifikasi Penggunan Obat Anti Tuberkulosis (Zumla et al., 2019) Obat anti
tuberkulosis lini pertama
Kelompok 1
Oral: isoniazid (INH/H), rifampisin/rifampin (RIF/R), pirazinamid (PZA/Z), etambutol (EMB/E), rifapentin (RPT/P) atau rifabutin (RFB)
Kelompok 2
Aminoglikosida injeksi: streptomisin (STM/S), kanamisin (Km), amikasin (Amk).
Polipeptida injeksi: kapreomisin (Cm), viomisin (Vim) Obat anti-
tuberkulosis lini kedua
Kelompok 3
Fluoroquinolon oral dan injeksi: ciprofloksasin (Cfx), levofloksasin (Lfx), moxifloksasin (Mfx), ofloksasin (Ofx), gatifloksasin (Gfx)
Kelompok 4
Oral: asam para-aminosaslisilat (Pas), sikloserin (Dcs), terizidon (Trd), etionamid (Eto), protionamid (Pto), Obat anti-
tuberkulosis lini ketiga
Kelompok 5
Clofazimin (Cfz), linezolid (Lzd), amoksisilin plus
klavulanat (Amx/Clv), imipenem plus cilastatin (Ipm/Cln), klaritomisin (Clr).
2.1.9 Pengobatan Tuberkulosis Tahap Intensif
Panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terdiri dari tiga kategori yaitu kategori I, II dan III. Setiap kelompok pengobatan (kategori terapi) terdiri atas dua tahap pengobatan (terapi) yaitu tahap awal (fase intensif) dan tahap lanjutan (fase continue) (Kemenkes RI, 2016).
Tahap Intensif adalah pengobatan TB yang diberikan setiap hari yang ditujukan untuk menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh penderita secara efektif dan untuk meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum penderita mendapatkan pengobatan.
Pengobatan pada tahap awal ini diberikan dalam jangka waktu 2 bulan. Jika pengobatan dilakukan dengan teratur, penularan bakteri TB akan menurun selama 2 minggu setelah pengobatan (Kemenkes RI, 2016).
Pada penderita yang telah menyelesaikan pengobatan tahap intensif maka pasien juga harus terus melanjutkan pengobatan hingga tahap lanjutan. Tahap lanjutan adalah tahap yang sangat penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada di dalam tubuh khususnya bakteri persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Pada tahap lanjutan ini diberikan selama 4 bulan dan dianjurkan untuk setiap hari (Kemenkes RI, 2016). Obat yang diberikan pada tahap lanjutan adalah obat kategori 1 yaitu 4(HR)3 yang artinya Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) tiga kali sehari dalam seminggu selama 4 bulan.
Obat kategori 2 yang diberikan pada tahap lanjutan yaitu 5(HR)3E3 yang artinya Isoniazid (H), Rifampisin (R), Etambutol (E) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 5 bulan (Kemenkes RI, 2016). Sedangkan Tuberkulosis Multi Drug Resistant (TB-MDR) adalah kasus tuberkulosis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis resisten minimal terhadap rifampisin dan isoniazid secara bersamaan, dengan atau tanpa Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kategori 1 yang lain (Maitre et al., 2017). Panduan pengobatan Tuberkulosis Multi Drug Resistant (TB-MDR) di Indonesia dapat dibagi dalam dua kategori, kategori yang pertama adalah rejimen standar meliputi rejimen Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) standar (20-26 bulan) dan rejimen Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) standar jangka pendek / shorter regiment (9-11 bulan). Kategori kedua yaitu rejimen individual meliputi Obat Ant Tuberkulosis (OAT) individual untuk pasien Tuberkulosis Multi Drug Resistant (TB-MDR) yang resisten atau alergi terhadap fluorokuinolon tetapi sensitif terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini kedua (Pre XDR), Obat Anti Tuberkulosis (OAT) individual untuk pasien Tuberkulosis Multi Drug Resistant (TB-MDR) yang resistan atau alergi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) suntik lini kedua tetapi sensitif terhadap fluorokuinolon (Pre- XDR) dan Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) individual untuk pasien Tuberkulosis Extensively Drug Resistant (TB-XDR) (Kemenkes RI, 2016).
