• Tidak ada hasil yang ditemukan

Update guideline of hepatitis C management-current challenges and barrier to care in Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Update guideline of hepatitis C management-current challenges and barrier to care in Indonesia"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

Page

1

(2)

2

Page

2

(3)

3

Page

3

(4)

4

Page

4

Update guideline of hepatitis C management-Current challenges and barrier to care in Indonesia

I DewaNyomanWibawa

Divisi Gastroentero-hepatologi, Dept.Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/

RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan

Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, dijumpai prevalensi hepatitis C di Indonesia dari 12.715 laki-laki dan 14.821 perempuan adalah: anti-HCV positif sebesar 1,7%

dan 2,4%%.1 Sedangkan dari data Riskesdas 2013 menunjukkan adanya peningkatan prevalensi penderita hepatitis C dibandingkan dengan Riskesdas 2007, yaitu 2,1% menjadi 2,5%.2 Data terbaru pada tahun 2014 menunjukkan prevalensi anti-HCV positif sebesar 0,8-1% di Indonesia.1,3

Berdasarkan data hasil surveilans hepatitis C oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen P2PL) pada tahun 2007-2012 yang dilaksanakan di 21 provinsi dengan 128 unit pengumpul data (50 rumah sakit, 51 laboratorium dan 27 unit transfusi darah PMI) dengan jumlah sampel 5.064.431, didapatkan anti-HCV positif pada 35.453 sampel (0,7%). Data juga menunjukkan jumlah kasus terbanyak didapatkan pada golongan umur 20-29 tahun (30,94%) dengan perbandingan laki-laki : perempuan adalah 83% : 17%. 4

Pemberian antivirus pada infeksi hepatitis kronik C adalah untuk eradikasi virus, dengan harapan mencegah munculnya komplikasi penyakit hati berupa fibrosis, sirosis, karsinoma hepatoselular dan kematian. Target terapi antivirus adalah pencapaian respon serologic menetap (Sustained Virologic Respons (SVR)). Kriteria pencapaian SVR ditentukan dengan pemeriksaan RNA VHC.4

Indikasi pemberian terapi antivirus adalah kepada seluruh pasien naive dan gagal terapi dengan penyakit hati kompensata maupun dekompensata. Pemberian terapi antivirus pada pasien dengan sirosis hati kompensata ditujukan untuk mengurangi risiko komplikasi terjadinya sirosis hati dekompensata dan risiko terjadinya karsinoma hepatoselular. Demikian juga pada pasien hepatitis C akut, dapat dipertimbangkan pemberian terapi antivirus. 4

Prioritas terapi adalah pada pasien dengan fibrosis berat (METAVIR score F3-F4), koinfeksi HIV maupun VHB, kandidat transplantasi hati, kekambuhan VHC pasca transplantasi.

Terapi antivirus pada hepatitis kronik C juga diprioritaskan pada pasien dengan sindrom metabolik, manifestasi ekstrahepatik, bukti kerusakan organ, dan morbiditas psikososial signifikan. Di samping itu, terlepas dari status fibrosis, pasien yang memiliki risiko tinggi

(5)

5

Page

5

menularkan virus juga menjadi target terapi, misalnya pada pengguna narkoba suntik, homoseksual dengan HIV, narapidana, pekerja seks komersial, wanita yang berpotensi hamil, serta pekerja pelayanan kesehatan.4,5,6

Apabila pasien dengan fibrosis sedang (METAVIR score F2), pemberian terapi antivirus dapat diberikan dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko pengobatan. Terapi dapat ditunda apabila tidak ditemukan fibrosis atau hanya ditemukan fibrosis ringan (F0-F1). Di sisi lain, terapi tidak direkomendasikan pada pasien dengan komorbiditas berat selain penyakit hati yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien.6

Keberhasilan terapi infeksi hepatitis kronik C menggunakan kombinasi rejimen DAA dewasa ini, baik dengan atau tanpa Peg-IFN dan ribavirin, dapat mencapai SVR12 hingga melebihi 90% pada seluruh genotipe. Terapi DAA menghasilkan pencapaian SVR12 yang memuaskan pada pasien naïve dan riwayat pengobatan sebelumnya, baik pada pasien tanpa sirosis maupun pasien dengan sirosis hepatis.4

Tantangan dan hambatan dalam tatalaksana hepatitis C di Indonesia

Meskipun telah tersedia terapi yang sangat efektif untuk infeksi virus hepatitis C (HCV), hanya sedikit pasien menerima perawatan. Hambatan yang timbul pada berbagai tingkat, mulai dari diagnosis hingga rujukan spesialis, dapat menghambat akses perawatan hepatitis C. Pada pasien, kurang kesadaran, takut efek samping, ketidakpatuhan, dan kondisi komorbiditas dapat mencegah perawatan. Bagi provider, terbatasnya pengetahuan, kurangnya ketersediaan, dan kesulitan komunikasi mungkin menjadi masalah. Pada pemerintah dan pembayar, kurangnya promosi, pengawasan, dan pendanaan dapat mengganggu.Setiap hambatan ini perlu diatasi jika penerapan terapi antiviral lebih luas ingin dicapai. 7