2.1.10 Pengobatan Tuberkulosis Tahap Lanjutan
Informasi tentang lamanya dan tujuan tahap pengobatan sangat penting untuk mencapai keberhasilan pengobatan tuberkulosis. Pengobatan tuberkulosis diberikan dengan dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif diberikan pengobatan setiap hari untuk menurunkan jumlah bakteri dan meminimalisir bakteri yang sudah resisten sejak pasien belum mendapatkan pengobatan (Kemenkes RI, 2016).
Tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa-sisa bakteri, khususnya bakteri persisten (dormant) sehingga pasien dapat cepat sembuh dan terhindar dari terjadinya kekambuhan. Tahap lanjutan menggunakan sedikit obat karena beban bakteri lebih kecil jika dibandingkan dengan tahap intensif. Pada pengobatan tahap lanjutan diberikan berdasarkan tingkat keparahannya, dan dibagi menjadi tiga kategori. Pada kategori pertama yaitu digunakan obat isoniazid dan rifampisin yang diminum tiga kali seminggu selama empat bulan. Kategori dua, digunakan obat isoniazid, rifampisin, dan etambuthol yang diberikan tiga kali seminggu. Ketiga yaitu pengobatan kategori anak tuberkulosis yang diberikan berdasarkan jenis tuberkulosis dan dosisnya yang disesuaikan dengan berat badan anaknya. Pada anak BTA positif dengan jenis tuberkulosis ringan dan efusi pleura, akan mendapatkan regimen dosis obat isoniazid dan rifampisin yang diminum setiap hari selama empat bulan (Kemenkes RI, 2016). Tahap lanjutan dibutuhkan waktu yang lebih panjang agar didapatkan efek steril dari obat. (Principi et al., 2015). Sehingga tidak sedikit pasien yang mengalami kegagalan terapi karena berhenti terapi minum obat sebelum masa terapi tuberkulosis selesai (Mardhiyyah et al., 2016). Pentingnya minum obat secara teratur karena jika penderita menghentikan pengobatan, kuman tuberkulosis akan berkembang biak kembali dan penderita harus mengulangi pengobatan dari tahap awal lagi selama 2 bulan pertama (Irnawati dkk, 2016).
2.1.11 Terapi OAT Pada Pasien Tuberkulosis Tahap Intensif dan Lanjutan Rejimen pengobatan tuberkulosis menggunakan istilah yang menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT), frekuensi pemberian obat dan kombinasi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan dosis tetap. Pasien yang menderita tuberkulosis akan diobati berdasarkan tingkat keparahannya.
Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu kategori 1, 2 dan
kategori anak. Data dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:
Tabel II.2 Kategori Pengobatan Tuberkulosis dan Peruntukannya (Kemenkes RI, 2016).
Kategori
Pengobatan Untuk Pasien Tahap Pengobatan
Kategori 1 - Pasien TB paru baru terdiagnosa, BTA (+) - Pasien TB paru BTA (-), foto toraks (+) - Pasien TB ekstra paru
- Tahap Intensif:
2(RHZE)
- Tahap Lanjutan: 4(HR)3 Kategori 2 - Pasien Kambuh
- Pasien Putus Pengobatan - Pasien GagalPengobatan
- Tahap Intensif:
2(RHZE)S - Sisipan: HRZE - Tahap Lanjutan:
5(HR)3E3
Kategori Anak - TB ringan dan efusi pleura - Tahap Intensif: 2HRZ - Tahap Lanjutan: 4HR
Berikut adalah penjelasan dari beberapa kategori pengobatan tuberkulosis:
1. Pengobatan Kategori 1
Antituberkulosis kategori 1 adalah pengobatan yang diperuntukkan untuk pasien yang sebelumnya tidak memiliki riwayat pengobatan tuberkulosis dan pasien yang baru mendapat obat antituberkulosis kurang dari 1 bulan. Pasien pada tahap intensif yang masuk ke dalam kategori 1 akan mendapatkan regimen dosis 2(HRZE). Ini artinya bahwa pasien dalam kurun waktu 2 bulan akan mendapatkan pengobatan Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang harus diminum setiap harinya dapat dilihat pada (Tabel 2.3 dan Tabel 2.4)
Tabel II.3 Dosis OAT KDT Kategori 1 (Kemenkes RI, 2011)
Berat Badan
Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet
4KDT
2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet
4KDT
3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet
4KDT
4 tablet 4KDT
> 71 kg 5 tablet
4KDT
5 tablet 4KDT
Tabel II.4 Dosis OAT Kombipak Kategori 1 (Kemenkes RI, 2016)
Dosis per hari/kali Jumlah hari/kali menelan
obat Tahap
pengobatan
Lama pengobatan
Tablet Isoniazid
@300mg
Kaplet Rifampisin
@450 mg
Tablet Pirazinamid
@500 mg
Tablet Etambutol
@250 mg Tahap
intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Tahap
lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
2. Pengobatan Kategori 2
Regimen terapi yang didapat pasien TB kategori 2 ini adalah 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3 (Tabel 2.5 dan Tabel 2.6). Berbeda dengan pengobatan TB menggunakan kategori 1, Streptomisin ditambahkan pada tahap intensif. Pada kategori ini diberikan untuk pasien kambuh, pasien gagal, pasien dengan pengobatan setelah putus berobat. Apabila pasien berumur lebih dari 60 tahun ke atas maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan (Kemenkes RI, 2016). Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari (Kemenkes RI, 2016).
Tabel II. 5 Dosis OAT KDT Kategori 2 (Kemenkes RI, 2011) Berat Badan Tahap intensif tiap hari RHZE
(150/75/400/275)+ s
Tahap lanjutan 3kali seminggu RH
(150/150)+ E (400) Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 30-37 kg 2 tablet 4KDT +
500 mg streptomisin inj
2 tablet KDT 2 tablet 2KDT + 2 tablet Etambutol 38-54 kg 3 tablet 4KDT +
750 mg streptomisin inj
3 tablet KDT 3 tablet 2KDT + 3 tablet Etambutol 55-70 kg 4 tablet 4KDT +
1000 mg streptomisin inj
4 tablet KDT 4 tablet 2KDT + 4 tablet Etambutol
>71 kg 5 tablet 4KDT + 1000 mg streptomisin inj
5 tablet KDT 5 tablet 2KDT + 5 tablet Etambutol
Tabel II.6 Dosis OAT Kombipak Kategori 2 (Kemenkes RI, 2016)
Etambutol Jumlah
Hari/kali menelan
obat Tahap
Pengobatan
Lama Pengobatan
Tablet Isoniasid
@300 mg
Kaplet Rifampisin
@ 450 mg
Tablet Pirazinamid
@ 500 mg
Tablet
@250 mg
Tablet
@400 mg
Streptomisin inj
Tahap Awal (dosis harian)
2 bulan 1 bulan
1 1
1 1
3 3
3 3
- -
0,75 g -
56 28 Tahap
Lanjutan (dosis 3x seminggu)
5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
3. Pengobatan Kategori Anak
Prinsip dasar pengobatan tuberkulosis (TB) pada anak tidak berbeda dengan pengobatan pada orang dewasa, tetapi ada beberapa hal yang memerlukan perhatian: pemberian obat baik pada tahap intensif diberikan setiap hari dan dosis harus disesuaikan dengan berat badan anak. Pada kategori anak, pengobatan disesuaikan dengan jenis tuberkulosisnya. Untuk anak dengan tuberkulosis ringan dan efusi pleura tuberkulosis maka akan mendapat regimen dosis 2HRZ/4HR (Tabel 2.7) dan terdapat dosis kombipak kategori anak pada (Tabel 2.8). Untuk anak Basil Tahan Asam (BTA) positif maka akan mendapat regimen dosisnya adalah 2HRZE/4HR. Untuk pasien anak pada tahap intensif mendapatkan obat RHZ (Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid) selama 2 bulan dan diberikan sesuai dengan berat badan (Kemenkes RI, 2016).