Penelitian ANPUD di 4 negara Asian pada populasi pemakai obat suntik, mengemukakan ada variasi yang sangat besar dalam penyediaan layanan pengobatan untuk hepatitis C di dua wilayah: di Asia Tenggara,. Fasilitas pemerintahan yang paling banyak diakses; Di Asia Selatan, hanya ada sedikit penyediaan layanan pemerintah, dan mereka mengakses fasilitas pribadi dan LSM. Biayanya tinggi, dan mayoritas menjual properti dan berhutang untuk mendanai perawatan mereka. Sebagian besar mereka yang terinfeksi Hepatitis C menginginkan dan merencanakan untuk melakukan perawatan; Alasan utama untuk tidak mencari pengobatan diantara mereka yang tahu adalah biaya tinggi, efek samping dan ketakutan untuk mengungkapkan penggunaan narkoba; Tapi banyak yang tidak tahu tentang pengobatan Hepatitis C.8

Di Brazilia, dan di tempat lain di dunia, hampir separuh pasien ko-infeksi HIV/HCV (60,4%) telah dianggap bukan kandidat untuk mendapat terapi anti-HCV dengan alasan antara lain kurang patuh berobat,, drug abuse, ddan penyakit psikiatri. Hasil penelitian di Brasilia menyoroti pentingnya pendekatan tim multidisiplin untuk mengoptimalkan akses pasien ko- infeksi untuk mendapatkan pengobatan hepatitis C nya. 9

(6)

6

Page

6

Sebagian besar pasien yang terinfeksi hepatitis C di Thailand memiliki genotipe 3 yang secara bermakna berhubungan dengan penggunaan obat intravena, sedangkan di Vietnam genotipe 6. Pilihan untuk obat antiretroviral fasilitas penelitian terbatas dan bergantung pada dana global. Kurangnya perhatian pada keganasan hati terkait hepatitis-virus. Pengobatan HCV hemat biaya dapat dimasukkan ke dalam program kesehatan nasional. Dengan memanfaatkan data yang diperoleh dari penelitian klinis. Misalnya, pasien yang terinfeksi HCV genotipe 2/3 dengan polimorfisme IL-28B tertentu dapat diobati dengan interferon dan ribavirin yang lebih pendek yang juga dapat membantu mengurangi biaya. 10

Tantangan dan hambatan yang ada di Indonesia pada era DAA ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan yang ada di luar Indonesia. Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat untuk menjembatani masalah kendala pada tatalaksana hepatitis C ini.

Ringkasan

Banyak kemajuan yang telah dicapai pada tatalaksana hepatitis kronik C, terutama setelah era DAA, dengan keberhasilan terapi lebih dari 95%. Akan tetapi masih ada beberapa kendala dan hambatan yang perlu dibenahi di Indonesia untuk menyempurnakan program tatalaksana hepatitis di Indonesia.

Daftar pustaka

1. Mihardja L, Dewi M, Lestari CSW, Handayani S, Rofiq A, Setiawati V, dkk. Laporan Riskesdas tahun 2007 bidang biomedis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012. 1-75.

2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.

3. Gower E, Estes C, Blach S, Razavi-Searer K, Razavi H. Global epidemiology and genotype distribution of hepatitis C virus infection. Journal of Hepatology. 2014; 51:

S45-57.

4. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis C di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, 2017.

5. World Health Organization. Guidelines for the Screening, Care, and Treatment of Persons with Hepatitis C Infection. Geneva. Updated Version April 2016.

6. European Association for the Study of the Liver. EASL Recommendations on Treatmenf of Hepatitis C 2015. J Hepatol. 2015;63:199-236.

7. Mc Gowan CE and Fried MW. Barrier to hepatitis C tretment. Liver Int. 2012 ; 32: 151–

156.

8. ANPUD Asean Network of People who Use Drugs. Bariiers to hepatitis C diagnosis, management and treatment among people who inject drugs in 4 Asian countries.

Community led study in India, Indonesia, Malaysia, and Nepal. Bangkok: Asian Network of People who Use Drugs (ANPUD), 2011.

(7)

7

Page

7

9. Mendes-Corrêa MC, Martins LG, Ferreira PA, Tenore S, Leite OH, Leite AG, et al.

Barriers to treatment of hepatitis C in HIV/HCVcoinfected adults in Brazil.Braz J Infect Dis 2010;14(3):237-241.

10. Maek-a-Nantawat W, Avihingsanon A, and Ohata PJ. Challenges in Providing Treatment and Care for Viral Hepatitis among Individuals Co-Infected with HIV in Resource- Limited Settings. AIDS Research and Treatment Volume 2012, Article ID 948059, 10 pages doi:10.1155/2012/948059.

(8)

8

Page

8

Referensi

Dokumen terkait

Serat Optik Sebuah Penghantar, edisi ke 3.. Fibers

Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat deskriptif, yaitu dengan memaparkan hasil dari penelitian tentang bagaimana ketentuan

Dalam perkembangannya, masyarakat telah menunjukkan kepedulian terhadap masalah pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan anak usia dini untuk usia 0 sampai dengan 6 tahun

Laporan Awal Dana Kampanye yang yang dilaporkan terhitung dari sejak pembukaan Rekening Khusus Dana Kampanye sampai dengan paling lambat 14 (empat belas) hari. sebelum hari

terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Matematika Kelas VII SMP Negeri 3 Kalidawir Tulungagung Tahun Ajaran 2016/2017” yang ditulis oleh Wiji

Hasil analisis secara statistik menunjukkan rerata asupan pakan standar sebelum dan setelah intervensi kelompok kontrol, jus jeruk nipis dan kombinasi jus pare

mikrokontroler, yaitu dalam karakter angka NIS enam digit. Jika password benar, maka PC akan menampilkan.. data sopir, NIS, waktu, muatan, kendaraan dan nomor

GH manusia, hormon yang hanya efektif pada manusia, dihasilkan dari tehnik rekombinasi asam deoksiribonukleat(DNA), dapat digunakan untuk mengobati pasien dengan