Tabel II.7 Dosis OAT KDT Kategori Anak (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2017)
Berat Badan 2 bulan tiap hari RHZ
(75/50/150) 4 bulan tiap hari RH (75/50)
5-9 kg 1 tablet 1 tablet
10-14 kg 2 tablet 2 tablet
15-19 kg 3 tablet 3 tablet
20-32 kg 4 tablet 4 tablet
Tabel II.8 Dosis OAT Kombipak Kategori Anak (Kemenkes RI, 2016) Jenis Obat BB < 10 kg BB 10 – 19 kg BB 20 – 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg
Etambutol tidak dianjurkan untuk pengobatan tuberkulosis pada anak karena ketajaman penglihatan pada anak-anak tidak dapat dimonitoring. Etambutol hanya digunakan pada anak-anak yang memiliki resiko tinggi mengalami resistensi (CDC, 2016).
2.2 Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 1) Isoniazid (H)
Dosis tuberkulosis aktif dewasa 5 mg/kgBB/ hari (4-6 mg/kgBB/hari), anak 10 mg/kgBB per hari (10-15 mg/kgBB/hari). Untuk dewasa dengan BB 30- 45 kg, dosis per hari 200 mg diberikan dalam dosis tunggal. Untuk pasien dengan BB > 45 kg, per hari 300 mg diberikan dalam dosis tunggal (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2017).
Efek samping Isoniazid terjadi mual, muntah, anoreksia, konstipasi, pusing, sakit kepala, vertigo, neuritis perifer, neuritis optik, kejang, episode psikosis;
reaksi hipersensitivitas seperti eritema multiform, demam, purpura, anemia, agranulositosis; hepatitis (terutama pada usia lebih dari 35 tahun); sindrom SLE, pellagra, hiperglikemia dan ginekomastia, pendengaran berkurang, hipotensi, flushing (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2017).
2) Rifampisin (R)
Rifampisin dosis untuk dewasa dalam dosis tunggal, BB <50kg adalah 450 mg, BB >50kg adalah 600mg (pasien dengan gangguan fungsi hati tidak lebih dari 8mg/kgBB) (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2017; Pusat Informasi Obat Nasional, 2015) .
Rifampisin diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna. Untuk masuk kedalam darah, rifampisin harus melewati membran enterosit. Membran ini mengandung P-glycoprotein (PGP) yang merupakan transporter efflux. P- glycoprotein (PGP) akan mengikat dan selanjutnya menghidrolisa Adenosina Trifosfat (ATP) untuk menghasilkan energi yang digunakan untuk transport rifampisin melintasi membran sel (Widhiartini et al., 2019). Rifampisin merupakan antibiotik semisintetik yang mempunyai efek bakterisidterhadap mikobakteri dan organisme gram positif. Pada dosis tinggi juga efektif terhadap organisme gram negatif. Rifampicin memiliki efek samping gangguan gastrointestinal (saluran cerna) seperti rasa panas pada perut, sakit epigastrik, mual, muntah, anoreksia,
kembung, kejang perut dan diare (Sari, 2017)
Efek samping rifampisin meliputi gangguan saluran cerna meliputi mual, muntah, anoreksia, diare; pada terapi intermiten dapat terjadi sindrom influenza, gangguan respirasi (napas pendek), kolaps dan syok, anemia hemolitik, anemia, gagal ginjal akut, purpura trombo-sitopenia; gangguan fungsi hati, ikterus;
flushing, urtikaria, ruam; gangguan sistem saraf pusat meliputi sakit kepala, pusing, kebingungan, ataksia, lemah otot, psikosis. Efek samping lain seperti udem, kelemahan otot, miopati, lekopenia, eosinofilia, gangguan menstruasi;
warna kemerahan pada urin, saliva dan cairan tubuh lainnya; tromboplebitis pada pemberian per infus jangka panjang (Dinas Kesehatan, 2018).
3) Ethambutol (E)
Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap oleh saluran cerna, dengan kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Dewasa 15-25 mg/kg/hari dengan dosis maksimum 2500 mg. Dosis yang lebih tinggi harus diberikan pada bulan-bulan awal terapi. Untuk terapi berkepanjangan, kisaran dosis yang di gunakan harus mendekati 15 mg/kg/hari untuk menghindari terjadinya toksisitas (WHO, 2016).
Mekanisme kerja etambutol menekan multiplikasi mikobakteri dengan mengganggu sintesis RNA. Padapemberian oral sekitar 75-80% etambutol di serap dari saluran cerna. Kadar puncak dari plasma di capai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Dosis tunggal 15 mg/kg BB menghasilkan kadar plasma sekitar 5 ml pada 2-4 jam (Kemenkes RI, 2016).
4) Pirazinamid (Z)
Dosis pirazinamid 15-30 mg/kg BB sekali sehari. Dosis maksimal sehari 3 g. Digunakan pada 2 bulan pertama dari 6 bulan pengobatan. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal 20-30 mg/kg BB tiga kali seminggu (Pusat Informasi Obat Nasional, 2015). Untuk pasien dewasa, kisaran dosis harian yang digunakan adalah 25mg/kgBB (20-30 kg/BB) dengan dosis maksimumumnya 2000 mg. untuk dosis yang di gunakan pada frekuensi pengobatan 3 kali per minggu sebesar 35mg/kgBB (30-40/kgBB) (Kemenkes RI, 2016).
Interaksi obat menyebabkan gangguan fungsi hati pasien dan pengantarnya diberitahu cara mengenal gejala gangguan fungsi hati dan dinasehatkan untuk
segera menghentikan obat dan memeriksakan diri bilatimbul nausea persisten, muntah-muntah, lesu atau ikterus. Penggunaan bersama dengan probenesid, allopurinol, ofloksasin dan levofloksasin, obat hepatotoksik. Pirazinamid dapat mengganggu efek obat antidiaberik oral, serta mengganggu tes untuk menentukan keton urin (Dinas Kesehatan, 2018).
Efek samping pirazinamid yaitu hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia, hepatomegali, ikterus, gagal hati; mual, muntah, artralgia, anemia sideroblastik, urtikaria, flushing, sakit kepala, pusing, insomnia, gangguan vaskular : hipertensi, hiperurikemia, arthralgia (Kemenkes RI, 2016).
5) Streptomisin (S)
Dosis streptomisin injeksi intramuscular untuk dewasa 15 mg/kgBB (12- 18 mg/kgBB) per hari (maksimal 1 g) selama 5 hari dalam seminggu atau 25-30 mg/kgBB 2 kali seminggu. Dosis untuk anak 20-40 mg/kgBB sehari (maksimal 1 g) atau 25-30 mg/kgBB 2 kali dalam seminggu. Selama masa pengobatan dosis kumulatif tidak boleh lebih dari 120 g (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2017).
Efek samping penggunaan streptomisin adalah gangguan kulit/alergi: ruam, indurasi, atau abses di sekitar lokasi suntikan, mati rasa dan kesemutan di sekitar mulut, vertigo (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2017).
2.3 Tinjauan Kepatuhan 2.3.1 Definisi Kepatuhan
Dalam konteks psikologi kesehatan, kepatuhan mengacu kepada situasi ketika perilaku individu sepadan dengan tindakan yang dianjurkan atau nasehat yang direkomendasikan oleh seorang profesionalis kesehatan atau informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi lainnya seperti nasehat yang diberikan dalam suatu brosur promosi kesehatan melalui suatu kampanye media massa (Irnawati et al., 2016). Kepatuhan terhadap pengobatan digambarkan dengan seberapa jauh perilaku seorang pasien dalam meminum obat sesuai dengan anjuran dari profesionalis kesehatan. Gochman mengatakan bahwa kepatuhan pengobatan dianggap sebagai perilaku kesehatan seseorang dalam tindakan dan kebiasaan yang berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan, pemulihan kesehatan dan peningkatan kesehatan (Irnawati et al., 2016).
Tingkat kepatuhan pemakaian obat untuk pasien tuberkulosis sangatlah penting karena jika tidak dilakukan dengan teratur dan tidak sesuai anjuran yang diberikan maka dapat menimbulkan resistensi (kekebalan) kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Ketidakpatuhan terhadap pengobatan tuberkulosis akan mengakibatkan meningkatnya angka kegagalan pengobatan penderita tuberkulosis paru, sehingga akan meningkatkan resiko kematian, kesakitan dan meningkatkan angka penularan penyakit tuberkulosis (Pameswari et al., 2016).
2.3.2 Pengukuran Kepatuhan Pengobatan
Pengukuran kepatuhan pengobatan terhadap pasien perlu dilakukan untuk mengevaluasi kepatuhan. Pengukuran kepatuhan pengobatan ini dapat dilakukan dengan metode langsung (direct methods) dan metode tidak langsung (indirect methods). Keuntungan metode tidak langsung jika dibandingkan dengan metode langsung yaitu singkat, mudah dikelola, memiliki kemampuan untuk membedakan tipe ketidakpatuhan yang berbeda, dapat dipercaya, valid, murah dan dapat diterima oleh pasien. Kepatuhan pengobatan pada pasien tuberkulosis dapat diukur menggunakan metode tidak langsung yaitu metode self-report. Metode self-report mempunyai beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan pengobatan yaitu Medication Adherence Questionnaire (MAQ) atau biasa dikenal dengan Medication Morisky Adherence Scale (MMAS), Self-essicacy for Appropriate Medication Use (SEAMS), Brief Medication Questionnaire (BMQ), Hill-Bone, Medication Adherence Rate Scale (MARS) dan Adherence to Refills and Medications Scale (ARMS) (Culig and Leppée, 2014). Pada (Tabel 2.9) menunjukkan masing-masing instrumen dan penyakit yang diukur.
Tabel II.9 Instrumen untuk Mengukur Kepatuhan
Skala 1 2 3 4 5 6 7 8
MMAS atau MAQ + + +
SEAMS + + +
BMQ + + +
Hill-Bone +
MARS +
ARMS +
1-Penyakit kronis, 2-Hipertensi arterial, 3-Penyakit jantung koroner, 4-Diabetes, 5- Psikosis, 6-HIV/AIDS, 7-Osteoporosis, 8-Penghentian rokok (Culig and Leppée, 2014).
Berdasarkan tabel tersebut dinyatakan bahwa kuesioner SEAMS dan ARMS adalah kuesioner yang dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan pada penyakit kronis. Kuesioner SEAMS mengukur self efficacy sedangkan ARMS mengukur kepatuhan (Culig and Leppée, 2014).
2.4 Tinjauan Adherence to Refills and Medications Scale (ARMS)
ARMS (Adherence to Refills and Medications Scale) merupakan instrumen yang reliabel dan valid. ARMS adalah instrumen yang digunakan untuk mengukur kepatuhan terhadap terapi obat dan dapat digunakan pada pasien dengan kondisi kronis. Adherence to Refills and Medications Scale (ARMS) memiliki korelasi yang signifikan dengan skala pengukuran kepatuhan oleh Morisky, memiliki konsistensi internal yang tinggi dan memiliki korelasi lebih kuat dibandingkan dengan pengukuran oleh Morisky dalam mengukur kepatuhan menebus resep berulang (Ernawati and Islamiyah, 2019).
Kuesioner Adherence to Refills and Medications Scale (ARMS) terdiri atas 12 pertanyaan dengan skala likert yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya dalam mengukur kepatuhan pasien penyakit kronis dan dapat juga digunakan pada low literacy skills (tingkat baca tulis rendah) (Kripalani et al., 2009). Dengan menggunakan kuesioner Adherence to Refills and Medications Scale (ARMS) dapat diketahui dua indikator kepatuhan yaitu patuh dalam meminum obat untuk memberikan gambaran kemampuan pasien dalam mengelola sendiri dengan benar
regimen yang telah diresepkan dan patuh menebus resep berulang untuk menggambarkan tindakan pasien dalam melakukan penebusan obat lanjutan sesuai jadwal (Ernawati and Islamiyah, 2019).
Skor Adherence to Refills and Medications Scale (ARMS) yang tertinggi adalah 48 menunjukkan tingkat kepatuhan yang buruk, sedangkan skor terendah adalah 12 menunjukkan tingkat kepatuhan yang baik. Instrumen ARMS telah diuji reliabilitas dan validitasnya dengan MMAS dimana Apha Cronbach’s keseluruhan item= 0.814 dan untuk pasien adequate literacy skills memiliki alfa= 0.828 sedangkan untuk pasien inadequate literacy skills memiliki alfa= 0.792, Spearman’s rho= -0.651(Ernawati and Islamiyah, 2019).